• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Karet. 2.2 Lateks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Karet. 2.2 Lateks"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tanaman Karet

Karet alam dapat diperoleh dari tanaman Hevea brasiliensis yang menghasilkan getah berupa cairan berwarna putih ketika permukaan kulit pohonnya disadap. Tanaman yang berasal dari negara Brazil ini merupakan sumber utama bahan karet alam dunia. Karet alam juga dapat dihasilkan dari tanaman lain yaitu Castilla elastica dan Ficus elastica (famili Moraceae),

Funtumia elastica, Dyera sp., dan Landolphia sp. (famili Apocinaceae), Palaquium gutta

(famili Sapotaceae), Parthenium argentatum dan Taraxacum kokbsaghyz (famili Compositae), dan Manihot glaziovii (family Euphorbiaceae). Tanaman karet Hevea brasiliensis merupakan divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dycotyledone, ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Hevea, dan spesies Hevea brasiliensis. Tanaman tersebut dapat tumbuh pada segala jenis tanah. Tanaman karet mempunyai toleransi terhadap pH tanah yang cukup besar, yaitu antara 3,8-8, meskipun yang dianggap optimum adalah 4-6,5. Di Indonesia, tanaman karet tumbuh baik pada tanah dengan ketinggian antara 600-700 m di atas permukaan laut. Pada tempat yang lebih tinggi, pertumbuhannya akan menjadi lebih lambat dan produktifitasnya rendah. Tanaman karet dapat ditanam pada tanah yang kurang subur untuk menanam tanaman perkebunan yang lain. Pada tanah yang subur, karet mulai dapat disadap setelah umur 4-5 tahun sedangkan pada tanah yang kurang subur, tanaman karet baru bisa disadap pada umur 7 tahun (Goutara et al., 1985).

2.2

Lateks

Lateks merupakan sistem koloid dimana partikel karet yang dilapisi oleh protein dan fosfolipid terdispersi di dalam air. Protein di lapisan luar memberikan muatan pada partikel karet. Lateks merupakan suatu dispersi butir-butir karet dalam air, dimana di dalam dispersi tersebut juga larut beberapa garam dan zat organik seperti gula dan protein (Goutara et al., 1985). Sementara itu, Triwijoso dan Siswantoro (1989) mengungkapkan bahwa lateks merupakan cairan yang berwarna putih atau putih kekuning-kuningan yang terdiri atas partikel karet dan bukan karet yang terdispersi di dalam air.

Air getah (lateks) yang pada dewasa ini dipakai untuk pembuatan berbagai barang berasal dari tanaman karet (Hevea brasiliensis). Air getah (lateks) kira-kira mengandung 25-40% bahan karet mentah (crude rubber) dan 60-75% serum (air dengan zat-zat yang melarut di dalamnya). Bahan karet mentah antara lain mengandung 90-95% karet murni, 2-3% protein, 1-2% asam-asam lemak, 0,1-2% gula, dan 0,5% garam-garam mineral (Loo, 1980).

Komposisi lateks Hevea brasiliensis dapat dilihat jika lateks disentrifugasi dengan kecepatan 18.000 rpm yang hasilnya adalah sebagai berikut :

1. Fraksi lateks (37%) : Karet (isopren), protein, lipida, dan ion logam.

2. Fraksi Frey Wyssling (1-3%) : Karotenoid, lipida, air, karbohidrat dan inositol, protein dan turunannya.

(2)

