• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendanaan Kesehatan di Indonesia: Penyakit Kronis yang Berkomplikasi Kebodohan dan Kemiskinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendanaan Kesehatan di Indonesia: Penyakit Kronis yang Berkomplikasi Kebodohan dan Kemiskinan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Pendanaan Kesehatan di Indonesia: Penyakit

Kronis yang Berkomplikasi Kebodohan dan

Kemiskinan

Hasbullah Thabrany1

Pendahuluan

Fakta-fakta menunjukkan bahwa orang bodoh umumnya melihat kepentingan saat ini atau esok, mereka tidak memiliki horizon berfikir jangka panjang. Orang pandai atau terdidik biasanya memiliki horizon berfikir jangka panjang dan melihat kepentingan jangka panjang yang jauh ke depan. Kebanyakan orang Indonesia, harus diakui, tidak memiliki visi-misi jangka panjang yang jelas. Dalam konteks ini, penduduk Indonesia, secara umum termasuk yang berpendidikan rendah alias umumnya bodoh dan jangan heran kalau kebanyakan penduduk Indonesia baru mampu melihat kepentingan jangka pendek. Berbagai demonstrasi oleh mahasiswa dan bahkan tokoh masyarakat yang menolak kenaikan harga BBM, akibat kekeliruan nasional yang sudah berlangsung lama—yaitu mensubsidi harga bahan bakar minyak, yang secara ekonomis bukanlah komoditas yang pantas disubsidi, merupakan contoh nyata.

Banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa tingkat kecerdasan, kekayaan, dan kemakmuran suatu bangsa bukan dipengaruhi oleh usia negara itu atau ketersediaan sumber daya alam. Memang, usia dan ketersediaan sumber daya alam mempunyai sedikit peran, akan tetapi peran terpenting adalah mutu sumber daya manusia, bukan sumber daya alam, suatu negara. Banyak pihak yang tidak memahami dan tidak bertindak konsisten dengan kenyataan bahwa mutu sumber daya manusia sangat dipengaruhi oleh mutu gizi, kesehatan dan pendidikan di usia dini dan masa perumbuhan anak. Akibat ketidak-fahaman, banyak kebijakan diambil yang tidak menunjang perkuatan dasar atau ‘bahan baku’ sumber daya manusia. Banyak pemimpin negeri ini yang berbicara bahan

(2)

baku yang bagus (berkualitas tinggi) untuk industri, bibit unggul untuk tumbuhan atau ternak, akan tetapi sedikit yang memahami bahwa bahan baku sumber daya manusia di Indonesia sesungguhnya sangat rendah. Banyak pemimpin yang berupaya meningkatkan proses pembentukan sumber daya manusia dengan penekanan “pendidikan” yang berkualitas, tanpa menyadari bahwa bahan baku (‘manusia Indonesia’) yang diproses dalam “pabrik” fasilitas pendidikan adalah bahan baku yang kurang baik. Akibatnya, banyak dana dan fasilitas yang sudah disediakan dan didanai kurang memberikan hasil yang baik. Manusia Indonesia yang menjalani proses peningkatan kualitas pendidikan, alias para guru dan dosen, juga sudah terjebak dalam mementingkan kepentingan jangka pendek diri sendiri, kurang mengedepankan kepentingan bangsa ke depan. Akibatnya, kualitas proses pendidikan kita juga rendah. Ini adalah ancaman bangsa di masa depan.

Masalah Pendanaan Kesehatan

Suka atau tidak suka, kita harus mengakui bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sakit-sakitan, bodoh, dan miskin. Hal ini ditunjukan dari Indeks Pembangunan Manusia yang secara nasional kita berada pada urutan ke 110 dari 191 negara. Kenapa kita sakit-sakitan? Karena kita belum bisa berprilaku hidup sehat karena pengetahuan kita tentang faktor yang membuat kita tetap sehat masih rendah (masih bodoh), lingkungan hidup kita (udara, biologis, kimiawi, sosal dll) masih jauh dari lingkungan yang memungkinkan kita hidup sehat dan produktif dari hari ke hari, dan kualitas pelayanan kesehatan kita masih jauh dari baik. Salah satu akar masalah terpenting adalah pendanaan (financing) program dan pelayanan kesehatan di Indonesia yang jauh dari memadai. Selama ini, kita mengucurkan dana publik maupun dana privat hanya sekedar untuk mengatakan “saya sudah danai”. Tingkat kecukupan dana yang dikucurkan, masih jauh dari memadai. Mengambil contoh pemberian obat sakit kepala yang seharusnya diminum satu tablet, tetapi kalau kita hanya berikan seper-lima tablet, maka sakit kepala tidak akan sembuh. Ibarat kebutuhan makan yang seharusnya satu piring, tetapi kita hanya makan seperlima piring, jelas tidak memadai dan tidak punya arti untuk kebugaran dan produktifitas. Begitulah pendanaan kesehatan kita, masih jauh dari mencukupi sehingga efeknya masuh jauh dari memadai. Hal ini menunjukan komitmen kita yang rendah untuk masa depan yang sehat dan produktif.

(3)

Hasbullah Thabrany - 3 - Pendanaan Kesehatan dan Risiko SDM

-

Ada beberapa masalah pokok yang menjadi penyebab penting dalam rendahnya pendanaan kesehatan di Indonesia yang kemudian berakibat rendahnya mutu manusia Indonesia.

