• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PREDIKSI TAK BIAS LINIER TERBAIK EMPIRIS SPASIAL PADA AREA KECIL UNTUK PENDUGAAN PENGELUARAN PER KAPITA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "METODE PREDIKSI TAK BIAS LINIER TERBAIK EMPIRIS SPASIAL PADA AREA KECIL UNTUK PENDUGAAN PENGELUARAN PER KAPITA"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

METODE PREDIKSI TAK BIAS LINIER TERBAIK EMPIRIS

SPASIAL PADA AREA KECIL UNTUK PENDUGAAN

PENGELUARAN PER KAPITA

(Studi Kasus : Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur)

DARIANI MATUALAGE

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakaan bahwa tesis Metode Prediksi Tak Bias Linier Terbaik Empiris Spasial pada Area Kecil untuk Pendugaan Pengeluaran Per Kapita (Studi Kasus: Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Dariani Matualage NIM G151080031

(3)

ABSTRACT

DARIANI MATUALAGE. Spatial Empirical Best Linear Unbiased Prediction Methods for Small Areas to Estimate monthly Expenditure per capita (Case Study: The Province of East Java District Jember). Supervised by ASEP SAEFUDDIN and AJI HAMIM WIGENA.

Poverty of an area can be measured by their per capita expenditure. Direct estimation of expenditure per capita based on small area data may cause a large variance of estimates. Spatial Empirical Best Linear Unbiased Prediction (SEBLUP) is one of the small area estimation methods to solve the problems. The method is developed from EBLUP allowing correlation among area. Susenas Data was used to compare SEBLUP, direct estimation and EBLUP. The result showed that the standard error of SEBLUP was smaller than those of direct estimation and EBLUP

(4)

RINGKASAN

DARIANI MATUALAGE. Metode Prediksi Tak Bias Linier Terbaik Empiris Spasial pada Area Kecil untuk Pendugaan Pengeluaran Per Kapita Studi Kasus: Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh ASEP SAEFUDDIN dan AJI HAMIM WIGENA.

Kemiskinan suatu wilayah merupakan masalah besar yang dihadapi Bangsa Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah ini, misalnya dimulai dengan menduga wilayah-wilayah miskin hingga tingkat administrasi desa sehingga diharapkan upaya pengentasan kemiskinan akan lebih tepat sasaran. Indikator utama yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menentukan suatu wilayah tergolong miskin (tertinggal) atau tidak adalah rata-rata pengeluaran per kapita wilayah tersebut.

Data pengeluaran per kapita suatu wilayah diduga dengan menggunakan hasil Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS. Survei ini dirancang untuk mengumpulkan data sosial kependudukan yang relatif sangat luas, yaitu untuk memperoleh statistik nasional hingga pada tingkat kabupaten/kota. Ketika hasil survei ini digunakan untuk melakukan pendugaan pada tingkat yang lebih kecil (misalnya kecamatan atau desa), maka akan muncul persoalan galat baku yang sangat besar. Selain itu, karena tidak setiap desa menjadi contoh dalam Susenas, maka pendugaan itu tidak dapat dilakukan pada desa yang tidak terpilih sebagai contoh.

Salah satu metode yang dikembangkan untuk menangani masalah tersebut adalah metode pendugaan area kecil (small area estimation, SAE). Metode ini mengandung informasi bukan hanya berasal dari wilayah (area) itu tetapi juga memanfaatkan informasi tambahan baik berupa nilai parameter dari area kecil lain yang memiliki karakteristik serupa dengan area kecil tersebut, atau nilai pada waktu yang lalu, juga nilai dari peubah yang memiliki hubungan dengan peubah yang sedang diamati (Rao 2003). Tujuan dari metode pendugaan ini adalah untuk meningkatkan keefektifan ukuran contoh dan menurunkan keragaman dugaan parameter. Asumsi dasar dalam mengembangkan model untuk SAE adalah bahwa keragaman peubah yang diamati dapat diterangkan oleh hubungan keragaman pada informasi tambahan sebagai pengaruh tetap. Asumsi lainnya adalah bahwa keragaman khusus area kecil tidak dapat diterangkan oleh informasi tambahan tersebut dan dapat dikategorikan sebagai pengaruh acak area kecil. Gabungan dari dua asumsi tersebut membentuk model linier campuran (mixed linear models).

Salah satu sifat menarik dari model linier campuran adalah kemampuannya dalam menduga kombinasi linier dari pengaruh tetap dan pengaruh acak. Henderson (1953,1975) dalam papernya mengembangkan teknik penyelesaian model pengaruh campuran, yaitu metode prediksi tak bias linier terbaik (best

linear unbiased prediction, BLUP). Metode ini kemudian dikaji lebih lanjut oleh Harville (1977) dengan terlebih dahulu melakukan pendugaan komponen ragam dengan metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood) dan kemungkinan maksimum terkendala (restricted maximum likelihood), sehingga disebut prediksi tak bias linier terbaik empirik (empirical best linear unbiased prediction, EBLUP).

(5)

Penggunaan metode EBLUP untuk menduga pengeluaran perkapita belum memasukkan pengaruh spasial ke dalam model. Di lain pihak pembagian batas desa berdasarkan pada kriteria administrasi dan tidak menutup adanya kemungkinan pengaruh spasial terhadap pengeluaran per kapita desa. Hal ini sesuai dengan hukum pertama tentang geografi yang dikemukakan oleh Tobler (Tobler’s first law of geography) dalam Schabenberger dan Gotway (2005) yang merupakan pilar kajian analisis data spasial, yaitu : everything is related to

everything else, but near things are more related than distant things”. Segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang lebih dekat akan lebih berpengaruh daripada sesuatu yang jauh. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan dengan memasukkan pengaruh spasial. Penduga EBLUP dengan memperhatikan pengaruh acak area yang berkorelasi spasial dikenal dengan istilah penduga prediksi tak bias linier terbaik empirik spasial (Spatial Empirical

Best Linear Unbiased Prediction, SEBLUP). Penduga SEBLUP telah digunakan oleh Petrucci & Salvati (2004a, 2004b), Salvati (2004), Chandra, Salvati & Chambers (2007) dan Pratesi & Salvati (2008) dengan memasukkan matriks pembobot spasial tetangga terdekat (nearest neighbors) ke dalam model EBLUP. Penggunaan matriks pembobot seperti ini tidak dapat dilakukan untuk desa-desa di Kabupaten Jember yang terpilih sebagai contoh dalam Susenas, karena hanya 9 pasang desa yang saling berdekatan sehingga matriks tersebut hampir semua (98.37%) berisi angka 0.

Ada berbagai bentuk matriks pembobot spasial yang telah digunakan selama ini. Salah satu matriks pembobot yang digunakan oleh Fotheringham & Rogerson (2009) adalah matriks pembobot spasial model limit (limit models) atau disebut juga matriks pembobot batas ambang. Matriks pembobot spasial ini mempunyai nilai jika jarak antar area lebih kecil atau sama dengan suatu batas jarak yang telah ditentukan. Berdasarkan hasil penelitian Rahmawati (2010) yang menyatakan bahwa jarak antar desa di Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur masih memberikan pengaruh terhadap data pengeluaran per kapita desa jika jarak antar desa tersebut kurang atau sama dengan 9.09 km. Jarak inilah yang digunakan sebagai batas jarak untuk menyusun matriks pembobot spasial berdasarkan model limit dan kemudian digunakan dalam model SEBLUP. Metode ini kemudian digunakan untuk menduga pengeluaran perkapita desa di Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur dan menghitung MSE dan RRMSE dengan menggunakan data rata-rata pengeluaran perkapita desa yang diambil dari hasil Susenas 2008 sebagai penduga langsung dan data persentase keluarga penerima ASKESKIN dalam setahun terakhir sebagai peubah penyerta yang diambil dari data Podes 2008.