3. Fraksi serum (48%) : Senyawaan nitrogen, asam nukleat dan nukleotida, senyawa organik, ion anorganik, dan logam.

4. Fraksi dasar (14%) : Air, protein dan senyawaan nitrogen, karet dan karotenoid, lipida dan ion logam.

Getah karet diperoleh dengan menyadap kulit batang karet dengan pisau sadap sehingga keluar getah yang disebut lateks. Lateks adalah hasil fotosintesis dalam bentuk sukrosa ditranslokasikan dari daun melalui pembuluh tapis ke dalam pembuluh lateks. Di dalam pembuluh lateks terdapat enzim seperti invertase yang akan mengatur proses perombakan sukrosa untuk pembentukan karet (Manitto, 1981). Molekul sukrosa melalui serangkaian proses enzimatik akan membentuk asetil asetat atau asetil CoA. Asetil CoA yang dihasilkan dari glikolisis selanjutnya melalui serangkaian reaksi enzimatik akan membentuk rantai isoprene 5- karbon yaitu isopentenil pirofosfat (IPP). IPP dengan dikatalisir oleh isopentenill difosfat isomerase membentuk Dimetilalil Pirofosfat (DMAPP). Manitto (1960) menambahkan bahwa IPP dapat mengalami isomerisasi menjadi DMAPP sehingga terjadi perubahan dari substansi yang tidak reaktif menjadi molekul reaktif. Reaksi tersebut adalah reaksi reversibel yang terdapat dalam biosintesis terpena. Suatu molekul DMAPP dapat berkondensasi secara kepala ke ekor dengan IPP menghasilkan geranil pirofosfat. Reaksi tipe ini dapat diulangi dengan jalan mereaksikan lebih lanjut produk dengan IPP. DMAPP berperan sebagai batu pondasi yang diatasnya diletakkan bata-bata penyusun bangunan yaitu IPP. Adisi serupa ini dapat berlangsung karena produk yang didapat dari adisi C5 yang berlangsung sebelumnya, mempunyai reaksifitas yang serupa DMAPP.

Seri berikutnya setiap pengulangan pada tingkat yang lebih kompleks geranil-geranil phirofosfat dapat dikonversi menjadi diterpene atau geranil-geranil phirofosfat dapat digabungkan menjadi membentuk badan 40 karbon. Pada jalur tetraterpene antara lain dihasilkan karetenoid selanjutnya setiap penambahan kepala sampai ekor dengan peran penting IPP akhirnya menghasilkan politerpenes karet. Gambar 1 menunjukkan penyadapan lateks dari pohon karet.

Gambar 1. Penyadapan Lateks Hevea brasiliensis (Barney, 1973)

Proses pengumpulan lateks harus memperhatikan kebersihan alat dan kemungkinan terjadinya pengotoran pada lateks. Kotoran yang sulit dihilangkan menyebabkan terjadinya prokoagulasi. Menurut Barney (1973), pembentukan asam-asam dalam lateks yang tidak diberi pengawet akan menyebabkan penggumpalan secara alami. Kontaminasi mikroorganisme dari udara, perusakan karbohidrat, protein, dan lipid dalam lateks serta aktivitas enzim tertentu akan

(3)

memfermentasikan bagian-bagian bukan karet dalam lateks menjadi asam lemak eteris dan asam lemak bebas. Asam lemak eteris merupakan asam lemak yang mudah menguap. Penambahan bahan kimia pengawet seperti amonia (NH3) dan formalin bertujuan untuk

meningkatkan kemantapan lateks. Sebagai pengawet, amonia lebih banyak dipergunakan daripada bahan kimia lain karena memiliki beberapa keunggulan. Amonia harganya lebih murah, mudah menguap, dan konsentratnya dalam bentuk gas lebih mudah digunakan sedangkan kekurangannya yaitu bau, sensitif terhadap seng dioksida, dan konsentrasinya terus berkurang karena reaksi yang lambat dengan bahan penyusun bukan karet (Cook, 1956).

Menurut Suparto (2002), lateks Hevea terdiri dari karet, resin, protein, abu, gula, dan air dengan komposisi seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Lateks

Jenis Komponen Komposisi (%)

Karet 30-35 Resin 0,5-1,5 Protein 1,5-2,0 Abu 0,3-0,7 Gula 0,3-0,5 Air 55-60 Sumber : Suparto (2002)

2.3 Karet Alam

Menurut Triwijoso dan Siswantoro (1989), karet alam adalah suatu polimer alami yang tersusun dari satuan unit ulang (monomer) trans/cis 1,4- isoprena dengan rumus umum (C5H8)n dimana n adalah bilangan yang menunjukkan jumlah monomer di dalam rantai

polimer. Semakin besar harga n maka molekul karet semakin panjang, semakin besar bobot molekul, dan semakin kental (viscous). Nilai n dapat berkisar antara 3000-15000. Karet alam bergabung secara ikatan kepala ke ekor (head to tail). Gambar 2 menunjukkan struktur kimia monomer karet alam dan Gambar 3 menunjukkan struktur ruang 1,4 cis poliisoprena.

