BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi
Diabetes melitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang berkorelasi dengan phenotype dari hiperglikemia. Perbedaan tipe dari diabetes adalah penyebab oleh korelasi campuran dari faktor gen dan lingkungan. Hal ini biasa disebabkan oleh gangguan pengeluaran insulin, pengurangan penggunaan glukosa, dan peningkatan produksi glukosa. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari gagal ginjal akut, amputasi tungkai bawah bukan trauma, kebutaan, dan penyumbang untuk terjadinya penyakit jantung. Dengan peningkatan insidensi yang tinggi di dunia, DM menjadi faktor mortalitas dan morbiditas untuk masa yang akan datang (Longo et al., 2012).
Kemudian diabetes melitus dibagikan dalam dua bentuk. Bentuk pertama disebut diabetes melitus tipe 1 dan bentuk kedua adalah diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus tipe 2 adalah keadaan hiperglikemia yang disebabkan oleh rusaknya sekresi insulin, resistensi insulin, atau keduanya (ADA, 2012).
2.1.2. Klasifikasi
DM terklasifikasi berdasarkan proses patogenik dari hiperglikemia, dengan kriteria awal berupa onset umur ataupun tipe terapi yang digunakan. Cabang utama dari DM adalah DM tipe 1 dan tipe 2 dan berdasarkan etiologi lihat tabel 2.1. (Longo et al., 2012).
2.1.3. Etiologi
DM tipe II disebabkan oleh kesalahan dalam menggunakan insulin. Peran insulin dalam tubuh digunakan untuk memindahkan glukosa ke dalam sel tubuh untuk disimpan dan digunakan dalam bentuk energi. Dalam keadaan ini penderita DM tipe II tidak dapat menggunakan insulin dengan efektif yaitu dapat memproduksi insulin namun insulin kurang atau mampu memproduksi insulin tetapi tidak mampu menggunakan insulin, keadaan ini dinamakan resistensi insulin (Guyton & Hall, 2013).
Keadaan resitensi insulin ini mengakibatkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel otot untuk disimpan sebagai energi, namun glukosa akan tertimbun didalam peredaran darah. Sehingga glukosa dalam darah akan meningkat (hiperglikemia). Keadaan hiperglikemia ini mengakibatkan sel β pankreas bekerja lebih untuk memproduksi insulin, akibatnya sel β pankreas tidak mampu mengkompensasi sehingga terjadilah kegagalan sel β pankreas (Guyton & Hall, 2013).
Riwayat keluarga genetika, aktifitas fisik rendah, diet tinggi lemak dan rendah serat serta berat badan yang berlebihan menjadi salah satu faktor risiko DM tipe 2 (Guyton & Hall, 2013).
Tabel 2.1. Etiologi diabetes melitus (Longo et al., 2012). I. Type 1 diabetes
A. Immune-mediated B. Idiopathic
II. Type 2 diabetes
III. Other specific types of diabetes A. Genetic defect of β cell
1. MODY 1 2. MODY 2 3. MODY 3 4. MODY 4 5. MODY 5 6. MODY 6 7. Mitochondrial DNA
8. Subunits of ATP-sensitive potassium channel 9. Proinsulin or insulin conversion
B. Genetic defects in insulin action 1. Type A insulin resistance
2. Leprechaunism
3. Rabson-Mendenhall syndrome 4. Lypoditrophy syndromes
C. Diseases of the exocrine pancrease D. Endocrinopathies
E. Drugs F. Infections
G. Uncommon forms of immune-mediated diabetes
H. Other genetics syndromes sometimes associated with diabetes IV. Gestational diabetes
2.1.4. Diagnosis
DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (Whole Blood), vena ataupun kapiler tetap dapat digunakan dengan memperhatikan angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai WHO (PERKENI, 2011).
Gejala khas DM antara lain poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan, sedangkan gejala tidak khas DM terdiri dari lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, serta pruritus vulvae pada wanita (PERKENI, 2011).
Tabel 2.2. Kriteria diagnosis DM (PERKENI, 2011).
