• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK MARTUAH SARAGIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK MARTUAH SARAGIH"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT

BAPAK MARTUAH SARAGIH

Bab ini merupakan penjelasan tentang gambaran umum wilayah penelitian dan biografi singkat bapak Martuah Saragih sebagai seniman alat musik tradisional Simalungun. Wilayah yang dimaksud disini adalah bukan hanya lokasi penelitian, tetapi lebih terfokus kepada gambaran masyarakat Simalungun khususnya yang ada di Pematangsiantar secara umum. Namun sebelum membahas topik tersebut, akan diuraikan lebih dahulu Sejarah singkat Kota Pematangsiantar.

2.1 Sejarah Singkat Kota Pematangsiantar

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan daerah kerajaan. Pematangsiantar berkedudukan di Pulau holing dan Raja terakhir dari dinasti ini adalah keturunan marga Damanik yaitu Tuan sang Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaan sebagai Raja tahun 1906.

Disekitar pulau holoing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal penduduk diantaranya kampung suhi haluan, siantar bayu, suhi kahaean, pantoan, suhi bah bosar, dan tomuan. Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum kota pematangsiantar, yaitu:

1. Pulau Holing menjadi Kampung Pematang 2. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota

(2)

3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-pinggol, kampung melayu, Martoba,Sukadame, dan Bane

4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba dan Martimbang.

Setelah belanda memasuki daerah Sumatera Utara, daerah Simalungun menjadi daerah kekuasaan belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan Raja-raja. Sejak itu Pematangsiantar berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru, bangsa china mendiami kawasan timbang galung dan kampung melayu.

Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Kemudian pada tanggal 1 Juni 1917 berdasarkan Stad Blad No. 285 Pematangsiantar berubah menjadi Gemente yang mempunyai otonomi sendiri. Sejak Januari 1939 berdasarkan Stad Blad No. 717 berubah menjadi Gemente yang mempunyai Dewan.

Pada zaman penjajahan Jepang berubah menjadi Siantar State dan Dewan dihapus. Setelah proklamasi Kemerdekaan Pematangsiantar kembali menjadi daerah otonomi. Berdasarkan undang_undang No. 27/ 1948 status Gemente menjadi Kota Kabupaten Simalungun dan Walikota dirangkap oleh Bupati Simalungun sampai tahun 1957. Berdasarkan UU No1/1957 berubah menjadi Kota Praja penuh dan dengan keluarnya UU No.18/1965 berubah menjadi Kotamadya, dan dengan keluarnya UU No.5/1974 Tentang pokok-pokok pemerintah di daerah berubah menjadi daerah tingkat II Pematangsiantar sampai sekarang.

(3)

Kemudian pada tanggal 10 Maret 1986 Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar diperluas dari 4 (empat) kecamatan menjadi 6 (enam) kecamatan, dimana 9 desa dari wilayah kabupaten Simalungun menjadi wilayah Kota Pematangsiantar. Sehingga luas kota pematangsiantar bertambah dari 12,48 km2 menjadi 70,230 km2.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.15 tahun 1986 tanggal 10 maret 1986 Kota daerah tingkat II Pematangsiantar diperluas menjadi 6 (enam) wilayah Kecamatan yaitu:

1. Kecamatan Siantar Barat 2. Kecamatan Siantar Utara 3. Kecamatan Siantar Timur 4. Kecamatan Siantar Selatan 5. Kecamatan Siantar Marihat 6. Kecamatan Siantar Martoba

Kemudian pada tahun 2007, diterbitkan peraturan daerah tentang pemekaran wilayah admisnistrasi Kota Pematangsiantar yaitu:

1. Peraturan Daerah No.3 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Sitalasari

2. Peraturan Daerah No.6 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Marimbun

Sehingga secara administrasi wilayah Kota Pematangsiantar terbagi menjai 8 (Delapan) kecamatan yaitu:

(4)

1. Kecamatan Siantar Marihat 2. Kecamatan Siantar Marimbun 3. Kecamatan Siantar Selatan 4. Kecamatan Siantar Barat 5. Kecamatan Siantar Utara 6. Kecamatan Siantar Timur 7. Kecamatan Siantar Martoba 8. Kecamatan Siantar Sitalasari14

(5)
(6)

2.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis teliti berada di Kota Pematangsiantar yang merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai bengkel instrumen bapak Martuah Saragih, yang bertempat tinggal di Jalan Rindung, Kecamatan Siantar Utara.

