• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. 4.1 Faktor-faktor penyebab minimnya peluang bagi caleg perempuan pada pemilu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV. 4.1 Faktor-faktor penyebab minimnya peluang bagi caleg perempuan pada pemilu"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

64

BAB IV

PERAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN TERHADAP FAKTOR-FAKTOR MINIMNYA PELUANG KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN SEBAGAI UPAYA

UNTUK MENINGKATKAN JUMLAH KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN di DPRD KOTA KUPANG

4.1 Faktor-faktor penyebab minimnya peluang bagi caleg perempuan pada pemilu

legislatif tahun 2014 di Kota Kupang

Ada berbagai faktor yang mendorong seseorang melakukan tindakan partisipasi politik baik sebagai pemilih dalam pemilihan umum maupun sebagai pejabat dalam lembaga legislatif. Pemberian suara oleh para pemilih diwarnai dengan berbagai faktor untuk meloloskan atau tidak meloloskan para calon legislatif (caleg) terutama caleg perempuan.

Tabel 4.1

Faktor pendorong partisipasi perempuan dan faktor keterpilihannya dalam legislatif Alasan ke-5 anggota

legislatif terpilih masuk dalam legislatif Faktor-faktor pemilih memilih 5 orang anggota legislatif perempuan Faktor-faktor kemenangan ke-5 anggota legislatif perempuan Faktor-faktor pemilih tidak memilih caleg perempuan

Aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan dan partai politik Adanya kedekatan emosional dengan pemilih setempat Adanya hubungan kekerabatan dengan masyarakat Pemilih tidak mengenal caleg perempuan Adanya investasi

sosial yang dilakukan caleg perempuan sebelum mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Adanya kepercayaan yang dipercayakan masyarakat kepada caleg perempuan Caleg perempuan tidak memiliki investasi sosial di daerah setempat Kesadaran untuk memperjuangkan aspirasi pemilih Tinggal di wilayah yang sama dengan caleg perempuan serta

Telah melakukan berbagai investasi sosial (kepedulian dan

Sistem

perekrutan partai tidak memiliki

(2)

65 melalui berbagai

kebijakan yang dihasilkan di lembaga legislatif

tergabung dalam satu lembaga tertentu seperti gereja

tindakan nyata terhadap berbagai isu dalam masyarakat) dan investasi nama (masyarakat mengenal dirinya sebagai sosok yang aktif dalam berbagai organisasi

kemasyarakatan)

standar yang baik dan jelas sehingga pemilih memahami bahwa perempuan hanyalah pelengkap kuota bagi partai politik sebagai peserta pemilu Adanya dukungan keluarga

Dukungan keluarga Pemilih merasa bahwa perempuan tidak dapat bekerja di dunia politik karena akan menghalangi pekerjaannya dalam keluarga Kekuatan spiritual

Direkrut partai politik Kurangnya

kekuatan finansial Kesadaran akan kurangnya jumlah keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif Perempuan sebagai pemilih terbanyak tidak mendukung caleg perempuan

(3)

66 Adanya harapan pemilih yang dipercayakan kepada caleg perempuan untuk memperjuangkan nasib dan keadaan lingkungan mereka di DPRD terutama mengenai penerangan, air dan pembangunan

Perempuan dianggap lemah sehingga tidak dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat Peran anggota legislatif perempuan periode lalu tidak ada Sumber diolah dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap 5 orang anggota legislatif

perempuan dan Focus Group Disscussion (FGD) terhadap 50 orang pemilih di Daerah Pemilihan Kota Kupang I-V

Untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan pemilih memberi sedikit peluang terhadap caleg perempuan maka terlebih dahulu perlu dipahami faktor-faktor pemicu keputusan anggota legislatif terjun ke dunia legislatif sehingga hal ini akan menentukan rekam jejaknya untuk meyakinkan para pemilih bahwa ia berhak duduk atau tidak dalam legislatif.

4.1.1 Faktor-faktor yang mendorong ke-5 anggota legislatif terpilih memutuskan menjadi

anggota legislatif

a. Faktor internal, yaitu dari dalam diri anggota legislatif terpilih

Dan Nimmo mengatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong seseorang berpolitik adalah motivasi personal atau kemauan diri sendiri untuk terlibat dalam dunia politik.1 Motivasi

1 Dan Nimmo dikutip oleh Zaenal Mukarom. Perempuan dan Politik: Studi Komunikasi Politik tentang

(4)

67

anggota legislatif terpilih mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di Kota Kupang adalah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat dan mengubah dinamika perpolitikan yang didominasi oleh kaum laki-laki. Faktor internal lainnya berupa rangsangan politik yang diperoleh dari berbagai keterlibatan terhadap isu masyarakat dan tergabung dalam kepartaian maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya di Kota Kupang.2 Selain itu, menjadi keharusan bagi caleg perempuan untuk mengandalkan kekuatan spiritualnya seperti doa untuk mendapatkan posisi di legisltif.

b. Faktor eksternal, yaitu dari luar diri anggota legislatif terpilih

- Peluang resmi

Adanya peluang resmi karena didukung oleh kebijakan negara dalam bentuk affirmative action dalam UU No.2 Tahun 2008 pasal 20 tentang kuota 30% keterwakilan perempuan menjadi pijakan para anggota legislatif terpilih membulatkan tekad untuk mencalonkan diri pada tahun 2014. Berdasarkan kebijakan ini maka partai politik berlomba-lomba untuk merekrut kaum perempuan agar dapat diterima sebagai peserta pemilu.

- Sumber daya sosial

Sumber daya sosial pun menjadi alasan seseorang mencalonkan diri sebagai pejabat legislatif karena dengan adanya dukungan keluarga yang bersedia menjadi tim sukses calon legislatif tersebut.3

4.1.2 Faktor-faktor yang mendorong pemilih memilih caleg perempuan

http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/viewFile/1125/681 (diakses pada 1 november 2016).

2 Salah satu penyebab seseorang berpartisipasi dalam politik karena adanya rangsangan politik. Lih., Rafael

Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik: Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 156-157.

3 Dan Nimmo dikutip oleh Zaenal Mukarom. Perempuan dan Politik: Studi Komunikasi Politik tentang

Keterwakilan Perempuan di Legislatif, Jurnal Komunikasi, vol. 2, nomor 9, (2008): 260.

(5)

68

Perilaku pemilih dapat dibedakan dalam 3 bentuk penilaian untuk memilih calon legislatif yaitu melalui pendekatan psikologis, pendekatan sosiologis dan pendekatan rasional.4

a. Pendekatan psikologis

Perilaku pemilih didasarkan pada kedekatan pemilih terhadap caleg perempuan. Penelitian menyatakan bahwa perilaku pemilih untuk mencoblos partai dan calon tertentu karena adanya ikatan emosional antara pemilih dengan partai atau calon bersangkutan. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh caleg perempuan di lingkungan tempat tinggalnya menjadi variabel yang menentukan perilaku politiknya kelak. Inilah yang membuat pemilih menaruh kepercayaan terhadap caleg perempuan yang dipilih.

