• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga Penelitian. Vol. 8, Tahun ke 4, Oktober 2012 ISSN; KAUM MUDA KATOLIK, EVANGELISASI, DAN KITAB SUCI Agustinus Supriyadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Lembaga Penelitian. Vol. 8, Tahun ke 4, Oktober 2012 ISSN; KAUM MUDA KATOLIK, EVANGELISASI, DAN KITAB SUCI Agustinus Supriyadi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 8, Tahun ke·4, Oktober 2012 ISSN; 2085·0743 KAUM MUDA KATOLIK, EVANGELISASI, DAN KITAB SUCI Agustinus Supriyadi PELUANG PASTORAL KERASULAN KITAB SUCI BAGI

ORANG MUDA KATOLIK Dl ERA DIGITAL Aloysius Suhardi PEMAHAMAN ORANG MUDA KATOLIK MENGENAI SIKAP/ PANDANGAN GEREJA TERHADAP ORANG MISKIN DAN MASALAH KEMISKINAN (STUDI TERHADAP KELOMPOK ORANG MUDA KATOLIK Dl KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA) Liria Tjahaja PROFESIONALISME MAHASISWA SEBAGAI PELAYAN LITURGI EKARISTI (SEBUAH SURVEY Dl STKIP ST. PAULUS RUTENG) Hendrikus Midun-Valentinus Beo-Marietha Hunyaang MEDIA SACERAH, UPAYA MENINGKATKAN KETERLIBATAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN INOVATIF PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK (PAKAT) Agnes Ike Wicaksari-Nurhadi Pujoko MERE DAM KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA MELALUI PENDIDIKAN BAHASA AGAMA Antonius Tse TANTANGAN GLOBALISASI TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN KITA SAAT INI Ola Rongan Wilhelmus

Lembaga Penelitian

(2)

JPAK

JURNAL PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

Jurital Pendidikan Agama Katolik (JPAK) adalah media komunikasi ilmiah yang dimaksudkan untuk mewadahi hasil penelitian, hasil studi, atau kajian ilmiah yang berkaitan dengan PendidikanAgama Katolik sebagai salah satu bentuk sumbangan STKIP Widya Yuwana Madiun bagi pengembangan PendidikanAgama Katolik pada umumnya.

Penasihat

Ketua Yayasan Widya Yuwana Madiun Pelindung

Ketua STKIP Widya Yuwana Madiun Penyelenggara ·

Lembaga Penelitian STKlP Widya Yuwana Madiun Ketua Penyunting

Hipolitus Kristoforus Kewuel Penyunting Pelaksana

FX. Hardi Aswinarno DB. Kaman Ardijanto Penyunting Ahli

John Tondowidjojo Ola Rongan Wilhelmus

Armada Riyanto Sekretaris Gabriel Sunyoto

Alamat Redaksi STKIP Widya Yuwana

Jln. Mayjend Panjaitan. Tromolpos: 13. Telp. 0351-463208. Fax. 0351-483554 Madiun 63137- Jawa Timur- Indonesia ·

(3)

JPAK

,

Vol. 8, Tahun ke-4, Oktober 2012 ISSN; 2085-0743

2

4

14

30

75

DAFTARISI

Editorial

Kaum Muda Katolik, Evangelisasi, dan Kitab Suci

Agustin us Supriyadi .

Peluang Pastoral Kerasulan Kitab Suci Bagi Orang Muda Katolik Di Era Digital

Aloysius Suhardi

Pemahaman Orang Muda Katolik Mengenai Sikap/ Pandangan Gereja Terhadap Orang Miskin dan Masalah Kemiskinan (Studi Terhadap Kelompok Orang Muda KatolikDi KeuskupanAgung Jakarta)

Liria Tjahaja

Profesionalisme Mahasiswa Sebagai Pelayan Liturgi Ekaristi (Sebuah Survey Di STKIP St. Paulus Ruteng)

Hendrikus Midun-Valentin us Beo-MariethaHunyaang

96

Media SACERAH, Upaya Meningkatkan Keterlibatan · -Siswa Dalam Pembelajaran InovatifPendidikanAgama

Katolik (Pakat)

118

131

Agnes Ike Wicaksari-NurhadiPujoko

Meredam Kekerasan Atas Nama Agama Melalui Pendidikan BahasaAgama

Antonius Tse

Tantangan Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Kita Saatlni

(4)