Kota Pematangsiantar ini terletak di tengah-tengah Kabupaten Simalungun dengan keadaan topografi berbukit-bukit rendah dan berada pada ketingian 400-500 m di atas permukaan laut. Daerah ini terletak pada garis 2º53’40”-3º01’00” Lintang Utara dan 99º1’00’’-99º6’35’’ Bujur Timur, dengan suhu maksimum rata-rata 30,ºC dan suhu minimum rata-rata 21,0 ºC. Luas daratan kota Pematangsiantar adalah 79,971 Km2. Kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Siantar Sitalasari dengan luas wilayah 22,723 km2. 15

Sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga sekarang, kota Pematangsiantar telah 26 kali berganti Kepala Daerah. Masing-masing adalah: Tuan Maja Purba (1945), Muhammad Kasim (1946-1947), Forensius Lumbantobing (1950-1952), Tuan Maja Purba (1952-1956), Kota Pematangsiantar merupakan kota terbesar kedua di provinsi Sumatera utara setelah Medan. Kota Pematangsiantar berjarak 128 km dari Kota Medan dan 52 km dari Parapat. Kota Pematangsiantar di kelilingi oleh daerah pertanian yang luas dan subur seperti persawahan, perkebunan karet, kelapa sawit dan teh. Pematangsiantar mempunyai sungai besar yaitu Bah Bolon dan mempunyai 12 sungai kecil yaitu Bah Sorma, Bah Kapul, Bah Bane, Bah Kadang, Bah Kahean, Bah Sigulang-gulang, Bah Sibarambang, Bah Silulu, Bah Sibatu-batu, Bah Kora, Bah Kaitan, dan Bah Silobang. Sungai-sungai ini sebagian dimanfaatkan oleh sebagian penduduk untuk mengairi sawah, tambak ikan, alat drainage alamiah dan menjadi batas alam wilayah kecamatan dan kelurahan.

(7)

HP Situmorang (menjabat saat Tuan Maja Purba di Ampera), Farel Pasaribu (1954-1956). Mereka ini merangkap sebagai Bupati Simalungun. Setelah pemisahan dari Kabupaten Simalungun, Walikota pertama adalah OKH Salamuddin (1956-1957), dilanjutkan Jamaluddin Tambunan (1957-1959), Rakoetta Sembiring (1960-1964), Abner Situmorang (1964), Pandak Tarigan (1965), Zainuddin Hasan (1965), Tarif Siregar (1965-1966), Drs Mulatua Pardede (1966-1968), Letkol Laurimba Saragih (1968-1974), Kolonel Sanggup Ketaren (1974-1979), Kolonel Drs MJT Sihotang (1979-1984), Drs Djabanten Damanik (1984-1989), Drs H Zulkifli Harahap (1989-1994), Drs Abu Hanifah (1994-1999), Ir Marsal Hutagalung (Pelaksana Walikota mulai Juni 1999-Januari 2000), Drs Makmur Saleh Pasaribu (Pelaksana Walikota Januari- Juni 2000) dan Drs Marim Purba/Ir Kurnia Rajasyah Saragih (2000-2005). Drs. Nabari Ginting Msi (Pejabat sementara) (2005 - 2005), Ir. R.E. Siahaan (2005 - 2010), Hulman Sitorus, SE (2010 - sampai sekarang).16

2.3 Keadaan penduduk

Pada awalnya penduduk asli kota Pematang Siantar didominasi oleh suku Simalungun, namun setelah terjadi urbanisasi kependudukan, Pematangsiantar menjadi bersifat heterogen, kerena terdiri dari berbagai ragam suku dan etnis, yaitu Simalungun, Toba, Mandailing, Angkola, Jawa, Aceh, Pakpak, Minang kabau, Melayu dan WNI (Warga Negara Indonesia) keturunan asing seperti China, India, dan Pakistan. Pada tahun 2009 penduduk Kota Pematangsiantar mencapai 250.997 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.146 jiwa per km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk Kota Pematangsiantar pada tahun 2009 sebesar 0,40 persen. Penduduk perempuan di Kota pematangsiantar lebih banyak dari

(8)

penduduk laki-laki. Pada tahun 2009 penduduk Kota pematangsiantar yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 127.516 jiwa dan penduduk laki-laki 123.481 jiwa.17

Secara umum masyarakat Simalungun yang tinggal di wilayah Simalungun maupun di perantauan merupakan suatu pribadi yang pendiam dan tertutup. Menurut Hendrik Kraemer ketika berkunjung ke Tanah Batak pada bulan Februari-April tahun 1930 melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan orang Batak Toba, orang Simalungun jelas lebih berwatak halus, lebih suka menyendiri di hutan dan secara alamiah kurang bersemangat dibandingkan dengan orang Batak Toba

Secara etimologi kata “Simalungun” dapat dibagi kedalam tiga suku kata yaitu: Si berarti “Orang”, ma sebagai kata sambung berarti “yang” dan lungun berarti “sunyi, kesepian”. Dengan demikian, Simalungun berarti “ia yang bersedih hati, sunyi dan kesepian.