Investasi sosial terhadap daerah pemilihan termasuk dalam salah satu penilaian para pemilih. Menurut Giddens, konsep investasi sosial merupakan investasi pada sumber daya manusia untuk memajukan kesejahteraan agar individu maupun kelompok dapat berkontribusi bagi penciptaan kesejahteraan, teknologi, pemeliharaan anak-anak dan pemberdayaan komunitas.5 Investasi sosial yang dilakukan oleh caleg perempuan di Kota Kupang terutama daerah pemilihan difokuskan pada infrastruktur yaitu penerangan dan pembuatan jalan.

b. Pendekatan sosiologis

Salah satu pendekatan untuk memahami perilaku pemilih adalah pendekatan sosiologis yang menyangkut salah satu karakter sosiologis yaitu wilayah.6 Hal senada diungkapkan oleh

4 Radityo Rizki Hutomo. “Perilaku Memilih Warga Surabaya Dalam Pemilu Legislatif 2014 (Hubungan

Kesuaian Program Kandidat, Kampanye, Identifikasi Partai dan Pemberian Imbalan Uang dalam Menentukan Pilihan Partai Politik dalam Pemilu Legislatif 2014)” Jurnal Politik Muda, Vol. 4 No. 1, (Januari - Maret 2015): 53-55. https://scholar.google.co.id/scholar?cluster=3026449772497039946&hl=en&as_sdt=0,5 (diakses pada 9 Januari 2017).

5

Caroline Paskarina. "Pembangunan Manusia Berbasis Investasi Sosial." Universitas Padjajaran (2007): 4http://scholar.googleusercontent.com/scholar?q=cache:vliuYw6903oJ:scholar.google.com/&hl=en&as_sdt=0,5

(diakses pada 9 Januari 2017)

(6)

69

Huntington bahwa dasar dari partisipasi politik, termasuk di dalamnya pemberian suara adalah berada di tempat tinggal yang sama atau berdekatan.7 Penelitian membuktikan bahwa pemilih hanya memilih caleg perempuan yang berada di tempat tinggal yang sama atau berdekatan saja. Caleg perempuan yang berada di satu daerah pemilihan namun tidak berada di tempat tinggal yang sama tidak akan dipilih karena pemilih tidak mengenalnya atau tidak ada hubungan emosional yang terjalin. Selanjutnya, meskipun berada di lingkungan yang sama atau berdekatan namun tidak ada investasi sosial maka sangat mustahil untuk dipilih.

c. Pendekatan rasional

Pendekatan ini berarti bahwa pemilih memilih caleg perempuan dengan pertimbangan adanya keuntungan maupun kerugian bagi pemilih. Dengan demikian, harapan-harapan yang berasal dari dalam diri setiap pemilih yang dipercayakan kepada caleg yang dipilihnya merupakan alasan penting untuk memajukan kesejahteraan lingkungan mereka terutama mengenai penerangan dan infrastruktur di Kota Kupang.

1.1.3. Faktor-faktor yang menyebabkan pemilih tidak memilih caleg perempuan

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan para pemilih tidak memberikan suara pada pemilihan legislatif 2014 di Kota Kupang, yaitu:

1. Faktor internal, yaitu faktor dari dalam diri para pemilih

a. Pemberian suara dipengaruhi oleh budaya patriarki

Para peserta FGD memahami bahwa pada umumnya masyarakat Kota Kupang masih dipengaruhi oleh budaya patriarki yang membentuk pemikiran masyarakat bahwa kekuasaan berada di tangan laki-laki. Dalam budaya patriarki, perempuan dipandang memiliki status yang

7 Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, terj. Sahat Simamora

(7)

70

lebih rendah dari laki-laki. Aspek perilaku dan sifat menjadi pembeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dipandang sebagai makhluk hidup yang rasional., dominan, kompetitif, tidak bergantung dan penuh percaya diri. Sedangkan perempuan dipandang sebagai makhluk hidup yang hangat, emosional, lemah lembut dan pasif.8 Hal ini membuat adanya pembagian kerja yang sesuai dengan sifat maskulin dan feminim di mana laki-laki bekerja di sektor yang mengandalkan kekuatan dan keberanian seperti tentara, polisi, pejabat pemerintahan, dsb, sedangkan perempuan bekerja di sektor yang mengandalkan perasaan, kelemah lembutan dan ketelitian seperti memasak, menjahit, dsb.9

Budaya patriaki mengacu pada sistem kehidupan yang berpusat pada „bapak‟ atau garis keturunan bapak. Kumpulan keluarga manusia diatur, dipimpin dan diperintah oleh kaum bapak atau laki-laki tertua. Artinya, hukum keturunan dalam patirarkat menurut garis keturunan bapak. Nama, harta milik, dan kekuasaan kepala keluarga (bapak) diwariskan kepada anak laki-laki. Billing dan Alvesson menggunakan konsep patriarchy (patriarkat) untuk menggambarkan bentuk dominasi ayah terhadap rumah tangga atau seluruh anggota keluarga serta mengontrol semua produksi ekonomi rumah tangga. Hal ini berdampak juga pada kehidupan sosial yaitu laki-laki memegang posisi kekuasaan politik, ekonomi, dan kehidupan kerja, sedangkan perempuan kurang memiliki akses tersebut.10

8 Choirun Nisa Rahmaturrizqi dan Fathul Lubabin Nuqul. "Gender dan Perilaku memilih: Sebuah Kajian

Psikologi Politik." Jurnal Psikologi Teori dan Terapan 3.1 (2012): 33.

https://scholar.google.co.id/scholar?q=gender+dan+perilaku+memilih%3A+sebuah+kajian+psikologi+politik&btnG =&hl=en&as_sdt=0%2C5 (diakses pada 9 Januari 2017).

9 Darwin, Muhadjir. "Maskulinitas: Posisi Laki-Laki dalam Masyarakat Patriarkis." Center for Population

and Policy Studies Gadjah Mada University (1999): 4.

https://scholar.google.co.id/scholar?q=posisi+lakilaki+dalam+budaya+patriarki&btnG=&hl=en&as_sdt=0%2 C5 (diakses pada 9 Januari 2017).

(8)

71

Kebudayaan ini masih terpatri dengan jelas dalam kehidupan masyarakat di Kota Kupang. Budaya patriarki memberi dampak negatif dalam diri perempuan seperti: pertama, kurang menyadari bahwa dirinya memiliki hak yang sama dengan laki-laki; kedua, sulit menghilangkan perasaan malu dan takut salah; ketiga, kurang mampu berpikir jernih dan logis sehingga sulit mengambil keputusan; keempat, memiliki beban kerja domestik; kelima, selalu mempertimbangkan faktor keluarga, agama dan ekonomi dalam berorganisasi; keenam, kurang mampu menerima kekuasaan yang dipercayakan dan selalu mengalah dalam perebutan kekuasaan; ketujuh, kurang mampu mengendalikan emosi sehingga pikirannya kurang stabil dan mudah terpengaruh; kedelapan, tidak mampu menjalin persatuan yang solid.11 Pada akhirnya pemahaman budaya patriarki ini membuat perempuan kurang siap dalam menjalankan peran di sektor publik dan tertingggal dalam segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya teringgal dalam dunia perpolitikan.

Budaya patriarki pun mempengaruhi perilaku para pemilih di Kota Kupang yang sangat bias gender. Joni Lovenduski mengatakan bahwa salah satu kendala minimnya keterpilihan caleg perempuan adalah faktor sosial yang terdiri dari sumber daya perempuan, pemahaman bahwa perempuan memiliki tanggung jawab dalam keluaga yang tidak dapat ditinggalkan serta pemahaman bahwa politik adalah pekerjaan laki-laki.12 Setiap perempuan disubordinasi sebagai makhluk yang emosional sehingga lebih cocok bekerja di sektor domestik (dapur, rumah tangga/keluarga).13 Dalam proses diskusi, peserta FGD mengatakan bahwa budaya patriarki tidak mempengaruhi perilaku memilih namun pada kenyataannya mereka pun mengakui bahwa

11

Abraham Nurcahyo. "Relevansi budaya patriaki dengan partisipasi politik dan keterwakilan perempuan di

parlemen". Agastya: Jurnal Sejarah dan Pembelajarannya vol 6, nomor 01, (2016): 26-27.

https://scholar.google.co.id/scholar?q=RELEVANSI+BUDAYA+PATRIAKI+DENGAN+PARTISIPASI+POLITI K+&btnG=&hl=en&as_sdt=0%2C5 (diakses pada 9 Januari 2017).