Editorial

Jurnal Pendidikan Agama Katolik (JPAK} terbitan volume· 8 ini memuat tujuh artikel, hasil penelitian yang dilakukail oleh para dosen maupun guru. Tiga artikel pertama memberi perhatian khusus kepada Orang Muda Katolik. Artikel pertama mengetengahkan kajian tentang "Kaum Muda Katolik, Evangelisasi dan Kitab Suci". Kajian ini menegaskan posisi Kaum Muda Katolik dalam karya pewartaan Injil Kerajaan Allah dan peran Kitab Suci bagi mereka dalam rangka perutusan mewartak:an Injil Kerajaan Allah itu. Artikel kedua berkaitan dengan "Peluang Pastoral Kerasulan Kitab Suci Bagi Orang Muda Katolik Di Era Digital". Penelitian ini memberikan informasi sangat penting mengenai minat orang muda Katolik terhadap · pendalaman Kitab Suci dan mutu pengetahuannya akan Kitab Suci di era digital. Selain itu, peneliti menawarkan upaya-upaya Pastoral Kerasulan Kitab Suci yang lebih menarik bagi Orang Muda Katolik. Artikel ketiga menyajikan hasil penelitian yang patut disimak sehubungan dengan "Pemahaman Orang Muda Katolik Mengenai Sikap/Pandangan Gereja Terhadap Orang Miskin dan Masalah Kemiskinan" (Studi Terhadap Kelompok Orang Muda Katolik Di Keuskupan Agung Jakarta). Artikel keempat menaruh keprihatinan pada "Profesionalisme Mahasiswa/i Program Studi Pendidikan Teologi Sebagai Pelayan Liturgi Ekaristi". Hasil survey menunjukkan bahwa mahasiswa/i Program Studi Pendidikan Teologi tidak profesional sebagai pelayan liturgi dalam Perayaan EkaristL Untuk itu, para peneliti memberikan beberapa saran penting untuk segera ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan profesionalisme mahasiswa/i Program Studi Pendidikan Teologi sebagai pelayan liturgi Ekaristi. Artikel keliilla mengangkat tema "Media SACERAH, . Upaya Meningkatkan Keterlibatan Siswa Dalam Pembelajaran Inovatif Pendidikan Agama Katolik (Pakat)". Media SACERAH merupakan salah satu solusi dalam memecahkan kebuntuan proses pembelajaran Agama Katolik di sekolah dengan kuantitas peserta didik yang sering amat terbatas. Hasil uji coba dan evaluasi yang dilakukan ditemukan bahwa media tersebut membuat siswa menikmati proses pembelajaran dan daya kreasi mereka muncul · lewat karya yang berhasil dibuatnya. Artikel keenam mencoba mengungkap pemicu lain dari berbagai tindak kekerasan atas nama

(5)

againa sekaligus menawarkan jalan keluar untuk meredamnya melalui jalur pendidikan~ Diharapkan dengan upaya ini misi damai agama tidak temoda apalagi digantikan dengan kekerasan. Sedangkan artikel ketujuh berkaitan dengan "Tantangan Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Kita Saat Ini". Menurut penulis globalisasi sebagai suatu proses tidak mungkin ditarik mundur. Hal ini menantang dunia pendidikan kita supaya semakin berpacu dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tanggUh, inovatif, kreatif dan mandiri. Hasil studi PERC (2005) menyitnpulkan bahwa SDM Indonesia belum siap bersaing dalam dunia ekonomi apalagi dalam dunia pendidikan. Untuk itu, penulis menawarkan sebuah upaya yang perlu dilakukan bersama agar terwujud pendidikan bermutu yang bisa melahirkan generasi bangsa Indonesia yang bermutu pula.

(6)

MEREDAM KEKERASAN ATAS NAMAAGAMA

MELALUI PENDIDIKAN BAHASAAGAMA

Antonius Tse

Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Katolik (STKIP) Widya Yuwana Madiun

Abstrak

Peranan agama sebagai

oase

yaitu tempat pengalaman

menyenangkan di tengah suasana yang serba kalut terus

diuji. Pasalnya, suhu kekerasan atas nama agama belum

juga surut. Agama kerap dijadikan pembenar berbagai

tindakan anarkis sehingga di mana-mana agama

diasosiasikan dengan kekerasan. Sesungguhnya,

kekerasan dengan alasan apapun termasuk kekerasan atas

nama agama bahkan atas nama Tuhan sekalipun

merupakanjenis kejahatan dan pelanggaran atas hak asasi

manusia. Bahasa agama disinyalir sebagai salah satu

pemicu terjadinya kekerasan bertopeng agama. Maka,

pendidikan bahasa agama perlu digiatkan untuk meredam

kekerasan atas nama agama. Melalui pendidikan bahasa

agama diharapkan turut mendorong tumbuhnya saling

pengertian antarpemeluk agama sehingga misi damai

agama tidak dinodai apalagi digantikan olehkekerasan.

Key Words: Agama, Bahasa, Bahasa Agama, Keke-rasan, Pendidikan BahasaAgama

Pendahuluan

Menarik, bahwa kekerasan (atas nama agama) masih

merupa-kan tontonan di zaman

ini.

Zamandi mana manusia mengklaim telah

mencapai puncak peradabannya. Peradaban modern. Sebuah era yang

konon katanya manusia telah mengakhiri masa-masa dungu dan

menjalani kehidupannya secara lebih manusiawi, lebih beradab, lebih

santun. Suatu kehidupan yang mengedepankan rasionalitas, refleksi

dan

sikap kritis (bdk. Budi Hardiman, 2003). Namun, saat ini,

kekerasan yang dilakukan di berbagai lini kehidupan baik perorangan

maupun . kelompok menunjukkan bahwa klaim beradab justru

semakinjauhmeninggalkan insan berpredikat beradab modem itu.

(7)

Menarik pula bahwa kekerasan atas nama agama justeru sering terjadi di negara Indonesia yang penduduknya terkenal ramah, santun, dan mayoritas taat beragama. Lebih menarik lagi, kekerasan atas nama agama justru terjadi pada saat angin dialog antaragama · kencang dihembuskan; Perusakan gereja di Temanggung Jawa Tengah maupun penyerangan dan pembunuhan terhadap pengikut Ahmadiyah di Pandeglang Banten Februari 2011 silam membuktikan bahwa kekerasan yang muncul dari ranah agama sepertinya telah menjadi bagian dari budaya persada tercinta, Indonesia. Yang menggelitik rasio adalah para pelaku melancarkan aksi destruktifnya seraya menyerukan nama Allah. Seman yang tenttl memunculkan sederet tanya; Apakah makna seruan itu? Adakah Allah merestui setiap tindakan anarkis demi nama-Nya?, Ataukah membunuh sesama seraya menyerukan nama Allah tidak dapat dicegah?, Benarkah kepentinganAllah yang dibela atau kepentingan diri semata? Kepada siapakah Allah berpihak tatkala mereka yang bertikai sama-sama mengklaim sedang berperang untuk Dia?