18

. Hal yang senada juga dikatakan oleh Walter Lempp tentang tabiat daripada masyarakat Simalungun yaitu orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya hormat sekali, tidak pernah keras atau meletus, meskipun sakit hati. Hal itu dimungkinkan karena suku Simalungun satu-satunya yang pernah dijajah oleh suatu kerajaan di Jawa yang berkedudukan di Tanah Jawa19. Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di Pematangsiantar mengenal satu lembaga adat yang disebut Partuha Maujana Simalungun20

Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Siantar Utara, Jalan Rindung, Pematangsiantar, pada umumnya bekerja sebagai Petani, Buruh, Wiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil. Menurut wawancara penulis dengan bapak Martuah Saragih, pekerjaan beliau adalah petani.

. Lembaga adat ini telah ada mulai dari tingkat Serikat Tolong menolong (STM), Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Pusat.

17 Sumber : Pematangsiantar Dalam Angka 2010 18 Hendrik kramer (Boekentrum, The Haque 1958:55)

19 Walter Lempp (12) : Geraja-Gereja di Sumatera Utara : Jakarta, 1976: 52 20 Fungsionaris inti dan tertinggi pemangku adat Simalungun.

(9)

Menjadi pemain musik merupakan pekerjaan sampingan bagi beliau. Membuat sarunei Simalungun dilakukan beliau apabila adanya pesanan untuk membuat alat musik tersebut.

Masyarakat di pematangsiantar terdiri dari berbagai suku asli indonesia maupun warga negara indonesia keturunan asing. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut ini.

(10)

Tabel 1

Banyaknya Penduduk menurut Suku Bangsa

Kecamatan/District

Suku Bangsa/Etnic Group

Tapanuli/Toba Jawa Simal- ungun Madailing Chin a Minang Karo (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 01 Siantar Marihat 16.043 1.752 666 395 17 18 410 02 Siantar Marimbun 1.0.878 1.187 452 268 12 12 278 03 Siantar Selatan 14.243 1.309 1.355 444 2.687 127 1.097 04 Siantar Barat 9.042 21.584 1.682 4.693 3.083 1.787 371 05 Siantar Utara 24.519 8.778 3.920 4.077 1.702 2.981 324 06 Siantar Timur 26.572 5.405 4.705 1.792 1.875 529 1.139 07 Siantar Martoba 9.533 13.159 2.110 1.353 149 313 448 08 Siantar Sitalasari 7.828 10.804 1.732 1.111 122 258 369 Jumlah/Total 118.658 63.978 16.622 14.133 9.467 6.025 4.436

(11)

Tabel 2

Banyaknya Penduduk menurut Suku Bangsa

Kecamatan/District

Suku Bangsa/Etnic Group

Melayu Nias Aceh Pakpak Lainnya

Jumlah/ Total (1) (2) (3) (4) (5) (6) (8) 01 Siantar Marihat 22 91 21 18 154 19.607 02 Siantar Marimbun 15 61 14 13 104 13.294 03 Siantar Selatan 26 100 13 13 441 21.855 04 Siantar Barat 695 127 265 18 5.184 48.531 05 Siantar Utara 321 139 92 39 4.557 51.632 06 Siantar Timur 191 299 101 102 1.370 44.093 07 Siantar Martoba 220 148 118 28 536 28.250 08 Siantar Sitalasari 179 120 97 23 438 23.201 Jumlah/Total 1.676 1.088 723 252 12.817 250.997

(12)

2.4 Sistem Bahasa

Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di berbagai kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam pergaulan dan komunikasi antar sesama suku tersebut. Bahasa itu dinamakan sebagai “bahasa daerah” yang disebutkan sesuai dengan suku bangsa yang memiliki bahasa tersebut. Misalnya bahasa Batak Toba dipergunakan oleh Batak Toba. Demikian juga dengan bahasa Simalungun. Disamping itu masyarakat Simalungun juga memiliki aksara yang sudah sangat tua usianya. Menurut seorang peneliti bahasa Dr. P. Voorhoeve, yang menjadi Pejabat Taalambtenaar di Simalungun tahun 1937, mengatakan bahwa bahasa Simalungun merupakan bahasa rumpun austronesia yang lebih dekat dengan bahasa sansekerta yang banyak sekali mempengaruhi bahasa-bahasa di Nusantara21

1. Lapung ni hata, merupakan bahasa sehari hari yang dipakai oleh masyarakat biasa atau bahasa yang dipakai sehari-hari.

.