12 Lovenduski, Politik Berparas..., 88.

13 Achmad Muthali‟in, Bias Gender dalam Pendidikan (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001),

(9)

72

perempuan lemah dan tidak mampu bersaing dengan laki-laki di lembaga legislatif dalam rangka memperjuangkan aspirasi masyarakat. Caleg perempuan juga dilabelkan sebagai ibu rumah tangga yang tidak dapat bekerja di luar keluarganya atau di wilayah laki-laki, termasuk lembaga legislatif.14 Inilah kenyataan yang terungkap dalam penelitian bahwa para pemilih meragukan kemampuan caleg perempuan karena faktor kultural yang masih melekat dalam proses pemilihan.

Adanya peran ganda perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pekerja upahan disertai dengan kurangnya pelayanan efektif yang mengurangi beban domestik membuat berbagai konflik seperti perceraian, kecanduan alkohol dan persoalan-persoalan pemuda serta frustrasi.15 Pemahaman ini sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada perempuan di Kota Kupang karena menurut data Badan Kepegawaian Daerah (BKD), terdapat 3900 PNS perempuan sedangkan laki-laki berjumlah 3038 laki-laki; profesi sebagai guru sebanyak 2357 perempuan dan 1228 laki-laki; profesi di bidang kesehatan sebanyak 610 perempuan dan 135 laki-laki.16 Sayangnya, dalam ranah politik, kehadiran perempuan belum membawa hasil kuantitas yang berarti. Seorang perempuan sebagai kaum yang pada umumnya dimarginalkan dari kehidupan sosial, perempuan merasa bahwa kehadirannya tidak akan membawa perubahan di legislatif dan politik pun tidak membawa perubahan apapun sesuai dengan pengalaman dengan para politisi sebelumnya.17

Faktor sosial lainnya yang disampaikan Lovenduksi adalah mengenai sumber daya perempuan. Ia mengatakan bahwa untuk menjadi seorang calon legislatif harus menempuh

14 Ibid.

15 Henrietta L. Moore, Feminisme dan Antropologi, terj. Tim Proyek Studi Jender dan Pembangunan FISIP

UI (Jakarta: Obor, 1998), 250.

16Data Statistik Pegawai oleh Badan Kepegawaian Daerah Kota Kupang.

http://kupangkota.go.id/v4/index.php/data/statistik/pegawai (diakses pada 9 januari 2017).

(10)

73

proses yang mahal. Perempuan tidak hanya memiliki sumber daya yang sedikit untuk menutupi semua ongkos politik tetapi juga harus menambah tambahan biaya sehingga hal ini menjadi kendala bagi perempuan untuk ditempatkan pada lembaga-lembaga pembuat keputusan.18 Astrid Anugrah pun menambahkan bahwa dalam kancah perpolitikan di dalam partai, kaum laki-laki memang jauh lebih banyak memiliki pilihan menjadi SDM yang dibutuhkan ketimbang perempuan.19

Kekuatan finansial menjadi salah satu kendala keterpilihan caleg perempuan dalam pemilu legislatif 2014 di Kota Kupang yang bias gender karena masyarakat menganggap perempuan kurang memiliki kekuatan finansial. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Alfitri, Dosen Sosiologi Universitas Sriwijaya, mengatakan bahwa semakin banyak para kandidat menginvestasikan modal sosial, budaya dan ekonomi maka semakin banyak modal politik yang diperoleh sebagai pintu masuk merebut kekuasaan.20 Berdasarkan UU No.10 pasal 129, setiap calon anggota DPRD baik laki-laki maupun perempuan turut dalam pembiayaan dana kampanye atau sosialisasi politik termasuk di dalamnya dana iklan di media massa/media cetak serta pemasangan alat peraga (pamflet, spanduk, dll).21 Selain kurangnya kekuatan finansial, caleg perempuan juga diperhadapkan dengan politik uang (money politic) yang merebak dalam pesta demokrasi. Para pemilih pun meyakini bahwa politik selalu berkaitan dengan uang dan para kandidat harus mempersiapkan sejumlah uang untuk memenangkan pemilihan. James Kerr

18

Lovenduski. Politik Berparas..., 140.

19 Astrid Anugrah, Keterwakilan Perempuan dalam Politik (Jakarta: Pancuran Alam, 2009), 11.

20Alfitri. Perilaku Politik Transaksi Calon Legislatif dan Pemilih Pada Pemilu Legislatif 2014 di Kelurahan

Sako-Kota Palembang, Proceeding Konferensi Nasional Sosiologi III Transformasi Demokrasi Indonesia Menuju

Perubahan Yang Bermakna (Yogyakarta: 2014), 207.

https://scholar.google.co.id/scholar?q=Konferensi+Nasional+Sosiologi+III&btnG=&hl=en&as_sdt=0%2C5 (diakses pada 9 Januari 2017).

21

UU No.10 Tahun 2008 pasal 129: Dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: partai politik; calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik yang bersangkutan; dan sumbangan yang sah menurut hukum dan pihak lain. Lih., Anugrah, Keterwakilan Perempuan..., 152.

(11)

74

Pollock menyatakan bahwa relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi.22 Uang berperan penting dalam pembiayaan iklan, proses seleksi kandidat, kampanye, dsb, namun peran uang juga dikhawatirkan jika digunakan untuk membeli suara.

Penelitian ini membuktikan bahwa kekuatan finansial yang bias gender bukanlah kendala yang begitu berarti bagi keterpilihan caleg perempuan. Salah satu anggota legislatif perempuan dihambat oleh beberapa oknum yang menjual suara menjelang pemilihan namun hasilnya anggota legislatif tersebut lolos dalam pemilihan karena mengandalkan modal sosial. Dengan demikian, modal sosial adalah kekuatan untuk mempertahankan eksistensi perempuan di bidang politik. Modal sosial ini diperoleh dari pendidikan yang layak bagi seorang perempuan. Sayangnya, pendidikan juga telah dipahami sebagai sesuatu yang bias gender oleh masyarakat bahwa tugas perempuan adalah melayani keluarga sehingga pendidikan bukanlah hal yang penting. Namun, kenyataannya, sesuai dengan data Angka Partisipasi Murni (APM) Kota Kupang tahun 2014 yaitu sebanyak 37,23% perempuan dan 42,50% laki-laki yang belum mengenyam pendidikan SMA. Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi, sebanyak 44,43% perempuan dan 42,42% laki-laki yang belum melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi.23 Hal ini membuktikan bahwa perempuan di Kota Kupang sudah mendapatkan pendidikan yang layak dan memiliki sumber daya fisik dan mental yang memadai. Sumber daya ini dapat memenuhi salah satu syarat bakal calon anggota legislatif pada UU No. 10 tahun 2008 pasal 50 ayat (1) huruf e.24

22 Edi Nasution, Perselingkuhan Antara Politik Dan Uang (Money Politics) Menciderai Sistem

Demokrasi:3.https://scholar.google.co.id/scholar?start=90&q=politik+dan+uang+dalam+demokrasi&hl=en&as_sdt= 0,5 (diakses pada 9 Januari 2017).