(4)

Gambar 3. Struktur Ruang 1,4 cis poliisoprena (Honggokusumo, 1978)

Karet alam memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan karet sintesis, yaitu daya elastis atau daya lenting sempurna dan plastisitas yang baik sehingga mudah diolah. Daya ausnya juga tinggi, tidak mudah panas (low heat built up), dan tahan terhadap keretakan (groove cracking resistance). Bobot molekul karet alam berkisar antara 1 sampai 2 juta. Karet alam memiliki berat jenis 0,92 kg/m3. Adanya rantai molekul pendek menyebabkan daya rekat yang tinggi.

Menurut Eng et al., (1997), bobot molekul karet alam berkisar antara 1 sampai 2 juta. Partikel karet alam mengandung hidrokarbon karet dan sejumlah kecil bahan bukan karet, seperti lemak, glikolipida, foosfolipida, protein, karbohidrat, bahan anorganik, dan lain-lain. Menurut Tanaka (1998), partikel karet alam terdiri dan hidrokarbon karet, lemak, glikolipda, fosfolipida, protein, karbohidrat, bahan anorganik, dan lain-lain dengan komposisi seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Partikel Karet Alam

Jenis Komponen Komposisi (%)

Hidrokarbon karet 93,7 Lemak 2,4 Glikolipida, fosfolipida 1,0 Protein 2,2 Karbohidrat 0,4 Bahan Anorganik 0,2 Lain-lain 0,1 Sumber: Tanaka (1998)

2.4

Degradasi Karet Alam

Degradasi merupakan salah satu cara modifikasi karet alam. Degradasi polimer dapat terjadi secara mekanis, termal, kimiawi, fotokimia, dan biodegradasi. Secara kimiawi degradasi polimer dapat terjadi dengan bantuan senyawa pemutus rantai molekul polimer. Tujuan degradasi adalah untuk melunakkan atau sekedar menurunkan viskositas karet, dan untuk memperoleh karet dengan rantai molekul yang sangat pendek atau karet cair. Degradasi salah

(5)

satunya ditandai dengan adanya putusnya ikatan rantai utama sehingga menyebabkan pemendekan panjang rantai dan penurunan bobot molekul. Reaksi ini juga terjadi pada gugus samping, namun pengaruhnya tidak sebesar bila dibandingkan dengan reaksi pada gugus utama. Perubahan sifat fisik mengakibatkan pembentukan ikatan kimia baru melalui mekanisme ikatan silang sehingga konversi molekul menjadi lebih tinggi (Surdia, 2000). Menurut Alfa dan Syamsu (2004), penambahan senyawa pemutus rantai molekul sistem redoks, campuran hidrogen peroksida dengan natrium hipoklorit, dikombinasikan dengan hidroksilamin netral sulfat akan menghasilkan lateks dengan viskositas Mooney karet mentah rendah dan memiliki daya rekat baik.

Menurut Gunanti (2004), degradasi molekul karet terjadi karena adanya radikal OH hasil penguraian hidrogen peroksida (H2O2). Radikal OH yang terbentuk bersifat sangat reaktif