Voorhoeve menagtakan kedekatan bahasa Simalungun dengan bahasa Sansekerta ditunjukkan dengan huruf pentup suku kata mati yaitu, uy dalam kata apuy dan babuy, huruf g dalam kata dolog, huruf b dalam kata arbab, huruf d dalam kata bagod, huruf ah dalam kata babah dan sabah, juga ei dalam kata simbei dan ou dalam kata sopou dan lapou.

Salah satu ciri masyarakat simalungun adalah memiliki tingkatan bahasa yang disebut dengan ratting ni hata. Adapun tingkatan tersebut adalah:

2. Guru ni hata, merupakan bahasa yang dipakai untuk mengucapkan sesuatu dan dianggap lebih halus. Guru ni hata merupakan bahasa tertinggi yang digunakan oleh kalangan keturunan raja-raja. Dimana bahasa tersebut adalah bahasa yang sopan

21 Poerloe sahap ni bangsa sandiri bani hakristen on : Lezing ni Dr. Voorhoeve deba haroenggoean ni sintua

(13)

hormat, dan berisi nasehat, yang sering disampaikan melalui perumpamaan. Misalnya adalah Simakidop artinya mata, Jambulan artinya rambut. Simakulsop artinya mulut. 3. Sait ni hata, yaitu bahasa yang dipakai ketika seseorang marah atau menghina

seseorang, karena tersinggung atas sesuatu. Sait ni hata merupakan bahasa yang kasar, karena berisi kata-kata yang pedas, berisikan sindiran sehingga dapat menyakitkan hati orang lain. Misalnya panjamah (tangan) bahasa kasarnya tiput.

2.5 Sistem Kesenian

Kesenian adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraniningrat, 1980:395-397). Kesenian pada masyarakat simalungun sangat banyak dan beragam. Taralamsyah Saragih dalam Seminar Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa kesenian yang ada di Simalungun dapat dibagi atas Seni Musik (Gual), Seni Suara (doding), Seni Tari (Tortor).

2.5.1 Seni Musik

Seni musik digunakan untuk upacara-upacara hiburan dan upacara-upacara adat lainnya misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur) dan sukacita (malas ni uhur). Alat-alat musik pada masyarakat simalungun dapat dimainkan secara ensamel dan dapat pula dimainkan secara tunggal. Alat musik yang dimainkan secara ensambel adalah Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu. Penggunaan instrumen sarunei dalam ensambel Gonrang Sidua-dua dan Gonrang Sipitu-pitu sangat penting, diantaranya:

(14)

2. Maranggir yaitu upacara untuk membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan juga membersihkan diri dari gangguan roh-roh jahat

3. Ondos Hosah yaitu upacara khusus yang dilakukan suatu desa atau keluarga agar terhindar dari mara bahaya.

4. Rondang Bittang yaitu acara tahunan yang diadakan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik. Muda-mudi menggunakan kesempatan tersebut untuk mencari jodoh.

Adapun alat-alat musik yang dimainkan secara tunggal diantaranya Jatjaulul/Tengtung, Husapi, Hodong-hodong, Tulila, Ole-ole, Saligung, Sordam dsb. Alat-alat musik tersebut dimainkanuntuk hiburan pribadi ketika lelah bekerja di ladang, maupun setelah pulang dari pekerjaan.

2.5.2 Seni Suara (Doding)

Musik vokal Simalungun dikenal dengan istilah doding dan ilah. Doding dipakai untuk nyanyian solo sedangkan ilah dipakai sebagai nyanyian kelompok. (Sihotang 1993:31). Nyanyian dalam masyarakat Simalungun sangat banyak dan memiliki fungsi masing-masing. Selain itu masyarakat Simalungun memiliki teknik bernyanyi yang disebut inggou. Adapun nyanyian tersebut diantaranya adalah :

1. Taur-taur yaitu nyanyian yang dilagukan oleh sepasang muda-muda secara bergantian untuk mengungkapkan perasaan stu sama lainnya.

2. Ilah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan pemudi sambil menepuk tangan sambil membentuk lingkaran.

(15)

3. Doding-doding yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh sekelompok pemuda dan dan pemudi atau orang tua untuk menyampaikan pujian atau sindiran. Nyanyian inijuga dapat dilagukan untuk mengungkapkan kesedihan dan kesepian.

4. Urdo-urdo atau Tihtah yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang ibu kepada anaknya atau seorang anak perempuan kepada adiknya. Urdo-urdo untuk menidurkan sementara Tihtah untuk bermain.

