• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Daerah Penelitian 1. Keadaan Alam

a. Letak dan Batas Wilayah

Kecamatan Nogosari merupakan salah satu kecamatan penghasil padi di Kabupaten Boyolali. Kecamatan Nogosari memiliki luas wilayah 5.508,43 ha. Sebanyak 45,02% (2.479, 83 ha) berupa lahan sawah, dan sisanya merupakan lahan kering. Kecamatan Nogosari terdiri dari 13 desa, yaitu Desa Kenteng, Potronayan, Sembungan, Jeron, Ketitang, Rembun, Guli, Tegalgiri, Bendo, Keyongan, Pojok, Glonggong, dan Pulutan. Kecamatan Nogosari terdiri dari 67 RW dan 410 RT. Desa dengan wilayah terluas adalah Desa Pulutan seluas 649,50 ha, sedangkan desa dengan luas wilayah terkecil adalah Desa Bendo dengan luas 246,58 ha. Batas-batas administratif Kecamatan Nogosari adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kecamatan Andong Sebelah Selatan : Kecamatan Ngemplak Sebelah Barat : Kecamatan Simo Sebelah Timur : Kabupaten Sragen b. Topografi Daerah

Kondisi topografi wilayah Kecamatan Nogosari terbagi ke dalam daerah-daerah dengan ketinggian yang berbeda-beda. Topografi wilayah Kecamatan Nogosari termasuk ke dalam dataran

sedang. Kecamatan Nogosari terletak pada ketinggian antara 100 – 400 meter di atas permukaan air laut (mdpl).

Kecamatan Nogosari juga memiliki sungai. Sungai terbesar di Kecamatan Nogosari adalah Sungai Cemoro yang merupakan perbatasan dengan Kecamatan Andong. Sungai ini merupakan sumber pengairan untuk sawah di Desa Rembun dan Ketitang.

(2)

commit to user

Sebelah selatan Kecamatan Nogosari terdapat saluran irigasi dari Waduk Cengklik yang mengairi sawah di Desa Ketitang, Potronayan, Sembungan, dan Jeron.

c. Keadaan Iklim

Iklim merupakan faktor penting dalam pengelolaan usahatani. Salah satu faktor yang mempengaruhi keadaan iklim di suatu wilayah adalah curah hujan. Iklim di Kecamatan Nogosari termasuk iklim tropis dengan musim hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun. Pada tahun 2011, Kecamatan Nogosari tidak mengalami hujan sepanjang tahun. Kecamatan Nogosari hanya mengalami hujan selama 11 bulan, dengan curah hujan yang berbeda-beda setiap bulannya. Curah hujan tertinggi terdapat pada bulan November, yaitu 397,5 mm. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu 0 mm, atau dengan kata lain tidak terdapat hujan pada bulan tersebut.

d. Tata Guna Lahan

Penggunaan lahan di Kecamatan Nogosari bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan dan kesesuaian tanah. Kecamatan Nogosari memiliki luas wilayah sebesar 5.508,43 ha yang digunakan untuk lahan sawah dan lahan kering seperti tercantum pada Tabel 6.

(3)

commit to user

Tabel 6. Luas Daerah dan Tata Guna Lahan di Kecamatan Nogosari Tahun 2011

No. Jenis Lahan Luas (ha) %

1. Lahan Sawah 2.479,83 45,02 a. Irigasi Teknis b. Irigasi ½ Teknis c. Irigasi Sederhana d. Tadah Hujan 456,65 - 85 1.858,18 8,29 - 1,54 33,73 2. Lahan Kering 3.028,60 54,98 a. Pekarangan/Bangunan b. Tegal/Kebun c. Padang Gembala d. Tambak/Kolam e. Hutan Negara f. Perkebunan Negara/Swasta g. Lainnya 1.752,56 993,31 - - - - 282,73 31,82 18,03 - - - - 5,13 Total 5.508,43 100,00

Sumber : Kecamatan Nogosari dalam Angka 2012

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa secara umum

penggunaan lahan di Kecamatan Nogosari meliputi 2.479,83 ha (45,02 %) lahan sawah dan 3.028,60 ha (54,98 %) lahan kering. Hal

tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Kecamatan Nogosari lebih banyak digunakan sebagai lahan kering yaitu sebesar 3.028,60 ha, dengan penggunaan terbesar adalah sebagai pekarangan/bangunan yaitu sebesar 1.752,56 ha (31,82%), dan

penggunaan terkecil adalah untuk hal lain-lain, yaitu sebesar 282,73 ha (5,13%).

Penggunaan lahan sawah di Kecamatan Nogosari dibagi menjadi 3 jenis, yaitu lahan sawah irigasi teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan. Penggunaan lahan sawah paling besar adalah lahan sawah tadah hujan yaitu sebesar 1.858,18 ha (33,73 %), sedangkan yang terkecil adalah irigasi sederhana yaitu sebesar 85 ha (1,54 %). Sumber irigasi yang digunakan oleh lahan sawah di Kecamatan Nogosari berasal dari sungai Cemoro dan Waduk Cengklik. Semua desa di Kecamatan Nogosari memiliki lahan sawah dengan luas yang

(4)

commit to user

berbeda-beda. Desa yang memiliki lahan sawah terbesar adalah Desa Ketitang yaitu sebesar 318,04 ha, sedangkan desa yang memiliki lahan sawah terkecil adalah Desa Pojok yaitu sebesar 85,28 ha. Luas lahan sawah di Kecamatan Nogosari yang relatif luas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya produksi padi di kecamatan ini.

2. Keadaan Penduduk

a. Pertumbuhan Penduduk

Penduduk adalah sekelompok orang yang mendiami suatu wilayah tertentu dan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dan sosial di sekitarnya tersebut untuk dapat bertahan hidup. Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh adanya kelahiran, kematian, dan migrasi. Pertumbuhan penduduk Kecamatan Nogosari selama 4 tahun terkahir dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Nogosari Tahun 2008-2011

Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Pertumbuhan Penduduk (jiwa) Persentase (%) 2008 2009 2010 2011 60.745 60.773 60.788 61.253 - 28 15 465 - 0,05 0,02 0,76

Sumber : Kecamatan Nogosari dalam Angka 2009-2012

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Nogosari dari tahun ke tahun meningkat. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2011, yaitu sebanyak 465 jiwa. Menurut Mantra (2009), pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu kelahiran, kematian, dan perpindahan. Pertambahan jumlah penduduk bisa disebabkan karena tingginya angka kelahiran, tingginya angka kematian, dan tingginya angkanya perpindahan penduduk. Sedangkan penurunan penduduk bisa disebabkan karena

(5)

commit to user

rendahnya angka kelahiran, rendahnya angka kematian, dan rendahnya angka perpindahan penduduk. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka jumlah ketersediaan pangan wilayah harus ditingkatkan. Hal ini bertujuan supaya kebutuhan konsumsi penduduk dapat terpenuhi dan ketahanan pangan tingkat rumah tangga dan wilayah dapat tercapai.

b. Keadaan Penduduk Menurut Jenis Kelamin

Keadaan penduduk menurut jenis kelamin dikelompokkan menjadi dua yaitu laki-laki dan perempuan. Berdasarkan keadaan tersebut dapat diketahui sex ratio, yaitu perbandingan antara laki-laki dan perempuan di wilayah Kecamatan Nogosari. Keadaan penduduk menurut jenis kelamin dan sex ratio di Kecamatan Nogosari dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Keadaan Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Nogosari Tahun 2008-2011

Tahun

Jumlah Penduduk (jiwa)

Laki –Laki Perempuan Jumlah Sex Ratio

(%) 2008 2009 2010 2011 29.469 29.491 29.635 29.897 31.276 31.033 31.153 31.356 60.745 60.773 60.788 61.253 94,22 95,03 95,13 95,35 Sumber: Kecamatan Nogosari dalam Angka 2009-2012

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk laki-laki dan perempuan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Nilai sex ratio di Kecamatan Nogosari juga mengalami peningkatan. Nilai sex ratio yang semakin meningkat setiap tahun menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki mengalami peningkatan lebih banyak dibanding penduduk perempuan setiap tahunnya. Pada tahun 2011, nilai sex ratio di Kecamatan Nogosari adalah 95,35%. Nilai

sex ratio tersebut memiliki arti bahwa pada setiap 100 penduduk

(6)

commit to user

jumlah penduduk laki-laki lebih kecil daripada jumlah penduduk perempuan.

c. Keadaan Penduduk Menurut Kelompok Umur

Penduduk berdasarkan kelompok umur dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu penduduk usia non produktif dan penduduk usia produktif. Penduduk usia non produktif yaitu penduduk yang berusia 0-14 tahun dan penduduk yang berusia > 64 tahun, sedangkan penduduk usia produktif yaitu penduduk yang berusia 15-64 tahun. Keadaan penduduk Kecamatan Nogosari berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Keadaan Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kecamatan Nogosari Tahun 2008-2011

Tahun Usia 0-14 th Usia 15-64 th Usia > 64 th Angka Beban Tanggungan (%) 2008 2009 2010 2011 15.135 15.083 15.471 15.755 40.901 40.998 40.206 40.352 4.709 4.692 5.111 5.146 48,52 48,23 51,19 51,80 Sumber : Kecamatan Nogosari dalam Angka 2009-2012

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk yang berusia produktif mengalami penurunan, sedangkan penduduk yang berusia non produktif mengalami peningkatan. Nilai Angka Beban Tanggungan (ABT) di Kecamatan Nogosari mengalami peningkatan setiap tahunnya. Nilai ABT di Kecamatan Nogosari pada tahun 2011 adalah 51,80%, artinya pada setiap 100 penduduk yang berusia produktif menanggung 52 penduduk yang berusia non produktif.

