• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAHIRNYA PERJANJIAN LANRISANG DAN SALEMO ABAD XVII THE BIRTH OF LANRISANG AND SALEMO AGREEMENTS AT XVII CENTURY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAHIRNYA PERJANJIAN LANRISANG DAN SALEMO ABAD XVII THE BIRTH OF LANRISANG AND SALEMO AGREEMENTS AT XVII CENTURY"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

THE BIRTH OF LANRISANG AND SALEMO AGREEMENTS AT XVII CENTURY

Rosdiana Hafid

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Jalan Sultan Alauddin Talasalapang Km.7 Makassar 90221

Telepon (0411) 883748-885119, Faksimile (0411) 865166 Pos-el: rashdyana67@gmail.com

Diterima: 25 Agustus 2017; Direvisi: 24 September 2017; Disetujui: 24 November 2017 ABSTRACT

This study is a political history that colored the life of the people of South Sulawesi between Balanipa Kingdom and Bone Kingdom. This study aims to reveal and explain the birth of Lanrisang and Salemo Agreements. The method used is a historical method that includes four stages systematically, such as data collection, source criticism, interpretation, and the writing of history. The results of the study illustrate that three agreements were born due to the underlying conflict between the two parties. The conflict then developed into a war that is very harmful to all parties. The end of the war ends with the birth of anagreement. Two agreements directly involve Balanipa Kingdom, namely Salemo Agreement and Lanrisang Agreement. Meanwhile, Salemo Agreement does not involve directly Balanipa Kingdom, but the conflict was held by Todani Arung Bakke, a king of the Limae Ajatappareng Kingdom.

Keywords: Political History, Lanrisang Agreement and Salemo Agreement.

ABSTRAK

Kajian penelitian ini merupakan sejarah politik yang mewarnai kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan antara Kerajaan Balanipa dengan Kerajaan Bone. Kajian ini bertujuan untuk mengungkap dan menjelaskan tentang lahirnya Perjanjian Lanrisang dan Perjanjian Salemo. Metode yang dipergunakan adalah metode sejarah yang meliputi empat tahap secara sistematis, yaitu: pengumpulan data, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan sejarah. Hasil penelitian menggambarkan bahwa tiga perjanjian lahir karena dilatari adanya konflik antara dua pihak.Konflik itu kemudian berkembang menjadi peperangan yang sangat merugikan semua pihak yang bertikai. Akhir dari peperangan itulah yang menutup dan mengakhiri segalanya dengan lahirnya sebuah perjanjian. Dua perjanjian itu melibatkan secara langsung Kerajaan Balanipa, yaitu Perjanjian Salemo satu dan Perjanjian Lanrisang. Sementara itu, Perjanjian Salemo tidak melibatkan secara langsung Kerajaan Balanipa, tetapi yang berkonflik adalah Todani Arung Bakke, raja dari Kerajaan Limae Ajatappareng.

Kata Kunci: Sejarah Politik, Perjanjian Lanrisang dan Perjanjian Salemo. PENDAHULUAN

Perang Makassar, terjadi 1667-1669 antara Kerajaan Gowa di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin melawan Belanda bersama Arung Palakka. Perang ini disadari oleh Sultan Hasanuddin bahwa sangat berat untuk dihadapi. Kesadaran itu yang mengingatkan bahwa ia mempunyai persahabatan dengan beberapa kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan yang dapat dimintai bantuannya. Itulah sebabnya sehingga ia lalu mengirim utusan untuk menemui mara’dia Balanipa dengan harapan mendapatkan bantuan tenaga dari masyarakat Mandar.

Sebelum utusan dari Kerajaan Gowa datang menemui mara’dia Balanipa, Mandar sudah melaksanakan pertemuan untuk membahas persoalan itu.Diminta atau tidak, Pitu Babana Binanga wajib memberikan bantuan berdasarkan perjanjian yang telah dibuat jauh sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Todilaling di Balanipa dan Tunipallangga Ulaweng di Gowa. Perjanjian itu secara turun temurun tetap dipatuhi dan dijalankan dengan penuh tanggungjawab antara kedua pihak.

Pertemuan itu diselenggarakan di Tammajara dan melahirkan dua point penting,

(2)

yaitu; 1) Memperbaharui kembali perjanjian yang telah ditetapkan oleh para pendahulunya; 2) Pasukan Pitu Babanna Binanga harus segera berangkat ke Gowa membantu Sultan Hasanuddin melawan Belanda yang dibantu oleh Arung Palakka MalampeE Gemmena. Mara’diayang berkuasa di Pitu Babana Binanga ketika itu antara lain; Daeng Mabanni Tomatindo di Buttu sebagai mara’dia Balanipa, I Daeng Tulolo sebagai mara’dia Pamboang, dan Tomatindo di Puasanna sebagai mara’dia Mamuju. Ketika semua raja-raja dan anggota adat Pitu Babana Binanga hendak meninggalkan tempat pertemuan, tiba-tiba utusan dari Kerajaan Gowa datang untuk menemui sahabatnya Pitu Babana Binanga. Utusan itu segera menyampaikan pesan dari tuannya mengenai kondisi di Kerajaan Gowa (Sinrang, 1994:74).

Mereka tidak heran setelah mengetahui pesan yang dibawa oleh utusan itu, sebab mereka sudah mengetahuinya. Mara’dia Balanipa sebagai yang dituakan menjawab permintaan utusan dari Kerajaan Gowa dan mengatakan: “Kami semua ini Pitu Babana Binanga sudah mengadakan pertemuan dan salah satu hasil pertemuan itu adalah akan mengirim pasukan untuk membantu Kerajaan Gowa dari serangan Belanda bersama Arung Palakka. Kami Pitu Babana Binanga akan datang membantu Kerajaan Gowa diminta atau tidak diminta sebab pendahulu kami telah membuat suatu perjanjian yang tidak mungkin kami ingkari” (Syah, 1992: 78-79).

Senada dengan itu, di dalam lontara Mandar disebutkan bahwa ”Tomatindo di Buttu yang juga bergelar Todiparra di Galesong mara’dia Balanipa dan anggota Pitu Babanna Binanga lainnya, bertemu lagi di Balanipa untuk memperbaharui kembali apa yang telah ditetapkan oleh para pendahulunya. Usai pertemuan, datanglah utusan dari Kerajaan Gowa membawa berita bahwa Arung Palakka MalampeE Gemmena bersama Belanda di bawah pimpinan Jenderal Cornelis J. Speelman sementara ini memerangi Kerajaan Gowa (Lontarak Mandar, milik Ledang, hlm. 50).

Setelah pertemuan itu, maka masing-masing mara’dia mempersiapkan pasukannya untuk diberangkatkan ke Gowa. Berdasarkan kesepakatan di antara Pitu Babana Binanga, disepakati akan memberangkatkan pasukan melalui jalur laut dengan enam buah perahu. Pemberangkatan itu akan diatur sebanyak dua kali atau sampai tiga kali tergantung kondisi. Ada enam perahu yang akan dipergunakan, setiap perahu akan mengangkut sebanyak 40 pasukan. Pemberangkatan pertama sebanyak dua perahu dengan kekuatan 80 pasukan yang dipimpin langsung oleh mara’dia Balanipa I Daeng Mallari Tomatindo di Buttu (Sinrang, 1994:74).

Pemberangkatan pertama terdiri atas dua perahu, dan ternyata mereka tidak bersamaan tiba di tempat tujuan karena berpisah di tengah perjalanan. Sementara satu perahu yang dipimpin oleh mara’dia Balanipa I Daeng Mallari Tomatindo di Buttu, terdampar dan mendarat di Pulau Salemo. Sedang perahu yang satu tidak diketahui dengan pasti kemana arahnya. Meski begitu, perahu tersebut akhirnya tiba juga di Pulau Salemo dan bertemu dengan I Daeng Mallari Todiposso Galesong. Kehadirannya diketahui oleh Arung Pallaka, sehingga terjadi pertemuan antara keduanya.

Sementara Perjanjian Salemo II (1681) juga dilatari oleh suatu peperangan antara Todani Arung Bakke atau lebih dikenal sebagai raja pada lima kerajaan di wilayah Ajatappareng (Sawitto, Suppa, Sidenreng, Rappang dan Alitta), melawan mantan atasannya yang sekaligus adalah saudara iparnya, yaitu Arung Palakka. Perjanjian ini lain dari Perjanjian Salemo I sebab yang berperang adalah bukan antara Kerajaan Balanipa dengan Kerajaan Bone, namun perjanjian ini diperuntukkan untuk Kerajaan Balanipa. Perjanjian Salemo II lahir sebelum Perjanjian Lanrisang (1674) yang juga antara Kerajaan Balanipa dengan Arung Palakka. Perjanjian Salemo II dan Lanrisang terjadi setelah Arung Palakka diangkat menjadi raja di Kerajaan Bone. Sedangkan Perjanjian Salemno I terbentuk sebelum Perang Makassar berakhir.

(3)

Sebenarnya Perjanjian Salemo II itu dibuat antara Kerajaan Bone dengan Kerajaan Balanipa karena dianggap telah berjasa. Kerajaan Balanipa telah mengantarkan Todani Arung Bakke ke Salemo sehingga dapat ditangkap lalu dicekik hingga meninggal.Keduanya berselisih paham karena beberapa persoalan yang dituduhkan kepada Todani Arung Bakke oleh Arung Palakka. Persoalan-persoalan itulah yang mengantar keduanya menuju perang terbuka yang tidak dapat diselesaikan oleh keduanya, termasuk ketika Belanda melakukan campurtanganterhadap kasus yang membelit keduanya.Persoalan antara keduanya tidak dapat terselesaikan sehingga Arung Palakka yang terkenal sebagai kesatria yang sulit diatur, menyelesaikan kasus itu dengan caranya sendiri.

