• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA TN. P DENGAN DIAGNOSA TRAUMA BRAIN INJURY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA TN. P DENGAN DIAGNOSA TRAUMA BRAIN INJURY"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

9

KARYA ILMIAH AKHIR

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA TN. P DENGAN DIAGNOSA TRAUMA BRAIN INJURY (TBI)

GCS 12 DENGAN TINDAKAN KRANIOTOMI DI RUANG OK CITO RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO

MAKASSAR”.

Oleh :

SULASTRI. R, S.Kep 18.04.009

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR

PROGRAM STUDI PROFESI NERS MAKASSAR

(2)

KARYA ILMIAH AKHIR

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA TN. P DENGAN DIAGNOSA TRAUMA BRAIN INJURY

(TBI) GCS 12 DENGAN TINDAKAN KRANIOTOMI DI RUANG OK CITO RSUP DR. WAHIDIN

SUDIROHUSODO MAKASSAR”.

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan Pendidikan Di STIKES Panakkukang Makassar Prodi Profesi Ners

Oleh :

SULASTRI R, S.Kep 18.04.009

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR

PRGRAM STUDI PROFESI NERS MAKASSAR

(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat-Nya, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir di pendidikan program Studi Profesi Ners STIKES Panakkukang Makassar denganjudul “MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA TN. P DENGAN DIAGNOSA TRAUMA BRAIN INJURY (TBI) GCS 12 DENGAN TINDAKAN KRANIOTOMI DI RUANG OK CITO RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR”.Karya Ilmiah Akhir ini disusun guna memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan program studi Profesi Ners STIKES Panakkukang Makassar. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan dengan tulus kepada:

1. Bapak H. Sumardin Makka, SKM., M.Kes, selaku Ketua Yayasan Perawat Sulawei Selatan yang telah memberikan arahan selama ini. 2. Ibu Siti Syamsiah, SKp., M.Kes selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Panakkukang Makassar yang telah memberikan izin untuk penelitianserta memberikan bimbingan dan arahan selama ini.

3. Bapak Kens Napolion, S. Kp., M.Kes., Sp. Kep.J, selaku Ketua Prodi Profesi Ners STIKES Panakkukang Makassar yang telah memberikan ijin dalam pelaksanaan penelitian dan bimbingan serta saran yang membangun selama ini.

(6)

4. Bapak Dr. Ns. Makkasau Plasay, M. Kes.,, M. EDM selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan serta motivasi hingga terselesaikannya Karya Ilmiah Akhir ini.

5. Dosen di Program Studi Profesi Ners yang telah dengan sabar memberikan pengarahan yang tiada henti- hentinya dan dorongan, baik spiritual maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini.

6. Civitas Akademika STIKES Panakkukang Makassar

7. Perawat di ruang OK Cito RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar yang telah membantu selama ini.

8. Pasien dan keluarga pasien yang telah bekerjasama memberikan kesempatan dan waktunya dalam penelitian ini.

9. Ayah, Ibu tercinta yang telah memberikan support dan kasih sayang serta do’a yang tiada henti-hentinya

10. Sahabat-sahabat yang selalu member dukungan dan semangat untuk menyelesaikan Karya ilmiah Akhir ini.

11. Teman-teman seperjuangan penulis mahasiswa Profesi Ners khususnya angkatan 2018 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, kebersamaan dengan kalian semua adalah kenangan terindah dalam hidupku yang tak pernah terlupakan, semoga kesuksesan menyertai kita semua

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya

(7)

Dalam kerendahan hati penulis menyadari bahwa dalam melakukan penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu masukan yang berupa saran dan kritik yang membangun dari para pembaca akan sangat membantu. Semoga Karya Ilmiah Akhir ini bisa bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait terutama pembaca.

Makassar, Desember 2019

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

PERNYATAAN KEASLIAN KIA ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Tujuan Umum ... 5 1. Tujuan Umum ... 5 2. Tujuan Khusus ... 6 C. Manfaat Penulisan ... 7 D. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN KASUS KELOLAAN A. Tinjauan Teori ... 9

1. Konsep Daasar Medis ... 9

a. Pengertian ... 9 b. Anatomi Fisiologi ... 10 c. Etiologi ... 14 d. Klasifikasi ... 15 e. Patofisiologi ... 21 f. Manifestasi Klinis ... 23 g. Komplikasi ... 23 h. Pemeriksaan Penunjang ... 23

(9)

i. Penatalaksanaan ... 25

2. Konsep Konsep Tindakan Operasi (Craniotomy) ... 30

a. Jenis- jenis Perdarahan ... 30

b. Pengertian ... 32

c. Indikasi Operasi Kraniotomi ... 33

d. Tujuan Kraniotomi ... 33

e. Etiologi Kraniotomi ... 34

f. Persiapan Alat Kesehatan dan Instrument Operasi ... 34

g. Tahap Drapping (Penutupan Area Luka) ... 37

h. Prosedur Pembedahan ... 37

3. Konsep Asuhan Keperawatan ... 38

a. Pengkajian ... 38 b. pemeriksaan penunjang ... 46 c. Diagnosa keperawatan ... 46 d. intervensi keperawatan ... 48 e. Implementasi Keperawatan ... 62 f. Evaluasi Keperawatan ... 62 B. Tinjauan Kasus ... 64 1. Gambaran Kasus ... 64 2. Identitas Pasien ... 64

3. Alasan Tindakan Operasi ... 64

4. Tujuan Tindakan Operasi ... 64

5. Pemeriksaan Penunjang ... 65

6. Pre Operatif ... 66

a. Kegiatan Penerimaan Pasien ... 66

b. Data / Temuan Keluhan Pada Pasien ... 67

c. Analisa data ... 69

d. Diagnosa keperawatan... 70

e. Intervensi keperawatan ... 71

(10)

7. Intra Operatif ... 76

a. Kegiatan Di dalam Kamar Operasi ... 76

b. Data / Temuan Selama Operasi ... 77

c. Klasifikasi Data ... 78

d. Analisa Data ... 79

e. Diagnosa Keperawatan ... 79

f. Intervensi Keperawatan... 80

g. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan ... 82

8. Post Operatif ... 85

a. Kegiatan Diruang Recovery Room (RR) ... 85

b. Data / Temuan Diruang RR ... 86

c. Klasifikasi Data ... 86

d. Analisa Data ... 87

e. Diagnosa keperawatan... 87

f. Intervensi Keperawatan... 89

g. Implementasi dan Evaluasi keperawatan ... 92

BAB III PEMBAHASAN KASUS KELOLAAN A. Pengkajian ... 96 1. Riwayat keluhan ... 97 2. Pemeriksaan Fisik... 97 a. Pre Operatif ... 98 b. Intra Operatif ... 105 c. Post operatif ... 112 3. Pemeriksaan penunjang ... 118 B. Diagnosa Keperawatan ... 119 1. Pre Operatif ... 119 2. Intra Operatif ... 120 3. Post Operatif ... 121 C. Intervensi Keperawatan... 122 1. Pre operatif ... 122

(11)

2. Intra Operatif ... 124 3. Post Operatif ... 125 D. Implementasi ... 127 1. Pre Operatif ... 127 2. Intra Operatif ... 128 3. Post Operatif ... 129 E. Evaluasi ... 130 1. Pre Operatif ... 130 2. Intra operatif ... 131 3. Post Operatif ... 131 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 133 B. Saran... 134

DAFTAR PUSTAKA ... xiii LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Alat Non Steril ... 34

Tabel 2.2 Alat Steril ... 35

Tabel 2.3 Linen Steril ... 36

Tabel 2.4 Bahan Habis Pakai dan Alat Non Steril ... 36

Tabel 2.5 Intervensi Keperawatan teori Pre Operatif ... 48

Tabel 2.6 Intervensi Keperawatan teori Intra Operatif ... 54

Tabel 2.7 Intervensi Keperawatan Teori Post Operatif ... 58

Tabel 2.8 Analisa Data Kasus Pre Operatif ... 69

Tabel 2.9 Intervensi keperawatan Kasus Pre operatif ... 71

Tabel 2.10 Implementasi dan evaluasi keperawatan Kasus Pre Operatif ... 75

Tabel 2.11 Analisa Data Kasus Intra Operatif ... 79

Tabel 2.12 Intervensi Keperawatan Kasus Intra Operatif ... 80

Tabel 2.13 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan Kasus Intra Operatif ... 82

Tabel 2.14 Analisa Data Kasus Post Operatif ... 87

Tabel 2.15 Intervensi Keperawatan Kasus Post Operatif ... 89

Tabel 2.16 Implementasi Dan Evaluasi Keperawatan Kasus Post Operatif ... 92

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 System saraf pada manusia

…….………

10

Gambar 2.2 CT Scan Intraserebral Hematom

...………..

