• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII PENGEMBANGAN KAPASITAS PEREMPUAN PENGUSAHA MELALUI KEADILAN GENDER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VII PENGEMBANGAN KAPASITAS PEREMPUAN PENGUSAHA MELALUI KEADILAN GENDER"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUSAHA MELALUI KEADILAN GENDER

7.1 Analisis Pembagian Peran Gender

Pembagian peran yang dimaksud dalam analisis ini adalah pembagian peran antara perempuan pengusaha dengan pendampingnya (suami) atau anggota rumah tangga lainnya. Peran produktif yang dilakukan oleh perempuan pengusaha mulai dari mempersiapkan modal usaha, bahan baku, proses produksi, pemasaran dan promosi usaha. Data di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan pengusaha memiliki peran produktif yang dominan baik di dalam komunitas maupun di luar komunitas. Berbeda dengan kasus perempuan pengusaha dalam industri genteng di Klaten dan Banyumas (Dewayanti, 2003), perempuan pengusaha pada sentra rajutan Binongjati tidak memiliki hambatan dalam melakukan peran-peran produktifnya di luar wilayah sentra. Tidak ada batasan bahwa peran ke luar wilayah domestik harus dilakukan oleh laki-laki. Perempuan pengusaha melakukan perannya di wilayah domestik maupun publik.

Keterlibatan perempuan pengusaha dalam industri rajutan di Binongjati juga terkait dengan peran gender mereka di rumah tangga. Seperti halnya penelitian Ihromi pada industri rumahan di Jawa Timur pada tahun 1990 dan Boserup (1984), sebagian besar perempuan pengusaha di Binongjati tertarik untuk terlibat dalam industri rajutan karena lokasi usaha rajutan yang dapat dilakukan di rumah, sehingga mereka memiliki keleluasaan untuk berusaha sambil mengurus rumah dan mengawasi anak-anak.

Peran perempuan dalam melakukan peran produktif maupun reproduktif lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki. Pada kasus Ibu Dedeh, jumlah alokasi waktu yang digunakan untuk melaksanakan peran produktif lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Rata-rata setiap hari Ibu Dedeh menghabiskan waktu sekitar 13 jam untuk melakukan peran produktif, sedangkan suaminya yang memiliki pekerjaan lain melakukan peran produktif selama sembilan jam. Terlihat bahwa peran produktif yang dilakukan perempuan lebih dominan daripada laki-laki. Dalam usaha rajut yang dikelolanya, tidak ada pembagian peran dengan

(2)

suami untuk melakukan kerja-kerja produktif dalam rajutan. Semua kegiatan dalam rajutan dilakukan oleh Ibu Dedeh sendiri.

“Dari sebelum nikah juga saya sudah ngurus rajut ini sendiri, jadi pas nikah suami gak keberatan saya tetap buka rajut. Semuanya saya urus sendiri, soalnya suami punya usaha lain.” (Dedeh, 31 tahun)

Tabel 7.1 Profil Aktivitas Rumah Tangga Ibu Dedeh Pada Sentra Rajut Binongjati Tahun 2008

Profil Aktivitas

Pelaksana Aktivitas Waktu (jam) Jenis Aktivitas Rutin

Harian Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Lokasi 1 Produktif √ √ 13 9 D/L Reproduktif a. Mengasuh anak √ √ 8 3 D b. Menyiapkan makan √ 1 D c. Mencuci √ 1 D d. Menyetrika √ 1 D e. Membersihkan rumah √ 0,5 D f. Belanja kebutuhan sehari-hari √ 1 D/L

Sumber : Data Lapangan Tahun 2008, diolah

Ket : D = Di dalam komunitas, L = Di luar komunitas

Aktivitas rutin harian dalam hal peran reproduktif pun terlihat bahwa peran perempuan lebih dominan daripada laki-laki. Dari sekitar 15,5 jam waktu yang dihabiskan untuk kegiatan reproduktif, hanya 19 persen (tiga jam) saja yang dilakukan oleh laki-laki. Peran reproduktif yang dibagi antara perempuan dan laki-laki adalah peran pengasuhan anak. Ibu Dedeh memiliki dua orang anak yang masih berumur balita. Ketika mengurus rajutan anak-anaknya diasuh oleh pengasuh anak-anak. Namun ketika anak-anaknya tidak bisa ditinggal dengan pengasuh, maka anak-anaknya dibawa ke lokasi rajutan jika kegiatan rajutan tidak terlalu sibuk, dan jika sedang sibuk (dikejar target pengiriman barang) maka anak-anaknya dititipkan ke orang tuanya. Pada kasus Ibu Dedeh, kadangkala anak menjadi hambatan bagi pengembangan kapasitasnya karena pembagian peran reproduktif khususnya pengasuhan anak tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki.

(3)

Pada kasus Ibu Dedeh peran reproduktif selain pengasuhan anak dilakukan oleh perempuan, tidak ada pembagian peran dengan laki-laki. Untuk mengatasi beban yang berlebih, Ibu Dedeh mengambil strategi dengan membagi sebagian peran reproduktifnya dengan orang lain, seperti pengasuhan anak ketika mengurus usaha rajut dibagi dengan pembantu rumah tangga, dan menyiapkan makan biasanya tidak pernah memasak sendiri melainkan membeli dari warung makan.

Pembagian peran gender pada kasus Ibu Wati agak sedikit berbeda dengan Ibu Dedeh. Suami Ibu Wati ikut membantu usaha rajutan Ibu Wati, sehingga terjadi pembagian kerja kegiatan yang sama dalam peran produktif antara Ibu Wati dengan suaminya. Dalam usaha rajut ini suami Ibu Wati berperan sebagai pekerja keluarga tidak dibayar. Usaha rajut ini sudah dilakukan Ibu Wati sebelum menikah, ketika menikah suaminya ikut membantu usahanya. Dalam peran produktif ini sudah ada pembagian kerja, waktu yang dihabiskan masih lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Hal ini terkait dengan kegiatan administrasi dan penyiapan bahan baku yang dilakukan oleh perempuan, sedangkan laki-laki terbatas pada kegiatan produksi lainnya seperti merajut, melinking, dan melipat.