Pola Pikir Jangka Pendek

Kebanyakan masyarakat Indonesia, termasuk para pimpinan bangsa ini, masih terjebak kepada kepentingan jangka pendek dengan program-program pemerintah yang lebih mengutamakan pembanguan yang tampak dengan mata seperti membangun gedung kantor yang bagus, taman yang indah, pembelian alat canggih dan sebagainya. Kita memacu pemberian insentif di hilir, belum dihulu. Ambil contoh perdebatan insentif pajak, berapa banyak berita yang mempermasalahkan pemberian insentif pajak untuk pembangunan SDM? Yang ramai dibahas adalah insentif untuk dunia usaha. Pembangunan sumber daya manusia masih jauh tertinggal. Pembanguan sumber daya manusia baru pada taraf proforma debat publik dan belum merupakan program nyata.

Masalah terbesar adalah mindset yang kita miliki yang ingin cepat menghasilkan dan karenanya proyek-proyek yang didanai yang bersifat tahunan. Hampir semua pegawai pemerintah terjebak pada proyek-proyek yang sifatnya tahunan dan sering tidak sinambung dari tahun ke tahun. Proyek-proyek yang bersifat jangka panjang pada umumnya merupakan proyek pinjaman dan seringkali lebih banyak habis untuk meningkatkan kapasitas pengelola, alias pegawai negeri melalui belanja beasiswa dan pendidikan, dan sedikit yang sampai ke masyarakat dalam rangka pembentukan ‘bahan baku manusia’. Pola pikir kebanyakan kita memang masih didominasi kepentingan jangka pendek. Masih didominasi kepentingan sendiri, baik perorangan maupun kelompok, belum benar-benar memikirkan kepentingan bangsa dan generasi di masa depan, meskipun kita sendiri tidak menikmatinya. Pendidikan kebangsaan yang bisa menanamkan kesadaran perlunya kita membangun bangsa yang kuat dan berkesinambungan, mungkin perlu digalakan, paling tidak kepada calon-calon pimpinan kita, baik di eksekutif maupun di legislatif dan yudikatif.

Memang, membangun SDM, apalagi mulai dari persiapan bahan baku yaitu otak yang tumbuh baik yang hanya dapat dibentuk apabila gizi ibu hamil, gizi anak balita, dan

(4)

tubuh ibu hamil dan anak balita yang selalu sehat, tidak terserang penyakit, memakan waktu panjang. Apabila kita menginginkan pemuda yang cerdas, produktif, berbudi luhur, dan mempunyai komitmen bangsa di usia 24 tahun, ketika mereka selesai kuliah, maka kita harus melakukan investasi selama paling tidak 25 tahun. Dalam kondisi politik sekarang ini, dimana calon pimpinan suatu parpol kemungkinan besar hanya berkuasa selama satu pilkada, alias lima tahun, adakah pimpinan kita yang mau berfikir memulai program jangka panjang 25 tahun. Selama satu periode Pilkada atau anggota legislatif, hasil pembangunan atau menanam manusia belum akan akan tampak tanda-tanda keberhasilannya. Jika ada satu partai, seorang pimpinan daerah atau nasional yang akan memulai, adakah partai, pimpinan daerah atau nasional yang mungkin memenangkan pemilihan berikutnya, bersedia melanjutkan program yang hasilnya juga tidak akan tampak dengan mata kepala sendiri di masa kekuasaannya?

Salah Terap Pelayanan Kesehatan: Sumber dana daerah

Investasi (menanam atau membangun) SDM yang kuat memang membutuhkan waktu lama dan banyak orang tidak melihat manfaat pembangunan jangka panjang. Meskipun ada pihak swasta yang mampu melihat manfaat jangka panjang, mereka tidak tertarik untuk menanam manusia karena memang pihak swasta, meskipun memiliki visi jangka panjang, umumnya berorientasi kepentingan sendiri. Dengan demikian, pihak swasta tidak akan menanam modalnya untuk pembangunan manusia yang hasilnya belum tentu mereka nikmati atau petik setelah 20-25 tahun menanam dan memupuk terus-menerus.

Pihak swasta memang tertarik untuk membangun rumah sakit di derah dimana pendapatan penduduk relatif tinggi. Membangun rumah sakit memang memakan waktu hanya satu atau dua tahun saja. Setelah itu, pelayanan sudah dapat diberikan. Apabila pihak swasta berhasil merayu-rayu pimpinan daerah dengan menyodorkan bangunan fisik yang megah dan alat-alat yang cangguh yang mengagumkan, maka pihak swasta dapat dukungan pimpinan Pemda. Pemda bangga ada rumah sakit mewah dan lengkap (meskipun harganya mahal). Pimpinan Pemda ikut mempromosikan investasi swasta jangka pendek tersebut. Dalam 4-5 tahun ke depan, modal yang ditanam pihak swasta akan kembali. Rakyat di daerah tersebut akan bayar mahal, apabila ia sakit dan berupaya

(5)

Hasbullah Thabrany - 5 - Pendanaan Kesehatan dan Risiko SDM

-

untuk sehat kembali untuk bisa berproduksi. Pemerintah bahkan ikut menikamti biaya yang ditarik oleh rumah sakit terhadap penduduknya yang terkena musibah sakit yang harus membayar mahal dengan menarik pajak penghasilan dan pajak-pajak lain. Dengan kata lain, pemerintah mengambil keuntungan yang cukup besar, dalam hitungan rupiah jangka pendek, dari rakyatnya yang sakit. Namun sesungguhnya pemerintah telah menciptakan kerugian besar jangka panjang, karena banyak rakyat yang sakit akan tidak mampu berobat dan berpotensi mempunyai tingkat produktifas rendah karena sakit kronis atau cacat yang sesungguhnya menjadi beban daerah dan masyarakat dalam jangka panjang. Itulah sebabnya, negara-negara maju, yang melek akan masa depannya, yang cerdas dan visioner, tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi.

