• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Pengertian Wakaf dan Tanah wakaf

a. Pengertian Wakaf

Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, ialah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagain harta benda untuk dimanfaat selamanya atau dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.

Kata wakaf atau waqf berasal dari bahasa Arab, yaitu Waqafa berarti menahan atau berhenti atau berdiam di tempat atau tetap berdiri. Wakaf dalam Kamus Istilah Fiqih adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberi manfaat bagi masyarakat (Mujieb, 2002:414).Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Wakaf menurut hukum Islam dapat juga berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun berupa badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syari’at Islam (M. Zein, 2004:425).

Wakaf adalah suatu lembaga sosial Islam yang lazim dipahami dengan menahan sesuatu benda untuk diambil manfaatnya dan dilembagakan guna kepentingan umum. Ada tiga sumber pengetahuan yang harus dikaji untuk memahami lembaga ini yaitu, ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits serta ijtihad para mujtahid,

(2)

peraturan perundang-undangan baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda maupun yang dkeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, wakaf yang tumbuh dalam masyarakat(Nur Fadhilla, 2011:77).

Dari definisi tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, misalnya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.

b. Pengertian Tanah wakaf

Tanah wakaf adalah suatu hak atas tanah yang diperoleh dari seseorang atau badan hukum (wakif) yang diperuntukkan/digunakan untuk peribadatan atau kepentingan umum (masyarakat banyak), bukan untuk kepentingan pribadi, sesuai dengan peruntukkannya atau tujuan wakaf. Sedangkan tanah yang dapat di wakafkan, adalah tanah yang berstatus tanah milik, karena ia mempunyai sifat terkuat dan terpenuh bagi si empunya tanah. Oleh karena itu apabila tanah tersebut diwakafkan, maka tidak menimbulkan akibat yang dapat menggangu sifat kekekalan dan keabadian kelembagaan tanah wakaf itu sendiri.

Tanah wakaf adalah tanah hak milik yang sudah diwakafkan. Menurut Boedi Harsono, perwakafan tanah hak milik merupakan suatu perbuatan hukum yang suci, mulia dan terpuji yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, dengan memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya menjadi wakaf sosial (Budi Harsono,2005:272). Wakaf Sosial adalah wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan peribadatan atau kepentingan lainya sesuai dengan ajaran agama islam.Pengertian wakaf menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) PP 28/1977 adalah sebagai berikut:

(3)

wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaanya yang berupa tanah milik dan melembagakanya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainya sesuai dengan ajaran agama Islam”

2. Peraturan dan Pengelolaan Wakaf di Indonesia

Pengaturan wakaf di Indonesia sebelum kedatangan kaum penjajah dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari kitab fikih bermazhab syafi’i. Oleh karena masalah wakaf ini sangat erat kaitannya dengan masalah sosial dan adat di Indonesia, maka pelaksanaan wakaf itu disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku di Indonesia, dengan tidak mengurangi nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam wakaf itu sendiri(Abdul Manan,2006:249-250).

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Agraria telah memperkokoh eksistensi wakaf di Indonesia. Dalam pasal 49 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya dapat diberi tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai, perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah. Untuk memberi kejelasan hukum tentang wakaf dan sebagai realisasi dari undang-undang ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Dalam PP ini dikemukakan bahwa wakaf adalah suatu bentuk keagamaan yang dapat digunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Lahirnya PP ini disebabkan karena peraturan yang lama tentang pengaturan wakaf dianggap belum memadai dan belum memenuhi kebutuhan tentang tata cara pengaturan wakaf di Indonesia.

Sejak berlakunya PP Nomor 28 Tahun1977 ini, sepanjang UU bertentangan dengan PP ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan hal-hal yang belum diatur, akan diatur lebih lanjut Menteri Agama dan Menteri

(4)

Dalam Negeri sesuai dengan bidang wewenang dan tugas masing-masing. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Departemen Agama sehubungan dengan tebitnya PP Nomor 28 tahun 1977 ini antara lain (Abdul Manan,2006:251-252):

a. Mendata seluruh tanah wakaf hak milikdiseluruh wilayah tanah air guna menetukan tolak ukur pengelolaan, pemberdayaan dan pembinaannya; b. Memberikan sertifikat tanah wakaf yang belum disertifikasi dan

memberikan advokasi terhadap tanah wakaf yang bermasalah.