Peningkatan nilai ABT menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk yang berusia produktif (15-64 tahun) lebih kecil daripada pertumbuhan jumlah penduduk yang berusia non produktif (0-14 tahun dan >64 tahun). Kelompok penduduk yang berusia 0-14 tahun dan >64 tahun dikatakan sebagai penduduk non produktif, karena kelompok umur ini tidak mempunyai penghasilan tetap

(7)

commit to user

sendiri sehingga harus mengandalkan penduduk atau pihak lain (keluarga, pemerintah) dalam memenuhi kebutuhan.

d. Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan gizi yang dimilikinya. Hal ini akan mempengaruhi pemilihan bahan konsumsi pangan dan gizi dalam rumah tangga. Keadaan penduduk menurut tingkat pendidikan di Kecamatan Nogosari dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Nogosari Tahun 2011

No. Pendidikan Jumlah

(jiwa) Persentase (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Tidak Sekolah Belum Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Diploma I/II Tamat Akademi Tamat Sarjana/Diploma IV 5135 16.281 19.578 12.056 6.987 353 389 474 8,38 26,58 31,96 19,68 11,41 0,58 0,64 0,77 Jumlah 61.253 100,00

Sumber : Kecamatan Nogosari dalam Angka 2012

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Nogosari berpendidikan tamat Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 19.578 jiwa (34,89 %). Sedangkan penduduk yang berpendidikan tamat Diploma I/II adalah yang paling sedikit, yaitu sebanyak 353 jiwa (0,63 %). Semakin tinggi tingkat pendidikan akan meningkatkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang tinggi juga semakin besar. Tingginya tingkat pendidikan juga akan meningkatkan pengetahuan tentang gizi yang dimiliki, sehingga pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga dapat terpenuhi dan berkualitas.

(8)

commit to user

3. Keadaan Pertanian

Kecamatan Nogosari merupakan daerah di Kabupaten Boyolali yang memiliki potensi di bidang pertanian dilihat dari luasnya lahan yang digunakan pada sektor pertanian. Penduduk daerah ini masih mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian yaitu sebagai petani. Luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman pangan di Kecamatan Nogosari Tahun 2011 dapat dilihat dalam Tabel 11.

Tabel 11. Luas Panen, Produktivitas dan Total Produksi Tanaman Pangan di Kecamatan Nogosari Tahun 2011

No. Jenis Tanaman Luas Panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Produksi (ton) 1. 2. 3. 4. 5. 6. Padi Sawah Padi Ladang Jagung Ubi Kayu Kacang Tanah Kedelai 5.046 288 90 42 1.015 41 5,85 4,18 4,13 16,32 3,81 0,91 29.504,00 1.204,00 371,41 685,41 3.863,00 37,41 Sumber : Kecamatan Nogosari dalam Angka 2012

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa komoditas tanaman pangan yang dibudidayakan di Kecamatan Nogosari adalah padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, kacang tanah, dan kedelai. Komoditas padi sawah merupakan tanaman yang memiliki luas panen terbesar dan produksi terbesar dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya. Hal ini dikarenakan tanah dan iklim di Kecamatan Nogosari cocok untuk membudidayakan padi sawah. Selain itu, tersedianya sarana irigasi yang baik di Kecamatan Nogosari menyebabkan banyak penduduk yang membudidayakan padi sawah. Alasan lainnya adalah bahwa beras masih dijadikan sebagai makanan pokok penduduk Kecamatan Nogosari dan wilayah Indonesia lainnya.

(9)

commit to user

4. Keadaan Perekonomian

a. Keadaan Sarana Perekonomian

Keadaan sarana perekonomian merupakan salah satu aspek yang menunjang keadaan perekonomian suatu daerah. Sarana perekonomian ada bermacam-macam, seperti pasar, toko, restoran, bank, dan lain-lain. Banyak dan jenis sarana perekonomian di Kecamatan Nogosari dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Sarana Perekonomian di Kecamatan Nogosari Tahun 2011

No. Fasilitas Perdagangan Jumlah

(unit) Persentase (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kelompok Pertokoan Pasar Toko/Kios/Warung Restoran/Rumah Makan/Kedai Hotel Penginapan

Bank Umum, BKK dan Koperasi

2 3 947 156 1 43 0,17 0,26 82,20 13,54 0,09 3,73 Total 1152 100,00

Sumber : Kecamatan Nogosari dalam Angka 2012

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa fasilitas perdagangan yang paling banyak ditemui adalah toko/kios/warung (947 unit), sedangkan fasilitas perdagangan yang paling jarang ditemui adalah hotel penginapan (1 unit). Toko/warung/kios banyak ditemui, karena banyak penduduk yang bermata pencaharian sebagai wiraswasta. Modal yang dibutuhkan untuk toko/warung/kios dinilai tidak terlalu besar, sehingga banyak penduduk yang mengusahakannya untuk menambah pendapatan keluarga.

b. Keadaan Sarana Perhubungan

Sarana perhubungan merupakan alat transportasi yang digunakan oleh penduduk untuk bepergian. Sarana perhubungan ada yang menggunakan mesin dan tidak menggunakan mesin (manual). Semakin banyak dan bervariasi jenis sarana perhubungan di suatu wilayah, maka semakin maju kondisi wilayah tersebut dan semakin mudah transportasinya. Jenis sarana perhubungan di Kecamatan Nogosari dapat dilihat pada Tabel 13.

(10)

commit to user

Tabel 13. Sarana Perhubungan di Kecamatan Nogosari Tahun 2011

No. Jenis Sarana

Perhubungan Jumlah (unit) Persentase (%) 1. Sepeda 6.561 36,93 2. Sepeda Motor 9.699 54,59 3. Mobil a. Dinas b. Pribadi c. Colt d. Truk 3 862 200 122 0,02 4,85 1,13 0,69 4. Gerobak Dorong 311 1,75 5. Becak 8 0,05 Total 17.766 100,00

Sumber : Kecamatan Nogosari dalam Angka 2012

Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa jenis sarana perhubungan di Kecamatan Nogosari bervariasi. Jenis sarana perhubungan yang paling banyak di Kecamatan Nogosari adalah sepeda motor, yaitu sebanyak 9.699 unit (54,59 %). Banyaknya sepeda motor di Kecamatan Nogosari disebabkan karena menggunakan sepeda motor dirasa lebih hemat dan cepat jika dibandingkan dengan menggunakan kendaraan lainnya. Sedangkan jenis sarana perhubungan yang paling sedikit adalah mobil dinas, yaitu sebanyak 3 unit (0,02 %). Mobil dinas di Kecamatan Nogosari hanya sedikit karena mobil dinas hanya digunakan oleh pejabat kecamatan tertentu saja. Kondisi sarana transportasi yang cukup beragam dan cukup baik ini mengindikasikan bahwa penduduk memiliki akses yang baik untuk mencapai pasar dan tempat lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk memiliki akses yang baik untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.

c. Keadaan Jalan

Jalan merupakan salah satu prasarana yang disediakan oleh pemerintah. Keadaan jalan akan mempengaruhi keadaan transportasi dan ekonomi di suatu daerah. Hal ini disebabkan karena jalan merupakan penghubung antar daerah. Semakin baik kondisi jalan di

(11)

commit to user

suatu tempat, maka semakin lancar distribusi barang yang dilakukan. Keadaan jalan di Kecamatan Nogosari dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Keadaan Jalan di Kecamatan Nogosari Tahun 2011

No. Keadaan Jalan Panjang Jalan

(km) Persentase (%) 1. Jenis Permukaan a. Aspal b. Kerikil c. Tanah d. Tidak Terinci Jumlah 39,6 1,5 0 0 41,1 96,35 3,65 0,00 0,00 100,00 2. Kondisi Jalan a. Baik b. Sedang c. Rusak d. Rusak Berat Jumlah 15,5 8,4 7,0 10,2 41,1 37,71 20,44 17,03 24,82 100,00 Sumber : Kecamatan Nogosari dalam Angka 2012

Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa sebagian besar jenis permukaan jalan di Kecamatan Nogosari adalah aspal, yaitu sepanjang 39,6 km (96,35 %). Kondisi jalan di Kecamatan Nogosari masih bervariasi, namun masih didominasi oleh kondisi jalan yang baik, yaitu sepanjang 15,5 km (37,71 %). Kondisi jalan yang baik, memungkinkan lancarnya distribusi pangan ke seluruh daerah, sehingga penduduk mampu mengakses pangan dengan baik dan lancar. Hal ini memungkinkan untuk terciptanya ketahanan pangan rumah tangga yang baik.

Meskipun masih didominasi oleh kondisi jalan yang baik, kondisi jalan yang rusak berat pun juga masih banyak, yaitu sepanjang 10,2 km (24,82 %). Kondisi jalan yang rusak berat ini disebabkan karena adanya proyek penggalian bukit di beberapa daerah di Kecamatan Nogosari. Adanya proyek ini mengakibatkan banyaknya kendaraan berat yang memasuki kecamatan, sehingga kondisi jalan menjadi rusak. Adanya proyek juga menyebabkan

(12)

commit to user

polusi udara. Banyak debu yang beterbangan dapat mempengaruhi kesehatan penduduk setempat.