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dL (7,0 mmol/L) Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor risiko DM namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan umum kesehatan (PERKENI, 2011).
Tabel 2.3. KGD sebagai faktor penyaring DM (mg/dl) (PERKENI, 2011).
Kadar Gula Darah Bukan DM Possible DM DM
Sewaktu Plasma Vena <100 100-199 >200
Kapiler <90 90-199 >200
Puasa Plasma Vena <100 100-125 >126
Kapiler <90 90-99 >100
2.1.5. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Hal ini dituangkan dengan empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus (PERKENI, 2011).
1. Edukasi
Edukasi biasanya berupa pengetahuan pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberitahukan kepada pasien. Pemberdayaan penyandang diabetes juga harus memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat (PERKENI, 2011).
2. Terapi Nutrisi Medis
Para penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah (PERKENI, 2011).
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani bisa dilakukan secara teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit.Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (PERKENI, 2011).
4. Terapi pengobatan
Terapi pengobatan sangat dianjurkan diselingi dengan latihan jasmani dan pengaturan pola makan supaya pengontrolan gula darah menjadi baik (PERKENI, 2011).
2.1.6. Penilaian Hasil Terapi
Hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan jasmani.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah : 1. Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah adalah untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai dan untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.
2. Pemeriksaan HbA1c
Tes hemoglobin terglikolisasi, yang biasa disebut juga glikohemoglobin, atau hemoglobin glikolisasi, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1c dianjurkan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam 1 tahun.
3. Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM)
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan, menjelang tidur dan diantara siklus tidur, atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells (PERKENI, 2011).
2.1.7. Komplikasi
Komplikasi DM tipe 2 ada dua yaitu : mikroangiopati dan makroangiopati.Komplikasi mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler, arteriola retina (retinopati diabetik), glomerolus ginjal(nefropati diabetik), saraf perifer (neuropati diabetik) dan lesi pada ototserta kulit. Komplikasi makroangiopati terdiri dari penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit vaskuler perifer (PERKENI, 2011).
2.2. HbA1c (Hemoglobin Terglikosilasi) 2.2.1. Biokimia
Hemoglobin merupakan bagian dari eritrosit yang berperan dalam mengangkut oksigen ke jaringan, terdiri dari HbA1, HbA2, HbF (fetus). Hemoglobin A (HbA) terdiri atas 91 sampai 95 % dari jumlah hemoglobin. Glikosilasi merupakan reaksi pengikatan aldehid dengan larutan glukosa tinggi, sehingga rantai beta molekul hemoglobin akan mengikat gugus glukosa secara irreversibel, proses ini dinamakan glikosilasi. Proses glikosilasi ini terjadi secara spontan dan akan meningkat apabila terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah.
HbA1c terbentuk dari ikatan glukosa dengan gugus amida pada rantai asam amino valin di ujung rantai beta dari globulin. Pada dewasa normal hemoglobin terjadi dengan 2 tahap. Tahap pertama terjadi ikatan kovalen aldimin berupa basa shiff yang bersifat stabil dan tahap kedua terjadi penyusunan kembali secara amadori menjadi bentuk ketamin yang stabil. Pada keadaan hiperglikemia akan meningkatkan pembentukan basa shiff antara gugus aldehid glukosa dengan residu lisin, arginin dan histidin. Kecepatan pembentukan reaksi glikosilasi bergantung dengan kadar glukosa (ACBD UK, 2008).
Ketika glukosa darah masuk ke dalam eritrosit menyebabkan glikosilasi gugus ε amino residu lisin dan terminal amino hemoglobin. Fraksi hemoglobin terglikosilasi yang dalam keadaan normal berjumlah 5% setara dengan konsentrasi glukosa dalam darah. Karena waktu paruh eritosit hanya 120 hari, maka kadar hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) mencerminkan rata rata kadar glukosa darah
dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan. Pada orang normal hemoglobin mengalami glikosilasi sekitar 4-6 % sedangkan pada hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar HbA1c dapat meningkat hingga 18-20%. Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen tetapi kadar HbA1c yangtinggi mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes. Setelah kadar normoglikemik menjadi stabil, kadar HbA1c kembali normal dalam 3 minggu (Mayes, 2009).