Memang, kalau kita melihat jangka pendek, orang sakit akan membayar berapapun yang ditagih rumah sakit. Tidak ada pilihan! Sebab semua orang takut mati karena penyakit, apalagi di masa mudanya. Ketakutan itu menyebabkan setiap orang berani membayar mahal, untuk menyelematkan jiawanya. Meskipun ia tidak memiliki uang tunai, harta benda akan dijualnya agar ia bisa sembuh. Amat mengherankan, bahwa banyak Pemda yang terkecoh dengan ‘kemauan membayar’ penduduk yang sesungguhnya ‘terpaksa membayar’. Jujur saja, banyak pemda ingin membangun rumah sakit bagus di daerahnya untuk ‘gengsi daerah’, atau lebih menyedihkan lagi untuk menambah pendapatan (uang) daerah. Bukan, untuk menyehatkan rakyatnya yang sedang terkena musibah penyakit.

Apa yang dilakukan Pemda DKI Jaya tahun lalu yang berlanjut tahun ini, yaitu mengubah status RSUD Pasar Rebo, RSUD Cengkareng, dan RS Haji (yang sesungguhnya harta wakaf) menjadi Perusahaan Perseroan Terbatas merupakan contoh kesalahan kebijakan yang fatal. Meskipun argumennya bukan untuk mencari laba, tetapi dengan mengubah status RSUD dari LTD, seperti yang digariskan UU 32/2004 pasal 125, menjadi Perusahaan, maka Pemda DKI justeru menambah beban rakyat yang sakit dan memiskinkan banyak rakyat yang sakit karena harus membayar biaya rumah sakit yang lebih mahal. Dengan status PT, yang sesungguhnya status usaha mencari laba pihak swasta sesuai dengan UU nomor 1 tahun 1995, maka pemda tidak boleh secara langsung mengalokasikan dana APBD/dana publik ke rumah sakit. Tampaknya Pemda DKI Jaya

(6)

tidak mengerti posisinya sebagai “pengawal negara, pengayom dan pelayanan rakyat” dan mencampur adukannya sebagai ‘pengusaha’ di bidang kesehatan. Ini adalah contoh nyata salah terap kebijakan kesehatan yang harus dihindari oleh semua Pemda dan harus dihindari oleh semua partai dan pimpinan yang berkuasa.

Untunglah Pemerintah Pusat telah menentukan sikap yang tidak sejalan dengan apa yang dilakukan Pemda DKI. Rumah sakit yang dahulu berstatus Perjan, yang merupakan juga kekeliruan masa lalu, telah diubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU) sesuai dengan PP 23/1005. Dari namanya saja sudah berbeda, BLU adalah badan yang fokus utamanya adalah layanan dan bukan perusahaan yang fokus utamanya adalah uang. Memberikan layanan kepada rakyat adalah tugas pemerintah, sebagai pengawal negara, yang sesuai dengan amanat UUD45 pasal 34 ayat 3 yang berbunyai ‘Negaara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan penyediaan fasilitas umum yang layak’. Pasal ini sesungguhnya sudah dirumuskan lebih operasional dalam UU Otoda (32/2004) yang mewajibkan Pemda menyediakan fasilitas kesehatan (pasal 22 hurup h) dan menetapkan bentuk rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah.

Sampai saat ini, jangankan memikirkan kepentingan bangsa jangka panjang, maih banyak diantara kita yang memihak kepada rakyat yang sedang sakit saja, yang jangka pendek tetapi bukan kepentingan diri sendiri, masih tega memberikan layanan rumah sakit dengan lebih kuat pertimbangan uang. Banyak diantara kita yang tidak merasa prihatin atas banyaknya rakyat yang sakit yang tidak mampu membayar biaya berobat (tidak selalu yang miskin) dan bahkan masih banyak rumah sakit publik (rumah sakit pemerintah atau yang dibiayai dari dana APBN/APBD) yang masih mengutamakan uang muka dari pelayanan. Mentalitas pejabat publik kita masih banyak yang lebih cocok disebut mentalitas “pengusaha” ketimbang “pelayanan” publik yang dalam bahasa Inggrisnya pegawai negeri disebut civil servant untuk menekankan bahwa tugas utamanya adalah ‘pelayanan publik’.

(7)

Hasbullah Thabrany - 7 - Pendanaan Kesehatan dan Risiko SDM

-

Belum Dipahami: Sumber Daya (Modal) atau Sumber Biaya (Beban)

Negara ke-empat dengan penduduk terbanyak, tapi negara ke 110 dalam indeks pembangunan manusia, tetapi urutan daya saing bangsa yang ke 74 dari 117 negara. Lima tahun lalu, tingkat daya saing kita adalah ke 49, tetapi dari 49 negara yang disurvei. Katanya masalah besar Indonesia adalah ‘penduduk yang besar’. Ini merupakan indikasi pengakuan bahwa penduduk adalah “beban” bukan “modal”.