5. Keadaan Ketahanan Pangan a. Ketersediaan Pangan

Salah satu faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan pangan di tingkat wilayah adalah kondisi ketersediaan pangan di tingkat wilayah tersebut. Ketersediaan pangan adalah kondisi penyediaan pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan berikut turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu (Braun et

all dalam Rahmadanih et all, 2011). Ketersediaan pangan wilayah di

Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Ketersediaan Pangan dan Kebutuhan Pangan di Kabupaten Boyolali Tahun 2012

No. Jenis Pangan Ketersediaan (ton) Kebutuhan (ton) Surplus/Minus (ton) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Beras Jagung Kedelai Kacang Tanah Ubi Jalar Ubi Kayu Kacang Hijau 153.786 103.632 4.028 3.586 1.031 94.271 - 108.583 15.798 10.143 3.215 6.124 53.871 1.053 + 45.203 + 87.834 - 6.114 + 371 - 5.092 + 40.400 - 1.053

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Boyolali, 2012 Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa jenis pangan beras, jagung, kacang tanah, dan ubi kayu mengalami surplus di Kabupaten Boyolali. Sedangkan jenis pangan kedelai, ubi jalar, dan kacang tanah mengalami minus. Nilai surplus menunjukkan bahwa jumlah pangan tersebut (beras, jagung, kacang tanah, ubi kayu) melimpah sehingga mampu mencukupi kebutuhan penduduk. Sedangkan nilai minus menunjukkan bahwa jumlah pangan (kedelai, ubi jalar, kacang hijau) tersebut masih kurang untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Tersedianya pangan yang cukup di suatu wilayah merupakan salah satu faktor dalam

(13)

commit to user

pencapaian ketahanan pangan wilayah. Hal ini disebabkan karena pangan merupakan sesuatu yang dikonsumsi oleh penduduk. Jika pangan tidak tersedia dengan cukup, maka konsumsi pangan penduduk akan berkurang, sehingga akan mempengaruhi ketahanan pangan individu bahkan wilayah. Kekurangan ketersediaan pangan dapat diatasi dengan melakukan impor atau membeli pangan dari luar daerah.

b. Konsumsi Energi dan Protein

Ketahanan pangan dapat diketahui dengan melakukan penilaian terhadap kuantitas pangan penduduk. Penilaian kuantitas pangan dapat didekati dengan penilaian konsumsi pangan penduduk. Pemerintah Kabupaten Boyolali membagi kecamatan-kecamatan dalam kabupaten menjadi 3 kriteria berdasarkan pada karakteristik topografi, yaitu dataran rendah (Kecamatan Karanggede), dataran sedang (Kecamatan Teras, Kecamatan Sawit, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Klego, Kecamatan Nogosari, Kecamatan Boyolali, Kecamatan Ampel) dan dataran tinggi (Kecamatan Mojosongo). Konsumsi energi dan protein menurut karakteristik topografi dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Konsumsi Energi dan Protein Menurut Karakteristik Topografi di Kabupaten Boyolali Tahun 2012 (Berdasarkan Survei Konsumsi Pangan)

No. Karakteristik Topografi Konsumsi Energi (kkal/kap/hari) Konsumsi Protein (gr/kap/hari) TKE (% AKE) TKP (% AKP) 1. 2. 3. Dataran Rendah Dataran Sedang Dataran Tinggi 1.671,0 1.589,9 1.634,8 46,8 44,4 48,6 85,8 80,8 82,4 90,1 86,1 90,4 Rata-rata 1.603,9 45,1 81,5 87,0

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Boyolali, 2012 Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa konsumsi energi dan protein pada tiap karakteristik topografi belum memenuhi nilai AKE (2.150 kkal/kap/hari) dan AKP (57 gram/kap/hari). Konsumsi energi tertinggi terdapat di kecamatan dengan topografi dataran rendah (1.671,0 kkal/kap/hari), sedangkan

(14)

commit to user

yang terendah terdapat di kecamatan dengan topografi dataran sedang (1.589,9 kkal/kap/hari). Konsumsi protein tertinggi terdapat di kecamatan dengan topografi dataran tinggi (48,6 gram/kap/hari), sedangkan terendah terdapat di kecamatan dengan topografi dataran sedang (44,4 gram/kap/hari). Hal ini disebabkan karena suhu di dataran tinggi yang rendah, sehingga membuat masyarakat banyak mengkonsumsi pangan tinggi protein untuk menjaga suhu tubuh supaya tetap hangat. Konsumsi pangan penting untuk diperhatikan, karena kekurangan konsumsi bagi seseorang dari standar minimum tersebut akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan aktivitas serta produktivitas kerja.

c. Pola Pangan Harapan (PPH)

Selain menggunakan penilaian kuantitas pangan, ketahanan pangan dapat juga dinilai dari kualitas konsumsi pangan. Kualitas konsumsi pangan dapat diketahui dari penilaian terhadap skor Pola Pangan Harapan (PPH) secara aktual. PPH adalah komposisi pangan yang seimbang untuk dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan gizi penduduk. Skor PPH aktual dikatakan semakin baik apabila mendekati skor PPH maksimal yang telah ditentukan. Pola Pangan Harapan Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Pola Pangan Harapan Kabupaten di Boyolali Tahun 2012

(Berdasarkan Survei Konsumsi Pangan)

No. Kelompok Pangan Kalori % AKE

(%) Skor Maksimal Skor PPH Aktual 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan hemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula

Sayur dan buah Lain-lainnya 779,7 101,4 175,7 105,9 56,6 113,2 63,2 114,3 3,9 48,6 6,3 11,0 12,2 3,5 7,1 3,9 7,1 0,2 39,4 5,1 8,9 9,9 2,9 5,7 3,2 5,8 0,2 25,0 2,5 24,0 5,0 1,0 10,0 2,5 30,0 0,0 19,7 2,5 17,7 4,9 1,0 10,0 1,6 28,9 0,0 Total 1603,9 100,0 81,0 100,0 86,3

(15)

commit to user

Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa skor PPH di Kabupaten Boyolali belum mencapai skor maksimal, yaitu hanya sebesar 86,3 % dari Angka Kecukupan Gizi (AKG). Pencapaian skor PPH ini mampu menunjukkan pola konsumsi masyarakat setempat. Skor PPH yang belum maksimal ini masih dapat dimaklumi karena banyak masyarakat yang belum mengerti mengenai pola konsumsi pangan yang ideal, sehingga banyak yang mengabaikannya. Konsumsi pangan penyumbang skor terbesar pada PPH adalah kelompok pangan sayur dan buah (28,9 %), sedangkan skor terendah adalah pada kelompok pangan lain-lainnya (0,0 %). Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat jenis pangan tertentu yang belum dikonsumsi sesuai dengan jumlah yang sudah ditentukan.

B. Hasil dan Pembahasan

1. Karakteristik Rumah Tangga Petani Responden

Karakteristik rumah tangga petani responden merupakan gambaran umum rumah tangga petani responden di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Petani responden merupakan petani yang melakukan usahatani padi sawah. Karakteristik rumah tangga petani responden meliputi data identitas responden yang berupa umur suami dan istri, pendidikan suami dan istri, serta jumlah seluruh anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Karakteristik rumah tangga responden di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Tabel 18.

(16)

commit to user

Tabel 18. Karakteristik Rumah Tangga Petani Responden di Kecamatan Nogosari Tahun 2013

No. Uraian Keterangan

1. Rata-rata Umur (tahun) a. Suami b. Istri 55 49 2. Pendidikan a. Suami - SD - SMP - SMA - Diploma (D2 dan D3) - S1 b. Istri - SD - SMP - SMA 10 5 10 2 2 7 15 8 3. Rata-rata Jumlah Anggota Keluarga

(orang) a. Laki-laki b. Perempuan

2 2 Sumber : Analisis Data Primer, Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa rata-rata umur suami adalah 55 tahun dan rata-rata umur istri adalah 49 tahun. Rata-rata umur suami berada pada tingkat usia yang produktif (15-64 tahun), sehingga memungkinkan mereka dapat bekerja dan melakukan usahatani secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Umur akan mempengaruhi tingkat konsumsi dan tingkat kecukupan pangan individu. Tingkat umur yang produktif akan membutuhkan lebih banyak kalori dibandingkan dengan tingkat umur yang tidak produktif.

Mayoritas tingkat pendidikan suami adalah SD dan SMA, sedangkan pendidikan istri adalah SMP. Ada satu rumah tangga petani yang sudah tidak memiliki kepala rumah tangga (suami sudah meninggal), sehingga istri yang merangkap peran sebagai ibu dan kepala rumah tangga. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh, maka pengetahuan yang dimiliki semakin banyak, sehingga

(17)

commit to user

akan mempengaruhi cara berpikir seseorang. Pada tingkat rumah tangga petani, tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir petani dalam pengambilan keputusan mengenai usahatani dan pemenuhan konsumsi rumah tangga dalam kaitannya tentang ketahanan pangan.

Rata-rata jumlah anggota rumah tangga petani responden adalah 4 orang, yang terdiri dari 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Banyaknya jumlah anggota rumah tangga akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga dan kesejahteraan rumah tangga. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga, maka semakin banyak pula jumlah konsumsi pangan maupun non pangan dalam rumah tangga yang harus dipenuhi, serta semakin bervariasi pula kebutuhan konsumsi pangan.

2. Karakteristik Usahatani Rumah Tangga Petani Responden

Karakteristik usahatani rumah tangga petani merupakan gambaran umum dari usahatani rumah tangga petani responden. Karakteristik usahatani rumah tangga petani responden meliputi data-data yang terkait dengan usahatani rumah tangga petani yang berupa pola tanam, intensitas panen, luas kepemilikan lahan, dan pendapatan rumah tangga baik yang berasal dari pertanian maupun non pertanian. Karakteristik usahatani rumah tangga responden di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Karateristik Usahatani Rumah Tangga Petani Responden di Kecamatan Nogosari Tahun 2013

No. Uraian Keterangan

1. Pola Tanam a. Padi-padi-padi b. Padi-padi-bero 29 1 2. Intensitas Panen a. 3x/tahun b. 2x/tahun 29 1 3. Rata-rata Luas Kepemilikan Lahan Sawah (m2) 2.870 4.