Perjanjian ketiga adalah Perjanjian Lanrisang (1674), lahir setelah terjadinya perang antara Kerajaan Balanipa dengan Kerajaan Bone. Perjanjian ini disebutkan sebagai perjanjian yang lahir sekitar lima tahun pasca Perjanjian Bungaya yang mengakhiri komplik antara penguasa Kerajaan Makassar dengan penguasa Kerajaan Bone, yaitu Arung Palakka. Perang penaklukkan yang dilakukan oleh Arung Palakka terhadap Kerajaan Balanipa, Mandar, pasca Perjanjian Bungaya, karena Kerajaan Balanipa tidak mau tunduk terhadap Belanda dan Arung Palakka meskipun sekutunya Kerajaan Gowa telah kalah. Itulah sebabnya sehingga Arung Palakka dan Belanda menghukum Kerajaan Balanipa dan sekutunya melalui suatu perang.

Ketiga perjanjian itulah yang akan menjadi bahasan utama dalam kajian ini. Dengan pemahaman yang rinci dan utuh secara komprehensif tentang perjanjian tersebut, diharapkan agar karakter orang-orang Sulawesi Selatan dapat dipahami melalui sejarah politiknya. Harapan itu diharapkan berdampak positif untuk pengembangan ruang dan waktu orang Balanipa, Mandar dengan orang-orang Bugis, agar persoalan-persoalan yang muncul ke depan dapat lebih dipahami secara utuh dan bukan sepenggal-penggal.

Karena itulah sehingga penelitian ini, dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan atau penelitian menyangkut mengapa perjanjian itu dilakukan dan apa yang melatarbelakanginya.

METODE

Ada dua jenis sumber yang diperoleh selama pengumpulan data yaitu sumber tertulis dan lisan. Sumber tertulis diperoleh dari berbagai perpustakaan yaitu berupa buku-buku hasil penelitian yang sudah tercetak maupun yang belum. Sementara sumber lisan diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa orang informan yang dikategorikan sebagai informan ahli yang dapat memberikan informasi berkaitan dengan tema kajian ini. Meskipun demikian, hasil wawancara yang telah diperoleh hanya dijadikan sebagai bahan bandingan terhadap buku-buku ilmiah dan sejenisnya.

Data dan keterangan yang berhasil dikumpulkan, dikelompokkan berdasarkan jenisnya.Kemudian dilakukan kritik, namun hal ini kritik dilakukan hanya secara intern (menyangkut isi) sumber dan bukan fisiknya. Kritik intern ini menitikberatkan pada isinya, yaitu apakah isinya relevan atau tidak. Data dan keterangan yang telah dikritik, kemudian diinterpretasi atau diberi arti agar saling berhubungan antara fakta-fakta yang satu dengan yang lainnya. Setelah data diinterpretasi dan dianalisis, maka tahap terakhir adalah melakukan penulisan sejarah (historiografi) dengan cara merekonstruksikan suatu gambaran masa lampau berdasarkan data yang diperoleh.

PEMBAHASAN Perjanjian Lanrisang

Meninggalnya I Daeng Mallari dalam Perang Makassar itu, menyisahkan banyak persoalan di tubuh Kerajaan Balanipa.Salah satu persoalan yang sampai kini belum terpecahkan adalah mengapa kelompok kedua yang dipimpin oleh mara’dia Pamboang Daeng Tulolo, tiba di Galesong setelah semua pasukan mara’dia Balanipa bersama anggota hadat dan pasukan Mandarnya gugur. Kelompok kedua ini cukup

(4)

besar jumlahnya yaitu ada 4 buah perahu dengan penumpang masing-masing 40 orang pasukan setiap perahu. Memang kelompok kedua ini rencananya akan berangkat menyusul setelah kelompok pertama yang terdiri dari dua buah perahu yang masing-masing dipimpin oleh mara’dia Balanipa dan anggota hadatnya.

Kelompok kedua ini terdiri dari empat buah perahu yang dikawal dan dipimpin oleh Daeng Tulolo Tomatindo di Bata mara’dia Pamboang sebanyak dua perahu dan setiap perahu memuat 40 orang pasukan, yaitu dari Pamboang dan Sendana. Satu perahu dari Kerajaan Tappalang dan satu perahu dari Kerajaan Mamuju dengan 40 orang prajuritnya, dipimpin langsung oleh putra raja Mamuju Tomatindo di Puasanna (anak sassigina dari Sumare) bernama Tanggo Samalewa Pue Ando (A’do). Mereka ini semua harusnya berangkat bersama-sama dengan rombongan pertama (Sinrang, 1994:79). Tetapi karena cuaca buruk ketika itu sehingga mereka semuanya terlambat datang di tempat pemberangkatan sehingga ditinggalkan.

Mereka semuanya tetap berangkat ke Gowa untuk membantu Sultan Hasanuddin melawan VOC bersama Arung Palakka, namun mereka tiba setelah Galesong sudah jatuh ke tangan Belanda. Mereka hanya mendapatkan mayat-mayat bergelimpangan dari berbagai induk pasukan. Mayat mara’dia Balanipa diketemukan bersama semua anggota pasukannya.Melihat semua itu, Daeng Tulolo Tomatindo Di Bata sangat sedih melihat kenyataan itu.Beliau hanya teringat pesan leluhurnya yang menyatakan bahwa”kalau raja merasa malu, maka semua rakyatnya sudah harus mati.Atau naposiri puanna (mara’diana) napomatei batuanna (prajuritnya)”. Pesan itulah yang menghantuinya meskipun perang sudah usai, mereka tidak kembali ke Balanipa, Mandar. Adat daerah Mandar istilah seperti itu disebut aluppas mara’e atau diberi makan ampas kelapa yang sudah kering (Sinrang, 1994:78).

Itulah sebabnya Daeng Tulolo bersama pengikutnya tidak kembali ke Mandar, justru ia lebih memilih hidup di tengah lautan dan menjadi sebagai perompak atau lanun. Kelompok inilah

dikemudian hari terkenal sebagai bajak laut yang sangat ditakuti, apalagi orang Belanda.Bahkan orang Belanda menyebut salah satu kelompok ini sebagai mangindano. Orang Belanda menulisnya tentang perilaku beliau bahwa Tokasi-asi Tomatindo di Bata alias Daeng Tulolo dianggap tidak baik. Dalam sejarah ditulis bahwa Daeng Tulolo mangindano adalah seorang parappoang atau Daeng Tulolo adalah seorang yang berasal dari Pamboang (Leyds,1940:33).

Kerajaan Balanipa menerima kenyataan pahit bahwa rajanya telah gugur dalam Perang Makassar, namun hukuman yang harus diterima tidak hanya sampai di situ. Oleh Belanda menganggap bahwa perbuatan mara’dia Balanipa yang ikut membantu Sultan Hasanuddin pada Perang Makassar sebagai suatu penghinaan dan penghianatan bagi Belanda. Sebab perbuatannya itu, ia harus mendapat hukuman lanjutan berupa tidak akan diperdulikan, tidak akan diberi bantuan, tidak akan diberi amunisi, dan buah pikiran sekalipun. Bahkan Arung Palakka berencana mengadakan serangan ke Mandar sebagai pembalasan penghianatan yang telah dilakukan oleh mara’dia Balanipa bersama rombongannya.

Penghianatan yang dituduhkan oleh Belanda terhadap Mandar pasca Perang Makassar, juga disebutkan dalam Perjanjian Bungaya 1667 pasal 21 yang berbunyi: Pemerintah Kerajaan Gowa menyatakan akan melepaskan haknya atas Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar yang kesemuanya dianggap durjana terhadap Kompeni dan sekutu-sekutunya dan negeri-negeri tersebut akan diperlakukan oleh Kompeni dan sekutu-sekutunya menurut kehendak Kompeni (Patunru,1969:5). Sebab itulah tidak ada jalan lain kecuali Mandar secara keseluruhan harus ditaklukkan melalui suatu perang.

Serangan Belanda terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di Mandar, sebab Belanda menerima informasi pada 20 Juli 1668 bahwa Mandar secara besar-besaran akan menyerang kedudukan pertahanan VOC di Makassar. Laskar Mandar dipimpinoleh Karaeng Bontomarannu

(5)

dan telah berada di Ujung Lero. Jumlah kekuatan laskar itu diperkirakan 1.000 orang. Informasi itu dipandang perlu untuk diantisipasi sebab, merupakan ancaman yang serius. Oleh karena itu, diminta kesediaan kepada Arung Belo untuk memimpin laskarnya untuk menghadang gerak maju laskar Mandar di daerah Tanete dan Sigeri. Menurut pimpinan laskar Bone dan Soppeng, penghadangan laskar Mandar jika tidak didukung oleh armada VOC untuk melindungi penduduk di Tanete dan Sigeri, dapat menimbulkan malapetaka bila pasukan Makassar menyerang dari arah selatan (Poelinggomang, 2015:117).

Keterlibatan pasukan Mandar dalam Makassar dan sikap penolakannya terhadap Perjanjian Bungaya yang telah dicapai, memaksa terjadinya perang babak kedua. Pihak Belanda dan Arung Palakka melakukan serangan terhadap kerajaan-kerajaan Mandar dan mereka kalah. Atas kekalahan itu, pemimpin kerajaan Pitu Babana Binanga melakukan pertemuan di Balanipa untuk membicarakan kondisi politik yang terjadi usai Perang Makassar tersebut. Pada saat itulah datang utusan dari Arung Palakka menyampaikan pesan dari pimpinannya kepada penguasa Mandar. Berkata utusan itu: “Berangkatlah memberitahukan kepada saudaraku orang Mandar bahwa Karaeng Gowa sudah kalah. Janganlah kita saling bunuh membunuh (perang). Bagaimana ketentuanmu dengan Gowa begitu pula dengan Bone.Relakanlah hatimu bekerjasama dengan Bone sebagaimana kerelaanmu dengan Gowa”. Berkatalah orang Mandar:” Apa yang orang Bone katakan itu kami dengar dan percaya, tetapi kami belum bisa melakukan seperti apa yang Bone harapkan, sebelum kami bertemu Karaeng ri Gowa (Yasil,2012:96-97 dalam: Poelinggomang, 2015:118).