5. Tangis-tangis yaitu suatu nyanyian yang dinyanyikan seorang gadis karena putus asa ataupun karena berpisah dengan keluarga karena akan menikah.

6. Manalunda/Mangmang adalah mantera yang dinyanyikan oleh seorang datu untuk menyembuhkan suatu penyakit ataupun menobatkan seorang raja pada waktu dulu.

2.5.3 Seni Tari (Tor-Tor)

Seni tari dalam masyarakat Simalungun banyak mengalami penurunan dari segi pertunjukan dimana pada saat ini sudah jarang dijumpai tor-tor yang sering dilakukan pada zaman dahulu. Tor-tor yang dapat bertahan sampai saat ini adalah Tor-tor Sombah. Adapun tor-tor yang sering dipertunjukkan pada zaman dahulu antara lain :

1. Tor-Tor Huda-Huda atau Toping-Toping yaitu tarian yang dilakukan untuk menghibur orang yang meninggal sayur matua yaitu orang yang telah berusia lanjut. Tarian ini merupakan tarian yang meniru gerakan kuda dan sebagian permainannya memakai topeng. Pada waktu dulu tarian ini digunakan untuk menghibur keluarga raja yang bersedih karena anaknya meninggal. Tarian ini bertujuan untuk menyambut berbagai kelompok adat( tondong,boru, dan sanina) dan menghibur para tamu undangan, namun mereka juga bertugas mengumpulkan oleh-oleh dari para tamu

(16)

undangan. Jaman dulu kegiatan tersebut biasa dilakukan dalam pemakaman seorang raja.

2. Tor-tor Turahan yaitu Tor-tor yang dilakukan untuk menarik kayu untuk membangun istana atau rumah besar. Seorang mandor bergerak melompati batang kayu yang ditarik sambil mengibaskan daun-daun yang dipegan ke batang kayu dan ke badan orang yang menarik untuk memberi semangat.

Pada masyarakat Simalungun juga terdapat kesenian lain yang pada saat sekarang ini sudah sangat jarang dijumpai diantaranya adalah Seni Gorga yaitu seni ukir yang terdapat pada dinding-dinding rumah, Seni Pahat, yaitu seni membuat patung-patung dari batu ataupun dari kayu, Seni Tenun yaitu seni membuat kayu dengan menggunakan benang-benang yang dibentuk dengan suatu keahlian, dan Seni Arsitektur yaitu seni untuk membangun rumah dengan arsitektur tradisional.

Bentuk-bentuk kesenian tersebut telah banyak yang ditinggalkan oleh masyarakat karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun meskipun begitu masih ada sebagian orang yang tetap mempertahankan pengetahuan tersebut seperti Seni Tenun karena kain yang dihasilkan dari buatan tangan jauh lebih bagus daripada buatan pabrik.

2.6 Sistem Kekerabatan

Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat Perkawinan Simalungun(1985), ada dua cara yang umum yang dipakai untuk menarik garis keturunan, yaitu :

(17)

1. Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak, yaitu mungkin dari pihak laki-laki dan mungkin pula dari pihak permpuan. Masyarakat demikian dinamakan masyarakat unilateral. Jika masyarakat tersebut menarik garis keturunan dari pihak laki-laki atau ayah saja, maka keturunan tersebut disebut masyarakat patrilineal. Dan jika menarik dari garis keturunan perempuan (ibu) maka disebut matrilineal.

2. Menarik garis keturunan dari kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, masyarakat demikian disebut masyarakat bilateral atau masyarakat parental

Dari kedua cara tersebut diatas,masyarakat Simalungun termasuk masyarakat yang menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari pihak laki-laki atau ayah. Dengan demikian masyarakat Simalungun adalah masyarakat unilateral-patrilineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya akan mengikuti klan atau marga dari ayahnya (1985:108).

Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam satu keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama dengan marga si ayah.

Susunan masyarakat Simalungun didukung oleh berbagai marga yang mempunyai hubungan tertentu, yang disebabkan oleh hubungan perkawinn. Hubungan perkawinan antar marga-marga mengakibatkan adanya penggolongan antar tiap-tiap marga. Marga yang satu akan mempunyai kedudukan tertentu terhadap marga lain. Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai Partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya

(18)

hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut22

1. Tutur Manorus / Langsung :

Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya: Botou artinya saudara perempuan baik lebih tua atau lebih muda. Mangkela (baca: Makkela) artinya suami dari saudara perempuan dari ayah. Sima-sima artinya anak dari Nono/Nini,

2. Tutur Holmouan / Kelompok

Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun. Misalnya: Bapa Tongah artinya saudara lelaki ayah yang lahir dipertengahan (bukan paling muda, bukan paling tua). Tondong Bolon artinya pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami). Panogolan artinya kemenakan, anak laki/perempuan dari saudara perempuan.