2.2.2. HbA1c sebagai kontrol diabetes
Tujuan pemeriksaan HbA1c adalah untuk mengetahui gambaran kadar glukosa darah harian rata rata dan derajat keseimbangan karbohidrat selama 2 bulan yang lalu, untuk memantau progresivitas penyakit, dan untuk mengetahui perkembangan komplikasi DM. Pemeriksaan HbA1c lebih baik daripada pemeriksaan gula darah puasa. Oleh karena itu pemeriksaan HbA1c dilakukan minimal 2 kali dalam setahun. Selain pemeriksaan HbA1c pemeriksaan fruktosamin juga dapat menggambarkan keadaan glukosa 2-3 minggu sebelumnya. Pada pemeriksaan fruktosamin dapat memantau kadar glukosa lebih cepat dibanding HbA1c yang untuk jangka waktu lebih lama (ACBD UK, 2008).
Semakin tinggi nilai HbA1c maka semakin tinggi penderita berisiko terkena komplikasi. Setiap penurunan 1% kadar HbA1c dapat menurunkan risiko gangguan pembuluh darah mikrovaskuler sebanyak 35%, menurunkan komplikasi lain 21% serta menurunkan risiko kematian 21%. Kenormalan HbA1c dapat diupayakan dengan mempertahankan kadar gula darah tetap normal sepanjang waktu.
Pada penderita DM tipe II yang melakukan tes glukometer tinggi ini merupakan implikasi dari nilai HbA1c tinggi. Hasil pemeriksaan glukometer yangtinggi diakibatkan oleh asupan makanan yang tidak sesuai dengan anjuran diet atau tidak pernah melakukan olah raga, sedangkan kadar HbA1c yang tinggi merupakan akumulasi kadar glukosa secara berkepanjangan. Kadar HbA1c terbentuk pada pasca translasi yang berlangsung secara lambat dan tidak dipengaruhi oleh enzim sepanjang jalur hidup eritrosit, oleh karena itu apabila
eritrosit lebih tua maka kadar HbA1c lebih tinggi dibanding eritrosit muda (Soewondo, 2005).
2.3. Dislipidemia 2.3.1. Definisi
Dislipidemia didefinisikan sebagai kelainan metabolisme lipid dimana terjadi peningkatan maupun penurunan komponen lipid dalam darah. Kelainan komponen lipid yang utama adalah terjadinya kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein), TG (trigliserida), serta menurunnya kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) (PERKENI, 2012).
2.3.2. Klasifikasi
Berikut adalah macam-macam dislipidemia 1. Klasifikasi Fenotipik
Klasifikasi EAS (European Atherosclerosis Society)
Tabel 2.4. Klasifikasi dislipidemia menurut EAS (Hendromartono et al., 2007). Indikator Peningkatan Lipoprotein Peningkatan Lipid Plasma Hiperkolesterolemia LDL Kolesterol > 240 mg/dl Hipertrigliserida VLDL Trigliserida> 200 mg/dl Kombinasi VLDL + LDL Kolesterol > 240 mg/dl +
Trigliserida> 200 mg/dl a. Klasifikasi WHO
Tabel 2.5. Klasifikasi WHO (Hendromartono et al., 2007).
Frederickson Genetik Terapetik Peningkatan
Lipoprotein I Dislipidemia Hipertrigliseridaemia eksogen Kilomikron II A Hiperkolesterolemia Hiperkolesterolemia LDL II B Dislipidemia Kombinasi Hipertrigliseridaemia endogen + Dislipidemia kombinasi LDL + VLDL III Dislipidemia remnant
Hipertrigliseridaemia Partikel endogen + Dislipidemia kombinasi IV Dislipidemia endogen Hipertrigliseridaemia endogen VLDL V Dislipidemia campuran Hipertrigliseridaemia endogen VLDL + Kilomikron
1. Klasifikasi Patogenik
Klasifikasi yang paling mudah digunakan adalah pembagian dislipidemia dalam bentuk dislipidemia primer dan dislipidemia sekunder. Pembagian ini penting untuk menetukan pola pengobatan yang akan diterapkan (PERKENI 2012).