Jawaban orang Mandar itu dipandang sebagai tanggapan penolakan.Oleh karena itu, Arung Palakka melancarkan penyerangan pada 1669. Serangan atas Mandar yang dilakukan pertama kali ini oleh Kerajaan Bone bersama beberapa orang Belanda, tidak membawa hasil yang memadai.Kegagalan ini dipicu, karena

semua orang-orang Mandar melarikan diri ke pegunungan. Kecewa tidak berhasil menawan para penguasa kerajaan, maka pasukan Arung Palakka dan VOC melakukan pembakaran atas rumah-rumah penduduk Balanipa dan Kandeapia. Setelah itu kembali tanpa ada hasil yang diperoleh. Kemudian 6 Oktober 1671, dan 3 November 1673 serangan lanjutan kembali dilancarkan ke Mandar dan dinyatakan berhasil. Meskipun ketika itu, rakyat Mandar melakukan penyelamatan ke daerah pedalaman, namun kerugian yang diderita tetap cukup besar (Poelinggomang, 2015:119).

Jalannya peperangan pada 1669, memang cukup seru sebab kedua pihak saling kalah mengalahkan. Namun nasib baik masih berpihak kepada Kerajaan Balanipa ketika seluruh pasukan Mandar terdesak hingga ke kaki pegunungan, mara’dia Mandar menyadari bahwa kondisi itu sangat memprihatinkan. Itulah sebabnya beliau bersama seluruh anggota hadatnya dan semua anak pattola payung mengadakan pertemuan khusus untuk membahas perang yang sedang berlangsung. Dalam pertemuan itu, mara’dia Balanipa mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan semua orang yang hadir, yaitu” Bahwa barang siapa anak pattola payung yang dapat menyelamatkan kerajaan dari kehancuran akibat serangan Belanda bersama Bone, maka ia akan saya angkat menjadi mara’dia Balanipa menggantikan posisi saya sekarang”.

Salah seorang putra bangsawan bernama I Magga Daeng Rioso juga hadir dalam pertemuan itu hendak ambil bagian dalam perang yang sedang berlangsung. Berbekal dengan sebilah keris di tangan, ia maju tak kenal menyerah. Ia angkat dirinya sebagai panglima perang tanpa pengangkatan secara resmi dari pihak kerajaan. Beliau mengambil bagian dari perang yang sedang berlangsung itu bukan karena ingin menjadi raja di Balanipa, tetapi ia ingin membela tanah airnya yang terancam kehancurannya. Ia juga ingin memperlihatkan bahwa walau ia bukan seorang bangsawan mara’dia, namun ia mampu untuk tampil memimpin pasukan melawan Belanda dan Arung Palakka.

(6)

Pitu Babana Binanga dalam perang 1669 ini, tidak dapat dilepaskan dari peran I Magga Daeng Rioso. Ia berperang bagaikan orang tak kenal mati, siapa saja musuh yang ia hadapi, pastilah dibunuh dengan kerisnya. Ataukah musuhnya memakai perahu, maka ia akan memburunya hingga ke perahu sang musuh. Ketika beliau mengetahui bahwa pasukan Mandar yang berperang di daerah Sallombo mengalami kesulitan untuk menghadapi Belanda, maka dengan segera I Magga Daeng Rioso menuju ke sana untuk membantu pasukan Mandar yang berperang. Kehadiran I Magga Daeng Rioso itu memberikan semangat juang pasukan Mandar yang sedang bertempur di daerah itu.

Pertempuran di Sallombo itu, Raja BanggaE yang memimpin pasukan tewas terkena peluru lawan di Malayu dan gugur seketika. Ketika pasukan Banggae yang tergabung di dalam pasukan itu hendak membawa pulang jenazahnya ke Mandar, I Magga Daeng Rioso melarang dan berkata”Da muwawai luluare’u, takkala uwa nasilolongngi cera’u, nasiandarangngi nyawau”. Artinya: Jangan singkirkan saudara saya, saya telah saling berjanji dengan dia akan bersimbah darah dan akan mati bersama (Sinrang, 1994: 95). Itulah sebabnya sehingga jenazah beliau tidak segera dikembalikan ke Banggae untuk dimakamkan sesegera mungkin. I Magga Daeng Rioso ingin memperlihatkan bahwa meskipun pemimpin pasukan telah gugur, namun semangat juang tidak pernah mundur.

Selama perang berlangsung, jenazah mara’dia Banggae itu diusung terus di samping I Magga Daeng Rioso oleh pasukan Pitu Babana Binanga. Pertempuran ini, bukan hanya mara’dia BanggaE yang gugur dalam perang, tetapi juga ada dua orang pejabat adat yang gugur, yaitu pappuangan Tenggelang dan pappuangan Luyo. Meski keadaannya seperti itu, I Magga Daeng Rioso tidak putus asa dan terus memburu pasukan Belanda dan Bone hingga sampai daerah Pajalele. Di daerah inilah pasukan Belanda bersama beberapa orang Bone bersumpah tidak akan mundur lagi (pajani lele=

tidak akan berpindah lagi). Di daerah ini pula, pasukan Pitu Babana Binanga menyadari bahwa kondisi jenazah mara’dia Banggae sudah membusuk sehingga harus segera dikebumikan (Wawancara Puang Aco, Tinambung:2016).

Kondisi itulah yang menyebabkan pasukan pengusung jenazah mara’dia Banggae mengusulkan kepada I Magga Daeng Rioso agar segera dikembalikan untuk dimakamkan, karena kondisi mayat sudah mulai membusuk. Usulan itu diterima oleh I Magga Daeng Rioso sehingga mayat mara’dia Banggae dibawa ke Mandar untuk dikebumikan, apalagi kondisi pasukan Belanda sudah mundur. Setibanya di Balanipa, Mandar, dalam suasana perang, sedih, hujan air mata, masyarakat berkabung atas gugurnya mara’dia Banggae dalam perang di daerah Malayu. Ia dikuburkan di Kampung Sallombo, oleh karena itu ia diberi gelar anumerta dengan nama Tomatindo di Sallombo, artinya raja yan dimakamkan di Kampung Sallombo (Wawancara Tamalele, Tinambung 2016).

Sementara itu, semua pasukan Belanda dan sekutunya di tarik mundur, baik yang ada di darat maupun yang ada di lautan (pasukan perahu). Mereka segera meninggalkan wilayah Mandar, sebab takut akan amukan dari I Magga Daeng Rioso. Pasukan yang memakai perahu tidak sempat lagi menarik tali jangkarnya secara normal, tapi langsung dipotongnya karena takut akan kejaran pasukan Mandar. Sementara pasukan musuh sudah mundur, mara’dia Balanipa Tomatindo Di Langgana segera mengadakan pertemuan khusus untuk merealisasikan janjinya yang telah diucapkan sebelum perang.

Sidang itu dihadiri oleh seluruh anggota hadat Balanipa, tujuannya adalah untuk melantik I Magga Daeng Rioso menjadi mara’dia Balanipa menggantikan Tomatindo Di Langgana.Raja Balanipa sebagai mandataris dewan hadat melepaskan tanda kebesarannya, lalu menyematkan sendiri di tubuh I Magga Daeng Rioso. Tanda kebesaran itu antaranya adalah; sebuah songkok yang langsung dikenakan dikepala I Daeng Rioso, begitu juga sebuah keris langsung disematkan di pinggang I

(7)

Magga Daeng Rioso (Wawancara Hj. Abdullah, Tinambung 2016). Dengan demikian resmilah I Magga Daeng Rioso menjabat sebagai Mara’dia Balanipa menggantikan Tomatindo Di Langgana, dan beliau menjabat dari 1669-1672.

Lontarak Mandar menyebutkan bahwa pascaperang itu, sebanyak satu liter kepala peluru yang tersangkat dalam baju I Magga Daeng Rioso.Kemudian parang pendek yang dipakai dalam perang itu, nantilah tangannya direndam dengan air panas baru dapat dilepaskan’ (Syah, 1993:83).Artinya begitu banyak korban yang dibunuh oleh beliau sehingga darah-darah itu mengering di tangannya hingga melengket.Ada kemungkinan bahwa I Magga Daeng Rioso itu adalah seorang lelaki yang kebal terhadap senjata tajam? Kenapa dikatakan demikian, sebab kalau kita cermati akhir hidupnya, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya beliau tidak kebal terhadap senjata tajam. Ia meninggal karena ditebas batang lehernya oleh salah seorang masyarakat.

Untuk membalas dendam atas kekalahan bangsa Belanda dan sekutunya 1669 dari Pitu Babana Binanga Mandar, maka Belanda kembali merencanakan untuk melancarkan serangan kedua pada 1674. Tetapi rencana itu tidak direalisasikan, karena datang utusan dari Mandar pada 10 September 1674 untuk menyampaikan permohonan maaf. Juga penguasa Sendana, Balanipa, Majene dan lainnya juga berkeinginan memohon maaf. Dari pertemuan itu disepakati akan melakukan pertemuan di Lanrisang dan berlangsung pada bulan September 1674 (Sinrang, 1994:58 dan Syarifuddin, 1998:338). Seluruh penguasa Mandar hadir, kecuali mara’dia Sendana, karena alasan sakit dan beliau hanya mengutus salah seorang petinggi kerajaan untuk mewakili beliau.