Tabel 7.2 Profil Aktivitas Rumah Tangga Ibu Wati Pada Sentra Rajut Binongjati Tahun 2008

Profil Aktivitas

Pelaksana Aktivitas Waktu (jam) Jenis Aktivitas Rutin

Harian Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Lokasi1

Produktif √ √ 13 10 D/L Reproduktif a. Mengasuh anak √ √ 8 2 D b. Menyiapkan makan √ 1 D c. Mencuci √ 0,5 0,5 D d. Menyetrika √ 1 D e. Membersihkan rumah √ 0,5 0,5 D f. Belanja kebutuhan sehari-hari √ 1 D/L

Sumber : Data Lapangan Tahun 2008, diolah

Ket : D = Di dalam komunitas, L = Di luar komunitas

Peran reproduktif yang dilakukan oleh Ibu Wati lebih dominan daripada yang dilakukan suaminya, walaupun dalam rumah tangga ini sudah ada

(4)

pembagian peran antara perempuan dan laki-laki. Peran reproduktif yang dilakukan oleh Ibu Wati dikerjakan pada saat waktu luang kerja produktifnya, bahkan terkadang dilakukan dalam waktu yang bersamaan dengan kerja produktif. Panjangnya waktu yang diperlukan untuk melakukan peran produktif membuat Ibu Wati mengalami kesulitan untuk menemani anaknya belajar. Untuk mengatasi hal ini Ibu Wati mempercayakan kegiatan belajar anaknya dengan guru les. Penyediaan makan sehari-hari pun dilakukan dengan bantuan warung makan, Ibu Wati tidak pernah masak.

Berbeda dengan kedua kasus sebelumnya, kasus Ibu Rianti menunjukkan peran yang dominan dari seorang istri dalam hal peran produktif maupun reproduktif. Suami Ibu Rianti bekerja di luar kota, seminggu sekali pulang ke rumah. Ibu Rianti dan suaminya sama-sama melakukan peran produktif, suami Ibu Rianti seorang PNS di Jakarta. Dilihat dari alokasi waktu yang dihabiskan, Ibu Rianti lebih dominan melakukan peran produktif. Suami Ibu Rianti yang pulang seminggu sekali menjadikan Ibu Rianti bertanggung jawab atas keberlangsungan rumah tangganya setiap hari.

“Semua aku urus sendiri rajut ini, suamiku PNS di Jakarta, seminggu sekali pulangnya, jadi ya rajut ya rumah, anak-anak aku yang urus. Aku udah hobi sama rajut ini, rajut itu asyik, semua aku urus, aku ngejalani semuanya dan aku ingin tahu sampai dimana aku kalah” (Rianti, 40 tahun)

Tabel 7.3 Profil Aktivitas Rumah Tangga Ibu Rianti Pada Sentra Rajut Binongjati Tahun 2008

Profil Aktivitas

Pelaksana Aktivitas Waktu (jam) Jenis Aktivitas Rutin

Harian Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Lokasi 1 Produktif √ √ 14 8 D/L Reproduktif a. Mengasuh anak √ 8 D b. Menyiapkan makan √ 1 D c. Mencuci √ 1 D d. Membersihkan rumah √ 1 D e. Belanja kebutuhan sehari-hari √ 1 D/L

Sumber : Data Lapangan Tahun 2008, diolah

(5)

Pada kasus Ibu Rianti, peran reproduktif tidak dibagi dengan suami dikarenakan suaminya berada di luar kota. Hal ini berbeda dengan kasus Ibu Indah (58 tahun), walaupun suaminya setiap hari tinggal satu rumah dengannya peran reproduktif dilakukannya sendiri, tidak ada pembagian peran. Ibu Indah beranggapan bahwa kerja reproduktif adalah sudah menjadi kewajiban perempuan dan kodrat seorang istri. Menurut Ibu Indah, rumah tangganya adalah rumah tangga jaman dulu, sehingga sulit untuk mengkomunikasikan hal-hal terkait pembagian peran dalam pekerjaan rumah tangga. Hal ini dikarenakan adanya ego dari pihak suami yang menganggap bahwa suami lebih berkuasa dari istri.

“Capek oge sendiri, tapi itu mah peran istri jadi ya dihandle semua, sepertinya kita itu susah untuk saklek. Mungkin jamannya beda ya, kalau seusia ibu ini hal-hal seperti pembagian kerja rumah tangga itu sulit dibicarakan dengan suami, jadi ya dihandle aja semua sama istri. Sulit berkomunikasi dengan suami tentang hal ini, ada gap karena ego kekuasaan suami lebih tinggi dari istri jadi sulit” (Indah, 58 tahun).

Kondisi Ibu Indah seolah-olah berada pada dua dunia yang berbeda. Dalam melakukan peran produktifnya selaku pengusaha rajut Ibu Indah berada pada masa kini, yang dituntut untuk senantiasa mengembangkan kapasitasnya guna keberlangsungan usaha. Namun di sisi lain, di dalam rumah tangga Ibu Indah menghadapi kondisi jaman dulu di mana suami memiliki kekuasaan yang dominan, beban kerja reproduktif harus ditanggulanginya sendiri. Walaupun berat beban yang harus dikerjakan oleh Ibu Indah, semuanya tetap dikerjakannya sendiri.

Berdasarkan paparan beberapa kasus tersebut terlihat bahwa perempuan menjadi dominan dalam melakukan peran produktif dikarenakan oleh beberapa hal, seperti tidak adanya orang lain di dalam rumah tangganya yang bisa diajak untuk berbagi peran produktif. Hal lain yang juga menjadi sebab utama dominannya peran perempuan dalam peran produktif ini sebagai strategi dari perempuan pengusaha tersebut untuk menyelamatkan kesejahteraan dan kelanjutan kehidupan keluarganya, terutama anak-anaknya. Ketika suami sebagai kepala rumah tangga tidak mampu memperoleh penghasilan untuk menghidupi rumah tangganya maka perempuan mengambil alih peran ini. Perempuan pengusaha melihat adanya peluang yang ditawarkan dari usaha rajutan untuk

(6)

memperbaiki kondisi kehidupan keluarganya, maka mereka secara total melakukan peran-peran produktifnya, mereka menyadari bahwa dari usaha rajutan mereka bisa memperbaiki kualitas kehidupan anak-anaknya. Menurut keterangan responden Indah (58 tahun), perempuan lebih mampu mengurus usaha dan mampu meningkatkan kesejahteraan rumah tangganya dari keuntungan usaha.

Dominannya peran perempuan pengusaha dalam melakukan peran produktif juga diiringi dengan dominannya peran mereka di dalam melakukan peran reproduktif, baik reproduktif biologis, reproduktif tenaga kerja, dan reproduktif sosial. Dalam beberapa kasus ada beberapa responden yang melakukan peran reproduktifnya sendiri, seolah-olah peran ini tidak dapat disubstitusikan kepada orang lain, mereka menganggap bahwa peran reproduktif tenaga kerja adalah kodrat seorang perempuan, sudah menjadi resiko seorang istri. Beberapa kasus lain menunjukkan adanya pembagian peran reproduktif yang dilakukan dengan suami, anggota rumah tangga lain, dan dengan orang lain, seperti pembantu, pemilik warung makan, dan guru les.

