Korespondensi: Yunita Puspitasari
Email: yunita.puspitasari70@gmail.com Hp: 081514180568
Pengaruh Erdostein pada Kadar Glutathione, Interleukin 8,
Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama, dan Skor CAT pada
Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil
Yunita Puspitasari, Suradi, Reviono
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, RS Dr. Moewardi Surakarta
Abstrak
Latar belakang: Inflamasi saluran napas perifer dan kerusakan struktural saluran napas pada PPOK berkontribusi secara fungsional
terhadap hambatan aliran udara ekspirasi. Penelitian ini dilakukan untuk menilai apakah pengaruh pemberian erdostein pada kadar GSH, interleukin 8 (IL-8), nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1 )dan skor CAT pasien penyakit paru obstruktif kronik stabil.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain single blind randomized controlled trial. Subjek penelitian adalah pasien PPOK
stabil yang datang ke Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan September 2014. Subjek dibagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok mendapat terapi standar. Erdostein 300 mg diberikan dua kali sehari pada kelompok pertama (n=13) selama 10 hari, sedangkan kelompok kedua mendapat plasebo (n=13). Penentuan derajat obstruksi dengan pemeriksaan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), pengukuran kadar GSH, IL-8 dan penilaian skor CAT dilakukan sebelum dan sesudah pemberian erdostein selama 10
hari. Pengaruh pemberian erdostein dinilai berdasarkan ada tidaknya kenaikan VEP1 dan GSH serta penurunan skor CAT dan kadar IL-8.
Hasil: Pemberian erdostein secara signifikan dapat menurunkan skor CAT dengan nilai p=0,017. Peningkatan VEP1 setelah pemberian
erdostein secara statistik tidak bermakna (p=0,823) demikian juga dengan kadar GSH (p=0,532) dan kadar IL-8 (p=0,396). Terdapat perbedaan perubahan yang signifikan setelah perlakuan pada kadar GSH (p=0,000). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok setelah perlakuan pada nilai VEP1 (p= 0,590), skor CAT (p=0,297) maupun kadar IL-8 (p=0,665).
Kesimpulan: Pemberian erdostein menurunkan skor CAT pasien PPOK stabil. Terdapat peningkatan kadar GSH dan VEP1 namun secara
statistik tidak bermakna. Kadar IL-8 sebagai penanda inflamasi tidak menunjukkan penurunan. (J Respir Indo. 2015; 35: 181-92) Kata kunci: erdostein, PPOK stabil, VEP1, skor CAT, kadar GSH, kadar IL-8.
The Influence Of Erdostein in Glutathione, IL-8 Level, VEP
1Value,
and CAT Score in Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease
Patients
Abstract
Background: Peripheral airway inflammation and structural airway injury in COPD functionally contribute to expiratory airflow limitation. The
study aims to investigate the influence of erdostein in GSH, IL-8 level, VEP1 value and CAT score in stable chronic obstructive pulmonary
disease patients.
Methods: This is a clinical single-blind randomized controlled trial study. Subjects were stable COPD outpatients of Dr. Moewardi Hospitals
Surakarta. We randomized the subjects into two groups. Both groups received standard theraphy. Three hundred milligram erdostein was given twice daily in first group (n= 13) for 10 days, while the second group (n= 13) received placebo twice daily for 10 days. CAT score was carried out at the start and the completion of 10 day treatment along with measurement of severity of obstruction with forced expiratory volume in one second, GSH and IL-8 level.
Results: Erdostein significantly reduced CAT score (p=0.017). The increase of VEP1 value between the groups was not significant (p=
0.823) thus GSH (p=0.532) and IL-8 level (p=0.396). There was not significant difference between the groups after treatment in VEP1 value
(p= 0.590), CAT score (p=0.297) and IL-8 level (p=0,665).
Conclusion: Erdostein significantly reduced CAT score in stable chronic obstructive pulmonary disease patients. The increase of GSH level
and VEP1 was not significant. IL-8 level as a marker of inflammation was not decrease. (J Respir Indo. 2015; 35: 181-92)
PENDAHULUAN
The Global Burden of Disease Study mem
perkirakan tahun 2020 penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) akan menempati urutan ketiga penyebab kematian di seluruh dunia dan diproyeksikan menjadi
penyebab keempat kematian pada tahun 2030.1
Indonesia tahun 2004 menunjukkan PPOK urutan
pertama penyumbang angka kesakitan (35%).2
Perubahan struktural saluran napas pada PPOK terjadi akibat mekanisme yang kompleks. Mekanisme tersebut adalah inflamasi, stres oksidatif, ketidakseimbangan proteaseantiprotease dan
apoptosis.1,3-5 Saluran napas dan paru selalu terpajan
oksidan baik eksogen maupun endogen sehingga
sangat rentan terhadap stres oksidatif.46 Tingkat
peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil berkorelasi dengan penurunan
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
rasio VEP1/ KVP (kapasitas vital paksa).2
Mukolitik dipertimbangkan untuk menurunkan viskoelastisitas sputum dan memperbaiki pro
duksi sputum.7 Erdostein dengan nama kimia
N-(carboxymethylthioacetyl) homocysteine thio-lactone mempunyai aktivitas farmakologi setelah
dimetabolisme menjadi metabolit aktif
N-thiodiglycolyl-Homocysteine (Met 1) yang membuka ikatan disulfida
pada mukoprotein bronkus sehingga memberi efek
mukolitik.7,8 Sebagai antioksidan dan antiinflamasi
erdostein memiliki gugus sulfhidril (free thiol) yang menghambat aktivitas scavenging radikal bebas (ROS) dengan cara berkonjugasi langsung dengan oksidan
H2O2 sehingga oksidan menjadi netral (H2O).9,10
Sebagai antioksidan erdostein menjadi prekursor glutathion bentuk tereduksi (reduced
glutathione = GSH) dan merangsang sintesis GSH.10
Glutation digunakan sebagai substrat glutathion peroksidase (GPx) untuk mendetoksifikasi hydrogen peroksida (H2O2) yang merupakan ROS dalam sel.10,11 Secara kuantitatif merupakan penyangga
redoks utama intraselular.12
Chronic Obstructive Pulmonary Disease Assessment Test (CAT) merupakan tes standar dan
tervalidasi mengandung 8 item untuk mengevaluasi
pengaruh PPOK terhadap kesejahteraan dan kehi dupan sehari-hari meliputi batuk, produksi dahak, rasa berat di dada, sesak napas, keterbatasan aktivitas, kekhawatiran karena kondisi paru, tenaga dan gangguan tidur. Volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) perlu untuk menetapkan diagnosis
dan mengkonfirmasi keparahan obstruksi saluran napas pada pasien PPOK. Chronic Obs-tructive
Pulmonary Disease Assessment Test (CAT) dan VEP1
merupakan pengukuran yang saling melengkapi untuk penilaian dan penatalaksanaan PPOK. Keduanya merupakan metode yang dapat dipercaya untuk menilai respons pengobatan dan progresivitas penyakit.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian erdostein terhadap derajat obstruksi dan skor CAT penderita PPOK stabil melalui penilaian fungsi erdostein sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Penurunan inflamasi ditandai penurunan ekspresi dan sekresi sitokin proinflamasi (IL-8). Penurunan stres oksidatif ditandai oleh pengukuran kadar glutathione (GSH). Penurunan hambatan aliran udara diukur dengan
nilai VEP1. Hambatan aliran udara yang menurun
akan memperbaiki gejala klinis yang dapat diukur dengan skor CAT.