Hasil analisis menunjukkan bahwa metode SEBLUP lebih baik dibandingkan dengan metode pendugaan langsung maupun EBLUP, sedangkan antara metode pendugaan langsung tidak jauh berbeda dengan metode EBLUP. Hal ini terlihat dari nilai RRMSE untuk metode SEBLUP yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan metode pendugaan langsung maupun metode EBLUP.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(7)

METODE PREDIKSI TAK BIAS LINIER TERBAIK EMPIRIS

SPASIAL PADA AREA KECIL UNTUK PENDUGAAN

PENGELUARAN PER KAPITA

(Studi Kasus : Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur)

DARIANI MATUALAGE

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Statistika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(8)

Judul Tesis : Metode Prediksi Tak Bias Linier Terbaik Empiris Spasial pada Area Kecil untuk Pendugaan Pengeluaran Perkapita (Studi Kasus : KabupatenJember Provinsi Jawa Timur)

Nama : Dariani Matualage NRP : G151080031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Statistika Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Erfiani, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur Ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul karya ilmiah ini adalah “Metode Prediksi Tak Bias Linier Terbaik Empiris Spasial pada Area Kecil untuk Pendugaan Pengeluaran Per Kapita (Studi Kasus: Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur)”. Penelitian yang dilakukan penulis merupakan bagian dari payung Hibah Penelitian Pascasarjana Departemen Statistika, Institut Pertanian Bogor yang didanai oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan, saran dan waktunya yang telah diberikan kepada penulis. Disamping itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Anik Djuraidah, M.S selaku penguji luar komisi pada ujian tesis, Dr. Anang Kurnia dan seluruh dosen dan staf Program Studi Statistika. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada segenap keluarga, terutama kakak, ipar dan kemenakan-kemenakan tercinta teristimewa kemenakanku Ester Ivana Nangin (alm) serta sahabat-sahabat atas doa, dukungan dan kasih sayangnya kepada penulis. Terima kasih kepada teman-teman Statistika dan Statistika Terapan angkatan 2008, 2009, 2010 baik S2 maupun S3 serta teman-teman dari Universitas Negeri Papua atas bantuan dan kebersamaannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Biak, Papua pada tanggal 18 April 1977 sebagai anak keempat dari empat bersaudara, anak dari pasangan Max Matualage (alm) dan E. B. Bermuli (alm).

Penulis menyelesaikan pendidikan SD hingga SLTA di Biak. Setelah menyelesaikan pendidikan SLTA di SMAN 1 Biak pada tahun 1995, penulis kemudian melanjutkan perkuliahan di Program Studi Statistika Jurusan Matematika dan Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 2001. Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan Matematika dan Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua Manokwari sejak tahun 2005 hingga sekarang.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Profil Kabupaten Jember ... 5

Pengeluaran Per kapita... 5

Pendugaan Area Kecil ... 6

Prediksi Tak Bias Linear Terbaik Empiris ... 8

Prediksi Tak Bias Linear Terbaik Empiris Spasial ……… 10

METODOLOGI PENELITIAN Data ... 15

Metode Penelitian ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN Pendugaan Pengeluaran Per Kapita ..………. 19

Pendugaan MSE dan RRMSE ... 22

Pengujian Model ……… 23

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 25

Saran ... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 27

LAMPIRAN ... 31 Halaman

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL

1 Nilai pendugaan untuk koefisien regresi dan ragam peubah acak

dengan metode EBLUP ... 20 2 Nilai pendugaan koefisien regresi, ragam dari galat peubah acak

area dan koefisien otoregresif spasial menggunakan metode

Spasial EBLUP ... 21 3 Statistik deskriptif nilai dugaan pengeluaran per kapita

(13)

Halaman

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram kotak garis pengeluaran per kapita desa/kelurahan dengan

untuk masing-masing metode... 22 2 Perbandingan nilai RRMSE untuk masing-masing desa/kelurahan

dengan metode langsung, EBLUP ML, EBLUP REML, SEBLUP

ML dan SEBLUP REML ... 23 3 Plot q-q untuk sisaan baku dari model pendugaan dengan metode

(14)

Halaman

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rumus yang digunakan untuk menduga  dengan metode EBLUP .... 33 2 Rumus yang digunakan untuk menduga   dan  dengan

metode SEBLUP ... 34 3 Jumlah rumah tangga di Kabupaten Jember dan jumlah rumah

tangga yang terpilih sebagai contoh dalam Susenas 2008 ... 36 4 Nilai pendugaan pengeluaran per kapita dan MSE untuk

masing-masing metode ... 37

5 Nilai pendugaan bagi RRMSE untuk masing-masing metode pendugaan ... 39

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemiskinan merupakan masalah besar yang dihadapi Bangsa Indonesia. Salah satu wilayah yang tergolong wilayah miskin adalah Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur (Kusumaningrum 2010). Padahal kabupaten ini memiliki potensi sektor pertanian yang cukup tinggi khususnya untuk tanaman padi dan palawija (BPS 2009). Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah ini, yang dimulai dengan memprediksi wilayah-wilayah miskin hingga tingkat administrasi desa. Data kemiskinan ini diharapkan dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan. Indikator utama yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menentukan suatu wilayah tergolong miskin (tertinggal) atau tidak adalah rata-rata pengeluaran per kapita wilayah tersebut.

Data mengenai rata-rata pengeluaran per kapita suatu wilayah diduga dengan menggunakan data pengeluaran per kapita yang ada di wilayah tersebut berdasarkan hasil Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS. Survei ini dirancang untuk mengumpulkan data sosial kependudukan yang relatif sangat luas, yaitu untuk memperoleh statistik nasional. Jika hasil survei ini digunakan untuk melakukan pendugaan pada tingkat yang lebih kecil (misalnya desa), maka akan muncul persoalan galat baku yang sangat besar. Selain itu, tidak setiap desa menjadi contoh dalam Susenas, sehingga pendugaan itu tidak dapat dilakukan pada desa yang tidak terpilih sebagai contoh.

Persoalan-persoalan ini kemudian diatasi dengan mengembangkan metode pendugaan parameter yang dikenal dengan metode pendugaan area kecil (small

area estimation, SAE). Pada metode SAE, informasi yang digunakan bukan hanya berasal dari wilayah (area) itu tetapi juga memanfaatkan informasi tambahan dari area kecil lain yang memiliki karakteristik serupa dengan area kecil tersebut, atau nilai pada waktu yang lalu, juga nilai dari peubah yang memiliki hubungan dengan peubah yang sedang diamati (Rao 2003).

Ada dua asumsi dasar dalam mengembangkan model untuk SAE, yaitu bahwa keragaman di dalam area kecil dapat diterangkan oleh hubungan

(16)

keragaman yang ada pada informasi tambahan sebagai pengaruh tetap. Asumsi lainnya adalah bahwa keragaman khusus area kecil tidak dapat diterangkan oleh informasi tambahan dan merupakan pengaruh acak area kecil. Gabungan dari dua asumsi tersebut membentuk model linier campuran (mixed models).

Salah satu sifat menarik dari model linier campuran adalah kemampuannya dalam menduga kombinasi linier dari pengaruh tetap dan pengaruh acak. Henderson (1953,1975) mengembangkan teknik penyelesaian model linier campuran, yaitu metode prediksi tak bias linier terbaik (best linear unbiased

prediction, BLUP). Metode ini kemudian dikaji lebih lanjut oleh Harville (1977) dengan terlebih dahulu melakukan pendugaan komponen ragam dengan metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood) dan kemungkinan maksimum terkendala (restricted maximum likelihood), sehingga disebut prediksi tak bias linier terbaik empiris (empirical best linear unbiased prediction, EBLUP).

Penelitian dengan menggunakan metode EBLUP untuk data Susenas telah banyak dilakukan, antara lain Kurnia (2009) menggunakan model SAE melalui pendekatan EBLUP baku yang kemudian dilanjutkan dengan EBLUP untuk model transformasi logaritma. Hasilnya adalah bahwa model lognormal memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pendugaan langsung melalui metode penarikan contoh, walaupun bias relatifnya cukup besar. Pada tahun yang sama, Sadik (2009) juga menggunakan model EBLUP dengan pendekatan deret waktu pada data Susenas yang diambil setiap tahun. Hasilnya adalah EBLUP deret waktu lebih baik dibandingkan dengan EBLUP tanpa pendekatan deret waktu. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh acak area dan waktu maupun pengaruh sintetik vektor kovariat (peubah penyerta) berfungsi memperbaiki hasil pendugaan metode EBLUP yang hanya didasarkan pada data survei satu tahun saja.