18

Gambar 2.3 Scan Epidural Hematom... 19

Gambar 2.4 CT Scan Subdural Hematom... 20 Gambar 2.5 Persiapan Instrument ………

(14)

DAFTAR SINGKATAN

A : Airway

ARAS : Ascending Reticular Activating System ATLS : Andvance Trauma Life Support

B : Breathig C : Circulation

CKB : Cedera Kepala Berat CKS : Cedera kepala Sedang CKR : Cedera Kepala Ringan CRP :C-reactive Protein CRT : Capillary Refill Time

CVA : Cerebro Vaskuler Accident D : Disability

E : Exposure E : Eye

EDH : Epidural Hematom ETT : Endotrakheal Tube GA : General Anastesi GCS : Glasgow Coma Scale

GPDO : Gangguan peredaran darah otak ICH : Intra Cranial Hematome

(15)

IGD : Instalasi Gawat Darurat IV : Intra Vena

KLL : Kecelakaan Lalu Lintas LCS : Liquid Cerebrospinal M : Motorik

NIC : Nursing Intervensions Classification NOC : Nursing Outcomes Classification

NVDRS : National Violent Death Reporting System O2 : Oksigen

PSA : Perdarahan Subarachnoid RR : Recovery Room

RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar SDH : Subdural Hematoma

SSP : Sistem Saraf Pusat TIK : Tekanan Intra Kranial TIA : Transient Ischemic Attack TTV : Tanda- tanda Vital

V : Verbal

VAS : Visual Analisis Scale WHO : World Health Organization

(16)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH AKHIR

Yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Sulastri R, S.Kep

NIM : 18.04.009

Program Studi : Profesi Ners

Dengan ini menyatakan bahwa Karya Ilmiah Akhir ini adalah hasil karya tulis saya sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar Ners disuatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pemikiran yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat di buktikan bahwa sebagian atau keseluruhan Karya Ilmiah Akhir ini merupakan hasil karya orang lain, maka saya bersedia mempertanggungjawabkan sekaligus bersedia menerima sanksi berupa gelar kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan atau di cabut.

Demikian, penyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa ada paksaan sama sekali.

Makassar, Desember 2019 Yang membuat pernyataan,

Sulastri R, S.Kep

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma Brain Injury (TBI) merupakan penyebab utama morbilitas dan mortalitas setelah infark myokard di dunia. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh trauma brain injury dan kecelakaan kendaraan bermotor Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen (Awaloei, 2015).

Trauma Brain Injury (TBI) merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak (Nurarif dan Kusuma, 2015). Secara global, insiden Trauma Brain Injury (TBI) meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor (Smeltzer, Susan C, 2014).

Berdasarkan laporan dari World Health Organization (WHO), korban meninggal akibat kecelakaan kendaraan bermotor mencapai 1,25 juta jiwa dan korban luka-luka atau cacat lebih dari 30 juta per tahun, 50% dengan trauma brain injury di Amerika kurang lebih 348,934 orang yang menderita cedera. Tahun 2014 sampai 2015 sebanyak 566 penderita setiap 100.000 populasi (Headway, 2016).

Berdasarkan hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018, prevalensi cedera nasional pada 33 provinsi di Indonesia sebesar 11,9%.

(18)

Gorontalo dalam hal ini menduduki ke-1 (17,9%). Presentasi penyebab cedera terbanyak, yaitu kecelakaan sepeda motor 72,7% dan menumpang sepeda motor 19,2%. Proporsi jatuh akibat kecelakaan lalu lintas tertinggi di Kalimantan Timur (81,6%) dan terendah di Papua (64,2%).

Kejadian cedera kepala di RSUP Dr. Wahidin sudirohusodo Makassar pada tahun 2016 sebanyak 680 kasus, sedangkan pada tahun 2017 terdapat 858 kasus sedangkan pada tahun 2019 dalam kurung waktu 5 bulan (Juli - November 2019) ditemukan 74 yang telah di lakukan tindakan kraniotomy pada pasien trauma brain injury (TBI) (Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, 2019).

Prevalensi cedera pada masyarakat di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 7,5%, dengan urutan penyebab cedera terbanyak adalah jatuh, kecelakaan lalu lintas (KLL) darat dan terluka benda tajam/tumpul (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2012). Pada tahun 2016 terdapat peningkatan prevalensi cedera menjadi 8,2%, dengan urutan penyebab cedera terbanyak adalah jatuh 40,9%, kecelakaan sepeda motor (40,6%), cedera karena benda tajam/tumpul 7,3%, transportasi darat lainnya 7,1% dan kejatuhan 2,5% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI, 2016).

Humas Pemprov Sulsel mencatat kecelakaan lalu lintas yang mulai terhitung sejak awal bulan januari hingga akhir juli 2018 tercatat bahwa ada 4.295 kasus kecelakaan lalu lintas. Dimana Makassar merupakan

(19)

wilayah dengan kasus paling tinggi sebanyak 907 kasus, diikuti oleh Pinrang 245 kasus, Bulukumba 236 kasus, Bone 233 kasus, Jeneponto 228 kasus, Gowa 220 kasus, dan diikuti wilayah lainnya (Tribun Makassar, 2018).

Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan Trauma Brain Injury (TBI) atau cedera kepala, terutama cedera kepala berat adalah harus mencegah cedera otak sekunder. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting untuk menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder, yang pada akhirnya akan meningkatkan tingkat kesembuhan pasien (Iskandar, 2017).

Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa tindakan operasi pada trauma kepala berat dalam rentang waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat menyelamatkan 60-70% pasien. Namun bila operasi dilakukan lebih dari 4 jam setelah kejadian, tingkat kematian dapat melebihi angka 90% (Irawan H, 2014).

Kegawatan pada cedera kepala merupakan kegawatdaruratan medis yang harus ditangani secara cepat, tepat, dan cermat. Mortalitas dari pasien cedera kepala sangat tergantung dari berat ringannya perdarahan yang diderita dan cepat tidaknya seorang pasien mendapatkan pertolongan (Krisanty, dkk, 2016).

Tindakan operasi atau pembedahan merupakan pengalaman yang sulit bagi hampir semua pasien. Berbagai kemungkinan buruk bisa saja

(20)

terjadi yang akan membahayakan bagi pasien. Maka tak heran jika seringkali pasien dan keluarganya menunjukkan sikap yang agak berlebihan dengan kecemasan yang mereka alami. Kecemasan yang mereka alami biasanya terkait. Dengan segala macam prosedur asing yang harus dijalani pasien dan juga ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat segala macam prosedur pembedahan dan tindakan pembiusan. Tingkat keberhasilan pembedahan sangat tergantung setiap tahapan yang dialami dan saling ketergantungan antara team kesehatan yang terkait (dokter bedah, dokter anestesi dan perawat) disamping peranan pasien yang kooperatif selama proses perioperatif. Craniotomy adalah operasi pembukaan tengkorak (tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang di akibatkan oleh adanya luka yang ada di otak (Astati. Y, 2014).