METODE
Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain single blind randomized controlled trial. Penelitian dilakukan di poliklinik paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan September 2014 sampai memenuhi jumlah sampel. Besar sampel ditentukan berdasarkan jenis penelitian analitik dan didapatkan jumlah sampel 26 orang terdiri dari 13 orang untuk kelompok plasebo dan 13 orang untuk kelompok erdostein.
Populasi target penelitian ini adalah pasien PPOK stabil. Populasi terjangkau adalah penderita PPOK stabil yang menjalani rawat jalan di poliklinik paru RSUD Dr. Moewardi pada bulan September 2014 sampai memenuhi jumlah sampel.
sebagai PPOK stabil secara klinis, laki-laki, umur > 40 tahun berdasarkan selisih hari kelahiran dengan ulang tahun yang terakhir pada saat penelitian, bersedia ikut dalam penelitian dan menandatangani lembar persetujuan, bersedia mengisi kuesioner secara lengkap dan benar. Kriteria eksklusi adalah pasien PPOK yang telah memakai antioksidan sebelum penelitian, pasien PPOK dengan penyakit hepar, pasien PPOK dengan penyakit ginjal, pasien PPOK dengan kanker paru, ditemukan infeksi di luar saluran pernapasan, diabetes melitus. Kriteria drop out adalah pasien mengalami eksaserbasi akut, menggunakan suplementasi lain selama penelitian berlangsung, tidak terlacak lagi saat follow up, mengundurkan diri, muncul efek samping terhadap erdosteine antara lain nausea,
heartburn, nyeri perut, gangguan pengecapan selama
penelitian berlangsung, pasien meninggal.
Variabel tergantung adalah VEP1 dan CAT
sedang kan variabel bebas adalah erdostein. Diagnosis PPOK stabil adalah jika pasien PPOK tidak dalam kondisi eksaserbasi akut (sesak meningkat, sputum
bertambah dan perubahan konsistensi/ warna sputum).1
Derajat obstruksi adalah tingkat hambatan aliran udara. Derajat obstruksi pada PPOK berdasarkan
nilai VEP1 pasca uji bronkodilator. Volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) adalah jumlah volume
udara yang dikeluarkan secara paksa pada detik
pertama. Pengukuran VEP1 menggunakan spirometri
COSMED Pony FX. Skala ukur menggunakan skala numerik (rasio).
Chronic Obstructive Pulmonary Disease Assesment Test terdiri dari 8 item kuesioner
tervalidasi untuk menilai gangguan status kesehatan pada pasien PPOK meliputi keluhan batuk, adanya dahak, rasa berat di dada, sesak napas saat naik tangga, keterbatasan aktivitas sehari-hari di rumah, rasa khawatir terhadap penyakit paru yang diderita, sulit tidur, dan kelemahan fisik/tenaga. Tiap item dinilai dengan enam skala (05). Skala pengukuran menggunakan skala numerik (rasio). Glutathion merupakan molekul thiol dengan berat molekul rendah berfungsi sebagai antioksidan, melindungi terhadap reactive oxygen species (ROS). Glutathion digunakan sebagai substrat glutathione peroxidase
(GPx) untuk mendetoksifikasi hidrogen peroksida
(H2O2) suatu sumber ROS dalam sel. Sintesis GSH
tergantung dari ketersediaan sistein. Konsentrasi GSH selular menurun sebagai respon terhadap malnutrisi protein, stres oksidatif dan beberapa kondisi patologis lain. Antioksidan erdostein menghambat stress oksidatif dengan menginduksi biosintesis GSH. Kadar GSH diukur dengan metode enzimatik dengan
spektrofotometri menggunakan alat Bioxytech® GSH
420TM. Satuan kadar GSH μmol/gHb. Skala ukur
menggunakan skala numerik (rasio).
Interleukin 8 merupakan kemokin dihasilkan
oleh makrofag dan beberapa sel lain. Interleukin
8 juga merupakan neutrophil chemotactic factor
yang menginduksi kemotaksis netrofil. Netrofil teraktivasi melepaskan serin protease sehingga terjadi destruksi elastin alveolar. Inflamasi saluran napas perifer dan parenkim paru berkontribusi secara fungsional terhadap hambatan aliran udara ekspirasi.
Interleukin-8 diukur menggunakan metode ELISA
menggunakan alat Quantikine® Human CXCL8/IL8
Immunoassay. Kadar IL-8 dalam satuan pg/ mL.