Kedua penelitian itu menggunakan model SAE dengan pendekatan EBLUP tetapi belum memasukkan pengaruh spasial ke dalam model. Seperti diketahui bahwa pembagian batas desa menunjuk pada kriteria administrasi. Oleh karena itu pembagian ini tidak membatasi adanya pengaruh spasial terhadap pengeluaran per kapita desa, atau dengan kata lain, pengeluaran per kapita desa dapat juga dipengaruhi oleh pengeluaran per kapita desa yang berada dekat dengan desa

(17)

tersebut. Hal ini sesuai dengan hukum pertama tentang geografi yang dikemukakan oleh Tobler (Tobler’s first law of geography) dalam Schabenberger dan Gotway (2005) yang merupakan pilar kajian analisis data spasial, yaitu :

everything is related to everything else, but near things are more related than distant things”. Segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang lebih dekat akan lebih berpengaruh daripada sesuatu yang jauh. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan dengan memasukkan pengaruh spasial. Penduga EBLUP dengan memperhatikan pengaruh acak area yang berkorelasi spasial dikenal dengan istilah penduga SEBLUP (Spatial Empirical

Best Linear Unbiased Prediction).

Penduga SEBLUP telah digunakan oleh Petrucci & Salvati (2004a, 2004b), Salvati (2004), Chandra, Salvati & Chambers (2007) dan Pratesi & Salvati (2008) dengan memasukkan matriks pembobot spasial tetangga terdekat (nearest

neighbors) ke dalam model EBLUP. Penggunaan matriks pembobot seperti ini tidak dapat dilakukan untuk desa-desa di Kabupaten Jember yang terpilih sebagai contoh dalam Susenas, karena hanya 9 pasang desa yang saling berdekatan sehingga matriks tersebut berisi angka 0 sebanyak 98.37%.

Ada berbagai bentuk matriks pembobot spasial yang telah digunakan selama ini. Salah satu matriks pembobot yang digunakan oleh Fotheringham & Rogerson (2009) adalah matriks pembobot spasial model limit (limit models) atau disebut juga matriks pembobot batas ambang. Matriks pembobot spasial ini mempunyai nilai jika jarak antar area lebih kecil atau sama dengan suatu batas jarak yang telah ditentukan. Berdasarkan hasil penelitian Rahmawati (2010) yang menyatakan bahwa jarak antar desa di Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur masih memberikan pengaruh terhadap data pengeluaran per kapita desa jika jarak antar desa tersebut kurang atau sama dengan 9.09 km. Jarak inilah yang akan digunakan sebagai batas jarak untuk menyusun matriks pembobot spasial berdasarkan pembobot batas ambang dan kemudian digunakan dalam model SEBLUP.

(18)

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Melakukan pendugaan rata-rata pengeluaran per kapita desa di Kabupaten Jember dengan metode EBLUP dan SEBLUP

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Profil Kabupaten Jember

Berdasarkan data BPS (2009), Kabupaten Jember secara geografis terletak pada 113030’ - 113045’ Bujur Timur dan 8000’ - 8030’ Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Jember di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Probolinggo, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lumajang dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia. Luas wilayah Kabupaten Jember 3 293.34 Km2 yang terbagi menjadi 31 kecamatan terdiri atas 28 kecamatan dengan 225 desa dan 3 kecamatan dengan 22 kelurahan dengan Jember sebagai ibukota kabupaten. Khusus untuk Susenas 2008, desa-desa yang menjadi contoh sebagian besar berada pada kecamatan yang berbeda, hanya sembilan kecamatan yang memiliki lebih dari satu desa yang menjadi contoh dalam survei tersebut.

Kabupaten Jember memiliki potensi sektor pertanian yang cukup tinggi khususnya untuk tanaman padi dan palawija. Pada tahun 2008, Jember memiliki potensi luas panen tanaman padi 143 597 ha dengan produksi 813 995 ton, untuk tanaman jagung berpotensi luas panen 67 869 ha dengan produksi sebesar 396 818 ton, serta tanaman kedelai berpotensi luas panen 12 186 ha dengan produksi 14 545 ton. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar yaitu Rp1 366 522 000 000.00 dan menduduki urutan ketiga terbesar di Provinsi Jawa Timur setelah Surabaya dan Sidorajo. Sedangkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Jember sebesar Rp9 864 000 000.00 (BPS 2009).

Pengeluaran Per kapita

Beberapa data yang diperoleh dari Susenas 2008 adalah data pengeluaran rumah tangga per bulan dan data pengeluaran per kapita. BPS mendefinisikan pengeluaran rumah tangga sebulan adalah semua biaya yang dikeluarkan rumah tangga selama sebulan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi untuk semua anggota rumah tangga. Data pengeluaran per kapita diperoleh dari jumlah pengeluaran rumah tangga sebulan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga tersebut (BPS 2008). Berdasarkan asumsi bahwa penarikan contoh yang dilakukan

(20)

berdasarkan penarikan contoh acak sederhana, maka rata-rata pengeluaran per kapita desa diperoleh dengan rumus :

 ∑   

dengan :

 = rata-rata pengeluaran per kapita desa ke-i, dengan i = 1,2, . . . , m

 = pengeluran per kapita rumah tangga ke – j di desa ke- i ,

dengan j = 1, 2, . . . ,ni

 = jumlah rumah tangga di desa ke-i

m = jumlah desa

Pendugaan Area Kecil

Pelaksanaan survei dilakukan untuk melakukan pendugaan parameter populasi. Pendekatan klasik untuk menduga parameter populasi didasarkan pada aplikasi model disain penarikan contoh (design-based), dan penduga yang dihasilkan dari pendekatan itu disebut penduga langsung (direct estimation). Data hasil survei ini dapat digunakan untuk mendapatkan penduga yang terpercaya dari total maupun rata-rata populasi suatu area atau domain dengan jumlah contoh yang besar. Namun, ketika penduga langsung tersebut digunakan untuk suatu area yang kecil, maka akan menimbulkan galat baku yang besar (Ghosh dan Rao 1994). Selain itu, pendugaan langsung tidak dapat dilakukan pada area yang tidak terpilih sebagai contoh, karena tidak adanya data yang dapat digunakan untuk melakukan pendugaan. Suatu area dikatakan kecil jika ukuran contoh dalam domain tersebut tidak cukup memadai untuk mendukung ketelitian penduga langsung (Rao 2003). Area kecil biasanya digunakan untuk mendefinisikan area geografi yang kecil atau domain yang memiliki ukuran contoh sangat kecil.

Penanganan masalah galat baku dalam pendugaan area kecil dilakukan dengan menambahkan informasi mengenai parameter yang sama pada area kecil lain yang memiliki karakteristik serupa, atau nilai pada waktu yang lalu, atau nilai dari peubah yang memiliki hubungan dengan peubah yang sedang diamati. Pendugaan parameter dan inferensinya yang menggunakan informasi tambahan tersebut dinamakan pendugaan tidak langsung (indirect estimation). Metode ini secara statistik memiliki sifat meminjam kekuatan (borrowing strength) dari

(21)

informasi mengenai hubungan antara peubah yang diamati dengan informasi yang ditambahkan, sehingga mengefektifkan jumlah contoh yang kecil. Pendugaan tidak langsung berdasarkan pada model implisit atau model eksplisit yang menyediakan suatu link yang menghubungkan area-area kecil melalui data tambahan. Dalam papernya, Petrucci dan Salvati (2004a) menuliskan bahwa penduga tak langsung ini terdiri dari dua tipe, yaitu penduga tak langsung yang berdasarkan pada model implisit, antara lain penduga sintetik (synthetic estimator) dan penduga komposit (composite estimator) serta penduga tak langsung yang berdasarkan pada model eksplisit (berbasis model) yang menggabungkan pengaruh acak antar area.

Asumsi dasar dalam pengembangan model untuk SAE adalah bahwa keragaman di dalam area kecil peubah yang sedang diamati dapat diterangkan oleh hubungan keragaman yang bersesuaian pada informasi tambahan yang disebut sebagai pengaruh tetap. Asumsi lainnya adalah bahwa keragaman khusus area kecil tidak dapat diterangkan oleh informasi tambahan dan merupakan pengaruh acak area kecil. Gabungan dari dua asumsi tersebut membentuk model linier campuran (mixed models). Pendugaan area kecil untuk model pengaruh campuran pertama kali dikembangkan oleh Fay dan Herriot (1979), untuk menduga pendapatan per kapita suatu area kecil berdasarkan data survei Biro Sensus Amerika Serikat (U.S. Bureau of the Cencus). Model ini selanjutnya dikenal dengan model Fay-Herriot yang merupakan model dasar bagi pengembangan pemodelan area kecil, yaitu    ;    , dimana  adalah penduga langsung bagi area ke-i,  merupakan parameter yang menjadi perhatian bagi area ke-i,  adalah koefisien regresi,  , , … ,  adalah peubah penyerta,  adalah galat contoh pada area ke-i.  adalah pengaruh acak area dengan  dan saling bebas dengan E = E = 0 dan Var  serta Var τ (i = 1, 2, …, m).