5.

Pendapatan Rumah Tangga Responden a. Pertanian (Rp/bulan)

b. Non Pertanian (Rp/bulan)

Pendapatan Anggota Rumah Tangga (Rp/bulan)

1.621.682,15 1.065.940,48 555.741,67 429.089,37 Sumber : Analisis Data Primer, Tahun 2013

(18)

commit to user

Berdasarkan pada Tabel 19 dapat diketahui bahwa mayoritas usahatani rumah tangga petani responden memiliki pola tanam padi-padi-padi, dengan intensitas panen sebanyak 3 kali per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah setempat memiliki sumber air dan irigasi yang memadai. Irigasi yang digunakan berasal dari Kedungboyo Nogosari, dengan jatah 4 kali dalam seminggu. Namun jika musim kemarau tiba, dan kecukupan air kurang, maka petani menggunakan sumur pompa untuk mengairi sawahnya.

Dalam melakukan usahatani padi, petani memilih varietas padi yang dirasa menguntungkan, yaitu umur tanam yang relatif pendek dan jenis beras banyak disukai oleh konsumen. Varietas padi yang biasa ditanam oleh petani adalah varietas IR 64, Situbagendit, dan Ciherang. Namun varietas yang paling sering ditanam adalah IR 64, karena varietas ini memiliki umur tanam yang paling singkat dibandingkan dengan varietas lainnya. Umur tanam yang singkat akan menambah jumlah intensitas panen. Banyaknya jumlah intensitas panen akan mempengaruhi jumlah ketersediaan pangan pokok (beras) ditingkat rumah tangga. Semakin banyak intensitas panen, maka semakin sering petani membawa pulang sebagian hasil panennya (gabah) ke rumah, maka hal tersebut akan mempengaruhi ketersediaan pangan pokok (beras) dalam rumah tangga petani.

Rata-rata luas kepemilikan lahan sawah rumah tangga petani responden adalah 2.970 m2. Lahan tersebut merupakan lahan sawah yang dikerjakan sendiri, dan ada pula yang dikerjakan oleh petani lain. Berdasarkan hasil wawancara, pada beberapa petani yang kepemilikan lahan sawahnya sedikit, akan menyewa lahan sawah, kemudian mengerjakannya sendiri atau meminta petani lain untuk melakukan budidaya padi sawah di lahan sawah yang disewa tersebut. Ada perjanjian/kesepakatan bagi hasil yang berupa “maro” antara petani yang memiliki lahan sawah dengan petani penggarap. Bagi hasil “maro” memiliki arti setengah, yang artinya bahwa petani penggarap

(19)

commit to user

mendapatkan bagian setengah atau 50% dari hasil panen, baik dengan sistem tebas maupun panen sendiri. Sedangkan petani yang tidak memiliki lahan sawah, akan menjadi petani penggarap pada lahan sawah milik orang lain dengan perjanjian “maro” juga. Kepemilikan lahan sawah akan mempengaruhi produksi padi dan pendapatan rumah tangga petani.

Rata-rata pendapatan rumah tangga petani responden adalah Rp 1.621.682,15/bulan. Sedangkan rata-rata pendapatan anggota rumah tangga responden sebesar Rp 429.089,37/bulan. Rata-rata pendapatan

rumah tangga terbesar berasal dari usahatani, yaitu sebesar Rp 1.065.940,48/bulan. Pendapatan rumah tangga petani responden yang

berasal dari usahatani diperoleh dari usahatani padi sawah, baik di lahan milik sendiri maupun lahan orang lain (petani penggarap). Perhitungan jumlah pendapatan non usahatani diperoleh dari pekerjaan istri dan pekerjaan suami. Pekerjaan di luar usahatani yang dilakukan oleh rumah tangga responden adalah menjadi guru, PNS, tukang pijit, wiraswasta (membuka usaha bengkel, budidaya lele, warung makan, berjualan pecel, dan membuka warung fotokopi), penjahit, jual beli motor bekas, penjaga makam, usaha persewaan mesin perontok padi, dan pelayan di rumah makan. Jumlah pendapatan rumah tangga petani akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan pada rumah tangga petani yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rachman dan Supriyati (2004) yang menyatakan bahwa ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dipengaruhi oleh ketersediaan pangan baik di tingkat rumah tangga maupun wilayah (hasil produksi sendiri dan atau dari pembelian) dan daya beli. Daya beli rumah tangga terhadap pangan yang dibutuhkan tergantung dari tingkat pendapatan dan harga-harga pangan.

3. Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga Petani

Ketersediaan pangan pokok rumah tangga petani yang dianalisis hanya terbatas pada ketersediaan pangan pokok dari beras saja. Beras dipilih sebagai indikator ketersediaan pangan pokok rumah tangga karena

(20)

commit to user

beras merupakan makanan pokok yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Ketersediaan pangan pokok dalam rumah tangga petani dapat diketahui dengan menghitung selisih antara input pangan pokok (produksi usahtani dan pembelian beras) dengan output pangan pokok (penjualan, zakat fitrah, aktivitas sosial). Hasil perhitungan ketersediaan pangan pokok tersebut kemudian dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga pada masing-masing rumah tangga, sehingga akan didapatkan kategori ketersediaan pangan pokok pada anggota rumah tangga petani. Jumlah input dan output pangan pokok pada rumah tangga petani padi sawah di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Rata-rata Ketersediaan Pangan Pokok Anggota Rumah Tangga Petani di Kecamatan Nogosari Tahun 2013

Keterangan Beras Energi

gr/kap/hari kkal/kap/hari INPUT 1. Produksi Usahatani 2. Pembelian Jumlah Input 2.513,90 14,38 2.528,28 9.050,04 51,75 9.101,79 OUTPUT 1. Penjualan 2. Zakat Fitrah 3. Aktivitas Sosial - Hajatan - Jimpitan Jumlah Output 2.049,96 6,94 75,46 10,80 2.143,16 7.379,87 25,00 271,64 38,88 7.715,39 Ketersediaan 385,12 1.386,40

Sumber : Analisis Data Primer, Tahun 2013

Sumber input pangan pokok pada rumah tangga petani responden hanya ada 2, yaitu dari produksi usahatani dan pembelian. Berdasarkan Tabel 20, dapat diketahui bahwa rata-rata ketersediaan pangan anggota

rumah tangga petani adalah 385,12 gr/kap/hari atau setara dengan 1.386,40 kkal/kap/hari atau dapat dikategorikan rendah. Input pangan

pokok tertinggi diperoleh dari produksi usahatani, yaitu sebanyak 2.513,90 gr/kap/hari atau setara dengan 9.101,79 kkal/kap/hari. Pada saat

(21)

commit to user

panen tiba, seluruh petani responden membawa pulang sebagian gabah berupa gabah kering panen (GKP) untuk persediaan pangan pokok sehari-hari. Pada setiap panen, gabah yang dibawa pulang tidak sama jumlahnya, tergantung pada persediaan gabah yang ada di rumah. Dalam setahun, petani mampu melakukan panen padi sebanyak 3 kali. Dalam setahun, petani mengalami 1 kali masa “gadhu”, yaitu keadaan dimana tidak terdapat hujan (kemarau), sehingga irigasi menjadi terbatas. Pada musim ini, sebanyak 29 petani responden tetap melaksanakan usahatani padi meskipun air yang diperoleh dari irigasi sedikit, sehingga mereka harus menggunakan sumur pompa untuk mengairi sawah mereka. Terdapat 1 petani responden yang tidak melakukan kegiatan usahatani di musim kemarau karena sawah yang dimilikinya adalah sawah tadah hujan.

Pada saat panen di masa “gadhu”, petani lebih banyak menjual gabah daripada membawa pulang untuk persediaan. Hal ini dikarenakan, pada masa “gadhu” harga gabah relatif lebih tinggi, sehingga banyak petani yang menjual gabah untuk menambah pendapatan rumah tangga. Harga gabah pada saat masa “gadhu” relatif lebih tinggi karena pada saat musim ini tidak semua petani dapat berusahatani padi sawah karena terbatasnya pengairan yang dimiliki. Hanya petani yang memiliki sawah beririgasi saja yang mampu melakukan kegiatan tanam.

Kebalikan dari masa “gadhu” adalah masa “walikan”. Masa “walikan” adalah keadaan dimana curah hujan tinggi (penghujan). Tanam di masa “walikan” terjadi sebanyak 2 kali dalam setahun. Pada saat masa “walikan”, petani membawa lebih banyak gabah ke rumah daripada pada saat masa “gadhu”. Pada saat tanam dan panen di musim ini, harga gabah menjadi lebih rendah dibandingkan dengan pada saat tanam dan panen di masa “gadhu”. Hal ini disebabkan karena sumber air yang digunakan untuk pengairan melimpah, yang menyebabkan semua petani padi menanam padi pada saat musim ini, sehingga terjadi panen raya. Hal tersebut menyebabkan harga gabah menjadi lebih rendah dan pendapatan

(22)

commit to user

petani menjadi menurun. Proporsi gabah yang dibawa pulang saat panen di masa “walikan” berbeda dengan gabah yang dibawa pulang pada saat panen di masa “gadhu”.