Masalah pengurusan rumah, seperti mencuci, menyapu, beres-beres rumah dilakukan bersama-sama dengan suami atau anggota rumah tangga lainnya, atau dilakukan oleh pembantu rumah tangga. Masalah penyiapan makan anggota rumah tangga sebagian dilakukan oleh pihak lain, yaitu pemilik warung makan karena sebagian besar perempuan pengusaha tidak pernah memasak untuk makan anggota rumah tangganya tetapi mereka membeli masakan matang dari warung, sebagian kecil perempuan pengusaha melakukan peran ini sendiri. Terkait dengan pendidikan anak, beberapa responden memasukkan anaknya ke sekolah dengan sistem full day sehingga waktu anak banyak dilakukan di sekolah, atau mereka mengirmkan anaknya ke tempat les, sehingga tidak perlu menemani anak belajar di rumah akibat keterbatasan waktu yang dimiliki.

Kesadaran untuk melakukan pembagian peran sudah terlihat dari beberapa responden dan pasangan responden. Ketika perempuan sudah memiliki beban berat dalam mengurus rajut, ada kesadaran dari pasangan atau anggota rumah tangga lainnya untuk berbagi peran, baik peran produktif pada industri rajutan maupun peran-peran reproduktif. Walaupun ada beberapa responden dan pasangan responden (suami) yang masih belum memiliki kesadaran bahwa

(7)

sebetulnya peran reproduktif bukan semata-mata peran yang harus dilakukan oleh perempuan, tetapi bisa disubsitusikan dengan pihak lain.

Jika dibandingkan antara peran produktif dan peran reproduktif yang dilakukan oleh perempuan pengusaha, maka proporsi terbesar yang dilakukan adalah peran produktif. Dilihat dari sisi curahan waktu, maka curahan waktu terbesar adalah dalam mengurus rajutan. Secara rata-rata mereka mengelola usaha rajut dari pukul 8 pagi sampai dengan pukul 11 malam. Apalagi jika waktu pengiriman barang maka sampai dengan pukul tiga dinihari mereka masih mempersiapkan barang yang akan dikirim. Walaupun dari sisi waktu kadangkala sulit untuk memisahkan alokasi waktu produktif dan reproduktif, karena kadangkala kedua peran ini dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Adanya fleksibilitas waktu diakui oleh beberapa responden sebagai alasan utama mereka melakukan usaha ini, selain bisa mendapatkan uang untuk kehidupan rumah tangganya, mereka juga masih bisa melakukan kegiatan-kegiatan domestik rumah tangga terutama mengawasi anak-anak di rumah. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Ihromi (1995) di Jawa Timur dan Boserup (1984).

Dilihat dari sisi pembagian peran, sebagian besar responden mengungkapkan bahwa peran produktif dalam usaha rajutan tidak bisa disubstitusikan kepada orang lain karena kadangkala usaha gagal ketika peran ini dilimpahkan kepada orang lain, termasuk suaminya sendiri. Di satu sisi terlihat adanya penumpukkan beban kerja pada perempuan pengusaha ini, namun di sisi lain hal ini adalah peluang bagi perempuan untuk meningkatkan taraf kehidupan rumah tangganya, terutama anak-anaknya. Untuk mengatasi beban ganda ini, strategi yang dipilih adalah dengan melimpahkan sebagian peran reproduktif kepada orang lain atau mengurangi peran domestiknya, di mana sebagian besar peran reproduktif tersebut tidak disubstitusikan ke suaminya melainkan disubstitusikan ke orang lain.

7.2 Akses Dan Kontrol Perempuan pengusaha Terhadap Sumberdaya

Akses (peluang) adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumberdaya tersebut. Adapun kontrol (penguasaan)

(8)

adalah kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumberdaya. Kerangka Harvard dapat digunakan untuk melihat profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat. Berdasarkan data di lapangan secara umum profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat dapat diihat pada Tabel 7.4.

Tabel 7.4 Profil Akses dan Kontrol Terhadap Sumberdaya dan Manfaat Rumah Tangga Perempuan pengusaha Pada Sentra Rajut Binongjati Tahun 2008

Akses Kontrol Sumberdaya Perempuan Laki-laki Dominan Perempuan Setara Dominan Laki-laki

Modal √ √ √ Alat Produksi √ √ √ Tenaga Kerja √ √ √ Cash/Uang √ √ √ Keterampilan √ √ √ Pelatihan √ √ √ Tabungan √ √ √ Manfaat Aset Kepemilikan √ √ √ Pendidikan √ √ √ Kebutuhan Dasar √ √ √ Pelatihan √ √ √ Program Pembinaan √ √ √

Sumber : Data Lapangan Tahun 2008, diolah

Hanya beberapa responden yang merasa masih mengalami kesulitan dalam mengakses modal. Kesulitan mengakses modal ini disebabkan oleh kurangnya informasi terkait bantuan/pinjaman permodalan baik dari pemerintah maupun dari lembaga keuangan serta tidak memiliki aset yang dapat dijadikan agunan. Seperti yang diutarakan responden Susi (36 tahun).

“Ayeuna mah modal sesah keneh, nu sanes mah kamari kenging bantosan ti pamarentah, tapi abdi mah teu uninga aya bantosan. Duka atuh da sok kakantun wae beritana. Bade nambut ka Bank sesah oge da teu gaduh nu kangge ditandonkeunana. Nya ayeuna mah saaya-aya we.”

(Sekarang modal masih susah, yang lain kemarin dapat bantuan dari pemerintah, tapi saya gak tahu ada bantuan. Gak tau ya suka ketinggalan terus beritanya. Mau pinjam ke Bank susah juga tidak punya agunannya. Ya sekarang seadanya saja)

(9)

Rendahnya akses informasi terhadap sebagian pengusaha perempua merupakan salah satu kelemahan dari sosialisasi program pemerintah yang belum menyentuh seluruh perempuan pengusaha. Beberapa perempuan pengusaha lainnya dapat dengan mudah mengakses informasi program-program bantuan permodalan baik dari pemerintah, BUMN, maupun dari lembaga keuangan. Tidak ada kendala berkaitan dengan gender dalam hal akses modal ini. Akses informasi dapat dengan mudah diakses melalui jejaring yang sudah terbentuk di komunitas, seperti koperasi atau jejaring antar pengusaha. Biasanya program disosialisasikan melalui kelurahan atau koperasi. Kedua lembaga inilah yang melakukan sosialisasi lebih lanjut ke pengusaha.

