PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA
DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
(Kasus Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik,
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)
WHENNIE SASFIRA ADLY
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRACT
Change of agrarian structure cover ownership patten, domination and farm exploiting. Domination of land not yet of course and do not have to be joined with ownership. Ownership of farm show at formal domination while domination sho effective domination. Factors which can influence change of agrarian structure among other things: (1) Resident growth, (2) Economic factor, (3) Social-culture factor, that is farm endowment, dan (4) accessing to main road countryside. Pattern of farm exploiting in drainage basin have to pay attention to method of conservation to take care of permanence of River Side Area resoursces. Conservancy of the River Side Area need participation from stakeholders, like government, socialize, and also private sector. So, that later can be created by management of inwrought River Side Area.
RINGKASAN
WHENNIE SASFIRA ADLY. PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI. Kasus Desa Tanjungsari,
Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya. (Dibimbing oleh MARTUA
SIHALOHO).
Masyarakat DAS merupakan masyarakat agraris yang sangat tergantung
dari sumberdaya lahan (PSP IPB, 2005). Bagi masyarakat di sekitar DAS,
bertani/buruh tani masih menjadi pilihan. Ketika masyarakat tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan subsistennya kemudian akan mendorong mereka melakukan
konversi hutan alam menjadi lahan budidaya pertanian, baik berupa sawah
maupun kebun campuran.
Penggunaan lahan secara intensif oleh masyarakat ikut mempercepat alih
fungsi lahan. Pengelolaan lahan pertanian yang tidak memperhatikan kaidah
koservasi akan mempengaruhi kondisi lingkungan DAS. Seperti munculnya lahan
potensial kritis, erosi, degradasi hutan-lahan, dan deforestasi.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Analisis perubahan struktur agraria di
DAS Citanduy; (2) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur
agraria di DAS Citanduy; (3) analisis perubahan struktur agraria dan pengelolaan
DAS saat ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung
data kuantitatif yang diperoleh dari hasil survei melalui instrumen kuesioner untuk
lahan yang terjadi. Metode pendekatan kualitatif yang digunakan berupa
wawancara, observasi dan analisis dokumen.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa Pemilikan lahan pertanian dan
lahan tergarap sawah penduduk Desa Tanjungsari mengalami perubahan jika
dilihat dari periode sebelum tahun 1999 (dahulu) dan periode tahun 1999 hingga
2009 (sekarang). Misalnya, petani yang dahulunya merupakan tunakisma,
sekarang berubah posisi menjadi petani pemilik lahan sempit. Namun juga ada
diantara petani yang mengalami penurunan posisi dari petani pemilik lahan luas
menjadi pemilik lahan sempit. Perubahan ini disebabkan oleh perolehan warisan
yang diterima penduduk tunakisma sehingga membuat mereka masuk ke dalam
golongan petani berlahan sempit.
Penduduk Desa Tanjungsari dapat dikelompokkan ke dalam empat
golongan, yaitu: (1) pemilik penggarap murni, (2) pemilik penggarap dan/atau
pemilik penyewa, (3) penggarap murni, dan (4) tunakisma sawah. Pola
penguasaan lahan di desa ini juga mengalami perubahan dari periode sebelum
tahun 1999 dan periode tahun 1999-2009. Sekarang jumlah petani pemilik
berlahan sempit meningkat tajam, hal ini menunjukkan bahwa pola hubungan
produksi bagi hasil yang terjadi di Desa Tanjungsari meningkat. Penduduk yang
tidak mampu membeli lahan kemudian memilih menerapkan pola hubungan bagi
hasil.
Peristiwa meletusnya Gunung Galunggung tahun 1982 mengakibatkan
terjadinya perkembangan pembukaan lahan di Desa Tanjungsari. Dahulunya,
lahan penduduk desa berupa hamparan kebun pandan dan singkong. Namun
lahan sawah. Hal ini juga berpengaruh terhadap mata pencaharian penduduk dari
yang dahulunya adalah pengrajin pandan, beralih menjadi petani.
Pola pemanfaatan lahan yang dilakukan penduduk pada umumnya adalah
monokultur. Hal ini disebabkan oleh: (1) biaya yang dibutuhkan untuk menanam
jenis tanaman palawija lebih besar dibanding padi, (2) susah dalam pemasaran
hasil, dan (3) andil keputusan petani pemilik yang lebih cenderung memilih pola
monokultur. Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria
Desa Tanjungsari diantaranya: (1) meletusnya Gunung Galunggunga, (2) faktor
keterdesakan ekonomi, (3) faktor sosial budaya (warisan), (4) harga jual tanaman
kayu, (5) akses ke jalan utama desa, dan (6) keinginan berinvestasi lahan
pertanian.
Perubahan struktur agraria dalam hal pemanfaatan lahan yang tidak
memperhatikan konservasi dapat mengganggu stabilitas DAS dalam menjalankan
fungsinya. Praktek usahatani tersebut akan mengakibatkan munculnya lahan-lahan
kritis baru. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa perlunya suatu
pengelolaan DAS yang Terpadu baik dari segi unsur maupun pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya haruslah optimal sehingga mampu meningkatkan kinerja
DAS dalam menghasilkan output demi kelangsungan hidup generasi bangsa
PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA
DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
(Kasus Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik,
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)
Oleh:
Whennie Sasfira Adly I34050420
SKRIPSI
Sebagai Syarat Kelulusan Pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor 2009
LEMBAR PENGESAHAN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:
Nama : Whennie Sasfira Adly
Nomor Induk Mahasiswa : I34050420
Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Proposal Penelitian : Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (DAS) (Kasus: Desa Tanjung Sari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya). dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Martua Sihaloho, SP, M.Si NIP. 19770417200604 1 007
Mengetahui, Ketua Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827198303 1 001
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL “PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, September 2009
Whennie Sasfira Adly I34050420
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bangkinang, Riau, 9 Januari 1987 sebagai anak pertama
dari lima bersaudara. Anak dari Bapak Adli Mukhtar Luthfi dan Ibu Yulinawati.
Penulis menyelesaikan TK Pertiwi Bangkinang tahun 1993, Sekolah Dasar Negeri
No. 011 Langgini-Bangkinang tahun 1999, SMP Negeri 1 Bangkinang tahun
2002, dan SMU Negeri 8 Pekanbaru tahun 2005.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur
Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Provinsi Riau. Penulis memilih Mayor
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama
di KPM penulis aktif berorganisasi sebagai anggota Ikatan Keluarga Pelajar dan
Mahasiswa Riau (IKPMR) Bogor dan anggota Himpunan Profesi (Himpro) divisi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi yang berjudul
Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Atas
kehendak-Nya Skripsi ini dapat selesai.
Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor. Isi dari skripsi ini merupakan tujuan penelitian yang
terdiri dari: (1) Analisis perubahan struktur agraria di DAS Citanduy; (2) Analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria di DAS Citanduy;
(3) Analisis perubahan struktur agraria dan pengelolaan DAS Citanduy saat ini.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi
penelitian selanjutnya dengan minat yang sama dalam lingkup Studi Agraria dan
Ekologi Manusia. Penulis berharap semoga materi yang disampaikan dalam
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, September 2009
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak
dukungan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis hendak memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas
segala nikmat, karunia dan hidayahnya yang telah diberikan, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini pula, penulis hendak
menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1) Bapak Martua Sihaloho, SP., MSi selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan mengenai
pembuatan Skripsi yang baik sesuai tema dan kaidah penulisan.
