• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) (Kasus Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) (Kasus Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA

DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

(Kasus Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik,

Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)

WHENNIE SASFIRA ADLY

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(2)

ABSTRACT

Change of agrarian structure cover ownership patten, domination and farm exploiting. Domination of land not yet of course and do not have to be joined with ownership. Ownership of farm show at formal domination while domination sho effective domination. Factors which can influence change of agrarian structure among other things: (1) Resident growth, (2) Economic factor, (3) Social-culture factor, that is farm endowment, dan (4) accessing to main road countryside. Pattern of farm exploiting in drainage basin have to pay attention to method of conservation to take care of permanence of River Side Area resoursces. Conservancy of the River Side Area need participation from stakeholders, like government, socialize, and also private sector. So, that later can be created by management of inwrought River Side Area.

(3)

RINGKASAN

WHENNIE SASFIRA ADLY. PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI. Kasus Desa Tanjungsari,

Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya. (Dibimbing oleh MARTUA

SIHALOHO).

Masyarakat DAS merupakan masyarakat agraris yang sangat tergantung

dari sumberdaya lahan (PSP IPB, 2005). Bagi masyarakat di sekitar DAS,

bertani/buruh tani masih menjadi pilihan. Ketika masyarakat tidak mampu lagi

memenuhi kebutuhan subsistennya kemudian akan mendorong mereka melakukan

konversi hutan alam menjadi lahan budidaya pertanian, baik berupa sawah

maupun kebun campuran.

Penggunaan lahan secara intensif oleh masyarakat ikut mempercepat alih

fungsi lahan. Pengelolaan lahan pertanian yang tidak memperhatikan kaidah

koservasi akan mempengaruhi kondisi lingkungan DAS. Seperti munculnya lahan

potensial kritis, erosi, degradasi hutan-lahan, dan deforestasi.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Analisis perubahan struktur agraria di

DAS Citanduy; (2) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur

agraria di DAS Citanduy; (3) analisis perubahan struktur agraria dan pengelolaan

DAS saat ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung

data kuantitatif yang diperoleh dari hasil survei melalui instrumen kuesioner untuk

(4)

lahan yang terjadi. Metode pendekatan kualitatif yang digunakan berupa

wawancara, observasi dan analisis dokumen.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa Pemilikan lahan pertanian dan

lahan tergarap sawah penduduk Desa Tanjungsari mengalami perubahan jika

dilihat dari periode sebelum tahun 1999 (dahulu) dan periode tahun 1999 hingga

2009 (sekarang). Misalnya, petani yang dahulunya merupakan tunakisma,

sekarang berubah posisi menjadi petani pemilik lahan sempit. Namun juga ada

diantara petani yang mengalami penurunan posisi dari petani pemilik lahan luas

menjadi pemilik lahan sempit. Perubahan ini disebabkan oleh perolehan warisan

yang diterima penduduk tunakisma sehingga membuat mereka masuk ke dalam

golongan petani berlahan sempit.

Penduduk Desa Tanjungsari dapat dikelompokkan ke dalam empat

golongan, yaitu: (1) pemilik penggarap murni, (2) pemilik penggarap dan/atau

pemilik penyewa, (3) penggarap murni, dan (4) tunakisma sawah. Pola

penguasaan lahan di desa ini juga mengalami perubahan dari periode sebelum

tahun 1999 dan periode tahun 1999-2009. Sekarang jumlah petani pemilik

berlahan sempit meningkat tajam, hal ini menunjukkan bahwa pola hubungan

produksi bagi hasil yang terjadi di Desa Tanjungsari meningkat. Penduduk yang

tidak mampu membeli lahan kemudian memilih menerapkan pola hubungan bagi

hasil.

Peristiwa meletusnya Gunung Galunggung tahun 1982 mengakibatkan

terjadinya perkembangan pembukaan lahan di Desa Tanjungsari. Dahulunya,

lahan penduduk desa berupa hamparan kebun pandan dan singkong. Namun

(5)

lahan sawah. Hal ini juga berpengaruh terhadap mata pencaharian penduduk dari

yang dahulunya adalah pengrajin pandan, beralih menjadi petani.

Pola pemanfaatan lahan yang dilakukan penduduk pada umumnya adalah

monokultur. Hal ini disebabkan oleh: (1) biaya yang dibutuhkan untuk menanam

jenis tanaman palawija lebih besar dibanding padi, (2) susah dalam pemasaran

hasil, dan (3) andil keputusan petani pemilik yang lebih cenderung memilih pola

monokultur. Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria

Desa Tanjungsari diantaranya: (1) meletusnya Gunung Galunggunga, (2) faktor

keterdesakan ekonomi, (3) faktor sosial budaya (warisan), (4) harga jual tanaman

kayu, (5) akses ke jalan utama desa, dan (6) keinginan berinvestasi lahan

pertanian.

Perubahan struktur agraria dalam hal pemanfaatan lahan yang tidak

memperhatikan konservasi dapat mengganggu stabilitas DAS dalam menjalankan

fungsinya. Praktek usahatani tersebut akan mengakibatkan munculnya lahan-lahan

kritis baru. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa perlunya suatu

pengelolaan DAS yang Terpadu baik dari segi unsur maupun pihak-pihak yang

terlibat di dalamnya haruslah optimal sehingga mampu meningkatkan kinerja

DAS dalam menghasilkan output demi kelangsungan hidup generasi bangsa

(6)

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA

DAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

(Kasus Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik,

Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)

Oleh:

Whennie Sasfira Adly I34050420

SKRIPSI

Sebagai Syarat Kelulusan Pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor 2009

(7)

LEMBAR PENGESAHAN

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:

Nama : Whennie Sasfira Adly

Nomor Induk Mahasiswa : I34050420

Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Proposal Penelitian : Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai (DAS) (Kasus: Desa Tanjung Sari, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya). dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Martua Sihaloho, SP, M.Si NIP. 19770417200604 1 007

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827198303 1 001

(8)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL “PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, September 2009

Whennie Sasfira Adly I34050420

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bangkinang, Riau, 9 Januari 1987 sebagai anak pertama

dari lima bersaudara. Anak dari Bapak Adli Mukhtar Luthfi dan Ibu Yulinawati.

Penulis menyelesaikan TK Pertiwi Bangkinang tahun 1993, Sekolah Dasar Negeri

No. 011 Langgini-Bangkinang tahun 1999, SMP Negeri 1 Bangkinang tahun

2002, dan SMU Negeri 8 Pekanbaru tahun 2005.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur

Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Provinsi Riau. Penulis memilih Mayor

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama

di KPM penulis aktif berorganisasi sebagai anggota Ikatan Keluarga Pelajar dan

Mahasiswa Riau (IKPMR) Bogor dan anggota Himpunan Profesi (Himpro) divisi

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat

dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi yang berjudul

Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Atas

kehendak-Nya Skripsi ini dapat selesai.

Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Institut Pertanian Bogor. Isi dari skripsi ini merupakan tujuan penelitian yang

terdiri dari: (1) Analisis perubahan struktur agraria di DAS Citanduy; (2) Analisis

faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria di DAS Citanduy;

(3) Analisis perubahan struktur agraria dan pengelolaan DAS Citanduy saat ini.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi

penelitian selanjutnya dengan minat yang sama dalam lingkup Studi Agraria dan

Ekologi Manusia. Penulis berharap semoga materi yang disampaikan dalam

skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, September 2009

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak

dukungan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis hendak memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas

segala nikmat, karunia dan hidayahnya yang telah diberikan, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini pula, penulis hendak

menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1) Bapak Martua Sihaloho, SP., MSi selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan mengenai

pembuatan Skripsi yang baik sesuai tema dan kaidah penulisan.