Kurang Prioritas dan Kurang Komitmen. Bagaimana Kita Bersaing

dengan Mereka?

Perhatian atau prioritas pembangunan manusia (modal tahan lama) di Indonesia sejak Orde Baru boleh dikatakan kurang besar dibandingkan dengan prioritas pembangunan modal tidak tahan lama (prasarana dan industri). Kesan tersebut dapat diambil dari kecendrungan belanja pemerintah untuk kesehatan, yang dilihat dari belanja sektor kesehatan, yang selama 20 tahun lebih tidak mengalami perubahan berarti, jika dihitung dalam dolar Amerika. Memang, jika dihitung belanja pemerintah per orang per tahun dalam Rupiah, terdapat peningkatan. Namun demikian, peningkatan belanja dalam rupiah tidak bisa diartikan sebagai peningkatan riil karena inflasi dan rendahnya nilai tukar rupiah dari waktu ke waktu. Gambar 1 menunjukan betapa belanja Pemerintah dalam nilai dolar Amerika tidak banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Padahal, banyak komponen kesehatan, misalnya obat, yang hampir seratus persen harus diimpor dengan valuta asing.

Gambar 1

Perkembangan Belanja Kesehatan Pemerintah, per Orang per Tahun, Tahun 1980-2002 dalam Rupiah dan Dolar AS.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 79/80 81/82 83/84 85/86 87/88 89/90 91/92 93/94 95/96 97/98 99/00 ,0 1 Tahun Rp (00 0)/ US $ Rp 000 US $

(8)

Gambar 2

Perbandingan Belanja Kesehatan per Orang per Tahun di Beberapa Negara Berkembang Asia, 1998-2002 (Sumber UNDP,2005)

Gambar 2 memperlihatkan bagaimana Indonesia hanya mengalahkan Afganistan, yang sampai saat ini masih dalam keadaan perang dan tidak stabil, dalam belanja kesehatan per kapita atau per orang pertahun yang diukur dengan nilai dolar internasional. Pengukuran dengan nilai dolar internasional sudah memperhitungkan perbedaan biaya hidup di masing-masing negara, sehingga besaran belanja per kapita tersebut dapat membandingkan. Data lima tahun tersebut menunjukan bahwa Indonesia belum memprioritaskan kesehatan sebagaimana mestinya, yang berdampak amat buruk bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia. Belanja kesehatan kita lebih sedikit dari belanja kesehatan Vietnam dan juah lebih rendah dari belanja kesehatan China. Jangan heran dan jangan terkejut jika dalam waktu dekat kita akan jauh tertinggal dalam berbagai hal dibandingkan Vietnam dan China, yang pada beberapa dekade yang lalu

0 50 100 150 200 250 300 1998 1999 2000 2001 2002 Tahun $ i n te rn asi on al

Afghanistan Cambodia China

(9)

Hasbullah Thabrany - 9 - Pendanaan Kesehatan dan Risiko SDM

-

mereka lebih miskin dari kita. Tanpa pemahaman yang dalam akan arti investasi kesehatan dan tekad yang kuat untuk membangun manusia Indonesia, dengan investasi yang memadai dalam bidang kesehatan dan pendidikan, Indonesia akan tertinggal jauh dan akan mempertahankan status sebagai bangsa kuli yang haus korupsi.

Gambar 3.

Belanja Kesehatan Relatif Relatif yang Diukur Sebagai Prosentase Produk Domestek Bruto (PDB) Beberapa Negara Asia, 1998-2002

(Sumber UNDP,2005)

Gambar 3 menunjukan keadaan yang lebih memprihatinkan. Kalau pada gambar sebelumnya tampak bahwa Indonesia mengeluarkan uang sedikit lebih banyak

0

2

4

6

8

10

12

14

1998

1999

2000

2001

2002

Tahun % PDB

Afghanistan Cambodia China

(10)

dibandingkan dengan Afganistan, maka pada Gambar ini Indonesia berada di paling bawah. Apabila diukur dengan prosentase PDB yang dibelanjakan untuk kesehatan, kita ternyata paling pelit mengeluarkan belanja kesehatan yang merupakan investasi untuk pembangunan manusia. Pengeluaran porsentase terhadap PDB mengukur seberapa penting kita menilai belanja kesehatan, terlepas dari tingkat kemiskinan kita. Ternyata negara yang lebih miskin dari kita seperti Kamboja dan Afganistan telah mengeluarkan belanja kesehatan yang secara konsisten lebih banyak dalam lima tahun tersebut.