Jawabannya ialah tidak ada jawaban dari Allah! Yang nyata ialah sejumlah nyawa telah melayang sia-sia, sarana ibadat yang dibagun dengan pengorbanan yang tidak sedikit hancur berantakan dalam sekejap, perasaan negatifterhadap sesama seperti; kebencian, saling curiga dan balas dendam bertumbuh subur. Belum lagi dampak psikologis (trauma) yang dialami oleh korban karena merasa dikejar-kejar atau rasa aman yang tergerogoti. Yang lebih menyakitkan adalah rasa terasing di negeri sendiri.

Temyata, buah dari kekerasan yang digerakkan oleh agama hanyalah kesia-siaan belaka. Dalam kondisi seperti ini semua elemen dipanggil untuk tiada henti menguak dan mengikis sumber-sumber kekerasan yang berlindung di balik agama kemudian melakukan berbagai upaya preventif atau mengajukan berbagai solusi guna mencegah ataupun melenyapkannya. Sebab, kekerasan atas nama apapun termasuk kekerasan atas nama agama bahkan atas nama Allah sekalipun tetap merupakan salah satu j enis kejahatan dan pelanggaran atas hak asasi manusia (bdk. Misbah, dkk 2003 :iii). Tulisan ini mencoba mengungkap potensi bahasa agama sebagai salah satu sumber pemicu kekerasan atas nama agama dan bagaimana meredamnya melalui pendidikan bahasa agama. Pembahasan diawali dari beberapa pandangan mengenai sumber-sumber pemicu lahirnya kekerasan atas nama agama.

(8)

1. Sumber-sumber Pemicu KekerasanAtas NamaAgama

Kendatipun agama menuai banyak kritik tetapi penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa agama masih tetap diminati oleh mayoritas masyarakat dunia. Ini sebuah pertanda bahwa agama masih akan terus bertah:an karena dirasa berfaedah bagi kehidupan man usia. Menurut Michael Keene, bertahannya agama disebabkan oleh karena agama mengambil bagian pada saat-saat yang paling menentukan dalam hidup manusia mulai dari kelahiran bahkan sebelumnya sampai akhir hay at (2006:6).

Dalam kehidupan konkret, saat-saat yang paling menentukan sebagaimana dimaksudkan Keene ialah agama mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan terutama menyangkut hal-hal supranatural. Pesan-pesan yang disampaikan agama kerap menenteramkan hati yang gelisah, menghalangi perilaku-perilaku jahat, pelipur bagi orang yang berdukacita, dan penyemangat bagi yang letih lesu maupun yang berbeban berat (bdk. Mat.22:28; Yoh. 14:1-3). Ajaran agama bagaikan obat penawar berbagai penyakit, baik penyakit hati maupun penyakit sosial (Hidayat, 2009:152). Agama juga menyatukan umat manusia dari berbagai suku, bangsa, warna kulit, budaya, dan kelas. Agama memberi petunjuk tentang bagaimana seharusnya kita hidup. Agama me-nerangkan hal ikhwal manusia, kecemasan-kecemasan dan harapan-harapannya, serta nasibnya di dunia maupun setelah hid up ini. Agama memberikan keberanian kepada manusia untuk menghadapi saat paling menggelisahkan, yaitu kematian. Agama membesarkan hati, menawarkan kegembiraan, menimbulkan rasa bersalah dan tidak pantas di hadapan Allah. Singkatnya, agama memberi pencerahan batin, memelihara kebijaksaan dalam hidup, membentuk moralitas, memuaskan serangkaian keinginan, dan memberikan kebahagiaan

(happiness)

kepada banyak orang (Calne, 2004:232). Menurut hemat penulis, selama agama masih memainkan berbagai peran tersebut maka segala upaya untuk melenyapkan agama dapat dipastikan sia-siabelaka.

Di samping berbagai faedah yang diusung oleh agama tidak dapat diungkiri bahwa agama juga sering menjadi pusat ketidaktenangan. Agama dituding demikian karena masih kerap mengemukanya berbagai aksi kekerasan berjubah agama bahkan membawa-bawa nama Allah. Yang mengkhawatirkan adalah adanya kesan bahwa rantai kekerasan atas nama agama sulit untuk diputus. Kesan di atas masih sangat pesimistis. Menurut hemat kami, rantai kekerasan atas nama agama dapat diputus. asalkan dilandasi dengan 120

(9)

keyakinan yang kuat, kemauan yang besar, serta niat hati yang tulus dari semua elemen .. Sebagai langkah awal, harus ditemukan terlebih dahulu akar penyebab atau sumber-sumber pemicu kekerasan atas nama agama. Berikut ini disajikan beberapa pandangan · tentang sumber-sumberpemicu lahimya berbagai kekerasan berdalil agama.

Pertama, Agama diposisikan melampaui posisi Allah. Menurut Tom Jacobs, agama tidak pemah identik dengan Allah. Agama hanyalah sarana agar manusia lebihmudah menemukanjalan menuju Allah. Maka yang pokok dalam agama bukan agama melainkan religiositas atau iman yaitu hubungan personal manusia sebagai aku (hamba) dengan Engkau, Allah. Jadi, tujuan iman bukan agama tetapi Allah. Tegasnya, agama bukan Allah (2002:14). Dengan ini, Tom Jacobs mau mengingatkan kita bahwa menempatkan agama secara tidak proporsional dapat melahirkan berbagai macam penyimpangan. Karena itu para penganut agama perlu waspada agar jangan sampai secara tidak sengaja terjerumus dalam praktek penyembahan kepada agama. Agama bukanAllah melainkanjalan menujuAllah. Ini berarti jika penganut agama mengutamakan agama dan melupakan Allah · bukankah itu berarti suatu penyembahan berhala?