“Biasanya kami tahu ada bantuan modal atau pinjaman dari Koperasi. Medianya ya kesana. Biasanya dari lembaga keuangannya datang ke Pak Wondo, baru dari Pak Wondo informasi itu menyebar ke pengusaha. Beberapa waktu lalu juga saya dapat info dari Pak Wondo kalau ada pinjaman dari Bio Farma, syaratnya mudah dan tidak terlalu memberatkan ya saya pinjam. Memang disini informasi apapun bisa mudah kalau kita punya teman dan kitanya mau nyari, ya jaringan itu yang bikin mudah.”(Hanifah, 41 tahun)

”Kamari kenging bantosan Bawaku Makmur, bantuan dana bergulir

Barokah. Nya teu ageung tapi lumayan kanggo nambih-nambih. Informasi na mah ti Bapak, Bapak diwartosan ti Kelurahan atanapi ti Pak Wondo”(Wati, 30 tahun)

(Kemarin dapat bantuan Bawaku Makmur, bantuan dana bergulir Barokah. Ya tidak besar tapi lumayan buat nambah-nambah. Informasinya dari Bapak, Bapak dari Kelurahan atau dari Pak Wondo)

Akses terhadap sumberdaya modal, alat produksi, tenaga kerja, pelatihan dan uang (cash) dapat dengan mudah diperoleh (diakses) oleh perempuan pengusaha. Kontrol terhadap sumberdaya pun secara dominan dimiliki perempuan pengusaha. Seperti pada kasus Ibu Dedeh, Ibu Wati, Ibu Rianti, Ibu Imas, dan Ibu Indah, mereka dapat dengan mudah mengakses sumberdaya modal dan keterampilan. Demikian juga dengan kontrol terhadap sumberdaya, kelima responden tersebut memiliki kontrol yang dominan. Perbedaan terlihat pada sisi akses dan kontrol terhadap manfaat.

Pada kasus Ibu Desi, Ibu Rianti, dan Ibu Indah mereka memiliki akses dan kontrol yang dominan baik terhadap sumberdaya maupun manfaat. Tabel 7.5

(10)

menunjukkan profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat dari rumah tangga Ibu Rianti. Pada rumah tangga Ibu Rianti, suami hanya memiliki akses terhadap sumberdaya modal, uang, dan tabungan, sedangkan Ibu Rianti sendiri memiliki akses terhadap seluruh sumberdaya. Dari sisi kontrol, Ibu Rianti memiliki kontrol yang dominan. Hal ini terkait kewenangan pengambilan keputusan terkait dengan sumberdaya dan manfaat yang ada pada rumah tangga. Ibu Rianti memiliki kontrol yang dominan. Terkait dengan sumberdaya pelatihan dan manfaat pelatihan serta program pembinaan, Ibu Rianti memiliki kontrol yang dominan. Ibu Rianti memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan kapan dan sampai seberapa besar manfaat dari sumberdaya tersebut dapat digunakan.

Tabel 7.5 Profil Akses dan Kontrol Terhadap Sumberdaya dan Manfaat Rumah Tangga Ibu Rianti Pada Sentra Rajut Binongjati Tahun 2008

Akses Kontrol Sumberdaya Perempuan Laki-laki Dominan Perempuan

Setara Dominan Laki-laki Modal √ √ √ Alat Produksi √ √ Tenaga Kerja √ √ Cash/Uang √ √ √ Keterampilan √ √ Pelatihan √ √ Tabungan √ √ √ Manfaat Aset Kepemilikan √ √ √ Pendidikan √ √ √ Kebutuhan Dasar √ √ √ Pelatihan √ √ Program Pembinaan √ √

Sumber : Data Lapangan Tahun 2008, diolah

Pada kasus Ibu Rianti, Ibu Dedeh, Ibu Indah, dan Ibu Imas terdapat keberanian untuk memutuskan mengakses sumberdaya dan manfaat dari modal. Namun Ibu Wati merasa tidak memiliki keberanian untuk mengambil keputusan terkait dengan pinjaman modal ataupun penambahan sumberdaya lainnya.

“Buat nambah modal saya pinjam ke Bank, gak sulit koq prosedurnya, mereka nanti survei kesini, kan ketahuan memang usaha saya jalan, jadi gak sulit masalah modal mah” (Dedeh, 31 tahun)

(11)

“Kalau masalah pinjam modal, kayaknya aku paling banyak, sampai kadang bingung ngaturnya. Tapi sekarang lebih mudah pake kartu kredit, lebih simple, uang bisa cair dalam waktu singkat, gak repot. Biasanya kalau kartu kita sudah over limit, pinjam punya teman. Modal sih gak masalah ya bagi pengusaha disini. Tinggal bagaimana ngaturnya aja yang kadang bikin repot.”(Rianti,40 tahun)

“Menurut Ibu sih modal mah gampang ya. Kita bisa pinjam ke Bank, informasinya gampang, tinggal datang saja ke Bank. Cuma ya etikanya sebagai istri ya diobrolin dulu sama suami kalau kita mau pinjam modal, walaupun nantinya keputusan ada di Ibu, kan memang ang ngelola usaha ini Ibu ya Ibu yang memutuskan, tapi ya itu harus diobrolin dulu sama suami.” (Indah, 58 tahun)

“Abdi mah teu wantun kangge nambut modal, sieun teu tiasa mayarna.

Upami nuju sepi pan repot teu tiasa mayar”(Wati,30 tahun)

(Saya tidak berani pinjam buat modal, takut tidak bisa membayarnya. Kalau lagi sepi repot tidak bisa bayar)

Sumberdaya keterampilan dan pelatihan yang cukup signifikan berkaitan dengan pengembangan kapasitas dapat diakses oleh perempuan pengusaha. Beberapa program pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah memberikan peluang bagi mereka untuk mengaksesnya. Demikian halnya dengan kontrol atas sumberdaya ini, perempuan pengusaha di Binongjati sudah memilikinya. Kontrol ditunjukkan dengan pengambilan keputusan apakah mereka mengikuti pelatihan atau memilih tidak mengikuti pelatihan. Pengambilan keputusan ini berkaitan erat dengan peran gender yang dilakukan oleh perempuan.