dan dapat bereaksi secara tidak terkontrol dengan molekul polimer karet alam (poliisoprena). Radikal OH yang terbentuk menarik salah satu atom H yang terdapat pada polimer karet terutama menyerang ikatan karbon rangkap, sehingga dihasilkan radikal bebas yang aktif. Radikal bebas pada molekul isoprena tersebut mudah bereaksi dan berikatan dengan oksigen yang ada dalam lateks dan membentuk molekul yang tidak stabil hingga mengalami reaksi autooksidasi sampai terjadi pemutusan ikatan. Pada akhir reaksi pemutusan, terbentuk gugus karbonil. Gugus karbon aktif yang dihasilkan langsung bereaksi dengan gugus aktif dari reduktor yang dihasilkan gugus karbonil yang tidak bermuatan. Gugus karbon yang dihasilkan memiliki gugus ujung berupa keton dan aldehid. Menurut Roberts (1988), karet alam dengan bobot molekul yang rendah (150000-400000) memiliki sifat lekat yang baik, sehingga dapat disebut sebagai karet lunak. Sifat dan bentuknya inilah yang dapat dijadikan dasar dalam industri perekat berbahan lateks.

2.5

Lindi Hitam

Menurut Sjostrom (1995), lindi hitam merupakan campuran yang sangat kompleks yang mengandung sejumlah besar komponen dengan struktur dan susunan yang berbeda. Bahan organik dalam lindi hitam yang dihasilkan setelah pembuatan pulp pada dasarnya terdiri dari lindi hitam dan produk-produk degradasi karbohidrat disamping bagian-bagian kecil ekstraktif dan produk-produk reaksinya.

Sjostrom (1981) juga mengungkapkan bahwa proses isolasi dan pemisahan komponen yang terdapat dalam larutan sisa pemasak (lindi hitam) dapat dihasilkan berbagai jenis produk antara lain lignosulfonat, gula, asam aldonat, etil alkohol, protein, asam asetat, butanol, dan asam laktat. Namun, bahan padat lindi hitam merupakan komponen terbesar yang terdapat dalam larutan sisa pemasak, karena itu proses isolasi dan pemisahan bahan padat lindi hitam lebih memungkinkan.

Salah satu komponen kimia penting yang banyak terdapat dalam lindi hitam adalah bahan padat lindi hitam. Menurut Fengel (1995), pada industri pulp dan kertas, bahan padat lindi hitam harus dipisahkan dari selulosa untuk memperoleh serat yang lebih putih karena bahan padat lindi hitam menyebabkan warna kertas menjadi kuning. Di sisi lain, keberadaaan lindi hitam di lingkungan dapat menimbulkan pencemaran, walaupun daya larutnya (kelarutan) yang relatif kecil, yaitu 0,2 ppm. Menurut Damris et al. (1999), lindi hitam juga mengandung

(6)

komponen organik yang tinggi yang dapat mengganggu organisme perairan jika dibuang langsung ke perairan.

2.6

Aspal dan Aspal Berkaret

Aspal adalah bahan semi padat yang terdiri dari hidrogen dan karbon yang tersusun menjadi fraksi hidrokarbon. Fraksi tersebut dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu fraksi padat dan fraksi cair. Fraksi padat larut dalam fraksi cair yang disebut malten. Malten dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu nitrogen base, acidafit I, acidafit II, dan parafin. Perbandingan antara jumlah nitrogen base dan acidafit I dengan jumlah acidafit II dan parafin disebut parameter komposisi malten yang menentukan ketahanan aspal terhadap abrasi (Suroso, 2005).

Aspal adalah bahan visko elastis yang sifatnya berubah akibat perubahan temperatur. Pada temperatur rendah berbentuk semi padat sedangkan pada temperatur tinggi berbentuk cair. Hal ini disebabkan perubahan jarak partikel aspal. Pada temperatur tinggi jarak antar partikel menjadi renggang sehingga aspal berubah menjadi cair, pada temperatur rendah, jarak antar partikel menjadi dekat sehingga aspal menjadi padat (Suroso, 2005).