Kedua, · Klaim kebenaran (truth claimed). Setiap agama memiliki klaim kebenaran sebagai atribut identitas, aktualisasi dan eksistensi diri. Ini tidak salah karena toleransi yang berlebihan juga dapat melemahkan eksistensi agama bahkan hilangnya rasa bangga pada agama yang dianut. Namun, permasalahan muncul apabila suatu agama tampil memonopoli kebenaran yang sesungguhnya merupakan milik umum, yaitu milik setiap orang dan setiap agama. Monopoli kebenaran ini sebenamya lahir dari fanatisme yang berlebihan, yang menganggap bahwa penganut agama lain sebagai kafrr, sesat, bahkan musuh yang harus diperangi. Ketika klaim kebenaran tampil dominan lalu dipaksakan kepada yang lain sebagai manifestasi harga diri maka kesakralan agama akan berubah menjadi monster yang sangat menakutkan. Kondisi seperti ini dapat muncul manakala penganut agama asyik dengan dimensi lahiriah berupa simbol-simbol agama dan melalaikan dimensi batiniah agama. Pada titik ini, menurut Hans Kung (1994) sebenamya agama telah kehilangan orientasi.

Ketiga, Sikap yang melampaui batas. Said Aqiel Siradj (Kompas, 4/9/2009) menyatakan bahwa ada tiga sikap yang di-kategorikan "melampaui batas" yaitu: a) Bentuk ekspresi berlebihan manusia dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan. b) Dorongan emosional

(10)

yang berimplikasi kepada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat. c) Sikap serta tindakan berlebihan karena dorongan agama ·atau ideologi. Menurut Siradj, idealnya seorang penganut agama harus memahami secara utuh agama yang dianutnya. Agama akan menjadi gersang jika aspek eksoterik dalam agama hanya sebatas legal-formal-tekstualistik. Menurutnya, agama mesti menghapus diskriminasi dan melindungi umat demi terbangunnya tatanan masyarakat yang beradab. Puncak kemengagamaan seseorang terpancar pada sikap arif dan bijaksana. Sisi ini me-nampilkan pemahaman keagamaan yang lebih moderat yang mengedepankan kemuliaan manusiawi baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatannya. Inilah ciri-ciri masyarakat yang oleh Emile Durkheim disebut sebagai masyarakat yang sehat yakni "masyarakat yang didasari olehkesusilaanyangtinggi" (bdk. Djuretna, 1994: 19).

Keempat, Ketidaktahuan. Mencermati ketiga pandangan di atas tampakjelas bagi kita bahwa problem kekerasan bertajuk agama sesungguhnya lebih merupakan problem manusia meskipun baik atau tidaknya ajaran suatu agama turut menentukan bagaimana penganutnya berperilaku. Memposisikan agama melampaui Allah, klaim kebenaran, maupun sikap yang melampaui batas merupakan aktivitas manusia bukan aktivitas agama. Jadi, ketidaktahuan manusia untuk memaknai agama secara tepat dan benar itulah yang mendorong lahimya berbagai aksi kekerasan berdalil agama.

Paus Joanes XXIII (1967) menyatakan bahwa yang menjadi sumber dan akar segala kejahatan yang menjangkiti orang perseorangan, rakyat, bangsa-bangsa dengan semacam. racun dan mengacaubalaukan pikiran banyak orang ialah ketidaktahuan akan kebenaran sehingga kadang-kadang menghina kebenaran bahkan menjauhinya. Ketidaktahuan tentang esensi agama memang kerap membuat orang bingung. Kebingungan disebabkan karena orang tidak memahami makna bahasa agama yang digunakan dalam konteks komunikasi. Padahal komunikasi sangat penting di dalam kehidupan beragama. Kegagalan dalam berkomunikasi mengakibat-kan orang terjebak di dalam kesalahpahaman. Kesalahpahaman menjadi benih bagi tumbuhnya berbagai bentuk konflik yang membuahkan korban baik matrial maupun imaterial.

2. Bahasa dan BahasaAgama 2.1 Bahasa

Pentingnya bahasa bagi kehidupan manusia tidak terbantahkan. Bahasa menjadikan para pemimpin tersohor atau tersandung dan

(11)

jatuh. Melalui bahasa seorang filsuf menemukan ruang ekspresi bagi konsep-kmisep briliantnya. Dengan bahasa. para penipu sering · memperdaya korban-korban mereka. Karena bahasa seorang alim dapat bertindak sadis karena merasa tersinggung. Dengan bahasa relasi suami-istri langgeng sampai maut memisahkan mereka atau justru berakhir dengan perceraian. Bahasa membuat seseorang merasa tersanjung gembira atau menangis sedih lantaran terhina. Dengan bahasa tercipta persahabatan seumur hidup atau permusuhan selamanya. Bahasa itu mengikat tetapijuga dapat mencerai-beraikan, membangunnamun dapatmerusak (bdk. Booher, 2006:7 -8).

Bahasa memudahkan manusia untuk saling berkomunikasi dan saling memaharni. Ada sating pengertian dalam pemakaian bahasa. Jadi, ada kesatuan yang erat antara bahasa dan pikiran. Bahasa mencerminkan isi pikiran sedangkan isi pikiran terwujud di dalam dan melalui ucapan yang mengemukakan isi pikiran itu (bdk. Bakker, 1991 :24 7). Maka sebenamya pikiran seseorang sudah dapat "dibaca" dengan memperhatikan bagaimana cara ia berbahasa (bdk. Cummings, 2007:193). Itu berarti jika seseorang tidak mampu berbahasa atau memahami makna bahasa yang digunakan secara tepat maka kebenaranpun akan menjauh darinya (Kridalaksana, 1980: 1 0). Singkatnya, bahasa merupakan sumber daya bagi kehidupan manusia (Efendi, 1999:1). Yang dimaksud dengan bahasa dalam tulisan ini ialah semua bentuk yang dipergunakan dalam proses penyampaian pesan yaitu bahasa lisan, bahasa tertulis, gerak-gerik, dsb(Wursanto, 1987:70).