2) Bapak Dr. Satyawan Sunito sebagai penguji utama dan Ibu Ratri Virianita
S. Sos, MSi. sebagai penguji perwakilan dari departemen.
3) Bapak Adli Mukhtar Luthfi dan Ibu Yulinawati, Adik-adik penulis (Dina,
Tika, Ayu dan Habib) yang sangat berarti dalam mendukung penulis untuk
melakukan segala aktivitas pendidikan serta untuk segala perhatian dan kasih
sayang yang diberikan kepada penulis.
4) Kepala Desa dan jajaran pemerintahan Desa Tanjungsari, Bapak Unang
beserta Ibu, Bapak Apipudin beserta Ibu, Bapak Ekbang, Ibu Jua, dan Ibu Siti
Rohmat (Ketua Kelompok Tani Surakatiga), atas kesediannya berbagi
informasi, pengetahuan dan pengalaman dalam rangka penyelesaian penelitian
skripsi ini.
5) Ibu Ai dan Bapak Ateng serta Bu Haji dan Bapak Haji atas kasih sayang dan
6) Gilang Kartiwa Nugraha yang telah memberikan dukungan kepada penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
7) Rekan satu bimbingan sejak Mata Kuliah Studi Pustaka hingga Skripsi,
Agustina Nurhaeni.
8) Sahabat-sahabat karibku: Mimi, Yayan, Bang Oji, Oel, Memet, Anggi,
Chabun, Uti, Arya, Eka, Satya, Edu, Dito, Fahmi, Reni, Ciwow, Iya, , Aida,
Andi, Egi, Liza, Reza, Luci, Anvina, Vidy, Idham, Iti, Bibob, Morce dll yang
telah menjadi sahabat penulis dalam keadaan suku maupun duka.
9) Anak-anak Asrama Riau Putri dan Putra yang merupakan teman-teman
seperjuangan penulis.
10) Buat semua teman-teman KPM angkatan 42, semoga persahabatan dan
kebersamaan kita tidak sebatas facebook.
11) Seluruh staf pengajar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat yang telah memberikan ilmu dan berbagi pengalaman.
12) Seluruh penggiat agraria yang ada di Sains, terima kasih atas informasi,
literatur dan ilmu yang telah diberikan dalam memahami ilmu keagrariaan.
Penulis berharap semoga apa yang telah penulis paparkan dalam Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2009
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian... 5
1.4 Kegunaan Penelitian ... 6
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 7
2.1 Tinjauan Pustaka ... 7
2.1.1 Struktur Agraria ... 7
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Agraria ... 13
2.1.3 Daerah Aliran Sungai ... 15
2.1.4 Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu ... 16
2.1.5 Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ... 18
2.2 Kerangka Pemikiran ... 21
2.3 Hipotesis Pengarah ... 23
2.4 Defenisi Konseptual ... 23
2.5 Defenisi Operasional ... 25
BAB III METODE PENELITIAN ... 28
3.1 Strategi Penelitian ... 28
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29
3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan ... 29
3.4 Teknik Pengumpulan Data... 30
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisa Data... 31
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA TANJUNGSARI ... 33
4.1 Profil Desa Tanjungsari ... 33
4.1.1 Letak Geografis Desa Tanjungsari ... 33
4.1.2 Demografi Desa Tanjungsari ... 34
4.1.3 Struktur Organisasi Sosial Masyarakat Desa Tanjungsari ... 38
4.1.4 Sarana dan Prasarana ... 40
4.2 Profil Responden ... 41
4.2.1 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan... 41
4.2.2 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan... 42
BAB V STRUKTUR AGRARIA DESA TANJUNGSARI ... 44
5.1 Perubahan Struktur Agraria ... 44
5.1.1 Pola Pemilikan Lahan Pertanian Desa Tanjungsari ... 44
5.1.2 Pola Penguasaan Lahan Pertanian Desa Tanjungsari ... 53
5.1.3 Pola Pemanfaatan Lahan Pertanian Desa Tanjungsari ... 57
5.2 Faktor-faktr yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Agraria ... 59
5.2.1 Fenomena Alam Meletusnya Gunung Galunggung ... 59
5.2.2 Kebutuhan Ekonomi ... 60
5.2.3 Faktor Sosial Budaya ... 61
5.2.4 Harga Jual Tanaman Kayu ... 62
5.2.5 Akses Ke Jalan Utama ... 62
5.2.6 Keinginan Investasi dalam Bentuk Lahan Pertanian ... 63
5.3 Ikhtisar ... 63
BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN PENGELOLAAN DAS CITANDUY ... 65
6.1 Gambaran Umum DAS Citanduy ... 65
6.1.1 Letak dan Luas DAS Citanduy ... 65
6.1.2 Wilayah dan Kondisi Biofisik DAS Citanduy ... 66
6.2 Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan DAS ... 67
6.2.1 Minimnya Kawasan Hutan di DAS ... 70
6.2.2 Lahan Kritis ... 72
6.2.3 Pencemaran Sumberdaya Air DAS Citanduy ... 73
6.3 Pengelolaan DAS Citanduy Terpadu ... 75
6.3.1 Balai Pengelolaan DAS Cimanuk - Citanduy ... 76
6.3.2 Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Tasikmalaya ... 78
6.3.3 Balai Besar Pengelolaan Citanduy ... 79
6.3.4 Masyarakat Desa Tanjungsari ... 80
6.4 Ikhtisar ... 82
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 83
7.1 Kesimpulan ... 83
7.2 Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 85
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
Tabel 1. Perkembangan Kepadatan Penduduk Desa Tanjungsari
Tahun 2007 hingga Tahun 2008 ... 35 Tabel 2. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Tanjungsari
Tahun 2008 ... 36 Tabel 3. Klasifikasi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Tahun 2008 ... 37 Tabel 4. Klasifikasi Penduduk Desa Tanjungsari Menurut
Umur Tahun 2008... 37 Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Faktor Pendidikan
Tahun 2009 ... 42 Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan
Tahun 2009 ... 42 Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Jumlah Pendapatan
Tahun 2009 ... 47 Tabel 8. Distribusi Responden Menurut Status Hukum
yang Dimiliki Tahun 2009 ... 45 Tabel 9. Distribusi Responden Menurut Bentuk Lahan Pertanian
yang Dimiliki Tahun 2009 ... 46 Tabel 10. Distribusi Responden Menurut Luas Lahan Pertanian
yang Dimiliki Periode Sebelum Tahun 1999 ... 47 Tabel 11. Distribusi Responden Menurut Cara Memperoleh Lahan
Pertanian Sebelum Tahun 1999... 48 Tabel 12. Distribusi Responden Menurut Bentuk Lahan Pertanian
yang Dimiliki Periode Tahun 1999-2009 ... 49 Tabel 13. Distribusi Responden Menurut Luas Lahan Sawah yang
Dimiliki Periode Sebelum Tahun 1999 ... 49 Tabel 14. Distribusi Responden Menurut Luas Lahan Sawah
yang Dimiliki Periode Tahun 1999-2009 ... 51 Tabel 15. Distribusi Responden Petani Pemilik Menurut Penggarapan
yang Dilakukan Periode Tahun 1999-2009 ... 51 Tabel 16. Distribusi Responden Menurut Pola Hubungan Penguasaan
Lahan Tergarap Sawah ... 53 Tabel 17. Distribusi Responden Menurut Pola Hubungan yang
Terjadi ... 53 Tabel 18. Distribusi Responden Menurut Penguasaan Lahan Sawah
Tabel 19. Distribusi Responden Menurut Penguasaan Lahan Sawah
Periode Tahun 1999-2009 ... 55
Tabel 20. Wilayah Administrasi DAS Citanduy Tahun 2009 ... 66
Tabel 21. Data Luas Hutan Wilayah DAS Citanduy Tahun 2007 ... 70
Tabel 22. Perbandingan Luas Hutan di DAS Citanduy dengan Luas Hutan yang Dibutuhkan Menurut UU No 41 Kehutanan Tahun 1999 ... 71
Tabel 23. Jenis Lahan Di Desa Tanjungsari Tahun 2008 ... 72
Tabel 24. Kondisi Lahan Kritis di DAS Citanduy Tahun 2009 ... 72
Tabel 25. Lahan Kritis Di Kecamatan Sukaresik Tahun 2008 ... 73
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria ... 9 Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pengaruh Perubahan Struktur
Agraria terhadap Sistem Pengeloolaan Daerah Aliran
Sungai ... 23 Gambar 3. Sub DAS, DAS Citanduy ... 67
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa pada tahun
2005 (Data BPS, 2005). Peningkatan jumlah penduduk terus terjadi setiap
tahunnya dengan laju pertumbuhan penduduk 1,3 persen (Data BPS, 2005).