3. Tutur Natipak / Kehormatan

Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari saudara laki-laki yang lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil suami boru dari kakak ibu. Ambia Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang seumuran atau bawahan.

Ikatan kekerabatan diklasifikasikan dalam suatu sistem yang dalam bahasa Simalungun dikenal Tolu Sahundulan, yaitu :

1. Tondong (Pemberi istri)

2. Anak Boru/Boru (Penerima Istri)

3. Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara, individu semarga atau pembawa garis keturunan)

(19)

Dalam masyarakat Simalungun seorang pria belum dianggap sebagai orang dewasa dan belum dapat berperan serta dalam fungsi-fungsi adat bila yang bersangkutan belum menikah atau sudah menikah tapi belum mempunyai keturunan.

2.6.1 Marga-marga Simalungun

Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu23

1. Sinaga

:

2. Saragih 3. Damanik 4. Purba

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (Permusyawaratan besar) antara empat raja besar berjanji untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan, Marsiurupan bani hasunsuhan na legan, rup mangimbang munsuh,keempatrajatersebutadalah: 1. Raja Nagur bermarga Damanik

Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya: Marah Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro Tilu (yang menurunkan marga raja

(20)

Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola) Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.

2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih

Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.

Keturunannya adalah :

• Saragih Garingging yang pernah merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya. Saragih Garingging kemudian pecah menjadi dua, yaitu: Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei, Dajawak merantau ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.

• Saragih Sumbayak keturunan Tuan Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang. Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip, Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke, Simanihuruk. Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba di Pematang Purba, Simalungun.

(21)

Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan atau sarjana. Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog, Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang, Sihala, Raya. Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga Batu dan Purbasaribu.

4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga

Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor. Keturunannya adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga.

Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon). (Tideman, 1922).

2.7 Sistem Kepercayaan

Sepanjang yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok sewaktu Dinasty SWI (570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah banyak disebut-sebut dalam hasil penelitian Sutan Martua Raja Siregar yang dimuat dalam Buku Sejarah Batak oleh

(22)

Batara Sangti Simanjuntak, dimana dinyatakan bahwa pada abad ke V sudah ada Kerajaan “Nagur” sebagai satu “Simalungun Batak Friest Kingdom” yang sudah mempunyai hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain terutama dengan Tiongkok (China).

Menurut Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha Laklak lama Simalungun) bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur) hampir meliputi seluruh Perca (Sumatera) bagian Utara , yang terbentang luas dari pantai Barat berbatas dengan Lautan Hindia, sampai ke Sebelah Timur dengan Selat Malaka, dari Sebelah Utara berbatas dengan yang disebut Jayu (Aceh sekarang) sampai berbatas dengan Toba di sebelah Selatan.

Agama yang dianut kerajaan Nagur adalah Animisme yang disebut dengan supajuh begu-begu/sipele begu. Sebagai jabatan pendeta disebut Datu, mereka percaya akan adanya sang pencipta alam yang bersemayam di langit tertinggi, dan mengenal adanya tiga Dewa, yaitu :

1. Naibata na i babou/i nagori atas (di Benua Atas) 2. Naibata na i tongah/i nagori tongah (di Benua Tengah) 3. Naibata na i toruh/i nagori toruh (di Benua Bawah)

Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui upacara ritual, dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran” (kesurupan) salah seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai kemampuan sebagai perantara (paniaran).

Menurut penelitian G.L Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat dalam bukunya “Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan tahun 1936 bahwa di Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Panghulubalang (Berhala) yaitu patung-patung batu yang ditempatkan pada tempat yang dikeramatkan (Sinumbah) dan ditempat inilah dilakukan upacara pemujaan.

(23)

Pelaksanaan urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang disebut juga “Guru”. Pimpinan “datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”. Setiap Datu/Guru mempunyai “Tongkat Sihir” atau “Tungkot Tunggal Panaluan” (yang diperbuat dari kayu tanggulan yang diukir dengan gana-gana bersambung-sambung untuk mengusir penyakit). Acara kepercayaan itu dipegang penuh oleh Datu, baik di istana maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Raja-raja dan kaum bangsawan mereka sebut juga “tuhan” bukan saja disegani tetapi ditakuti masyarakat, tetapi akhirnya sesudah masuknya agama Islam dan Kristen sebutan tersebut berubah menjadi Tuan.

Masuknya Agama Islam ke Simalungun adalah pada abad ke-15 melalui daerah Asahan dan Bedagai yang dibawa oleh orang-orang dari kerajaan Aceh. Awalnya perkembangan Agama Islam berada di daerah sekitar Perdagangan dan Bandar ( Sihotang 1993:23).