Menurut Suroso (2005), kadar asphalten dalam aspal sangat menetukan sifat reologi aspal. Kenaikan kadar asphalten menyebabkan aspal menjadi keras. Dengan kata lain penetrasi aspalnya rendah dan memiliki titik leleh tinggi. Kadar asphalten dalam aspal untuk pengerasan jalan sebaiknya 5-25%. Kekentalan aspal akan naik seiring dengan kenaikan kadar asphalten dalam malten. Asphalten dapat berinteraksi dengan fraksi cair (pelunak) sehingga asphalten diyakini mempunyai sifat lengket, tergantung dari strukturnya. Ikatan asphalten merupakan kesatuan yang kontinyu, dengan kata lain kekentalannya akan menurun sebanding dengan kenaikan temperatur.

Aspal telah digunakan sebagai bahan konstruksi dasar selama bertahun-tahun karena sifat alaminya, yakni memiliki daya ikat dan tahan air. Di atas suhu 100°C, aspal berbentuk cairan yang viskos. Aspal mulai mengeras pada suhu yang rendah. Semakin rendah (hingga di bawah nol derajat) suhunya, maka aspal semakin keras dan rapuh (Robinson, 2004).

Pada penerapan untuk jalan bebas hambatan, aspal memegang peranan yang baik dalam pembangunan jalan raya yang sibuk. Situasi tersebut membuat penggunaan polimer untuk pemodifikasi aspal lebih disukai. Penggunaan polimer tersebut dapat meningkatkan ketahanan terhadap deformasi permanen dengan memperbaiki temperatur kerja, memperbaiki daktilitas (ketahanan terhadap tarikan atau renggangan tanpa mengalami kerusakan) aspal untuk mengurangi resiko retak atau pecah pada suhu rendah, memperbaiki daya ikat dengan agregat untuk mengurangi resiko agregat terlepas dari permukaan aspal (Robinson, 2004).

Aspal merupakan produk turunan dari minyak mentah atau minyak bumi yang didapatkan dengan proses destilasi atau penyulingan dengan cara memisahkan fraksi-fraksi yang lebih tinggi sehingga menyisakan aspal sebagai residu yang lebih berat dari fraksi-fraksi lain. Aspal merupakan bahan yang viskoelastis dan sensitif terhadap perubahan temperatur. Aspal juga cenderung mudah mengalami deformasi permanen dalam aplikasinya untuk menahan beban atau muatan, laju deformasi aspal tergantung dari kualitas aspal, komposisi aspal, temperatur udara ambien, tingkat tekanan dan volume beban (Robinson, 2004).

Sumber dan jenis minyak bumi berpengaruh terhadap komposisi kimia aspal yang berpengaruh juga terhadap ciri fisiknya. Aspal terdiri dari kompleks hidrokarbon yang mengandung kalsium, besi, mangan, nitrogen, oksigen, sulfur, dan vanadium. Struktur aspal

(7)

sangat bervariasi pada tiap-tiap sumbernya dan tidak mungkin dapat dipetakan secara akurat. Kimia aspal ditentukan dengan pendekatan analisis saturates-aromatics-resins-asphaltenes (SARA) untuk membandingkan komposisi dengan reologi (Robinson, 2004).

Menurut Robinson (2004), aspal dapat teroksidasi karena adanya udara. Oksidasi menyebabkan pengerasan aspal dan penggetasan. Hal ini menyebabkan kegagalan pelekatan aspal terhadap agregat dan keretakan. Pengerasan aspal pada permukaan atau lapisan dasar membantu meningkatkan kelakuan aspal yang berkontribusi untuk memperbaiki daya guna aspal.

Laju pengerasan aspal tergantung dari beberapa faktor, antara lain komposisi campuran aspal, ketebalan lapisan pengikat, rongga udara yang terkandung dalam aspal, dan komposisi aspal. Rongga udara sangat penting karena jika udara tidak bisa menembus campuran aspal yang tebal secara mudah, maka laju oksidasi akan lebih lambat bila dibandingkan bahan yang lebih berpori (Robinson, 2004).