Jumlah penduduk yang semakin tinggi ini akan diikuti pemenuhan kebutuhan
untuk menunjang kehidupannya. Bentuk pemenuhan kebutuhan dapat berupa
pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada.
Tanah atau sumberdaya lainnya pada suatu masyarakat agraris merupakan
faktor produksi memiliki arti yang sangat penting. Menurut Wiradi (1984),
masalah penguasaan tanah di pedesaan merupakan masalah yang rumit, karena
menyangkut berbagai aspek seperti aspek ekonomi, demografi, hukum, politik dan
sosial. Tanah dari aspek ekonomi adalah melihat tanah sebagai faktor produksi.
Namun ketika tanah tersebut menjadi langka, maka perbandingan jumlah manusia
dengan luas lahan menjadi sangat penting, inilah yang dinamakan sebagai aspek
demografis.
Tanah jika dilihat dari aspek hukum lebih kepada pola hak dan kewajiban
pemakai tanah (baik secara formal maupun informal). Peraturan akan ditaati
masyarakat jika ada aparatur organisasi yang mampu memaksakan peraturan
tersebut, artinya diperlukan suatu kekuasaan (pandangan politik). Kemudian dari
keempat aspek ini akan dapat dilihat bagaimana lapisan-lapisan masyarakat
Tanah yang menjadi aset utama bagi rakyat banyak adalah tanah untuk
bercocok tanam yang merupakan sumber kehidupan utamanya (Tjodronegoro,
1999). Sumberdaya tanah bersifat multifungsi dalam aktifitas kehidupan manusia
di berbagai bidang, baik di bidang pertanian maupun non-pertanian. Di bidang
pertanian tanah digunakan sebagai lahan untuk berusahatani sehingga dapat
menghasilkan produksi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan, seperti
sawah, kebun/ladang dan lain-lain. Tanah di bidang non-pertanian digunakan
sebagai tempat pemukiman, perkantoran/jasa maupun tempat lainnya.
Aktivitas alih fungsi lahan dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Sihaloho (2004) menyatakan bahwa terdapat lima faktor yang mempengaruhi alih
fungi lahan, diantaranya: (1) Pertumbuhan penduduk, semakin pesatnya
pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan akan sumberdaya
lahan terutama lahan untuk pemukiman; (2) Desakan ekonomi mendorong
masyarakat yang awalnya berusaha di sektor pertanian beralih ke sektor
non-pertanian; (3) Pengaruh dari warga yang telah lebih dahulu melakukan alih fungsi
lahan; (4) Investasi pihak swasta yang menawarkan ingin membeli lahan warga;
(5) Intervensi pemerintah yang berusaha melalui Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW); dan (6) Proses pengadaan tanah oleh pihak yang lebih “dominan”.
Masyarakat sekitar DAS umumnya merupakan masyarakat agraris yang
sangat tergantung dari sumberdaya lahan (PSP IPB, 2005). Adanya ketimpangan
dalam penguasaan tanah akan membawa pengaruh terhadap kehidupan
masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama dalam kaitannya dengan
Masyarakat di sekitar DAS yang tidak mempunyai alternatif lain karena
keterbatasan dana, usia atau keahlian, maka bertani/buruh tani masih sangat
menjadi pilihan (Prasetyo, 2004). Sebagai akibat dari pilihan tersebut dan seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk, maka intensitas pengelolaan pun semakin
meningkat. Ketika masyarakat tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
subsistennya karena keterbatasan lahan yang mereka miliki, maka situasi ini
kemudian mendorong mereka melakukan konversi hutan alam menjadi lahan
budidaya pertanian, baik berupa sawah maupun kebun campuran.
Menurut Indaryanti (2004) secara umum kondisi sumberdaya alam
dibagian hulu dan tengah DAS Citanduy telah mengalami perubahan yang cukup
serius dibanding beberapa tahun lalu. Perubahan-perubahan tersebut meliputi
ketersediaan dan kualitas air, bencana banjir dan longsor pada musim penghujan
akibat meluapnya air sungai serta kualitasnya yang semakin buruk akibat tercemar
limbah pabrik, lumpur atau tanah yang terbawa arus air sungai.
Data dari Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy (2007) menunjukkan
bahwa kurun waktu lima tahun terakhir ini, kondisi lingkungan hidup di Jawa
Barat menunjukkan kecenderungan yang bertambah buruk. Persoalan lingkungan
hidup umumnya terkait juga dengan meningkatnya degradasi hutan dan lahan,
erosi dan deforestasi yang dapat menambah luas lahan kritis. Sekitar 20 DAS dari
40 DAS yang teridentifikasi di Jawa Barat dinyatakan dalam kondisi kritis hingga
sangat kritis. Tingkat kekritisan DAS umumnya dicirikan oleh terjadinya
pendakangkalan sungai dan tingginya fluktuasi debit aliran sungai antara musim
hujan dan musim kemarau. Akibatnya kondisi kesehatan DAS terganggu,
Kondisi kualitas air juga semakin menurun yang ditunjukkan dengan tingginya
laju sendimentasi dan pencemaran, terutama terkait dengan aktivitas pemanfaatan
lahan pertanian.
Yunus (2005) mengemukakan bahwa mata pencaharian penduduk di
wilayah DAS Citanduy relatif sama yaitu sebagai petani dan buruh tani dengan
pola penggunaan lahan terbanyak adalah tegalan dan sawah. Pengusahaan lahan
tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan meningkatkan bahaya erosi yang
dapat mengakibatkan lahan berubah menjadi lahan kritis. Artinya, produktivitas
lahan menurun, sehingga menyebabkan terjadinya kelangkaan air untuk kegiatan
pertanian dan keperluan sehari-hari pada musim kemarau.
Permasalahan-permasalahan DAS yang ada memerlukan suatu bentuk
pengelolaan yang mampu mengendalikan hubungan timbal balik sumberdaya
alam dan lingkungan DAS dengan kegiatan manusia dalam menciptakan
kelestarian fungsi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat (Balai Pengelolaan
DAS Cimanuk-Citanduy, 2007). Pengelolaan DAS harus melibatkan berbagai
pihak dalam pelaksanaannya, seperti pemerintah, swasta dan masyarakat.