Kemudian sekitar tahun 1903, Gereja Batak Toba (HKBP) yang berada dalam fase perkembangan kemudian berkembang hingga menjangkau masyarakat di luar lingkungan mereka sendiri. Pada suatu konferensi yang dilakukan pada tahun tersebut diambil suatu keputusan untuk memulai karya misi pada masyarakat Simalungun. Kelompok Kristen Simalungun yang masuk dari upaya ini pada awalnya hanya sekadar bagian dari Gereja Batak Toba (dinamakan HKBP-S). Namun pada tahun 1964 terjadi pemisahan dan lahirlah organisasi baru yang menamakan diri sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Salah satu bagian integral dari proses Kristenisasi adalah berupa pendirian gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Di sana anak-anak dan orang-orang dewasa dapat belajar membaca dan menulis dalam bahasa mereka sendiri dan kemudian dalam bahasa Indonesia.

(24)

2.8 Biografi Singkat Bapak Martuah Saragih

Pada Sub Bab ini, penulis akan membahas tentang riwayat hidup bapak Martuah Saragih, terutama yang berkaitan dengan peranan beliau sebagai pemusik dan pembuat alat musik tradisioanal Simalungun di kota Pematangsiantar. Biografi yang akan dibahas disini hanya berupa biogarfi ringkas, artinya hanya memuat hal-hal umum mengenai kehidupan bapak Martuah Saragih dimulai dari masa kecil hingga masa kehidupannya sekarang ini, temasuk pula pengalaman beliau sebagai pemusik tradisional Simalungun, sebagai pembuat instrumen musik tradisional Simalungun, dan pengalaman berkesenian lainnya. Biografi yang di bahas di sini sebagain besar adalah hasil wawancara dengan bapak Martuah Saragih, dan juga wawancara dengan saudara-saudara beliau, sahabat-sahabat beliau dan keluarga beliau, dan juga beberapa musisi tradisional dan seniman musik. Hal ini dianggap perlu untuk melengkapi dan menguji keabsahan biografi beliau.

Martuah Saragih lahir di kota Pematangsiantar, Kecamatan Siantar Utara, pada tanggal 15 juni 1965, anak dari ayah bapak G. Saragih dan ibu T. br. Sinaga Martuah lahir dari keluarga seniman musik tradisional Simalungun dan penganut agama nasrani. Latar belakang keluarga yang sedemikian rupa membuat bapak Martuah sudah sangat akrab dengan musik tradisional Simalungun. Dimana Kakek dari Martuah Saragih merupakan parsarunei, Ayahnya merupakan penabuh Gonrang. Hal ini menjadi motivasi beliau untuk menjadi seorang seniman. Martuah Saragih berawal dari seorang pemain gong yang kemudian beralih menjadi seorang penabuh gonrang, kemudian beliau sering dipanggil untuk ikut mengisi di berbagai upacara adat Simalungun.

Nama grup pertama Bapak Martuah Saragih pertama adalah grup Sitalasari. Di dalam grup tersebut bapak Martuah Saragih mulai mempelajari cara memainkan alat musik sarunei

(25)

secara otodidak pada tahun 1978 tepatnya pada saat bapak Martuah berumur 13 tahun. Pertama-tama bapak Martuah Saragih belajar memainkan sarunei buluh.

Cara belajar yang digunakan beliau untuk mempelajari sarunei adalah dengan menghapal melodi-melodi lagu yang sering dimainkan oleh parsarunei di dalam grup tersebut. Secara lambat laun beliau mulai bisa memainkan sarunei, dan mulai menggantikan parsarunei utama dengan memainkan dua atau tiga repertoar lagu ketika panarunei utama istirahat. Hingga bapak Martuah Saragih dipercaya oleh grupnya untuk menjadi salah satu parsarunei utama di dalam grup itu sampai sekarang. Meskipun beliau belajar secara otodidak dalam memainkan sarunei beliau tetap menganggap almarhum Nokah Sinaga sebagai gurunya. Hal tersebut dikarenakan banyaknya waktu yang sudah dilalui beliau dengan almarhum Nokah Sinaga sehinga sedikit banyaknya telah mempengaruhi teknik permainan sarunei bapak Martuah Saragih.

Bapak Martuah Saragih mulai belajar membuat sarunei ketika berada di dalam grup Sitalasari. Awalnya bapak Martuah Saragih belajar adalah saat disuruh untuk memperbaiki anak ni sarunai (lidah atau buluh getar) sarunei dan nalih sarune oleh mendiang Nokah Sinaga. Setelah mengetahui cara membuat anak ni sarunei dan memperbaiki nalih, bapak Martuah Saragih sering ikut melihat dan bertanya tentang proses-proses pembuatan sarunei kepada mendiang Nokah Sinaga.