Perjanjian antara Belanda dan Pitu Babana Binanga pada tahun 1674, dikenal dengan nama Perjanjian Lanrisang, isinya adalah :

1. Kawan Kompeni adalah kawan mereka juga, lawan Kompeni adalah juga menjadi lawan mereka juga.

2. Jika dipanggil harus menghadap ke Makassar, dan setiap pelarian harus

diserahkan. Ketika akan berangkat ke luar negeri, harus mengambil pas di Makassar. 3. Mereka dilarang melayari sungai-sungai

di Celebes tanpa pemberitahuan kepada residen. Semua barang dagangan harus diperjualbelikan dengan companie. Companie bebas melayari sungai-sungai di Mandar serta diizinkan untuk membangun gudang.

4. Negeri-negeri seperti; Binanga Karaeng (perbatasan antara Binuang dan Ajatappareng), Kadokkong, Galang-kalang, kembali di bawah kekuasaan Sawitto.

5. Harus menyerahkan sebanyak 30 orang budak sebagai rampasan perang. Selain itu, negeri-negeri seperti; Campalagian, Mapilli, Takatidung dan Ujung digabungkan menjadi sebuah nama yaitu Anreapie, dan ditempatkan langsung di bawah kekuasaan Arung Palakka. Wilayah-wilayah ini kemudian dibebani pajak oleh Arung Palakka yang sangat tinggi (Leyds, 1940:31-32).

Perjanjian ini ditutup pada 10 September 1674, dan perjanjian inilah yang kemudian mengakhiri peperangan antara kerajaan di Pitu Babana Binanga dan Belanda bersama sekutunya. Kerajaan Pitu Babana Binanga lalu menandatangani perjanjian tersebut meskipun isinya sangat merugikan pihaknya. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan untuk mengakhiri jatuhnya korban yang tak berdosa sehingga para pejabat kerajaan menandatangani dengan terpaksa. Untuk mengetahui lebih rinci tentang isi perjanjian Lanrisang1, beberapa

sumber telah menjelaskannya. Namun untuk ketepatan waktu berlangsungnya perjanjian yang dimaksud, tak satupun sumber yang menyebutkan

1Terdapat banyak versi tentang Perjanjian

Lanrisang, ada versi Bahasa Mandar ( Lontarak Mandar), dan ada versi Bahasa Makassar. Setiap versi perjanjian itu terdapat perbedaan, baik dari segi isi maupun dari segi bahasa. Tetapi jika dicermati dengan seksama, sebenarnya inti dari isi atau substansi perjanjian yang dimaksud adalah sama yaitu mengakhiri perang antara Belanda bersama sekutunya dan Pitu Babana Binanga secara keseluruhan.

(8)

dengan pasti. Akan tetapi ada sejumlah catatan tentang keberangkatan Tunisombaya (Arung Palakka) beserta pihak Gowa menuju Mandar untuk berperang, yaitu: 6 Oktober 1671, 31 Oktober 1673 dan 11 September 1674. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perjanjian ini dibuat dalam 1674 (Syarifuddin, 1998:342).

Perjanjian Salemo

Perjanjian Salemo terjadi dua kali, yang pertama 1674 dan yang kedua 1681.Perjanjian Salemo yang pertamatitik fokusnya adalah antara mara’dia Balanipa I Daeng Mallari dan Arung Palakka menjelang Perang Makassar atau ketika Perang Makassar sementara berlangsung. Pokok persoalan yang dibahas dalam perjanjian itu adalah mengajak mara’dia Balanipa, I Daeng Mallari untuk bekerjasama melawan Sultan Hasanuddin, raja Gowa ke-16 (1653-1669). Meskipun kesepakatan telah dicapai antara kedua belah pihak, namun perjanjian itu akhirnya dibatalkan secara sepihak oleh Kerajaan Balanipa sebab mendapat tantangan dari kelompok kaum hadat di Mandar.

Sebenarnya pembatalan perjanjian itu sangat berat dilakukan oleh mara’dia Balanipa, I Daeng Mallari sebab sumpah itu dibarengi dengan janji setia. Namun demikian, I Daeng Mallari akhirnya membatalkan sumpah itu meskipun resikonya besar sebab Arung Palakka pasti murka terhadapnya. Apa yang dilakukan oleh mara’dia Balanipa itu adalah untuk pertimbangan kemanusiaan, sebab perjanjian yang dibuat itu akan sangat berpengaruh terhadap rakyat Balanipa secara khusus dan Mandar secara keseluruhan. Pembatalan itu dikemudian hari ternyata mendapat reziko yang tidak pernah dilupakan oleh Mandar sepanjang sejarahnya.Bagaimana tidak, Perang Makassar menyebabkan kehidupan politik dan kenegaraan bagi kerajaan-kerajaan lokal mengalami kehancuran, terutama kerajaan yang bersekutu dengan Gowa. Sebaliknya sekutu Kerajaan Bone berada diambang kemenangan.

Keterlibatan Kerajaan Pitu Babana Binanga dalam Perang Makassar 1667, sebab

Kerajaan Balanipa, Mandar. Ikut sertanya Mandar berdasarkan perjanjian yang telah dibuat pada masa pemerintahan raja pertama Todilaling dengan Tunipallangga Ulaweng, raja Gowa ke-10 (1546-1565). Perjanjian itu dihadiri hampir seluruh anggota hadat Balanipa, dicetuskan ketika utusan dari Balanipa datang ke Gowa untuk mengembalikan Todilaling ke Mandar untuk dijadikan sebagai pemimpin. Jadi sebelum Todilaling berangkat ke Balanipa, Mandar, terjadi dialog antara anggota hadat Balanipa, Mandar dengan raja Gowa, yang kemudian disebut perjanjian antara Kerajaan Gowa dan Balanipa, Mandar.

Dialog antara kedua belah pihak itu berbunyi;

Tunipallangga:” Barangkali kedatangan bapak-bapak kemari ada maksudnya”.

Hadat Balanipa: ”Iya Karaeng, kami datang untuk mengambil dan melantik I Manyambungi (Todilaling) menjadi raja di Kerajaan Balanipa”. Tunipalangga: ”Terserah kepada I Manyambungi (Todilaling)”. Setelah itu, dilanjutkan lagi dialog antara I Manyambungi (Todilaling) dengan raja Gowa, Tunipalangga; Todilaling: ”Saya sudah mau kembali ke Mandar Karaeng, Keberanian dan kepandaian sudah sempurna, karena Karaeng yang sempurnakan”.

Tunipalangga;” Yah berangkatlah, tetapi tidak ada apa-apa yang akan saya berikan sebab semuanya telah dimiliki oleh orang Balanipa, Mandar. Tetapi saya akan berikan untuk dibawa ke Mandar yaitu berupa alat-alat atau barang-barang kemenangan dari Kerajaan Tambora sebanyak sebelas macam benda” (Leyds, 1940:23).2

Perjanjian antara Kerajaan Gowa dengan Balanipa, Mandar terjadi pada 1560 di Gowa,

2Benda-benda yang dimaksud oleh raja Gowa

Tunipalangga itu, terdiri atas; gong tabilohe, tombak

inaga, bedil tata, panji sorai, tombak trisula (doe pakke), mahkota saloko kati, gong idato, seruling keke, tambur atau gendang, perisai utte, dan alat musik jalappa. Benda-benda tersebut diperoleh ketika Kerajaan Gowa menyerang Kerajaan Tambora yang dipimpin oleh I Manyambungi Todilaling.Benda-benda itu diserahkan kepada beliau sebagai jasa-jasanya selama berada di Kerajaan Gowa. Benda-benda itu pula yang kemudian dijadikan sebagai

(9)

seperti yang diuraikan di atas, ternyata berbeda dengan apa yang diuraikan oleh Syarifuddin dalam kajiannya:

“Besok lusa manakala Gowa dalam keadaan bahaya, hendaklah engkau datang membantu, kecuali jika bahaya tersebut hanya dalam negeri saja, anda tidak saya harapkan terkecuali keinginanmu sendiri. Demikian juga jika Mandar dalam keadaan bahaya di pagi hari hendaklah segera mungkin memberi tahu di sore hari, demikian juga halnya jika kena bahaya di sore hari, hendaklah kamu menyampaikan di pagi hari.Besok lusa jika ada yang mengatakan bahwa Gowa dan Mandar berselisih, cari dan bunuhlah.Jika orang Gowa manyatakan demikian, maka Mandarlah yang harus membunuhnya, jika orang Mandar yang menyatakan demikian, maka orang Gowalah yang harus membunuhnya.Demikianlah pembuktian bahwa Mandar dan Gowa tidak berselisih” (Syarifuddin, 1998:278-279).

Ikrar itu tidak hanya merupakan pernyataan ikatan kebersamaan dan persaudaraan antara kedua belah pihak, tetapi juga dapat dimengerti sebagai upaya Kerajaan Gowa untuk menanamkan pengaruh dan memperluas wilayah kekuasaannya di daerah Mandar pada khususnya. Selain itu, pernyataan itu dapat memberikan semangat bagi para delegasi Balanipa yang diwakili oleh Appe Banua Kaiyang, serta membulatkan tekat dan memberikan motivasi kepada I Manyambungi agar kembali ke Napo untuk memulihkan keamanan yang sedang tidak tenteram akibat perbuatan semena-mena oleh beberapa orang tomakaka yang ada di daerah Mandar.Inilah awal mula terjalinnya persahabatan antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Balanipa, Mandar.

Pertemuan Arung Palakka dengan I Daeng Mallari di Pulau Salemo itu melahirkan suatu kesepakatan untuk melakukan kerjasama melawan Kerajaan Gowa.Tidak terdapat satu sumber yang menjelaskan tentang tanggal dan hari pasti terjadinya pertemuan antara keduanya. Juga tidak diketahui dengan pasti bagaimana sehingga antara keduanya dapat bertemu di pulau itu. Apakah pertemuan itu difasilitasi

oleh seseorang atau tidak? Yang pasti bahwa pertemuan mereka itu telah menghasilkan kesepakatan untuk bersama-sama menggempur Kerajaan Gowa.