2) Bapak Dr. Satyawan Sunito sebagai penguji utama dan Ibu Ratri Virianita

S. Sos, MSi. sebagai penguji perwakilan dari departemen.

3) Bapak Adli Mukhtar Luthfi dan Ibu Yulinawati, Adik-adik penulis (Dina,

Tika, Ayu dan Habib) yang sangat berarti dalam mendukung penulis untuk

melakukan segala aktivitas pendidikan serta untuk segala perhatian dan kasih

sayang yang diberikan kepada penulis.

4) Kepala Desa dan jajaran pemerintahan Desa Tanjungsari, Bapak Unang

beserta Ibu, Bapak Apipudin beserta Ibu, Bapak Ekbang, Ibu Jua, dan Ibu Siti

Rohmat (Ketua Kelompok Tani Surakatiga), atas kesediannya berbagi

informasi, pengetahuan dan pengalaman dalam rangka penyelesaian penelitian

skripsi ini.

5) Ibu Ai dan Bapak Ateng serta Bu Haji dan Bapak Haji atas kasih sayang dan

(12)

6) Gilang Kartiwa Nugraha yang telah memberikan dukungan kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

7) Rekan satu bimbingan sejak Mata Kuliah Studi Pustaka hingga Skripsi,

Agustina Nurhaeni.

8) Sahabat-sahabat karibku: Mimi, Yayan, Bang Oji, Oel, Memet, Anggi,

Chabun, Uti, Arya, Eka, Satya, Edu, Dito, Fahmi, Reni, Ciwow, Iya, , Aida,

Andi, Egi, Liza, Reza, Luci, Anvina, Vidy, Idham, Iti, Bibob, Morce dll yang

telah menjadi sahabat penulis dalam keadaan suku maupun duka.

9) Anak-anak Asrama Riau Putri dan Putra yang merupakan teman-teman

seperjuangan penulis.

10) Buat semua teman-teman KPM angkatan 42, semoga persahabatan dan

kebersamaan kita tidak sebatas facebook.

11) Seluruh staf pengajar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat yang telah memberikan ilmu dan berbagi pengalaman.

12) Seluruh penggiat agraria yang ada di Sains, terima kasih atas informasi,

literatur dan ilmu yang telah diberikan dalam memahami ilmu keagrariaan.

Penulis berharap semoga apa yang telah penulis paparkan dalam Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, September 2009

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 7

2.1 Tinjauan Pustaka ... 7

2.1.1 Struktur Agraria ... 7

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Agraria ... 13

2.1.3 Daerah Aliran Sungai ... 15

2.1.4 Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu ... 16

2.1.5 Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai ... 18

2.2 Kerangka Pemikiran ... 21

2.3 Hipotesis Pengarah ... 23

2.4 Defenisi Konseptual ... 23

2.5 Defenisi Operasional ... 25

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

3.1 Strategi Penelitian ... 28

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan ... 29

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 30

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisa Data... 31

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA TANJUNGSARI ... 33

4.1 Profil Desa Tanjungsari ... 33

4.1.1 Letak Geografis Desa Tanjungsari ... 33

4.1.2 Demografi Desa Tanjungsari ... 34

4.1.3 Struktur Organisasi Sosial Masyarakat Desa Tanjungsari ... 38

4.1.4 Sarana dan Prasarana ... 40

4.2 Profil Responden ... 41

4.2.1 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan... 41

4.2.2 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan... 42

(14)

BAB V STRUKTUR AGRARIA DESA TANJUNGSARI ... 44

5.1 Perubahan Struktur Agraria ... 44

5.1.1 Pola Pemilikan Lahan Pertanian Desa Tanjungsari ... 44

5.1.2 Pola Penguasaan Lahan Pertanian Desa Tanjungsari ... 53

5.1.3 Pola Pemanfaatan Lahan Pertanian Desa Tanjungsari ... 57

5.2 Faktor-faktr yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Agraria ... 59

5.2.1 Fenomena Alam Meletusnya Gunung Galunggung ... 59

5.2.2 Kebutuhan Ekonomi ... 60

5.2.3 Faktor Sosial Budaya ... 61

5.2.4 Harga Jual Tanaman Kayu ... 62

5.2.5 Akses Ke Jalan Utama ... 62

5.2.6 Keinginan Investasi dalam Bentuk Lahan Pertanian ... 63

5.3 Ikhtisar ... 63

BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DAN PENGELOLAAN DAS CITANDUY ... 65

6.1 Gambaran Umum DAS Citanduy ... 65

6.1.1 Letak dan Luas DAS Citanduy ... 65

6.1.2 Wilayah dan Kondisi Biofisik DAS Citanduy ... 66

6.2 Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan DAS ... 67

6.2.1 Minimnya Kawasan Hutan di DAS ... 70

6.2.2 Lahan Kritis ... 72

6.2.3 Pencemaran Sumberdaya Air DAS Citanduy ... 73

6.3 Pengelolaan DAS Citanduy Terpadu ... 75

6.3.1 Balai Pengelolaan DAS Cimanuk - Citanduy ... 76

6.3.2 Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Tasikmalaya ... 78

6.3.3 Balai Besar Pengelolaan Citanduy ... 79

6.3.4 Masyarakat Desa Tanjungsari ... 80

6.4 Ikhtisar ... 82

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

7.1 Kesimpulan ... 83

7.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

Tabel 1. Perkembangan Kepadatan Penduduk Desa Tanjungsari

Tahun 2007 hingga Tahun 2008 ... 35 Tabel 2. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Tanjungsari

Tahun 2008 ... 36 Tabel 3. Klasifikasi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Tahun 2008 ... 37 Tabel 4. Klasifikasi Penduduk Desa Tanjungsari Menurut

Umur Tahun 2008... 37 Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Faktor Pendidikan

Tahun 2009 ... 42 Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Pekerjaan

Tahun 2009 ... 42 Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Jumlah Pendapatan

Tahun 2009 ... 47 Tabel 8. Distribusi Responden Menurut Status Hukum

yang Dimiliki Tahun 2009 ... 45 Tabel 9. Distribusi Responden Menurut Bentuk Lahan Pertanian

yang Dimiliki Tahun 2009 ... 46 Tabel 10. Distribusi Responden Menurut Luas Lahan Pertanian

yang Dimiliki Periode Sebelum Tahun 1999 ... 47 Tabel 11. Distribusi Responden Menurut Cara Memperoleh Lahan

Pertanian Sebelum Tahun 1999... 48 Tabel 12. Distribusi Responden Menurut Bentuk Lahan Pertanian

yang Dimiliki Periode Tahun 1999-2009 ... 49 Tabel 13. Distribusi Responden Menurut Luas Lahan Sawah yang

Dimiliki Periode Sebelum Tahun 1999 ... 49 Tabel 14. Distribusi Responden Menurut Luas Lahan Sawah

yang Dimiliki Periode Tahun 1999-2009 ... 51 Tabel 15. Distribusi Responden Petani Pemilik Menurut Penggarapan

yang Dilakukan Periode Tahun 1999-2009 ... 51 Tabel 16. Distribusi Responden Menurut Pola Hubungan Penguasaan

Lahan Tergarap Sawah ... 53 Tabel 17. Distribusi Responden Menurut Pola Hubungan yang

Terjadi ... 53 Tabel 18. Distribusi Responden Menurut Penguasaan Lahan Sawah

(16)

Tabel 19. Distribusi Responden Menurut Penguasaan Lahan Sawah

Periode Tahun 1999-2009 ... 55

Tabel 20. Wilayah Administrasi DAS Citanduy Tahun 2009 ... 66

Tabel 21. Data Luas Hutan Wilayah DAS Citanduy Tahun 2007 ... 70

Tabel 22. Perbandingan Luas Hutan di DAS Citanduy dengan Luas Hutan yang Dibutuhkan Menurut UU No 41 Kehutanan Tahun 1999 ... 71

Tabel 23. Jenis Lahan Di Desa Tanjungsari Tahun 2008 ... 72

Tabel 24. Kondisi Lahan Kritis di DAS Citanduy Tahun 2009 ... 72

Tabel 25. Lahan Kritis Di Kecamatan Sukaresik Tahun 2008 ... 73

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Teks

Halaman

Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria ... 9 Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pengaruh Perubahan Struktur

Agraria terhadap Sistem Pengeloolaan Daerah Aliran

Sungai ... 23 Gambar 3. Sub DAS, DAS Citanduy ... 67

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa pada tahun

2005 (Data BPS, 2005). Peningkatan jumlah penduduk terus terjadi setiap

tahunnya dengan laju pertumbuhan penduduk 1,3 persen (Data BPS, 2005).