Sumber input yang kedua berasal dari pembelian. Input pangan yang berasal dari pembelian terdapat 14,38 gr/kap/hari atau setara dengan 51,75 kkal/kap/hari. Hal ini disebabkan karena hampir seluruh persediaan gabah dan beras yang ada di rumah, diperoleh dari hasil panen sendiri. Petani responden dapat lebih hemat dengan mengurangi jumlah pembelian beras. Namun jika persediaan gabah dan beras di rumah menipis sedangkan masa panen masih lama, mereka memutuskan untuk membeli beras di warung secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari, hingga masa panen tiba. Hal ini tidak dilakukan secara terus menerus oleh petani, karena mereka adalah produsen padi, maka sebisa mungkin mereka memenuhi kebutuhan beras dari hasil usahatani padi mereka. Meskipun begitu, pada beberapa rumah tangga petani responden, mereka selalu membeli beras setiap bulannya untuk dikonsumsi. Hal ini mereka lakukan karena hasil panen mereka tidak terlalu banyak, sehingga gabah hasil panen lebih banyak dijual untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka. Pembelian beras yang dilakukan oleh petani responden adalah pembelian beras dengan menggunakan harga normal.

Pangan pokok yang diperoleh rumah tangga petani tidak hanya digunakan untuk konsumsi saja, tetapi juga dijual, digunakan untuk zakat fitrah, dan aktivitas sosial. Output pangan terbanyak yaitu dijual, sebanyak 2.049,96 gr/kap/hari atau setara dengan 7.379,87 kkal/kap/hari. Penjualan yang dilakukan oleh petani berupa gabah kering panen (GKP). Hal ini disebabkan karena petani hanya memiliki halaman rumah yang sempit, sehingga petani enggan untuk menjemur gabah, dan lebih memilih untuk menjual gabah di sawah setelah panen. Penjualan gabah yang dilakukan oleh petani tidak selalu sama jumlahnya, tergantung pada persediaan gabah dan beras di rumah, serta tergantung juga pada harga jual gabah pada saat panen. Jika persediaan gabah menipis, maka petani

(23)

commit to user

akan membawa pulang gabah lebih banyak pada panen berikutnya. Biasanya petani membawa pulang gabah dalam jumlah yang banyak pada saat musim penghujan. Hal ini disebabkan karena pada saat musim penghujan terjadi panen raya, sehingga harga gabah menjadi menurun, dan petani membawa lebih banyak gabah ke rumah untuk dijadikan persediaan pada saat masa “gadhu”.

Output pangan terbanyak kedua digunakan untuk keperluan aktivitas sosial berupa hajatan. Besarnya output pangan yang digunakan untuk keperluan hajatan adalah 75,46 gr/kap/hari atau setara dengan 271,64 kkal/kap/hari. Aktivitas sosial yang memberikan beras/uang untuk keperluan hajatan ini sering disebut dengan “nyumbang”. Kegiatan “nyumbang” beras ini hanya dilakukan pada saat ada saudara atau tetangga dekat memiliki hajatan. Beras yang disumbangkan untuk keperluan hajatan ini tidak selalu sama jumlahnya. Jumlah beras yang disumbangkan untuk tetangga dekat biasanya sebanyak 1 “bojog” beras atau setara dengan 10 liter beras, dan setara dengan 8 kg beras. Namun jika saudara sendiri yang memiliki hajat, biasanya petani menyumbang beras lebih banyak dibandingkan jika menyumbang untuk tetangga, yaitu kurang lebih 25 kg beras.

Output pangan terbanyak ketiga digunakan untuk keperluan aktivitas sosial berupa jimpitan. Besarnya output pangan yang digunakan untuk keperluan jimpitan sebanyak 10,80 gr/kap/hari atau setara dengan 38,88 kkal/kap/hari. Pembayaran jimpitan ada yang berupa uang yang dibayar setiap hari atau sebulan sekali, dan ada pula yang berupa beras yang dibayar setiap hari. Pembayaran jimpitan dengan beras ini tergolong unik, karena banyak jimpitan yang dibebankan untuk warga berbeda kuantitasnya antara masa sebelum panen dan masa setelah panen. Jimpitan yang dibebankan untuk semua warga pada saat sebelum panen sebanyak segenggam beras. Pada saat setelah panen, jimpitan yang dibebankan untuk warga yang bermata pencaharian sebagai petani padi adalah sebanyak 0,5 liter beras (kurang lebih 400 gram) yang hanya

(24)

commit to user

diberikan 1 hari saja, kemudian hari berikutnya tetap, yaitu sebanyak segenggam beras. Sedangkan untuk warga yang bukan petani, jimpitan yang dibebankan tetap, yaitu segenggam beras. Jimpitan beras yang telah terkumpul akan digunakan untuk kegiatan sosial di desa, seperti untuk konsumsi pada saat kegiatan kerja bakti di desa.

Output pangan yang paling kecil digunakan untuk keperluan zakat fitrah. Besarnya output pangan yang digunakan untuk keperluan zakat fitrah sebanyak 6,94 gr/kap/hari atau setara dengan 25,00 kkal/kap/hari. Seluruh rumah tangga petani responden yang diteliti adalah muslim, sehingga mereka selalu membayar zakat fitrah setiap tahunnya. Seluruh rumah tangga petani responden membayar zakat fitrah berupa beras. Petani lebih memilih membayar zakat fitrah dalam bentuk beras daripada uang, karena mereka adalah produsen beras, yang juga memiliki persediaan beras di rumah, sehingga mereka lebih memilih membayar zakat fitrah dengan beras. Pertimbangan lainnya yaitu petani merasa lebih hemat dan dapat menekan pengeluaran rumah tangga, jika pembayaran zakat fitrah berupa beras.

Nilai rata-rata ketersediaan pangan pokok pada anggota rumah tangga petani di Kecamatan Nogosari adalah 385,12 gr/kap/hari atau setara dengan 1.386,40 kkal/kap/hari, yang diperoleh dari selisih antara nilai input dan output pangan pokok. Ketersediaan pangan pokok ini tergolong dalam kategori rendah, karena nilainya < 1400 kkal/kap/hari. Ketersediaan pangan pokok pada masing-masing rumah tangga petani berbeda, tergantung pada besarnya nilai input dan output pangan pokok pada rumah tangga tersebut. Distribusi ketersediaan pangan pokok rumah tangga petani di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Tabel 21.

(25)

commit to user

Tabel 21. Distribusi Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga Petani di Kecamatan Nogosari, Tahun 2013

No. Kategori Ketersediaan Pangan Pokok Jumlah %

1. Tinggi 8 26,67

2. Sedang 8 26,67

3. Rendah 14 46,66

Jumlah 30 100,00

Sumber : Analisis Data Primer, Tahun 2013

Ketersediaan pangan pokok rumah tangga dapat dikategorikan

menjadi tiga kategori, yaitu rendah (ketersediaan pangan pokok < 1400 kkal/kap/hari), sedang (ketersediaan pangan pokok berada dalam

kisaran 1400-1599 kkal/kap/hari), dan tinggi (ketersediaan pangan pokok ≥ 1600 kkal/kap/hari). Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa ketersediaan pangan pokok (beras) pada tingkat rumah tangga petani padi sawah di Kecamatan Nogosari beragam. Mayoritas rumah tangga petani responden, yaitu sebanyak 14 responden (46,66%) memiliki ketersediaan pangan pokok yang rendah. Responden dengan ketersediaan pangan pokok yang rendah berjumlah banyak, sedangkan rumah tangga petani dengan ketersediaan pangan pokok (beras) yang sedang yaitu sebanyak 8 responden (26,67%) dan rumah tangga dengan ketersediaan pangan pokok yang tinggi yaitu sebanyak 8 responden (26,67%).

Ketersediaan pangan pokok pada tingkat rumah tangga ditentukan oleh berbagai macam faktor, salah satunya dipengaruhi oleh produksi pangan yang dihasilkan oleh keluarga (Harper et all dalam Sukandar

et all, 2006). Pada konteks rumah tangga petani padi sawah, ketersediaan

pangan pokok dipengaruhi oleh produksi gabah/beras yang diperoleh dari usahatani padi sawah. Produksi gabah/beras dipengaruhi oleh luas lahan yang ditanami dan faktor alam (musim). Jika lahan yang ditanami padi adalah luas, maka produksi padi juga akan lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang luasnya lebih sempit, dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. Hal ini disebabkan karena jumlah tanaman padi yang di tanam lebih banyak, sehingga biji padi yang akan dihasilkan pun juga

(26)

commit to user

lebih banyak, sehingga produksi menjadi meningkat. Pada penelitian ini, terdapat beberapa petani responden yang tidak memiliki lahan. Mereka kemudian menyewa lahan atau menjadi petani penggarap untuk dapat memenuhi ketersediaan beras dalam rumah tangga mereka. Bahkan petani yang sudah memiliki lahan yang luas juga menyewa lahan, supaya ketersediaan beras rumah tangganya tetap terjaga dengan baik dan untuk menambah pendapatan rumah tangga.

Selain faktor luas lahan yang ditanami, faktor alam juga mempengaruhi produksi padi. Faktor alam yang dimaksud adalah musim. Tanaman padi adalah jenis tanaman yang membutuhkan banyak air untuk tetap hidup dan berkembang. Pada saat musim kemarau, petani yang lahan sawahnya tidak mempunyai sumber air yang cukup tidak dapat melakukan tanam padi. Sebaliknya pada saat musim penghujan, banyak petani yang menanam padi karena pada musim itu sumber air melimpah, sehingga kebutuhan air untuk padi yang ditanam dapat terpenuhi. Oleh karena itu, pada saat musim penghujan produksi padi akan melimpah, sehingga terjadi panen raya.