Tipe model pendugaan area kecil terbagi menjadi dua, yaitu model tingkat area (basic area level models) dan model tingkat unit (unit level area models) (Ghosh dan Rao 1994). Model tingkat area digunakan jika data penyerta yang bersesuaian dengan data peubah yang diamati tidak tersedia hingga tingkat unit

(22)

pengamatan, sedangkan model tingkat unit digunakan jika data penyerta yang bersesuaian dengan data peubah yang diamati tersedia hingga tingkat unit contoh.

Prediksi Tak Bias Linier Terbaik Empiris

Model pengaruh campuran Fay-Herriot selanjutnya dijabarkan oleh Russo

et. al (2005) untuk tingkat area sebagai berikut:

1.  , , % ,, merupakan vektor data pendukung (peubah penyerta). 2.    &, untuk i = 1, 2, …, m.  merupakan parameter yang

menjadi perhatian dan diasumsikan memiliki hubungan dengan peubah penyerta pada (1).

3. E 0, Var σ

4.    , penduga langsung untuk domain ke-i yang merupakan fungsi linier dari parameter yang menjadi perhatian dan galat contoh  .

5.    &  , untuk i = 1, 2, …, m merupakan gabungan dari (2) dan (4) yang terdiri dari pengaruh acak dan pengaruh tetap sehingga menjadi bentuk khusus dari model linier campuran dengan struktur peragam yang diagonal.

Model nomor (5) tersebut merupakan model tingkat area, yaitu:

   &  untuk i = 1, 2, …, m (1) dengan  adalah peubah penyerta tingkat area dan & adalah insiden matriks. Model persamaan (1) merupakan kasus khusus dari model linier campuran terampat dengan struktur koragam diagonal. Teknik penyelesaian model tersebut untuk memperoleh BLUP bagi    & telah dikembangkan oleh Henderson (1953,1975), dengan asumsi σ diketahui. Penduga BLUP dari  berdasarkan persamaan (1) adalah:

) )  *+ )

* 1 + * ) (2) dengan * &/&  dan ) adalah koefisien regresi yang diduga

dengan generalized least square (GLS), yaitu ) ./0. 0./0. Kuadrat tengah galat (Mean square error,MSE) dari 1 2 adalah:

(23)

dengan 5 dan 5 sebagai berikut : 5 &&  0 *

5 1 + * 6∑  / & 70

Metode BLUP yang dikembangkan Henderson (1953, 1975) mengasumsikan diketahuinya komponen ragam pengaruh acak dalam model linier campuran, padahal dalam kenyataannya, komponen ragam ini tidak diketahui. Oleh karena itu maka penduga ini harus terlebih dahulu diduga. Harville (1977) dalam papernya menulis tentang pendugaan komponen ragam dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum (ML) dan metode kemungkinan maksimum terkendala (REML). Pendugaan  baik dengan metode ML maupun metode REML dilakukan dengan metode algoritma scoring (scoring algorithm). Rumus-rumus yangdigunakan untuk menduga  dapat dilihat pada Lampiran 1. Penduga EBLUP telah dibahas lebih lengkap oleh Ghosh and Rao (1994), Rao (1999), Datta dan Lahiri (2000) dan Rao (2003). Penduga EBLUP dengan mengganti nilai  dengan penduganya 9 adalah sebagai berikut:

) *9 1 + *9 ) ( 3)

Penduga EBLUP yang diperoleh dengan metode ML maupun REML adalah penduga tak bias jika galat  dan  berdistribusi normal dengan rata-rata 0 .

MSE dari EBLUP (Rao 2003) adalah :

MSE1)2 : 5  5  5;

dengan 5; <&< & 0;=9 . =9 adalah ragam asimtot dari 9 dengan rumus ; =9 6> 70 2 @A&</ &  B  C 0

Penghitungan MSE1)2 dilakukan dengan menghitung penduganya. Rumus dari penduga MSE1)2adalah:

mse) 59  59  25;9

dimana mse) adalah penduga bagi MSE1)2. Pada model tingkat area, ada dua pilihan mse) , yaitu :

mse) 59  59  25;G9, 

(24)

mse) 59  59  5;9  5;G9,

dengan

5;G,  6&<</ & <7+ )=9

Prediksi Tak Bias Linier Terbaik Empiris Spasial

Misalkan didefinisikan vektor HI , … , B, J , … , B  dan K , … ,B , dan matriks . , … , B dan L diag&,… , &B .

Berdasarkan definisi vektor dan matriks tersebut, maka persamaan (1) dalam notasi matriks adalah :

HI .  LJ  K (4) Model pada persamaan (4) mengasumsikan bahwa terdapat pengaruh acak area, namun pengaruh tersebut saling bebas antar area. Pada kenyataannya, sangat beralasan untuk mengatakan bahwa ada korelasi antar area yang berdekatan. Korelasi tersebut akan semakin berkurang seiring dengan jarak yang bertambah. Hal ini sesuai dengan hukum pertama tentang geografi yang dikemukakan oleh Tobler (Tobler’s first law of geography) dalam Schabenberger dan Gotway (2005) yang merupakan pilar kajian analisis data spasial, yaitu “everything is realted to

everything else, but near things are more related than distant things”. Segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang lebih dekat akan lebih berpengaruh daripada sesuatu yang jauh.

Model SAE dengan memasukkan korelasi spasial antar area pertama kali diperkenalkan oleh Cressie (Cressie 1991 diacu dalam Rao 2003), dengan mengasumsikan ketergantungan spasial mengikuti proses Conditional Autoregressive (Otoregresif bersyarat, CAR). Model SAE ini kemudian dikembangkan lagi oleh beberapa peneliti, diantaranya Salvati (2004), Pratesi dan Salvati (2008), Singh et al. (2005) dengan mengasumsikan bahwa Ketergantungan spatial yang dimasukkan ke dalam komponen galat dari faktor acak mengikuti proses Simultaneous autoregressive (Simultan otoregresif, SAR). Model SAR sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Anselin (Anselin 1992 diacu dalam Chandra, Salvati, Chambers 2007) dimana vektor pengaruh acak area   memenuhi:

(25)

J PJ  Q (5) Koefisien  dalam persamaan (5) adalah koefisien otoregresif spasial yang

menunjukkan kekuatan dari hubungan spasial antar pengaruh acak. Nilai  berkisar antara -1 hingga 1. Nilai  R 0 menunjukkan bahwa suatu area dengan nilai parameter yang tinggi cenderung dikelilingi oleh area lain dengan nilai parameter yang tinggi pula dan sebuah area dengan nilai parameter yang rendah dikelilingi oleh area dengan nilai parameter yang rendah pula. Disisi lain,  S 0 menunjukkan bahwa suatu area dengan nilai parameter yang tinggi dikelilingi oleh area lain dengan nilai parameter yang rendah, atau sebaliknya (Savitz dan Raudenbush 2009). W adalah matriks pembobot spasial yang menggambarkan struktur ketetanggaan dari area kecil dalam bentuk standarisasi baris (jumlah setiap baris pada matriks W adalah 1), J adalah pengaruh acak area dan Q adalah vektor galat dari pengaruh acak area dengan rata-rata sama dengan nol dan ragam TB. Persamaan (5) dapat ditulis kembali sebagai berikut :

J T + P 0Q (6) dengan T adalah matriks identitas berukuran m U m. Dari persamaan (6) terlihat bahwa rata-rata V adalah 0 dan matriks koragam V(G) adalah sebagai berikut :

W X6T + P T + P 70

Persamaan (6) dimasukkan ke dalam persamaan (4) menghasilkan : HI .  LT + P 0Q  K

Matriks koragam dari HI dengan Y diag adalah :

V= R + ZGZT = diag  LX6T + P T + P 70L (7) Penduga Spasial BLUP untuk parameter  dengan ,  dan  diketahui adalah:

)Z,  [  \]6T + P T + P 70^L

U ]diag  LQ6T + P T + P 70L^0θ + .[

Dimana [ ./0. 0./0 dan \ adalah vektor berukuran 1 U n (0, 0, …0, 1, 0,…0) dengan 1 menunjuk pada lokasi ke-i. Penduga Spasial BLUP tersebut diperoleh dengan memasukkan matriks koragam pada persamaan (7) ke dalam penduga BLUP. Spatial BLUP akan sama dengan BLUP jika  0. Perhitungan MSE dari Spatial BLUP dapat diperoleh seperti dalam Rao (2003), yaitu :

(26)

MSE1)Z, 2 5,   5, 

dengan 5,  dan 5,  adalah sebagai berikut :

5,  b]6T + P T + P 70+ 6T + P T + P 70L U ]diag  L6T + P T + P 70L^0L U 6T + P T + P 70^ab 5, + b6T + P T + P 70L U ]diag  L6T + P T + P 70L^0. U .]diag   L6T + P T + P 70L^0. 0 U + \6T + P T + P 70L U ]diag  L6T + P T + P 70L^0. 