Keterpaduan pihak-pihak yang terlibat sangat diperlukan untuk
optimalisasi kinerja dalam pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS seperti ini disebut
sebagai pengelolaan DAS Terpadu, dimana unsur-unsur dan pihak-pihak yang
Penelitian ini akan berusaha menganalisis perubahan struktur agraria yang
terjadi di DAS Citanduy dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan tersebut. Kemudian juga akan dilihat bagaimana bentuk pengelolaan
DAS saat ini serta bagaimana perubahan struktur agraria dan pengelolaan DAS
Citanduy saat ini.
1.2 Perumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang akan dikaji berdasarkan latar belakang di
atas, diantaranya:
1. Bagaimana perubahan struktur agraria di DAS Citanduy?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria di DAS
Citanduy?
3. Bagaiamana perubahan struktur agraria dan pengelolaan DAS Citanduy saat ini?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perubahan struktur agraria di DAS Citanduy.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria di
DAS Citanduy.
3. Bagaiamana perubahan struktur agraria dan pengelolaan DAS Citanduy saat ini?
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini, khususnya bagi peneliti diharapkan dapat berguna
untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan selama
pelaksanaan penelitian dalam melihat fenomena praktis yang terjadi dan
mengaitkannya dengan teori yang telah diperoleh. Penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi referensi untuk menjadi bahan penelitian dan penulisan selanjutnya.
Kemudian, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan
tambahan dalam mata kuliah Kajian Agraria dan Ekologi Manusia. Sedangkan
bagi instansi yang terkait, dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Struktur Agraria
Istilah agraria berdasarkan penelusuran etmologis Kamus Bahasa
Latin-Indonesia dan World Book Dictionary dalam Sitorus (2002) berasal dari kata “ager”, yang artinya “lapangan”, “pedusunan” atau “wilayah”. Suatu bentangan “lapangan”, “pedusunan” atau “wilayah” yang terdiri dari aneka unsur yang meliputi tanah, air, hutan, bahan mineral/tambang, udara dan lain-lain. Sitorus
(2002) juga menjelaskan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas
dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang
mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial
yang terdapat di dalamnya.
Lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu obyek agraria atau
sering disebut sebagai sumber-sumber agraria dan subyek agraria. Unsur yang
pertama, yaitu sumber-sumber agraria, sangat erat kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu,
sumber-sumber agraria berkaitan erat dengan akumulasi kekuasaan (politik,
ekonomi dan sosial).
Merujuk pada pasal 1 (ayat 2, 4, 5, 6) UUPA 1960, Sitorus (2002)
menyimpulkan sumber-sumber agraria sebagai berikut: (1) tanah atau “permukaan bumi” yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan; (2) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan
perikanan (sungai, danau maupun laut); (3) hutan, meliputi kesatuan flora dan
fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam
kegiatan ekonomi komunitas-komunitas; (4) bahan tambang, mencakup beragam bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi”; dan (5) udara, dalam arti ruang di atas bumi dan air.
Unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki
kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara garis besar, subyek
agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur
individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok), pemerintah
(sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Desa) dan swasta (private sector yang mencakup unsur-unsur
perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan
dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan/
pemanfaatan (tenure institutions).
Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan akan membawa implikasi
terbentuknya ragam sosial, sekaligus interaksi sosial diantara ketiga subyek.
Dimana satu dan lain subyek saling berhubungan secara sosial dalam kaitan
hubungan teknis masing-masing subyek itu dengan sumber-sumber agraria.
Sitorus (2002) membagi analisis agraria ke dalam dua bentuk. Pertama, ketiga
subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk
kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu. Proporsi
pertama ini menggambarkan hubungan teknis yang menunjukan cara kerja subyek
agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi
Kedua, ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu.
Proporsi kedua ini menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukan
cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan
obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses
dalam hal penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan. Hubungan-hubungan
sosial agraria antar subyek agraria yang kemudian membentuk sebuah struktur
agraria dapat digambarkan dalam hubungan segitiga antar subyek agraria yang
digambarkan oleh Sitorus (2004) berikut ini (Gambar 1).
Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria Keterangan:
Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria
Struktur agraria pada penelitian ini adalah hubungan antara subyek dengan
sumber-sumber agraria mencakup penguasaan/pemilikan/pemanfaatan lahan.
Menurut Wiradi (1984), kata ”pemilikan” tanah menunjuk pada penguasaan
formal sedangkan ”penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Misalnya,
jika seseorang memiliki sebidang tanah 2 hektar, kemudian juga menggarap lahan
orang lain seluas 3 ha, maka luas lahan yang ia kuasai adalah 5 hektar. Komunitas
Sumber-sumber Agraria
Swasta Pemerintah
Pemilikan tanah dari sisi sosial, bukan hanya merupakan harta ekonomi,
tetapi mencerminkan status sosial seseorang. Penguasaan tanah belum tentu dan
tidak harus disertai dengan pemilikan. Sihaloho (2004) menambahkan bahwa
penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik
dengan pembagi-hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai”
dan lain-lain. Sedangkan kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan
sebidang tanah secara produktif.
Kelembagaan penguasaan tanah yang umumnya dilakukan masyarakat di
desa-desa Jawa adalah sebagai berikut (Wiradi dan Makali, 1984):
1. Sistem Gadai, merupakan bentuk kelembagaan penguasaan tanah dimana
pemilik menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara
tunai atau dengan bentuk pembayaran berupa sekian kuintal gabah atau sekian
gram emas perhiasan atau sekian ekor kerbau atau sapi, dengan ketentuan
pemilik tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebus, maka
hak pengusahaan tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah
dilakukan setelah tanah selesai dipanen.
2. Sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang
lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa.
3. Sistem bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang
lain untuk diusahakan, dengan penggarap akan menanggung beban tenaga kerja
Terkait pola hubungan agraria, Sihaloho (2004) mengelompokkan
penguasaan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu:
1. Masyarakat yang memiliki lahan luas dan mempercayakan lahan garapannya
untuk digarap orang lain. Pemilik lahan ini menerapkan sistem sewa ataupun
bagi hasil.
2. Pemilik lahan sempit yang menggunakan tenaga kerja keluarga untuk
mengolah lahan yang dimilikinya. Pemilik lahan ini tidak memanfaatkan
tenaga kerja buruh karena luas lahan yang dimiliki sempit dan dana yang
dimiliki untuk biaya pengolahan lahan terbatas.
3. Pemilik lahan mengolah sendiri lahan yang dimiliki dengan memanfaatkan jasa
buruh tani. Petani yang dimaksud dari pernyataan ini adalah petani yang
memiliki lahan sempit maupun luas.
Wiradi (1984) menambahkan bahwa terdapat lima pengelompokkan
penduduk desa dalam penguasaan lahan, diantaranya: (1) Pemilik Penggarap
Murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya; (2) Penyewa
dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan tetapi
mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) Pemilik penyewa
dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya
sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) Pemilik bukan penggarap; dan
(5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan
garapan. Sebagian besar dari mereka (tunakisma) ini adalah buruh tani dan hanya
Bentuk-bentuk penguasaan tanah secara adat yang terdapat di Pulau Jawa
menurut Wiradi (1984) adalah:
1. Tanah yasan, yasa atau yoso yaitu tanah yang didapatkan seseorang karena
membuka hutan atau tanah liar untuk dijadikan tanah garapan. Hak seseorang
berasal dari fakta bahwa dialah, atau nenek moyangnya yang semula membuka
tanah tersebut. Istilah yasa atau yoso dalam bahasa Jawa berarti membuat
sendiri atau membangun sendiri (bukan membeli). Bentuk hak atas tanah ini
dalam UUPA-1960 dikategorikan sebagai hak milik.