Selesai pertemuan, Arung Palakka kembali kepasukannya, sementara rombongan yang lain dari anggota adat Pitu Babana Binanga juga mendarat di Pulau Salemo. Setelah berkumpul semuanya, I Daeng Mallari menceritrakan kepada anggota hadatnya bahwa ia telah membuat suatu perjanjian dengan Arung Palakka untuk bersama dengan Bone yang dibantu oleh Belanda untuk menyerang Kerajaan Gowa. Betapa kaget seluruh rombongan anggota adat mendengar pengakuan mara’dia Balanipa tersebut. Oleh sebab itu terjadi perdebatan yang seru dan hebat antara keduanya, yaitu mara’dia Balanipa dan rombongan kaum adatnya.

Jalannya perdebatan itu adalah : Tomatindo di Buttu:” Mari kita temui Arung Palakka”. Hadat Balanipa” Kenapa jadi begini, lain yang mengundang lain pula yang dijumpai. Bagi kami, lebih baik bercerai antara badan kami dengan kepala kami, begitu pula bercerai dengan raja kami , dari pada ingkar janji dari kata semula yang telah disepakati. Tomatindo di Buttu:” Bagaimana saya ini, saya telanjur mengadakan kesepakatan dengan Arung Palakka untuk bersama-sama memukul Gowa”. Hadat Balanipa:”Jika demikian, kami pecat engkau sebagai raja, lebih baik kami berpisah dengan raja kami, daripada ingkar dari kesepakatan semula”. Tomatindo di Buttu:” Kalau begitu, kita kembali kepada kesepakatan semula, yaitu bersama-sama raja Gowa Sultan Hasanuddin berperang melawan Speelman yang saat ini bersekutu dengan Arung Palakka Malampee Gemmena” (Sinrang,1994:61).

Pembicaraan itulah yang kemudian dijadikan sebagai landasan, bahwa pertemuan itu adalah suatu perjanjian yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Salemo I. Kalau dicermati dialog tersebut, Hadat Balanipa sangat keberatan sehingga mengancam raja Balanipa untuk dipecat jika mengikuti isi perjanjian antara Tomatindo di Buttu dengan Arung Palakka.

(10)

Namun setelah perdebatan sengit antara mereka, akhirnya kesepakatan itu dibatalkan dan kembali kepada kesepakatan semula. Setelah dialog berlangsung antara Hadat Balanipa dan raja Balanipa Tomatindo di Buttu, mereka bersama-sama berangkat ke Galesong untuk menemui Sultan Hasanuddin yang sedang menunggu kedatangannya.

Pasukan Pitu Babana Binanga yang berjumlah 80 orang dipimpin langsung oleh I Daeng Mallari berangkat ke Glesong dan tiba dengan selamat bersama pasukannya. Ketika mereka tiba, pertempuran sudah berlangsung berhari-hari lamanya sehingga begitu tiba mereka langsung terjun ke medan perang. Dalam pertempuran ini, rombongan pasukan Mandar yang terlibat dalam medan perang, gugur semuanya bersamaan jatuhnya Galesong pada 19 Agustus 1667. Berdasarkan sumber lokal, menyebutkan bahwa yang selamat dari pertempuran itu hanyalah seorang anak kecil yang berumur sekitar 12 tahun. Konon, anak yang dimaksud itu adalah anak kandung dari I Daeng Mallari Tomatindo Di Buttu, mara’dia Balanipa ( Sinrang,1994:76).

Menyangkut kematian I Daeng Mallari pada Perang Makassar, dalam lontarak disebutkan bahwa Ketika mara’dia Balanipa mengikat janji dengan Arung Palakka, ia bertanya kepada Arung Palakka” Senjata apa yang kamu miliki, Arung Palakka menjawab; ada senapang penembakku asal meletus penggantung hati manusia langsung menjadi sasarannya, dan sebuah senjata kecil (pistol)”. Kemudian mara’dia Balanipa berkata lagi” jika saya ingkar janji, maka saya akan terkena tembakan pistolmu tepat di dahi saya”. Lalu Arung Palakka juga berkata; ” Mudah-mudahan mulut saya terkutuk bila berdusta” (Syah, 1992:72).

Sehari setelah pembatalan perjanjian yang disertai sumpah itu, pagi-pagi sekali Arung Palakka datang menemui mara’dia Balanipa di perahunya.Kehadirannya disertai seorang pendayung perahu dan lengkap dengan perlengkapan perang.Dari jauh Arung Palakka berseru”Oh…mara’dia Balanipa!”,lalu

pengawal mara’dia menjawab” beliau masih tidur”. Arung Palakka berkatalagi ” ia tidak tidur dan ia beritikat tidak baik pada saya”. Setelah itu Arung Palakka naik ke atas perahu mara’dia Balanipa dan langsung membangunkannya lalu berkata” bangunlah sebab kamu tidak tidur, dan kamu telah menghianati saya kemarin”. Setelah itu Arung Palakka kembali ke pasukannya (Syah,1992:74).

Kedatangan Arung Palakka di pagi hari, tidak pernah disangka oleh seluruh anggota pasukan mara’dia Balanipa. Kehadirannya membuat suasana lain dan telah menggoyahkan semangat juang pasukan Mandar. Bagaimana tidak, begitu anggota pasukan Mandar melihat langsung Arung Palakka semuanya mengigil ketakutan.Tetapi oleh mara’dia tetap memberi semangat kepada pasukannya agar tidak lemah dalam pertempuran nanti. Sebab kejengkelan Arung Palakka terhadap mara’dia Balanipa yang telah mengingkari sumpahnya itu sehingga ketika terjadi perang hari itu. Arung Palakka hanya fokus mencari di mana posisi mara’dia Balanipa dan pasukannya.

Perang sedang berkecamuk, Arung Palakka mencari bendera dan payung mara’dia Balanipa. Setelah melihatnya dari jarak jangkauan peluru bedil, Arung Palakka mulai membidik di mana mara’dia Balanipa berada. Begitu ia melihatnya, maka ia berkata:” Berikanlah kemari bedilku! Itu musuh saya sudah kelihatan”.Senjatanya dikokang lalu berkata” Mudah-mudahan perantaraan dahinya yang kena, karena dia telah menghianatiku”.Senjata ditarik pelatuknya, dan pelurunya melesat keluar mencari sasarannya. Peluru senjata Arung Palakka kena pas di dahi mara’dia Balanipa, termasuk pembawa payungnya. Akhirnya mara’dia Balanipa tewas oleh senjata Arung Palakka, termasuk semua pasukannya gugur dalam perang itu (Wawancara H. Abdulah, Tinambung 2016).

Dalam Perang Makassar ini, dukungan dari Mandar diperkirakan 1.000 orang pasukan di bawah pimpinan mara’dia Balanipa I Daeng Mallari Tomatindo Di Buttu.Didalam perang ini, beliau gugur di Galesong pada 15 Agustus

(11)

1667.Perang ini dimenangkan oleh VOC dengan sekutu utamanya Arung Palakka, sehingga pihak penguasa Makassar bersama sekutu-sekutunya bersedia menandatangani suatu perjanjian yang disebut Perjanjian Bungaya. Dinamakan demikian, karena perjanjian itu dibuat di Kampung Bungaya (Poelinggomang, 2015:116). Dengan demikian, sumber ini tidak sejalan dengan sumber lokal atau lontarak Mandar yang menyatakan hanya dipersiapkan enam perahu yang masing-masing berisi 40 orang pasukan. Sehingga kalau dijumlahkan secara keseluruhan, jumlah pasukan bantuan dari Mandar hanya 240 orang pasukan saja, bukan sekitar 1.000 orang pasukan.

Lontara’ menyebutkan bahwa jenazah beliau di bawah ke Balanipa, Mandaruntuk dikebumikan di atas gunung. Itulah sebabnya sehingga ia gelar Tomatindo di Buttu; artinya yang dikebumikan di atas gunung. Sementara itu, anak yang dimaksud tersebut di atas, lalu diangkat menggantikan ayahnya sebagai mara’dia Balanipa. Meskipun usianya masih terlalu muda, namun oleh pemangku adat ia diangkat untuk menggantikan ayahnya. Sebab menurut kebiasaan bahwa seorang raja yang meninggal dunia atau wafat, tidak boleh dikebumikan sebelum diangkat seseorang sebagai penggantinya. Itu juga salah satu sebabnya sehingga usai penguburan ayahnya, ia kemudian digantikan posisinya oleh sepupu satu kali ayahnya sebagai mara’dia Balanipa (Syah,1992:77). Pertimbangan lain sehingga ia diganti dari posisinya sebab usianya yang sangat muda, sementara pada waktu yang bersamaan kerajaan dalam kondisi genting sebab terjadinya perang dimana-mana.

Jadi pertanyaan sampai sekarang dan belum ditemukan jawabannya dengan pasti adalah siapa sebenarnya yang mengantar jenazah beliau ke Balanipa, Mandar. Sebagaian sumber menyebutkan bahwa yang mengantar jenazahnya ke Balanipa, Mandar adalah orang-orang Gowa sendiri.Sebagian lagi mengatakan bahwa orang Balanipa sendiri yang mengantarnya ke Balanipa, Mandar. Jika menyebutkan bahwa yang mengantar jenazah itu adalah orang

Balanipa sendiri (pasukan Pitu Babana Binanga), bukankah semua pasukan Balanipa gugur di medan perang, kecuali seorang bocah laki-laki yang berusia kira-kira 12 tahun. Pertanyan ini memang sulit menjawabnya sebab semua sumber yang menyinggung persoalan ini hanya menyatakan bahwa jenazahnya tiba Mandar, lalu dikebumikan di atas gunung. Selain itu, tidak ditemukan penjelasan yang menyinggung tentang siapa yang mengantar jenazah beliau ke Balanipa, Mandar.