Skala ukur menggunakan skala numerik (rasio). Erdostein merupakan senyawa dengan gugus
thiol yang setelah dimetabolisme menjadi Met 1 juga
berefek antioksidan dan antiinflamasi. Erdostein dalam penelitian ini diproduksi oleh perusahaan farmasi, diberikan dalam bentuk kapsul dengan dosis 2x300 mg selama 10 hari. Plasebo adalah kapsul berisi amilum (pati) yaitu suatu karbohidrat kompleks yang tidak larut air, tawar dan tidak berbau. Skala data menggunakan skala kategorikal (nominal).
Subjek yang memenuhi kriteria inklusi diberikan edukasi, dicatat identitas dan data lainnya meliputi riwayat merokok, lama menderita sakit, penyakit lain yang diderita, dan lain-lain pada formulir yang disediakan. Subjek diminta untuk mengisi kuesioner CAT untuk menilai berat ringan gejala klinis PPOK . Data awal subjek diperoleh dari anamnesis, skor CAT,
nilai VEP1 dari pengukuran spirometri, pengambilan
darah untuk pengukuran kadar GSH dan IL-8.
Selanjutnya subjek dibagi menjadi 2 grup secara random, grup pertama mendapat erdosteine
2x300 mg selama 10 hari, grup kedua mendapat plasebo selama 10 hari. Obat rutin yang subjek pakai tetap dipakai seperti biasa. Evaluasi efek samping obat dilakukan melalui telepon dan saat penderita kontrol. Hari ke-11 dilakukan kembali skoring CAT, pemeriksaan
spirometri untuk mendapatkan nilai VEP1, pengambilan
darah untuk pengukuran kadar GSH dan IL-8.
Penulis mengajukan persetujuan etik penelitian ke Panitia Kelaikan Etik Fakultas Kedokteran UNS Surakarta sebelum dilakukan penelitian. Analisis data dilakukan dengan memakai SPSS 16 for Windows. Perbandingan antara variabel bebas dan tergantung menggunakan uji beda. Batas kemaknaan nilai p > 0,05 tidak bermakna, nilai p ≤ 0,05 bermakna.
HASIL
Penelitian ini melibatkan 26 pasien PPOK stabil yang menjalani rawat jalan di poli Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 8 Oktober 2014 sampai dengan 29 November 2014. Subjek dibagi menjadi kelompok erdostein dan kelompok kontrol
berdasarkan tabel random sederhana, didapatkan 13 pasien PPOK stabil kelompok erdostein dan 13 pasien PPOK stabil kelompok kontrol.
Karakteristik variabel yang perlu dideskripsikan meliputi umur, tinggi badan, berat badan dan IMT yang dinyatakan secara numerik, serta riwayat merokok (Indeks Brinkman) dan komorbid yang dinyatakan secara kategorik. Variabelvariabel numerik dideskripsikan dengan nilai ratarata (mean), nilai tengah (median), simpangan baku (standar deviasi), nilai terendah (minimum), dan nilai tertinggi (maksimum). Variabel-variabel kategorik dideskripsikan dengan frekuensi dan prosentase tiaptiap kategori. Karakteristik dasar subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 1.
Berdasarkan tabel 1, sampel kedua kelompok menunjukkan homogenitas (keseragaman) pada semua karakteristik kecuali pada riwayat merokok. Terdapat perbedaan distribusi derajat merokok antara kedua kelompok (p < 0,05) dengan kecenderungan kelompok plasebo mempunyai riwayat merokok yang lebih berat dibandingkan kelompok erdostein.
Tabel 1. Karakteristik variabel penelitian
Karakteristik Kelompok Plasebo(N= 13) Kelompok Erdostein(N = 13) Nilai p Umur (tahun)
Mean ± SD
Median (Min – Max) 65,38 ± 8,8963 (52 – 79) 63,23 ± 5,7561 (55 – 73) 0,470
Tinggi badan (cm) Mean ± SD
Median (Min – Max) 160 (150 – 166)158,23 ± 5,26 161 (150 – 178)160,85 ± 8,16 0,341 Berat badan (kg)
Mean ± SD
Median (Min – Max) 52,85 ± 13,5449 (35 – 78) 53,05 ± 7,5955 (44 – 69) 0,962
Indeks massa tubuh (IMT) (kg/m2)
Mean ± SD
Median (Min – Max) 19,14 (13,67 – 34,67)21,11 ± 5,53 20,44 (16,16 – 25,64)20,53 ± 2,71 0,739 Riwayat merokok (indeks Brinkman)
Tidak merokok Ringan Sedang Berat 0 (0,0%) 3 (23,1%) 6 (46,2%) 4 (30,8%) 2 (15,4%) 5 (38,5%) 6 (46,2%) 0 (0,0%) 0,024* Komorbid Hipertensi HHD Bekas TB Angina stabil Glaukoma Tidak ada 2 (15,4%) 1 (7,7%) 1 (7,7%) 1 (7,7%) 0 (0,0%) 8 (61,5%) 3 (23,1%) 1 (7,7%) 1 (7,7%) 1 (7,7%) 1 (7,7%) 6 (46,2%) 0,915
Keterangan: 1 Teknik yang digunakan adalah independent samples t test (numerik), mann-whitney (derajat merokok), dan chi square
(komorbid).
Variabel penelitian meliputi % VEP1, skor CAT, kadar GSH dan IL-8. Subjek penelitian terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok plasebo dan erdostein. Data masingmasing kelompok dan masingmasing parameter dibedakan menjadi tiga yaitu nilai awal (pre), nilai akhir (post), dan selisih (post – pre). Teknik pengujian normalitas yang digunakan adalah
shapiro-wilk. Teknik ini dapat memberikan hasil pengujian yang
akurat pada sampel berukuran kecil (n < 50).
Peran pemberian plasebo terhadap variabel penelitian
Peran pemberian plasebo terhadap variabel penelitian ditunjukkan dengan adanya perubahan dari nilai awal (pre) ke nilai akhir (post) pada kelompok plasebo dapat dilihat pada tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 perubahan signifikan pada kelompok plasebo terjadi pada skor CAT dan kadar GSH (p < 0,05), skor CAT menurun dan kadar GSH meningkat. Perubahan signifikan tidak
terjadi pada %VEP1 dan kadar IL-8 (p > 0,05).