a) Dislipidemia Primer
Dislipidemia primer adalah dislipidemia yang diakibatkan oleh kelainan genetik. Pasien dislipidemia sedang disebabkan oleh hiperkolesterolemia poligenik dan dislipidemia kombinasi familial. Dislipidemia berat umumnya karena hiperkolesterolemia familial, dislipidemia remnant (Hendromartono et al., 2007).
i. Hiperkolesterolemia poligenik
Keadaan ini merupakan penyebab hiperkolesterolemia tersering (>90%). Merupakan interaksi antara kelainan gen yang multipel, nutrisi, dan faktor lingkungan lainnya serta lebih mempunyai lebih dari satu dasar metabolik. Hiperkolesterolemia biasanya ringan atau sedang dan tidak ada xantoma (Hendromartono et al., 2007).
ii. Hiperkolesterolemia familial
Kelainan ini bersifat autosomal dominan dan terdapat bentuk homozigot maupun heterozigot. Hiperkolesterolemia familial homozigot memiliki kadar kolesterol total antara 600-1000 mg/dl, tidak dapat diobati, menyebabkan PJK dan stenosis aorta pada masa kanak-kanan dan dewasa muda. Hiperkolesterolemia timbul karena peningkatan kadar kolesterol LDL yang disebabkan oleh kelainan fungsi atau jumlah reseptor LDL. Pada hiperkolesterolemia familial heterozigot biasanya kadar kolesterol total bervariasi antara 350-460 mg/dl, tetapi adanya nilai >300 mg/dl pada dewasa atau >260 mg/dl untuk usia <16 tahun perlu dicurigai diagnosis hiperkolesterolemia familial.
Diagnosisnya dapat dibuat pada saat kelahiran dengan menggunakan darah yang berasal dari umbilikus. Kadar TG normal atau sedikit meningkat (Hendromartono et al., 2007).
iii. Dislipidemia remnant
Kelainan ini ditandai dengan peningkatan kolesterol dan TG (dislipidemia campuran) dan berat-ringannya kelainan ini bervariasi. Pada orang muda atau pasien yang kurus satu-satunya manifestasi mungkin hanya hipertrigliseridaemia sedang. Meskipun jarang terjadi, namun merupakan penyebab PJK serius dan penyebab kelainan pembuluh darah perifer yang dini. Manifestasi kardiovaskuler sering muncul pasca dekade kehidupan ke-4 atau ke-5 (Hendromartono et al., 2007).
iv. Hiperlipidemia kombinasi familial
Kelainan ini merupakan kelainan genetik metabolisme lipoprotein yang sering ditemukan berkorelasi dengan PJK, dengan angka kejadian 1% dari jumlah penduduk. Diagnosis bergantung pada hasil pemeriksaan pada anggota keluarga lain. Biasanya terjadi pada keluarga dengan riwayat PJK yang kuat. Mayoritas pasien menunjukkan peningkatan Apo B plasma. Pada pasien dengan peningkatan kadar kolesterol dan TG, diagnosis banding, meliputi dislipidemia remnan, hiperlipidemia kombinasi familial, hiperkolesterolemia familial, dan dislipidemia sekunder (Hendromartono et al., 2007).
v. Sindrom kilomikron
Kelainan ini merupakan penyebab hipertrigliseridaemia berat yang jarang ditemukan. Disebabkan oleh kelainan enzim lipoprotein lipase atau apo C-II. Terdapat banyak xantoma eruptif. Pada keadaan ini adanya hipertrigliseridaemia berat dan kadar kolesterol HDL yang sangat rendah tidak mengakibatkan peningkatan risiko PJK (Hendromartono et al., 2007).