Menurut data yang dimiliki oleh Departemen Agama, pelaksanaan wakaf di Indonesia sampai tahun 1989 masih didominasi pada penggunaan untuk tempat-tempat ibadah seperti mesjid, pondok pesantren, mushola dan keperluan ibadah lainnya(Adijani al-Alabij, 1989:200). Sedangkan penggunaan pemanfaatan untuk peningkatan kesejahteraan umum dalam bidang ekonomi masih sangat minim, bukan tanah-tanah produktif yang dapat mendatangkan keejahteraan umat. Menyadari tentang kekurangan ini, Departemen Agama beserta Majelis Ulama, dan pihak terkait lainnya telah berupaya memperdayakan tanah-tanah tersebut dari pengelolaan tradisional konsumtif menjadi profesional produktif dengan cara penyuluhan hukum wakaf kepada masyarakat, menyusun RUU tentang wakaf yang sesuai dengan perkembangan masa kini dan mewujudkan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga yang mengelola wakaf secara nasional.

Pada tanggal 27 Oktober 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 159. Dalam UU ini diatur hal penting tentang pengembangan wakaf, terutama tentang masalah nadir, harta benda yang diwakafkan, peruntukan harta wakaf, serta perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia dan juga tentang wakaf tunai dan produktif.dalam UU ini, benda wakaf tidak hanya benda tidak bergerak saja, tetapi juga termasuk benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan lain-lain sesuai dengan ketentuan syariat Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5)

Dalam penjelasan umum UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dijelaskan bahwa salah satu langkah stategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syari’ah.

Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.

Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional, maka perlu dibentuk UU wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syari’ah dicantumkan kembali dalam UU ini, namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru.

Salah satu pertimbangan dikeluarkan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf adalah perlu ditingkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomis yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Supaya hal ini dapat berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan maka perlu menggali dan mengembangkan potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis.

(6)

Pemberdayaan dan pengembangan wakaf produktif merupakan hal yang baru dalam perkembangan wakaf di Indonesia. Agar hal ini dapat terlaksana dengan baik, maka diperlukan organisasi pengelola wakaf yang mampu menjalin kemitraan dengan lembaga lain yang peduli terhadap dunia wakaf. Selama ini terlihat pemberdayaan dan pengembangan wakaf mengalami banyak hambatan dan rintangan, terutama dalam hal pengelolaan wakaf yang tidak produktif sehingga kurang dirasakan manfaatnya kepada masyarakat yang memerlukannya. Oleh karena itu pemberdayaan pemberdayaan dan pengembangan wakaf harus diarahkan kepada wakaf produktif melalui manajemen yang sesuai dengan syariat Islam dengan menggerakkan seluruh potensi yang terkait. Organisasi wakaf yang dikembangkan dalam PP saat ini harus merespon segala persoalam yang dihadapi masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Persoalan masyarakat yang paling mendasar adalah kemiskinan, yang mempunyai dampak kepada masalah lain seperti kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan HAM pada umumnya.

Sehubungan dengan hal tersebut d atas, maka perlu mengubah pola pikir masyarakat tentang pemahaman wakaf yang saat ini lebih terfokus kepada hal yang konsumtif seperti untuk kepentingan pembangunan sarana dan prasarana ibadah, misalnya mesjid, mushola, madrasah, majelis taklim, yayasan yatim piatu, kuburan dan sebagainya. Pemahaman wakaf saat ini harus berorientasi kepada wakaf produktif, tidak hanya untuk kepentingan peribadatan tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan masyarakat seperti pembangunan perumahan, perkantoran, pasar swalayan, industri, penanaman bibit unggul, perikanan, dan sebagainya yang hasilnya digunakan untuk kepentingan masyarakat dalam menuntaskan kemiskinan.

UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf telah mengakomodir segala hal yang berhubungan tentang wakaf menuju kepada wakaf produktif. PP ini telah mempersiapkan seluruh potensi wakaf yang ada di tanah air secara produktif bersamaan dengan lajunya perubahan struktur masyarakat modern yang lebih banyak bertumpu pada sektor industri. Wakaf harus dikembangkan

(7)

secara optimal dengan pengelolaan profesional produktif untuk mencapai hasil yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Langkah awal dalam melaksanakan wakaf produktif ini adalah dengan menghilangkan segala kendala yang dihadapi selama ini dalam mengelola wakaf terutama tidak produktifnya harta benda wakaf nadir yang kurang profesional dan administrasi pengelola wakaf yang tidak tertib. Semua harta wakaf yang mempunyai nilai komersial yang tinggi harus ditata kembali dan hasilnya disalurkan untuk kesejahteraan masyarakat.

3. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Harta Wakaf

Fungsi dan tugas Pemerintah dalam bidang wakaf adalah untuk memajukan dunia perwakafan di Indonesia, pemerintah melalui Departemen Agama berupaya menjalankan fungsi dan Redengan tuntutan perkembangan masyarakat.Langkah-langkah operasianal antara lain (Suhrawardi K Lubis,2004:181-183):

a. Regulasi peraturan perundang-undangan wakaf

b. Sosialisasi peraturan perundang-undangan dan paradigma baru wakaf c. Sertifikasi, Inventarisasi dan advokasi harta benda wakaf

d. Peningkatan kualitas Nazhir dan lembaga wakaf

e. Memfasilitasi jalinan kemitraan investasi wakaf produktif f. Memfasilitasi terbentuknya badan wakaf Indonesia g. Bantuan proyek percontohan wakaf produktif

Berikut ini merupakan penjabaran lebih dalam tentang tanah wakaf di Indonesia

a. Syarat-syarat wakaf adalah (Mohammad Daud,1995:270-271):

1) Perwakafan benda itu tidak dibatasi untuk jangka tertentu saja, tetapi untuk selama-lamanya

2) Tujuannya harus jelas

3) Harus segera dilaksanakan ikrar wakaf dinyatakan oleh waqif tanpa menggantungkan pelaksanaanya pada waktu peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang

(8)

4) Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar wakaf yang dinyatakan oleh wakif berlaku seketika dan untuk selama-lamanya

Dilihat dari wujud wakaf di Indonesia dan kepentingan masyarakat di tanah air kita, perwakafan tanah tanah tampaknya mendapat perhatian utama.Oleh karena itu pula dalam Undang-undang Pokok Agraria (UU No.5/1960) diletakkan dasar-dasar pengaturan tanah wakaf di Indonesia, yang kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.28 Tahun 1977.Dalam PP ini disamping disebutkan pengertian wakaf sebagaimana disebutkan di atas, juga disebutkan fungsi wakaf.

Unsur wakaf ada 4 yaitu: a. Wakif

Menurut Peraturan Pemerintah wakif adalah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Wakif itu, jika ia orang atau orang-orang harus memenuhi syarat untuk melakukan tindakan hukum yakni:

1) Dewasa 2) Sehat akalnya

3) Tidak terhalang melakukan tindakan hukum karena dibawah perwakilan, ditahan atau sedang menjalani hukman

4) Atas kehendak sendiri mewakafkan tanahnya 5) Pemilik tanah bersangkutan

Badan hukum Indonesia yang dapat menjadi wakif, harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan Pemerintah N0.38 tahun 1963, yaitu badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, misalnya bank negara, koperasi.

b. Ikrar

Dalam hubungan ikrar ini, adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanahnya. Menurut PP No. 28 tahun 1977 dan peraturan pelaksanaanya, ikrar wakaf harus dinyatakan secara lisan, jelas, dan tegas kepada nadzir yang telah disahkan di harapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf “Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dan dua

(9)

orang saksi. Ikrar lisan ini kemudian harus dituangkan dalam bentuk tertulis.