Kesimpulannya pemberian plasebo secara signifikan dapat menurunkan skor CAT dan meningkatkan kadar GSH.
Peran pemberian erdostein terhadap variabel penelitian
Peran pemberian erdostein terhadap variabel penelitian ditunjukkan dengan adanya perubahan dari nilai awal (pre) ke nilai akhir (post) pada kelompok erdostein dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 2. Perbandingan nilai awal (pre) dan nilai akhir (post) variabel penelitian pada kelompok plasebo
Variabel Nilai Awal (pre) Nilai Akhir (post) p 1
%VEP1
Mean ± SD
Median (Min – Max) 40,66 (15,21 – 93,44)44,50 ± 21,62 40,87 (18,26 – 75,64)42,57 ± 17,19 0,790 CAT
Mean ± SD
Median (Min – Max) 19,85 ± 6,4117 (11 – 30) 14,77 ± 4,8015 (7 – 21) 0,006*
GSH
Mean ± SD
Median (Min – Max) 3,9 (1,7 – 12,2)4,83 ± 2,77 6,7 (2,6 – 12,2)7,24 ± 2,83 0,000* IL-8
Mean ± SD
Median (Min – Max) 141,8 (22,7 – 592,4)208,46 ± 182,01 123,3 (3 – 1026,1)250,15 ± 290,12 0,573 Keterangan: 1 Teknik yang digunakan adalah paired samples t test apabila data memenuhi syarat normalitas dan wilcoxon signed
rank test apabila data tidak memenuhi syarat normalitas.
* p < 0,05 artinya perbedaan signifikan (ada perubahan).
Tabel 3. Perbandingan nilai awal (pre) dan nilai akhir (post) variabel penelitian pada kelompok erdostein
Variabel Nilai Awal (pre) Nilai Akhir (post) p 1
%VEP1
Mean ± SD
Median (Min – Max) 44,51 (23,60 – 82,56)49,63 ± 17,13 48,32 (24,85 – 85,07)49,18 ± 16,61 0,823 CAT
Mean ± SD
Median (Min – Max) 14,54 ± 6,6714 (5 – 29) 11,46 ± 5,229 (4 – 21) 0,017*
GSH
Mean ± SD
Median (Min – Max) 1,4 (0,9 – 6,7)2,1 ± 1,52 2,27 ± 1,421,8 (1 – 6) 0,532
IL-8
Mean ± SD
Median (Min – Max) 46,2 (23,3 – 1641,0)219,01 ± 445,24 83,1 (18,8 – 1082)320,25 ± 411,12 0,396 Keterangan: 1 Teknik yang digunakan adalah paired samples t test apabila data memenuhi syarat normalitas dan wilcoxon signed
rank test apabila data tidak memenuhi syarat normalitas.
Berdasarkan tabel 3, perubahan signifikan pada kelompok erdostein hanya terjadi pada skor CAT (p < 0,05), diketahui skor CAT menurun. Perubahan
signifikan tidak terjadi pada %VEP1, CAT dan IL-8 (p
> 0,05). Kesimpulannya pemberian erdostein secara signifikan dapat menurunkan skor CAT.
Perbandingan nilai awal (pre) dan nilai akhir (post) variabel penelitian antara kedua kelompok
Uji beda efek pemberian perlakuan antara kedua kelompok penelitian dapat dilakukan berdasarkan nilai akhir (post) dengan syarat nilai awal (pre) antara kedua kelompok tidak berbeda signifikan (homogen) seperti terlihat pada tabel 4.
Nilai awal (pre) CAT dinyatakan tidak homogen (p < 0,05) antara kedua kelompok sehingga uji beda efek pemberian perlakuan tidak tepat apabila dilakukan berdasarkan nilai akhir (post)nya. Berdasarkan tabel 4
nilai awal (pre) % VEP1 dan IL-8 dinyatakan homogen
(p > 0,05) antara kedua kelompok sehingga uji hipotesis perbedaan pengaruh pemberian perlakuan dapat dilakukan berdasarkan nilai akhir (post) seperti terlihat pada tabel 5.
Berdasarkan tabel 5 nilai akhir (post) %VEP1,
skor CAT dan kadar IL-8 dinyatakan tidak berbeda signifikan (p > 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian erdostein tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap ketiga variabel tersebut. Adapun nilai akhir (post) GSH dinyatakan berbeda signifikan (p < 0,05) di mana GSH kelompok erdostein lebih rendah dibandingkan GSH kelompok plasebo. Meskipun ini berarti bahwa pemberian erdostein berpengaruh signifikan terhadap GSH namun kesimpulan tersebut tidak dapat digunakan mengingat sejak awal GSH kedua kelompok memang tidak sama.
Tabel 4. Perbandingan nilai awal (pre) variabel penelitian antara kedua kelompok
Variabel Kelompok Plasebo
(N= 13) Kelompok Erdostein(N = 13) p
1
Pre %VEP1
Mean ± SD
Median (Min – Max) 40,66 (15,21 – 93,44)44,50 ± 21,62 44,51 (23,60 – 82,56)49,63 ± 17,13 0,509 Pre CAT
Mean ± SD
Median (Min – Max) 19,85 ± 6,4117 (11 – 30) 14,54 ± 6,6714 (5 – 29) 0,049*
Pre GSH Mean ± SD
Median (Min – Max) 3,9 (1,7 – 12,2)4,83 ± 2,77 1,4 (0,9 – 6,7)2,1 ± 1,52 0,001* Pre IL-8
Mean ± SD
Median (Min – Max) 141,8 (22,7 – 592,4)208,46 ± 182,01 46,2 (23,3 – 1641,0)219,01 ± 445,24 0,249 Keterangan: 1 Teknik yang digunakan adalah independent samples t test apabila data memenuhi syarat normalitas dan mann
whitney apabila data tidak memenuhi syarat normalitas.