“Pelatihan sih biasanya ada, cuma saya belum pernah ikut, biasanya Bapak yang berangkat. Saya biasanya di rumah saja ngurus usaha sambil nemenin anak-anak, soalnya anak-anak gak dekat sama Bapaknya jadi gak bisa kalau saya yang keluar buat pelatihan” (Yuli, 37 tahun)

“Pelatihan sih sering ya ada, saya suka ikut. Soalnya saya merasa kalau pelatihan itu benar-benar bantuan pemerintah yang terasa langsug dampaknya buat pengusaha, kalau bantuan modal kan kadang melalui koperasi, ya itu gak terasa dampaknya buat kita-kita” (Dedeh, 31 tahun) “Sebetulnya kan pelatihan keterampilan itu perlu ya buat meningkatkan kualitas, jadinya produk kita punya daya saing di pasar, tidak hanya menjadi produk selevel Tanah Abang saja, tapi ya itu kadang kemauan dari teman-teman buat hal-hal seperti ini kurang. Mereka cenderung menerima yang ada saja, tidak mau berkreasi” (Rianti, 40 tahun)

(12)

“Ibu sering ikut pelatihan di Dinas KUKM, penting itu buat meningkatkan wawasan, biasanya tentang manajerial. Kalau buat meningkatkan daya saing produk ya bisa saja ada pelatihan desain bagi kita-kita pegusaha, tapi yang ngajarnya harus yang betul-betul mengerti desain, jadi dinas tidak hanya menunjuk orang buat ngelatih” (Indah, 58 tahun)

Secara umum perempuan pengusaha memiliki akses dan kontrol yang dominan terhadap sumberdaya keterampilan dan pelatihan. Mereka dapat mengambil keputusan kapan mereka membutuhkan pelatihan atau keterampilan baru, dan dimana mereka bisa memperolehnya. Yang masih menjadi hambatan adalah ketika pelatihan atau keterampilan tersebut harus diperoleh di luar komunitas, mereka memiliki keterbatasan dengan peran domestik mereka, baik peran produktif maupun peran reproduktifnya. Agak sulit bagi perempuan pengusaha yang memiliki anak kecil untuk meninggalkan rumah dalam waktu yang relatif lama guna mengikuti pelatihan. Hal ini berkaitan dengan perasaan tanggung jawab untuk menjaga anak-anak dan terkait dengan nilai ekonomi yang harus dikorbankan jika mereka meninggalkan usaha.

Dilihat dari sisi manfaat, secara umum tidak ada perbedaan gender dalam hal akses dan kontrol terhadap manfaat sumberdaya. Perempuan pengusaha dapat mengakses pendapatan dan mempunyai kontrol untuk memanfaatkan pendapatannya tersebut. Sebagian besar memanfaatkan pendapatannya untuk menjaga keberlangsungan usaha dan keberlangsungan hidup keluarganya.

“Usaha rajut ini kan ada sepinya, jadi kita harus pintar mengatur pendapatan, harus ada alokasi buat modal dikala usaha sepi. Kalau saya sih ya selain buat modal ke depan, ya buat anak-anak” (Imas, 45 tahun) ”Kalau pendapatan dari rajut sih saya simpan buat pengembangan usaha atau buat keperluan mendadak. Kalau buat keperluan sehari-hari rumah tangga dari usaha bengkel suami. Jadi kalau dari rajut ya terserah saya yang ngaturnya” (Dedeh, 31 tahun)

Manfaat dari sumberdaya program pembinaan dan pelatihan masih dominan laki-laki, walaupun dari sisi kontrol setara antara laki-laki dan perempuan. Manfaat dari pelatihan dan program pembinaan yang masih dominan

(13)

laki-laki disebabkan oleh program yang tidak secara tegas memberikan ruang bagi perempuan pengusaha untuk dapat menerima manfaat dari sumberdaya tersebut. Tabel 7.6 Rata-rata Omset per bulan dan Aktivitas Pengasuhan Anak

Perempuan Pengusaha Pada Sentra Rajut Binongjati Tahun 2008

Pengasuhan Anak dilakukan oleh Rata-rata Omset per

bulan ( Rp. juta) Sendiri Orang lain (pembantu) Jumlah

< 100 50,00 14,29 64,29

100 – 200 7,14 14,29 21,43

200 7,14 7,14 14,29

Jumlah 64,29 35,71 100,00

Sumber : Data lapangan tahun 2008, diolah

Pada sebagian perempuan pengusaha, bahwa mereka tidak bisa pergi jauh dari rumah karena harus mengurus rumah dan menjaga anak-anak, yang mana peran-peran ini tidak dapat disubstitusikan kepada orang lain, termasuk suaminya. Tabel 7.6 menunjukkan hubungan antara rata-rata omset dengan aktivitas pengasuhan anak dari 14 (empat belas) perempuan pengusaha yang memiliki anak. Walaupun pengasuhan anak kadang dapat menghambat akses dan kontrol terhadap manfaat pelatihan keterampilan pada perempuan pengusaha, tetap saja sebagian besar perempuan pengusaha melakukan aktivitas ini sendiri sebagai bentuk tanggung jawab mereka sebagai seorang ibu.

7.3 Pengaruh Ketidakadilan Gender Terhadap Pengembangan Kapasitas Pembagian peran gender merupakan pembagian peran antara perempuan dan laki-laki. Pembagian peran mencakup kontrol terhadap pengambilan keputusan, tidak semata-mata pada pelaksanaan keputusan yang telah diambil. Pada prinsipnya peran-peran yang dibagi antara laki-laki dan perempuan dapat dipertukarkan (disubstitusikan), walaupun dalam prakteknya peran tersebut tidak mudah dipertukarkan. Dalam sistem produksi perempuan pengusaha memegang

(14)

kontrol atas tahapan proses produksi yang dilakukan di lokasi dekat rumah, yang dimaksudkan agar perempuan masih dapat melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti menjaga dan mengawasi anak-anak (Dewayanti, 2003:79). Akses penyediaan bahan baku dan pemasaran sebagian besar dilakukan di dalam komunitas, jika dilakukan keluar komunitas maka ada pembagian peran dengan laki-laki, yaitu laki-laki mencari akses tersebut keluar komunitas, walaupun tidak sedikit perempuan pengusaha yang juga melakukan peran ini keluar komunitas. Hal ini bukan semata-mata sebagai domestikasi perempuan melainkan sebagai strategi berhahan hidup bagi keberlangsungan kehidupan keluargnya. Perempuan pengusaha melihat adanya peluang untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya melalui usaha ini dan mereka memiliki kontrol terhadapnya. Beban ganda yang terjadi pada perempuan pengusaha dapat diminimalisasi dengan mensubstitusikan sebagian perannya terhadap orang lain. Walaupun demikian kadangkala ketidakadilan gender ini dirasakan sebagai salah satu hambatan bagi mereka untuk mengembangkan kapasitasnya.

Ketidakadilan gender memberikan pengaruh terhadap pengembangan kapasitas. Berdasarkan data di lapangan hal ini ditemukan pada perempuan pengusaha. Seperti yang dipaparkan beberapa responden berikut ini.