2. Tanah gogolan, pekulen, kesikepan dan sejenisnya, yaitu tanah pertanian milik
masyarakat desa yang hak pemanfaatannya biasanya dibagi-bagi kepada
sejumlah petani (biasanya disebut sebagai penduduk inti) secara tetap maupun
secara giliran berkala. Pemegang hak garap tanah ini tidak berhak untuk
menjualnya atau memindahtangankan hak tersebut. Pada konsep barat
pemilikan tanah gogol dikategorikan sebagai pemilikan komunal.
3. Tanah titisara, titisoro, kas desa atau bondo desa adalah tanah pertanian milik
desa yang secara berkala biasanya disewakan atau disakapkan dengan cara
dilelang terlebih dahulu. Hasilnya menjadi kekayaan desa yang biasanya
dipergunakan untuk keperluan-keperluan desa, baik sebagai sumber dana
anggaran rutin maupun untuk pembangunan. Tanah ini dalam konsep Barat dapat digolongkan dalam “tanah yang tunduk kepada pengawasan komunal” dan keberadaannya diakui dalam UUPA-1960.
4. Tanah bengkok yaitu tanah pertanian (umumnya sawah) milik desa yang
diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai gajinya
tersebut dikembalikan kepada desa untuk diberikan kepada pejabat yang baru. Tanah ini juga merupakan “tanah yang tunduk kepada pengawasan komunal” dan keberadaannya diakui dalam UUPA-1960.
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Agraria
Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi perubahan struktur
agraria. Zuber (2007) mengemukakan ada empat faktor yang mempengaruhi
perubahan struktur agraria, diantaranya:
1. Permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate,
pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal
tanah yang luas;
2. Faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan;
3. Kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang
mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian, penggunaan
pestisida ataupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan
pertanian; dan
4. Kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti harga pupuk yang
tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang
sampai sekarang masih sangat pelik. Para petani miskin masih sangat
menderita dengan proses input pertanian yang sangat tinggi (high cost), namun
di sisi lain penjualan outputnya masih sangat rendah. Penelitian Syafa’at et al.
(2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan
bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menentukan
kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun dan (2) respon petani
terhadap dinamika pasar, lingkungan dan daya saing usahatani meningkat.
Sihaloho (2004) dalam hasil kajiannya menjelaskan faktor-faktor
penyebab konversi lahan di Kelurahan Mulyaharja, Bogor, Jawa Barat sebagai
berikut:
1. Faktor pertambahan penduduk yang begitu cepat berimplikasi kepada
permintaan terhadap lahan pemukiman yang semakin meningkat dari tahun ke
tahun;
2. Faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat
pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil
penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, berusaha mencari bentuk
usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk
mendapatkan modal dalam memulai usahanya, petani pada umumnya menjual
tanah yang dimilikinya.
3. Faktor luar, yaitu pengaruh warga dari desa-kelurahan perbatasan yang telah
lebih dahulu menjual tanah mereka kepada pihak Perseroan Terbatas (PT);
4. Adanya penanaman modal pihak swasta dengan membeli lahan-lahan
produktif milik warga;
5. Proses pengalihan pemillik lahan dari warga ke beberapa PT dan ke beberapa
orang yang menguasai lahan dalam luasan yang lebih dari 10 hektar; dan
6. Intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Berdasarkan RTRW tahun 2005, seluas 269,42 hektar lahan Kelurahan
Mulyaharja akan dialokasikan untuk pemukiman/perumahan real estate;
2.1.3 Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kesatuan ekosistem dimana jasad
hidup dan lingkungannya berinteraksi secara dinamik dan terdapat saling
ketergantungan (interdependensi) diantara komponen-komponen penyusunnya.
Menurut Asdak (2002), DAS merupakan kumpulan Sub-DAS yang lebih kecil
dan jumlahnya sesuai dengan ordo atau jumlah cabang sungainya. Yunus (2005)
menambahkan bahwa DAS merupakan ekosistem yang di dalamnya terjadi
interaksi antara faktor-faktor biotik (vegetasi) dan faktor-faktor fisik (tanah dan
iklim) serta manusia dengan segala aktivitasnya. Interaksi yang terjadi dinyatakan
dalam bentuk keseimbangan masukan dan keluaran yang mencirikan keadaan
hidrologis DAS dengan melihat hasil pengukuran tingkat erosi, sedimentasi, aliran
permukaan, fluktuasi debit dan produktivitas lahan.
Kawasan DAS dibatasi oleh pemisah topografi yang menampung,
menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama
yang bermuara ke danau atau ke laut. Batasan-batasan DAS menurut Direktorat
Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air (2008) dibedakan berdasarkan
fungsinya, yaitu DAS bagian hulu yang didasarkan pada fungsi konservasi untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. Daerah Aliran
Sungai bagian hulu mempunyai peran paling penting, terutama sebagai tempat
penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Berikutnya adalah DAS bagian
tengah dan bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang
2.1.4 Sistem Pengelolaan Daerah Airan Sungai Terpadu
Suatu DAS dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan pembangunan
misalnya untuk areal pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman,
pembangunan PLTA, pemanfaatan hasil hutan kayu dan lain-lain. Semua kegiatan
tersebut akhirnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia khususnya
peningkatan kesejahteraan. Namun demikian hal yang harus diperhatikan adalah
berbagai kegiatan tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan jika tidak
ditangani dengan baik.
Dampak yang ditimbulkan dapat berupa penurunan tingkat produksi, baik
produksi pada masing-masing sektor maupun pada tingkat DAS. Upaya untuk
mengelola DAS secara baik dengan mensinergikan kegiatan-kegiatan
pembangunan yang ada di dalam DAS sangat diperlukan bukan hanya untuk
kepentingan menjaga kemampuan produksi atau ekonomi semata, tetapi juga
untuk menghindarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir,
longsor, kekeringan dan lain-lain.
Pengelolaan DAS Terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan
yang bersifat partisipatif dari berbagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam
memanfaatkan dan konservasi sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan
DAS Terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang
menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi
positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output.
Pihak-pihak yang dimaksud disini adalah pemerintah, swasta dan masyarakat.
Laporan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air (TPKSDA) (2007)
DAS Terpadu yang ingin dicapai, yaitu: (1) Terciptanya kondisi hidrologis DAS
yang optimal; (2) Meningkatnya produktivitas lahan pertanian dan hutan; (3)
Meningkatnya partisipasi mayarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS;
dan (4) Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pertama, terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal, meliputi hasil air yang memadai baik jumlah, kualitas, kontinuitas serta terkendalinya erosi serta
kekeringan. Hasil air yang optimal ditekankan pada kemampuan DAS sebagi
suplai sumber air minum penduduk dan untuk keperluan lain rumah tangga, air
untuk industri, air untuk irigasi dan air untuk habitat biologi. Kedua,
meningkatnya produktivitas lahan di DAS dapat dilihat dari meningkatnya
kesuburan tanah, ketersediaan air yang optimal, serta erosi dan degradasi lahan
rendah. Hal ini dapat dilakukan melalui usaha konservasi tanah dan air.