Seperti halnya dengan penduga EBLUP, penduga SEBLUP )Z9, 9 diperoleh dari Spasial BLUP dengan mengganti nilai ,  dengan pendugaanya. Asumsi kenormalan dari pengaruh acak digunakan untuk menduga  dan  dengan menggunakan prosedur baik ML maupun REML dengan fungsi

log-likelihood memiliki maksimum global dan beberapa maximum lokal (Patresi dan Salvati 2005 diacu dalam Pratesi dan Salvati 2008). Pendugaan tersebut dapat diperoleh secara iteratif dengan menggunakan algoritma Nelder-Mead (Nelder dan Mead 1965) dan algoritma scoring. Penggunaan dua prosedur ini secara berurut perlu dilakukan karena metode algoritma Nelder-Mead tidak tergantung pada pemilihan titik awal tetapi tidak terlalu efisien dan hasil yang diperoleh mendekati maksimum global, sedangkan algoritma scoring memerlukan titik awal yang tepat untuk mendapatkan fungsi yang maksimum. Fungsi kemungkinan logaritma yang digunakan untuk menduga  dan  dapat dilihat pada Lampiran 2 sesuai dengan yang dihasilkan oleh Patresi dan Salvati (2008). Hasil pendugaan tersebut kemudian digunakan untuk melakukan pendugaan terhadap SEBLUP, dengan rumus penduga EBLUP adalah:

)Z9, 9 [  \]96T + 9P T + 9P 70^L

U ]diag  L96T + 9P T + 9P 70L^0θ + .[

MSE1)Z9, 9 2 untuk model spatial EBLUP dengan pengaruh acak berdistribusi normal, adalah :

(27)

cde1)Z9, 9 2 MSE1)Z,  2  e1)Z9, 9 + )Z,  2

Bentuk e1)Z9, 9 + )Z,  2 ditaksir dengan Taylor dan dilambangkan dengan 5;,  ( Kackar dan Harville 1984 diacu dalam Pratesi dan Salvati 2008), yaitu : 5;,  fg hib j0L/0  j0L+/0Lj0L/0  bkL/0 j0L+/0LkL/0 l / U ibbj0L/0 j0L+/0Lj0L/0   kL/0 j0L+/0LkL/0  l  =9, 9 m

Penduga dari MSE1)Z9, 9 2 diperoleh dengan mengikuti hasil dari Harville dan Jeske (Harville dan Jeske 1992 dalam Pratesi dan Salvati 2008) dan kemudian dikembangkan menjadi model dengan koragam terampat (generalized

covariances) oleh Zimmerman dan Cressie (Zimmerman dan Cressie 1992 dalam Pratesi dan Salvati 2008), yaitu :

mse1)Z9, 9 2 : 59, 9  59, 9  25;9, 9 dimana 9 dan 9 adalah penduga yang diperoleh dengan menggunakan metode REML. Jika menggunakan 9 dan 9 dengan prosedur ML, penghitungan mse1)Z9, 9 2 sebagai berikut :

mse1)Z9,9 2 :

59, 9 + bML 9, 9 p59, 9  59, 9  25;9, 9

dengan bML 9,9 p59,9 diperoleh dari bentuk berikut :

p5,  bqrsj 0+ 6j0L/0L j0 j0L+/0Lj0L/0 Lj0 j0L/0Lj07 k + 6kL/0L j0 j0L+/0LkL/0 Lj0 j0L/0Lk7 t\i dan bML u2,  12vw>+1u2, x fgyz.r/+1.{+1.rz+/+1Lj+1Lr/+1{.| fgyz.r/+1.{+1.rz+/+1LkLr/+1{.| }~

Bentuk bML 9, 9 p59,9 adalah bentuk tambahan yang merupakan bias tambahan dari 59, 9 . Jika hal ini diabaikan maka penggunaan penduga ML akan menghasilkan nilai yang lebih kecil dari penduga MSE.

(28)

METODOLOGI PENELITIAN

Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga gugus data, yaitu: 1. Data yang digunakan sebagai penduga langsung, yaitu rata-rata pengeluaran

per kapita desa di Kabupaten Jember. Data ini dihitung dari pengeluaran per kapita untuk setiap desa yang terpilih sebagai contoh dalam Susenas 2008, berjumlah 35 desa. Selain menghitung rata-rata pengeluaran per kapita desa, data tersebut juga digunakan untuk menghitung ragam contoh dari pengeluaran per kapita untuk setiap desa contoh. Data ragam contoh digunakan untuk menduga komponen ragam dari peubah acak area.

2. Data yang digunakan sebagai peubah penyerta. Data ini harus mempunyai korelasi dengan pengeluaran per kapita dan merupakan hasil sensus. Oleh karena itu data yang digunakan sebagai peubah penyerta dalam penelitian ini adalah data yang berasal dari Podes 2008. Berdasarkan ketersedian data dalam podes 2008, maka data yang dipilih sebagai peubah penyerta adalah data persentase keluarga penerima askeskin setahun terakhir. Keluarga yang dapat menerima askeskin adalah keluarga yang tergolong miskin sesuai dengan kriteria yang dikeluarkan oleh BPS. Data persentase keluarga penerima askeskin setahun terakhir dipilih karena kiteria-kriteria yang ditentukan BPS (BPS 2005) bagi suatu rumah tangga miskin sangat berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengeluaran rumah tangga.

3. Data yang digunakan sebagai matriks pembobot spasial. Untuk keperluan ini, digunakan data jarak antar desa dengan menggunakan perangkat lunak ArcView. Penentuan titik pusat longitude – latitude setiap wilayah administrasi desa menggunakan metode thiesen polygon. Data ini kemudian dikonversi ke bentuk matriks contingency yang bernilai 0 dan 1 dengan menggunakan hasil penelitian Rahmawati (2010) yang menyatakan bahwa jarak antar desa di Kabupaten Jember masih memiliki korelasi spasial apabila kurang atau sama dengan 9.09 km.

(29)

Metode Penelitian

Data yang berasal dari Susenas maupun Podes merupakan data mentah yang tidak dapat langsung digunakan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan 2 tahap, yaitu tahap persiapan data dan pengolahan data dengan metode EBLUP dan SEBLUP. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

I. Persiapan

1. Mempersiapkan data sebagai penduga langsung. Penduga langsung dalam penelitian ini adalah pengeluaran per kapita desa yang diperoleh dari data pengeluaran per kapita rumah tangga yang berasal dari Susenas 2008 dengan rumus:

 ∑    , untuk i = 1, . . . , 35 dengan :

 = rata-rata pengeluaran per kapita desa ke-i

 = pengeluaran per kapita rumah tangga ke-j di desa ke-i  = jumlah rumah tangga di desa ke-i

Rata-rata pengeluaran per kapita desa ini kemudian digunakan sebagai penduga langsung untuk metode SEBLUP ( ).

2. Mempersiapkan data yang digunakan sebagai peubah penyerta, dengan memilih data persentase keluarga penerima askeskin setahun terakhir dari Podes 2008 untuk desa yang terpilih sebagai contoh dalam Susenas 2008 di Kabupaten Jember.