Menurut Harper et all dalam Sukandar et all (2006), faktor lain yang mempengaruhi ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga adalah daya beli seseorang. Daya beli seseorang dipengaruhi oleh besarnya tingkat pendapatan. Pada tingkat rumah tangga petani, daya beli rumah tangga dipengaruhi oleh besarnya pendapatan rumah tangga yang didapatkan dari usahatani maupun non usahatani. Di daerah penelitian, beberapa petani melakukan usaha sampingan atau mencari pekerjaan sampingan di luar usahatani untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga. Mereka yang melakukan atau mencari usaha sampingan adalah yang jumlah anggota rumah tangganya banyak dan tidak/sedikit memiliki lahan sawah. Jumlah anggota rumah tangga akan mempengaruhi besarnya konsumsi pangan pokok dalam rumah tangga. Semakin banyak anggota rumah tangga maka semakin banyak pula konsumsi pangan pokok yang dibutuhkan. Kebutuhan konsumsi pangan pokok didapatkan

(27)

commit to user

dari bahan pangan yang dikonsumsi yaitu bahan pangan yang berasal dari usahatani dan atau pembelian di pasar/warung. Oleh karena itu, petani akan melakukan atau mencari usaha sampingan untuk memenuhi konsumsi pangan pokok rumah tangga.

Menurut Rachman dan Supriyati (2004), ketersediaan pangan pokok rumah tangga akan mempengaruhi status ketahanan pangan rumah tangga. Ketersediaan pangan pokok yang rendah akan memperburuk kondisi ketahanan pangan keluarga. Selain itu, ketersediaan pangan pokok juga akan mempengaruhi konsumsi rumah tangga. Jika ketersediaan pangan pokok rendah, maka konsumsi pangan rumah tangga akan terpengaruh oleh kondisi ini. Oleh karena itu, ketersediaan pangan pokok keluarga harus selalu dijaga supaya kebutuhan konsumsi keluarga dapat terpenuhi.

4. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani

Pola konsumsi pangan merupakan susunan makanan yang biasa dimakan mencakup jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi/dimakan seseorang atau kelompok orang penduduk dalam frekuensi dan jangka waktu tertentu (Bappenas, 2011). Pola konsumsi pangan rumah tangga petani dapat diketahui dengan melakukan wawancara mengenai seberapa sering petani mengkonsumsi pangan tertentu. Pola konsumsi pangan rumah tangga petani di Kecamatan Nogosari dapat dilihat pada Tabel 22.

(28)

commit to user

67

Tabel 22. Jenis dan Frekuensi Pangan Rumah Tangga Petani di Kecamatan Nogosari Tahun 2013

No. Bahan Pangan

Sering Cukup sering Cukup Jarang

Tidak pernah Total

>1x/hari, 1x/hari (4-6x/minggu) 3x/minggu <3x/minggu (1-2x/ minggu) <1x/minggu (1x/bulan) ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ %

1. Bahan makanan pokok

a. Beras b. Jagung c. Roti d. Tepung terigu 30 1 4 7 100 3,3 13,3 23,3 4 18 13,3 60,0 10 9 3 33,3 30,0 10,0 16 12 2 53,3 40,0 6,7 3 1 10,0 3,3 30 30 30 30 100 100 100 100 2. Umbi-umbian a. Singkong b. Ubi jalar c. Kentang 5 1 4 16,7 3,3 13,3 9 10 8 30,0 33,3 26,7 11 10 7 36,7 33,3 23,3 4 8 5 13,3 26,7 16,7 1 1 6 3,3 3,3 20,0 30 30 30 100 100 100 3. Pangan hewani a. Daging ayam b. Daging sapi c. Telur ayam d. Ikan lele e. Bandeng f. Ikan asin 4 6 2 4 8 13,3 20,0 6,7 13,3 26,7 4 14 9 10 13 13,3 46,7 30,0 33,3 43,3 17 4 9 13 10 4 56,7 13,3 30,0 43,3 33,3 13,3 5 12 1 4 4 3 16,7 40,0 3,3 13,3 13,3 10,0 14 2 2 2 46,7 6,7 6,7 6,7 30 30 30 30 30 30 100 100 100 100 100 100 4. Pangan nabati a. Tahu b. Tempe c. Kacang tanah d. Kacang hijau 30 30 100 100 3 10,0 9 3 30,0 10,0 14 9 46,7 30,0 4 18 13,3 60,0 30 30 30 30 100 100 100 100 5. Sayur-sayuran a. Bayam b. Kangkung c. Buncis d. Kacang panjang e. Wortel f. Tomat 24 7 10 25 26 6 80,0 23,3 33,3 83,3 86,7 20,0 2 17 15 3 4 17 6,7 56,7 50,0 10,0 13,3 56,7 1 4 6 3,3 13,3 20,0 1 1 3,3 3,3 4 4 1 2 13,3 13,3 3,3 6,7 30 30 30 30 30 30 100 100 100 100 100 100 65

(29)

commit to user

68

No. Bahan Pangan

Sering Cukup sering Cukup Jarang

Tidak pernah Total >1x/hari, 1x/hari (4-6x/minggu) 3x/minggu <3x/minggu (1-2x/ minggu) <1x/minggu (1x/bulan) ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % g. Cabai h. Daun singkong i. Daun pepaya j. Taoge k. Nangka muda l. Sawi 15 21 10 22 1 4 50,0 70,0 33,3 73,3 3,3 13,3 8 4 12 5 10 15 26,7 13,3 40,0 16,7 33,3 50,0 4 2 4 3 15 10 13,3 6,7 13,3 10,0 50,0 33,3 1 1 4 1 3,3 3,3 13,3 3,3 3 2 3 10,0 6,7 10,0 30 30 30 30 30 30 100 100 100 100 100 100 6. Buah-buahan a. Pisang b. Pepaya c. Mangga d. Semangka e. Jeruk 5 4 3 16,7 13,3 10,0 19 12 2 8 63,3 40,0 6,7 26,7 6 10 6 20,0 33,3 20,0 3 16 16 8 10,0 53,3 53,3 26,7 1 14 12 5 3,3 46,7 40,0 16,7 30 30 30 30 30 100 100 100 100 100 7. Minyak a. Minyak goreng b. Margarin c. Kelapa 30 8 100 26,7 19 63,3 1 3 3,3 10,0 7 23,3 22 73,3 30 30 30 100 100 100 8. Lain-lain a. Gula b. Garam c. Kopi d. Teh e. Susu f. Mi instan 30 30 3 30 5 2 100 100 10,0 100 16,7 6,7 5 6 5 16,7 20,0 16,7 2 10 15 6,7 33,3 50,0 3 5 8 10,0 16,7 26,7 17 4 56,7 13,3 30 30 30 30 30 30 100 100 100 100 100 100 9. Makanan jadi a. Pecel b. Nasi tumpang c. Soto 2 1 6,7 3,3 2 2 4 6,7 6,7 13,3 2 2 7 6,7 6,7 23,3 4 5 6 13,3 16,7 20,0 20 21 12 66,7 70,0 40,0 30 30 30 100 100 100

Sumber : Analisis Data Primer, Tahun 2013

(30)

commit to user

Menurut Suhardjo et all (1988), pola konsumsi pangan rumah tangga dapat dikategorikan menjadi lima kategori, yaitu sering (jika >1x/hari, 1x sehari, dan 4-6x/minggu), cukup sering (jika 3x/minggu), cukup (jika <3x/minggu, 1-2x/minggu), jarang (jika <1x/minggu dan 1x/bulan), dan tidak pernah. Pola konsumsi pangan setiap rumah tangga berbeda-beda. Pola konsumsi pangan dalam rumah tangga mencerminkan menu makan yang dikonsumsi oleh rumah tangga sehari-hari.

Bahan pangan pokok merupakan bahan pangan penghasil karbohidrat, sehingga banyak dibutuhkan oleh tubuh untuk melakukan aktivitas. Karbohidrat merupakan salah satu sumber utama energi di dalam tubuh. Tiga sumber utama energi yaitu karbohidrat, lemak, dan protein; karbohidrat merupakan sumber energi yang paling murah (Sediaoetama, 2006).

Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui bahwa di daerah penelitian terdapat pola konsumsi pangan pokok tunggal, yaitu beras dalam kategori sering dikonsumsi dengan persentase 100%. Hal ini terjadi karena rumah tangga petani sudah terbiasa mengkonsumsi nasi sebagai makanan utama yang dikonsumsi setiap hari. Rumah tangga petani belum terbiasa menggunakan bahan pangan sumber karbohidrat lainnya (seperti singkong, ubi jalar) sebagai makanan pokok.

Beras merupakan salah satu pangan pokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga petani. Selain beras, rumah tangga petani juga mengkonsumsi pangan pokok lainnya seperti, jagung, roti, dan tepung terigu, meskipun frekuensinya lebih jarang dari konsumsi beras. Rumah tangga petani mengkonsumsi jagung yang berasal dari pembelian di pasar, yang berupa jagung rebus. Sebanyak 27 petani mengkonsumsi jagung, dengan persentase tertinggi sebesar 53,3% yang termasuk dalam kategori jarang (<1x/minggu, 1x/bulan). Jagung bagi mereka adalah makanan selingan di saat beristirahat maupun berkumpul dengan keluarga. Selain jagung, rumah tangga petani juga mengkonsumsi roti, sebagai makanan selingan. Sebanyak 29 petani responden mengkonsumsi

(31)

commit to user

roti, dengan persentase tertinggi sebesar 40% pada kategori jarang (<1x/minggu, 1x/bulan). Rumah tangga petani yang memiliki anak kecil lebih sering mengkonsumsi roti, karena anak kecil gemar makan roti tawar dengan diberi selai susu. Rumah tangga petani biasanya mendapatkan roti dari pembelian di toko dan pasar. Bahan pangan pokok lainnya adalah tepung terigu. Seluruh petani responden di Kecamatan Nogosari mengkonsumsi tepung terigu dengan frekuensi yang berbeda-beda, dengan persentase tertinggi sebesar 60% pada kategori cukup sering (3x/minggu). Rumah tangga petani biasanya mengkonsumsi tepung terigu dalam bentuk gorengan seperti mendoan dan bakwan. Tepung terigu mereka peroleh dari hasil pembelian di warung dan pasar.