Ketiga, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS. Partisipasi masyarakat dapat dilihat dari kelembagaan lokal
(organisasi/kelompok) yang ada di masyarakat. Dimana anggota-anggota
masyarakat berusaha meningkatkan kapasitas kelembagaannya dalam mengelola
sumberdaya yang ada untuk menghasilkan perbaikan yang berkelanjutan dalam
menjaga kelestarian DAS.
Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS dapat dilihat dari
partisipasi mayarakat yang terorganisir dalam kelembagaan, seperti kelompok
tani dan kelompok tradisional (Kolopaking dan Tonny, 1994). Selanjutanya
menurut Kolopaking dan Tonny (1994), tingkat partisipasi masyarakat dapat
dikategorikan sebagai berikut: (1) Tingkat partisipasi tinggi, apabila peranserta
juga berperanserta dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan; (2)
Tingkat partisipasi sedang, apabila peranserta masyarakat hanya dalam proses
pelaksanaan dan pemanfaatan hasil dan (3) Tingkat partisipasi masyarakat rendah,
apabila peranserta masyarakat tidak memenuhi kriteria (1) dan (2). Keempat,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ini dapat dilihat dari pelaksanaan
program/kegiatan yang berhubungan dengan upaya menjaga keberlanjutan
ekosistem sumber daya hutan, lahan dan air di DAS.
2.1.5 Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Perubahan penggunaan lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap
kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan
lainnya seperti pertanian, perumahan dan lainnya. Pengusahaan lahan pertanian
pada umumnya kurang mengindahkan aspek lingkungan dan lebih mengutamakan
hasil/keuntungan finansial sesaat. Para petani pada umumnya kurang menerapkan
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air (Deptan, 2008). Banyak petani yang
menggunakan bahan kimia untuk meningkatkan produksi pertaniannya. Namun,
dengan penggunaan bahan kimia ini justru akan menurunkan produktivitas lahan.
Pembukaan lahan untuk pemukiman juga memberikan kontribusi terhadap
kerusakan lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi pemukiman di DAS
dapat mengakibatkan dampak negatif khususnya bila dilihat dari laju erosi
(Yunus, 2005). Selain itu lingkungan pemukiman yang telah berpenghuni akan
menghasilkan limbah domestik, baik berupa sampah padat organik maupun
Perubahan-perubahan ini secara tidak langsung akan mempengharuhi
keadaan DAS. Apabila perubahan-perubahan tersebut tidak segera dikelola
dengan baik, akan mempengaruhi tingkat erosivitas yang dapat menyebabkan
daya tampung air menurun tajam. Apabila tidak dikelola dengan baik maka inilah
yang sering mengakibatkan banjir dimusim hujan dan kekurangan air dimusim
kemarau.
Kolopaking dan Tonny (1994) menyatakan bahwa selama ini pelaksanaan
program konservasi dan pengelolaan DAS yang muncul umumnya berupa bentuk
hubungan vertical-instructional dan partisipasi yang semu. Hal ini terjadi karena
kelembagaan tradisional semata-mata dipandang sebagai obyek. Selain itu dari
sisi masyarakat yang menjadi anggota kelompok tani dan kelompok tradisional,
kendala yang mereka hadapi sehingga tidak dapat berpartisipasi sepenuhnya
adalah karena faktor pemilikan lahan (Kolopaking dan Tonny, 1994).
Salah satu contoh di luar Jawa (DAS Saddang, Jeneberang dan
Batanghari), tidak sedikit lahan kritis milik pemerintah yang ditelantarkan.
Padahal para petani mau berperanserta melakukan kegiatan konservasi di atas
lahan kritis tersebut. Akan tetapi karena status lahan yang tidak jelas dan tidak
memiliki kekuatan untuk menguasai lahan tersebut, menyebabkan para petani
tidak mampu untuk berpartisipasi dalam program-program konservasi.
Lahan-lahan kritis di wilayah DAS tidak saja menyebabkan menurunnya
produktivitas tanah di tempat terjadinya lahan kritis itu sendiri, tetapi juga
menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis DAS dalam menahan, menyimpan dan
meresapkan air hujan yang jatuh pada kawasan DAS tersebut. Penurunan
sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan ekonomi keluarga sehingga
tercipta keluarga-keluarga miskin baru. Oleh karena itu kawasan lahan kritis
selalu dicirikan oleh produktivitas lahan yang rendah, jumlah penduduk yang
tinggi, pendapatan petani yang rendah, potensi erosi yang tinggi,
terkonsentrasinya kantong kemiskinan dan kerawanan gizi dan yang lainnya
(TKPSDA, 2008).
Menciptakan proses koordinasi dalam mencari dan menetapkan
bentuk-bentuk hubungan kelembagaan antara pemerintah dengan swasta, masyarakat,
LSM maupun akademisi dalam pengelolaan DAS tidaklah mudah. Beberapa
pelaksanaan program-program konservasi dan pengelolaan DAS yang selama ini
telah dilaksanakan, khususnya mengenai hubungan antara kelembagaan
pemerintah dengan swasta dan LSM belum terencana dan terlaksana dengan baik.
Bentuk kelembagaan diantara pihak-pihak yang terlibat dapat dilihat
dengan mengidentifikasi terlebih dahulu sumber-sumber kerusakan yang terjadi
pada wilayah DAS, seperti kerusakan hutan, tanah dan air, kemudian dicari
bentuk-bentuk usaha yang menguntungkan dan mampu menciptakan pelestarian
sumberdaya yang ada (Kolopaking dan Tonny, 1994). Selanjutnya Kolopaking
dan Tonny (1994) menjelaskan bahwa kerusakan hutan, tanah dan air di beberapa
DAS di Pulau Jawa lebih bersumber dari tekanan penduduk, sedangkan kerusakan
di luar Pulau Jawa lebih banyak bersumber dari eksploitasi hutan dan program
2.2 Kerangka Pemikiran
Penjelasan-penjelasan di atas dapat dirangkai menjadi sebuah kerangka
pemikiran yang selanjutnya akan menjadi suatu permasalahan baru dalam
mengangkat tema mengenai perubahan struktur agraria di wilayah DAS. Sesuai
dengan fokus penelitian ini dikemukakan sejumlah faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan struktur agraria dan bagaimana perubahan tersebut
mempengaruhi pengelolaan DAS Terpadu.
Struktur agraria pada dasarnya merupakan pola hubungan antar berbagai
status sosial menurut penguasaan sumber-sumber agraria. Menurut Sihaloho
(2004), hubungan tersebut dapat berupa hubungan “pemilik dengan penggarap”, “pemilik dengan pembagi hasil”, “ pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan” dan lain-lain. Kata “pemilik” menunjuk pada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif (Wiradi, 1984). Sedangkan kata “pengusahaan” mengandung arti pada bagaimana cara caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif.
Pemanfaatan lahan di wilayah DAS untuk areal pertanian, perkebunan,
perikanan, permukiman dan yang lainnya, telah menyebabkan terjadinya
perubahan struktur agraria di wilayah DAS. Perubahan struktur agraria ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) meletusnya Gunung
Galunggunga, (2) faktor keterdesakan ekonomi, (3) faktor sosial budaya
(warisan), (4) harga jual tanaman kayu, (5) akses ke jalan utama desa, dan (6)
keinginan berinvestasi lahan pertanian.