Memang pada umumnya negara berkembang mengeluarkan dana, baik dari sumber pemerintah maupun dari sumber masyarakat, yang tidak terlalu banyak. Hal ini disebabkan karena kebanyakan negara memandang pendanaan kesehatan dengan keliru, yaitu hanya sebagai beban pengeluaran jangka pendek. Padahal pengeluaran tersebut merupakan investasi modal manusia jangka panjang yang sangat strategis dan memiliki nilai politis yang tinggi. Tabel 1 menunjukan bahwa Indonesia hanya mengalahkan India dalam belanja kesehatan dan Indonesia dikalahkan Filipina. Namun demikian, perlu disadari bahwa dalam dua tahun belakangan ini, India telah menyadari nilai investasi kesehatan dan karenanya telah meningkatkan anggaran belanja kesehatan negaranya. Jika kita tidak mengikuti peningkatan belanja kesehatan tersebut, maka manusia Indonesia akan semakin tertinggal. Jangan lupa, dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi India jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini ditunjang dengan kebijakan India yang mulai membuka pintu bagi investor asing yang memungkinkan kembalinya orang-orang pintar India yang hidup di negara-negara maju. Sementara Indonesia tidak memiliki banyak orang pintar Indonesia yang bekerja dan hidup di negara-negara maju. Apabila kita menerapkan kebijakan yang salah lagi dalam pembangunan manusia, maka bisa jadi suatu ketika kita akan menjadi kuli di India dan China.

Selanjutnya Tabel 2 dan Tabel 3 menyajikan belanja relatif, persentase belanja kesehatan terhadap total belanja negara dan persentase belanja jaminan sosial yang merupakan sumber pendanaan yang tidak disatukan dalam APBN tetapi dikelola secara independen yang bersumber dari iuran wajib penduduk dan majikan, yang menunjukan bahwa Indonesia jauh tertinggal. Ketertinggalan Indonesia merupakan indikasi tidak

(11)

Hasbullah Thabrany - 11 - Pendanaan Kesehatan dan Risiko SDM

-

fahamnya kita akan invesasi pembangunan manusia dan pendeknya pandangan pengamabil kebijakan di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan berat pemimpin di tingkat pusat maupun daerah.

Tabel 1

Perbandingan Belanja Kesehatan per Orang per Tahun ($ internasional) Beberapa Negara Terpilih, 1998-2002 (sumber UNDP 2005)

Belanja Kesehatan Pemerintah per Orang per Tahun, (dalam Dolar Internasional)

1998 1999 2000 2001 2002 Australia 1.441 1.573 1.684 1.747 1.832 Brunei 524 477 517 504 510 Perancis 1.696 1.754 1.832 1.964 2.080 Jerman 1.942 2.015 2.080 2.151 2.212 India 17 18 19 19 20 Indonesia 20 23 22 35 40 Israel 1.201 1.182 1.229 1.362 1.242 Itali 1.293 1.339 1.474 1.602 1.639 Jepang 1.407 1.483 1.591 1.696 1.742 Malaysia 122 135 156 183 188 Belanda 1.314 1.335 1.404 1.566 1.683 Filipina 69 72 80 71 60 Muangtai 133 132 138 142 223 Turki 224 240 279 244 276 Tabel 2

Perbandingan Belanja Jaminan Sosial Pemerintah Terhadap Belanja Kesehatan Pemerinah (%), 1998-2002 (Sumber: UNDP 2005)

Prosentase Belanja Jaminan Sosial Pemerintah Terhadap Belanja Kesehatan Pemerintah (%)

Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 Perancis 96,8 96,7 96,6 96,5 96,8 Jerman 87 87,2 87,3 87,1 87,4 India 3,8 4,2 4,1 4,1 4,6 Indonesia 8,7 6,8 6,8 8,0 9,3 Israel 65,1 63,4 62,5 61,7 62,4 Itali * 0,1 0,1 0,1 0,3 0,1 Jepang 80,9 81,2 80,9 80,5 80,5 Malaysia * 0,9 1,0 0,9 1,1 1,0 Belanda 93,9 93,8 93,9 93,8 93,8

(12)

Prosentase Belanja Jaminan Sosial Pemerintah Terhadap Belanja Kesehatan Pemerintah (%)

Tahun 1998 1999 2000 2001 2002

Filipina 8,9 11,5 14,9 18,2 23,4

Muangtai 26,8 26,9 27,6 31,0 21,8

Turki 50,6 53,0 55,5 56,9 49,6

*) Rendahnya belanja Jaminan Sosial di negeri tersebut, karena belanja kesehatan

termasuk dalam APBN negara tersebut, yang tidak dipisahkan.

Tabel 3

Perbandinagan Belanja Kesehatan Pemerintah Terhadap APBN (%) Beberapa Negara Terpilih, 1998-2002 (Sumber: UNDP, 2005)

Prosentase Belanja Kesehatan Pemerintah Terhadap Total Belanja Negara (%) Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 Australia 15,7 16,3 16,4 16,7 17,1 Brunei 5,1 4,8 5,1 4,6 4,7 Perancis 13,1 13,2 13,4 13,7 13,8 Jerman 17,1 17,1 18,2 17,5 17,6 India 5,2 4,8 4,6 4,4 4,4 Indonesia 3,3 3,8 3,5 4,7 5,4 Israel 11,5 11,2 11,1 11,8 10,9 Itali 11,1 11,5 12,8 13 13,3 Jepang 14,0 15,9 16,1 16,9 17,0 Malaysia 5,1 6,0 6,1 6,5 6,9 Belanda 11,2 11,2 11,5 11,7 12,2 Filipina 6,5 6,5 7,0 5,8 4,7 Muangtai 12,4 11,5 11,8 11,5 17,1 Turki 11,5 10,3 9,8 8,1 10,3