* p < 0,05 artinya perbedaan signifikan (kedua kelompok tidak homogen). Tabel 5. Perbandingan nilai akhir (post) variabel penelitian antara kedua kelompok
Variabel Kelompok Plasebo
(N= 13) Kelompok Erdostein(N = 13) p
1
Post %VEP1
Mean ± SD
Median (Min – Max) 40,87 (18,26 – 75,64)42,57 ± 17,19 48,32 (24,85 – 85,07)49,18 ± 16,61 0,329 Post CAT
Mean ± SD
Median (Min – Max) 14,77 ± 4,8015 (7 – 21) 11,46 ± 5,229 (4 – 21) 0,106
Post GSH Mean ± SD
Median (Min – Max) 6,7 (2,6 – 12,2)7,24 ± 2,83 2,27 ± 1,421,8 (1 – 6) 0,000* Post IL-8
Mean ± SD
Median (Min – Max) 123,3 (3 – 1026,1)250,15 ± 290,12 83,1 (18,8 – 1082)320,25 ± 411,12 0,489 Keterangan: 1 Teknik yang digunakan adalah independent samples t test apabila data memenuhi syarat normalitas dan mann
whitney apabila data tidak memenuhi syarat normalitas.
Tabel 6. Perbandingan selisih nilai (post – pre) variabel penelitian antara kedua kelompok
Variabel Kelompok Plasebo(N= 13) Kelompok Erdostein(N = 13) p 1
Post – Pre %VEP1
Mean ± SD
Median (Min – Max) 0,71 (-51,07 – 18,74)-1,93 ± 16,68 -1,87 (-8,74 – 14,77)-0,45 ± 7,16 0,590 Post – Pre CAT
Mean ± SD
Median (Min – Max) -5,08 ± 5,455 (14 – 4) -3,08 ± 4,013 (9 – 3) 0,297
Post – Pre GSH Mean ± SD
Median (Min – Max) 2,8 (0 – 5,2)2,41 ± 1,63 0,2 (-1,6 – 1,6)0,17 ± 0,95 0,000* Post – Pre IL-8
Mean ± SD
Median (Min – Max) 89,5 (-454,6 – 433,7)41,68 ± 259,14 29,2 (-559 – 828,4)101,24 ± 414,74 0,665 Keterangan: 1 Teknik yang digunakan adalah independent samples t test (numerik) apabila data memenuhi syarat normalitas dan
mann-whitney (derajat merokok) apabila data tidak memenuhi syarat normalitas.
* p < 0,05 artinya perbedaan signifikan (kedua kelompok tidak homogen).
Perbandingan selisih nilai (post – pre) variabel penelitian antara kedua kelompok
Uji beda efek pemberian masingmasing perlakuan antara kedua kelompok penelitian dapat dilakukan berdasarkan nilai selisih (post – pre) yang memang menyatakan perubahan nilai yang terjadi selama penelitian (karena adanya pemberian perlakuan) dapat dilihat padaTabel 6. Berdasarkan Tabel 6 perbedaan perubahan yang signifikan antara kedua kelompok hanya terjadi pada GSH (p < 0,05). Peningkatan GSH karena pemberian plasebo justru lebih tinggi dibandingkan peningkatan GSH karena pemberian erdostein.
PEMBAHASAN
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respons inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplifikasi ini belum diketahui, kemungkinan disebabkan faktor genetik. Pasien PPOK yang tidak mempunyai riwayat merokok, penyebab respons inflamasi yang terjadi belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase. Tingkat peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil berkorelasi dengan penurunan volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) dan rasio VEP1/KVP.2
Berbagai oksidan dan radikal bebas berimplikasi pada patogenesis PPOK sehingga merupakan suatu hal yang mungkin apabila antioksidan dan antiinflamasi
akan efektif dalam penatalaksanaan PPOK.13
Fungsi paru dan kualitas hidup penderita PPOK akan mengalami penurunan dari waktu ke
waktu.2 Pemberian terapi yang terdiri dari berbagai
macam bronkodilator hanya merupakan terapi simtomatik pada penderita PPOK. Pendekatan terapi tambahan seperti suplementasi nutrisi antioksidan dan mikronutrien secara epidemiologi dapat memberikan keuntungan sehingga diharapkan manajemen PPOK lebih optimal dibanding terapi
konvensional.14 Erdostein merupakan agent mukolitik
yang mengandung gugus thiol yang menghambat
aktivitas scavenging radikal bebas (ROS).9,10 Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian
erdostein pada nilai VEP1, skor CAT, kadar GSH dan
IL-8 pasien PPOK stabil melalui penilaian fungsi erdostein sebagai antioksidan dan antiinflamasi.
Pengukuran derajat obstruksi berdasarkan VEP1
dan skor CAT sebagai penanda klinis. Perbaikan stres oksidatif dan inflamasi yang menurun akan menurunkan hambatan aliran udara yang diukur
dengan nilai VEP1. Hambatan aliran udara yang
menurun akan menurunkan gejala klinis yang dapat dinilai dengan skor CAT. Radikal bebas (ROS) yang menurun tidak menimbulkan stres oksidatif sehingga kadar GSH tidak menurun dan pemberian erdostein akan meningkatkan ketersediaan sistein untuk sintesis GSH. Penurunan ROS juga akan menghambat aktivitas NFκβ sehingga transkripsi mediator inflamasi (IL-8) juga akan menurun.