Menurut Marleau Ponty, bahasa tidak hanya menyampaikan . pikiran tetapi juga membentuknya. Ponty melihat bahwa bahasa memiliki daya untuk membentuk manusia yaitu membentuk pikiran dan dengan dernikian mengarahkan tingkah lakunya. Artinya, melalui bahasa pikiran maupun perilaku seseorang dapat dibangun atau dirusak. Dengan kata lain, bahasa memiliki daya untuk merusak atau menolong. Hal ini menjadi mungkin karena bahasa sebagai sistem lambang bisa disimpan, diirtgat, dan diolah dengan otak. Jadi, betapa bahasa sungguh menyatu dengan penuturnya. Ada suatu hubungan yang hidup antara bahasa dan subjek berbicara. Pikiran-pikiran subjek berbicara terjelma dalam perkataan yang dilontarkannya (bdk. Caine, 2004:48).

Jelas kiranya bahwa bahasa melampaui fungsinya sebagai alat komunikasi yakni menyertai proses berpikir manusia dalam mema-hami dunia luar, baik secara objektifmaupun imajinatif(bdk.Leahy, 1989:28; Irawan, 2008:13). Bahasa memiliki fungsi kognitif, fungsi 123

(12)

emotif, fungsi interaksional, dan fungsi imajinatif (Aminuddin, 1988:13.6). Di sini, bahasa dan peristilahan menjadi sangat penting sekaligus rawan. R.awan, karena memakai kata-kata yang sama belum berarti memaksudkan hal yang sama pula. Perbedaan-perbedaan istilah ini tidak jarang menimbulkan ketegangan, memancing perselisihan, dan mengobarkan pennusuhan meskipun sebenarnya ada kesatuan dalam pemahaman. Hal ini terasa pada bahasa agama.

2.2 Bahasa agama

Bahasa agama merupakan bahasa kiasan atau bahasa analogi. Kata analogi berasal dari bahasa Yunani

ana

(menurut) dan

logos

(rasio, proporsi, perbandingan) (Bagus, 2002:42). Sebagai contoh, "Allah itu pengasih dan penyayang". Kata "kasih" dan "sayang" sebenarnya lebih tepat digunakan bagi manusia, lebih konkrit, seorang ibu kepada anaknya, karena di bawah ungkapan "kasih" dan "sayang" terdapat jalinan yang kompleks dan unsur emosional yang menggetarkan seluruh tubuh manusia. Sedangkan pada Allah tidak didapati unsur-unsur emosional itu, karena Allah adalah Roh yang semurni-murninya. Maka kata 'kasih' dan 'sayang' itu tidak dapat dikenakan pada Allah, terlalu lemah untuk mengungkapkan isi kasih dan sayang yang ada pada Allah. Tetapi mau apa lagi? Kita tidak mempunyai kata-kata yang tepat untuk Allah. Maka harus dikatakan, bahwa segenap kata-kata manusia hanya dapat dikatakan pada Allah secara analog (kiasan, mirip). Artinya, isi (arti) yang hendak di-ungkapkan dengan kata-kata manusiawi, yaitu isi (arti) yang didapati pada Allah, tidak dapat terungkap sepenuhnya dengan kata-kata tadi. Kata-kata seperti: benar, baik, Bapa, Anak, adil, pencipta, dll hanya dapat dikenakan padaAllah dalam arti analog. Memang arti (isi) yang diungkapkan dengan kata-kata itu terdapat persamaan, tetapi sekaligus juga perbedaan. Bahkan perbedaannya jauh lebih besar daripada persamaannya. Dengan bahasa analogi yang dipakai untuk memahami Allah hendak mengatakan, bahwa pengenalan manusia tentang Allah tidak pernah akan komplit dan tuntas. Leahy, menegaskan bahwa cara yang kita pergunakan untuk mengartikan atau menunjuk Allah (gambarannya) selalu kurang sempurna (bdk. Leahy, 1993: 175).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa (bahasa agama) bukan sekedar sarana penghubung pikiran atau alat untuk saling memahami di antara sesama manusia. Bahasa (bahasa agama) melintasi fungsinya sebagai sarana komunikasi, yaitu bahasa memiliki kekuatan yang besar untuk menghubungkan, mengikat, 124

(13)

mempengaruhi, membentuk,. menyertai pikiran dan mengarahkan perilakU manusia. Di sini, dapat dipahami mengapa para pelaku kekerasan atas nama agama seakan-akan nekat dan mungkin terkesan konyol hanya karena sebuah ayat. Yang lebih memprihatinkan adalah telah banyak penderitaan yang disebabkan oleh karena pemahaman agama yang sempit atau tafsiran yang sembarangan terhadap sebuah teks kitab suci. Untuk itu, pendidikan bahasa agama termasuk analisis yang mendalam terhadap sebuah teks kitab suci sangat diperlukan.