23Angka Partisipasi Murni (APM) Kota Kupang, 2014-2015, Badan Pusat Statistik. https://kupangkota.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/71 diakses pada 10 Januari 2017.

24 UU No. 10 tahun 2008 pasal 50 ayat (1e) berbunyi: “Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah

Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat”.

(12)

75

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tanpa disadari perilaku pemilih dalam memberikan suara kepada caleg perempuan masih dipengaruhi oleh budaya patriarki yang menghasilkan bias gender dalam aspek pekerjaan, finansial dan pendidikan. Kenyataan ini mengakibatkan perempuan yang terekonstruksi oleh budaya yang sama sulit untuk memberikan peluang yang lebih banyak kepada caleg perempuan yang dirasakan tidak mampu seperti dirinya untuk menjadi wakil rakyat di lembaga legislatif.

b. Faktor eksternal, yaitu faktor dari luar diri pemilih

 Caleg perempuan tidak memaksimalkan modal sosialnya

Penelitian yang dilakukan oleh Diana Dewi Sartika dan Eva Lidya, Universitas Sriwijaya, membuktikan bahwa modal sosial yang dimiliki calon legislatif akan mangikat dan menjembatani perempuan membangun dan memperluas jejaring hingga akhirnya lolos menjadi anggota legislatif. Adapun modal tersebut merupakan sumber daya yang dimiliki seseorang dalam pemberdayaan masyarakat, baik berupa modal material maupun non-material. Modal material berkaitan dengan aset-aset finansial sedangkan modal non-material berkaitan dengan mutual trust (kepercayaan) dan gathering system (sistem kebersamaan dalam suatu masyarakat).25

Modal sosial tersebut di atas tidak dirasakan oleh para pemilih sehingga mereka enggan memberikan suara mereka kepada figur yang tidak dikenali karena tidak tercipta kepercayaan dan kebersamaan. Disebutkan bahwa modal non-material menjadi kekuatan ke-5 anggota legislatif perempuan lolos dalam pemilu legislatif 2014 namun sayangnya modal sosial

25Diana Dewi Sartika dan Eva Lidya, Studi Tentang Modal Sosial dan Lolosnya Caleg Perempuan ke

Legislatif di Kota Palembang pada Pemilu Legislatif 2014, Proceeding Konferensi Nasional Sosiologi III

Transformasi Demokrasi Indonesia Menuju Perubahan Yang Bermakna (Yogyakarta: 2014), 207.

https://scholar.google.co.id/scholar?q=Konferensi+Nasional+Sosiologi+III&btnG=&hl=en&as_sdt=0%2C5 (diakses pada 9 Januari 2017).

(13)

76

material ini belum dirasakan sepenuhnya di daerah-daerah pemilihan tertentu. Caleg perempuan tidak melakukan sosialisasi di daerah mereka sehingga pemilih pun tidak mengenal profil caleg perempuan. Kemudian, caleg perempuan juga bukan berasal dari lingkungan yang sama dengan pemilih serta tidak adanya peran sosial atau investasi sosial yang menguntungkan diri pemilih khususnya dan lingkungan pemilih umumnya.

Pada hakikatnya, media massa berperan dalam proses pemilu legislatif, sebagaimana yang tertera dalam UU No.10 tahun 2008 pasal 93 dst, mengatakan bahwa promosi calon legislatif diinformasikan melalui berbagai media dan alat peraga. Hal ini membuktikan bahwa kendala minimnya keterpilihan caleg perempuan tidak hanya berasal dari sumber daya internal yaitu bagaimana caleg perempuan membangun dan menjembatani peran politiknya dalam masyarakat untuk mendapat kepercayaan pemilih tetapi juga berasal dari seumber daya eksternal yaitu peran partai politik dalam mempromosikan calon legislatif di media massa.

 Pola perekruitan perempuan oleh partai politik

Faktor minimnya peluang yang diberikan para pemilih kepada caleg perempuan berikutnya adalah mengenai pola perekruitan partai politik yang tertutup dan dikuasai elit-elit partai mengakibatkan perempuan dianggap sebagai pelengkap kuota. Chusnul Mar‟iyyah mengungkapkan bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan (power) yang dapat dikelompokan dalam pengertian ability (kemampuan), capacity (kecakapan), faculty (kemampuan), potential (kesanggupan) dan skill (kepandaian).26 Oleh karena itu, perekruitan perempuan oleh partai politik harus mencakup aspek politik yang diungkap Mariyyah. Penelitian yang dilakukan Katriana dan David Samiyono membuktikan bahwa salah satu kendala tidak

26 Chusnul Mar‟iyyah dikutip oleh Katriana dan David Samiyono, “Perempuan dan Politik (Studi Kasus

Perempuan dan Politik di Tewah Pada Pemilu Legislatif Tahun 2009 Kabupaten Gunung Mas)” Tesis. Teologi. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga: 2012.

(14)

77

lolosnya caleg perempuan ke lembaga legislatif karena perempuan direkruit secara mendadak dan kebanyakan hanya untuk melengkapi jumlah kuota karena tidak memiliki modal politik yang baik.27

Mencari anggota baru yang berbakat untuk berpartisipasi dalam politik adalah salah satu fungsi partai politik.28 Proses rekruitmen anggota legislatif yang dilakukan partai politik bersikap tertutup karena peranan kalangan elite yang sangat dominan untuk menentukan calon yang akan direkruit menjadi anggota legislatif. Implikasi dari proses rekruitmen yang tertutup adalah pertama, anggota legilatif sangat akomodatif terhadap pemerintah dan pimpinan partainya; kedua, mengorbankan kualitas dan mengutamakan patronage sehingga membawa akibat negatif ketika memasuki dunia politik yang sangat kompleks.29

Pola rekruitmen anggota legislatif yang didominasi oleh kekuasaan para elite politik dan tertutup membuat masyarakat menyimpulkan bahwa pencalonan perempuan dalam pemilihan umum hanyalah untuk memenuhi syarat menjadi peserta pemilu. Pola rekruitmen untuk memenuhi kuota keterwakilan 30% dialami oleh seorang ibu di Kec. Alak, Kel. Nunbaun Sabu. Menurut Azza Karam, ide inti dari sistem kuota ini adalah untuk merekrut perempuan ke dalam

27 Katriana dan David Samiyono, “Perempuan dan Politik (Studi Kasus Perempuan dan Politik di Tewah

Pada Pemilu Legislatif Tahun 2009 Kabupaten Gunung Mas)” Tesis. Teologi. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga: 2012. https://scholar.google.co.id/scholar?start=10&q=tewah&hl=en&as_sdt=0,5 (diakses pada 8 Agustus 2016).

28 Dalam negara demokratis, partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu: pertama, sebagai

sarana komunikasi politik, yaitu sebagai jembatan antara pemerintah dengan rakyat serta rakyat dengan pemerintah untuk merumuskan suatu keputusan; kedua, sebagai sarana sosialisasi politik di mana melaluinya partai politik dapat memberikan didikan politik kepada masyarakat, mengembangkan citra peduli akan kepentingan rakyat, mencari dukungan serta mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar dan bertanggungjawab; ketiga, sebagai sarana rekrutmen politik, yaitu mencari anggota baru yang berbakat untuk berpartisipasi dalam politik; keempat, sebagai sarana pengatur konflik, yaitu membantu meminimalisir akibat negatif dari sebuah pertikaian atau masalah dalam masyarakat.Lih., Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai politik (Jakarta: Gramedia, 1981), 405-409.