Jumlah penduduk yang semakin tinggi ini akan diikuti pemenuhan kebutuhan

untuk menunjang kehidupannya. Bentuk pemenuhan kebutuhan dapat berupa

pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada.

Tanah atau sumberdaya lainnya pada suatu masyarakat agraris merupakan

faktor produksi memiliki arti yang sangat penting. Menurut Wiradi (1984),

masalah penguasaan tanah di pedesaan merupakan masalah yang rumit, karena

menyangkut berbagai aspek seperti aspek ekonomi, demografi, hukum, politik dan

sosial. Tanah dari aspek ekonomi adalah melihat tanah sebagai faktor produksi.

Namun ketika tanah tersebut menjadi langka, maka perbandingan jumlah manusia

dengan luas lahan menjadi sangat penting, inilah yang dinamakan sebagai aspek

demografis.

Tanah jika dilihat dari aspek hukum lebih kepada pola hak dan kewajiban

pemakai tanah (baik secara formal maupun informal). Peraturan akan ditaati

masyarakat jika ada aparatur organisasi yang mampu memaksakan peraturan

tersebut, artinya diperlukan suatu kekuasaan (pandangan politik). Kemudian dari

keempat aspek ini akan dapat dilihat bagaimana lapisan-lapisan masyarakat

(19)

Tanah yang menjadi aset utama bagi rakyat banyak adalah tanah untuk

bercocok tanam yang merupakan sumber kehidupan utamanya (Tjodronegoro,

1999). Sumberdaya tanah bersifat multifungsi dalam aktifitas kehidupan manusia

di berbagai bidang, baik di bidang pertanian maupun non-pertanian. Di bidang

pertanian tanah digunakan sebagai lahan untuk berusahatani sehingga dapat

menghasilkan produksi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan, seperti

sawah, kebun/ladang dan lain-lain. Tanah di bidang non-pertanian digunakan

sebagai tempat pemukiman, perkantoran/jasa maupun tempat lainnya.

Aktivitas alih fungsi lahan dapat disebabkan oleh beberapa faktor.

Sihaloho (2004) menyatakan bahwa terdapat lima faktor yang mempengaruhi alih

fungi lahan, diantaranya: (1) Pertumbuhan penduduk, semakin pesatnya

pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan akan sumberdaya

lahan terutama lahan untuk pemukiman; (2) Desakan ekonomi mendorong

masyarakat yang awalnya berusaha di sektor pertanian beralih ke sektor

non-pertanian; (3) Pengaruh dari warga yang telah lebih dahulu melakukan alih fungsi

lahan; (4) Investasi pihak swasta yang menawarkan ingin membeli lahan warga;

(5) Intervensi pemerintah yang berusaha melalui Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW); dan (6) Proses pengadaan tanah oleh pihak yang lebih “dominan”.

Masyarakat sekitar DAS umumnya merupakan masyarakat agraris yang

sangat tergantung dari sumberdaya lahan (PSP IPB, 2005). Adanya ketimpangan

dalam penguasaan tanah akan membawa pengaruh terhadap kehidupan

masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama dalam kaitannya dengan

(20)

Masyarakat di sekitar DAS yang tidak mempunyai alternatif lain karena

keterbatasan dana, usia atau keahlian, maka bertani/buruh tani masih sangat

menjadi pilihan (Prasetyo, 2004). Sebagai akibat dari pilihan tersebut dan seiring

dengan pertambahan jumlah penduduk, maka intensitas pengelolaan pun semakin

meningkat. Ketika masyarakat tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan

subsistennya karena keterbatasan lahan yang mereka miliki, maka situasi ini

kemudian mendorong mereka melakukan konversi hutan alam menjadi lahan

budidaya pertanian, baik berupa sawah maupun kebun campuran.

Menurut Indaryanti (2004) secara umum kondisi sumberdaya alam

dibagian hulu dan tengah DAS Citanduy telah mengalami perubahan yang cukup

serius dibanding beberapa tahun lalu. Perubahan-perubahan tersebut meliputi

ketersediaan dan kualitas air, bencana banjir dan longsor pada musim penghujan

akibat meluapnya air sungai serta kualitasnya yang semakin buruk akibat tercemar

limbah pabrik, lumpur atau tanah yang terbawa arus air sungai.

Data dari Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy (2007) menunjukkan

bahwa kurun waktu lima tahun terakhir ini, kondisi lingkungan hidup di Jawa

Barat menunjukkan kecenderungan yang bertambah buruk. Persoalan lingkungan

hidup umumnya terkait juga dengan meningkatnya degradasi hutan dan lahan,

erosi dan deforestasi yang dapat menambah luas lahan kritis. Sekitar 20 DAS dari

40 DAS yang teridentifikasi di Jawa Barat dinyatakan dalam kondisi kritis hingga

sangat kritis. Tingkat kekritisan DAS umumnya dicirikan oleh terjadinya

pendakangkalan sungai dan tingginya fluktuasi debit aliran sungai antara musim

hujan dan musim kemarau. Akibatnya kondisi kesehatan DAS terganggu,

(21)

Kondisi kualitas air juga semakin menurun yang ditunjukkan dengan tingginya

laju sendimentasi dan pencemaran, terutama terkait dengan aktivitas pemanfaatan

lahan pertanian.

Yunus (2005) mengemukakan bahwa mata pencaharian penduduk di

wilayah DAS Citanduy relatif sama yaitu sebagai petani dan buruh tani dengan

pola penggunaan lahan terbanyak adalah tegalan dan sawah. Pengusahaan lahan

tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan meningkatkan bahaya erosi yang

dapat mengakibatkan lahan berubah menjadi lahan kritis. Artinya, produktivitas

lahan menurun, sehingga menyebabkan terjadinya kelangkaan air untuk kegiatan

pertanian dan keperluan sehari-hari pada musim kemarau.

Permasalahan-permasalahan DAS yang ada memerlukan suatu bentuk

pengelolaan yang mampu mengendalikan hubungan timbal balik sumberdaya

alam dan lingkungan DAS dengan kegiatan manusia dalam menciptakan

kelestarian fungsi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat (Balai Pengelolaan

DAS Cimanuk-Citanduy, 2007). Pengelolaan DAS harus melibatkan berbagai

pihak dalam pelaksanaannya, seperti pemerintah, swasta dan masyarakat.

Keterpaduan pihak-pihak yang terlibat sangat diperlukan untuk

optimalisasi kinerja dalam pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS seperti ini disebut

sebagai pengelolaan DAS Terpadu, dimana unsur-unsur dan pihak-pihak yang

(22)

Penelitian ini akan berusaha menganalisis perubahan struktur agraria yang

terjadi di DAS Citanduy dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi

perubahan tersebut. Kemudian juga akan dilihat bagaimana bentuk pengelolaan

DAS saat ini serta bagaimana perubahan struktur agraria dan pengelolaan DAS

Citanduy saat ini.