Yang dapat dijadikan benda wakaf, adalah tanah hak milik yang bebas dari sgala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa wakaf adalah sesuatu yang bersifat suci dan abadi, juga agar tidak timbul masalah kemudian hari.

c. Tujuan Wakaf

Tidak disebut secara rinci dalam PP, hanya dinyatakan sepintas lalu dalam perumusan pengertian wakaf (Pasal 1) yang kemudian disebut dalam pasal 2 waktu menegaskan fungsi wakaf. Menurut PP itu, tujuan perwakafan tanah milik adalah untuk kepentingan peribadidataan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam.

d. Nadzir

Nadzir adalah sekelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurus benda wakaf Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir perorangan, yaitu:

1) WNI

2) Beragama islam 3) Sudah dewasa

4) Sehat jasmani dan rohani

5) Tidak berada dibawah pengampunan

6) Bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah itu di wakafkan.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nadzir badan hukum adalah:

1) Badan hukum indonesia, berkedudukan di indonesia.

2) Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tanah itu diwakafkan 3) Sudah disahkan oleh menteri kehakiman dan dimuat dalam berita

negara

4) Jelas tujuan dan usahanya untuk kepentingan peribadidataan dan keperluan umum lainnya.

(10)

Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya (sebagai calon wakif) diharuskan datang sendiri di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan Ikrar Wakaf. b. Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu menyerahkan

kepada PPAIW,

c. PPAIW meneliiti surat-surat dan syarat-syarat, apakh sudah memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nadzir.

d. Di hadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan atau mengucapkan kehendak wakaf itu kepada nadzir yang telah disahkan. Ikrar wakaf tersebut diucapkan dengan jelas, tegas dan dituangkan dalam bentuk tertulis (ikrar wakaf bentuk W.1). Sedangkan bagi yang tidak bisa mengucapkan (misalnya bisu) maka dapat menyatakan kehendaknya dengan suatu isyarat dan kemudian mengisi blanko dengan bentuk W.1. Apabila wakif itu sendiri tidak dapat menghadap (PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan kemudian surat atau naskah tersebut dibacakan dihadapan nadzir setelah mendapat persetujuan dari Kandepag dan semua yang hadir dalam upacara ikrar wakaf tersebut ikut menandatangani Ikrar Wakaf (bentuk W.1).

e. PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2) rangkap empat dengan dibubuhi materi menurut ketentuan yang berlaku dan selanjutnya, selambat-lambatnya satu bulan dibuat ikrar wakaf, tiap-tiap lembar harus telah dikirim dengan pengaturan pendistribusiannya.

(11)

4. Pengertian Pendaftaran Tanah

Dalam pasal 1 angka 1 PP No.24 tahun 1997 disebutkan bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Didalam pendaftaran tanah yang dimaksud rangkaian kegiatan pendaftaran tanah adalah pendaftaran dalam bidang data fisik yakni mengenai tanahnya itu sendiri seperti lokasinya, batas-batasnya, luas bangunan atau benda lain yang ada diatasnya. Data yuridis mengenai haknya yakni haknya apa, siapa pemegang haknya, ada atau tidak adanya hak pihak lain. Setiap ada pengurangan, perubahan, atau penambahan maka harus dilakukan pendaftaran ulang, yang akan membuat sertifikat tersebut mengalami perubahan, misalnya perubahan tipe rumah.

The major instutional weaknesses pertaining to property right in transition countries are the absence of property adjudication and land market institutions. One of the main functions of privatization is to stimulate the buying, selling, leasing, mortgaging, and inheriting of land (the land market). Yet such markets require institutional support and guidance that does not exist, since market mechanism were not supported in the previous regimes. The clarification of property rights and the resolution of conflicts also have no institutional home in the transition countries, as problems of this kind were not recognized in the socialist system(Barnes Standfield Barthel, 2000:35)

yang dimaksud rangkaian kegiatan pendaftaran tanah adalah pendaftaran dalam bidang data fisik yakni mengenai tanahnya itu

(12)

sendiri seperti lokasinya, batas-batasnya, luas bangunan atau benda lain yang ada diatasnya. Berikutnya adalah data yuridis mengenai haknya yakni haknya apa, siapa pemegang haknya, ada atau tidak adanya hak pihak lain. Sementara terus-menerus artinya Setiap ada pengurangan, perubahan, atau penambahan maka harus dilakukan pendaftaran ulang, yang akan membuat sertifikat tersebut mengalami perubahan, misalnya perubahan tipe rumah.