29 Afan Gaffar. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),

(15)

78

posisi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak lagi terisolasi dalam kehidupan politik.30 Namun dengan pola rekruitmen perempuan yang tidak berstandar pada latar belakang organisasi dan kualitas kepemimpinan yang dimiliki kaum perempuan maka sistem kuota ini bukan lagi sebagai pengkritik keseimbangan perwakilan laki-laki dan perempuan melainkan sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan partai politik dan sistem kuota pun berubaah maknanya sebagai pengkritik keseimbangan perwakilan laki-laki dan perempuan menjadi ajang pemenuhan kepentingan partai politik dan para elit-elitnya.

Pola perekruitan partai mengalami kendala karena makin menguatnya politik pencritaan dan pentingnya popularitas, parpol menjadi kurang intensif untuk melahirkan calon-calon pemimpin lokal melalui sistem kaderisasi yang bagus. Hal ini juga disebabkan oleh maraknya politik kekerabatan yang mengutamakan sistem kekeluargaan untuk menjadi calon legislatif.31 Implikasi dari pola perekruitan tertutup dan didominasi elit politik yang mengutamakan popularitas dan kekerabatan akan mencerminkan figur anggota legislatif perempuan itu sendiri.32 Terlihat jelas bahwa ada perbedaaan yang sangat signifikan antara perempuan yang masuk dalam ranah politik dengan latar belakang sebagai aktivis dan/atau kader partai dengan perempuan yang masuk dalam ranah politik secara instant karena memiliki jaringan elite serta kekuatan finansial.

30

Sistem kuota sering disebut gender neutral karena digunakan sebagai pengkritik keseimbangan perwakilan laki-laki dan perempuan.Azza Karam dikutip oleh Masruchah, “Mengapa Perlu Perempuan di Parlemen?”, dalam Perempuan Parlemen dalam Cakrawala Politik Indonesia, peny. Indra Syamsi (Jakarta: PT Dian Rakyat, 2013), 28.

31

Nico Harjanto. "Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di Indonesia." Analisis CSIS:

Politik dan Kekerabatan di Indonesia, vol. 40, nomor 2 (2011): 151-153.

https://scholar.google.co.id/scholar?q=Politik+Kekerabatan+Politik+di+Indonesia&btnG=&hl=en&as_sdt=0%2C5

(diakses pada 9 Januari 2017).

32Analisa ini dilakukan peneliti dengan membandingkan hasil wawancara mengenai alasan anggota

legislatif perempuan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dengan hasil FGD mengenai peran yang telah dilakukan anggota legislatif tersebut menurut penilaian masyarakat.

(16)

79

Dalam melakukan penelitian, peneliti mendapati beberapa anggota legislatif perempuan yang tidak dapat menjawab pertanyaan dalam proses wawancara dengan penekanan selayaknya seorang politisi. Kecakapan dalam berkomunikasi dan mengeluarkan pendapat pun tidak dapat dikembangkan oleh anggota legislatif tersebut dalam berbagai sidang yang dihadiri oleh masyarakat yang bekerja di bidang pemerintahan.

 Kekecewaan terhadap peran anggota-anggota legislatif perempuan pada

periode-periode sebelumnya

Galen A.Irwan dalam tulisannya mengenai “Political Efficacy, Satisfaction and Participation” menyimpulkan bahwa dalam beberapa keadaan tertentu, perasaan puas menentukan tingkat partisipasi.33 Kesimpulan Galen ini dapat berlangsung dalam suatu masyarakat karena pada dasarnya setiap individu yang terlibat dalam politik menaruh harapan bahwa kebutuhan dan aspirasinya akan diperhatikan oleh para pemimpin dan perbuatan mereka akan mempengaruhi pembuatan kebijakan demi kebaikan bersama. Adanya kekecewaan atas peran anggota legislatif di periode-periode sebelumnya membuat perempuan tidak menaruh simpati kepada anggota legislatif termasuk anggota legislatif.

Sebagian besar pemilih yang menjadi peserta FGD tidak mengenal figur anggota legislatif perempuan periode 2014-2019, bahkan ketika para pemilih mengikuti sidang sebagai wujud penunaian tugas mereka sebagai pegawai pemerintahan maupun RT/RW membuktikan bahwa hanya 2 anggota legislatif perempuan yang dapat mengutarakan pendapat dan kritikan dalam persidangan dari total 5 orang anggota legislatif perempuan. Hal serupa juga ditegaskan oleh salah satu anggota legislatif dan berbagaia informasi lainnya ketika melakukan survei mengenai sepak terjang para anggota legislatif perempuan. Jika dilihat dari latar belakangnya

(17)

80

maka jelas bahwa seorang perempuan yang berlatang belakang sebagai aktivis dan kader partai lebih fasih dalam melaksanakan peran politiknya.

Kekecewaan terhadap peran anggota legislatif juga menghasilkan berbagai pemahaman politik yang berbeda di setiap kalangan masyarakat. Ironisnya, politik dipahami sebagai seni menipu masyarakat untuk merebut kekuasaan demi terpuaskan keinginan pribadi dan kelompok tertentu.

4.2 Peran Anggota Legislatif Perempuan Terhadap Peningkatan Jumlah Keterpilihan

Caleg Perempuan di DPRD Kota Kupang

Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh Joni Lovenduski untuk mendukung tuntutan partisipasi perempuan, yaitu: pertama, argumen keadilan. Menurut argumen ini, sangatlah tidak adil jika kaum laki-laki memonopoli perwakilan, terutama di negara yang menganggap diri sebagai negera demokrasi modern karena perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki; kedua, argumen pragmatis. Melalui partisipasi perempuan, politik akan lebih konstruktif dan ramah; ketiga, argumen perbedaan. Perempuan akan membawa gaya dan pendekatan yang berbeda dalam politik yang akan mengubahnya menjadi lebih baik yaitu suatu pengaruh yang menguntungkan semua pihak.34 Oleh karena itu, potret keterpilihan perempuan dalam legislatif yang mengalami berbagai kendala baik kendala internal maupun eksternal dari para pemilih menjadi tanggung jawab setiap anggota legislatif terutama anggota legislatif perempuan di DPRD Kota Kupang. Peran politis mereka sangat dibutuhkan untuk membuka peluang yang lebih besar atau bahkan setara dengan peluang laki-laki untuk lolos ke lembaga legislatif.

(18)

81

Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status) di mana seseorang dikatakan menjalankan suatu peranan apabila ia melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya.35 Dengan demikian, pada bagian ini peneliti akan mendeskripsikan dan menganalisa peran anggota legislatif perempuan dalam menggunakan hak dan kewajibannya sesuai dengan fungsi legislatif terhadap faktor-faktor yang menyebabkan pemilih memberikan sedikit peluang bagi keterpilihan caleg perempuan.

4.2.1 Respon anggota DPRD terhadap minimnya jumlah keterpilihan caleg perempuan

Kehadiran perempuan dalam lembaga pembuat keputusan dipandang oleh beberapa anggota legislatif perempuan sebagai keharusan untuk memperjuangkan hak perempuan dan dengan demikian dapat mematahkan pelabelan yang diberikan kepada perempuan. Kehadiran perempuan pun membawa gaya pendekatan politik yang lebih ramah dan sejuk serta mampu mengimbangi ketamakan anggota legislatif laki-laki karena perempuan mengelola lebih pada hati. Pernyataan ini sesuai dengan argumen pentingnya kehadiran perempuan dalam politik yang disampaikan Joni Lovenduski, yaitu pertama, argumen keadilan yang berarti sangatlah tidak adil jika kaum laki-laki memonopoli perwakilan; kedua, argumen pragmatis di mana melalui partisipasi perempuan, politik akan lebih konstruktif dan ramah; ketiga, argumen perbedaan, di mana perempuan akan membawa gaya dan pendekatan yang berbeda dalam politik.36

Sayangnya, pentingnya kehadiran perempuan di lembaga pembuat keputusan ini belum direspon baik oleh masyarakat sebagai pemilih di Kota Kupang. Anggota legislatif perempuan menerjemahkan realita politik ini sebagai suatu gejala yang tidak hanya disebabkan oleh pemahaman masyarakat sebagai pemilih, tetapi juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan

35 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 210-211. 36 Lovenduski, Politik Berparas..., 48-52.