Rerata umur subjek penelitian pada kelompok
tahun pada kelompok plasebo. Rerata umur subjek pada penelitian ini lebih muda dibanding penelitian Indrayati (2014) dengan rerata 67,20±9,43 tahun dan 67,13±9,84 tahun, Martani RA (2013) dengan rerata 70,31±9,08 tahun dan 69,28±8,17 dan Kesuma(2011) dengan rerata 72,27±7,27. Umur merupakan faktor risiko PPOK dengan mekanisme yang belum jelas dipahami apakah individu sehat dengan pertambahan umur akan berkembang menjadi PPOK atau pertambahan umur merupakan refleksi
akumulasi berbagai pajanan sepanjang hidup pasien.1
Rerata indeks massa tubuh (IMT) subjek penelitian pada kelompok erdostein 20,53 ± 2,71 sedangkan kelompok plasebo 21,11 ± 5,53. Penelitian sebelumnya didapatkan 13(86,7%) pada kelompok perlakuan dan 14(93,3%) pada kelompok kontrol termasuk normoweight. Pada penelitian lainnya, IMT subjek penelitian normoweight 68,8% kelompok perlakuan dan 44,4% kelompok plasebo. Peranan nutrisi sebagai faktor risiko tersendiri sebagai penyebab berkembangnya PPOK belum jelas. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi karena penurunan massa otot dan kekuatan serabut otot.2
Subjek penelitian pada kelompok erdostein maupun plasebo 46,2% mempunyai indeks Brinkman sedang. Subjek yang tidak merokok 2 orang (13,3%) pada kelompok erdostein. Penelitian sebelumnya, subjek dengan IB berat sebanyak 55,6% dan 30,8%. Kebiasaan merokok adalah penyebab kausal PPOK terpenting. Asap rokok mempunyai prevalens tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada perokok tergantung dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman). Pajanan polutan indoor dan
outdoor, perokok pasif dan interaksi faktor genetik
dan lingkungan terkait insidensi PPOK pada bukan
perokok.2
Komorbid pada subjek penelitian adalah angina stabil, hypertensive heart disease, bekas TB, hipertensi dan glaukoma. PPOK biasanya disertai
penyakit komorbid yang dapat mempengaruhi prognosis. Penyakit kardiovaskuler merupakan komorbiditas terbanyak dan tersering. Tuberkulosis selain merupakan diagnosis banding PPOK juga potensial menjadi komorbid. Komorbid pada PPOK berpengaruh terhadap derajat berat PPOK dan terapi harus memperhatikan komorbid yang ada. Pengaruh pemberian erdostein terhadap nilai
VEP1
Hasil penelitian didapatkan perbedaan rerata
% VEP1 sebelum perlakuan dan setelah perlakuan
pada kelompok erdostein (49,63 ± 17,13 dan 49,18 ± 17,13) secara statistik tidak bermakna demikian juga pada kelompok plasebo (44,50 ± 21,62 dan
42,57 ± 17,19). Moretti7 melaporkan penelitian pada
195 pasien PPOK dan infeksi bronkial mendapatkan
peningkatan VEP1 sebesar 14% dari baseline pada
pasien mendapat erdostein.
Hilangnya elastic recoil paru akibat destruksi dinding alveoli dan destruksi penyokong alveolar menyebabkan hambatan aliran udara sehingga terjadi hiperinflasi dan timbul gejala sesak napas serta keterbatasan kapasitas exercise pada penderita
PPOK.1 Perubahan patologis akibat inflamasi terjadi
karena peningkatan sel inflamasi di berbagai bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera dan perbaikan berulang. Perubahan inflamasi dan struktural saluran napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya
penyakit walaupun sudah berhenti merokok.2
Inflamasi kronik pada PPOK berlangsung pada jalan napas kecil dan parenkim paru yang
melibatkan netrofil, makrofag dan CD8+.15 Respons
inflamasi dimediasi oksidan yang diinhalasi maupun yang dikeluarkan oleh netrofil, makrofag alveolar, eosinofil dan epitel yang teraktivasi menyebabkan
pembentukan ROS.16 ROS merangsang aktivasi
faktor transkripsi NFκβ. Faktor transkripsi NFκβ merupakan faktor yang sangat berperan dalam pengeluaran mediator inflamasi pada PPOK. Aktivasi NFκβ menyebabkan sel-sel inflamasi (makrofag, netrofil, eosinofil, limfosit) mengeluarkan berbagai
mediator inflamasi antara lain IL-6, IL-8, IL-1β, TNF-ά, netrofil elastase serta MMP-9. Pengeluaran berbagai mediator inflamasi menyebabkan peningkatan infla-masi, edema mukosa dan hipersekresi mukus. Tingkat peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil berkorelasi dengan penurunan
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1).
Obstruksi saluran napas kecil terjadi akibat proses inflamasi, pelepasan faktor kemotaktik dari makrofag seperti IL-8 dan LTB4 yang akan merangsang netrofil, kemudian disusul sekresi mediator fibrogenik yang akan menimbulkan fibrosis saluran napas kecil dan terjadi obstruksi yang irreversibel.
Pemberian erdostein diharapkan dapat mengu rangi ROS sehingga ekspresi dan pembentukan sitokin proinflamasi menurun dan hipersekresi mukus juga menurun. Penurunan mukus akan mengurangi hambatan aliran udara yang ditandai dengan
peningkatan VEP1. Pada penelitian ini peningkatan
VEP1 secara statistik tidak bermakna, kemungkinan
dikarenakan sebagian besar pasien merupakan
PPOK derajat berat (30%≤VEP1<50% prediksi)
dan faktor perancu seperti paparan asap rokok dan polutan tidak dapat dikendalikan. Kerusakan struktural saluran napas tidak bisa diubah, sehingga pemberian obat-obatan bersifat simtomatis, hanya mengoreksi klinis jadi tidak memperbaiki struktur. Pengaruh pemberian erdostein terhadap skor CAT
Chronic Obstructive Pulmonary Disease Assessment Test (CAT) merupakan sistem penilaian
sederhana untuk menilai dampak PPOK terhadap status kesehatan pasien. Kuesioner CAT terdiri dari 8 item penilaian. Hasil penilaian mempunyai skor 0-40, gejala penderita PPOK termasuk less symptoms apabila skor CAT <10 dan more symptoms apabila skor CAT >10. Perbaikan skor CAT dilihat dari penurunan skor CAT setelah pemberian perlakuan.
Perbedaan rerata skor CAT pada kelompok erdostein sebelum perlakuan 14,54±6,67 dan setelah perlakuan 11,46±5,22 dengan nilai p= 0,017 berarti secara statistik bermakna. Perbedaan rerata skor CAT awal pada kelompok kontrol adalah
19,85±6,41 dan rerata skor CAT akhir didapatkan 14,77±4,80 dengan nilai p= 0,006 yang berarti perbedaan rerata skor CAT sebelum dan setelah pemberian plasebo pada kelompok kontrol secara statistik juga bermakna. Penelitian yang sama dengan penelitian ini masih belum didapatkan.