“Memang akhirnya rumah sama anak-anak dikorbankan. Soalnya ngurus rajut lebih-lebih dari ngurus anak, malah gak bisa ditinggal. Akhirnya anak sama pembantu, suami juga kerja, ya terpaksa saya yang urus. Kalau mau mengembangkan usaha ya dari sini, susah mau keluar. Diusahakan sih seimbang ya antara rumah sama usaha, tapi susah juga” (Dedeh, 31 tahun )

“Beban ganda seperti ini ya anak yang jadi korban ya, anak-anak secara tidak langsung kita paksa untuk lebih lama di sekolah biar kita orangtua gak terlalu repot. Tapi karena rajut itu asyik ya, jadi sama sih gak ada masalah mau ngembangin diri sampai dimana juga, toh suami mendukung, anak-anak juga gak komplain. Masalah modal, keterampilan, pasar, itu sih gampang ya, gimana kita memanfaatkan fasilitas yang ada, perbankkan sekarang aksesnya mudah, keterampilan kan medianya banyak, sekarang internet gampang, masalah pasar juga mudah tergantung kualitas arang kita. Sekarang saya tidak terlalu fokus pada produksi, tapi lebih ke marketingnya, saya sedang mencoba ke penjualan retail dan hasilnya lumayan, saya lebih puas karena lebih bisa mengekspresikan kreativitas, gak pernah kehabisan ide. Ya akhirnya gimana kitanya, pinter-pinter kita ngatur, tinggal kitanya mau gimana.” (Rianti, 40 tahun)

(15)

“Karena Ibu buka usaha ini anak-anak sudah besar, jadi gak terlalu repot antara usaha dengan ngurus anak-anak. Paling ya sama urusan rumah, ya gimana lagi sudah konsekunsi seorang istri dihandle saja. Mungkin kalau yang anaknya masih kecil-kecil repot juga kalau mau pelatihan atau harus keluar rumah ya. Tapi kan sekarang medianya banyak, ada televisi, ada internet, kalau Ibu kadang sama anak lihat model di internet, kan nambah wawasan juga” (Indah, 58 tahun)

“Ya itu, kadang ya kalau kita mau ngembangin diri, misalnya cari-cari informasi atau nambah-nambah ilmu baru suka susah kebentur sama urusan rumah. Kadang langkah kita kehambat sama urusan rumah dan anak, tapi ya gimana lagi, apalagi saya kan single parent, tapi untungnya ada pembantu sama adik-adik yang mau bantu. Sekarang saya lagi mau ngembangin usaha ke pasar retail, kerjasama sama butik. Sekarang juga sedang merintis membentuk kemitraan sama pabrik, jadi saya mau bangun tempat buat pakai mesin desain, mesinnya kan besar jadi harus luas, pabrik mau bantu pemasarannya nanti, kalau sudah pakai mesin desain kan pangsanya udah bergeser jadi pangsa ekspor, kualitas bisa jauh lebih bagus. Jadi semua itu mudah sebenarnnya, asal kita tahu

chanelnya diluar, nah disitu pentingnya jaringan ya” (Hanifah, 41 tahun)

“Buat ngembangin usaha ya kitanya harus rajin cari informasi. Mungkin kalau ada kelompok yang khusus perempuan pengusaha lebih enak ya, kita bisa berbagi” (Wati, 30 tahun)

“Buat mengembangkan kapasitas kan sebenarnya sekarang gampang saja, sarana sudah banyak, kalau saya biasanya lihat internet. Kalau menurut saya sih program pembinaan dari pemerintah yang buat mengembangkan kapasitas yang paling menyentuh ke lapisan perempuan pengusaha khususnya adalah pelatihan. Cuma ya itu saya suka sebal kalau pas pelatihan kebanyakan bercanda, jadi kan kadang kurang maksimal pelatihannya. Kalau dengan teman-teman sih ngobrol tentang hal umum ya, jarang masalah rajut soalnya mungkin persaingan usaha juga. Kelompok sih dulu saya aktif, tapi ya gak enak lah belakangannya, ide kita dipake tapi orangnnya gak pernah dipake” (Rokayah, 44 tahun)

Beban kerja yang panjang, subordinasi, dan marginalisasi sebagai bentuk ketidakadilan gender bagi perempuan pengusaha memberikan pengaruh pada pencapaian kapasitas perempuan pengusaha dan kapasitas usahanya. Salah satu pengaruh dari ketidakadilan gender pada perempuan pengusaha adalah rendahnya rata-rata omset yang diperoleh. Pada sebagian perempuan pengusaha strategi yang diambil untuk mengurangi bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut adalah dengan melakukan substitusi sebagian peran-peran reproduktifnya. Tabel 7.7 menunjukkan hubungan antara rata-rata omset yang diperoleh oleh perempuan pengusaha dengan substitusi peran reproduktif yang dilakukannya.

(16)

Tabel 7.7 Rata-rata Omset per Bulan dengan Substisusi Peran Reproduktif pada Perempuan Pengusaha Sentra Rajutan Binongjati Tahun 2008

Substitusi Peran Reproduktif Dilakukan dengan Rata-rata Omset per

bulan ( Rp. juta) Dilakukan Tidak

suami orang lain Jumlah

< 100 26,67 13,33 26,67 66,67

100 – 200 6,67 0,00 13,33 20,00

200 0,00 6,67 6,67 13,33

Jumlah 33,33 20,00 46,67 100,00

Sumber : Data lapangan tahun 2008, diolah

Berdasarkan data pada tabel 7.7 terlihat bahwa peningkatan pendapatan sebagai salah satu tujuan dari pengembangan kapasitas pada perempuan pengusaha berjalan seiring dengan substitusi sebagian peran reproduktifnya. Pada perempuan pengusaha yang melakukan substitusi sebagian peran reproduktif baik dengan suami maupun orang lain, omset yang diperolehnya cenderung lebih tinggi dari rata-rata. Hal ini mengindikasikan bahwa perpindahan sebagian peran reproduktif kepada orang lain memungkinkan perempuan pengusaha untuk memiliki akses yang lebih luas dan mampu mengambil keputusan terkait pemanfaatan sumberdaya dan manfaat bagi pengembangan kapasitasnya. Adanya kesetaraan peran gender yang diwujudkan dalam keadilan gender memberikan pengaruh yang signifikan bagi pengembangan kapasitas perempuan pengusaha dalam mengembangkan kapasitas usahanya.

Berdasarkan penelitian lapangan juga ditemukan bahwa pengembangan kapasitas perempuan pengusaha berjalan seiring dengan perubahan pada kekuasaan gender, seperti halnya penelitian Van Velzen (1990) yang diacu dalam Saptari dan Holzner (1997:324). Perubahan ini terjadi dalam beberapa kasus seperti kebijakan pemerintah dalam menyediakan kursus pelatihan manajemen yang tidak secara khusus ditujukan pada perempuan sebagai upaya pengembangan kapasitas. Sesuai dengan penelitian dari Van Velzen juga pada tahun 1992 (diacu dalam Utrecht dan Sayogyo, 1994 : 49) bahwa tingkat kehadiran perempuan dalam pelatihan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Untuk mengatasi ketidakhadirannya, mereka memanfaatkan media televisi atau jejaring yang sudah terbentuk di antara mereka, seperti belajar hal baru dari teman sekitar.