Selama masa Praktik Klinik Keperawatan kegawatdaruratan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo penulis praktik di Instalasi Gawat Darurat OK CITO yang merupakan ruang kegawatdaruratan untuk pasien dengan operasi segera. maka, asuhan keperawatan selama masa pre, intra dan post operatif maka tindakan perawat harus memahami tahapan- tahapan yang dilakukan pada seorang pasien, tahapan tersebut mencakup tiga fase yaitu : Fase pre operatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai pengkajian data dasar pasien yang datang di rumah sakit menjalani wawancara pre operatif dan menyiapkan pasien untuk anestesi yang di berikan dan pembedahan. Kedua, Fase intra operatif

(21)

dari keperawatan perioperatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindah kebagian atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi : memasang infus (IV), memberikan medikasi melalui intravena sesuai instruksi dokter, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur mebedahan dan menjaga keselamatan pasien. Terakhir fase post operatif di mulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut. Pada fase post operatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen anestesi dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi (Hidayat dan Uliyah, 2014).

Berdasarkan latar belakang di atas serta pengalaman nyata yang di temukan di Rumah Sakit, akhirnya penulis tertarik untuk membuat Karya Ilmiah Akhir yang berjudul “Manajemen Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Tn. P Dengan Diagnosa Medis Trauma Brain Injury (TBI) Dengan Tindakan Kraniotomi Di Ruang OK CITO RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar”.

B. Tujuan 1. Umum

Memberikan gambaran tentang manajemen asuhan pre, intra dan post operatif keperawatan kegawatdaruratan Tn.P yang berkaitan dengan diagnosa medis Trauma Brain Injury (TBI) GCS 12 dengan Tindakan Kraniotomi di Ruang OK CITO RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

(22)

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

a) Untuk mendapatkan gambaran pelaksanaan pengkajian pre, intra dan post Operatif Keperawatan Kegawatdarurat pada Tn.P dengan diagnosa medis Trauma Brain Injury (TBI) GCS 12 dengan tindakan kraniotomi di Ruang OK CITO RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

b) Untuk mendapatkan gambaran tentang diagnosis Keperawatan tentang pre, intra dan post operatif Kegawatdarurat pada Tn.P dengan diagnosa medis Trauma Brain Injury (TBI) GCS 12 dengan tindakan Kraniotomi di Ruang OK CITO RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

c) Untuk mendapatkan gambaran tentang Intervensi Keperawatan pre, intra dan post operatif Kegawatdarurat pada Tn.P dengan diagnosa medis Trauma Brain Injury (TBI) GCS 12 dengan tindakan kraniotomi di Ruang OK CITO RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

d) Untuk mendapatkan gambaran tentang Implementasi keperawatan pre, intra dan post operatif Kegawatdaruratan pada pada Tn.P dengan diagnosa medis Trauma Brain Injury (TBI) GCS 12 pada di Ruang OK CITO RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

(23)

e) Untuk mendapatkan gambaran tentang Evaluasi Keperawatan pre, intra dan post operatif pada pada Tn.P dengan diagnosa medis Trauma Brain Injury (TBI) GCS 12 pada di Ruang OK CITO RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

f) Untuk mendapatkan gambaran tentang Dokumentasi Keperawatan pre, intra dan post operatif pada pada Tn.P dengan diagnosa medis Trauma Brain Injury (TBI) GCS 12 pada di Ruang OK CITO RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

C. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini antara lain: 1. Institusi

Hasil penulisan ini diharapakan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran dan mengembangkan ilmu yang berkaitan dengan tindakan kraniotomi khususnya mengenai asuhan keperawatan pada Trauma Brain Injury (TBI).

2. Rumah Sakit

Hasil penulisan ini dapat dijadikan bahan masukan dan informasi mengenai penanganan kegawatdaruratan pasien Trauma Brain Injury (TBI) dengan tindakan kraniotomi pada Tn.P di Ruang OK CITO RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang diwujudkan dengan meningkatnya kepuasaan pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan.

(24)

3. Klien dan Keluarga

Dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan tentang bagaimana merawat dirinya atau orang lain pada pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) setelah di lakukan tindakan Kraniotomi pada Tn.P di Ruang OK CITO RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

4. Penulis

Dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam memberikan asuhan keperawatan serta mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama pendidikan.

D. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelasnya Karya ilmiah ini di susun dengan sistematika sebagai berikut:

1. Tempat dan waktu pelaksanaan pengambilan kasus

Kasus ini dilaksanakan di ruang OK CITO RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada saat praktek keperawatan kegawatdaruratan tanggal 07 sampai 12 oktober 2019.

2. Teknik pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara untuk memperoleh data yang cukup banyak dari pemberi informasi.

(25)

BAB II

TINJAUAN KASUS KELOLAAN

E. Tinjauan Teori

1. Konsep Dasar Medis a. Pengertian

Trauma Brain Injury (TBI) adalah bentuk cedera kepala yang mengkhusus kepada otak yang disebabkan oleh kerusakan mendadak pada otak. Sifatnya non degenerative dan non congenital. TBI merupakan akibat dari adanya kekuatan mekanik eksternal mungkin dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual, emosional, gangguan traumatic yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan fungsi otak (Dawadu & Kishner, 2017). Traumatic Brain Injury memiliki keseragaman diagnosis dengan trauma kapitis = cedera kepala = head injury = trauma karniocerebral (Team INTC, 2014).

National Violent Death Reporting System (NVDRS), menyatakan bahwa pasien Traumatic Brain Injury (TBI) di Amerika per 100.000 populasi yang mengalami kematian mengalami penurunan angka kejadian yang signifikan dari 17,4% pada tahun 2007 menjadi 16,3% pada tahun 2013. Adapun penurunan angka kejadian kecelakaan kendaraan bermotor yang

(26)

mengalami kematian terlihat pada tahun 2007 yaitu 13,8% menjadi 10,5% pada tahun 2013 (CDC, 2016).

Berdasarkan data statistik World Health Organization (WHO) pada tahun 2017, cedera yang mengalami kematian dikelompokkan dari kejadian yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas. Di Indonesia didapatkan angka kejadian yang cukup besar yaitu 15,3% per 100.000 populasi.

b. Anatomi Fisiologi

Sistem persarafan terdiri dari otak, medulla spinalis, dan saraf perifer. Struktur-struktur ini bertanggung jawab untuk control dan koordinasi aktivitas sel tubuh melalui impuls-impuls tersebut berlangsung melalui serat-serat saraf dan jaras-jaras, secara langsung dan terus-menerus. Responnya seketika sebagai basil dari perubahan potensial elektrik, yang mentransmisikan sinyal-sinyal. Gambar.2.1 System saraf pada manusia a) Otak

(27)

Otak dibagi menjadi tiga bagian besar: serebrum, batang otak, dan serebelum. Semua berada dalam satu bagman struktur tulang yang disebut tengkorak, yang juga melindungi otak dari cedera. Empat tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak: tulang frontal, parietal, temporal dan oksipital. Pada dasar tengkorak terdiri dari tiga bagian fossa-fossa. Bagian fossa anterior berisi lobus frontal serebral bagian hemisfer: bagian tengah fossa berisi lobus parietal, temporal dan oksipital dan fossa posterior berisi batang otak dan medulla (Price, 2015)

1) Cerebrum

Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus. Substansia grisea terdapat pada bagian luar dinding serebrum dan Substansia alba menutupi dinding serebrum bagian dalam. Pada prinsipnya komposisi Substansia grisea yang terbentuk dari badan-badan sel saraf memenuhi korteks serebri, nucleus dan basal ganglia. Substansia alba terdiri dari sel-sel saraf yang menghubungkan bagian-bagian otak dengan bagian yang lain. Sebagian besar hemisfer serebri (telensefalon) berisi jaringan system saraf pusat (SSP). Area inilaah yang mengontrol fungsi motoric tertinggi, yaitu terhadap fungsi

(28)

individu dan intelegensi. Keempat lobus serebrum adalah sebagai berikut:

(1) Frontal

Lobus terbesar: terletak pada fossa anterior. Area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan menahan diri.