1.2 Perumusan Masalah

Beberapa permasalahan yang akan dikaji berdasarkan latar belakang di

atas, diantaranya:

1. Bagaimana perubahan struktur agraria di DAS Citanduy?

2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria di DAS

Citanduy?

3. Bagaiamana perubahan struktur agraria dan pengelolaan DAS Citanduy saat ini?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan

dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perubahan struktur agraria di DAS Citanduy.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria di

DAS Citanduy.

3. Bagaiamana perubahan struktur agraria dan pengelolaan DAS Citanduy saat ini?

(23)

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini, khususnya bagi peneliti diharapkan dapat berguna

untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan selama

pelaksanaan penelitian dalam melihat fenomena praktis yang terjadi dan

mengaitkannya dengan teori yang telah diperoleh. Penelitian ini juga diharapkan

dapat menjadi referensi untuk menjadi bahan penelitian dan penulisan selanjutnya.

Kemudian, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan

tambahan dalam mata kuliah Kajian Agraria dan Ekologi Manusia. Sedangkan

bagi instansi yang terkait, dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan

(24)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Struktur Agraria

Istilah agraria berdasarkan penelusuran etmologis Kamus Bahasa

Latin-Indonesia dan World Book Dictionary dalam Sitorus (2002) berasal dari kata “ager”, yang artinya “lapangan”, “pedusunan” atau “wilayah”. Suatu bentangan “lapangan”, “pedusunan” atau “wilayah” yang terdiri dari aneka unsur yang meliputi tanah, air, hutan, bahan mineral/tambang, udara dan lain-lain. Sitorus

(2002) juga menjelaskan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas

dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang

mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial

yang terdapat di dalamnya.

Lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu obyek agraria atau

sering disebut sebagai sumber-sumber agraria dan subyek agraria. Unsur yang

pertama, yaitu sumber-sumber agraria, sangat erat kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu,

sumber-sumber agraria berkaitan erat dengan akumulasi kekuasaan (politik,

ekonomi dan sosial).

Merujuk pada pasal 1 (ayat 2, 4, 5, 6) UUPA 1960, Sitorus (2002)

menyimpulkan sumber-sumber agraria sebagai berikut: (1) tanah atau “permukaan bumi” yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan; (2) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan

(25)

perikanan (sungai, danau maupun laut); (3) hutan, meliputi kesatuan flora dan

fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam

kegiatan ekonomi komunitas-komunitas; (4) bahan tambang, mencakup beragam bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi”; dan (5) udara, dalam arti ruang di atas bumi dan air.

Unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki

kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara garis besar, subyek

agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur

individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok), pemerintah

(sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan

Pemerintah Desa) dan swasta (private sector yang mencakup unsur-unsur

perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan

dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan/

pemanfaatan (tenure institutions).

Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan akan membawa implikasi

terbentuknya ragam sosial, sekaligus interaksi sosial diantara ketiga subyek.

Dimana satu dan lain subyek saling berhubungan secara sosial dalam kaitan

hubungan teknis masing-masing subyek itu dengan sumber-sumber agraria.

Sitorus (2002) membagi analisis agraria ke dalam dua bentuk. Pertama, ketiga

subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk

kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu. Proporsi

pertama ini menggambarkan hubungan teknis yang menunjukan cara kerja subyek

agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi

(26)

Kedua, ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu.

Proporsi kedua ini menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukan

cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan

obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses

dalam hal penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan. Hubungan-hubungan

sosial agraria antar subyek agraria yang kemudian membentuk sebuah struktur

agraria dapat digambarkan dalam hubungan segitiga antar subyek agraria yang

digambarkan oleh Sitorus (2004) berikut ini (Gambar 1).

Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria Keterangan:

Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria

Struktur agraria pada penelitian ini adalah hubungan antara subyek dengan

sumber-sumber agraria mencakup penguasaan/pemilikan/pemanfaatan lahan.

Menurut Wiradi (1984), kata ”pemilikan” tanah menunjuk pada penguasaan

formal sedangkan ”penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Misalnya,

jika seseorang memiliki sebidang tanah 2 hektar, kemudian juga menggarap lahan

orang lain seluas 3 ha, maka luas lahan yang ia kuasai adalah 5 hektar. Komunitas

Sumber-sumber Agraria

Swasta Pemerintah

(27)

Pemilikan tanah dari sisi sosial, bukan hanya merupakan harta ekonomi,

tetapi mencerminkan status sosial seseorang. Penguasaan tanah belum tentu dan

tidak harus disertai dengan pemilikan. Sihaloho (2004) menambahkan bahwa

penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik

dengan pembagi-hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai”

dan lain-lain. Sedangkan kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan

sebidang tanah secara produktif.

Kelembagaan penguasaan tanah yang umumnya dilakukan masyarakat di

desa-desa Jawa adalah sebagai berikut (Wiradi dan Makali, 1984):

1. Sistem Gadai, merupakan bentuk kelembagaan penguasaan tanah dimana

pemilik menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara

tunai atau dengan bentuk pembayaran berupa sekian kuintal gabah atau sekian

gram emas perhiasan atau sekian ekor kerbau atau sapi, dengan ketentuan

pemilik tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebus, maka

hak pengusahaan tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah

dilakukan setelah tanah selesai dipanen.

2. Sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang

lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa.

3. Sistem bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang

lain untuk diusahakan, dengan penggarap akan menanggung beban tenaga kerja

(28)

Terkait pola hubungan agraria, Sihaloho (2004) mengelompokkan

penguasaan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Masyarakat yang memiliki lahan luas dan mempercayakan lahan garapannya

untuk digarap orang lain. Pemilik lahan ini menerapkan sistem sewa ataupun

bagi hasil.

2. Pemilik lahan sempit yang menggunakan tenaga kerja keluarga untuk

mengolah lahan yang dimilikinya. Pemilik lahan ini tidak memanfaatkan

tenaga kerja buruh karena luas lahan yang dimiliki sempit dan dana yang

dimiliki untuk biaya pengolahan lahan terbatas.

3. Pemilik lahan mengolah sendiri lahan yang dimiliki dengan memanfaatkan jasa

buruh tani. Petani yang dimaksud dari pernyataan ini adalah petani yang

memiliki lahan sempit maupun luas.

Wiradi (1984) menambahkan bahwa terdapat lima pengelompokkan

penduduk desa dalam penguasaan lahan, diantaranya: (1) Pemilik Penggarap

Murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya; (2) Penyewa

dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan tetapi

mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) Pemilik penyewa

dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya

sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) Pemilik bukan penggarap; dan

(5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan

garapan. Sebagian besar dari mereka (tunakisma) ini adalah buruh tani dan hanya

(29)

Bentuk-bentuk penguasaan tanah secara adat yang terdapat di Pulau Jawa

menurut Wiradi (1984) adalah:

1. Tanah yasan, yasa atau yoso yaitu tanah yang didapatkan seseorang karena

membuka hutan atau tanah liar untuk dijadikan tanah garapan. Hak seseorang

berasal dari fakta bahwa dialah, atau nenek moyangnya yang semula membuka

tanah tersebut. Istilah yasa atau yoso dalam bahasa Jawa berarti membuat

sendiri atau membangun sendiri (bukan membeli). Bentuk hak atas tanah ini

dalam UUPA-1960 dikategorikan sebagai hak milik.

2. Tanah gogolan, pekulen, kesikepan dan sejenisnya, yaitu tanah pertanian milik

masyarakat desa yang hak pemanfaatannya biasanya dibagi-bagi kepada

sejumlah petani (biasanya disebut sebagai penduduk inti) secara tetap maupun

secara giliran berkala. Pemegang hak garap tanah ini tidak berhak untuk

menjualnya atau memindahtangankan hak tersebut. Pada konsep barat

pemilikan tanah gogol dikategorikan sebagai pemilikan komunal.