3. Pendidikan BahasaAgama

Pendidikan yang bagus merupakan sumber kekuatan bagi suatu bangsa. Pendidikan yang bagus itu tidak hanya mengisi otak tetapi juga mengolahnya, meresapkan dalam batin dan mengekspresikan-nya dalam kehidupan konkrit untuk kemaslahatan bersama (Hidayat, 2009:28). Konsili. Vatikan II menyebut pendidikan yang bagus · terse but dengan istilah pendidikan yang sejati, yaitu pendidikan yang mencakup pembentukan pribadi manusia seutuhnya (badan-jiwa), membimbing manusia kepada kebaikan, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat (GE 1; KHK kanon 795). Pendidikan (bahasa) agama memiliki andil dalam pembentukan pribadi manusia yang utuh itu. Pertanyaannya, bagaimanakah pendidikan bahasa agama dilaksanakan? Menurut hemat penulis, pendidikan bahasa agama harus dilakukan dengan cara yang lebih mendasar, yaitu membangun kesadaran tentang makna kehadiran "yang lain", mengembangkan sikap kritis, meningkatkan rasa bahasa, mempromosikan bahasa cinta kasih. Dijelaskan di bawah ini.

Pertama, Membangun kesadaran tentang makna kehadiran

"yang lain". Membangun kesadaran diperlukan mengingat manusia itu makhluk yang berperasaan, beremosi, berafeksi, dan mampu berefleksi. Ia juga dapat merasakan sesuatu secara mendalam (bdk. Crapps, 1994:70). Menurut Louis Leahy, isi kesadaran manusia jauh lebih kaya dari pada otaknya (1989:58). Ini berarti pengolahan kesadaran peserta didik harus mendapat porsi yang lebih dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan bahasa agama harus dimulai dengan membangun kesadaran tentang "makna" kehadiran "yang lain" (the

other). Sebab, hila ditelusuri, kekerasan berdalil agama sebenarnya merupakan upaya untuk meniadakan kehadiran .. yang lain ... Padahal, senyatanya (das Sein) "yang lain" tidak selalu hadir bagi dirinya sendiri. "Yang lain" itu berperan bagi keberadaanku. Atau meminjam ungkapan Hegel, "keberadaan saya sebagai sayajuga tergantung dari 125

(14)

"yang lain". "Yang lain" itu adalah saya dalam bentuk ''yang lain".

· Jadi, "yang lain" itU adalah saya sendiri. Maka ketika saya berupaya

meniadakan "yang lain" sebenarnya saya sedang meniadakan diriku

sendiri. Jadi, lebih baik bagiku hila aku mengasihi engkau sebab sama

dengan saya mengasihi diriku sendiri (Mudji Sutrisno,

2004:167-168). Inilah yang dimasudkan oleh Yesus ketika Ia bersabda:

"kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Matius.

22:39,

Rom.13:9).

Cara untuk membangun kesadaran akan "yang lain" dapat

dilakukan dengan membiasakan diri untuk berefleksi. Sebab, dengan

refleksi seseorang dapat memaknai apa yang

"ada"

maupun apa yang

telah dilakukannya

(bdk.

Mangunwijaya,

1986:17).

Dengan jalan

refleksi seseorang dapat menemukan jawaban yang lebih mendalam

atas pertanyaan mengapa perlu

ada

''yang lain"? Mengapa ada

perbedaan-perbedaan di antara kita (termasuk bahasa)? Apakah

adanya ''yang lain" itu melulu karena kehendak mereka?, dst.

Refleksi bisa dilakukan secara perorangan maupun bersama. Secara

perorangan, refleksi dapat dijalankan setiap menjelang tidur malam

guna "melihat" kembali apa yang dilakukan hari ini dan efek yang

ditimbulkannya baik bagi

diri

sendiri maupun bagi orang lain.

Sedangkan secara bersama, misalnya di sekolah, dalam suasana doa,

setiap akhir jam pelajaran atau jam sekolah siswa dapat dibantu untuk

merefleksikan apa yang dilakukan selama jam ·pelajaran atau

sepanjang jam sekolah. Sikap mana yang harus ditanggalkan dan

sikap mana yang perlu dikembangkan. Lalu, mereka membangun niat

untuk memperbaiki diri. Jika ini dilakukan terus-menerus maka akan

meningkatkan simpati maupun·empati pada ''yang lain".

Kedua,

Menciptakan dan menumbuh sikap kritis. Pendidikan

(bahasa) agama perlu untuk menciptakan dan menumbuhkan

kesadaran kritis peserta didik yakni membuka mata peserta didik

untuk jeli melihat berbagai sumber dan bentuk penindasan dalam

kehidupan sosial termasuk penindasan yang diakibatkan oleh

pemahaman ajaran agama yang sempit-parsial. Melalui pendidikan

(bahasa) agama peserta didik disadarkan, sehingga peka dan tergerak

untuk membongkar berbagai bentuk penindasan yang terdapat di

lingkungan sekitar mereka. Sikap kritis akan membantu peserta didik

untuk tidak mudah dikendalikan oleh nafsu-nafsu rendahan. Mereka

juga tidak akan mudah terprofokasi atau tersulut emosinya oleh

· pemyataan-pemyataan yang menggunakan ayat-ayat suci sekalipun.

Sebab, ia melibatkan pertimbangan-pertimbangan akal. Emile

Durkheim, mengatakan bahwa agar masyarakat dapat hidup, ia tidak

(15)

hanya membutuhkan konsensus moral tetapi juga consensus logika. Sebab jika tidak demikian akan terdapat jurang pemisah antara cara berpikir (thinking) dari cara berperilaku (doing) (2003:66). Untuk

menumbuhkan sikap kritis ini hams ada pembiasaan yang dimulai dari lingkungan terdekat yaitu keluarga sejak anak berusia dini. Sedangkan di sekolah, siswa perlu dilatih untuk berpikir lurus dan logis. Barangkali pelajaran logika perlu diberikan kepada peserta didik sejak di sekolahmenengah.