(2) Parietal

Sensori: Area ini menginterprestasikan sensasi. Sensasi rasa yang tidak berpengaruh adalah bau. Lobus parietal mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya. Kerusakan pada daerah ini menyebabkan sindrom hemineglem.

(3) Temporal

Berfungsi mengintegrasikan sensasi bau, pendengaran, dan ingatan jangka pendek sangat berhubungan dengan daerah ini.

(4) Oksipital

Terletak pada lobus anterior hemisfer serebri. Bagian ini bertanggung jawab menginterprestasikan penglihatan (Luklukaningsih, 2017).

2) Batang otak

Batang otak terletak pada fossa anterior. Bagian-bagian batang otak ini terdiri dari otak tengah, pons dan

(29)

medulla oblongata. Otak tengah (midbrain atau mesensefalon menghubungkan pons dan serebelum dengan hemisfer serebrum. Bagian ini berisi jaras sensorik dan motorik dan sebagai pusat reflex pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan serebelum antara otak tengah dan medula, merupakan jembatan antara bagian serebelum dan juga antara medulla dan seret. Pons berisi jaras sensorik dan motoric (Luklukaningsih, 2017).

3) Cerebelum

Serebelum terletak pada fossa kranial posterior dan terpisah hemisfer serebral, lipatan dura mater, tentorium selum. Serebelum mempunyai dua aksi yaitu meram dan menghambat dan bertanggung jawab yang luas terkoordinasi dan otak tengah pendukulus serebri superior, dengan pons parole oleh pendukulus serebri media dan dengan medulla oblongata. Serebelum berfungsi dalam melakukan tonus otot dan mengkoordinasikan gerakan otot pada sisi tubuh yang sama. Berat serebelum ±150 gram dari berat oatk seluruhnya (Luklukaningsih, 2017).

(30)

b) Sirkulasi Serebral

Sirkulasi serebral menerima kira-kira 20% dari jantung atau 750 ml per menit. Sirkulasi ini sangat dibutuhkan, karena otak tidak menyimpan makanan. Aliran darah otak ini unik, karena melawan arah gravitasi. Dimana darah arteri mengalir mengisi dari bawah dan vena mengalir dari atas. Kurangnya penambahan aliran darah kolateral dapat menyebabkan jaringan rusak irreversible berbeda dengan organ tubuh lainnya yang cepat mentoleransi bila aliran darah menurun karena aliran kolateralnya adekuat (Luklukaningsih, 2017).

c. Etiologi

Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain: benda tajam, trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat ; benda tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan diteruskan kepada otak. Penyebab lain :

a) Kecelakaan lalu lintas b) Jatuh

c) Pukulan

d) Kejatuhan benda

e) Kecelakaan kerja / industry f) Cedera lahir

(31)

Penyebab terbesar cedera kepala adalah kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dan terpeleset. Biomekanika cedera kepala ringan yang utama adalah akibat efek ekselarasi/deselerasi atau rotasi dan putaran. Efek ekselerasi/deselerasi akan menyebabkan kontusi jaringan otak akibat benturan dengan tulang tengkorak, terutama di bagian frontal dan frontal temperol. Gaya benturan yag menyebar dapat menyebabkan cedera aksonal difus (diffuse axonal injury) atau cedera coup-contra.coup (Malec et al, 2014).

d. Klasifikasi

Klasifikasi Menurut Patricia dkk (2015); Wijaya dan Putri (2015) derajat cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya cedera kepala, dan karakteristik morfologi lesi cedera kepala.

1) Derajat beratnya cedera kepala Menurut American College of Surgeon (2014), derajat cedera Kepala dapat dibagi menjadi 3 derajat, berdasarkan pemeriksaan GCS.

a) Dikatakan cedera kepala ringan (CKR) jika hasil pemeriksaan GCS 13-15.

b) Dikatakan cedera kepala sedang (CKR) jika hasil pemeriksaan GCS 9-12.

c) Dikatakan cedera kepala berat (CKB) jika hasil pemeriksaan GCS 3-8.

(32)

2) Karakteristik morfologi lesi cedera kepala Menurut American College of Surgeon (2014), morfologi cedera kepala dikelompokkan menjadi 2, yaitu fraktur kranium dan lesi intrakranial.

a) Fraktur kranium

Pemeriksaan CT Scan merupakan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk melihat secara jelas garis frakturnya. Tulang tengkorak dibagi menjadi 2, calvaria dan basis cranii.

(1) Frakur calvaria

Melalui pemeriksaan CT Scan dapat ditemukan adanya: bentuk fraktur garis ataupun bintang, terbuka ataupun tertutup, dan dapat pula depresi ataupun non-depresi.

(2) Fraktur basis cranii

Ditemukan adanya: ekimosis periorbita (Raccoon Eye Sign), ekimosis retro-aurikula (Battle Sign), kebocoran liquid cerebrospinal atau LCS (rhinorrea, ottorhea), dan dengan atau tanpa paresis nervus facialis (N. VII). b) Lesi intrakanial

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan lesi dapat dibagi menjadi lesi fokal dan lesi difus, dapat ditemukan manifestasi berupa cedera aksonal maupun hematoma

(33)

(Soertidewi, 2012). Contoh lesi fokal yaitu perdarahan intraserebral (ICH), perdarahan epidural (EDH), perdarahan subdural (SDH), dan perdarahan subarakhnoid (SAH) sedangkan komosio cerebral ringan, komosio cerebral berat, dan cedera aksonal difus merupakan contoh lesi difus.

(1) Perdarahan Intraserebral / Intracerebral Hematoma (ICH) dan kontusio. Kontusio serebral dapat ditemukan pada otak, batang otak, dan cerebellum tetapi pada beberapa kasus sering juga ditemukan di daerah lobus frontal ataupun lobus temporal. Perdarahan intraserebral (gambar 1) dapat terjadi bila kontusio cerebri dapat bertahan dalam kurun waktu beberapa hari atau jam (Ghufron, 2014). Dari hasil penelitian, terdapat hubungan yang bermakna mengenai pemeriksaan kadar C-reactive protein (CRP) dengan pasien ICH (Setianto, 2015).

(34)

Gambar 2.2. CT Scan Intraserebral Hematom

(2) Perdarahan epidural / Epidural Hematoma (EDH) Perdarahan epidural terletak pada lapisan epidural yaitu diantara duramater dan calvaria. Sebagai manifestasi pecahnya arteri meningea media, dapat ditemukan pada regio temporal atau temporoparietal. Interpretasi gejala klinik yang ditimbulkan dapat berupa gangguan kesadaran dan adanya interval lucid beberapa jam (biasanya kurang dari 24 jam). Keadaan tersebut dapat memiliki prognosis berupa gangguan kesadaran dan timbulnya gejala neurologi yang progresif, serta adanya defisit neurologis unilateral yaitu pupil anisokor, hemiparese, papil edema, dan gejala herniasi transtentorial serta refleks patologis babinski positif. Gangguan kesadaran, muntah, nyeri kepala, ataksia serebral, dan parese nervus kranialis ditimbulkan jika perdarahan epidural ditemukan di oksipital pada fossa posterior dengan fokus perdarahan dari sinus lateral. Berdasarkan pemeriksaan CT Scan, ciri khas yang ditimbulkan perdarahan epidural dengan gambaran lesi hiperdens menyerupai bentuk lensa cembung atau bikonveks,

(35)

terlihat pada gambar 2 (Ghufron, 2014)

(Sumber: Soetikno, 2016)