(17)

Pengembangan kapasitas modal, jaringan usaha dan produktivitas, strategi yang dianggap berhasil oleh beberapa responden adalah dengan memanfaatkan jejaring seperti kemitraan dengan pihak luar, bahkan jika kemitraan tersebut sudah terbentuk akan lebih mudah bagi mereka untuk mengembangkan kapasitasnya. Disadari maupun tidak, sebetulnya perempuan pengusaha memiliki suatu modal sosial yaitu norma-norma dan hubungan sosial yang melekat dalam struktur sosial setiap masyarakat sehingga memungkinkan masyarakat tersebut mengkoordinasikan tindakannya dan mencapai berbagai tujuan yang diinginkan. Nilai tambah dari jejaring ini adalah mewujudkan kerjasama yang sinergis antara berbagai pihak yang berkepentingan.

7.4 Analisis Pemberdayaan Longwe

Kerangka Longwe digunakan untuk melihat tingkat pencapaian pemberdayaan perempuan dalam program. Berdasarkan profil aktivitas serta profik akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat terlihat bahwa program pemberdayaan yang dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh perempuan pengusaha adalah program pelatihan keterampilan. Dengan demikian analisis pemberdayaan Longwe akan difokuskan pada sejauh mana program pelatihan keterampilan bagi perempuan pengusaha sudah melibatkan perempuan di dalam program.

7.4.1 Tahap Kesejahteraan

Program pelatihan keterampilan ditujukan untuk meningkatkan kapasitas terkait dengan teknik produksi dan diversifikasi produk. Penguasaan teknik produksi yang meningkat dan produk yang beragam dengan kualitas yang baik idealnya akan meningkatkan daya saing dan daya jual produk, sehingga pendapatan perempuan pengusaha dapat meningkat. Seperti yang diutarakan Rianti (40 tahun).

“Produk rajut yang saya produksi tidak hanya pure rajut, tapi saya tambah dengan handmade jadi lebih bagus, kualitasnya juga saya jaga, jadi harganya memang lebih mahal daripada yang lain. Keuntungannya juga lebih besar, enam tahun buka rajut, saya bisa beli bangunan di depan yang saya jadikan rumah tinggal, showroom rajut sama gedung

(18)

pertemuan. Dari rajut memang pendapatannya menjanjikan, apalagi kalau kita kreatif.”

Program secara umum dapat meningkatkan pendapatan perempuan pengusaha karena produknya dapat memiliki harga jual yang relatif lebih tinggi. Sebagian besar perempuan pengusaha menggunakan pendapatannya tersebut untuk menjaga keberlangsungan rumah tangga dan keperluan anak-anaknya. Demikian juga terkait dengan keperluan pribadi, seperti kebutuhan untuk mengembangkan wawasan keterampilan, sebagian besar perempuan pengusaha dapat dengan leluasa menggunakan pendapatannya untuk hal ini.

“Kauntungan tina rajut dianggo kangge kaparyogian rumahtanggi

sareng barudak, sapalih disimpen kangge modal upami usaha nuju sepi. Nya kumaha Teteh we eta mah ngaturna” (Imas, 45 tahun)

(Keuntungan dari rajut digunakan untuk keperluan rumah tangga dan anak-anak, sebagian lagi disimpan buat modal jika usaha sepi. Ya bagaimana Teteh saja mengaturnya)

“Saya selalu berusaha mencari model terbaru dan jaga kualitas, jadi sampai saat ini masih bisa bertahan di rajut. Pendapatan dari rajut ya bisa mencukupi kebutuhan saya sehari-hari, anak-anak sekolah, buat modal anak usaha, saya juga tahun 2009 nanti mau mengembangkan usaha pakai mesin desain dan mencoba pasar butik” (Hanifah, 41 tahun)

Berdasarkan paparan tersebut terlihat bahwa pelatihan keterampilan dapat meningkatkan wawasan dan kemampuan perempuan pengusaha sehingga dapat meningkatkan kualitas produk yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan. Program yang dikhususkan bagi perempuan menunjukkan program yang responsif gender, dimana memberikan kesempatan bagi perempuan untuk ikut serta dalam pelatihan, karena jika tidak ditujukan khusus bagi perempuan biasanya yang menghadiri pelatihan adalah laki-laki. Pada tahap kesejahteraan program ini bersifat positif, yaitu tujuan program sudah memperhatikan isu-isu perempuan dan berupaya untuk meningkatkan posisi perempuan setara dengan laki-laki (dilakukan dengan mengkhususkan pelatihan bagi perempuan).

7.4.2 Tahap Akses

Program pelatihan yang diberikan memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengaksesnya. Sebagian perempuan pengusaha memanfaatkan

(19)

akses yang tersedia sebagai upaya pengembangan kapasitas karena program pelatihan merupakan program yang terasa dampaknya bagi mereka.

“Kalau menurut saya sih program pembinaan dari pemerintah yang buat mengembangkan kapasitas yang paling menyentuh ke lapisan perempuan pengusaha khususnya adalah pelatihan” (Rokayah, 44 tahun)

Mengkhususkan program pelatihan bagi perempuan dengan mengangkat isu-isu perempuan menunjukkan program yang responsif gender. Pada tahap akses bersifat positif, yaitu tujuan program sudah memperhatikan isu-isu perempuan dan berupaya meningkatkan posisi perempuan agar setara dengan laki-laki. Isu perempuan di Binongjati ketika ada pelatihan yang mana tidak ada kejelasan siapa yang harus mengikuti pelatihan, maka yang berangkat pelatihan kecenderungannya adalah laki-laki. Berdasarkan pada isu ini maka program pelatihan dikhususkan bagi perempuan agar diperoleh kesetaraan dengan laki-laki dalam hal penerimaan informasi dan wawasan keterampilan.

7.4.3 Tahap Kesadaran Diri

Pada sebagian perempuan pengusaha sudah menunjukkan adanya kesadaran diri bahwa peran gender merupakan peran yang dapat dipertukarkan. Dalam upaya pengembangan kapasitas dirinya, perempuan pengusaha mempertukarkan sebagian peran gendernya dengan pihak lain. Hal ini disadari oleh perempuan pengusaha karena jika sebagian peran tidak dipertukarkan maka pengembangan kapasitas tidak dapat tercapai dengan baik.