vi. Hipertrigliseridaemia familial
Keadaan ini merupakan keadaan klinis yang sama dengan sindrom kilomikron. Hipertrigliserida yang ada bisa berat atau ringan. Peningkatan TG yang ringan menunjukkan kenaikan kadar VLDL, sedangkan bentuk yang lebih berat biasanya disertai kilomikronemia. Tidak berpengaruh terhadap risiko PJK (Hendromartono et al., 2007).
vii. Peningkatan kolesterol HDL
Kadar kolesterol HDL yang tinggi mengakibatkan hiperkolesterolemia ringan. Keadaan ini merupakan abnormalitas yang „bandal‟, dan tidak memerlukan terapi, serta disebut sebagai longevity syndrome. Kadar lipoprotein lainnya normal (Hendromartono et al., 2007).
viii. Peningkatan apolipoprotein B
Pada beberapa penelitian ditemukan peningkatan kadar Apo B pada banyak pasien PJK (Hendromartono et al., 2007).
b) Dislipidemia Sekunder
Dislipidemia sekunder adalah dislipidemia yang terjadi akibat dari penyakit lain. Penatalaksanaan penyakit primer akan memperbaiki dislipidemia yang ada. Sehingga dalam hal ini pengobatan penyakit primer diutamakan. Terutama untuk pasien diabetes melitus pemakaian obat hipolipidemik sangat dianjurkan, sebab risiko koroner pasien tersebut sangat tinggi. Pasien diabetes melitus dianggap mempunyai risiko yang sama (ekivalen) dengan pasien penyakit jantung koroner.
i. Obesitas
Pada keadaan obesitas umumnya didapatkan hiperlipidemia. Peningkatan pada masa adiposit menurunkan sensitivitas dari insulin yang berkorelasi dengan obesitas mempunyai berbagai efek pada metabolisme lipid. Asam lemak bebas yang berlebih dibawa oleh jaringan adiposa ke hepar dimana asam lemak bebas tersebut di re-esterifikasi di hepatosit untuk membentuk trigliserida, yang akan dibentuk menjadi VLDL untuk disekresikan ke sirkulasi. Intake yang tinggi dari karbohidrat akan memicu hepar memproduksi VLDL dan mengakibatkan peningkatan VLDL dan atau LDL pada beberapa individu yang obesitas. Plasma kolesterol HDL cenderung rendah pada orang obesitas (Longo et al., 2012). ii. Diabetes Melitus
Pasien dengan DM tipe 1 umumnya tidak terdapat hiperlipidemia jika dalam kontrol glikemik yang baik. Ketoasidosis diabetik terkadang diiringi dengan hipertrigliseridaemia karena peningkatan influks hepar oleh asam lemak bebas dari jaringan adiposa.
Pasien DM tipe 2 umumnya terdapat dislipidemia, jika tidak dalam kontrol glikemik yang baik. Insulin yang tinggi dan resistensi insulin dengan DM tipe 2 mempunyai berbagai efek dalam metabolisme : (1) penurunan aktivitas LPL yang mengakibatkan penurunan katabolisme kilomikron dan VLDL, (2) peningkatan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan adiposa, (3) peningkatan sintesis asam lemak di hepar, (4) peningkatan produksi VLDL hepar. Pasien DM tipe 2 mempunyai berbagai abnormalitas lipid, termasuk peningkatan plasma trigliserida (berkorelasi dengan peningkatan VLDL dan lipoprotein remnant), peningkatan LDL, dan penurunan kolesterol HDL (Longo et al., 2012).
iii. Penyakit Tiroid
Hipotiroidisme berkorelasi dengan peningkatan plasma kolesterol LDL terutama karena penurunan fungsi reseptor LDL hepar dan clearance LDL yang tertunda. Sebaliknya, plasma kolesterol LDL sering menurun pada pasien hipertiroid. Pasien hipotiroid memiliki sirkulasi IDL yang meningkat, dan beberapa hipertrigliseridaemia ringan (<300 mg/dL). Semua pasien yang menunjukkan peningkatan plasma kolesterol LDL atau IDL sebaiknya diskrining hipotiroid (Longo et al., 2012).