Gambar 2.3 CT Scan Epidural Hematom

(3) Perdarahan subdural / Subdural Hematoma (SDH) Sebagai manifestasi akibat rusaknya vena jembatan (bridging vein), sinus venosus dura mater, ataupun daerah arachnoidea yang rusak. Sehingga, fokus perdarahan selalu terlihat di antara duramater dan arachnoidea yang disebut sebagai perdarahan subdural. SDH dapat berupa akut maupun kronik. Interpretasi gejala klinis sering timbul nyeri kepala hebat dan muntah proyektil sebagai tanda peningkatan tekanan Gambar 2. CT Scan Epidural Hematom intrakranial. Perdarahan subdural yang masif dapat menekan otak, Ascending Reticular Activating System (ARAS) terganggu, dan juga timbul penurunan kesadaran. Berdasarkan pemeriksaan CT Scan kepala, gambaran khas yang ditimbulkan berupa lesi

(36)

hiperdens memiliki bentuk seperti bulan sabit, terlihat pada gambar 3 (Ghufron, 2014)

(Sumber: Soetikno, 2016)

Gambar 2.4. CT Scan Subdural Hematom

(4) Perdarahan subarachnoid / Subarachnoid Hematoma (SAH) Sebagian besar kasus cedera kranioserebral, 40% nya adalah kasus perdarahan subarachnoid. Kasus perdarahan subarachnoid traumatik sering terjadi pada regio oksipital atau parietal, sehingga tanda rangsang meningeal tidak dapat ditemukan. Sebagai manifestasi adanya perdarahan pada LCS akan mengakibatkan vasokonstriksi arteri rongga subarachnoid. Jika vasokonstriksi di otak terjadi terus menerus dan berkomplikasi menjadi vasospasme, dapat dipastikan adanya gangguan aliran darah otak. Interpretasi gejala klinis dapat berupa nyeri kepala hebat. Berdasarkan pemeriksaan CT Scan, dapat memperlihatkan adanya perdarahan pada ruang

(37)

subarachnoid. Adapun SAH non-traumatik yang umumnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak akibat adanya aneurisma. (Ghufron, 2014)

e. Patofisilogi

Trauma merupakan salah satu etiologi penyakit yang paling sering menimbulkan munculnya manifestasi penyakit berupa jejas atau luka pada tubuh manusia. Cedera kepala adalah contoh dari jenis trauma itu sendiri. Angka kejadian berkisar 15,3% per 100.000 populasi untuk Indonesia didapatkan dari data statistik WHO mengenai kejadian kematian seseorang akibat cedera dari kecelakaan lalu lintas merupakan angka yang cukup besar (WHO, 2017).

Di Indonesia, kesadaran masyarakat untuk berlalu lintas yang baik masih tergolong rendah. Adanya tingkat populasi yang besar dan semakin meningkat, peningkatan permintaan kebutuhan akan sarana transportasi memadai, serta sistem transportasi yang sedang berkembang terutama proses hukum lalu lintas yang belum cukup tegas menyebabkan angka kejadian kecelakaan lalu lintas terus bertambah. Dapat pula diakibatkan oleh faktor lainnya seperti pengendara yang sedang berkendara dengan kecepatan tinggi, pengendara yang mabuk saat berkendara akibat konsumsi alkohol, dan pengendara dibawah umur dari yang ditetapkan (Desvavri, 2014).

(38)

cedera kepala adalah edema otak dan pendarahan intrakranial. Edema otak terjadi karena cairan berpindah ke ruang ekstraseluler melalui endotel vaskuler yang rusak. Sedangkan pendarahan intrakranial dapat terjadi di ekstradural, subdural, ruang subarahnoid, dan dapat pula terjadi di dalam otak atau di dalam sistem ventrikel. Pendarahan subarahnoid dan pendarahan intraventrikel menyebabkan gangguan pada sirkulasi dan penyerapan cairan serebrospinal, sehingga dapat menyebabkan hidrosefalusn.Kerusakan otak iskemik disebabkan karena kontusio fokal dengan infark yang menyertai cedera otak. Hal ini menyebabkan gangguan perfusi jaringan otak. Otak yang normal dapat menjaga pasokan darah untuk kebutuhan metabolismenya melalui myogenik autoregulasi dalam pem buluh darah serebral. Kerusakan otak menyebabkan terganggunya kemampuan regulasi pasokan darah, dan aliran darah serebral menjadi lebih pasif terhadap perubahan tekanan darah sistemik.

f. Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cidera otak menurut Sylvia, (2005) dalam Wulandari R, (2016) :

a) Kebingungan saat kejadian dan kebingungan terus menetap setelah cidera.

(39)

b) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.

c) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku.

g. Komplikasi

Komplikasi dari cidera kepala menurut Kasenda M, (2018), adalah:

a) Perdarahan intra cranial kejang b) Parese saraf cranial

c) Meningitis atau abses otak d) Infeksi

e) Edema cerebri

f) Kebocoran cairan serobospinal h. Pemeriksaan Penunjang

a) CT scan kepala adalah standart baku dalam penatalaksanaan cedera kepala. Pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan adanya patah tulang, pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak.

b) Untuk pemeriksaan laboratorium, dokter umumnya akan merekomendasikan pemeriksaan darah tetapi lengkap, gula darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah dan elektrolit.

(40)

c) Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah komponen penting pada penilaian dan penatalaksanan cedera (Anurogo dan Usman, 2014).

d) MRI: digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. Serebral angiography: menunjukan anomalia sirkulasi serebral , seperti perubahan jarigan otak sekunder menjadi udema, perubahan dan trauma.

e) Serial EEG: dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.

f) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.

g) BAER: mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil h) PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak i) CSF, lumbalis punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi

perdarahan subarachnoid.

j) ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

k) Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial

(41)

l) Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran (Rendi dan Margaret, 2015).

i. Penatalaksanaan

Tujuan utama perawatan intensif adalah untuk mencegah kerusakan sekunder pada otak yang sudah cedera. Prinsip dasar perawatan TBI adalah jika jaringan saraf yang cedera diberikan kondisi optimal untuk pulih maka dapat kembali berfungsi normal. Terapi medis untuk cedera otak termasuk terapi cairan intravena, koreksi antikoagulasi, hiperventilasi sementara, manitol (Osmitrol), terapi cairan hipertonik, barbiturat, dan antikonvulsan (American College Surgeon, 2018).

1) Terapi Cairan Intravena

Untuk tindakan resusitasi dan mempertahankan normovolemia, anggota tim trauma memberikan cairan intravena, tranfusi darah, dan produk darah sesuai kebutuhan. Hipovolemia pada pasien dengan TBI sangat berbahaya. Dokter dan perawatan harus berhati-hati untuk tidak membebani pasien dengan cairan, dan menghindari penggunaan cairan hipotonik. Selain itu, menggunakan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia, yang dapat membahayakan otak yang cidera. Karenanya, larutan Ringer laktar atau normal saline direkomendasikan untuk resusitasi. Pantau kadar natrium serum

(42)

dengan hati-hati pada pasien dengan cedera kepala. Hiponatremia dikaitkan dengan edema otak dan harus dicegah.

2) Koreksi Antikoagulasi

Berhati-hatilah dalam menilai dan mengelola pasien dengan TBI yang menerima terapi antikoagulasi atau anti-platelet. Setelah mendapatkan rasio normalisasi internasional (INR), Dokter dan perawat harus segera mendapatkan CT scan pasien ketika diindikasikan. Normalisasi antikoagulasi yang cepat umumnya diperlukan.

3) Hiperventilasi

Pada kebanyakan pasien, normocarbia lebih disukai. Hiperventilasi bekerja dengan mengurangi PaCO2 dan menyebabkan vasokonstriksi serebral. Hiperventilasi yang agresif dan berkepanjangan dapat menyebabkan iskemia serebral di otak yang sudah cedera dengan menyebabkan vasokonstriksi serebral yang parah dan dengan demikian mengganggu perfusi serebral. Risiko ini sangat tinggi jika PaCO2 dibiarkan turun di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa). Hypercarbia (PCO2> 45 mm Hg) akan meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan tekanan intrakranial, dan karenanya harus dihindari. Gunakan hiperventilasi hanya dalam jumlah sedang dan untuk periode terbatas mungkin. Secara umum, lebih disukai untuk menjaga PaCO2 pada sekitar 35 mm Hg (4,7 kPa), nilai terendah dari kisaran normal (35 mm Hg - 45 mm Hg). Periode singkat hiperventilasi (PaCO2 dari 25 hingga 30 mm Hg / 3,3 hingga

(43)

4,7 kPa) mungkin diperlukan untuk mengelola penurunan neurologis akut sementara pengobatan lain dimulai. Hiperventilasi akan menurunkan ICP pada pasien yang memburuk dengan peningkatan hematoma intrakranial sampai dokter dapat melakukan kraniotomi darurat.