“Ya itu, kadang ya kalau kita mau ngembangin diri, misalnya cari-cari informasi atau nambah-nambah ilmu baru suka susah kebentur sama urusan rumah. Kadang langkah kita kehambat sama urusan rumah dan anak, tapi ya gimana lagi, apalagi saya kan single parent, tapi untungnya ada pembantu sama adik-adik yang mau bantu.” (Hanifah, 41 tahun)

Pada sebagian perempuan pengusaha kesadaran diri terkait pembagian peran gender ini belum terbentuk. Sebagian perempuan pengusaha ini masih memiliki keyakinan bahwa peran-peran reproduktif di rumah tangga adalah tugas seorang istri. Ketika peran gender yang tidak seimbang menjadi kendala dalam mengembangkan kapasitas mereka menyadarinya sebagai risiko seorang perempuan.

(20)

“Repot nya bade ngiring latihan teh, repot ngurus murangkalih. Wios

Bapana we nu ngiring” (Susi, 36 tahun)

(Ikut pelatihan repot karena mengurus anak-anak. Bapaknya saja yang ikut pelatihan)

“Pelatihan sih biasanya ada, cuma saya belum pernah ikut, biasanya Bapak yang berangkat. Saya biasanya di rumah saja ngurus usaha sambil nemenin anak-anak, soalnya anak-anak gak dekat sama Bapaknya jadi gak bisa kalau saya yang keluar buat pelatihan” (Yuli, 37 tahun)

Pada tahap kesadaran diri program bersifat negatif, berarti bahwa masih ada perempuan pengusaha yang belum menunjukkan kesadaran diri bahwa peran gender adalah peran yang dapat dipertukarkan. Di dalam masyarakat perkotaan seperti di Binongjati, pertukaran peran gender tidak hanya dilakukan dengan suami, melainkan juga dilakukan dengan pihak lain seperti pembantu rumahtannga, penyedia warung makan, dan guru les.

7.4.4 Tahap Partisipasi

Partisipasi perempuan pengusaha dalam program mencakup partisipasi dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi program. Program pelatihan keterampilan ini dirancang oleh pemerintah berdasarkan masukan masyarakat. Namun dalam hal ini tidak seluruh perempuan pengusaha dilibatkan dalam perencanaan, sehingga partisipasi cenderung pada kehadiran dalam mengikuti pelatihan. Partisipasi dalam mengikuti pelatihan pun cenderung terbentur dengan kendala peran gender yang harus dilakukan.

“Biasanya kalau Ibu-ibu ikut pelatihan gak full sampai acara selesai, soalnya suka lama, biasanya yang ditinggal Bapak-bapak buat ikut sampai selesai. Habis kalau perempuan kan repot harus ngurus rumah, belum ngurus usaha rajut yang repotnya melebihi ngurus rumah.” (Rokayah, 44 tahun)

Tahap partisipasi perempuan belum tercapai, hanya terbatas pada kehadiran mengikuti kegiatan saja, hal ini pun masih ada kendala terkait peran gender. Pada tahap ini program bersifat negatif, karena program belum memperhitungkan kesetaraan partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan, perencanaan dan administrasi. Kesetaraan dalam partisipasi berarti melibatkan perempuan dalam membuat keputusan yang akan mempengaruhi komunitasnya, hal ini belum ditunjukkan oleh program di

(21)

Binongjati secara umum. Hanya satu orang perempuan pengusaha saja yang aktif terlibat dalam kegiatan perencanaan program dan pengambilan keputusan yang dapat mempengaruhi komunitas.

7.4.5 Kontrol

Pada tahap kontrol ditunjukkan sejauh mana perempuan memiliki kontrol untuk mengambil keputusan dalam kegiatan pelatihan. Sebagian perempuan pengusaha memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan terkait dengan peningkatan wawasan melalui pelatihan. Namun masih ada sebagian perempuan pengusaha lainnya yang memiliki kendala sehingga tidak memiliki kontrol untuk mengambil keputusan. Kendala yang dihadapi berkaitan dengan peran gender khususnya peran reproduktif, yaitu ketika pelatihan dilakukan di luar komunitas atau pada waktu ketika perempuan pengusaha harus melakukan kegiatan reproduktifnya. Dengan demikian, pada tahap kontrol program bersifat negatif. Secara keseluruhan tahapan pemberdayaan perempuan melalui program pelatihan keterampilan ditunjukkan oleh piramida berikut ini.

Gambar 7.1 Tahap Pemberdayaan Longwe

Berdasarkan gambar 7.1 terlihat bahwa pemberdayaan perempuan dalam program pelatihan keterampilan baru sampai pada tahap akses. Keterlibatan perempuan pengusaha di dalam program sampai pada tahap kesejahteraan dan akses, dalam arti perempuan memiliki kekuasaan dalam mengambil keputusan terkait dengan pemanfaatan pendapatannya untuk meningkatkan kesejahteraannya serta memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan akses yang tersedia dari program.

5 1 Negatif Negatif Negatif Positif Positif

Gambar

Tabel 7.1 Profil Aktivitas Rumah Tangga Ibu Dedeh  Pada Sentra Rajut  Binongjati Tahun 2008
Tabel 7.3 Profil Aktivitas Rumah Tangga Ibu Rianti  Pada Sentra Rajut  Binongjati Tahun 2008
Tabel 7.4  Profil Akses dan Kontrol Terhadap Sumberdaya dan Manfaat    Rumah Tangga Perempuan pengusaha Pada Sentra Rajut Binongjati  Tahun 2008
Tabel 7.5  Profil Akses dan Kontrol Terhadap Sumberdaya dan Manfaat    Rumah Tangga Ibu Rianti Pada Sentra Rajut Binongjati Tahun 2008
+4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi psikologis sopir labi-labi sangat tertekan setelah beroperasinya bus trans koetardja, aktivitas pengoperasian angkutan

KS warna hitam. Harta peninggalan yang telah disebutkan diatas diperoleh semasa hidup bersama penggugat menurut hukum harta ini menjadi harta bersama antara keduanya yang

Ketentuan ini akan berlaku jika saksi dan/atau korban dapat melaporkan apa yang ia alami atau yang ia saksikan kepada pihak berwenang atau dengan kata lain

Standar beban kerja ditentukan untuk tiap kegiatan pokok dan disusun berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya (rata-rata waktu) dan waktu yang

terjemahan dari istilah-istilah yang digunakan dalam modul, sedangkan tes akhir digunakan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa terhadap materi metode

pengujian pada barang yang sama atau serupa oleh dua atau lebih laboratorium sesuai dengan kondisi yang telah ditentukan.. 3.4

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa stres kerja perawat sebelum dilakukan terapi musik klasik hampir seimbang yaitu yang termasuk pada kategori stres menengah adalah

Sektor Industri Pengolahan memberikan sumbangan terbesar terhadap total pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2014 (y-on-y) dengan kontribusi sebesar 1,28 persen disusul