Moretti dkk.7 melaporkan efikasi erdostein 2x300 mg
perhari selama >12 minggu pada pasien PPOK stabil dievaluasi pada dua penelitian cross-over,
double-blind, placebo-controlled dan didapatkan parameter
perbaikan klinik dibandingkan plasebo. Penelitian EQUALIFE tahun 2004 melaporkan pemberian erdostein selama 2 bulan disamping terapi usual menghasilkan perbaikan health-related quality of life secara signifikan dibanding plasebo.
Chronic Obstructive Pulmonary Disease Assesment Test merupakan kuesioner yang menilai
gangguan status kesehatan pada pasien PPOK meliputi batuk, produksi dahak, rasa berat di dada, sesak napas, keterbatasan aktivitas, kekhawatiran keluar rumah, adanya tenaga dan gangguan tidur.
Chronic Obstructive Pulmonary Disease Assesment Test untuk menilai status kesehatan dalam praktek
sehari-hari, mudah dilakukan dan berhubungan
dengan variabel penting secara klinis (VEP1,
eksaserbasi). Kuesioner tersebut dapat diulang ulang dan responsif untuk onset eksaserbasi dan perbaikan.
Erdostein merupakan mukolitik yang juga sebagai antioksidan dan antiinflamasi yang
menu-runkan viskositas, elastisitas dan komposisi sputum.7,8
Penurunan ROS karena pemberian erdostein akan mengambat aktifitas NFκβ sehingga mencegah pengeluaran sitokin proinflamasi. Penurunan jumlah sitokin proinflamasi menyebabkan penurunan inflamasi saluran napas, edema saluran napas dan hipersekresi mukus yang akan mengurangi hambatan aliran udara selanjutnya menurunkan gejala. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease Assesment Test merupakan
kuesioner yang menilai gangguan status kesehatan pada pasien PPOK meliputi batuk, produksi dahak, sesak napas, keterbatasan aktivitas dan gangguan tidur. Penurunan gejala yang terjadi dengan
pemberian erdostein dapat dibuktikan dengan skor CAT yang menurun. Penurunan skor CAT pada kelompok plasebo kemungkinan dikarenakan CAT merupakan kuesioner, berdasarkan persepsi pasien terhadap gejala yang dirasakan sehingga ada faktor psikologis yang berperan.
Pengaruh pemberian erdostein terhadap kadar GSH
Perbedaan rerata kadar GSH plasma kelompok
erdostein sebelum dan setelah perlakuan (2,1 ± 1,52
dan 2,27 ± 1,42) secara statistik tidak bermakna, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi perbedaan rerata kadar GSH sebelum dan setelah perlakuan (4,83 ± 2,27 dan 7,24 ± 2,83) yang bermakna secara statistik. Hasil ini berbeda dengan penelitian terhadap 10 pasien bronkitis kronik menunjukkan kadar GSH meningkat dalam plasma setelah pemberian erdostein dan tetap lebih tinggi dari baseline setelah
12 jam.17 Penelitian pada pasien bronkitis kronik
mendukung erdostein meningkatkan kadar GSH
plasma dan cairan BAL.18 Perbedaan ini mungkin
dikarenakan perbedaan dalam hal metode penelitian antara lain karakteristik subjek atau sampel dan reagen kit yang digunakan.
Konsentrasi GSH ekstraselular relatif rendah sekitar 2-20 μmol/L dalam plasma. Perubahan kadar GSH yang tidak signifikan secara statistik kemungkinan dikarenakan faktor pajanan asap rokok dan polutan serta nutrisi selama penelitian tidak dapat dikendalikan. Konsentrasi GSH selular berkurang pada kondisi malnutrisi protein, stres oksidatif dan beberapa kondisi patologis. Makanan rendah protein, dexamethasone, eritropoetin, TGFβ, hiperglikemia dan fosforilasi Glasgow Coma
Scale (GCS) menurunkan transkripsi atau aktivitas
GCS. NFκβ memerantarai pengaturan ekspresi GCS sebagai respon terhadap stres oksidatif dan sitokin inflamasi. Makanan tinggi lemak, asam lemak rantai panjang tersaturasi, lipoprotein densitas rendah, asam linoleat dan besi, yang meningkatkan ekspresi inducible nitric oxyde (NO)
synthase dan produksi NO dapat mengakibatkan
hilangnya GSH dari sel. Sedangkan glukosamin, taurin, n-3PUFA, fitoestrogen, polifenol, karotenoid dan zinc menghambat ekspresi inducible NO
synthase dan produksi NO.19 Asam amino sistein untuk sintesis GSH pada manusia terbatas. Insulin dan growth factor merangsang uptake sistein oleh sel. Peningkatan ketersediaan sistein atau prekursor sistein melalui oral atau intravena akan meningkatkan sistesis GSH, mencegah defisiensi GSH pada kondisi seperti malnutrisi protein, stres oksidatif dan kondisi patologik lain.
Pengaruh pemberian erdostein terhadap kadar
IL-8
Perbedaan rerata kadar IL-8 plasma masing masing sebelum dan setelah perlakuan (219,01 ± 445,24 dan 320,25 ± 411,12 pada kelompok erdostein; 208,46 ± 182,01 dan 250,15 ± 290,12 pada kelompok plasebo) secara statistik tidak bermakna. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian
subsequent double-blind placebo controlled pada 20
perokok dengan PPOK ringan yang memperlihatkan penurunan signifikan IL-8 pada sekresi bronkial
dibanding plasebo.20 Perbedaan ini kemungkinan
dikarenakan perbedaan dalam hal metode penelitian yaitu karakteristik subjek dan sampel yang diteliti.
Produksi sputum sering ada pada pasien PPOK bahkan pada PPOK derajat ringan. Keberadaan sputum pada saluran napas dapat menimbulkan kolonisasi bakteri yang dapat mencetuskan eksaserbasi pada PPOK. Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi dalam saluran napas pasien yang dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau
polusi lingkungan.2 Erdostein merupakan mukolitik
yang dilaporkan juga sebagai antioksidan dan antiiflamasi. Pemberian erdostein diharapkan dapat menurunkan inflamasi pada saluran napas sehingga tidak terjadi eksaserbasi dan kondisi stabil pasien PPOK tetap terjaga.