4) Mannitol

Mannitol (Osmitrol) digunakan untuk mengurangi peningkatan ICP. Sediaan yang paling umum adalah larutan 20% (20 g manitol per 100 ml larutan). Jangan memberikan manitol kepada pasien dengan hipotensi, karena manitol tidak menurunkan Intra Cranial Pressure (ICP) pada pasien dengan hipovolemia dan merupakan diuretik osmotik yang manjur. Efek ini selanjutnya dapat memperburuk hipotensi dan iskemia serebral. Kerusakan neurologis akut seperti ketika pasien yang diamati pupil melebar, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran adalah indikasi kuat untuk pemberian manitol pada pasien euvolemik. Dalam hal ini, berikan pasien bolus mannitol (1 g / kg) dengan cepat (lebih dari 5 menit) dan lakukan CT scan segera atau langsung ke ruang operasi jika lesi bedah kausatif sudah diidentifikasi. Jika layanan bedah tidak tersedia, pindahkan pasien ke perawatan definitive.

5) Terapi Cairan Hipertonik

Saline hipertonik juga digunakan untuk mengurangi peningkatan ICP, dalam konsentrasi 3% hingga 23,4%; ini mungkin merupakan agen yang lebih disukai untuk pasien dengan hipotensi, karena tidak bertindak sebagai diuretik. Namun, tidak ada perbedaan

(44)

antara manitol dan cairan hipertonik dalam menurunkan ICP, dan tidak ada yang cukup menurunkan ICP pada pasien hipovolemik. 6) Barbiturat

Barbiturat efektif dalam mengurangi ICP refrakter Terhadap tindakan lain, meskipun tidak boleh digunakan pada hipotensi atau hipovolemia. Selanjutnya, barbiturat sering menyebabkan hipotensi, sehingga tidak diindikasikan pada fase resusitasi akut. Paruh panjang dari kebanyakan barbiturate memperpanjang waktu untuk menentukan kematian otak, yang merupakan pertimbangan pada pasien dengan cedera yang kemungkinan tidak dapat disembuhkan. 7) Antikonvulsan

Epilepsi pasca trauma terjadi pada sekitar 5% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan cedera kepala tertutup dan 15% orang dengan cedera kepala parah. Tiga faktor utama yang terkait dengan tingginya insiden epilepsi akhir adalah kejang yang terjadi dalam minggu pertama, hematoma intrakranial, dan fraktur tulang tengkorak. Kejang akut dapat dikontrol dengan antikonvulsan, tetapi penggunaan antikonvulsan awal tidak mengubah hasil kejang traumatis jangka panjang. Antikonvulsan dapat menghambat pemulihan otak, sehingga harus digunakan hanya jika benar-benar diperlukan. Saat ini, fenitoin (Dilantin) dan fosfenytoin (Cerebyx) umumnya digunakan pada fase akut. Untuk orang dewasa, loading dose 1g fenitoin intravena yang diberikan tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis maintain 100 mg/8 jam, dengan dosis dititrasi untuk mencapai tingkat serum terapi. Valium (Diazepam) atau ativan

(45)

(Lorazepam) sering digunakan sebagai tambahan fenitoin sampai kejang berhenti. Kontrol kejang terus menerus mungkin memerlukan anestesi umum. Sangat penting untuk mengendalikan kejang akut sesegera mungkin, karena kejang yang berkepanjangan (30 hingga 60 menit) dapat menyebabkan cedera otak sekunder.

2. Konsep Tindakan Operasi (Craniotomy) a. Jenis- jenis perdarahan

a) Epidural Hematoma

Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan durameter akibat pecahnya pembuluh darah / cabang- cabang arteri meningeal media yang terdapat diantara duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.

Gejala- gejalanya :

a) Penurunan tingkat kesadaran b) Nyeri kepala

c) Muntah d) Hemiperese

e) Dilatasi pupil ipsilateral

f) Pernsapasan cepat dalam kemudian dangkal (regular) g) Penurunan nadi

(46)

h) Peningkatan suhu

b) Subdural Hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otka, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam- 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala- gejalanya : a) Nyeri kepala b) Bingung c) Mengantuk d) Menarik diri e) Berfikir lambat f) Kejang g) Udem pupil.

c) Intra serebral hematoma berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler dan vena. Gejala- gejalanya :

a) Nyeri kepala

(47)

c) Komplikasi pernapasan d) Hemiplegi kontra lateral e) Dilatasi pupil

f) Perubahan tanda- tanda vital d) Perdarahan subarachnoid

Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hamper selalu ada pada cedera kepala yang hebat.

Gejala- gejalanya : a) Nyeri kepala

b) Penurunan kesadaran c) Hemiparese

d) Dilatasi pupil ipsilateral e) Kaku kuduk

b. Pengertian

Craniotomy adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan pertumbuhan atau abnormalitas di dalam cranium, terdiri atas pengangkatan dan penggantian tulang tengkorak untuk memberikan pencapaian pada struktur intracranial (Astati Y, 2014).

Craniotomy adalah operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Brown CV, Weng J)

(48)

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Craniotomy adalah operasi pembukaan tengkorak (tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang di akibatkan oleh adanya luka yang ada di otak (Astati. Y, 2014).

c. Indikasi operasi kraniotomi

Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :

a) Status neurologis b) Status radiologis

c) Pengukuran tekanan intracranial

Secara umum indikasi operasi pada hematoma intracranial : d) Massa hematoma kira-kira 40 cc

e) Massa dengan pergeseran garis tengah lebih 5 mm

f) EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau kurang.

g) Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm (Japardi, 2014)

d. Tujuan

Operasi ini juga dilakukan untuk menghilangkan bekuan darah (hematoma), untuk mengendalikan perdarahan dari pembuluh darah lemah bocor (aneurisma serebral), untuk memperbaiki malformasi anteriovenosa (koneksi abnormal dari

(49)

pembuluh darah), untuk menguras abses otak,untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak, untuk melakukan biopsy atau untuk memeriksa otak (Astati. Y, 2014).

e. Etiologi

Dilakukannya Craniotomy karena :

a) Adanya benturan kepala yang diam terhadap benda yang sedang bergerak. Misalnya pukulan benda- benda tumpul, karena lemparan benda tumpul.

b) Kepala membentur benda atau objek yang secara relative tidak bergerak. Misalnya membentur tanah atau mobil (Astaty.Y, 2014).

f. Persiapan alat kesehatan dan instrument operasi a) Persiapan ruang (alat dan bahan operasi)

a) Alat non steril

Tabel 2.1

No. Nama Alat Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Meja operasi

Meja mayo dan meja instrument Meja troli

Suction pump Oksigen sentral Standar infus

Mesin diameter dan plat

Tempat sampah infeksi (kuning) Tempat sampah non infeksi (hitam)

1 1 1 1 1 1 1 1 1

(50)

10. 11.