Sumber pangan yang mengandung karbohidrat lainnya adalah umbian, seperti singkong, ubi jalar, dan kentang. Meskipun umbian sebagai pangan yang mengandung karbohidrat, kedudukan umbi-umbian tidak bisa disamakan dengan beras. Hal ini disebabkan karena selain mengandung karbohidrat, beras juga memiliki kandungan protein sedangkan umbi-umbian tidak. Tubuh tidak hanya membutuhkan karbohidrat yang tinggi untuk tetap hidup sehat, tetapi juga membutuhkan protein yang berfungsi untuk memperbaiki sel-sel tubuh yang sudah tua dan rusak. Oleh karena itu, umbi-umbian tidak digunakan sebagai bahan pangan pokok.

Singkong merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang banyak dikonsumsi oleh responden. Sebanyak 29 responden mengkonsumsi singkong dengan frekuensi yang berbeda-beda, dengan persentase tertinggi sebesar 36,7% mengkonsumsi singkong dalam kategori cukup (<3x/minggu, 1-2x/minggu). Responden mengkonsumsi singkong dalam bentuk singkong rebus, singkong goreng, dan gethuk yang diolah sendiri, sebagai makanan selingan. Responden mendapatkan singkong dari hasil panen sendiri. Mereka memanfaatkan lahan kosong di sekitar rumah dan sawah untuk menanam singkong. Hasil panen singkong digunakan untuk konsumsi rumah tangga. Singkong merupakan jenis umbi-umbian yang

(32)

commit to user

paling banyak ditanam oleh petani di lahan mereka. Hal ini disebabkan karena tanaman singkong mudah untuk ditanam dan tidak membutuhkan perawatan khusus, sehingga petani gemar menanamnya.

Jenis umbi-umbian yang dikonsumsi oleh petani adalah ubi jalar dan kentang. Ubi jalar banyak dikonsumsi oleh petani dalam bentuk ubi rebus dan ubi goreng, sebagai makanan selingan. Petani mendapatkan ubi jalar dari pembelian di pasar dan pedagang sayur keliling. Beberapa petani responden menanam ubi jalar, sehingga saat panen petani tidak perlu membeli ubi jalar di pasar. Sedangkan untuk umbi jenis kentang, petani biasa mengkonsumsi kentang dalam bentuk perkedel dan sayur untuk campuran memasak sop/sambal gareng. Petani mendapatkan kentang dari pembelian dari pedagang sayur keliling dan pasar. Petani tidak ada yang membudidayakan kentang, karena kentang adalah tanaman dataran tinggi, sehingga tidak bisa ditanam di lokasi penelitian.

Selain mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat, petani juga mengkonsumsi pangan penghasil protein. Fungsi protein di dalam tubuh sangat erat hubungannya dengan kehidupan sel. Fungsi protein sebagai zat pembangun. Selain itu, protein befungsi dalam pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, menggantikan sel-sel yang mati dan aus terpakai (Sediaoetama, 2006).

Pangan penghasil protein bisa didapatkan dari hewan dan tumbuhan. Pangan penghasil protein yang berasal dari hewan ada bermacam-macam, yaitu daging ayam, daging sapi, telur, ikan lele, bandeng, dan ikan asin. Dari keenam jenis pangan hewani tersebut, pangan hewani yang paling banyak dikonsumsi oleh petani adalah daging ayam, yaitu sebanyak 17 responden (56,7%), dengan frekuensi <3x/minggu (1-2x/minggu), atau diketegorikan cukup. Daging ayam banyak dikonsumsi karena rasanya yang enak dan harga yang lebih murah jika dibanidngkan dengan daging sapi. Petani memperoleh daging ayam dari pembelian di pedagang keliling dan pasar. Ada beberapa rumah tangga responden yang selalu membeli ayam setiap hari. Hal ini

(33)

commit to user

dikarenakan ada yang salah satu anggota keluarga mereka tidak mau makan jika tidak ada lauk yang berupa daging ayam.

Sedangkan pangan hewani yang paling jarang dikonsumsi adalah daging sapi. Hal ini dikarenakan harga daging sapi yang mahal, sehingga petani enggan membelinya. Petani mengkonsumsi daging sapi, paling sedikit sekali dalam setahun, yaitu pada saat hari raya Idul Adha. Oleh karena itu, banyak responden yang mengatakan tidak pernah mengkonsumsi daging sapi, yaitu sebanyak 14 responden (46,7%).

Selain daging ayam, responden juga sering mengkonsumsi telur ayam, ikan lele, bandeng dan ikan asin. Seluruh petani responden mengkonsumsi telur ayam, karena mudah didapatkan, murah dan rasa yang enak. Telur ayam biasa dikonsumsi dalam bentuk telur ceplok, telur dadar, dan juga sering digunakan untuk bahan tambahan masakan lainnya, seperti perkedel dan mi instan. Sedangkan ikan lele, bandeng, dan ikan asin, biasa dikonsumsi dalam bentuk gorengan, yang digunakan sebagai lauk pauk keluarga. Namun ada beberapa petani yang tidak mengkonsumsi pangan hewani jenis ikan tersebut, karena ada yang berpendapat jika ikan-ikan tersebut tidak enak, sehingga mereka tidak pernah mengkonsumsinya. Biasanya petani mendapatkan telur ayam, bandeng, ikan lele, dan ikan asin di pasar dan pedagang sayur keliling. Namun ada beberapa rumah tangga responden yang memelihara ikan lele, sehingga jika ingin mengkonsumsi ikan lele, mereka tidak perlu membeli.

Selain pangan hewani, petani juga mengkonsumsi pangan nabati untuk mencukupi kebutuhan protein mereka. Pangan nabati yang paling sering dikonsumsi adalah tahu dan tempe. Seluruh responden (100%) mengkonsumsi jenis pangan ini setiap hari. Hal ini disebabkan karena tahu dan tempe paling mudah ditemui. Selain itu, harga tahu dan tempe yang lebih murah dibandingkan dengan harga pangan sumber protein lainnya membuat pangan ini sering dikonsumsi. Mereka mengkonsumsi

(34)

commit to user

tahu dan tempe dalam bentuk gorengan maupun dibumbui manis, yang digunakan sebagai lauk pauk.

Pangan nabati jenis lainnya adalah kacang tanah dan kacang hijau. Kacang tanah lebih sering dikonsumsi daripada kacang hijau. Meskipun begitu, kacang tanah masih dikategorikan jarang karena sebagian besar petani (sebanyak 14 responden) mengkonsumsi <1x/minggu (1x/bulan). Mereka jarang mengkonsumsi kacang tanah karena mereka sadar akan kesehatan. Ada beberapa responden yang memiliki sakit asam urat, sehingga mereka harus mengontrol makan dan pantangan untuk tidak mengkonsumsi beberapa jenis pangan supaya penyakit yang diderita tersebut tidak kambuh.

Sedangkan untuk kacang hijau, sebanyak 18 responden (60,0%) tidak pernah mengkonsumsi jenis pangan ini. Hal ini dikarenakan harga kacang hijau yang mahal dan jenis olahan kacang hijau tidak terlalu dikenal oleh mereka, sehingga mereka tidak pernah mengkonsumsi kacang hijau. Pada beberapa responden, mengkonsumsi pangan nabati tersebut dalam bentuk bubur kacang hijau yang dibeli dari penjual bubur kacang hijau keliling.

Selain karbohidrat dan protein, tubuh juga memerlukan vitamin dan mineral untuk menjaga daya tahan tubuh. Vitamin dan mineral dapat diperoleh dari sayuran dan buah. Sayuran yang sering dikonsumsi oleh rumah tangga petani responden di Kecamatan Nogosari adalah bayam, kacang panjang, wortel, cabai, daun singkong, dan taoge. Sayuran tersebut sering dikonsumsi karena sayuran tersebut banyak dijual, mudah diolah, dan harga cukup murah. Cabai sering dikonsumsi dalam bentuk sambal sebagai makanan pelengkap saat makan. Bahkan untuk beberapa responden, mereka menanam bayam, singkong, dan cabai sendiri. Namun bagi beberapa responden tidak mengkonsumsi jenis sayuran bayam, daun singkong, daun pepaya, dan kangkung karena alasan kesehatan. Hal ini disebabkan karena responden menderita sakit asam urat dan reumatik.

(35)

commit to user

Sumber vitamin dan mineral lainnya berasal dari buah-buahan. Jenis buah yang jarang dikonsumsi adalah buah jeruk dan semangka. Mereka jarang mengkonsumsi buah tersebut karena harga yang mahal dan belum tentu rasa buah jeruk dan semangka yang dibeli rasanya enak. Meskipun begitu, ada jenis buah yang cukup sering mereka konsumsi, yaitu pisang dan pepaya. Buah jenis ini sering dikonsumsi karena responden menanam pisang dan pepaya sendiri di lahan mereka. Petani akan sering mengkonsumsi pisang dan pepaya saat panen, tetapi saat hasil panen buah sudah habis, petani lebih memilih tidak mengkonsumsi buah. Sama halnya dengan buah mangga. Saat musim buah mangga, petani akan sering mengkonsumsi buah mangga. Bahkan petani yang tidak memiliki pohon mangga pun juga akan sering mengkonsumsi buah mangga karena diberi oleh tetangga. Namun saat tidak panen, mereka tidak akan mengkonsumsi buah. Hal ini disebabkan karena menurut responden, kebutuhan vitamin dan mineral dapat dicukupi dari konsumsi sayuran. Selain itu, faktor pendapatan juga mempengaruhi. Ketika pendapatan rumah tangga rendah, responden cenderung memprioritaskan kebutuhan pangan pokok saja yaitu beras, sedangkan untuk kebutuhan pangan lainnya cenderung tidak ditingkatkan.