5. Asas-Asas Pendaftaran Tanah

Di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 Pendaftaran tanah dilaksanakan dengan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan terbuka.

a. Sederhana dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokok maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

b. Aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

c. Terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengen memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.

d. Mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan data. e. Terbuka dimaksudkan dokumen-dokumen atau data-data baik fisik

atau yuridis bersifat terbuka dan boleh diketahui oleh masyarakat. Asas ini bertujuan agar bila ada hal-hal yang menyimpang atau disembunyikan dapat diketahui.

(13)

Salah satu tujuan pokok diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah untuk mewujudkan kepastian hak milik atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia(Urip Santoso,2010:2). Dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :

a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. b. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :

1) Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.

2) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

3) Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.

Pendaftaran yang dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan :

(14)

Ayat (1) : Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.

Ayat (2) : Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

b. Pasal 32 UUPA :

Ayat (1) : Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA

Ayat (2) : Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

c. Pasal 38 UUPA :

Ayat (1) : Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.Ayat 2 : Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya.

Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.

(15)

7. Tujuan Pendaftaran Tanah

Usaha yang menuju kearah kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan-ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UUPA disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat Rech Kadaster artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan di selenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang melekat di atas tanah tersebut.

Menurut A.P Parlindungan disebutkan tujuan pendaftaran ialah (A.P. Parlindungan; 1990 : 6):

a. Kepastian hak seseorang

Maksudnya dengan suatu pendaftaran, maka hak seseorang itu menjadi jelas misalnya apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak- hak lainnya.

b. Pengelakkan suatu sengketa perbatasan

Apabila sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang sudah didaftar, maka dapat dihindari terjadinya sengketa tentang perbatasannya, karena dengan didaftarnya tanah tersebut, maka telah diketaui berapa luasnya serta batas – batasnya.

c. Penetapan suatu perpajakan

Dengan diketahuinya berapa luas sebidang tanah, maka berdasarkan hal tersebut dapat ditetapkan besar pajak yang harus dibayar oleh seseorang. Dalam lingkup yang lebih luas dapat

(16)

dikatakan pendaftaran itu selain memberi informasi mengenai suatu bidang tanah, baik penggunaannya, pemanfaatannya, maupun informasi mengenai untuk apa tanah itu sebaiknya dipergunakan, demikian pula informasi mengenai kemampuan apa yang terkandung di dalamnya dan demikian pula informasi mengenai bangunannya sendiri, harga bangunan dan tanahnya, dan pajak yang ditetapkan.Untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti tersebut di atas, maka untuk itu UUPA melalui pasal-pasal pendaftaran tanah menyatakan bahwa pendaftaran itu diwajibkan bagi pemegang hak yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dijelaskan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah tersebut adalah sebagai berikut:

1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mcngadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

8. Penyelesaian Sengketa Tanah

Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis.Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang

(17)

membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan.Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat.

Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis.

a. Kasus Pertanahan

Kasus pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional, secara garis besar dikelompokkan menjadi :

1) Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu. 2) Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan

mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas.

3) Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan.

4) Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.

(18)

5) Sertipikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertipikat hak atas tanah lebih dari 1.

6) Sertipikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidangtanah tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah pengganti. 7) Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau

pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya Akta Jual Beli palsu.

8) Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang salah.

9) Perbedaan Pendapat, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.

10) Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.

b. Kriteria Penyelesaian Kasus Pertanahan

Kasus pertanahan yang terdapat dalam basis data BPN RI merupakan kasus-kasus lama maupun kasus-kasus baru yang timbul sebagai implikasi kasus-kasus lama. Setelah dilakukan identifikasi terhadap kasus-kasus tersebut, diperoleh informasi bahwa tipologi kasus kasus tersebut tidak dapat dilakukan generalisasi dalam melakukan upaya penanganan kasusnya. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam upaya penyelesaiannya dikategorikan dalam beberapa kriteria sebagai berikut:

(19)

1) Kriteria 1 (K1) : penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa.

2) Kriteria 2 (K2) : penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

3) Kriteria 3 (K3) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain disetujui oleh pihak yang bersengketa.

4) Kriteria 4 (K4) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan. 5) Kriteria 5 (K5) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus

Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.

(20)

B. Kerangka Pemikiran

1.Gambar Kerangka Pemikiran 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-undang No. 5 Tahun

1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

4. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006

Sengketa Tanah Wakaf

Kantor Pertanahan Nasional Surakarta

Musyawarah ArbitraseMediasi

Pengadilan Agama Penyelesaian

Sengketa Tanah yang Tidak Didaftarkan

(21)

Keterangan:

Di dalam kerangka pemikiran tersebut penulis mencoba menggambarkan pola pikir yang tersusu secara sistematis agar dapat mencapai tujuan dan penelitian ini, yakni terkait masalah sengketa dan pendaftaran tanah wakaf.dijelaskan bahwa salah satu masalah di bidang Pertanahan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas Badan Pertanahan Nasionaldalam menyelesaikan senghketa perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik tersebut ditinjau dari sudut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah di ubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1994 Tentang Pendaftaran Tanah, dalam hal ini penulis menyebutnya sebagai premis mayor. Pada waktu yang lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah milik ia tidak diatur secara tuntas dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakekat dan tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya beraneka ragam bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum, dan lain-lain) dan tidak adanya keharusan untuk didaftarkannya Tanah-tanah yang diwakafkan, sehingga banyaklah tanah-tanah wakaf yang tidak diketahui lagi keadaannya karena tidak banyak tanah wakaf yang tidak didaftarakan. Malahan dapat terjadi, tanah-tanah yang diwakafkan itu seolah-olah sudah menjadi milik dari ahli waris pengurus(Nadzir) dan juga ada banyak kasus yang menyangkut hal tersebut contohnya di daerah sumber kota surakarta yang seorang ahli warisnya tidak terima atas tanah warisnya diwakafkan dalam hal ini penulis menyebutnya dengan premis minor.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 mengatur wakaf secara umum, artinya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tidak mengatur

(22)

secara khusus mengenai wakaf tanah hak milik, sehingga pelaksanaan wakaf tanah hak milik yang banyak terjadi di Indonesia tetap didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Di sinilah letak kekurangan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, walaupun tujuan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 untuk memberikan pengaturan tentang pelaksanaan wakaf, namun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 sendiri tidak mengatur secara khusus tentang wakaf tanah hak milik yang lebih banyak terjadi di Indonesia dibandingkan wakaf benda bergerak.

Adanya perkembangan lembaga perwakafan tanah milik yang berkembang di Indonesia mengilhami pembuat/perancang UUPA memasukkan salah satu pasal dalam UUPA yang mengatur khusus mengenai Perwakafan Tanah Milik ini, yaitu Pasal 49 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Hak milik tanah benda-benda keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi;

(2) Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai;

(3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kegunaan tanah wakaf adalah sebagaimana fungsi wakaf pada umumnya, yaitu untuk kemaslahatan umat, namun secara khusus Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur bahwa peruntukan tanah wakaf adalah tergantung pada ikrar wakaf yang dibuat.