Solusi Pendanaan

Prinsip Dasar Pendanaan

Pendanaan kesehatan merupakan indikasi dari suatu tanggung jawab. Benar bahwa kesehatan merupakan hak asasi, namun demikian penjabaran tentang apa yang merupakan hak dan bagaimana hak itu diperoleh, seringkali luput. Hak dapat diperoleh secara alamiah, seperti hak hidup, dan ada yang diperoleh secara upaya (kewajiban) seperti hak terhadap upah hanya dapat diperoleh setelah seseorang melaksanakan

(13)

Hasbullah Thabrany - 13 - Pendanaan Kesehatan dan Risiko SDM

-

pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Apakah hak kesehatan merupakan hak alamiah, artinya semua orang berhak hidup sehat secara alamiah, dan karenanya kalau ia sakit maka seseorang atau suatu lembaga berkewajiban menyembuhkannya? Hak atas hidup memang alamiah, karena apabila seseorang terancam hidupnya, maka orang lain disekitarnya atau badan, seperti pemerintah, berkewajiban mencegah seseorang mati, meskipun si orang tersebut tidak melakukan kewajiban apapun terhadap yang menolongnya. Pada kasus kecelakaan atau bencana alam sangat mudah difahami bahwa orang atau suatu badan yang mengetahui dan punya kesempatan (waktu, dana, jarak, dsb) untuk menolong –secara universal diakui bahwa orang lain atau badan tersebut wajib menolong. Dalam Islam, hukum menolong ini disebut fardu kipayah atau kewajiban publik. Tetapi apakah hak kesehatan seperti itu?

Oleh karena banyak faktor yang menentukan kesehatan seseorang atau masyarakat, maka para pengambil keputusan sering berdebat akan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Hendrik Blum (1982) secara umum menjelaskan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi kesehatan seseorang adalah prilakunya, kemudian disusul oleh lingkungannya (baik fisik, biologis, maupun kimiawi), genetik atau sifat turunannya, dan baru yang terakhir adalah pelayanan kesehatan. Sehingga, esktrimnya, kalau seseorang sering sakit radang tenggorok karena ia suka merokok kemudian pengobatan penyakit radang tenggoroknya harus dibiayai oleh publik/masyarakat atau pemerintah, maka hal itu tidak sesuai dengan teori Blum dan akan membuat orang lain bertanggung-jawab atas prilaku buruk orang tersebut. Tentu hal ini akan menimbulkan keberatan publik, karena orang tersebut sesungguhnya mampu (paling tidak seharusnya mampu) menghindari diri dari penyakit radang tenggorok, jika prilaku hidupnya sehat yaitu tidak merokok. Dalam kondisi seperti itu, maka semua orang sependapat bahwa suatu risiko atau suatu penyakit yang diakibatkan oleh prilaku dirinya sendiri, maka orang tersebut harus bertanggung-jawab atas dirinya sendiri. Oleh karenanya, pengobatan penyakit radang tenggorok yang diderita si perokok, harus dibiayai oleh orang tersebut, kalau orang tersebut mau memperoleh hak hidupnya untuk hidup sehat dan produktif. Ilustrasi diatas sesungguhnya jelas menggambarkan bahwa ada hak sehat yang menjadi tanggung jawab perorangan, bukan tanggung-jawab publik.

(14)

Gambar: Gambaran Skematis Tanggung Jawab Pendanaan Kesehatan Yang Memadai

Namun demikian, harus kita sadari bahwa ada penyakit-penyakit yang diluar kontrol tiap-tiap orang dan tidak selalu terkait dengan prilaku orang tersebut. Penyakti TBC menyerang orang yang tidak pernah tahu orang disekitarnya, di pasar, di kendaraan umum, di sekolah, dan di tempat umum lainnya serta pada waktu yang ia tidak tahu. Tentu tidak pantas, tidak adil, dan tidak boleh orang yang sakit TBC tersebut harus menanggung sendiri biaya pengobatan dirinya atau keluarganya. Maka masyarakat sekitar, termasuk pemerintah, atau kita sebut saja publik harus bertanggung-jawab membiayai, terlepas apakah orang tersebut miskin atau kaya. Orang tersebut termasuk orang tidak mampu. Jadi meskipuan sifatnya pengobatan perorangan, maka publik (pemerintah) bertanggung jawab atas pendanaannya.

Memang idealnya setiap orang harus menjada dirinya agar tidak sakit, seperti berprilaku hidup sehat, memakan makanan yang bergizi seimbang, menghindarkan diri dari segala sumber penyakit, termasuk polusi udara dan air minum, dan berbagai pola hidup sehat agar kelak tidak terkena kanker atau serangan jantung. Namun demikian, tidak semua orang memiliki kemampuan pengetahuan, kemampuan memahami faktor-faktor risiko kesehatan, menghindarkan diri dari pencemaran udara, air, dan lingkungan biologis (misalnya jauh dari kehidupan unggas atau seragga yang bisa menularkan

Promosi

Proteksi khusus

Obati Segera

Rehabilitasi

Mati

Oleh Masy,

melalui

JKN, UU

40/04

Oleh Pemerintah

Fokus: KIA

(15)

Hasbullah Thabrany - 15 - Pendanaan Kesehatan dan Risiko SDM

-

penyakit) yang memungkinkannya hidup sehat. Apakah orang semacam ini harus “dihukum” dengan kewajiban membayar segala biaya pengobatan penyakitnya. Disini berlaku hukum bahwa orang yang tidak mampu wajib ditolong oleh lingkungannya yang mampu atau diupayakan agar ada lingkungan yang mampu. Oleh karenanya harus ada lingkungan manusia yang menjelaskan, mendidik, memberi tahu, memberi peringatan yang terus menerus dan sebagainya tentang cara-cara menghindari diri dari risiko sakit.