3. Tanah titisara, titisoro, kas desa atau bondo desa adalah tanah pertanian milik

desa yang secara berkala biasanya disewakan atau disakapkan dengan cara

dilelang terlebih dahulu. Hasilnya menjadi kekayaan desa yang biasanya

dipergunakan untuk keperluan-keperluan desa, baik sebagai sumber dana

anggaran rutin maupun untuk pembangunan. Tanah ini dalam konsep Barat dapat digolongkan dalam “tanah yang tunduk kepada pengawasan komunal” dan keberadaannya diakui dalam UUPA-1960.

4. Tanah bengkok yaitu tanah pertanian (umumnya sawah) milik desa yang

diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai gajinya

(30)

tersebut dikembalikan kepada desa untuk diberikan kepada pejabat yang baru. Tanah ini juga merupakan “tanah yang tunduk kepada pengawasan komunal” dan keberadaannya diakui dalam UUPA-1960.

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Agraria

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi perubahan struktur

agraria. Zuber (2007) mengemukakan ada empat faktor yang mempengaruhi

perubahan struktur agraria, diantaranya:

1. Permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate,

pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal

tanah yang luas;

2. Faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan;

3. Kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang

mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian, penggunaan

pestisida ataupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan

pertanian; dan

4. Kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti harga pupuk yang

tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang

sampai sekarang masih sangat pelik. Para petani miskin masih sangat

menderita dengan proses input pertanian yang sangat tinggi (high cost), namun

di sisi lain penjualan outputnya masih sangat rendah. Penelitian Syafa’at et al.

(2001) pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan

bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menentukan

(31)

kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun dan (2) respon petani

terhadap dinamika pasar, lingkungan dan daya saing usahatani meningkat.

Sihaloho (2004) dalam hasil kajiannya menjelaskan faktor-faktor

penyebab konversi lahan di Kelurahan Mulyaharja, Bogor, Jawa Barat sebagai

berikut:

1. Faktor pertambahan penduduk yang begitu cepat berimplikasi kepada

permintaan terhadap lahan pemukiman yang semakin meningkat dari tahun ke

tahun;

2. Faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat

pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil

penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, berusaha mencari bentuk

usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk

mendapatkan modal dalam memulai usahanya, petani pada umumnya menjual

tanah yang dimilikinya.

3. Faktor luar, yaitu pengaruh warga dari desa-kelurahan perbatasan yang telah

lebih dahulu menjual tanah mereka kepada pihak Perseroan Terbatas (PT);

4. Adanya penanaman modal pihak swasta dengan membeli lahan-lahan

produktif milik warga;

5. Proses pengalihan pemillik lahan dari warga ke beberapa PT dan ke beberapa

orang yang menguasai lahan dalam luasan yang lebih dari 10 hektar; dan

6. Intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Berdasarkan RTRW tahun 2005, seluas 269,42 hektar lahan Kelurahan

Mulyaharja akan dialokasikan untuk pemukiman/perumahan real estate;

(32)

2.1.3 Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kesatuan ekosistem dimana jasad

hidup dan lingkungannya berinteraksi secara dinamik dan terdapat saling

ketergantungan (interdependensi) diantara komponen-komponen penyusunnya.

Menurut Asdak (2002), DAS merupakan kumpulan Sub-DAS yang lebih kecil

dan jumlahnya sesuai dengan ordo atau jumlah cabang sungainya. Yunus (2005)

menambahkan bahwa DAS merupakan ekosistem yang di dalamnya terjadi

interaksi antara faktor-faktor biotik (vegetasi) dan faktor-faktor fisik (tanah dan

iklim) serta manusia dengan segala aktivitasnya. Interaksi yang terjadi dinyatakan

dalam bentuk keseimbangan masukan dan keluaran yang mencirikan keadaan

hidrologis DAS dengan melihat hasil pengukuran tingkat erosi, sedimentasi, aliran

permukaan, fluktuasi debit dan produktivitas lahan.

Kawasan DAS dibatasi oleh pemisah topografi yang menampung,

menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama

yang bermuara ke danau atau ke laut. Batasan-batasan DAS menurut Direktorat

Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air (2008) dibedakan berdasarkan

fungsinya, yaitu DAS bagian hulu yang didasarkan pada fungsi konservasi untuk

mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. Daerah Aliran

Sungai bagian hulu mempunyai peran paling penting, terutama sebagai tempat

penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Berikutnya adalah DAS bagian

tengah dan bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang

(33)

2.1.4 Sistem Pengelolaan Daerah Airan Sungai Terpadu

Suatu DAS dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan pembangunan

misalnya untuk areal pertanian, perkebunan, perikanan, permukiman,

pembangunan PLTA, pemanfaatan hasil hutan kayu dan lain-lain. Semua kegiatan

tersebut akhirnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia khususnya

peningkatan kesejahteraan. Namun demikian hal yang harus diperhatikan adalah

berbagai kegiatan tersebut dapat mengakibatkan dampak lingkungan jika tidak

ditangani dengan baik.

Dampak yang ditimbulkan dapat berupa penurunan tingkat produksi, baik

produksi pada masing-masing sektor maupun pada tingkat DAS. Upaya untuk

mengelola DAS secara baik dengan mensinergikan kegiatan-kegiatan

pembangunan yang ada di dalam DAS sangat diperlukan bukan hanya untuk

kepentingan menjaga kemampuan produksi atau ekonomi semata, tetapi juga

untuk menghindarkan dari bencana alam yang dapat merugikan seperti banjir,

longsor, kekeringan dan lain-lain.

Pengelolaan DAS Terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan

yang bersifat partisipatif dari berbagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam

memanfaatkan dan konservasi sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan

DAS Terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang

menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi

positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output.

Pihak-pihak yang dimaksud disini adalah pemerintah, swasta dan masyarakat.

Laporan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air (TPKSDA) (2007)

(34)

DAS Terpadu yang ingin dicapai, yaitu: (1) Terciptanya kondisi hidrologis DAS

yang optimal; (2) Meningkatnya produktivitas lahan pertanian dan hutan; (3)

Meningkatnya partisipasi mayarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS;

dan (4) Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Pertama, terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal, meliputi hasil air yang memadai baik jumlah, kualitas, kontinuitas serta terkendalinya erosi serta

kekeringan. Hasil air yang optimal ditekankan pada kemampuan DAS sebagi

suplai sumber air minum penduduk dan untuk keperluan lain rumah tangga, air

untuk industri, air untuk irigasi dan air untuk habitat biologi. Kedua,

meningkatnya produktivitas lahan di DAS dapat dilihat dari meningkatnya

kesuburan tanah, ketersediaan air yang optimal, serta erosi dan degradasi lahan

rendah. Hal ini dapat dilakukan melalui usaha konservasi tanah dan air.

Ketiga, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS. Partisipasi masyarakat dapat dilihat dari kelembagaan lokal

(organisasi/kelompok) yang ada di masyarakat. Dimana anggota-anggota

masyarakat berusaha meningkatkan kapasitas kelembagaannya dalam mengelola

sumberdaya yang ada untuk menghasilkan perbaikan yang berkelanjutan dalam

menjaga kelestarian DAS.

Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS dapat dilihat dari

partisipasi mayarakat yang terorganisir dalam kelembagaan, seperti kelompok

tani dan kelompok tradisional (Kolopaking dan Tonny, 1994). Selanjutanya

menurut Kolopaking dan Tonny (1994), tingkat partisipasi masyarakat dapat

dikategorikan sebagai berikut: (1) Tingkat partisipasi tinggi, apabila peranserta

(35)

juga berperanserta dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan; (2)

Tingkat partisipasi sedang, apabila peranserta masyarakat hanya dalam proses

pelaksanaan dan pemanfaatan hasil dan (3) Tingkat partisipasi masyarakat rendah,

apabila peranserta masyarakat tidak memenuhi kriteria (1) dan (2). Keempat,

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ini dapat dilihat dari pelaksanaan

program/kegiatan yang berhubungan dengan upaya menjaga keberlanjutan

ekosistem sumber daya hutan, lahan dan air di DAS.