Ketiga, mempromosikan rasa bahasa santun. Banyak

per-soalan timbul akibat bahasa yang kacau dan salah pakai. Kekerasan berlatar belakang agama sering timbul karena rasa bahasa yang mengacaukan. Bahasa (istilah) yang digunakan lebih bernada profokatif (mengobarkan kebencian), diskriminatif, menyinggung . perasaan, atau membuat orang yang mendengar merasa terancam dari pada yang bemada persusif. Sebutan kafir, musuh Allah, sesat, dll, merupakan. contoh ungkapan yang dapat mengungkit rasa marah seseorang. Maka perumusan bahasa dengan teliti dan cermat dapat mencegah berbagai kekacauan. Caranya, dalam melakukan korilunikasi setiap orang perlu memerhatikan unsur rasa bahasa, yaitu bahasa yang menempatkan pendengar pada posisi terhormat, merasa bangga, merasa diakui dan diterima. Dengan demikian secara tidak langsung kita mempromosikan dan membudayakan rasa bahasa santun. Bagaimana santun dalam berbahasa, orang bijak memberi nasihat ini: "Janganlah ada padamu per.kataan kotor yang keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia" (Efesus, 4:29). Jika. semua pembicara memerhatikan

nasihat ini maka diyakini akan turut meredam berbagai konflik maupun kekerasan termasukkekerasan atas nama agama.

Penutup

Iman hanya bisa diperbincangkan hila dirumuskan. Rumusan iman memerlukan bahasa manusia yaitu bahasa yang dapat diterima oleh akal. Masalahnya, kata-kata manusia seringkali sangat terbatas dalam mengungkapkan yang dikehendaki hati. Dengan demikian mungkin saja rumusan bahasa manusia tidak sanggup menyatakan secara persis apa yang dimengerti oleh hati. Ini bukanlah kesempatan untuk boleh membabibuta melaink:an dorongan untuk mengem-bangkan sikap kritis-rasional. Di sini, pendidikan bahasa agama dibutuhkan untuk memperdalam pengertian dan memupuk kesadaran akan kesatuan. Kesatuan mengandaikan adanya kesadaran akan

(16)

makna kehadiran "yang lain". Kekerasan atas nama agama sebenarnya mencerminkan redupnya kesadaran akan pentingnya membangun relasi dengan "yang lain".

Pendidikan bahasa agama diperlukan untuk memupuk sikap kritis dengan demikian diharapkan dapat mengikis sikap arogan dari setiap aliran agama yang memandang dirinya paling mengerti Tuhan dan ajaran-Nya. Bahwa, hanya dirinyalah yang memiliki Tuhan (surga) sedangkan yang lain adalah sahabat iblis dan pewaris neraka. Sikap ini tentu egoistis dan picik karena berhadapan dengan Allah yang sedemikian Agung (Allahu Akbar) manusia tidak berhak untuk mangklaim bahwa ia memahami seluruh rahasia Allah. Kalau manusia menempatkan dirinya sebagai Allah maka ia telah mempertuhankan dirinya yang berarti berhala.

Agama bagaimanapun kelemahannya tetap kita perlukan untuk menangani kekerasan. Sebab agama menurut fungsi adalah pengemban misi damai dan jalan untuk mendekati Yang Mutlak, bukan sarana untuk menebar kebencian. Kebencian hanya akan meningkatkatkan gairah untuk saling menjegal bahkan saling meniadakan satu dengail yang lain. Untuk itu, dialog yang mendalam untuk saling pengertian harus terus ditingkatkan. Saling pengertian meminta adanya sikap jujur dan terbuka dari mereka yang berdialog. Sebab, dialog berarti mendengarkan penuh dengan kerendahan hati pengalaman-pengalaman dari keyakinan lain. Ini mensyaratkan yang berdialog adalah orang-orang yang mempunyai pengalaman akan Allah yang mendalam sehingga dalam dialog ia membagi-bagi pengalaman pribadinya sendiri akan Allah, yaitu Allah. yang mencintai semua manusia meskipun manusia kerap lupa bahwaia dicintai oleh Allah. Akhirnya, secara esensial semua manusia dipanggil untuk "berbahasa" cinta, yaitu berpikir, merasa dan bertindak berlandaskan cinta kasih. Sebab, esensi kehidupan manusia adalah untuk mencintai. Dengan demikian apapun perbuatan manusia, termasuk yang baik maupun yang jahat, adalah wujud mencintai ataupun rata pan untuk dicintai" (Martin, 2003: 165).

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan.

Bandung:Remaja Rosdakarya ·

Bagus, Lorens Bagus. 2002. Kamus Filsafat.

Jakarta:

Gramedia

Bakker, Anton. 1991. Ontologi. Yogyak:arta: Kanisius

Baowollo, Robert B. 2010. Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik Bagi Perdamaian Dunia, Yogyak:arta: Kanisius

Booher.2006. Nilai Perkataan Seorang Wanita. Batam: Gospel Press

Caine, Donald B. 2004. Batas NaZar. Jakarta: Kepustak:aan Populer Gramedia

Crapps, Robert W. 1994. Perkembangan Kepribadian & Keagamaan.

Yogyak:arta: Kanisius.

Cummings, Louise. 2007. Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyak:arta: Pustak:a Pelajar

Djuretna, A. Imam Muhni. 1994. Moral & Religi. Yogyakarta: Kanis ius

Durkheim, Emile. 2003. Sejarah Agama (terjemahan). Yogyak:arta: Ircisod

Efendi, S. 1999. Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik Dan __ . Benar. Jakarta: Pustak:a Jaya

Hidayat, Komaruddin. 2009. Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan.