iv. Gangguan Ginjal
Sindroma nefrotik berkorelasi dengan hiperlipoproteinemia, dimana umumnya campuran tetapi dapat bermanifestasi sebagai hiperkolesterolemia atau hipertrigliseridaemia saja. Hiperlipidemia pada sindroma nefrotik tampaknya karena akumulasi VLDL dan lipoprotein remnant di sirkulasi. Lipolisis trigliserida dan clearance dari remnant keduanya berkurang pada pasien dengan gagal ginjal (Longo et al., 2012).
v. Gangguan Hepar
Hepar adalah tempat utama pembentukan dan clearance lipoprotein, sehingga penyakit di hepar berakibat pada jumlah lipid plasma. Hepatitis karena infeksi, obat-obatan, atau alkohol sering berkorelasi dengan peningkatan sintesis VLDL dan hipertrigliseridaemia ringan sampai berat. Hepatitis berat dan gagal hati berkorelasi dengan penurunan plasma kolesterol dan trigliserida karena
penurunan kapasitas biosintesis lipoprotein. Kolestasis berkorelasi dengan hiperkolesterolemia, yang terkadang dapat menjadi berat (Longo et al., 2012). vi. Alkohol
Konsumsi alkohol mempunyai berbagai efek pada level plasma lipid. Efek alkohol paling sering pada peningkatan level plasma trigliserida. Konsumsi alkohol menstimulasi hepar mensekresi VLDL, kemungkinan oleh hambatan oksidasi heparpada asam lemak bebas, yang akan memicu sintesis trigliserida dan sekresi VLDL.
Pola lipoprotein yang sering terlihat pada konsumsi alkohol adalah peningkatan VLDL, tetapi pada orang dengan gangguan lipid primer dapat berkembang menjadi hipertrigliseridaemia berat. Penggunaan alkohol reguler terkait dengan peningkatan level plasma kolesterol HDL ringan sampai sedang (Longo et al., 2012).
vii. Estrogen
Pemberian estrogen terkait dengan peningkatan VLDL dan sintesis HDL yang menyebabkan peningkatan plasma trigliserida dan kolesterol HDL. Pola lipoprotein disini khas karena level plasma trigliserida dan kolesterol HDL biasanya berbanding terbalik (Longo et al., 2012).
viii. Penyakit Penyimpanan Glikogen
Penyebab lain yang jarang dari hiperlipidemia sekunder termasuk penyakit penyimpanan glikogen seperti von Gierke’s disease, yang dikarenakan mutasi pada glukosa-6-fosfat. Ketidakmampuan untuk mengerahkan glukosa hepar selama puasa berakibat pada hipoinsulinemia dan peningkatan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan adiposa. Sintesis asam lemak hepar juga meningkat, menghasilkan akumulasi lemak di hepar dan peningkatan sekresi VLDL. Hiperlipidemia yang terkait dengan penyakit ini dapat menjadi sangat berat tetapi berespon baik pada pengobatan (Longo et al., 2012).
ix. Sindroma Cushing
Kelebihan glukokortikoid terkait dengan peningkatan sintesis VLDL dan hipertrgliseridemia. Pasien dengan sindrome cushing juga memiliki peningkatan ringan plasma kolesterol LDL (Longo et al., 2012).
2.3.3. Diagnosis
Menurut National Institute of Health; National Heart Lung, and Blood Insitute; National Cholesterol Education Program, pada tahun 2002 membuat suatu batasan kadar lipid plasma yang sampai saat ini masih digunakan (AACE, 2012).