2.1.5 Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Perubahan penggunaan lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap

kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan

lainnya seperti pertanian, perumahan dan lainnya. Pengusahaan lahan pertanian

pada umumnya kurang mengindahkan aspek lingkungan dan lebih mengutamakan

hasil/keuntungan finansial sesaat. Para petani pada umumnya kurang menerapkan

kaidah-kaidah konservasi tanah dan air (Deptan, 2008). Banyak petani yang

menggunakan bahan kimia untuk meningkatkan produksi pertaniannya. Namun,

dengan penggunaan bahan kimia ini justru akan menurunkan produktivitas lahan.

Pembukaan lahan untuk pemukiman juga memberikan kontribusi terhadap

kerusakan lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi pemukiman di DAS

dapat mengakibatkan dampak negatif khususnya bila dilihat dari laju erosi

(Yunus, 2005). Selain itu lingkungan pemukiman yang telah berpenghuni akan

menghasilkan limbah domestik, baik berupa sampah padat organik maupun

(36)

Perubahan-perubahan ini secara tidak langsung akan mempengharuhi

keadaan DAS. Apabila perubahan-perubahan tersebut tidak segera dikelola

dengan baik, akan mempengaruhi tingkat erosivitas yang dapat menyebabkan

daya tampung air menurun tajam. Apabila tidak dikelola dengan baik maka inilah

yang sering mengakibatkan banjir dimusim hujan dan kekurangan air dimusim

kemarau.

Kolopaking dan Tonny (1994) menyatakan bahwa selama ini pelaksanaan

program konservasi dan pengelolaan DAS yang muncul umumnya berupa bentuk

hubungan vertical-instructional dan partisipasi yang semu. Hal ini terjadi karena

kelembagaan tradisional semata-mata dipandang sebagai obyek. Selain itu dari

sisi masyarakat yang menjadi anggota kelompok tani dan kelompok tradisional,

kendala yang mereka hadapi sehingga tidak dapat berpartisipasi sepenuhnya

adalah karena faktor pemilikan lahan (Kolopaking dan Tonny, 1994).

Salah satu contoh di luar Jawa (DAS Saddang, Jeneberang dan

Batanghari), tidak sedikit lahan kritis milik pemerintah yang ditelantarkan.

Padahal para petani mau berperanserta melakukan kegiatan konservasi di atas

lahan kritis tersebut. Akan tetapi karena status lahan yang tidak jelas dan tidak

memiliki kekuatan untuk menguasai lahan tersebut, menyebabkan para petani

tidak mampu untuk berpartisipasi dalam program-program konservasi.

Lahan-lahan kritis di wilayah DAS tidak saja menyebabkan menurunnya

produktivitas tanah di tempat terjadinya lahan kritis itu sendiri, tetapi juga

menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis DAS dalam menahan, menyimpan dan

meresapkan air hujan yang jatuh pada kawasan DAS tersebut. Penurunan

(37)

sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan ekonomi keluarga sehingga

tercipta keluarga-keluarga miskin baru. Oleh karena itu kawasan lahan kritis

selalu dicirikan oleh produktivitas lahan yang rendah, jumlah penduduk yang

tinggi, pendapatan petani yang rendah, potensi erosi yang tinggi,

terkonsentrasinya kantong kemiskinan dan kerawanan gizi dan yang lainnya

(TKPSDA, 2008).

Menciptakan proses koordinasi dalam mencari dan menetapkan

bentuk-bentuk hubungan kelembagaan antara pemerintah dengan swasta, masyarakat,

LSM maupun akademisi dalam pengelolaan DAS tidaklah mudah. Beberapa

pelaksanaan program-program konservasi dan pengelolaan DAS yang selama ini

telah dilaksanakan, khususnya mengenai hubungan antara kelembagaan

pemerintah dengan swasta dan LSM belum terencana dan terlaksana dengan baik.

Bentuk kelembagaan diantara pihak-pihak yang terlibat dapat dilihat

dengan mengidentifikasi terlebih dahulu sumber-sumber kerusakan yang terjadi

pada wilayah DAS, seperti kerusakan hutan, tanah dan air, kemudian dicari

bentuk-bentuk usaha yang menguntungkan dan mampu menciptakan pelestarian

sumberdaya yang ada (Kolopaking dan Tonny, 1994). Selanjutnya Kolopaking

dan Tonny (1994) menjelaskan bahwa kerusakan hutan, tanah dan air di beberapa

DAS di Pulau Jawa lebih bersumber dari tekanan penduduk, sedangkan kerusakan

di luar Pulau Jawa lebih banyak bersumber dari eksploitasi hutan dan program

(38)

2.2 Kerangka Pemikiran

Penjelasan-penjelasan di atas dapat dirangkai menjadi sebuah kerangka

pemikiran yang selanjutnya akan menjadi suatu permasalahan baru dalam

mengangkat tema mengenai perubahan struktur agraria di wilayah DAS. Sesuai

dengan fokus penelitian ini dikemukakan sejumlah faktor-faktor yang

mempengaruhi perubahan struktur agraria dan bagaimana perubahan tersebut

mempengaruhi pengelolaan DAS Terpadu.

Struktur agraria pada dasarnya merupakan pola hubungan antar berbagai

status sosial menurut penguasaan sumber-sumber agraria. Menurut Sihaloho

(2004), hubungan tersebut dapat berupa hubungan “pemilik dengan penggarap”, “pemilik dengan pembagi hasil”, “ pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan” dan lain-lain. Kata “pemilik” menunjuk pada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif (Wiradi, 1984). Sedangkan kata “pengusahaan” mengandung arti pada bagaimana cara caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif.

Pemanfaatan lahan di wilayah DAS untuk areal pertanian, perkebunan,

perikanan, permukiman dan yang lainnya, telah menyebabkan terjadinya

perubahan struktur agraria di wilayah DAS. Perubahan struktur agraria ini

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) meletusnya Gunung

Galunggunga, (2) faktor keterdesakan ekonomi, (3) faktor sosial budaya

(warisan), (4) harga jual tanaman kayu, (5) akses ke jalan utama desa, dan (6)

keinginan berinvestasi lahan pertanian.

Perubahan struktur agraria dengan membuka lahan garapan baru non

(39)

terkendali di DAS, akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan beban dan

tekanan stabilitas DAS yang mengarah pada kerusakan secara nyata. Tingkat

kerusakan DAS ini diindikasikan dengan fluktuasi debit sungai yang tajam antara

musim penghujan dan kemarau, pendangkalan sungai, terjadinya tanah longsor,

banjir dan kekeringan. Permasalahan-permasalahan tersebut memerlukan suatu

bentuk pengelolaan DAS yang terpadu melalui kontribusi berbagai pihak terkait

(masyarakat, pemerintah, swasta), sehingga dapat tercapai suatu bnetuk

pengelolaan DAS Terpadu. Secara skematis, kerangka pemikiran mengenai

penelitian ini disajikan pada Gambar 2.

2.3 Hipotesis Pengarah

Sesuai dengan tujuan yang diajukan, maka hipotesis pengarah untuk

penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perubahan struktur agraria

(pemilikan, penguasaan dan pengusahaan) di DAS adalah: meletusnya

Gunung Galunggunga, faktor keterdesakan ekonomi, faktor sosial budaya

(warisan), harga jual tanaman kayu, akses ke jalan utama desa, dan keinginan

berinvestasi lahan pertanian.