Menurut Robinson (2004), aspal memberikan respon yang beragam pada aplikasinya, respon tersebut tergantung dari temperatur dan waktu muatan. Terdapat berbagai macam uji empiris yang dapat dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari aspal yang dikendalikan oleh badan standarisasi yang berbeda dengan versi yang berbeda pula. Akan tetapi, kelas atau kualitas aspal yang digunakan untuk pengerasan jalan biasanya diklasifikasikan berdasarkan nilai penetrasi (pen) yang diukur pada 25°C dan dinyatakan dalam dmm (0,1 mm) serta titik lunak atau titik lembek dalam °C. Nilai tersebut yang digunakan untuk merancang atau menentukan kelas atau kualitas dari aspal. Sebenarnya masih terdapat banyak uji spesifikasi empiris untuk aspal yang bisa digunakan, namun kedua uji empiris tersebut merupakan pendekatan utama yang digunakan untuk menentukan ketahanan aspal terhadap deformasi permanen (Robinson, 2004).

Menurut Robinson (2004), terdapat juga uji yang digunakan untuk mengukur viskositas dinamis aspal pada selang temperatur 100-190°C. Pengujian atau pengukuran tersebut penting juga untuk mengetahui kemampuan aspal untuk dipompa dan melapisi agregat. Pengujian ini menggunakan pemanasan aspal dalam ruang sampel dalam kondisi yang terkendali serta pengukuran daya tahan putaran menggunakan spindel berputar dengan nilai yang terbaca sebagai nilai viskositas, biasanya dikatakan sebagai centipoise (cP).

Polimer secara umum digunakan untuk memodifikasi aspal sehingga dapat meningkatkan daya guna aspal. Polimer juga dapat digunakan untuk mengurangi laju kerusakan aspal. Polimer juga dapat memperbaiki kelekatan atau daya ikat aspal dengan agregat yang sering terlepas karena adanya kikisan dari air sehingga dapat memelihara kekakuan atau kekuatan struktur aspal tersebut.

Perbaikan dalam sifat mekanis atau struktur dari aspal menggunakan pemodifikasi berupa polimer terkadang sulit untuk diukur dan dikendalikan. Misalnya polimer jenis elastomer biasanya menghasilkan penurunan kekakuan aspal akan tetapi ketahanan deformasi dan kerekatan meningkat. Selain itu, polimer biasanya digunakan untuk mengurangi deformasi permanen, meningkatkan kerekatan aspal, dan mengurangi resiko keretakan aspal akibat temperatur rendah.

Aspal minyak adalah residu pengilangan minyak bumi, oleh karena itu mutu sangat tergantung pada lokasi dan kondisi geologi dimana minyak bumi diproses. Saat ini aspal yang dihasilkan banyak yang kurang sesuai dengan standar, yaitu aspal dengan titik lembek tinggi agar menghasilkan stiffness yang tinggi, sehingga tahan terhadap terjadinya deformasi. Selain

(8)

aspal harus mempunyai stiffness yang tinggi diperlukan aspal yang mempunyai ketahanan terhadap retak, ketahanan terhadap oksidasi sehingga pengerasan dapat tahan lama.

Indonesia terletak di negara tropis serta pada ruas jalan tertentu lalu lintas cukup tinggi dan bebannya pun melebihi kapasitas jalan sehingga faktor cuaca, temperatur, kerusakan dini berupa terjadinya alur, gelombang, deformasi menjadi alasan mengapa aspal perlu dimodifikasi agar dapat mengurangi faktor-faktor tersebut diatas. Banyak faktor yang menentukan keawetan konstruksi jalan salah satunya adalah aspal sebagai bahan pengikat, dan pengisi. Sebagai bahan pengikat sifat adhesi harus baik, sedangkan sebagai bahan pengisi maka jumlah (kadar aspal dalam campuran beraspal) harus cukup serta mutunya harus baik agar diperoleh umur pelayanan yang maksimal.

Ketika Mac Donald menemukan metode untuk memperbaiki lubang-lubang kecil di jalan, ia bereksperimen dengan menambahkan karet ban bekas pada aspal cair panas. Dia menemukan bahwa setelah mencampurkan karet dengan aspal selama 45 – 60 menit, dihasilkan suatu material baru. Material ini memiliki karakteristik teknis yang menguntungkan pada kedua komposisi yang disebut aspal karet (Huffman, 1980). Aspal tersebut diabsorbsi oleh partikel karet yang bertambah besar pada temperatur tinggi sehingga meningkatkan konsentrasi aspal cair dalam campuran beraspal.