Kemudian secara perlahan-lahan beliau mulai mencoba untuk membuat sarunei hasil karya ciptanya sendiri. Beliau pertama kali membuat alat musik sekitar tahun 1996. Walaupun telah berkali-kali gagal tetapi bapak martuah saragih tidak pernah berhenti untuk mencoba hingga beliau menghasilkan sarunei pertamanya. Untuk membuat satu buah sarunei bapak martuah membutuhkan waktu kurang lebih satu bulan.

(26)

Menurut pengakuan beliau dan beberapa parsarunei Simalungun yang penulis jumpai sarunei buatan Martuah Saragih ini telah banyak digunakan. Baik oleh parsarunei yang baru belajar maupun parsarunei yang sudah profesional. Mereka beranggapan bahwa selain bapak Martuah Saragih mahir memainkan saruneinya kualitas dari sarunei buatannya juga dinilai baik. Menurut Martuah Saragih yang banyak memesan sarunei kepada beliau adalah orang-orang yang hendak mempelajari Sarunei Simalungun (Diantaranya pemuda-pemuda Simalungun maupun mahasiswa-mahasiswa diluar kabupaten simalungun). Dan begitu juga halnya dengan parsarunei yang sudah profesional.

Banyak event-event atau acara-acara baik di kota Pematangsiantar maupun di beberapa negara yang telah dijalani oleh bapak Martuah Saragih dalam karirnya sebagai pemusik, dintaranya PRSU (Pekan Raya Sumatera Utara) Medan, Malaysia, Thailand, Singapura, Amerika dan Canada. Beliau adalah parsarunei yang telah dikenal oleh masyarakat di kota Pematangsiantar khususnya masyarakat Simalungun.

Beliau juga telah banyak mendapatkan berbagai piagam penghargaan dari pemerintah sebagai tanda ucapan terima kasih untuk kontribusinya dalam mendukung musik tradisional khususnya musik Simalungun, di antaranya adalah piagam penghargaan dari pemerintah, karena telah mendukung tim kesenian pemerintah Kotamadya Pematangsiantar ke Malaysia pada tanggal 28 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1993. Selain itu beliau juga memenangkan beberapa acara seperti festival Gondang Simalungun yang diselenggarakan pada Hut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ke 51 pada tahun 1996.

Bapak Martuah Saragih Menikah pada tahun 1996 dengan R br. Damanik dan di karuniai 4 orang anak, 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Menjadi pembuat sarunei bukan pekerjaan tetap beliau, bapak Martuah Saragih hanya membuat sarunei bila ada orang

(27)

yang memesan saja. Sampai saat ini bapak Martuah Saragih tetap menjadi peniup sarunei/parsarunei dalam grup sitalasari.

Walaupun demikian Begitu menjadi peniup dan sekaligus membuat sarunei bukanlah pekerjaan tetap beliau. Pekerjaan tetap beliau selain bertani adalah sebagai Ketua RT/RW Kelurahan Martoba, Kecamatan Siantar utara.

Referensi

Dokumen terkait

Organisasi ini selain membentuk karakter amnggotanya yaitu pemuda, juga memberikan dampak positif untuk seluruh masyarakat desa Satriyan khususnya di RT 03 RW 01,

Hasil analisis kesadaran responden PKL terhadap peraturan yang ada disajikan pada Tabel 93, yang menunjukkan bahwa mayoritas PKL (67,50 %) menyadari bahwa usaha mereka di

Penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah yaitu: proses pelaksanaan lelang barang jaminan hak

Enkapsulan seharusnya memiliki sifat-sifat seperti: viskositasnya rendah, mampu menyebar atau mengemulsikan materi inti dan menstabilkan emulsi, tidak reaktif dengan materi

Untuk sementara, asumsi konservatif yang akan digunakan sehingga angka hipotesis total hutang peradaban umat Islam karena kurang bayar zakat selama 1200 tahun di

Sehubungan dengan kegiatan Penelitian sumber dana DIPA Tahun Anggaran ...(tahun) Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, yang sesuai Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan akan

Oleh karena itu, perkembangan trend yang menurun dalam perkembangan perekonomian global dan peningkatan angka pengangguran serta penurunan ekonomi domestik Indonesia

Opini audit mengenai going concern merupakan opini audit yang dalam pertimbangan auditor terdapat ketidakmampuan atau ketidakpastian signifikan atas kelangsungan hidup