Jika benar orang-orang Mandar yang mengantar jenazahnya ke Balanipa, mungkinkah kelompok kedua yang terdiri atas dua perahu dengan jumlah pasukan sebanyak 80 orang. Ini mungkin saja dilakukan oleh kelompok ini yang dipimpin oleh mara’dia Pamboang, Daeng Tulolo Tomatindo di Bata.Kelompok ini memang tiba di Galesong setelah semua pasukan Mandar gugur sebagai tumbal dari Perang Makassar yang sebagian pertempurannya terjadi di perairan Galesong. Atau kalau tidak berarti jenazahnya dimakamkan di Galesong?

Kalau versi kedua yang terakhir atau rombongan Daeng Tulolo yang mengantarnya, maka muncul pertanyaan yang sangat prinsipil bagi orang Mandar, yaitu pantang pulang kampung dalam keadaan hidup jika rajanya meninggal dalam peperangan. Seperti bunyi falsapah hidup orang Mandar yang menyatakan “naposiri’i Puanna (mara’diana), napumatei batuanna (pasukannya). Artinya: Jika rajanya menanggung rasa malu, maka prajuritnya atau rakyatnya sudah harus terkubur mati. Ataukah memang Daeng Tulolo yang datang belakang mengantar jenazah tersebut. Kalau ini benar, maka Daeng Tulolo berani melanggar pesan leluhurnnya. Kalau peristiwa seperti itu terjadi maka tidak pantas bagi orang-orang Mandar untuk menginjakkan kakinya di tanah Mandar. Kalau ia kembali ke negerinya maka ibaratnya ia makan ampas kelapa yang sudah kering, dalam bahasa Mandarnya menyatakan “nipande aluppas mara’e”.

Jika ditelusuri data dan keterangan yang menyatakan bahwa kelompok kedua yang terdiri

(12)

atas dua perahu dengan jumlah penumpang 80 orang, berangkat ke Galesong sebelum jenazah beliau tiba di Balanipa. Rombongan ini sebenarnya tidak pernah kembali ke Balanipa ketika itu sebab ia lebih memilih menjadi pengacau di lautan dari pada kembali ke daerahnya. Pertimbangan untuk mengambil pilihan terakhir atau perompak sebab ia malu kembali ke daerahnya lalu mendapat hukuman seperti itu. Oleh sebab itu, rombongan Daeng Tulolo memilih melanglang buana di perairan Makasasar daripada kembali Mandar.Kelompok inilah yang kemudian disebut oleh Belanda sebagai mangindano.

Kelompok perompak pimpinan Daeng Tulolo sangat ditakuti karena jumlahnya cukup besar yang terdiri orang-orang Wajo dan Gowa. Kelompok mereka sesekali bertempur dengan Belanda di lautan. Perjalanan mereka hingga Tanjung Laut, Kalimantan Timur. Setahun kemudian, kelompok terbagi menjadi dua kelompok perompak yang disegani.Tahun 1668, kelompok Daeng Tulolo kembali ke Pamboang bersama prajuritnya. Sedang sebagian lagi yang dipimpin oleh Tanggo Samalewa meneruskan perjalanannya hingga sampai ke wilayah Samarinda. Setelah kembali ke Pamboang, beliau meninggal dunia dalam pengasingannya di Malunda, suatu daerah yang masih termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Pamboang (Wawancara Nurdin Hamma, Tinambung 2016).

Sementara itu, yang dimaksud dengan Perjanjian Salemo yang ke-2, adalah yang terjadi pada 1681. Perjanjian ini terjadi di Pulau Salemo antara Mara’dia Balanipa Tomatindo Di Langgana dengan Arungpone Petta Malampee Gemme’na yang berlatar belakang jasa Kerajaan Balanipa menyerahkan Todani. Ketika itu, Todani Arung Bakke, Addatuang Sidenreng, Datu Citta, Addatuang Sawitto, Datu Suppa diserahkan kepada pihak Bone di Pulau Salemo. Menurut Arung Palakka, Todani adalah topasalana Bone (orang bersalahnya Bone) oleh karena itu, setelah tiba di Pulau Salemo lalu dibunuh dengan cara dicekik oleh orang kepercayaan Arung Palakka

yang bernama Tobutu.Menyusul peristiwa ini, lalu diadakanlah perjanjian di pulau tersebut. Peristiwa pembunuhan itu terjadi pada 1092 Hijriah, bertepatan dengan 11 Februari 1681 (Kila,2015:130).

Dengan demikian, sangat jelas perbedaan antara kedua perjanjian yang dimaksud, baik dilihat dari segi isinya maupun dilihat dari segi waktu terjadinya. Meskipun raja yang memerintah di Kerajaan Bone adalah orang yang sama yaitu Arung Palakka Malampee Gemme’na. Perjanjian pertama itu lebih banyak menekankan isinya menyangkut perbantuan Kerajaan Balanipa atau Pitu Babanna Binanga dalam Perang Makassar. Sementara Perjanjian Salemo ke-2 terjadi pada 1681 adalah isinya menyangkut tentang pelarian Todani Arung Bakke yang diburu oleh Arung Palakka karena dianggap telah berbuat salah terhadapnya dan menjadi pesaing politiknya di Sulawesi Selatan.

Kalau dicermati perjanjian Salemo yang kedua berdasarkan data tersebut, maka muncul pertanyaan; dimanakah sebenarnya Perjanjian Salemo yang kedua itu (1681) dilaksanakan? Pertanyaan ini membutuhkan suatu analisis yang jelas sebab ketika Todani dicekik lehernya sampai mati, Arung Palakka sendiri tidak berada di Pulau Salemo.Barulah Arung Palakka mengetahui kalau Todani Arung Bakke telah meninggal dunia ketika kepalanya diperhadapkan kepadanya di Makassar oleh Tobutu ketika itu. Bukan hanya itu, yang mengantar Todani Arung Bakke dari Mandar hingga ke Pulau Salemo bukanlah Mara’dia Balanipa melainkan mara’dia Pamboang. Itulah sebabnya status Kerajaan Balanipa pasca Perjanjian Salemo ke-2 ditingkatkan dari seajing menjadi seajing senraja (sekerabatsama besar) (Sjarifuddin, 1998:349-350).

Apapun kenyataannya menyangkut kedua perjanjian dimaksud yang keduanya dilaksanakan di Pulau Salemo itu, benar atau tidaknya memang masih dipertanyakan sebagian orang.Akan tetapi isi kedua perjanjian itu sulit untuk dibantah kebenarannya dan para sejarawan mengakuinya. Memang kenyataan antara kedua perjanjian itu

(13)

masih sangat dini untuk menyatakan bahwa keduanya memang pernah diadakan. Oleh sebab itu masih diperlukan suatu telaah untuk mengungkap secara rinci menyangkut kedua persoalan perjanjian itu (Perjanjian Salemo I dan II).Dalam Sjarifuddin (1998), Perjanjian Salemo I tidak ditemukan, kecuali Perjanjian Salemo II yang menyangkut kematian Todani Arung Bakke 1681.

Meskipun dalam sumber yang dimaksud tidak ditemukan adanya Perjanjian Salemo I, namun dalam berbagai catatan atau sumber lokal, banyak yang menyebutkan tentang adanya perjanjian yang disebut sebagai perjanjian Salemo I. Perjanjian ini menurut lontarak Mandar dibuat ketika rombongan Pitu Babana Binanga pergi ke Gowa untuk membantu Sultan Hasanuddin berperang melawan Belanda bersama Arung Palakka, di tengah perjalanan, perahu yang mereka tumpangi berpisah dengan rombongan lainnya sehingga pada akhirnya rombongan mara’dia Balanipa terdampar di Pulau Salemo. Peristiwa terdamparnya perahu mara’dia Balanipa tersebut diketahui oleh Arung Palakka sehingga pergi menemuinya. Dari pertemuan tidak sengaja itulah terjadi perjanjian antara keduanya. Tapi sayang, perjanjian itu tidak dipenuhi karena dibatalkan secara sepihak oleh Mandar atas desakan anggota dewan Hadat Balanipa (Syah, 1992:83).

Tentang perihal dibatalkannya Perjanjian Salemo I, sebenarnya jauh lebih baik bagi Kerajaan Balanipa dibanding meneruskan untuk dituruti isinya.Terlebih lagi bagi mara’dia Balanipa dan anggota rombongannya. Coba bayangkan seandainya perjanjian Salemo tidak dibatalkan atas desakan seluruh anggota dewan hadat Balanipa, maka mara’dia Balanipa akan terkenal sebagai seorang penghianat, apalagi ia meninggal dunia dalam peperangan yang diikutinya itu. Bukan hanya ia pribadi akan tetapi termasuk anggota rombongannya akan dicap dan dikenal sebagai penghianat. I Daeng Mallari dan rombongannya gugur sebagai pahlawan dan menjadi tumbal untuk keselamatan Sultan Hasanuddin.

Perang Makassar adalah merupakan satu-satunya perang yang diikuti oleh Balanipa Mandar dan merupakan perang terbesar sepanjang sejarah yang pernah diikuti oleh Kerajaan Balanipa bersama sekutunya. Keikutsertaan Balanipa, Mandar secara keseluruhan dalam Perang Makassar itu, tidak dapat dipungkiri faktanya. I Daeng Mallari diberi gelar sebagai Todiposso Di Galesong yang artinya mara’dia yang gugur di Galesong, sedang Tomatindo di Buttu artinya mara’dia yang dimakamkan di Buttu atau gunung. Gelaran yang diberikan itu didasarkan pada fakta bahwa yang bersangkutan meninggal di Galesong dalam rangkaian Perang Makassar, lalu jenazahnya di bawa ke Balanipa dan dimakamkan di Buttu.