(19)

82

profil caleg perempuan itu sendiri. Faktor kultural yang mempengaruhi suluruh aspek kehidupan masyarakat, ketidakarifan partai politik dalam merekruit perempuan serta sumber daya atau modal sosial yang dimiliki perempuan kurang dimaksimalkan menjadi fakator yang juga diyakini oleh anggota legislatif perempuan.

Melalui perngetahuan akan faktor-faktor penyebab minimnya keterpilihan perempuan dalam lembaga legislatif maka apa saja peran yang telah dilakukan oleh anggota alegislatif perempuan selama 2 periode ini? Pembahasan berikut ini akan menjawab pertanyaan mengenai peran anggota legislatif tersebut.

4.2.2 Peran yang telah dilakukan anggota legislatif perempuan

Partisipasi perempuan dalam politik terutama dalam bentuk menjabat sebagai anggota legislatif akan menjadi barometer bagi kaum perempuan lainnya untuk memperjuangkan hak mereka di lembaga legislatif. Oleh karena itu, anggota legislatif perempuan harus menunjukkan eksistensinya melalui peran politis yang „ramah‟ kepada kepentingan-kepentingan perempuan, terutama menyangkut jumlah keterpilihan dalam pemilu legislatif. Hal ini diakui oleh semua anggota legislatif perempuan bahwa kehadiran mereka di legislatif harus ditunjukan dengan eksistensi diri yang berkualitas sehingga pelabelan yang diberikan masyarakat kepada perempuan dapat dikikis.

Menurut Molyneux (1986: 284) kepentingan perempuan dapat dibedakan menjadi kepentingan gender “strategis” dan kepentingan gender “praktis”. Kepentingan gender strategis lahir dari analisis subordinasi perempuan dalam masyarakat yang mendorong keinginan untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih adil gender. Contohnya, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, pemberian kesempatan bagi perempuan di bidang politik, dan kebebasan bagi perempuan untuk memiliki anak atau tidak, termasuk untuk melakukan aborsi. Sementara itu,

(20)

83

kepentingan gender praktis berangkat dari kondisi-kondisi konkret yang dialami perempuan sehari-hari. Kepentingan gender praktis tidak mempersoalkan konstruksi gender yang tidak adil, melainkan bersumber dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsi mereka sebagai perempuan, seperti masalah pemeliharaan anak, perawatan kesehatan, kebutuhan sanitasi lingkungan, air bersih dan pemenuhan kebutuhan pangan.37

Terkait dengan isu minimnya peluang keterpilihan perempuan maka peneliti akan menganalisa peran anggota legislatif perempuan dengan melihat kembali hak dan kewajiban serta fungsi DPRD dengan peran perempuan sebagai anggota legislatif menurut Lovenduski, berikut ini:38

Tabel 4.2

Peran anggota legislatif terhadap faktor-faktor minimnya peluang keterpilihan perempuan sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah keterpilihan perempuan

Fungsi anggota legislatif perempuan menurut

Lovenduski

Peran anggota legislatif perempuan untuk meningkatkan peluang keterpilihan perempuan di

legislatif

Sudah dilakukan Belum dilakukan

Memajukan kepedulian gender dan menghasilkan peraturan-peraturan yang „ramah‟ kepada perempuan

Perda Walikota Kupang nomor 7 tahun 2016 pasal 25 dan 30 tentang

pendidikan pemberdayaan perempuan demi

peningkatan harkat dan martabat perempuan

-

Jaminan keberlanjutan dan peningkatan akses

- -

37 Machya Astuti Dewi dan Saptopo B. Ilkodar. Implikasi Peningkatan Keterwakilan Perempuan bagi

Pemenuhan Kepentingan Perempuan (Studi pada DPRD Provinsi DIY), Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik,

vol 21, nomor 1 (2008): 4.

https://scholar.google.co.id/scholar?q=Peningkatan+Keterwakilan+Perempuan+&btnG=&hl=en&as_sdt=0%2C5

(diakses pada 9 Januari 2017).

38 Machya Astuti Dewi, “Potret Anggota Legislatif Perempuan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta:

Antara Misi dan Kapasitas Personal” dalam Gender and Politics. Peny. Siti Hariti Sastriyani, 191. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.

(21)

84 perempuan ke parlemen

Memastikan semua program kebijakan dengan

mempertimbangkan kepetingan perempuan

- Peran lebih diarahkan kepada pemenuhan

kepentingan gender praktis, seperti pemberdayaan perempuan yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, peningkatan derajat kesehatan dan pendidikan yang bertujuan untuk menambah kualitas pencari nafkah dalam rumah tangga agar perekonomian

meningkat

Melakukan sosialisai berupa motivasi untuk masuk dalam dunia politik

Kepentingan perempuan secara umum belum

dikemas secara khusus oleh anggota legislatif perempuan dengan alasan bahwa setiap anggota legislatif berada dan bekerja sesuai dengan komisi masing-masing. Kepentingan perempuan bukanlah persoalan utama yang perlu diperjuangkan di lembaga legislatif karena setiap anggota legislatif pun berjuang untuk melayani semua kepentingan

masyarakat Kota Kupang. Menggunakan media massa

dan publik ssebagai wadah sosialisasi dan pendidikan politik

Komisi IV-bidang

kesejahteraan masyarakat bekerjasama dengan LSM dan Dinas terkait di bidang penganggaran untuk meningkatkan kapasitas perempuan

Seluruh anggota legislatif perempuan menghadiri undangan organisasi-organisasi perempuan dan Kaukus Perempuan Parlemen namun belum melaksanakan peran sebagai realisasi teori yang diperoleh

(22)

85

dari organisasi tersebut di lingkungan masyarakat

Sumber diolah dari hasil wawancara dengan ke-5 anggota legislatif perempuan di DPRD Kota Kupang peiode 2014-2019

Tabel di atas membuktikan bahwa peran anggota legislatif perempuan terhadap faktor:

a. Penilaian para pemilih yang dipengaruhi budaya patriarki dan bias gender

Sudah dilakukan dengan membentuk Perda bersama dengan pemerintah Kota Kupang tentang pendidikan pemberdayaan perempuan yang berfungsi untuk meningkatkan perempuan dalam pengembangan potensi diri, nilai, sikap dan etika agar mampu memperoleh hak dasar kehidupan yang setara dan adil secara gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara.39 Semakin tinggi status pendidikan, semakin tinggi kesempatan untuk memasuki berbagai bidang yang ada dalam politik karena perempuan terdidik dan tingkat intelektual, merupakan syarat mutlak bagi realisasi pencapaian keterwakilan yang efektif.40 Dalam rekam jejak anggota legislatif perempuan, peran ini khusus dilakukan oleh Komisi IV-bidang kesejahteraan masyarakat.