2. Perubahan struktur agraria dalam hal penggunaan lahan di DAS diduga akan

(40)

Gambar 2. Bagan Kerangka Analisis Pengaruh Perubahan Struktur Agraria terhadap Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Keterangan :

Hubungan Mencakup

2.4 Definisi Konseptual

1. Penguasaan tanah adalah penguasaan efektif terhadap lahan yang dilakukan

oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

2. Pengusahaan tanah adalah bagaimana memanfaatkan sebidang tanah secara

produktif.

3. Lahan kritis adalah lahan yang keadaan biofisiknya sedemikian rupa sehingga

lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya

sebagai media produksi maupun sebagai media tata air.

4. Konservasi tanah adalah upaya mempertahankan, merehabilitasi dan

meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan peruntukannya. Faktor Penyebab Perubahan

Struktur Agraria:

1. Pertambahan penduduk 2. Faktor ekonomi

3. Faktor sosial budaya (warisan)

4. harga jual tanaman kayu 5. Akses ke jalan utama 6. keinginan berinvestasi lahan

pertanian

Perubahan Struktur Agraria DAS: 1. Pemilikan lahan

2. Penguasaan lahan

Pengelolaan DAS Terpadu Stabilitas DAS Partisipasi Berbagai Pihak: Pemerintah, Swasta, Masyarakat, LSM dan Akademisi 3. Penggunaan Lahan

(41)

5. Pertambahan penduduk adalah meningkatnya jumlah proporsi penduduk pada

suatu wilayah tertentu.

6. Faktor ekonomi adalah beruhubungan dengan kemampuan dalam memenuhi

kebutuhan rumahtangga.

7. Faktor sosial budaya adalah pemilikan lahan yang diperoleh melalui warisan.

8. Daerah Aliran Sungai adalah wilayah yang mengalirkan air yang jatuh di

atasnya.

9. Sub-DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya

melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam

beberapa sub-DAS.

10. Pengelolaan DAS Terpadu adalah pengelolaan sumberdaya DAS yang

partisipatif dari pihak-pihak yang terlibat, seperti pemerintah, masyarakat,

swasta.

11. Keberlanjutan (sustainable) adalah keberlanjutan program/kegiatan dalam

upaya meningkatkan konservasi DAS.

12. Berwawasan lingkungan adalah memperhatikan aspek lingkungan untuk

menjaga ekosistem tetap seimbang.

2.5 Definisi Operasional

Untuk mengarahkan pengumpulan, pengelolaan dan analisis data dalam

penelitian dirumuskan sejumlah defenisi operasional sebagai berikut:

1. Perubahan struktur agraria adalah perubahan pola pemilikan, penguasaan dan

pemanfaatan lahan pertanian yang dilihat dari sebelum tahun 1999 (dahulu)

(42)

kuesioner menunjukkan bahwa perubahan struktur agraria dominan terjadi

pada periode sebelum tahun 1999 dan periode tahun 1999-2009.

2. Pengelompokkan pola penguasaan sawah dinyatakan dalam skala nominal

yang dilihat dari:

(1) Pemilik murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang

dimilikinya;

(2) Penggarap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan tetapi

mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil.

(3) Pemilik penggarap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya

sendiri juga menggarap lahan milik orang lain.

(4) Tunakisma sawah, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan

pertanian.

3. Kategori luas pemilikan lahan pertanian (sawah, kebun, kolam dan lahan kosong) yang dilihat adalah dahulu dan sekarang sesuai periode waktu yang telah ditetapkan. Luas pemilikan lahan dibagi ke dalam empat kategori, yakni tunakisma (tidak memiliki lahan pertanian), sempit, sedang dan luas. Nilai tiap kategori tersebut diperoleh melalui perhitungan ukuran penyebaran data,

dengan rumus: nilai maksimum – nilai minimum

3

Dinyatakan dalam skala ordinal dengan satuan bata (satu hektar = 700 bata), kemudian diperoleh nilai:

(1) Dahulu (sebelum tahun 1999) a. Tunakisma : 0 bata

(43)

c. Sedang: 550-1100 bata d. Luas: > 1100 bata (2) Sekarang (tahun 1999-2009) a. Tunakisma: 0 bata b. Sempit: < 515 bata c. Sedang: 515-1030 bata d. Luas: > 1030 bata

4. Kategori luas pemilikan dan penguasaan adalah sama. Hal ini karena luas

lahan maksimal dan minimal pemilikan dan penguasaan sebelum tahun 1999

dan pada periode tahun 1999-2009 memiliki nilai yang sama. Dinyatakan

dalam skala ordinal dengan satuan bata (1 hektar = 700 bata), indikatornya: (1) Dahulu (sebelum tahun 1999)

a. Tidak memiliki/meguasai sawah: 0 bata b. Sempit: < 517 bata

c. Sedang: 517-1034 bata d. Luas: > 1034 bata

(2) Sekarang (tahun 1999-2009)

a. Tidak memiliki/menguasai sawah: 0 bata b. Sempit: < 467 bata

c. Sedang: 467- 934 bata e. Luas: > 934 bata

5. Pola pemanfaatan lahan pertanian adalah pola tanam yang diterapkan oleh

petani pada lahan yang mereka usahakan. Dinyatakan dalam skala nominal

(44)

(1) Monokultur ialah pola tanam dengan satu jenis tanaman pada satu lahan. (2) Campur ialah pola tanam dengan berbagai jenis tanaman pada satu lahan,

perubahan jenis tanaman biasanya disesuaikan dengan musim.

6. Pengelolaan DAS yang akan dilihat adalah bentuk kegiatan pengelolaan DAS

yang dilakukan pihak pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mencapai

sasaran pengelolaan DAS Terpadu yang ditetapkan oleh Tim Koordinasi

Pengelolaan Sumberdaya Air (2008).

7. Pengaruh perubahan struktur agraria terhadap pengelolaan DAS dilihat dari

perubahan-perubahan alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan kaidah

konservasi dan keberadaan lahan-lahan kritis akan mempengaruhi kestabilan

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Strategi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan ini

diharapkan adanya pemahaman terhadap perubahan struktur agraria, faktor-faktor

penyebabnya, sistem pengelolaan DAS serta pengaruh perubahan struktur agraria

terhadap sistem pengelolaan DAS itu sendiri. Pendekatan kualitatif ini juga

didukung data kuantitatif yang diperoleh dari hasil survei melalui instrumen

kuesioner untuk mengetahui perubahan struktur mencakup pemilikan,

penguasaan, pengusahaan lahan yang terjadi.

Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menelusuri lebih jauh perubahan

struktur agraria dan faktor penyebabnya serta pengaruhnya terhadap sistem

pengelolaan DAS. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini

adalah studi kasus. Artinya, memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti

dengan menerapkan berbagai metode (Stake, 1994 : 236 dalam Sitorus, 1998 ).

Metode yang digunakan berupa wawancara, observasi dan analisis dokumen.

Pemilihan strategi tersebut terkait dengan tujuan penelitian ini yaitu eksplanatif,

penelitian ini bertujuan menjelaskan penyebab-penyebab gejala sosial serta

keterkaitan sebab akibat dengan gejala sosial lainnya (Sitorus, 1998). Penelitian

ini dilakukan guna menerangkan berbagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat,

dalam hal ini mengenai perubahan struktur agraria dan pengaruhnya terhadap

(46)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Tanjungsari, Kecamatan Sukaresik,

Kabupaten Tasikmalaya. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive)

dengan beberapa alasan pemilihan lokasi diantaranya:

a) Desa Tanjungsari berbatasan langsung dengan DAS Citanduy. Menurut data

petugas penyuluh kehutanan, desa ini merupakan kawasan lindung di luar

kawasan hutan, yaitu termasuk wilayah kaki Sungai Citanduy (kakisu).

b) Desa Tanjungsari merupakan salah satu desa yang mendapatkan program

bantuan hutan rakyat berupa kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis

(GRLK) yang dilaksanakan pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan

(Dishutbun) Kabupaten Tasikmalaya.

c) Desa Tanjungsari merupakan desa yang memiliki areal persawahan paling luas

di antara desa-desa lainnya di Kecamatan Sukaresik.

d) Keterbatasan sumberdaya untuk peneliti.