Tabel 2.8. Interpretasi kadar lipid plasma (AACE, 2012). Kolesterol LDL <100 mg/dl Optimal 100-129 mg/dl Mendekati Optimal 130-159 mg/dl Borderline 160-189 mg/dl Tinggi >190 mg/dl Sangat Tinggi Kolesterol Total <200 mg/dl Optimal 200-239 mg/dl Borderline >240 mg/dl Tinggi Kolesterol HDL <40 mg/dl Berat > 60 mg/dl Optimal Trigliserida <150 mg/dl Optimal 150-199 mg/dl Borderline 200-499 mg/dl Tinggi > 500 mg/dl Sangat Tinggi
2.4. Jenis Lipid dan Lipoprotein 2.4.1. Trigliserida
Trigliserida merupakan simpanan lemak utama dan terdapat 95% pada jaringan lemak manusia. Semakin tinggi kadar trigliserida maka semakin rendah kepadatan dari lipoprotein. Trigliserida dibawa ke dalam plasma oleh kilomikron dan Very Low Density Lipoprotein (VLDL), dengan komposisi dalam darah 35%. Pada penderita DM tipe II dengan kontrol glikemik buruk biasanya terjadi peningkatan trigliserida.
2.4.2. Kolesterol
Kolesterol dalam tubuh terdapat dalam bentuk bebas dan dalam bentuk kolesterol ester. Normalnya dua pertiga kolesterol plasma terdapat dalam bentuk ester. Kolesterol berperan dalam sintesis sterol pada asam empedu, hormon andrenokortikal, androgen dan estrogen. Kolesterol diangkut oleh LDL sekitar 60-70% dan 15-30% diangkut dengan HDL. Pada penderita DM tipe II dengan kontrol glikemik buruk biasanya terjadi peningkatan kolesterol.
2.4.3. Fosfolipid
Fosfolipid merupakan unsur pembentuk membran lipid yang mengandung asam lemak alkohol dan residu asam fosfat. Kosentrasi fosfolipid terdapat dalam berbagai fraksi dari lipoprotein dan terbanyak terdapat pada HDL 30% masa dan LDL 20-24% masa dan 43% fosfolipid terdapat dalam darah.
2.4.4. Lipoprotein
Lipoprotein ini berperan sebagai pengangkut lipid dari tempat sintesis lipid ke tempat penggunaan lipid. LDL (Low density lipoprotein) merupakan sumber dari kolesterol yang terikat dengan apoprotein. LDL ini berperan dalam meneruskan kolesterol ke jaringan ekstrahepatik yang memiliki afinitas spesifik tinggi. Kadar kolesterolintrasel sangat mempengaruhi aktifitas reseptor LDL, melalui reseptor ini kebutuhan kolesterol tubuh terpenuhi dan sebagai penghambat sintesis kolesterol di dalam sel tubuh. Pada penderita DM tipe II dengan kontrol glikemik buruk biasanya terjadi peningkatan LDL.
HDL (high density lipoprotein) merupakan lipoprotein terkecil dalam sel hati dan sel usus halus. HDL berperan dalam mengangkut kolesterol dan fosfolipid dari jaringan ke sel hati untuk dirombak sehingga dapat mencegah penumpukan kolesterol dan fosfolipid di jaringan perifer. Pada penderita DM tipe II dengan kontrol glikemik buruk biasanya terjadi penurunan HDL.
2.4.5. Apolipoprotein
a) Apolipoprotein A-1(Apo A-1)
Apolipoprotein A-1(Apo A-1) merupakan komponen protein terbesar dari HDL. Apo A-1 ini disintesis dalam hati dan usus halus dan dikatabolisme oleh ginjal dan kolesterol. Apo A-1 ini berperan sebagai pembawa kolesterol ester yang dibentuk di jaringan luar hati ke hati.
b) Apolipoprotein A-II (Apo A-II)
Apo A-II ini merupakan komponen dari kilomikron dan HDL dan akan meningkat pada pemakaian alkohol.
c) Apolipoprotein A-IV(Apo A-IV)
Apo A-IV merupakan komponen dari kilomikron dan HDL dan dalam plasma dalam bentuk bebas.