Kenyataan itulah yang mengilhami sebagian besar orang Mandar secara khusus menginginkan agar supaya I Daeng Mallari diusulkan untuk diberikan tanda jasa penghargaan dan penghormatan sebagai pahlawan nasional Republik Indonesia karena jasanya.Tidak satu pun orang Mandar yang menyangsikan perjuangan mereka dalam menghadapi bangsa Balanda dan Arung Palakka pada Perang Makassar itu. Sekiranya Sultan Hasanuddin masih hidup, niscaya beliau juga akan membantu I Daeng Mallari agar dapat memperoleh gelar pahlawan nasional. Keinginan masyarakat seperti itu, sangat beralasan karena jasa dan pengorbanan beliau sungguh luar biasa, meskipun sebenarnya yang bersangkutan tidak tahu sebab sudah meninggal dalam peperangan.

Perjanjian antara Kerajaan Balanipa bersama sekutunya dengan pemerintah Belanda yang terjadi pada abad ke-17, adalah pada masa pemerintahan mara’dia I Daeng Mallari Todiparra atau Todiposso di Galesong atau Tomatindo di Buttu dan I Magga Daeng Rioso Tomatindo di Marica. Kedua perjanjian ini lahir dan dilatari dengan sebuah perang antara keduanya. Perjanjian Salemo yang pertama dilatari oleh keinginan Arung Palakka mengajak Mandar di bawah pemerintahan I Daeng Mallari Todiposso di Galesong agar bersama-sama menyerang Kerajaan Gowa di bawah

(14)

pemerintahan Sultan Hasanuddin. Perjanjian inilah yang kemudian disebut sebagai Perjanjian Salemo yang pertama.

Ajakan kerjasama oleh Arung Palakka untuk menyerang Kerajaan Gowa, awalnya diterima baik oleh I Daeng Mallari.Tetapi ketika hal itu sudah diputuskan, lalu disampaikan kepada anggota dewan adat, hal itu ditolak oleh anggota dewan adat Kerajaan Balanipa. Pertentangan hebat terjadi antara pihak I Daeng Mallari dengan anggota hadatnya.I Daeng Mallari tetap berkeinginan untuk melanjutkan kerjasama itu, namun pihak anggota dewan adat juga ngotot tidak menyetujuinya. Bagi Mara’dia Balanipa I Daeng Mallari, membatalkan sepihak perjanjian itu adalah merupakan suatu hal yang tabu dilakukan oleh seorang pemimpin.

Anggota dewan adat juga tetap pada pendiriannya dengan berpatokan pada adat dan kebiasaan orang Mandar yaitu, pantang menjilat ludah yang sudah dimuntahkan.Oleh sebab itu, anggota dewan adat mengeluarkan ultimatum bagi mara’dia Balanipa agar membatalkan perjanjiannya yang telah dibuat dengan Arung Palakka.Anggota Dewan Adat Kerajaan Balanipa menyatakan bahwa lebih baik negara hancur lalu pimpinannya diturunkan daripada kita mengingkari suatu perjanjian seperti yang dilakukan oleh mara’dia.Sebab awal rencana hingga kehadiran kita di Gowa, tujuannya adalah untuk membantu Sultan Hasanuddin melawan Belanda dan Arung Palakka.

Seandainya I Daeng Mallari Todiposso di Galesong tidak mau merubah pendiriannya untuk bekerjasama dengan Arung Palakka dan Belanda, maka anggota Dewan Adat akan mengambil tindakan tegas dengan memecat mara’dia Balanipa. Keputusan itu akan diambil karena mara’dia dianggap sudah melanggar janji dan sumpah sebagai seorang mara’dia. Seorang pemimpin bagi orang-orang Mandar dianggap sebagai personafikasi dengan Yang Kuasa sehingga semua kata dan laku perbuatan harus sesuai. Dalam kasus ini, mara’dia dianggap tidak lagi mencerminkan sebagai seorang pemimpin

yang dapat memberikan contoh dan teladan serta dapat mengayomi masyarakat (Wawancara Puang Aco, Tinambung 2016).

Terdapat sejumlah alasan yang dipikirkan oleh mara’dia Balanipa sehingga ia membuat perjanjian dengan Arung Palakka untuk bersama melawan Kerajaan Gowa yang diperintah Sultan Hasanuddin. Diantaranya adalah dengan melihat kekuatan gabungan yang dimiliki oleh Arung Palakka sangatlah besar jumlahnya yang disertai dengan persenjataan yang lengkap dan kuat. Sementara apa yang dimiliki oleh Kerajaan Gowa dan sekutunya hanyalah berupa tenaga dan semangat kepercayaan diri, sedang kekuatan persenjataan yang dimiliki tidak seimbang dengan yang dimiliki oleh Arung Palakka dan Belanda, disadari atau tidak itulah kenyataannya.

Melihat kekuatan yang tidak seimbang tersebut, secara politik harus dipertimbangkan hal-hal yang menguntungkan, baik bagi kerajaan dan masyarakat maupun untuk diri sendiri. Hal baik bagi kerajaan jika dilakukan kerjasama sebelum terjadi perang adalah jika Kerajaan Gowa bersama sekutunya kalah pada perang yang akan terjadi, maka Kerajaan Balanipa dan masyarakat Mandar akan terselamatkan dari amukan Belanda dan Arung Palakka. Juga kedudukannya sebagai mara’dia Balanipa akan tetap aman, meski juga ada rezikonya yaitu ia akan dicap sebagai penghianat, setidaknya bagi keluarga atau keturunannya.

Meski berbagai pertimbangan diambil sebelum kerjasama diputuskan antara keduanya, namun karena tekanan luar biasa dari anggota dewan adat, akhirnya keputusan itu dianulir sendiri oleh mara’dia Balanipa dan kembali kepada tujuan semula, yaitu datang untuk membantu Kerajaan Gowa melawan Belanda bersama Arung Palakka. Keputusan sepihak yang diambil oleh mara’dia Balanipa untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakati antara dia dan Arung Palakka itu, menyebabkan Arung Palakka merasa sangat tersinggung dan dihianati.

Kekesalan dan kemarahan Arung Palakka itu sangat beralasan sebab perbuatan mara’dia

(15)

Balanipa dianggap sudah keterlaluan yang telah mengingkari perjanjian. Kemarahan itu ditumpahkan ketika kemudian terjadi perang antara kedua pihak, sasaran utama Arung Palakka dalam perang itu hanyalah mara’dia Balanipa. Ia ingin memberikan hukuman setimpal bagi dia, yaitu harus mati. Perang yang terjadi itu, menjadikan pasukan Mandar, termasuk mara’dia Balanipa meninggal sebagai tumbal, yang tersisa hanya seorang anak kecil berusia kira-kira 12 tahun. Anak inilah yang kemudian kembali ke Balanipa menggantikan posisi ayahandanya sebagai mara’dia Balanipa.

Berbeda dengan Perjanjian Salemo kedua, lahir karena dilatari oleh peristiwa pengejaran terhadap Todani Arung Bakke yang juga raja pada lima kerajaan di wilayah Ajatappareng. Mengapa ia dikejar oleh Arung Palakka hingga ia melarikan diri ke daerah Mandar (Balanipa), padahal ia adalah saudara ipar Arung Palakka sendiri. Persoalannya karena Todani Arung Bakke dianggap telah melangkahi wewenang Arung Palakka sebagai raja Bone.Todani Arung Bakke sering mengadakan hubungan langsung dengan pemerintah Belanda di Benteng Ford Rotterdam tanpa sepengetahuan dengan Arung Palakka.Padahal setiap orang yang ingin menghadap pemerintah Belanda di Ford Rotterdam harus seizin dengan Arung Palakka sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Belanda.

Bukan hanya persoalan di atas yang melandasi pertentangan antara Arung Palakka dan Arung Bakke, tetapi juga termasuk persoalan suksesi di Kerajaan Bone kelak jika Arung Palakka turun tahta atau meninggal dunia sebab ia tidak mempunyai keturunan. Itulah sebabnya Arung Palakka mengumumkan lebih cepat bahwa yang akan menggantikan posisinya kelak adalah kemanakannya sendiri yang bernama La Patau (Andaya, 2013: 278). Beliau sadar bahwa pengumuman itu akan memicu pertentangan antara dia dan Todani, sebab Todani Arung Bakke dicurigai berambisi untuk menggantikan dirinya menjadi penguasa di Bone. Keretakan hubungan antara keduanya lebih diperparah

oleh retaknya hubungan Todani dengan isterinya yang juga adalah saudara Arung Palakka. Selain itu, karena Todani Arung Bakke mempunyai hubungan baik dengan Belanda yang melebihi hubungan Arung Palakka.

Itulah sebabnya Todani Arung Bakke melarikan diri ke Balanipa, Mandar untuk meminta perlindungan dan bantuan dari mara’dia Balanipa. Permintaan itu sulit dipenuhi oleh Kerajaan Balanipa dan sekutunya karena takut akan murka Arung Palakka. Dan ketika Arung Palakka mengetahui bahwa yang bersangkutan melarikan diri ke Mandar, maka ia meminta kepada mara’dia Balanipa agar segera menyerahkan Todani Arung Bakke kepada Arung Palakka. Todani Arung Bakke kemudian diantar ke Makassar oleh orang Mandar, namun sebelum tiba di Bontoala, rombongan Todani dan orang Mandar terlebih dahulu singgah di Pulau Salemo untuk istirahat. Ternyata di pulau itu, pasukan Arung Palakka sudah menunggunya sehingga terjadi perang atau perkelahian antara keduanya. Todani Arung Bakke dapat dikalahkan dan ditangkap lalu dibunuh pada 11 Februari 1681, (Lontarak Akkarungeng Sawitto: 19), termasuk satu anaknya yang bernama Daeng Memang.