b. Modal sosial caleg perempuan yang belum dimaksimalkan dengan baik

Jaminan keberlanjutan dan peningkatan akses perempuan ke parlemen dengan mendorong dan mendukung kandidat-kandidat perempuan lain untuk berjuang masuk menjadi anggota parlemen dan mengupayakan agar anggota perempuan mendapat posisi penting di parlemen dengan melakukan sosialisasi dan pendidikan politik belum diterapkan dengan baik karena anggota legislatif perempuan merasa bahwa dengan motivasi saja sudah cukup. Hal ini

39 Peraturan Daerah Kota Kupang. http://www.metronews.me/peraturan-daerah-kota-kupang/ (diakses pada

9 Januari 2017).

(23)

86

adalah tindakan politis yang keliru karena jika dilihat dari makna sosialisasi politik itu sendiri, terbagi atas 2 yaitu pendidikan dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik dapat dilakukan dengan proses dialog, kurus, seminar, dsb, dalam rangka pemahaman nilai, norma dan simbol kenegaraan atau sistem politik. Sedangkan indoktrinasi politik merupakan tindakan memobilisasi dan memanipulasi masyarakat dengan nilai, norma dan simbol yang diyakini ideal baginya.41 Dengan demikian, peran untuk mengembangkan modal sosial belum dilakukan secara transparan.

c. Pola rekruitmen perempuan oleh Partai Politik

Peran anggota legislatif perempuan untuk merealisasikan fungsi legislasi, pengawasan dan penganggaran dengan melaksanakan hak interpelasi, angket dan penyaluran pendapat dan pertanyaan belum menghasilkan sebuah revisi UU Pemilu dan kampanye ataupun rancangan peraturan daerah di bidang politik. Peran-peran anggota legislatif masih berpusat pada kepentingan gender praktis. Kurangnya jumlah kehadiran perempuan untuk menjalankan hak interpelasi, angket dan menyatakan pertanyaan serta pendapat menjadi salah satu kendala. Peraturan DPRD Kota Kupang tahun 2014 mengatur peluang anggota legialif yang berhak mengusulkan hak-hak mereka dalam jumlah lebih dari 5 orang yaitu 7-10 orang dan lebih dari satu fraksi kepada pimpinan DPRD yang akan dipertimbangkan dalam rapat paripurna. Ini

41

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Grasindo, 1992), ebook: 150.

https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=9QX84vgdb-wC&oi=fnd&pg=PR11&dq=sosialisasi++politik&ots=LS7MxYEXxu&sig=ak6YZ_4e2OsFUZdnEZoS04mewpM& redir_esc=y#v=onepage&q=sosialisasi&f=false (diakses pada 9 Januari 2017).

(24)

87

menjadi kendala para perempuan di tengah-tengah dominasi laki-laki dalam DPRD Kota Kupang.42

Kemudian, kurangnya kepedulian terhadap isu perempuan dan politik di legislatif membuat anggota legislatif perempuan belum mengemas berbagai usul dan pendapat mengenai hal ini sebagai kepentingan perempuan karena prinsip mereka sebagai anggota legislatif adalah melayani masyarakat umum.

d. Kekecewaan pemilih terhadap peran anggota legislatif perempuan pada periode

sebelumnya

Dengan berkurangnya fungsi badan legislatif dalam bidang pembuatan UU, maka fungsi badan legislatif yang lebih ditonjolkan adalah peranan edukatifnya. Badan legislatif bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan berbagai pandangan yang berkembang secara dinamis dalam masyarakat melalui berbagai media. Dengan demikian, rakyat dididik ke arah kewarganegaraan yang sadar dan bertanggung jawab dan partisipasi politiknya dapat dibina.43 Fungsi badan legislatif seperti ini belum dirasakan secara maksimal oleh masyarakat Kota

42 Berdasarkan Peraturan Daerah DPRD Kota Kupang Nomor 1 tahun 2014 tentang tata tertib DPRD Kota

Kupang pasal 9 menyatakan bahwa DPRD memiliki hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat; sedangkan pasal 10 menyatakan bahwa setiap anggota DPRD memiliki hak (yang dalam penelitian ini dikhususkan) pada pengajuan rancangan peraturan daerah, pengajuan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat. Hak interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai suatu kebijakan; hak angket adalah hak untuk mengadakan penyelidikan sendiri terhadap suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah; hak menyatakan pendapat adalah hak untuk mengemukakan pendapat kepada pemerintah atau eksekutif di DPRD Kota Kupang. Mengenai pelaksanaan hak DPRD dan setiap anggota DPRD diatur pada pasal 11 di mana hak interpelasi diusulkan oleh paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD dan lebih dari satu fraksi kepada pimpinan DPRD yang kemudian dirapatkan dalam sidang paripurna. Selanjutnya, mengenai pelaksanaan hak angket diatur pada pasal 14 di mana hak angket diusulkan oleh paling sedikit 7 orang anggota DPRD dan lebih dari 1 fraksi kepada pemimpin DPRD dan dirapatkan dalam sidang paripurna. Sedangkan hak menyatakan pendapat diatur pada pasal 20 di mana harus diusulkan oleh paling sedikit 10 orang anggota DPRD dan lebih dari satu fraksi kepada pimpinan DPRD dan dirapatkan dalam sidang paripurna. Kemudian, hak untuk mengajukan rancangan peraturan daerah melalui pemimpin DPRD diatur pada pasal 22 serta berhak mengusulkan usul dan pendapat baik kepada pemerintah daerah maupun pimpinan DPRD diatur pada pasal 24. Lih., Produk Hukum: Peraturan Daerah DPRD Kota Kupang Nomor 1 tahun 2014. http://www.dprd-kupangkota.go.id/produk-hukum.html (diakses pada 9 Januari 2017).

(25)

88

Kupang pada umumnya dan para pemilih khususnya sehingga muncul berbagai pemahaman tentang politik yang berbeda-beda yaitu sebagai seni memperoleh kekuasaan dan seni itu dilakukan dengan menipu masyarakat. Berdasarkan hasil diskusi, kehadiran perempuan di legislatif juga tidak diketahui oleh para pemilih karena peran-peran mereka belum dirasakan oleh banyak perempuan di sejumlah daerah.

Pada periode 2009-2014 terdapat 1 orang anggota legislatif perempuan dan ia terpilih kembali pada periode 2014-2019 yang mewakili daerah pemilihan Kota Kupang I. Berdasarkan hasil diskusi, ia terpilih karena ikatan psikologis, sosiologis dan juga rasional. Ia telah melakukan peran politis di bidang infrastruktur pada periode 2009-2014 di lingkungan tempat tinggalnya namun pada periode 2014-2019 belum merealisasikan aspirasi pemilih tentang hal yang sama. Kenyataan bahwa masyarakat pada umumnya dan para pemilih khususnya belum merasakan peran anggota legislatif terhadap perempuan dapat ditinjau dari latar belakang anggota legislatif perempuan periode 2009-2014 di mana anggota legislatif perempuan tersebut juga menjabat pada periode 2014-2019. Permasalahan berikutnya terkait dengan kemampuan mengaktualisasikan diri dalam menggunakan haknya sebagai anggota legislatif. Menurut pengakuan masyarakat, dari total 5 orang anggota legislatif perempuan, 2 diantaranya termasuk anggota legislatif perempuan yang menjabat 2 periode tidak dapat menyatakan pendapat, saran dan kritik, atau dengan kata lain tidak dapat memaksimalkan hak mereka sebagai anggota legislatif dalam sidang-sidang bersama pemerintah.44 Kenyataan ini dapat ditinjau dari latar belakang anggota legislatif perempuan dan kepentingan dalam legislatif serta cara anggota legislatif perempuan memberikan informasi atas peran politisnya.