Idealnya, lingkunan manusia itu adalah lingkungan sekitarnya atau masyarakat itu sendiri atau pihak swasta. Tidak perlu pemerintah turun tangan. Namun demikian, pihak masyarakat dan swasta memiliki keterbatasan. Pihak masyarakat lingkungan sekitar tempat tinggal atau tempat kerja seseorang tidak selalu statis dan karenanya tidak selalu efisien dan efektif. Masyarakat sekitarnya sering juga sama-sama tidak tahu dan tidak punya sumber dana. Pihak swasta yang punya uang, orang kaya, investor, dan perusahaan hampir selalu tidak tertarik untuk melakukan pendidikan, penyuluhan kesehatan, atau memberi peringatan akan adanya bahaya kesehatan. Swasta atau investor umumnya (kecuali pada keadaan atau waktu tertentu saja) hanya tertarik kalau ada keuntungan atau laba atau uang yang diperolehnya. Pada umumnya, upaya penyuluhan, pendidikan kesehatan, dan pemberian peringatan dini tidak akan dilakukan secara memadai dan terus menerus oleh masyarakat, pemodal atau pihak swasta. Oleh karenanya, maka upaya promosi dan pencegahan/preventif penyakit harus didanai dari dana publik pemerintah (pusat dan daerah) seperti terlihat dalam Gambar diatas.

Begitu juga penyakit demam berdarah, tifus, tekanan darah tinggi, kencing manis, kanker, gagal ginjal, dan banyak penyakit lainnya. Banyak orang berprilaku sehat, berupaya berprilaku sehat untuk menghindari diri dari segala sumber penyakit dan mencegah agar ia tidak terkena penyakit, tetapi penyakit tidak pernah 100% bisa dihindari atau dicegah. Sementara ia tidak punya cukup uang untuk membayar semua biaya jasa dokter, jasa rumah sakit, obat-obatan dan biaya-biaya lain yang terkait dengan penyembuhannya. Ia tidaklah miskin, ia punya penghasilan yang cukup untuk hidup sehari-hari, bahkan untuk rekreasi sebulan sekali. Namun, ketika suatu penyakit datang, ia tidak sanggup membayar seluruh biaya yang memungkinkannya hidup sehat dan produktif. Apakah orang semacam ini harus juga menanggung beban biaya yang diluar

(16)

kemampuannya ketika itu? Apakah ia harus “dihukum” menanggung sendiri segala risiko hidup yang memberatkan ekonomi rumah tangganya.

Katakanlah orang itu mempunyai penghasilan Rp 3 juta sebulan, tetapi biaya berobat besarnya mencapai Rp 3 juta sebulan. Kalau ia harus bayar sendiri seluruh biaya pengobatan tersebut, maka seluruh penghasilannya sebulan habis untuk biaya berobat. Lalu anak-istrinya harus makan apa? Jelas, biaya pengobatan tersebut diluar kemampuan orang tersebut. Biaya berobata tersebut tidak terjangkau, karena memang kita tidak pernah tahu kapan kita akan sakit dan berapa biaya yang dibutuhkan untuk berobat, pada waktu sebelum kita sakit. Dalam kondisi seperti itu, maka setiap orang harus diwajibkan untuk menabung atau membayar iurang asuransi atau jaminan kesehatan kesehatan yang besarnya terjangkau dari penghasilannya. Konsep ini, sudah dituangkan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, dimana semua orang yang berpenghasilan wajib mengiur prosentase tertentu, (bisa jadi, 3%, 4%, 5%, 6% dan seterusnya tergantung berapa kebutuhan dana secara nasional) untuk asuransi kesehatan nasional. Apabila orang tersebut sakit, suatu ketika, maka seluruh biaya menjadi tanggungan Badan Penyelenggara. Inilah konsep asuransi kesehatan nasional yang terjangkau semua orang, karena yang harus dibayar setiap bulan hanyalah prosentase tertentu dari penghasilan atau gajinya. Hal ini harus berlaku bagi seluruh rakyat, jangan sampai ada ego-desentralisasi yang menolak hal ini. Karena sakit bisa terjadi ketika penduduk, dari daerah manapun, berada dimana saja. Jadi harus ada skema nasional, yang menjamin pemenuhahn kebutuhan kesehatan yang mendasar, yaitu yang memungkinkan seseorang bisa produktif.