Interleukin-8 dapat dilepaskan oleh makrofag,
netrofil maupun sel epitel saluran napas yang teraktivasi oleh asap rokok maupun iritan lain. Target antioksidan dan antiinflamasi antara lain melalui
penghambatan ROS, peroksidasi lipid dan
NF-κβ.16 Namun paru secara terus menerus terpapar
oleh oksidan baik oksidan endogen (dilepaskan dari fagosit atau oksidan intraselular atau transport elektron mitokondria) atau oksidan eksogen (polutan udara atau asap rokok) sehingga inflamasi
terus berjalan.21 Penurunan kadar IL-8 yang tidak
signifikan secara statistik kemungkinan dikarenakan pajanan asap rokok dan polutan selama penelitian tidak dapat dikendalikan.
Nilai akhir (post) %VEP1, skor CAT, dan kadar
IL-8 dinyatakan tidak berbeda signifikan (p > 0,05)
sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian erdostein tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap ketiga variabel tersebut. Adapun nilai akhir (post) GSH dinyatakan berbeda signifikan (p < 0,05) di mana GSH kelompok erdostein lebih rendah dibandingkan GSH kelompok plasebo. Meskipun ini berarti bahwa pemberian erdostein berpengaruh signifikan terhadap GSH namun kesimpulan tersebut tidak dapat digunakan mengingat sejak awal GSH kedua kelompok memang tidak sama.
Uji beda efek pemberian masingmasing perlakuan antara kedua kelompok penelitian dapat dilakukan berdasarkan nilai selisih (post – pre) yang memang menyatakan perubahan nilai yang terjadi selama penelitian (karena adanya pemberian perlakuan). Perbedaan perubahan yang signifikan antara kedua kelompok hanya terjadi pada GSH (p < 0,05). Peningkatan GSH karena pemberian plasebo justru lebih tinggi dibandingkan peningkatan GSH karena pemberian erdostein. Hal ini kemungkinan dikarenakan ketersediaan sistein untuk sintesis GSH dalam tubuh dipengaruhi oleh nutrisi.
KESIMPULAN
Pengaruh pemberian erdostein menunjukkan tanda perbaikan klinis berupa penurunan skor CAT, peningkatan kadar GSH sebagai antioksidan walaupun tidak bermakna tetapi tidak menurunkan kadar IL-8 sebagai antiinflamasi. Hasil penilaian
median VEP1 menunjukkan peningkatan walaupun
tidak bermakna secara statistik. Perlu penelitian lebih lanjut dengan metodologi penelitian lain misalnya double blind randomized control trial pada pasien PPOK eksaserbasi akut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. Capetown: Global Initiative for chronic obstructive lung disease Inc; 2014.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pedoman praktis dan penatalaksanaaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. p. 1-88. 3. Devereux GS. Definition, epidemiology and risk
factors. In: Currie GP, editor. ABC of COPD. 2nd ed. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2011. p. 1-5. 4. Rahman I. Reactive oxygen species and
antioxidant therapeutic approaches. In: Barnes PJ, Drazen JM, Rennard SI, Thomson NC, editors. Asthma and COPD. 2nd ed. San Diego: Elsevier Ltd; 2009. p. 293-312.
5. Calvacante AGM, de Bruin PFC. 2009. The role of oxidative stress in COPD: current concepts and per-spectives. J Bras Pneumol. 2009; 35(12):1227-37. 6. Rahman I. Oxidative stress in pathogenesis of
chronic obstructive pulmonary disease, cellular and molecular mechanism. Cell Biochemistry and Biophysics. 2005;43:167-88.
7. Moretti M. Pharmacology and clinical efficacy of erdosteine in chronic obstructive pulmonary disease. Expert Rev Resp Med. 2007;1(3):30716. 8. Dal Negro RW, Visconti M, Trevisan F, Bertacco S,
Micheletto C, Tognella S. Therapeutic advances in respiratory disease. 2008;2(5):271-7.
9. Kavakli HS, Alici O, Koca C, Altintas ND, Aydin M. 2011. Effects of erdosteine in experimental sepsis model in rats. Hong Kong J Emerg Med. 2011;18(5):282-6.
10. Ghezzi P. Role of glutathione in immunity and inflammationbin the lung. International Journal General Medicine. 2011;4:105-13.
11. Wiyono WH. Peran erdosteine pada penyakit paru obstruktif kronik. Medicinus. 2012;25(1):9-12. 12. Yan Z, Banerjee R. Redox remodeling as an
immunoregulatory strategy. Biochemistry. 2010; 49(6):1-18.
13. Rahman I. Antioxidant therapeutic advanced in COPD. Ther Adv Respire Dis. 2008; 2(6): 351-74. 14. Hu G, Cassano PA. Antioxidant nutrients and
pulmonary function: the Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III). Am J Epidemiol. 2000;151:975-81.
15. Fitriani F, Yunus F, Wiyono WH, Antariksa B. Penyakit paru obstruktif kronik sebagai penyakit sistemik. J Respir Indo. 2007;27:48-55.
16. Rahman I. Antioxidant therapies in COPD. International Journal of COPD. 2006;1:1529. 17. Cogo R. Erdosteine: a new therapeutic weapon
beyond the PEACE. Trends Med. 2012;12:13342.
18. Braga PC, Zuccotti T, Dal Sasso M. Bacterial adhesiveness: effect of the SH metabolite of erdosteine (mucoactive drug) plus clarithromycin versus clarithromycin alone. Chemotherapy. 2001;47:208-14.
19. Wu G, Fang YZ, Yang S, Lupton JR, Turner ND. Glutathione metabolism and its implication for health. J Nutr. 2004;134:489-92.
20. Dal Negro RW, Visconti M, Micheletto C, Tognella S. Erdosteine 900 mg/day leads to substantial changes in blood ROS, e-NO and some chemotactic cytokines in human secretions of current smokers. Am J Crit Care Med. 2005;171(Suppl. 2):89.
21. MacNee W. Treatment of stable COPD: antioxidants. Eur Respir Rev. 2005;14:1222.