Polimer umumnya digunakan untuk memodifikasi sifat-sifat yang dimiliki aspal untuk meningkatkan daya guna aspal. Peningkatan dalam sifat mekanik maupun struktur aspal menggunakan polimer sebagai bahan pengikat kadang sulit untuk di ukur. Sebagai contoh, polimer jenis elastomer bisa menghasilkan penurunan kekakuan, walaupun ketahan terhadap deformasi dan kekuatan ikatan didapatkan (Robinson, 2004).

Polimer yang umum dipakai sebagai bahan pengikat untuk memodifikasi aspal adalah polimer jenis elastomer termoplastik dan plastomer termoplastik. Elastomer adalah polimer yang paling banyak digunakan sebagai bahan pengikat atau pemodifikasi. Jenis elastomer yang sering digunakan meliputi polimer termoplastik karet sintetis. Dalam praktek, polimer styrene

butadiene styrene (SBS) adalah polimer yang memberikan kombinasi yang paling optimum

dari daya guna, ketahanan, kemudahan penggunaan dan ekonomis bila dibandingkan dengan elastomer sintetis lainnya (Robinson, 2004).

Karet alam telah digunakan dalam campuran aspal selama lebih dari 30 tahun dan karet alam dirasa dapat meningkatkan daya guna aspal walaupun dispersi polimer dalam campuran aspal biasanya kurang homogen. Secara keseluruhan, karet alam (dispersi cair polimer) yang ditambahkan secara langsung ke dalam pencampur aspal tidak memodifikasi sifat-sifat aspal pada derajat yang sama dengan plastomer dan elastomer yang membutuhkan perlakuan pra-pencampuran dengan aspal panas. Karet alam mudah digunakan karena dapat langsung ditambahkan ke dalam pencampur aspal tanpa membutuhkan tangki penyimpanan khusus. Karet alam merupakan polimer alami dan menunjukkan reaksi yang mirip dengan bentuk polimer termoplastik sintetis (Robinson, 2004).

Gambar

Gambar 1. Penyadapan Lateks Hevea brasiliensis (Barney, 1973)
Tabel 2. Komposisi Kimia Lateks  Jenis Komponen  Komposisi (%)
Tabel 3. Komposisi Partikel Karet Alam  Jenis Komponen  Komposisi (%)

Referensi

Dokumen terkait

Papan partikel yang dibuat dari satu jenis bahan baku akan memiliki kualitas. struktural lebih baik dari campuran

Pematangan juga terjadi pada ukuran kristal endapan yang bertambah sebab partikel yang lebih kecil memiliki energi permukaan yang besar dari pada partikel yang besar,

Berat jenis maksimum campuran (Gmm) diukur dengan AASHTO T.209-90, maka berat jenis efektif campuran (Gse), kecuali rongga udara dalam partikel agregat yang menyerap aspal

Adalah rongga antar partikel agregat pada campuran padat termasuk rongga udara dan kadar aspal efektif, dinyatakan dalam persen volume total. VMA dihitung berdasarkan

Dalam perkebunan karet terdapat beberapa jenis herbisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma pada tanaman karet adalah glifosat, parakuat (Anwar, 2009 & Kementan

Ukuran partikel yang kecil akan menyebabkan luas permukaan bertambah sehingga akan memberikan lebih banyak aktivitas mikroba pada permukaan bahan, yang kemudian

Karet alami yang dihasilkan Hevea brasiliensis menarik perhatian tinggi sebagai industri polimer yang sangat bermanfaat karena.. tidak ada komponen fisik buatan yang

Program pemuliaan dan seleksi pada tanaman karet bertujuan untuk mendapatkan kombinasi genetik yang baik, sehingga diperoleh klon dengan potensi produksi dan sifat sekunder