Box safety

Korentang dan tempatnya

1 1

b) Persiapan instrument a) Alat steril

Tabel 2.2

No. Nama Alat Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Desinfeksi klem (sponge holding forceps)

Duck klem (towel klem) Dendi klem

Kocher klem (kocher steril forceps) Handvat mesz (scapel handle) Pinset sirurgis (tissue forceps) Pinset anatomi (dressing forceps) Culter coagulasi monopolar/bipolar Gunting benang Needle holder Nirbekken Kom sedang Kocher klem Canule suction Elos klem Gunting jaringan Gigli 1 5 5 2 1 2 2 1 1 2 1 1 2 1 3 2 1

(51)

b) Linen steril

Tabel 2.3

No. Nama kain Jumlah

1. 2. 3. 4. Jas operasi Duk kecil Duk besar Duk lubang 4 4 2 1

c) Bahan habis pakai dan alat non steril Tabel 2.4

No. Nama alat dan Bahan Jumlah 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kasa Benang dalam 2/0 Benang luar 3/0

Nacl 0,9% dan povidone iodine10% Handscoon steril Underpad Hepafix Gunting verban ± 5 2 ± 3 Secukupnya 4 2 Secukupnya 1

g. Tahap Drapping (Penutupan Area Luka)

Drapping merupakan prosedur menutup pasien yang sudah berada di atas meja operasi dengan menggunakan alat tenun steril, dengan tujuan member batas yang tegas pada daerah steril pembedahan.

(52)

Penutupan area operasi menggunakan 2 duk besar, 4 duk kecil dan 1 duk lubang. Dimana duk besar dipasang memanjang di bawah klien dan satu lagi dipasang melebar di bawah kakai klien menggantung turun ke bawah. Duk kecil digunakan untuk menutup keempat sisi luka yang akan operasi kemudian dijepit menggunakan duk klem dan terakhir duk lubang dipasang tepat di atas daerah yang akan di operasi.

h. Prosedur Pembedahan

a) Pasien berbaring terlentang dengan posisi supine dibawah pengaruh general anestesi.

b) Melakukan time out.

c) Membersihkan dan drapping prosedur d) Mengidentifikasi lapangan operasi

e) Dilakukan insisi question mark perdalam hingga pericranium f) Dikalukan bor, dilanjutkan dengan cranietomi dengan

menggunakan craniatom g) Evakuasi hematom h) Melakukan sign out

i) Menjahit luka operasi lapis demi lapis

j) Membersihkan luka operasi dengan NaCl 0.9 % keringkan dengan kasa di tutup dengan supratur dan kasa kering

k) Operasi selesai, membersihkan pasien dan peralatan l) Klien dirapikan dan dipindahkan ke ruang pemulihan.

(53)

3. Konsep Asuhan Keperawatan a. Pengkajian

Perioperatif merupakan tahapan dalam proses tindakan pembedahan yang dimulai dari fase pre operative (pra bedah), intra operative (bedah), dan post operative (pasca pembedahan) (Hidayat dan Uliyah, 2014). Keperawatan perioperatif merupakan tindakan yang bermula dari rumah kemudian dilanjutkan dengan tindakan pembedahan dan proses penyembuhan, hingga sampai kembali lagi ke rumah (Black dan Hawks, 2014).

Periode atau tahapan perioperatif terdiri atas tiga tahapan, yaitu: 1) Pre operative

Merupakan tahap awal dari keperawatan perioperatif yang mana dimulai saat seorang direncanakan untuk dilakukan tindakan operasi dan berakhir hingga pasien sampai di meja operasi (Hidayat dan Uliyah, 2014).

Pada tahap ini setiap pasien mulai menunjukkan respon yang berbeda-beda terhadap pembedahan. Oleh karena itu, diperlukan rencana keperawatan yang diperlukan guna mengidentifikasi adanya potensi risiko dan komplikasi yang mungkin muncul selama fase perioperatif. Pada tahap ini mulai dilakukan pengkajian pre operative meliputi riwayat kesehatan, riwayat psikososial, pemeriksaan fisik, pengkajian kognitif, dan uji diagnostik (Black dan Hawks, 2014).

(54)

a) Pada breathing didalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) biasanya untuk menilai pernapasan, perhatikan proses respirasi spontan dan catat kecepatan, kedalaman serta melkukan usahanya. Periksa dada untuk mengetahui menggunaan otot bantu pernapasan dan gerakan naik turunnya dinding dada secara simetris saat respirasi (Ulya, Ratih K., Kartikawati N., & Drajat, 2017).

b) Pada blood didalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) menampakkan Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).

c) Pada Brain didalam teori menerangkan bahwa pasien pada Trauma Brain Injury (TBI) biasanya ditandai dengan gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,

(55)

baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis. Pasien dengan cedera kepala sedang mengalami penurunan kesadaran kurang dari 24 jam (GCS 9-12) sedangkan pada pasien dengan cedera berat mengalami koma (GCS 3-8) Dilatasi pupil dapat terjadi akibat peningkatan tekanan atau menyebarnya bekuan darah pada otak sehingga mendesak otak tepatnya di korteks serebri pada lobus oksipital. Kejang dapat terjadi akibat kerusakan lobus frontalis dan juga akibat dari manifestasi klinis peningkatan TIK (Dash & Chavali, 2018).

d) Pada Bladder didalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) didapatkan Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.

e) Pada pemeriksaan Bowel didalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi (Subhan, 2017).

f) Pada bone di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) Pasien cidera kepala

(56)

sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

2) Intra operative

Merupakan tahap kedua setelah tahap pre operative dimana pada tahap ini sering disebut dengan tahap pembedahan. Tahap intra operative dimulai sejak pasien ditransfer ke meja operasi dan berakhir hingga pasien dipindahkan ke ruang recovery atau pemulihan (Hidayat dan Uliyah, 2014).

Pada tahap ini, tindakan keperawatan berfokus pada kondisi emosional dan juga faktor fisik seperti keamanan, posisi tubuh, menjaga asepsis, dan mengontrol kondisi ruang bedah (Black dan Hawks, 2014).

a) Breathing : Di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) Pasien tidak sadar karena pasien dalam pengaruh anastesi dan dilakukan evaluasi seperti pola napas, tanda-tanda obstruksi, pernapasan cuping hidung, frekuensi napas, pergerakan rongga dada:

(57)

apakah simetris atau tidak, suara napas tambahan: apakah tidak ada obstruksi total, udara napas yang keluar dari hidung, sianosis pada ekstremitas, auskultasi: adannya wheezing atau ronchi (Ulya, Ratika dkk 2017).

b) Blood : Di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) Perawat akan memasang manset tekanan darah. Manset akan terpasang pada lengan pasien selama pembedahan berlangsung sehingga ahli anastesi dapat mengkaji tekanan darah pasien. Selama operasi berlangsungg akan ada perubahan tekanan darah, frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia) HR, suhu .

c) Brain : Di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) biasanya menampakkan kesadaran pasien tersedasi. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran pasien di pengaruhi oleh efek dari obat anestesi umum yang dimasukkan melalui pembuluh darah sehingga pasien tidak sadar dan tidak merasakan nyeri.

d) Bladder : Di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) Kandung kemih harus selalu di kosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu

(58)

rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial cenderung akan meningkat (Mika, 2018).

e) Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (Subhan, 2017).

f) Bone : Di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) Pada pengkajian bone, kaji apakah ada fraktur pada tulang tengkorak, integritas kulit, sianosis, kuku, kelembaban dan warna (Mika, 2017).

3) Post operative

Merupakan tahapan terakhir dari periode perioperatif dimana dimulai sejak pasien berada di ruang pemulihan dan berakhir hingga evaluasi selanjutnya (Hidayat dan Uliyah, 2014).