44 Hasil FGD pandangan Bapak AK (inisial), Daerah Pemilihan Kota Kupang III, pada tanggal 17

(26)

89

Latar belakang anggota legislatif perempuan sangat menentukan sepak terjangnya dalam perpolitikan. Latar belakang anggota legislatif perempuan pada periode yang lalu yaitu tahun 2009-2014 bukanlah berasal dari kader partai atau kalangan aktivis. Oleh karena itu, ia belum memiliki sikap politis yang mantap.45 Pengakuan Theodora E. Taek yang menjabat sebagai wakil ketua fraksi Gabungan Kebangkitan Indonesia dan diakui sebagai salah satu anggota legislatif perempuan yang „vokal‟ oleh para pegawai DPRD Kota Kupang menyatakan bahwa latar belakang seorang anggota legislatif sangat menentukan peran politisnya baik di persidangan maupun dalam lingkungan masyarakat.46 Namun, ketika ia terpilih lagi dalam periode 2014-2019 berarti ia memiliki „sesuatu‟ yang telah dberikan kepada para pemilih. „Sesuatu‟ itu adalah prospek pembuatan jalan yang dianggap membantu mobilisasi masyarakat di daerah pemilihannya. Terpilihnya kembali sebagai anggota legislatif disebabkan karena peran tersebut yang diharapkan dapat terealisasi kembali para periode ini. Peran ini belum dirasakan oleh masyarakat Kota Kupang di luar wilayahnya terkhususnya perannya terhadap perempuan.

Hal kedua yang pelu ditelusuri adalah mengenai kemampuan anggota legislatif dalam menggunakan hak politisnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan ke-5 anggota legislatif perempuan, didapati informasi bahwa tidak ada kendala yang begitu berarti dalam melakukan pekerjaannya sebagai politisi di tengah-tengah banyaknya laki-laki. Dengan demikian, ketika seorang anggota legislatif perempuan tidak mampu mengungkapkan aspirasinya, meskipun ia telah menjabat 2 periode, hal ini disebabkan karena partai politik tidak memberi kesempatan kepada perempuan tersebut pada posisi-posisi yang mampu membantunya mengaktualisasikan

45 Melalui pelembagaan partai politik dan aktivis, proses pemantapan politik baik dalam wujud perilaku

maupun dalam sikap atau budaya bisa berjalan dengan baik. Lih., Martha Tilaar, Perempuan Parlemen..., 57.

46

Anggota legislatif yang berasal dari latar belakang kader politik dan aktivis berbeda dengan anggota legislatif dengan latar belakang yang „instant‟. (Ia adalah perempuan pertama yang mencairkan suasana dalam sidang paripurna dan disebutkan dalam pengakuan pemilih atas peran politik anggota legislatif perempuan). Hasil wawancara dengan Ibu Theodora E. Taek, pada 13 Desember 2016.

(27)

90

diri seperti menjabat sebagai ketua atau wakil ketua atau sekretaris fraksi. Berdasarkan pengakuan Maria M. Salow yang menjabat sebagai ketua fraksi Gerindra, ia memiliki peningkatan kualitas karena terbiasa dengan berbagai pertimbangan atau penilaian terhadap pendapat semua anggota legislatif di mana semua usulan disampaikan melalui pimpinan fraksi.47 Dinamika perpolitikan ini perlu ditinjau kembali oleh partai politik dan juga anggota legislatif.

Dengan demikian, sebenarnya peran anggota legislatif perempuan terhadap kekecewaan yang dialami masyarakat terkhusus para pemilih yang belum merasakan peran politis perempuan pada periode yang lalu telah dilakukan namun cara penyampaian peran tersebut belum dilakukan dengan metode yang baik. Oleh karena itu, agar pengetahuan masyarakat Kota Kupang umumnya dan para pemilih khususnya dipertemukan pada satu titik yang sama berkaitan dengan peran anggota legislatif perempuan maka upaya ini dapat didukung oleh peran media massa dan publik. Penelitian yang dilakukan oleh Machya Astuti Dewi dan Saptoto B. Ilkodar di DPRD Provinsi DIY menyatakan bahwa media massa merupakan salah satu sarana anggota legislatif untuk menggalang kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. Melalui media massa, anggota legislatif dapat beracana untuk memberntuk opini publik. Melalui media massa juga para anggota legislatif dapat merangsang respon masyarakat berupa komentar dan pendapat mengenai isu perempuan. Media massa juga digunakan sebagai sarana untuk mengkritik pemerintah DIY yang dinilai tidak serius menangani persoalan gender dan politik. Kemudian, melalui media massa, anggota legislatif juga dapat bekerjasama dengan masyarakat dan memberi informasi terkait peran-peran politisnya.

Ketidakmasimalan peran politis perempuan untuk membuktikan eksistensi mereka kepada masyarakat mengalami berbagai kendala karena posisi mereka berada dibawah berbagai

47 Hasil wawancara dengan Ibu Maria M. Salouw, Anggota Legislatif DPRD Kota Kupang, pada tanggal 15

(28)

91

kepentingan, baik kepentingan fraksi maupun komisi. Kemudian, keterbatasan mereka untuk melaksanakan hak sebagai anggota legislatif terhambat karena jumlah yang disyaratkan dalam Perda DPRD Kota Kupang harus mencapai 7-10 orang sedangkan jumlah mereka hanyalah 5 orang yang diposisikan di berbagai komisi. Hal lain yang membuat ketidakmaksimalan peran politis adalah latar belakang mereka yang bukan berasal dari kader partai atau aktivis serta media yang digunakan pun tidak sesuai. Kemudian, peran politis perempuan pun kurang dalam hal peningkatan jumlah keterpilihan perempuan disebabkan oleh sikap anggota legislatif yang cenderung menunggu masukan dan keluhan masyarakat.48

48

“Jadi masyarakat harus rajin berkomunikasi dengan anggota DPRD. Jangan sampai diam! Karena kami anggota legislatif sibuk di kantor. Saya selalu mengatakan hal ini kepada masyarakat. Jika tidak memungkinkan maka melalui telepon juga tidak masalah, agar kami tahu persoalan yang sedang dihadapi.” Hasil wawancara dengan Ibu Maria M. Salouw, Anggota Legislatif DPRD Kota Kupang, pada tanggal 15 Desember 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Ministarstvo znanosti, obrazovanja i sporta na temelju članka iz Zakona o odgoju i obrazovanju u osnovnoj i srednjoj školi donosi Pravilnik o kriterijima za

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah pembelajaran dengan menerapkan pendekatan Scientific dengan model Examples Non Examples dapat meningkatkan hasil belajar IPA

Melalui model, ditunjukkan estimasi pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung variabel bebas terhadap variabel terikat yang dapat diformulasikan dalam

Hubungan Gender Dan Etnis Dengan Outcome Pada Pasien Migren Dan Pada Pasien Chronic Tension Type Headache. Latar belakang : Migren dan Chronic Tension Type Headache

Di samping itu, relasi antar pengetahuan juga perlu diperhatikan agar ilmu keislaman dapat didialogkan dengan keilmuan lain, baik ilmu-ilmu sosial dan alam.. Ilmu

Laporan Tugas Akhir Magang ini disusun sebagai syarat kelulusan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Bisnis Jurusan Akuntansi

Dengan adanya Tuhorma.com ini maka konsumen bisa langsung melakukan pemesanan produk furniture melalui media ini ataupun hanya sekedar browsing untuk mencari produk furniture yang

Kalau saja kita mau berhenti sejenak dari segala aktivitas dan kesibukan yang selama ini terasa semakin memenatkan daya pikir kita, lalu kita manfaatkan jeda