3. Mempersiapkan matriks pembobot spasial (W). Matriks ini berisi nilai 0 dan 1 dengan aturan :

 w

1, jika jarak antara desa ke + q dan ke + „ kurang dari atau sama dengan 9.09 km

0, jika jarak antara desa ke + q dan ke + „ lebih dari 9.09 km Š Matriks W ini kemudian dibakukan secara baris sehingga jumlah setiap baris W yang baru (W*) adalah 1. Cara memperoleh matriks yang dibakukan secara baris adalah sebagai berikut :

a. Menjumlahkan setiap baris dari matriks W (   …  ;‹ )

(30)

G  

Matriks W* ini yang akan digunakan dalam metode SEBLUP sebagai matriks pembobot spasial.

4. Mempersiapkan data ragam dari peubah respon dengan rumus : Œ 0∑   +  dengan Œ adalah ragam pengeluaran per

kapita pada desa ke-i. Πkemudian dibagi dengan  untuk mendapatkan ragam contoh yang akan digunakan dalam metode SEBLUP.

II. Pengolahan Data

1. Menentukan titik awal yang akan digunakan dalam algoritma scoring dengan menggunakan algoritma Nelder-Mead.

2. Melakukan pendugaan korelasi spasial () dan komponen ragam dari pengaruh acak () dengan menggunakan algoritma scoring.

3. Melakukan pendugaan koefisien regresi () dengan GLS.

4. Melakukan pendugaan pengeluaran per kapita desa dengan metode SEBLUP.

5. Melakukan pendugaan pengeluaran per kapita desa dengan metode EBLUP dan SEBLUP untuk desa-desa yang tidak terpilih sebagai contoh dalam Susenas 2008.

6. Melakukan pendugaan MSE untuk masing-masing desa.

7. Menghitung nilai akar kuadrat tengah galat relatif (relative root mean

squared error, RRMSE) dengan rumus : cde) ŽZ‘’

‘’ U

100%

8. Membandingkan hasil yang diperoleh pada tahapan ke 6 dengan hasil pendugaan EBLUP yang diperoleh dari penelitian Matualage, Saefuddin dan Wigena (2011).

(31)
(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendugaan Pengeluaran Per Kapita

Kabupaten Jember terdiri dari 247 desa/kelurahan. 14.17% dari jumlah tersebut atau 35 desa/kelurahan terpilih sebagai contoh dalam susenas 2008, dengan jumlah rumah tangga untuk masing-masing desa/kelurahan yang dipilih sebagai contoh berkisar antara 14 hingga 16 rumah tangga (Lampiran 3). Jumlah contoh untuk masing-masing desa/kelurahan sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah rumah tangga di masing-masing desa/kelurahan tersebut, yaitu hanya berkisar antara 0.1% hingga 1.26%. Hasil pendugaan pengeluaran per

kapita desa dengan metode pendugaan langsung dapat dilihat pada Lampiran 4.

Kecilnya jumlah contoh yang digunakan untuk menduga pengeluaran per kapita desa secara langsung menyebabkan MSE yang dihasilkan sangat besar (Lampiran 4). Untuk memperbaiki hasil pendugaan pengeluaran per kapita desa, selanjutnya digunakan model SAE dengan metode EBLUP dan SEBLUP.

Model SAE dengan mengikut model Fay-Herriot sebagai berikut : HI .  LJ  K

Dalam penelitian ini, HI adalah vektor rata-rata pengeluaran per kapita desa yang dihasilkan dengan metode pendugaan langsung, . adalah matriks persentase keluarga penerima askeskin setahun terakhir,  adalah vektor koefisien regresi, L adalah matriks insidensial (dalam penelitian ini merupakan matriks identitas), J adalah pengaruh acak area dan K adalah vektor galat contoh. Penduga EBLUP untuk model tersebut adalah :

) *9 1 + *9 )

Sebelum melakukan pendugaan terhadap pengeluaran per kapita desa dengan metode EBLUP, terlebih dahulu dilakukan pendugaan terhadap koefisien regresi dan komponen ragam peubah acak. Hasil pendugaan tersebut kemudian digunakan untuk menduga pengeluaran per kapita desa. Hasil pendugaan ini menggunakan hasil penelitian Matualage, Saefuddin, Wigena (2011) dengan nilai pendugaan koefisien regresi dan komponen ragam peubah acak dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai untuk penduga koefisien regresi bernilai negatif, yang mempunyai arti bahwa penambahan satu persen keluarga penerima askeskin setahun terakhir

(33)

di suatu desa cenderung menurunkan pengeluaran per kapita desa tersebut sebesar 1 427.37 untuk metode ML dan 1 470.58 untuk metode REML. Hasil pendugaan pengeluaran per kapita tiap desa dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 1 Nilai duga koefisien regresi dan ragam peubah acak dengan metode EBLUP

Penduga EBLUP ML EBLUP REML

[” 294 612.5 296 966.3

[ -1 427.37 -1 470.58

9 4 458 154 029 4 967 075 743

Salah satu pengembangan dari metode EBLUP, yaitu SEBLUP adalah dengan mengasumsikan bahwa terdapat otoregresi spasial antar area kecil. Metode ini lebih kompleks bila dibandingkan dengan metode EBLUP, karena pendugaan pada tahap pertama dilakukan untuk menduga bukan hanya koefisien regresi dan ragam peubah acak area, tetapi juga koefisien otokorelasi. Model yang digunakan adalah sebagai berikut :

HI .  LT + P 0Q  K

dengan HI adalah vektor pendugaan pengeluaran per kapita desa dengan menggunakan metode langsung, . adalah matriks persentase keluarga penerima askeskin setahun terakhir,  adalah koefisien regresi, L adalah matriks insidensial (dalam penelitian ini, L sama dengan matriks identitas), T adalah matriks identitas,  adalah koefisien otoregresif spasial, P adalah matriks pembobot spasial, Q adalah vektor galat dari pengaruh acak area dan K adalah vektor galat contoh.

Pendugaan koefisien regresi, ragam dari galat peubah acak area dan koefisien otoregresif spasial dengan metode ML dan REML dapat dilihat pada Tabel 2. Sama dengan hasil pendugaan dengan EBLUP, nilai penduga koefisien regresif dengan metode SEBLUP juga menghasilkan nilai negatif, walaupun nilainya lebih kecil dibanding nilai pendugaan yang dihasilkan dengan metode EBLUP. Nilai pendugaan untuk koefisien otoregresif spasial yang dihasilkan bernilai positif dan sangat kuat, artinya bahwa suatu desa/kelurahan di Kabupaten Jember yang memiliki pengeluaran per kapita yang besar, dikelilingi oleh

(34)

desa/kelurahan lain yang memiliki pengeluaran per kapita yang besar pula, dan suatu desa/kelurahan yang memiliki pengeluaran per kapita yang kecil, dikelilingi oleh desa/kelurahan lain yang memiliki pengeluaran per kapita yag kecil pula. Hal ini juga didukung oleh nilai penduga ragam dari galat pengaruh acak area yang sangat kecil, yaitu 1.89. Hasil pendugaan koefisien regresi, komponen ragam dari galat pengaruh acak area dan koefisien otoregresif spasial ini digunakan untuk menduga pengeluaran per kapita desa dengan metode SEBLUP. Nilai dugaan untuk pengeluaran per kapita desa dengan metode SEBLUP dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 2 Nilai duga koefisien regresi, ragam galat peubah acak area dan koefisien otoregresif spasial dengan metode SEBLUP (Rupiah)

Penduga SEBLUP ML SEBLUP REML

[” 173 200.43 173 113.14

[ -259.19 -260.59

9 1.89 1.98

9 0.99 0.99

Perbandingan antara hasil pendugaan pengeluaran per kapita desa baik dengan metode langsung, EBLUP dan SEBLUP dapat dilihat pada diagram kotak garis (Gambar 1). Terlihat bahwa terdapat pencilan untuk pengeluaran per kapita dengan metode langsung (empat pencilan) dan EBLUP (dua pencilan), sedangkan untuk pengeluaran per kapita dengan metode SEBLUP tidak terdapat pencilan. Pencilan-pencilan ini dapat terjadi karena jumlah contoh untuk tiap desa/kelurahan yang diambil sangat kecil (14 hingga 16 rumah tangga) terutama jika pendugaan dilakukan dengan pendugaan langsung. Akibat adanya pencilan, rata-rata nilai pendugaan untuk pengeluaran per kapita desa dengan metode langsung dan metode EBLUP lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nilai pendugaan dengan metode SEBLUP, dengan simpangan baku pengeluaran per kapita antar desa yang besar pula (Tabel 3). Hasil pendugaan dengan metode EBLUP dan SEBLUP, penduga dengan ML dan REML tidak berbeda.