Kandungan bahan pangan lain yang dibutuhkan oleh tubuh adalah lemak. Menurut Almatsier (2004), kebutuhan lemak tidak dinyatakan secara mutlak. WHO menganjurkan konsumsi lemak sebanyak 15-30% dari kebutuhan energi total dianggap baik untuk kesehatan. Fungsi lemak didalam makanan memberikan rasa gurih dan renyah, terutama pada makanan yang digoreng. Lemak juga mengandung kalori yang tinggi dan memberikan sifat empuk (lunak) pada kue yang dibakar. Di dalam tubuh, lemak berfungsi terutama sebagai cadangan energi dalam bentuk jaringan lemak yang ditimbun di tempat-tempat tertentu. Jaringan lemak berfungsi sebagai bantalan organ-organ tubuh tertentu, seperti ginjal. Jaringan lemak juga melindungi tubuh dari hawa dingin (Sediaoetama, 2006).

(36)

commit to user

Kebutuhan lemak dapat dipenuhi dari mengkonsumsi pangan yang mengandung minyak, seperti minyak goreng, margarin, dan kelapa. Minyak goreng adalah sumber lemak yang dikonsumsi oleh semua petani dengan frekuensi yang sering (>1x/hari, 1x/hari, 4-6x/minggu). Minyak goreng yang responden konsumsi adalah minyak goreng curah, dan ada beberapa responden yang menggunakan minyak goreng dengan brand tertentu dengan alasan kesehatan. Minyak goreng digunakan untuk menggoreng bahan pangan, seperti tempe, tahu, telur ayam, daging ayam, dll, sehingga petani mengkonsumsi minyak dalam bentuk lauk yang digoreng. Selain itu, sumber lemak lainnya adalah margarin dan kelapa. Dibandingkan dengan margarin, kelapa lebih banyak dan sering digunakan oleh rumah tangga petani untuk pelengkap masakan yaitu untuk diambil santannya, seperti gudeg, sambal goreng, dan sambal tumpang. Sedangkan untuk margarin mereka jarang bahkan tidak pernah mengkonsumi karena harga yang mahal dibandingkan dengan minyak goreng biasa.

Petani juga mengkonsumsi bahan pangan lain-lain, seperti gula, garam, kopi, teh, susu, dan mi instan. Gula, garam, dan teh adalah bahan pangan yang dikonsumsi oleh semua responden (100%), yang termasuk dalam kategori sering (>1x/hari, 1x/hari, 4-6x/minggu). Gula dan garam digunakan untuk bahan pelengkap masakan, sehingga mereka setiap hari menggunakannya. Teh juga sering dikonsumsi karena harga yang murah. Selain itu, sudah menjadi kebiasaan rumah tangga petani untuk memulai aktivitas dengan mengkonsumsi teh terlebih dahulu. Bahan pangan lainnya yang tidak sering dikonsumsi adalah kopi, susu, dan mi instan. Kopi jarang dikonsumsi karena alasan kesehatan. Menurut mereka mengkonsumsi kopi dapat meningkatkan resiko hipertensi, sehingga mereka jarang atau bahkan tidak mengkonsumsi. Susu juga jarang dikonsumsi oleh rumah tangga petani. Anak-anak petani juga jarang mengkonsumsi susu. Petani tidak terlalu memahami arti penting susu bagi anak-anak, sehingga dalam keseharian mereka jarang memberikan

(37)

commit to user

susu pada anak-anak mereka. Anak-anak petani biasanya mengkonsumsi susu saat akan mengikuti ujian sekolah dan saat berpuasa. Hal ini disebabkan karena menurut mereka, susu dapat meningkatkan konsentrasi saat ujian dan mampu menambah energi saat menjalankan puasa. Selain susu, mi instan juga tidak sering dikonsumsi. Mereka mengkonsumsi mi instan saat malam hari, yaitu saat nasi yang dimasak pada pagi hari telah habis, sedangkan anggota keluarga belum semuanya makan malam. Mereka memilih untuk memasak dan mengkonsumsi mi instan untuk menghemat waktu.

Selain memasak sendiri, rumah tangga petani juga mengkonsumsi makanan jadi yang dibeli di warung makan atau penjual makanan keliling. Makanan jadi yang dikonsumsi oleh rumah tangga petani adalah pecel, nasi tumpang, dan soto. Biasanya mereka membeli makanan jadi saat bepergian, ada tamu di rumah, dan saat istri sedang sakit sehingga tidak bisa memasak makanan untuk keluarga. Penjual pecel, nasi tumpang, dan soto memang dekat dengan rumah mereka. Namun meskipun aksesnya mudah, petani jarang membeli makanan jadi untuk berhemat. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor pendapatan. Menurut mereka, akan lebih berhemat ketika masak sendiri di rumah daripada membeli makanan jadi di luar.

5. Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani

Konsumsi pangan rumah tangga petani yang dianalisis hanya dibatasi pada konsumsi energi dan protein. Konsumsi pangan rumah tangga petani dapat diketahui dengan menggunakan metode recall, yaitu mencatat jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah selama 2 x 24 jam, kemudian mengkonversikan dalam satuan kkal (konsumsi energi) dan gram (konsumsi protein). Selanjutnya, hasil perhitungan konsumsi energi dan protein tersebut dibandingkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan oleh pemerintah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) pada setiap rumah tangga petani. Rata-rata

(38)

commit to user

konsumsi energi dan protein, serta Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) pada rumah tangga petani di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Rata-Rata Konsumsi Energi dan Protein serta Tingkat Konsumsi Gizi (TKG) Rumah Tangga Petani di Kecamatan Nogosari Tahun 2013

Keterangan

Energi (kkal) Protein (gram) Rumah Tangga Per kapita per hari Rumah Tangga Per kapita per hari Konsumsi

AKG yang dianjurkan

7.349,98 8.718,33 1.815,43 2.136,77 199,52 237,10 49,39 58,76 TKG (%) 89,87 84,96 84,15 84,05

Sumber : Analisis Data Primer, Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa rata-rata konsumsi energi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga adalah sebesar 1.815,43 kkal/kap/hari. Berdasarkan rata-rata Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan, didapatkan nilai Tingkat Konsumsi Energi (TKE) sebesar 84,96%. Rata-rata nilai TKE individu ini termasuk dalam kategori sedang (TKE 80-99% AKE). Meskipun tergolong kategori sedang, AKE masih belum dapat terpenuhi. Berdasarkan sudut pandang nasional, rata-rata konsumsi energi pada anggota rumah tangga petani responden masih kurang, karena belum dapat mencapai nilai AKE normatif yang telah ditentukan. Nilai AKE normatif yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 2.150 kkal/kap/hari. Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang global, konsumsi energi pada anggota rumah tangga petani responden masih sangat kurang jika dibandingkan dengan AKE normatif global yang ditetapkan oleh FAO (tahun 2006-2008), yaitu sebesar 2790 kkal/kap/hari. Tingginya konsumsi energi dipengaruhi oleh faktor ketersediaan pangan pokok. Rata-rata ketersediaan pangan pokok rumah tangga petani yang masih tergolong rendah menyebabkan konsumsi energi tidak mampu mencapai AKE yang dianjurkan. Selain faktor ketersediaan pangan, ada faktor lain yang juga mempengaruhi, yaitu pendapatan. Pendapatan digunakan oleh

Gambar

Tabel 6. Luas Daerah dan Tata Guna Lahan di Kecamatan Nogosari  Tahun 2011
Tabel  7.  Jumlah  Penduduk  dan  Pertumbuhan  Penduduk  di  Kecamatan Nogosari Tahun 2008-2011
Tabel 8.  Keadaan  Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan  Nogosari Tahun 2008-2011
Tabel  9.  Keadaan  Penduduk  Menurut  Kelompok  Umur  di  Kecamatan Nogosari Tahun 2008-2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Andini (2017) yang menyatakan bahwa kualitas air berdasarkan parameter fisika sudah memenuhi per- syaratan kualitas air

Dengan cara ini di ketahui beberapa hal Peta geologi adalah bentuk ungkapan data dan informasi geologi suatu daerah / wilayah / kawasan dengan tingkat kualitas yang tergantung

Kunjungan ANC men- jadi salah satu faktor risiko yang mening- katkan kejadian perdarahan pasca persalin- an karena apabila ibu melakukan pelayanan ANC secara teratur

[r]

President Commissioner &amp; Independent Commissioner Warga Negara Indonesia, lahir pada tahun 1950 (65 tahun), beliau memegang jabatan Presiden Komisaris dan Komisaris

Mempelajari perbandingan nilai rataan posterior yang digunakan untuk menduga premi risiko yang diperoleh dari metode Bayesian robust dan metode kredibilitas robust.. LANDASAN TEORI

Organisasi merupakan artikulasi dari bagian-bagian yang merupakan suatu kesatuan fungsional. Tubuh manusia, misalnya, terdiri dari berbagai bagian-bagian yang masing-masing

Hidrogel yang diproduksi dengan mempolimerisasikan pati iles-iles dengan asam akrilat dan akrilamida dalam larutan berdasarkan kondisi polimerisasi yang diperoleh dalam