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2009. Penjajagan awal

telah dilakukan pada tanggal 12 Maret-15 Maret 2009. Selama pengambilan data

berlangsung, peneliti tinggal bersama objek penelitian di lapangan dalam jangka

waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui

lokasi penelitian dengan baik dan juga terciptanya hubungan sosial yang dekat

objek penelitian.

3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh rumahtangga Desa Tanjungsari,

(47)

penelitiannya adalah rumahtangga petani. Jumlah responden yang diambil adalah

40 rumahtangga petani. Penentuan responden dilakukan dengan cara snowball

sampling (efek bola salju) melalui informan penelitian ini. Kemudian untuk pemilihan informan sendiri dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu memilih

orang-orang yang dianggap mengetahui dan mampu menjelaskan gejala sosial

yang berkaitan dengan penelitian ini.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder selama

penelitian berlangsung. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan

sendiri oleh peneliti (Wiradi, 2009). Artinya, data tersebut diperoleh dari

pengamatan langsung peneliti sendiri, yakni hasil wawancara dengan orang lain

dan hasil pengukuran kita sendiri. Orang lain disini adalah responden dan

informan terpilih. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari:

1. Perubahan struktur agraria meliputi pemilikan, penguasaan dan pengusahaan.

2. Faktor penyebab perubahan struktur agraria tersebut.

3. Hubungan-hubungan antar berbagai status sosial dalam penguasaan lahan

tersebut.

Data primer yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik

wawancara dengan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan

pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam

menggunakan pedoman wawancara.

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah

(48)

diperoleh dari Balai Desa Tanjungsari, Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Tasikmalaya, Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya, Badan

Pertanahan Kabupaten Tasikmalaya, Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy,

Balai Besar Wilayah Citanduy dan LSM terkait, serta buku, situs internet,

jurnal-jurnal, skripsi, tesis dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian

ini.

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data kuantitatif adalah informasi mengenai hal-hal yang dapat diukur dan

dapat dikuantifikasikan (di-“angka”-kan). Penelitian ini menggunakan data

kuantitatif berupa tabel frekuensi untuk memperoleh presentase dan dipaparkan

secara deskriptif sehingga data dapat mudah dipahami maknanya. Data kuantitatif

ini digunakan untuk menggambarkan pola penguasaan, kepemilikan dan

pemanfaatan lahan. Sedangkan teknik analisis data pendekatan kualitatif

dilakukan sejak awal pengumpulan data. Dimana hasil wawancara mendalam dan

pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama

kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus.

Analisis data primer dan sekunder diolah dengan melakukan tiga tahapan

kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan

penarikan kesimpulan melalui verifikasi (Sitorus, 1998). Pertama, reduksi data

dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,

megeliminasi data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian

(49)

beberapa fokus penelitian yang disesuaikan untuk menjawab perumusan masalah

yang ada.

Kedua, data yang telah direduksi /disajikan dalam bentuk deskriptif (teks naratif) maupun matriks yang menggambarkan proses terjadinya perubahan

struktur agraria, kemudian proses bagaimana perubahan struktur agraria tersebut

mempengaruhi keadaan lingkungan DAS sekaligus mempengaruhi sistem

pengelolaannya. Sehingga diharapkan dapat menjawab perumusan masalah yang

telah ditetapkan. Tahap ketiga, kesimpulan yaitu menarik simpulan melalui

verifikasi yang dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir.

Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses menyimpulkan tentang penelitian ini

dilakukan bersama dengan para informan yang merupakan subjek dalam

penelitian ini dan yang telah menyumbangkan data dan informasi terhadap

penelitian ini. Analisis data kualitatif dipadukan dengan hasil interpretasi data

(50)

BAB IV

GAMBARAN UMUM DESA TANJUNGSARI

4.1 Profil Desa Tanjungsari

4.1.1 Letak Geografis Desa Tanjungsari

Desa Tanjungsari merupakan salah satu dari delapan Desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa barat. Desa Tanjungsari adalah desa hasil pemekaran wilayah Desa Tanjungkerta pada tahun 1980. Desa ini diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Cikidang dan Sungai Citanduy.

Secara geografis batas-batas wilayah Desa Tanjungsari adalah sebelah utara berbatasan dengan Desa Puteran/Tanjungkerta-Kecamatan Pagerageung, sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Cikidang-Kecamatan Sukaresik, sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukamaju/Sukapancar-Kecamatan Pagerageung dan sebelah timur berbatasan dengan Sungai Citanduy-Kecamatan Panumbangan-Ciamis. Secara geografis Desa Tanjungsari dapat dilihat pada lampiran Peta Wilayah Desa Tanjungsari (Lihat Lampiran 3).

Kondisi geografis Desa Tanjungsari ini berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut (dpl). Topografi seperti ini termasuk dataran tinggi dengan curah hujan 1400 mm per tahun dan suhu rata-rata 26 – 27 derajat Celcius. Jumlah bulan hujan di desa ini adalah tiga sampai delapan bulan.

Luas wilayah Desa Tanjungsari sekitar 407,737 hektar yang terbagi menjadi empat dusun/kampung, yaitu Dusun Bojongsoban, Dusun Hegarsari, Dusun Cicalung dan Dusun Mekarsari dengan delapan Rukun Warga (RW) dan 29 Rukun Tetangga (RT).

Jarak Desa Tanjungsari dari Pusat Pemerintahan Kecamatan Sukaresik adalah 3,5 kilometer, dengan jarak tempuh sejauh 15 menit dengan kendaraan bermotor. Sedangkan jarak ke Pusat Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya adalah 34 kilometer, dengan jarak tempuh 45 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor. Jarak dari Pusat

Gambar

Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria  Keterangan:
Gambar 2. Bagan Kerangka Analisis Pengaruh Perubahan Struktur Agraria  terhadap Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Tabel  1.  Perkembangan  Kepadatan  Penduduk  Desa  Tanjungsari  Tahun  2007  hingga  Tahun 2008
Tabel 3. Klasifikasi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Tahun 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan perbaikan pembelajaran dengan hasil refleksi pada siklus I, diperoleh hasil belajar siswa pada materi cara perawatan wajah dan cara merias wajah

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa dalam dua tahun terakhir peningkatan kejadian asma bronkhial mengalami peningkatan hampir 100% sehingga peneliti tertarik

Oleh karena itu, pihak manajemen Perusahaan Konveksi Goldman Kudus dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja karyawannya perlu memperhatikan masalah yang

Guru jurusan geografi begitu juga dengan mata pelajaran yang lain. Ketika ada kebijaksanaan yang.. mengharuskan adanya keterpaduan pada beberapa mata pelajaran yang

Penelitian tersebut mengingatkan bahwa serum kebal memainkan peranan utama sebagai suatu faktro keamanan kehidupan pada orang yang terkena rabies ganas dan menunjukkan bahwa dengan

IAIN Walisongo Semarang telah berperan serta dalam mendorong pertumbuhan perbankan syari’ah di Kota Semarang melalui pengem- bangan wacana dan disiplin keilmuan ekonomi Islam

Hasil penelitian pada 57 responden tentang hubungan kepemimpinan kepala ruangan terhadap motivasi kerja perawat pelaksana melalui pengujian data dengan menggunakan uji

[r]