(35)

Gambar 1 Diagram kotak garis pengeluaran per kapita desa/kelurahan untuk masing-masing metode pendugaan

Tabel 3 Nilai dugaan pengeluaran per kapita untuk setiap metode

Statistik Penduga Langsung EBLUP ML EBLUP REML SEBLUP ML SEBLUP REML Rata-rata 263 705 245 060 245 915 216 894 216 944 Simpangan baku 117 846 66 065 68 165 26 845 26 887 Q1 196 978 199 477 199 279 196 018 196 042 Median 227 596 230 630 230 535 213 833 213 814 Q3 271 319 271 626 272 009 235 469 235 491

Pendugaan MSE dan RRMSE

Hasil pendugaan MSE secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. Nilai ini kemudian digunakan untuk menghitung nilai RRMSE. Nilai ini dihitung untuk melihat kebaikan suatu penduga. Nilai dugaan dari RRMSE dengan metode EBLUP dan SEBLUP secara lengkap untuk 35 desa/kelurahan dapat dilihat pada lampiran 5. Perbandingan nilai RRMSE antar penduga langsung, EBLUP ML, EBLUP REML, SEBLUP ML dan SEBLUP untuk masing-masing desa/kelurahan

(36)

dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar ini terlihat bahwa nilai RRMSE dari penduga SEBLUP ML maupun SEBLUP REML jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai RRMSE dari penduga langsung maupun EBLUP untuk setiap desa, sedangkan nilai RRMSE dari penduga langsung tidak jauh beda dengan nilai RRMSE dari penduga EBLUP (ML maupun REML). Hal ini mengindikasikan bahwa pendugaan dengan metode SEBLUP dapat memperbaiki pendugaan parameter yang diperoleh dengan menggunakan metode langsung maupun dengan metode EBLUP. Hasil RRMSE yang dihasilkan dengan menggunakan metode EBLUP tidak mampu memperbaiki pendugaan dengan metode langsung. Hal ini dapat terjadi karena informasi tambahan yang digunakan dalam model tidak mampu menggambarkan area tersebut.

Gambar 2 Perbandingan nilai RRMSE untuk masing-masing desa/kelurahan dengan metode langsung ( ), EBLUP ML ( ), EBLUP REML ( ), SEBLUP ML ( ) dan SEBLUP REML ( )

Pengujian Model

Asumsi yang digunakan dalam model Fay-Herriot adalah asumsi kenormalan dari peubah acak. Pengujian asumsi ini dilakukan dengan menguji sisaan baku contoh yang menyebar normal dengan rata-rata 0 dan standar baku 1 (Gambar 3).

0 5 10 15 20 25 P A S E B A N G U M U K M A S T E M B O K R E JO W R IN G IN T E LU A M P E L K E S IL IR S A B R A N G S ID O D A D I P A C E S E M P O LA N G A R A H A N M R A W A N K E M U N IN G S A R I K ID U L S U K A M A K M U R W IR O W O N G S O K A R A N G S E M A N D IN G B A LU N G K ID U L G A D IN G R E JO W R IN G IN A G U N G P R IN G G O W IR A W A N JA T IR O T O S U K O R E JO G A M B IR O N O S E R U T K E M U N IN G LL O R S U M B E R P IN A N G K A L IS A T S U R E N R A N D U A G U N G S U M B E R JA M B E A R JA S A T E G A L B E S A R K A R A N G R E JO S U M B E R S A R I JE M B E R L O R R R M S E (% ) Desa





(37)

P-Value: 0.113 A-Squared: 0.596 Anderson-Darling Normality Test

N: 35 StDev: 26846.6 Average: 216891 260000 210000 160000 .999 .99 .95 .80 .50 .20 .05 .01 .001 P ro b a b il it y residual

Jika data menyebar di sekitar garis lurus maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut menyebar normal. Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa data menyebar disekitar garis lurus yang menggambarkan bahwa data menyebar normal.

Hasil ini juga dikuatkan dengan uji statistik menggunakan metode Anderson-Darling yang memberikan nilai 0.596 dengan nilai P sebesar 0,113 (H0 diterima untuk • 0.05 dengan H0 = data berdistribusi normal) artinya bahwa sisaan tersebut berdistribusi normal.

Sisaan P el u an g

Gambar 3 Plot q-q untuk sisaan baku dari model pendugaan dengan metode SEBLUP

(38)

KESIMPULAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat dirumuskan dari penelitian ini adalah:

1. Pengeluaran per kapita tiap desa di Kabupaten Jember yang diperoleh dengan penduga EBLUP lebih beragam bila dibandingkan dengan pengeluaran per kapita desa yang dihasilkan dengan penduga SEBLUP dengan rata-rata pengeluaran per kapita tiap desa dengan EBLUP lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran per kapita desa dengan SEBLUP.

2. Metode SEBLUP lebih baik digunakan untuk menduga rata-rata pengeluaran per kapita desa/kelurahan di Kabupaten Jember dengan peubah penyertanya dibandingkan dengan metode penduga langsung atau metode EBLUP. Sedangkan jika dibandingkan dengan penduga langsung, nilai RRMSE penduga EBLUP tidak jauh berbeda.

Saran

Matriks pembobot spasial yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan matriks pembobot nilai ambang dengan berasumsi bahwa korelasi spasial yang terjadi mengikuti proses SAR. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan matriks pembobot spasial lainnya serta membandingkan model Fay-Herriot berkorelasi spasial mengikuti proses SAR dengan model Fay-Herriot berkorelasi spasial mengikuti proses CAR.

(39)

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2008 Provinsi Jawa Timur. 2008. Katalog BPS. Jakarta: BPS.

[BPS] Kabupaten Jember dalam Angka 2009. 2009. Jakarta: BPS.

[BPS] Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2005. 2005. Jakarta: BPS.

Chandra H, Salvati N, Chambers R. 2007. Small area estimation for spatially correlated populations a comparison of direct and indirect model-based methods. Statistics in transition 8:887-906.

Datta GS, Lahiri P. 2000. A unified measure of uncertainty of estimated best linear unbiased predictors in small area estimation problems. Stat Sin 10:613-627.

Fay RE, Herriot RA. 1979. Estimation of income for small places: An application of James-Stein procedures to census data. J Amer Statist Assoc, 74: 269-277.

Fotheringham AS, Rogerson PA. 2009. The SAGE Handbook of Spatial Analysis. Los Angeles: SAGE.

Ghosh M, Rao JNK. 1994. Small area estimation: an appraisal (with discussion).

Statistical Science, 9(1):55-93.

Harville DA. 1977. Maximum likelihood approaches to variance component estimation and to related problems. J Amer Statist Assoc, 72: 320-338.

Henderson CR. 1953. Estimation of Variance and Covariance Components.

Biometrics, 9: 226-252.

Henderson CR. 1975. Best Linear Unbiased Estimation and Prediction under a Selection Model. Biometrics, 31: 423-447.

Kusumaningrum D. 2010. Hotspot analysis on poverty, unemployment, and food security in Java, Indonesia [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kurnia A. 2009. Prediksi terbaik empirik untuk model transformasi logaritma di dalam pendugaan area kecil dengan penerapan pada data susenas [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(40)

Matualage D, Saefuddin A, Wigena AH. 2011. Pendekatan small area estimation untuk menduga pengeluaran per kapita rumah tangga tiap desa dengan empirical best linear unbiased prediction (Studi kasus: kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur). Prosiding Seminar Nasional Statistika Universitas

Diponegoro; Semarang, 21 Mei 2011. Semarang: Program Studi Statistika FMIPA Universitas Diponegoro. Hlm 655-668.

Nelder JA, Mead R. 1965. A simplex method for function minimization. Comput

J, 7:308-313.

Petrucci A, Salvati N. 2004a. Small area estimation using spatial information. The rathbun lake watershed case study. Dipartimento di Statistica”G. Parenti”

viale morgagni, 59-50134.

Petrucci A. Salvati N. 2004b. Small area estimation considering spatially correlated errors: the unit level random effects model. Dipartimento di

Statistica”G. Parenti” viale morgagni, 59-50134.

Pratesi M, Salvati N. 2008. Small area estimation: the EBLUP estimator based on spatially correlated random area effects. Statistical methods and applications, Stat. Meth. & Appl. 17:113-141.