Sebagai bukti bahwa Todani Arung Bakke sudah terbunuh, maka kepala beliau lalu dibawa kepada Arung Palakka di Bontoala. Setelah Arung Palakka menyaksikan kepala Todani Arung Bakke, maka ia berkata: “Kuburkan beliau selayaknya”. Terbunuhnya Todani Arung Bakke tersebut, Balanipa dianggap telah berjasa sebab dialah yang membawa beliau ke Salemo. Sebenarnya bukan tujuan orang Balanipa mengantar Todani ke Pulau Salemo, tetapi hanya ke Makassar untuk meminta perlindungan Belanda.Karena sesuatu hal maka rombongan mereka singgah di Pulau Salemo.Ternyata di pulau itu sudah ditunggu oleh pasukan Arung Palakka pimpinan Tobutu (Syarifuddin, 1998:349).

Pasca terbunuhnya Todani Arung Bakke, maka diadakanlah pertemuan di pulau itu untuk membuat suatu perjanjian antara orang Bone

(16)

dengan orang Mandar.Perjanjian ini sebenarnya merupakan suatu balas jasa terhadap Kerajaan Balanipa yang telah mengantarkan Todani Arung Bakke ke Pulau Salemo yang akhirnya tertangkap kemudian dicekik lehernya hingga meninggal dunia. Persoalan siapa yang membunuh Arung Bakke, terdapat dua pendapat yaitu; dibunuh langsung oleh Arung Palakka dan dibunuh oleh salah seorang pimpinan pasukannya yang bernama Tobutu(Kila, 2014:128dan Hamid, 2007:177). Fakta yang tidak dapat dipertentangkanadalah Todani meninggal dunia di Pulau Salemo (Latief, 2012:145).

Perjanjian Salemo ke-2 inilah, maka lahir ungkapan yang menyatakan:” Bone di barat, Mandar di Timur, Mandar di barat Bone di timur”. Selanjutnya, Arung Palakka menekankan bahwa: Barang siapa mengatakan Bone dan Mandar berselisih, kita cari lalu kita bunuh walaupun hanya dalam mimpinya. Juga walau pun dalam kegelapan ia berkata bahwa Bone dan Mandar berselisih, kita bedah dan kita bunuh. Selain itu, juga dikatakan bahwa jika orang Bone ke Mandar, maka orang Mandarlah ia, jika orang Mandar ke Bone, maka orang Bonelah ia. Karena kita masseajing senraja (sekerabat yang sama besar) antara Bone dengan negeri Mandar.

PENUTUP

Penjelasan-penjelasan menyangkut perjanjian-perjanjian yang telah dibuat Kerajaan Balanipa Mandar dengan Kerajaan Gowa abad ke-16 adalah merupakan perjanjian untuk pertama kalinya. Sedang tiga di antaranya yang dibuat pada abad ke-17 disebut sebagai Perjanjian Lanrisang (1674) dan Perjanjian Salemo satu (1667) dan Salemo II (1681). Perjanjian Lanrisang dibuat setelah usai Kerajaan Gowa ditaklukkan oleh Belanda dan Arung Palakka dalam Perang Makassar.Pada perang ini, sebenarnya Arung Palakka memberikan hukuman kepada Kerajaan Balanipa karena tidak mau menyerah dan mengakui kekuasaan Belanda dan Arung Palakka atas Sulawesi Selatan, meskipun Perjanjian Bungaya sudah ditandatangani.

Sementara Perjanjian Salemo satu dibuat sebelum berakhirnya Perang Makassar antara mara’dia Balanipa dengan Arung Palakka. Perjanjian ini berisikan persetujuan antara keduanya untuk melakukan kerjasama dalam melawan Kerajaan Gowa. Awalnya terjadi persetujuan, namun setelah mara’dia Balanipa menyampaikan kepada anggota hadatnya, hal itu tidak disetujui. Dengan berat hati, mara’dia Balanipa membatalkan perjanjian secara sepihak dengan Arung Palakka. Alasan penolakan dewan hadat Kerajaan Balanipa karena kedatangannya ke Gowa adalah untuk membantu Sultan Hasanuddin melawan Belanda dan Arung Palakka, bukan sebaliknya.

Atas pembatalan itu, Arung Palakka sangat kecewa dan marah. Ketika perang sudah berlangsung, sasaran utama Arung Palakka adalah mara’dia Balanipa. Arung Palakka harus memberikan hukuman mati kepada mara’dia Balanipa untuk menebus kesalahannya. Hal itu terbukti sesuai perjanjian mereka berdua, yaitu mara’dia Balanipa bersumpah bahwa biarlah ia mati dengan peluru senjata dari Arung Palakka.Mara’dia Balanipa tewas dalam perang itu di perairan Galesong sehingga kemudian diberi gelar anumerta Todiparra (Todiposso) di Galesong. Jenazahnya dikubur di atas sebuah bukit atau gunung, maka digelar tomatindo di Buttu, artinya yang dikuburkan di atas gunung.

Perjanjian Salemo II dibuat antara Kerajaan Balanipa dengan Kerajaan Bone. Perjanjian ini berbeda dengan kedua perjanjian di atas, sebab perjanjian ini dibuat pasca terbunuhnya Todani Arung Bakke oleh pihak Kerajaan Bone. Sebenarnya yang mempunyai hubungan langsung dengan peristiwa ini bukan Kerajaan Balanipa melainkan Kerajaan Bone (Arung Palakka) dengan Todani Arung Bakke, raja pada lima kerajaan di wilayah Ajatappareng pada masa yang bersamaan. Kerajaan Balanipa hanya dianggap berjasa kepada Arung Palakka karena telah mengantar Todani Arung Bakke ke Pulau Salemo hingga dapat ditangkap oleh pihak Arung Palakka, lalu ia dicekik hingga mati.

(17)

Todani Arung Bakke dianggap sebagai musuh oleh Arung Palakka karena persoalan ia sering berhubungan langsung dengan pemerintah Belanda di Ford Rotterdam. Todani juga dicurigai untuk menggantikan posisinya sebagai raja Bone jika ia turun tahta atau meninggal dunia karena ia tidak memiliki keturunan. Juga karena retaknya hubungan antara Todani Arung Bakke dengan isterinya yang merupakan saudara kandung Arung Palakka, dan ia sendiri yang mengawinkannya. Selain itu, karena Todani Arung Bakke juga mengklaim wilayah Letta dan Enrekang sebagai wilayah kekuasaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Andaya, Leonard Y. 2013. Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Makassar: Ininnawa.

Hamid, Abu,dkk. 2007. Sejarah Bone. Watampone: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone, Provinsi Sulawqesi Selatan.

Kila, Syahrir.2014. Ironi Sang Pembebas; Arung Palakka versus Todani Arung Bakke. Makassar: Refleksi.

Kila, Syahrir.2015. “ Hubungan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Balanipa”, dalam Jurnal Sejarah dan Budaya Walasuji. Volume 6, Nomor 2.Desember 2015.

Latief, Abd.2012.” Konfederasi Ajatappareng 1812-1906: Sejarah Sosiopolitik Orang Bugis di Sulawesi Selatan”. Bangi: Desertasi pada Fakultas Sosial dan Kemanusiaan, Universitas Kebangsaan Malaysia.

Leyds. 1940. Memori Serah Terima Jabatan. Makassar: Yayasan Kaitupa.

Lontara’ Akkarungeng Sawitto. Lontara’ Mandar, Milik Ledang.

Syah, 1992. Lontarak Pattodioloang Mandar, Jilid I. Ujung Pandang: Yayasan Taruna Remaja.

Syah, 1993.Lontarak Pattodioloang Mandar, Jilid II.Ujung Pandang: Yayasan Taruna Remaja.

Patunru, Abd.Razak Daeng. 1969. Sejarah Gowa. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara.

Poelinggomang, Edward, 2015.Sejarah Mandar; Masa Kerajaan Hingga Sulawesi Barat. Solo: Sadahaniva.

Sinrang, Syaiful. 1994. Mengenal Mandar Sekilas Lintas. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Mandar Rewata Rio.

Syarifuffin, Amir. 1998. Perjanjian antar Kerajaan Menurut Lontarak.Makassar: Disertasi Fakultas Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Pada metode Indeks Pencemaran (IP) kualitas air tanah di Kecamatan Maduran yang digunakan dalam penilaian adalah parameter Suhu Kekeruhan,. Total Dissolved Solid

e) Penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan bukti/data yang telah diinventarisir dalam penjajakan awal dan berdasarkan prinsip perdamaian, sebagai landasan hukum

dari kegiatan pembelajaran. e) Terbuka, berarti baik itu prosedur penilaian, ataupun kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan,bila diperlukan dapat diketahui

A Comparative Study between Think-Pair-Share and Direct Instruction Method in Teaching Speaking (An Experimental Research at the 11 th Grade of Senior High School 4 Surakarta

Manfaat pensiun adalah pembayaran berkala yang dilakukan oleh dana pensiun kepada peserta program yang telah mencapai usia pensiun dalam jangka panjang untuk menghadapi risiko

Suatu kegiatan dalam rekayasa kebutuhan untuk memastikan bahwa kebutuhan yang telah didefinisikan telah benar sesuai dengan apa yang dibutuhkan pengguna adalah bagian

Umumnya beberapa atribut yang diteliti adalah asal bahan logam yang digunakan dan proses mendapatkannya, teknik yang digunakan dalam pengerjaan sebuah artefak logam, dan tipologi

Dividen kas ialah dividen yang diberikan oleh perusahaan kepada para pemegang sahamnya dalam bentuk uang tunai (cash). Pada waktu rapat pemegang saham, perusahaan