Perubahan struktur agraria dengan membuka lahan garapan baru non
terkendali di DAS, akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan beban dan
tekanan stabilitas DAS yang mengarah pada kerusakan secara nyata. Tingkat
kerusakan DAS ini diindikasikan dengan fluktuasi debit sungai yang tajam antara
musim penghujan dan kemarau, pendangkalan sungai, terjadinya tanah longsor,
banjir dan kekeringan. Permasalahan-permasalahan tersebut memerlukan suatu
bentuk pengelolaan DAS yang terpadu melalui kontribusi berbagai pihak terkait
(masyarakat, pemerintah, swasta), sehingga dapat tercapai suatu bnetuk
pengelolaan DAS Terpadu. Secara skematis, kerangka pemikiran mengenai
penelitian ini disajikan pada Gambar 2.
2.3 Hipotesis Pengarah
Sesuai dengan tujuan yang diajukan, maka hipotesis pengarah untuk
penelitian ini adalah:
1. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perubahan struktur agraria
(pemilikan, penguasaan dan pengusahaan) di DAS adalah: meletusnya
Gunung Galunggunga, faktor keterdesakan ekonomi, faktor sosial budaya
(warisan), harga jual tanaman kayu, akses ke jalan utama desa, dan keinginan
berinvestasi lahan pertanian.
2. Perubahan struktur agraria dalam hal penggunaan lahan di DAS diduga akan
Gambar 2. Bagan Kerangka Analisis Pengaruh Perubahan Struktur Agraria terhadap Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Keterangan :
Hubungan Mencakup
2.4 Definisi Konseptual
1. Penguasaan tanah adalah penguasaan efektif terhadap lahan yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Pengusahaan tanah adalah bagaimana memanfaatkan sebidang tanah secara
produktif.
3. Lahan kritis adalah lahan yang keadaan biofisiknya sedemikian rupa sehingga
lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya
sebagai media produksi maupun sebagai media tata air.
4. Konservasi tanah adalah upaya mempertahankan, merehabilitasi dan
meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan peruntukannya. Faktor Penyebab Perubahan
Struktur Agraria:
1. Pertambahan penduduk 2. Faktor ekonomi
3. Faktor sosial budaya (warisan)
4. harga jual tanaman kayu 5. Akses ke jalan utama 6. keinginan berinvestasi lahan
pertanian
Perubahan Struktur Agraria DAS: 1. Pemilikan lahan
2. Penguasaan lahan
Pengelolaan DAS Terpadu Stabilitas DAS Partisipasi Berbagai Pihak: Pemerintah, Swasta, Masyarakat, LSM dan Akademisi 3. Penggunaan Lahan
5. Pertambahan penduduk adalah meningkatnya jumlah proporsi penduduk pada
suatu wilayah tertentu.
6. Faktor ekonomi adalah beruhubungan dengan kemampuan dalam memenuhi
kebutuhan rumahtangga.
7. Faktor sosial budaya adalah pemilikan lahan yang diperoleh melalui warisan.
8. Daerah Aliran Sungai adalah wilayah yang mengalirkan air yang jatuh di
atasnya.
9. Sub-DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya
melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam
beberapa sub-DAS.
10. Pengelolaan DAS Terpadu adalah pengelolaan sumberdaya DAS yang
partisipatif dari pihak-pihak yang terlibat, seperti pemerintah, masyarakat,
swasta.
11. Keberlanjutan (sustainable) adalah keberlanjutan program/kegiatan dalam
upaya meningkatkan konservasi DAS.
12. Berwawasan lingkungan adalah memperhatikan aspek lingkungan untuk
menjaga ekosistem tetap seimbang.
2.5 Definisi Operasional
Untuk mengarahkan pengumpulan, pengelolaan dan analisis data dalam
penelitian dirumuskan sejumlah defenisi operasional sebagai berikut:
1. Perubahan struktur agraria adalah perubahan pola pemilikan, penguasaan dan
pemanfaatan lahan pertanian yang dilihat dari sebelum tahun 1999 (dahulu)
kuesioner menunjukkan bahwa perubahan struktur agraria dominan terjadi
pada periode sebelum tahun 1999 dan periode tahun 1999-2009.
2. Pengelompokkan pola penguasaan sawah dinyatakan dalam skala nominal
yang dilihat dari:
(1) Pemilik murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang
dimilikinya;
(2) Penggarap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan tetapi
mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil.
(3) Pemilik penggarap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya
sendiri juga menggarap lahan milik orang lain.
(4) Tunakisma sawah, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan
pertanian.
3. Kategori luas pemilikan lahan pertanian (sawah, kebun, kolam dan lahan kosong) yang dilihat adalah dahulu dan sekarang sesuai periode waktu yang telah ditetapkan. Luas pemilikan lahan dibagi ke dalam empat kategori, yakni tunakisma (tidak memiliki lahan pertanian), sempit, sedang dan luas. Nilai tiap kategori tersebut diperoleh melalui perhitungan ukuran penyebaran data,
dengan rumus: nilai maksimum – nilai minimum
3
Dinyatakan dalam skala ordinal dengan satuan bata (satu hektar = 700 bata), kemudian diperoleh nilai:
(1) Dahulu (sebelum tahun 1999) a. Tunakisma : 0 bata
c. Sedang: 550-1100 bata d. Luas: > 1100 bata (2) Sekarang (tahun 1999-2009) a. Tunakisma: 0 bata b. Sempit: < 515 bata c. Sedang: 515-1030 bata d. Luas: > 1030 bata
4. Kategori luas pemilikan dan penguasaan adalah sama. Hal ini karena luas
lahan maksimal dan minimal pemilikan dan penguasaan sebelum tahun 1999
dan pada periode tahun 1999-2009 memiliki nilai yang sama. Dinyatakan
dalam skala ordinal dengan satuan bata (1 hektar = 700 bata), indikatornya: (1) Dahulu (sebelum tahun 1999)
a. Tidak memiliki/meguasai sawah: 0 bata b. Sempit: < 517 bata
c. Sedang: 517-1034 bata d. Luas: > 1034 bata
(2) Sekarang (tahun 1999-2009)
a. Tidak memiliki/menguasai sawah: 0 bata b. Sempit: < 467 bata
c. Sedang: 467- 934 bata e. Luas: > 934 bata
5. Pola pemanfaatan lahan pertanian adalah pola tanam yang diterapkan oleh
petani pada lahan yang mereka usahakan. Dinyatakan dalam skala nominal
(1) Monokultur ialah pola tanam dengan satu jenis tanaman pada satu lahan. (2) Campur ialah pola tanam dengan berbagai jenis tanaman pada satu lahan,
perubahan jenis tanaman biasanya disesuaikan dengan musim.
6. Pengelolaan DAS yang akan dilihat adalah bentuk kegiatan pengelolaan DAS
yang dilakukan pihak pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mencapai
sasaran pengelolaan DAS Terpadu yang ditetapkan oleh Tim Koordinasi
Pengelolaan Sumberdaya Air (2008).
7. Pengaruh perubahan struktur agraria terhadap pengelolaan DAS dilihat dari
perubahan-perubahan alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan kaidah
konservasi dan keberadaan lahan-lahan kritis akan mempengaruhi kestabilan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Strategi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan ini
diharapkan adanya pemahaman terhadap perubahan struktur agraria, faktor-faktor
penyebabnya, sistem pengelolaan DAS serta pengaruh perubahan struktur agraria
terhadap sistem pengelolaan DAS itu sendiri. Pendekatan kualitatif ini juga
didukung data kuantitatif yang diperoleh dari hasil survei melalui instrumen
kuesioner untuk mengetahui perubahan struktur mencakup pemilikan,
penguasaan, pengusahaan lahan yang terjadi.
Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menelusuri lebih jauh perubahan
struktur agraria dan faktor penyebabnya serta pengaruhnya terhadap sistem
pengelolaan DAS. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini
adalah studi kasus. Artinya, memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti
dengan menerapkan berbagai metode (Stake, 1994 : 236 dalam Sitorus, 1998 ).
Metode yang digunakan berupa wawancara, observasi dan analisis dokumen.
Pemilihan strategi tersebut terkait dengan tujuan penelitian ini yaitu eksplanatif,
penelitian ini bertujuan menjelaskan penyebab-penyebab gejala sosial serta
keterkaitan sebab akibat dengan gejala sosial lainnya (Sitorus, 1998). Penelitian
ini dilakukan guna menerangkan berbagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat,
dalam hal ini mengenai perubahan struktur agraria dan pengaruhnya terhadap
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik,
Kabupaten Tasikmalaya. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive)
dengan beberapa alasan pemilihan lokasi diantaranya:
a) Desa Tanjungsari berbatasan langsung dengan DAS Citanduy. Menurut data
petugas penyuluh kehutanan, desa ini merupakan kawasan lindung di luar
kawasan hutan, yaitu termasuk wilayah kaki Sungai Citanduy (kakisu).
b) Desa Tanjungsari merupakan salah satu desa yang mendapatkan program
bantuan hutan rakyat berupa kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis
(GRLK) yang dilaksanakan pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan
(Dishutbun) Kabupaten Tasikmalaya.
c) Desa Tanjungsari merupakan desa yang memiliki areal persawahan paling luas
di antara desa-desa lainnya di Kecamatan Sukaresik.
d) Keterbatasan sumberdaya untuk peneliti.
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2009. Penjajagan awal
telah dilakukan pada tanggal 12 Maret-15 Maret 2009. Selama pengambilan data
berlangsung, peneliti tinggal bersama objek penelitian di lapangan dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui
lokasi penelitian dengan baik dan juga terciptanya hubungan sosial yang dekat
objek penelitian.
3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rumahtangga Desa Tanjungsari,
penelitiannya adalah rumahtangga petani. Jumlah responden yang diambil adalah
40 rumahtangga petani. Penentuan responden dilakukan dengan cara snowball
sampling (efek bola salju) melalui informan penelitian ini. Kemudian untuk pemilihan informan sendiri dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu memilih
orang-orang yang dianggap mengetahui dan mampu menjelaskan gejala sosial
yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder selama
penelitian berlangsung. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan
sendiri oleh peneliti (Wiradi, 2009). Artinya, data tersebut diperoleh dari
pengamatan langsung peneliti sendiri, yakni hasil wawancara dengan orang lain
dan hasil pengukuran kita sendiri. Orang lain disini adalah responden dan
informan terpilih. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari:
1. Perubahan struktur agraria meliputi pemilikan, penguasaan dan pengusahaan.
2. Faktor penyebab perubahan struktur agraria tersebut.
3. Hubungan-hubungan antar berbagai status sosial dalam penguasaan lahan
tersebut.
Data primer yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik
wawancara dengan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan
pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam
menggunakan pedoman wawancara.
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah
diperoleh dari Balai Desa Tanjungsari, Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Tasikmalaya, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya, Badan
Pertanahan Kabupaten Tasikmalaya, Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy,
Balai Besar Wilayah Citanduy dan LSM terkait, serta buku, situs internet,
jurnal-jurnal, skripsi, tesis dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian
ini.
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data kuantitatif adalah informasi mengenai hal-hal yang dapat diukur dan
dapat dikuantifikasikan (di-“angka”-kan). Penelitian ini menggunakan data
kuantitatif berupa tabel frekuensi untuk memperoleh presentase dan dipaparkan
secara deskriptif sehingga data dapat mudah dipahami maknanya. Data kuantitatif
ini digunakan untuk menggambarkan pola penguasaan, kepemilikan dan
pemanfaatan lahan. Sedangkan teknik analisis data pendekatan kualitatif
dilakukan sejak awal pengumpulan data. Dimana hasil wawancara mendalam dan
pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama
kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus.
Analisis data primer dan sekunder diolah dengan melakukan tiga tahapan
kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan melalui verifikasi (Sitorus, 1998). Pertama, reduksi data
dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,
megeliminasi data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian
beberapa fokus penelitian yang disesuaikan untuk menjawab perumusan masalah
yang ada.
Kedua, data yang telah direduksi /disajikan dalam bentuk deskriptif (teks naratif) maupun matriks yang menggambarkan proses terjadinya perubahan
struktur agraria, kemudian proses bagaimana perubahan struktur agraria tersebut
mempengaruhi keadaan lingkungan DAS sekaligus mempengaruhi sistem
pengelolaannya. Sehingga diharapkan dapat menjawab perumusan masalah yang
telah ditetapkan. Tahap ketiga, kesimpulan yaitu menarik simpulan melalui
verifikasi yang dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir.
Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses menyimpulkan tentang penelitian ini
dilakukan bersama dengan para informan yang merupakan subjek dalam
penelitian ini dan yang telah menyumbangkan data dan informasi terhadap
penelitian ini. Analisis data kualitatif dipadukan dengan hasil interpretasi data
BAB IV
GAMBARAN UMUM DESA TANJUNGSARI
4.1 Profil Desa Tanjungsari
4.1.1 Letak Geografis Desa Tanjungsari
Desa Tanjungsari merupakan salah satu dari delapan Desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa barat. Desa Tanjungsari adalah desa hasil pemekaran wilayah Desa Tanjungkerta pada tahun 1980. Desa ini diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Cikidang dan Sungai Citanduy.
Secara geografis batas-batas wilayah Desa Tanjungsari adalah sebelah utara berbatasan dengan Desa Puteran/Tanjungkerta-Kecamatan Pagerageung, sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Cikidang-Kecamatan Sukaresik, sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukamaju/Sukapancar-Kecamatan Pagerageung dan sebelah timur berbatasan dengan Sungai Citanduy-Kecamatan Panumbangan-Ciamis. Secara geografis Desa Tanjungsari dapat dilihat pada lampiran Peta Wilayah Desa Tanjungsari (Lihat Lampiran 3).
Kondisi geografis Desa Tanjungsari ini berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut (dpl). Topografi seperti ini termasuk dataran tinggi dengan curah hujan 1400 mm per tahun dan suhu rata-rata 26 – 27 derajat Celcius. Jumlah bulan hujan di desa ini adalah tiga sampai delapan bulan.
Luas wilayah Desa Tanjungsari sekitar 407,737 hektar yang terbagi menjadi empat dusun/kampung, yaitu Dusun Bojongsoban, Dusun Hegarsari, Dusun Cicalung dan Dusun Mekarsari dengan delapan Rukun Warga (RW) dan 29 Rukun Tetangga (RT).
Jarak Desa Tanjungsari dari Pusat Pemerintahan Kecamatan Sukaresik adalah 3,5 kilometer, dengan jarak tempuh sejauh 15 menit dengan kendaraan bermotor. Sedangkan jarak ke Pusat Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya adalah 34 kilometer, dengan jarak tempuh 45 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor. Jarak dari Pusat