(23)

Ikrar wakaf merupakan pengucapan suci yang diucapkan secara ikhlas untuk menyerahkan hartanya yang akan dipergunakan di jalan Allah. Oleh karena itu pihak yang akan memanfaatkan tanahnya harus melengkapi dengan surat-surat yang berkaitan dengan tanah tersebut. Hal tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yaitu sebagai berikut:

”Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat (1), pihak yang mewakafkan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada pejabat tersebut surat-surat berikut: (a) sertifikat hak milik atau bukti pemilikan tanah lainnya, (b) surat keterangan dari kepala desa yang diperkuat oleh kepala kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran kepemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu perkara, (c) surat keterangan pendaftaran tanah, (d) izin dari bupati/walikotamadya kepala daerah c.q. Kepala Subdirektorat Agararia setempat”.

Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 berikut penjelasannya di atas, tersirat bahwa Akta Ikrar Wakaf merupakan akta otentik yang dapat dipergunakan dalam penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. Dengan perkataan lain, Akta Ikrar Wakaf merupakan alat bukti atas pelaksanaan wakaf sekaligus menerangkan status tanah wakafnya.

Hal pokok yang sering menimbulkan permasalahan perwakafan dalam praktik adalah masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf.Pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasarkan pada rasa saling percaya. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila dikemudian hari terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf penyelesaiannya akan menemui kesulitan, khususnya dalam hal pembuktian.

(24)

Hal lain yang sering menimbulkan permasalahan dalam praktik wakaf di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir yang penggunaannya menyimpang dari akad wakaf.

Dalam praktik sering didengar dan dilihat adanya tanah wakaf yang diminta kembali oleh ahli waris wakif setelah wakif tersebut meninggal dunia.Kondisi ini pada dasarnya bukanlah masalah yang serius, karena apabila mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, wakaf dapat dilakukan untuk waktu tertentu, sehingga apabila waktu yang ditentukan telah terlampaui, wakaf dikembalikan lagi kepada ahli waris wakif.Namun khusus untuk wakaf tanah, ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah menghapuskan kepemilikan hak atas tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang diwakafkan tersebut tidak dapat diminta kembali.

Selanjutnya mengenai dikuasainya tanah wakaf oleh Nadzir secara turun temurun dan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ikrar wakaf, hal ini dikarekan kurangnya pengawasan dari instansi yang terkait.Ahli waris atau keturunan Nadzir beranggapan bahwa tanah tersebut milik Nadzir sehingga penggunaannya bebas sesuai kepentingan mereka sendiri.Hal ini akibat ketidaktahuan ahli waris Nadzir.

Mendasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa alasan atau penyebab terjadinya sengketa wakaf adalah belum tertampungnya pengaturan tentang tanah wakaf yang banyak terjadi di Indonesia pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf, dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir.

Dari paparan diatas dimulai dari fakta hukum yang dikaitkan dengan premis mayor dan kemudian diketahui premis minor Peran BPN dalam menyelesaikan Kasus sengketa tanah wakaf, penulis dapat

(25)

menarik kesimpulan mengenai pendaftaran tanah wakaf yang tidak didaftarakan.

Referensi

Dokumen terkait

Sasaran kegiatan yang dimaksud adalah Meningkatnya penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan NAPZA dengan 6 (enam) indikator kinerja, antara lain:

4 Demikian Addendum Dokumen Pengadaan ini dibuat dengan sebenarnya dan penuh rasa tanggung jawab dan Addendum ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

Penataan ruang harus dapat memudahkan siswa untuk meraih atau mengambil barang-barang yang dibutuhkan selama proses pembelajaran. Selain itu jarak antar tempat duduk

(3) Tatacara, pembatalan atau pengurangan ketetapan pajak dan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Gubernur atau

Data dalam penelitian ini terdiri dari data realisasi PAD, realisasi Total Pendapatan Daerah, realisasi Total Belanja Daerah, target PAD, realisasi

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih setiaNya, penulis dapat memenuhi kewajiban untuk menyelesaikan Buku Konsep

30 Bila orang tua membuat saya kesal, saya akan memberikan kritikan dengan kata-kata yang halus agar mereka tidak tersinggung. SS S

database dan bisa ditampilkan pada web serta mengirim pesan singkat ke handphone apabila salah satu phasa arus pada kWh meter ada yang hilang atau bocor. Pada