Pendanaan Publik Sebagai Tulang Punggung

Pendanaan promosi dan prevensi, termasuk edukasi dan peringatan dini, haruslah didanai publik. Hal ini terkait dengan sifat edukasi, promosi dan prevensi yang mempunyai nilai ekternalitas tinggi sehingga masing-masing orang ataupun pihak swasta tidak cukup memadai mendanai program-program tersebut. Pada saat pihak swasta atau masyarakat tidak memadai atau gagal mendanai suatu program yang mempunyai manfaat bersama, seperti halnya keamanan nasional, maka pendanaan harus bertumpu pada dana

(17)

Hasbullah Thabrany - 17 - Pendanaan Kesehatan dan Risiko SDM

-

publik atau dana pemerintah. Inilah prioritas yang harus dilakukan pemerintah yang mempunyai hak memaksa rakyat membayar pajak. Sebagai imbalannya, pemerintah wajib menyelenggarakan pelayanan yang tidak cukup atau tidak memadai dilaksanakan oleh masing-masing orang atau pihak swasta. Itulah sebabnya pelayanan kesehatan dan pendidikan disebut sebagai pelayanan dasar dan merupakan komponen terpenting dalam pengukuran kualitas manusia dan kualitas pembangunan yang diukur dalam dengan indeks pembangunan manusia atau human delevolopment index (HDI).

Pelayanan kesehatan perorangan, seperti pengobatan dan perawatan di rumah sakit memang tidak memiliki eksternalitas tinggi, tetapi tetap memiliki eksternalitas. Selain itu, pelayanan kesehatan perorangan ini tidak pasti jumlah dan waktunya dan karenanya tidak bisa dibebankan kepada masing-masing penduduk. Secara universal, pemerintah yang telah mempelajari dan mengalami permasalahan kesehatan mendanai pelayanan kesehatan dari sumber dana publik (negara) atau dari sistem jaminan sosial yang berdasarkan sistem asuransi sosial atau asuransi wajib. Asuransi yang wajib, atau disebut juga asuransi sosial atau asuransi publik, juga harus dikelola publik, karena bukan dagang atau komersial yang merupakan domain swasta. Asuransi atau jaminan sosial tidak dikelola dengan prinsip-prinsip dagang dan karenanya tidak tepat dan tidak akan berhasil jika dikelola oleh swasta atau oleh BUMN yang harus mencari laba. Pengelolaan jaminan sosial, sebagai sumber dana kuasi publik, harus dikelola oleh badan khusus dan dikelola secara nirlaba secara nasional, sesuai dengan amanat UUD45 pasal 34 ayat 2. Inilah yang harus kita wujudkan sesegera mungkin guna menjamin pembangunan manusia Indonesia yang utuh dan mampu mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Penduduk adalah subyek dan sekaligus obyek pembangunan. Pembangunan fisik yang tidak atau kurang mempersiapkan pembangunan manusia hanya akan menambah beban negara dan hanya akan memboroskan sumber-sumber alam yang dimiliki negara. Di dunia, negara-negara maju telah membuktikan bahwa sumber daya alam tidak penting

(18)

lagi dalam mencapai kesejahteraan, kemakmuran, dan kekuatan suatu negara. Akan tetapi sumder daya manusialah yang paling penting dan paling menentukan. Pembangunan sumber daya manusia atau pembangunan manusia harus dimulai sejak sangat dini yaitu sejak calon ibu, atau perempuan kita, berusia anak-anak. Komponen terpenting dalam pembangunan manusia adalah gizi, kesehatan, dan pendidikan. Manusia yang lahir dari ibu yang bergizi baik, tidak sering sakit-sakitan, dan kemudian hidup selama masa anak-anak sampai dewasa dengan sehat, selalu mendapat pengobatan memadai apabila sakit, dan mendapat pendidikan yang bermutu akan menjadi sumber daya manusia yang bermutu dan sanggup membangun bangsa yang kuat. Sebaliknya, apabila jaminan gizi yang baik, kesehatan yang baik, dan pendidikan yang baik mutunya tidak bisa tersedia, maka manusia yang banyak hanya akan menjadi beban. Penduduk yang terjamin kesehatan dan pendidikannya akan hidup tenang, produktif dan senang, pemerintah nya akan menang dan kuat. Tidak heran, pepatah China mengatakan “jika kamu ingin mendapatkan hasil dalam satu tahun—tanamlah sayuran, jika kamu ingin mendapatkan hasil dalam sepuluh tahun—tanamlah pohon buah-buahan, tetapi jika kamu ingin mendapatkan hasil untuk seratus tahun atau lebih—tanamlah manusia”. Mari menanam manusia Indonesia yang unggul.

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan tugas dan fungsi Badan Baitul Maal dalam pengelolaan zakat, maka Pemerintah Aceh pada awalnya telah menetapkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan peneliti tentang pemahaman perawat tentang penerapanRJPdipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu umur, pendidikan,

Next, in order to answer the second research question, the results showed that the use of metacognitive listening strategies did not give different effect on the English

untuk membuat nasabah menjadi loyal terhadap perusahaan, customer service yang kurang tanggap akan permasalahan yang sedang dialami oleh nasabah, sarana dan prasarana

mulai dari tahap requirements planning, yaitu dengan melakukan pengumpulan data, analisis kebutuhan baik perangkat lunak maupun perangkat keras yang dibutuhkan

 Minyak bumi adalah cairan yang mengandung ratusan macam senyawa, terutama alkana, adalah cairan yang mengandung ratusan macam senyawa, terutama alkana, dari metana hingga yang

Waktu Penerimaan Dokumen oleh Tender Admin/ Pihak yang Dapat Dihubungi selama Proses Prakualifikasi / Time for Document Received by Tender Admin/ Contact Person during

Perbedaan Management waktu dan tata cara bekerja,namun semua permasalahan.. itu sudah disikapi dengan bijaksana oleh para karyawan melalui perilaku dan metode- metode