d) Apolipoprotein B(Apo B)
Apolipoprotein B(Apo B) merupakan komponen protein yang terbesar dari LDL, juga terdapat dalam VLDL dan kilomikron. Apo B ini berperan dalam mengatur interaksi antara LDL dan sisa kilomikron dengan reseptor spesifik yang terdapat dalam hati dan ektrahepatik. Terdapat 2 jenis Apo B yaitu Apo B-100 yang disintesis dihepar yang berfungsi untuk berikatan dengan reseptor LDL dan mengangkut kolesterol dari hati ke jaringan perifer. Apo B-48 ini hanya terdapat dalam usus dan hanya didapatkan dalam kilomikron dan kilomikron sisa. Apo B-48 ini berfungsi untuk mengangkut lipid eksogen.
e) Apolipoprotein C (Apo C)
Apolipoprotein C (Apo C) terdapat 3 jenis yaitu Apo C-I , Apo C-II dan Apo C-III ketiganya berperan dalam aktivator dari LPL.
f) Apolipoprotein E (Apo E)
Apolipoprotein E (Apo E) merupakan glikoprotein yang terdapat dalam kilomikron, VLDL, IDL,HDL dan kilomikron sisa. Apo E ini akan berikatan dengan reseptor LDL (Benuck, 1995).
2.5.Dislipidemia pada Diabetes Melitus tipe 2
2.5.1. Metabolisme Lipoprotein pada resistensi insulin
Lipoprotein pada penderita DM akan mengalami 3 proses merugikan yang mempunyai korelasi erat dengan lebih mudahnya terjadi aterosklerosis yaitu proses glikosilasi menyebabkan peningkatan lipoprotein yang terglikosilasi dengan akibat mempunyai sifat lebih toksik terhadap endotel serta menyebabkan katabolisme lipoprotein menjadi lebih lambat. Kedua, proses oksidasi mengakibatkan peningkatan oxidized lipoprotein. Peningkatan kadar lipoprotein peroksida, baik LDL maupun HDL, mempermudah rusaknya sel dan terjadinya aterosklerosis. Lipid peroksida pada DM cenderung berlebihan jumlahnya dan akan menghasilkan beberapa aldehid (malondialdehid) yang memiliki daya perusak tinggi terhadap sel-sel tubuh. Ketiga, karbamilasi dimana residu lisin apoprotein LDL akan mengalami karbamilasi dan berakibat katabolisme LDL terhambat (Suhartono, 2007).
Pada dasarnya dislipidemia pada diabetes melitus dan sindroma metabolik sama yaitu adanya resistensi insulin. Dalam keadaan normal, tubuh menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Pada resistensi insulin, hormone sensitive lipase di jaringan adiposa menjadi aktif sehingga lipolisis trigliserida di jaringan adiposa akan meningkat. Hal tersebut akan mengakibatkan asam lemak bebas yang berlebihan. Asam lemak bebas akan memasuki aliran darah dan sebagian digunakan sebagai sumber energi dan sebagian lagi dibawa ke hati, dimana di hati digunakan sebagai bahan pembuatan trigliserida. Di hati asam lemak bebas diubah menjadi trigliserida dan juga menjadi bagian dari VLDL. VLDL pada keadaan resistensi insulin ini akan kaya trigliserida (Adam, 2009).
Trigliserida yang banyak terdapat di VLDL dalam sirkulasi akan bertukar dengan kolesterol ester dari kolesterol LDL, sehingga menghasilkan LDL yang kaya akan trigliserida tapi kurang kolesterol ester. Trigliserida dalam LDL tersebut dihidrolisis oleh enzim hepatic lipase yang biasanya tinggi pada resistensi insulin, sehingga menghasilkan LDL kecil tapi padat ( small dense LDL ). Small dense LDL ini bersifat aterogenik karena sangat mudah teroksidasi (Adam, 2009).
Trigliserida VLDL besar juga dipertukarkan dengan kolesterol ester dari HDL yang akan menghasilkan HDL dengan sedikit kolesterol ester tapi kaya trigliserida. HDL seperti demikian mudah dikatabolisme oleh ginjal sehingga jumlah HDL serum akan menurun. Oleh sebab itu pada keadaan resistensi insulin terjadi kelainan profil lipid serum, dimana terjadi peningkatan trigliserida, penurunan HDL, serta peningkatan small dense LDL (Adam, 2009).