. Jakarta: Gramedia

Imam Muhni, Djuretna, A. 1994. Moral & Religi. Yogyak:arta: Kanisius

Irawan. 2008.Anima1Ambiguitatis. Yogyakarta: Jalasutra

Jacobs,

Tom.

2002. Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-Agama, dan Teologi. Yogyakarta: Kanisius

(18)

Joanes XXIII, Paus. 1967. Ensiklik:Ad Petri Cathedram. Ende: Nusa

Indah.

Kung, Hans. 1994. Apakah Ada Agama Yang Benar?. Yogyakarta:

Pusat Pastoral Yogyakarta

Leahy, Louis, SJ. 1989. Manusia Sebuah Misteri. Jakarta: Gramedia

Mangunwijaya. 1986. Ragawidya, Renungan Religius tentangHal-Hal Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius

Martin, Anthony D. 2003. Emotional Quality Management. Jakarta:

Arga

Misbah, dkk (ed). 2003. State Terrorism. Malang: Lembaga

Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Siradj, Said Aqiel. 2009. Islam Santun dan Kekerasan. Jakarta:

Kompas

Wursanto. 1987. Etika Komunikasi Kantor. Yogyakarta: Kanisius

(19)

PERSYARATAN PENULISAN ILMIAH

Dl JURNAL JPAK WIDYA YUWANA MADIUN

01. Jumalllmiah JPAK Widya Yuwana memuat hasil-hasil Penelitian, Hasil Refleksi, atau Hasil Kajian Kritis tentang Pendidikan Agama Katolik yang belum pernah dimuat atau dipublikasikan di Majalah/Jumalllmiah lainnya.

02. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau lnggris sepanjang 7500-10.000 kata dilengkapi denganAbstrak sepanjang 50-70 kata dan 3-5 kata kunci.

03. Artikel Hasil Refleksi atau Kajian Kritis memuat: Judul Tulisan, Nama Penulis, lnstansi tempat bemaung Penulis, Abstrak (lndonesia/lnggris), Kata-kata Kunci, Pendahuluan (tanpa anak judul), lsi (subjudul-subjudul sesuai kebutuhan), Penutup (kesimpulan dan saran), Daftar Pustaka.

04. Artikel Hasil Penelitian memuat: Judul Penelitian, Nama Penulis, lnstansi tempat bemaung Penulis, Abstrak (lndonesia/lnggris), Kata-kata Kunci, Latar Belakang Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, Hasil Penelitian, Penutup (kesimpulan dan saran), Daftar Pustaka

05. Catatan-catatan berupa referensi disajikan dalam model catatan lambung.

Contoh: Menurut Caputo, makna religius kehidupan harus berpangkal pada pergulatan diri yang terus menerus dengan ketidakpastian yang radikal yang disuguhkan oleh masa depan absolut (Caputo, 2001 : 15)

06. Kutipan lebih dari em pat baris diketik dengan spasi tunggal dan diberi baris baru. Contoh: Religions claim that they know man an the world as these really are, yet

they they differ in their views of reality. Question therefore arises as to how the claims to truth by various religions are related. Are they complementary? Do they contradict or overlap one another? What -according to the religious traditions themselves-is the nature of religious knowledge?(Vroom, 1989: 13)

07. Kutipan kurang dari empat baris ditulis sebagai sambungan kalimat dan dimasukkan dalam teks dengan memakai tanda petik.

Contoh: Dalam kedalaman mistiknya, Agustinus pernah mengatakan "saya tidak tahu apakah yang saya percayai itu adalah Tuhan atau bukan." (Agustin us, 1997: 195)

08. Daftar Pustaka diurutkan secara alfabetis dan hanya memuat literature yang dirujuk dalam artikel. Contoh;

Tylor, E. B., 1903. Primitive Culture: Researches Into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Ert, and Custom, John Murray: London Aswinamo, Hardi, 2008. "Theology of Uberation As a Constitute of Consciousness,"

dalam Jumal RELIGIO No.I,April2008, hal. 25-35.

Borgelt, C., 2003. Finding Association Rules with the Apriori Algorthm, http://www.fuzzi.cs.uni-magdeburg.de/-borgelt/apriori/. Juni 20, 2007

Referensi

Dokumen terkait

Untuk efektivitas pelaksanaan pemberian hibah, pembayaran belanja hibah dapat dilakukan kepada rekening lain yang ditunjuk oleh penerima hibah. Contoh dalam hal penerima hibah

Universitas Ottow Geissler merupakan salah satu lembaga pendidikan tinggi di Jayapura, sebagai tempat untuk pengembangan sumber daya manusia, membutuhkan sistem informasi

Tujuan penelitian ini adalah (1) meningkatkan kinerja mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi dengan tenaga gerak traktor berroda –2, (2) membuat model

Barangsiapa yang berpuasa pada hari Assyuuraa' yakni 10 Muharram , maka Allah akan memberikan kepadanya pahala 10,000 malaikat; dan barangsiapa yang puasa pada hari Assyuuraa',

g. Penguatan kelembagaan dalam rangka mendukung kinerja pengelolaan progam prioritas pembangunan. Penguatan kerjasama dengan Lembaga pemerintah/Non-pemerintah, bilateral

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh sisa anggaran, pendapatan asli daerah, dan Dana Bagi Hasil terhadap Belanja Modal Bidang Pendidikan,

Berangkat dari adanya kebutuhan penyediaan layanan air bersih dan sanitasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, sebetulnya saat ini telah dikembangkan

Dari berbagai uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa loyalitas pelanggan meruapakan sebuah sikap yang menjadi dorongan perilaku untuk melakukan pembelian