Rahmawati R. 2010. Model regresi terboboti geografis dengan pembobot kernel normal dan kernel kuadrat ganda untuk data kemiskinan (Kasus 35 desa atau kelurahan di Kabupaten Jember. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rao JNK. 1999. Some recent advances in model-based small area estimation.

Survey Methodology, 25:175-186.

Rao JNK. 2003. Small area estimation. London: Wiley.

Russo C. Sabbatini M, Salvatore R. 2005. General linear models in small area estimation: an assessment in agricultural surveys, http://www.siap.sagarpa.gob.mx/mexsai/trabajos/t44.pdf. [15 September 2011].

Sadik K. 2009. Metode prediksi tak-bias linear terbaik dan Bayes berhirarki untuk pendugaan area kecil berdasarkan model state space [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Salvati N. 2004. Small area estimation by spatial models: the spatial empirical best linear unbiased prediction (Spatial EBLUP). Dipartimento di

Statistica”G. Parenti” viale morgagni, 59-50134.

Savitz NV, Raudenbush SW. 2009. Exploiting spatial dependence to improve measurement of neighborhood social processes. Sociological Methodology, 39: 151.

(41)

Schabenberger O, Gotway CA. 2005. Statistical Methods for Spatial Data

Analysis. Chapman & Hall/CRC.

Singh BB, Shukla K, Kundu D. 2005. Spatial-temporal models in small area estimation. Survey Methodology 31:183-195

(42)
(43)

Lampiran 1 Rumus yang digunakan untuk menduga  dengan metode EBLUP

Bentuk iterasi yang digunakan untuk menduga  dengan metode ML adalah: —˜ —  ™>z— {š 0 Œz)— , — { dengan > ∑ › œ žŸ› Ÿ˜ ŸŸ B  dan Œ)— ,  +1 2 A &  &  1 2 B  A & +  ) &   B 

Pendugaan dengan metode REML adalah : —˜ —  ™> z— {š 0 Œ z)— , — { dengan >  fg6PBPB7 dan Œ  +fg6PB7 PBP

B adalah diagonal dari &, % , &B dan P diperoleh dari rumus : £ /0+ /0..T/0. 0.T/0

V merupakan matriks ragam peragam dari , yaitu / Y  LWLT , dengan R adalah ragam peubah acak area ( dan G adalah ragam dari galat contoh (). Penduga EBLUP yang diperoleh dengan metode ML maupun REML adalah penduga tak bias jika galat  dan  berdistribusi normal dengan rata-rata 0 .

(44)

Lampiran 2 Rumus yang digunakan untuk menduga  dan  dengan metode SEBLUP

Fungsi logaritma kemungkinan yang digunakan untuk menduga  dan  adalah : ¥, ,  +12 v log2π +12 log|V| +12 θ + ./0θ + .

Turunan parsial dari fungsi logaritma ML ¥, ,  terhadap  adalah sebagai berikut:

Œ©Ÿ, ,  ªª« ©Ÿ

+12 tr]/0Lj0L^ + 12θ +.+/0Lj0L/0 θ + .

Turunan parsial dari fungsi logaritma ML ¥, ,  terhadap  adalah sebagai berikut :

Œ¬, ,  ª¬ª« +tr]/0L6+j02ρWW+ 2W j07L^

+12 θ + .+/0L6+j02ρPP+ 2P j07L/0  + . dengan j 6T + P T + P 7. Matriks turunan kedua dari +¥, ,  terhadap  dan  adalah :

>,  x 1 2 tr]/0Lj0L/0Lj0L^ 12tr]/0Lj0L/0LkL^ 1 2 tr]/0LkL/0Lj0L^ 12 tr]/0LkL/0LkL^ } dengan k u26j02ρPPr+ 2P j+17.

Turunan parsial dari fungsi logaritma REML ¥  ,  adalah sebagai berikut: Œ ¯©Ÿ ,  °°¥  + 1 2 tr]£Lj0L^ 12 £Lj0L£ Œ ± ,  °¥ ° +12 tr]£L6+j02ρPPr+ 2P j+17L^ £L6+j02ρPPr+ 2P j+17L£ dengan £ /0+ /0../0. 0./0. Bentuk matriks > ,  adalah sebagai berikut :

(45)

Lampiran 2 Lanjutan > ,  x 1 2 tr]£Lj0L£Lj0L^ 12 tr]£Lj0L£LkL^ 1 2 tr]£LkL£Lj0L^ 12 tr]£LkL£LkL^ }

Penduga ML maupun REML untuk 9 dan 9 dapat diperoleh secara iteratif menggunakan algoritma scoring yaitu:

yu2  |  ˜ yu2  |   ™> z² ,  {š 0 · Œ ™[ z² ,  { ,² ,  š

(46)

lampiran 3 Jumlah rumah tangga di Kabupaten Jember dan jumlah rumah tangga yang terpilih sebagai contoh dalam Susenas 2008

No Nama Desa Jumlah RT

Jumlah

contoh No Nama Desa

Jumlah RT

Jumlah Contoh

1 Paseban 2 283 16 19 Wringin agung 4 436 16

2 Gumukmas 37 266 15 20 Pringgowirawan 3 762 16

3 Tembokrejo 2 677 16 21 Jatiroto 2 820 16

4 Wringin telu 1 800 15 22 Sukorejo 3 569 16

5 Ampel 5 238 16 23 Gambirono 3 607 15

6 Kesilir 3 675 16 24 Serut 3 363 16

7 Sabrang 4 024 15 25 Kemuningllor 2 271 15

8 Sidodadi 3 018 16 26 Sumber pinang 2 503 16

9 Pace 5 302 16 27 Kalisat 3 469 16

10 Sempolan 3 674 16 28 Suren 2 365 15

11 Garahan 3 163 16 29 Randu agung 2 167 16

12 Mrawan 2 662 16 30 Sumberjambe 2 190 15

13 Kemuning sari

kidul 2 418 16 31 Arjasa 1 428 14

14 Sukamakmur 2 556 15 32 Tegal besar 8 576 16

15 Wirowongso 2 717 16 33 Karangrejo 3 820 16

16 Karang

semanding 2 199 15 34 Sumbersari 6 690 16

17 Balung kidul 1 269 16 35 Jember lor 5 223 16

Gambar

Tabel  1  Nilai  duga  koefisien  regresi  dan  ragam  peubah  acak  dengan  metode  EBLUP
Tabel 2 Nilai duga koefisien regresi, ragam galat peubah acak area dan koefisien  otoregresif spasial dengan metode SEBLUP (Rupiah)
Gambar  1  Diagram  kotak  garis  pengeluaran  per  kapita  desa/kelurahan  untuk  masing-masing metode pendugaan
Gambar 3 Plot q-q untuk sisaan baku dari model pendugaan dengan metode                    SEBLUP

Referensi

Dokumen terkait

Kehidupan sosial budaya kaum penghayat kebatinan memberikan dampak pada lingkungan sekitarnya, yakni mereka ikut serta dalam upaya menjaga kerukunan dan pelestarian

Proses penyetaraan yang direkomendasikan untuk mengatasi gap yang terjadi dilakukan secara berurut, mulai dari rekomendasi untuk pencapaian tingkat kematangan 2

Salah satu jenis olahan susu yaitu susu pasteurisasi yang merupakan susu yang telah mengalami proses pengolahan dengan cara pemanasan pada suhu tertentu dengan tujuan

Berdasarkan hasil analisis ragam tidak terdapat interaksi yang nyata (P&gt;0,05) antara lama pencahayaan dan tingkat protein terhadap persentase karkas, demikian juga

Petunjuk Pelaksanaan Program Kota Mojokerto Berlingkungan Pendidikan di Masyarakat, (3) Cara Mengatasi Penghambat Terwujudnya Pelaksanaan Jam Wajib Belajar

Sedangkan inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Sumenep sebesar 0,15 persen, Kota Madiun sebesar 0,10 persen, Kota Malang sebesar 0,03 dan inflasi terendah terjadi

Untuk itu diperlukan adanya kerjasama dan komitmen organisasi profesi, institusi pendidikan keperawatan dan penyelenggara acara Sumpah Perawat serta pihak terkait dalam

Untuk memperoleh kepuasan kerja yang optimal pada seorang individu maka perlu dibutuhkan suatu kecerdasan emosional, sehingga tingkat stres fisiologis dan psikologis