Pada tahap ini, tindakan keperawatan tetap memberi peran penting dalam mengembalikan pasien pada fungsi yang optimal. Tahap post operative melibatkan dua tahap, yakni periode pemulihan segera dan pemulihan pasca operasi. Pada pasien bedah rawat jalan, pemulihan biasanya akan berlangsung hanya 1 hingga 2 jam, dan pemulihan terjadi di rumah. Sedangkan pasien bedah yang dirawat di rumah sakit memerlukan waktu pemulihan selama beberapa jam dan

(59)

menjalani proses penyembuhan selama 1 hari bahkan lebih tergantung pada tingkat operasi dan respon pasien (Potter dan Perry, 2010).

a) Breathing : Di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) Pada pasien yang melakukan operasi, obat anastesi dapat menyebabkan depresi pernafasan sehingga perlu waspada terhadap penfasan yang dangkal. Dan lambat serta batuk yang lemah. Frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan, kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi nafas, dan membrane mukosa harus dipantau selama pasien berada diruang pemulihan.

b) Blood : Di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) Pasien mengalami kompilikasi kardiovaskuler akibat kehilangan darah secara actual dan potensial dari tempat pembedahan, balance cairan, efek samping anastesi, ketidakseimbangan elektrolit dan depresi mekanisme resulasi sirkulasi normal. Masalah yang sering terjadi adalah pendarahan. Kehilangan darah secara eksternal melalui drain. Perdarahan dapat menyebabkan turunnya tekanan darah, meningkatnya kecepatan denyut jantung dan pernafasan. Apabila perdahan terjadi eksternal,

(60)

memperhatikan adanya peningkatan drainase yang mengandung darah pada balutan atau melalui drain.

c) Brain : Di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) Setelah dilakukan pembedahan, pasien melakukan tingkat kesadaran yang berbeda. Oleh karena itu, perawat harus memonitor tingkat respon pasien dengan berbagai cara. Misalnya dengan memonitor fungsi pendengaran dan penglihatan. Apakah pasien dapat merespon dengan baik ketika diberikan stimulus atau tidak sama sekali. Ataupun juga dapat memonotor tingkat kesadaran dengan menentukan Gasglow Coma Scale (GCS).

d) Bladder : Di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) Kandung kemih perlu dipantau selama pasien berada diruang pemulihan. Bila produksi urine tertampung di vesika urinaria maka dapat meningkatkan tekanan intracranial. Oleh karena itu pasien dengan post op harus tetap menggunakan kateter urine e) Bowel : Di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan

Trauma Brain Injury (TBI) biasanya menampakkan terjadi penurunan fungsi pencernaan, seperti mual dan muntah. f) Bone : Di dalam teori menerangkan bahwa pasien dengan

(61)

pergerakannya akan terbatas karena masih mengalami penurunan kesadaran.

b. Pemeriksaan Penunjang Test laboratorium :

Terjadi leukositosis dan trombositosis meningkat c. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon individu, keluarga, dan komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan ataupun kerentanan respon terkait masalah kesehatan. Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien dengan Trauma Brain Injury (TBI) menurut NANDA 2015-2017 Herdman & Kamitsuru, (2015) adalah:

1) Diagnosa keperawatan pre operatif

Diagnosa keperawatan pada pasien Trauma brain injury yang dapat muncul pada pre operatif yaitu :

a) Nyeri akut

b) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral c) Ketidakefektifan bersihan jalan napas

2) Diagnosa keperawatan intra operatif a) Resiko infeksi

Factor resiko : prosedur invasive b) Resiko cedera

(62)

3) Diagnose keperawatan post operatif

b) Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh : hipotermi

Factor resiko : obat yang menyebabkan hipotermi, pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan, prosedur invasive.

c) Resiko injury

(63)

48 d. Intervensi

1) pre operatif

Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria Hasil (NOC)

Intervensi Keperawatan (NIC)

Nyeri akut

Definisi: pengalaman sensorik

dan emosional tidak

menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau potensial, atau yang di gambarkan sebagai kerusakan, awitan yang tiba-tiba atau lambat dengan intensitas ringan hingga berat dengan durasi kurang dari 3

Outcomes : 1. Control nyeri (1605) 2. Tingkat nyeri (2102) 3. Tingkat Ketidaknyamanan (2109)

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 8

jam, pasien akan

menunjukkan kemampuan

Manajemennyeri (1400) 1. Lakukan pengkajian nyeri

secara komprehensif 2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan 3. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau

(64)

bulan

Batasan karakteristik :

a. bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri untuk pasien

yang tidak dapat

mengungkapkannya. b. Perilaku ekspresif c. Ekspresi wajah nyeri

d. Sikap tubuh melindungi area nyeri

e. Putus asa f. Dilatasi pupil

Faktor yang berhubungan :

mengontrol nyeri,

menunjukkan tingkat nyeri ringan dan menunjukkan tingkat kenyamanan dengan kriteria hasil :

1. 160502 Klien mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

2. 160504Klien mampu mengontrol nyeri (mampu menggunakan tehnik non farmakologi untuk mengurangi nyeri)

5. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (teknik Napas dalam)

Manajemenmedikasi (2380) 1. Tentukan lokasi,

karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri Sebelum pemberian obat

2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi

3. Cek riwayat alergi

(65)

a. Agen cedera biologis b. Agen cedera kimiawi c. Agen cedera fisik

3. 210201 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri

4. 210901 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

sesuai instruksi yang diberikan

5. Monitor tanda-tanda vital setelah pemberian obatAtur ketersediaan produk darah untuk transfusi, jika perlu

Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

Definisi: sirkulasi beresiko mengalami penurunan siekulasi darah ke otak

Factor risiko a. Diseksi arteri

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 8 jam maka diharapkan suplai aliran darah keotak lancar dengan kriteria hasil :

1. Sistol dan diastole dalam rentang yang di harapkan.

Monitor tanda-tanda vital(6680)

1. Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan

2. Monitor dan laporkan tanda dan gejala

(66)

b. Tumor otak c. Hipertensi d. Cedera kepala e. Infark miokark akut

2. Tidak ada tanda-tanda peningkatakan tekanan intracranial (tidak lebih dari 15 mmhg).

3. Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan kemampuan.

4. Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi. 5. Memproses informasi. 6. Membuat keputusan

dengan benar

7. Menunjukkan fungsi sensori motori cranial

hipotermia dan

hipertemia

3. Monitor irama dan laju pernapasan

4. Monitor pola pernapasan abnormal

5. Monitor warna kulit, suhu, dan kelembaban

Monitor neurologi (2620) 1. Pantau ukuran pupil,

bentuk, kesimetrisan, dan reaktifitas

2. Monitor tingkat kesadaran

(67)

yang utuh : tingkat kesadaran membaik, tidak ada gerakan gerakan involunter.

3. Monitor tingkat orientasi 4. Monitor kecenderungan

Skala Koma Glasgow 5. Monitor reflex batuk dan

muntah

6. Monitor karakteristik berbicara : kelancaran, adanya aphasia, atau kesulitan kata

Ketidakefektifan bersihan jalan napas

Definisi: ketidakmampuan membersihkan secret atau obstruksi jalan napas untuk

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 8 jam diharapkan (0410) Status Pernapasan: Kepatenan Jalan Napas dengan indicator

Manajemen jalan napas : 1. Lakukan pengisapan lendir 2. Auskultasi paru secara

periodic

Gambar

Gambar 2.3 CT Scan Epidural Hematom
Gambar 2.4. CT Scan Subdural Hematom

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menentukan keputusan jumlah bed yang diperlukan sesuai dengan keinginan pihak rumah sakit digunakan metode tingkat aspirasi (aspiration level method). Untuk itu

pihak pemegang saham dengan manajerial perusahaan. Oleh sebab itu salah satu cara untuk menekan permasalahan yang mungkin timbul adalah perusahaan harus membagikan

Perbedaan antara hasil yang diperoleh pada penelitian ini dengan sejumlah penelitian terdahulu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain seperti

Segala puji ucapan syukur kepata Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa mempimpin, dan karena kasih karuania-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

Pada saat saat tertentu atau khususnya saat client akan terhubung (assosiate) atau ketika akan memutuskan diri (deauthentication) dari sebuah jaringan wireless, maka

Sebutkan Pilihan - Pilihan konfigurasi Jaringan Local Area Networks (LANs) dan Wide Area Networks (WANs), Berikan masing-masing gambar sketsanyaa. Sebutkan Tahap-tahap

Pada penelitian ini akan dikaji permasalahan realisasi dari fungsi transfer dalam bentuk kanonik terkontrol, yaitu jika diberikan suatu fungsi transfer, maka bagaimanakah