BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1. 1 Teori Stakeholder (Stakeholder Theory)
Stakeholder adalah semua pihak, internal maupun eksternal, yang dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung (Nor Hadi, 2011:93). Menurut Ghozali dan Chariri (2007), keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi pada dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Clarkson (1994) membagi
stakeholder menjadi stakeholder primer dan sekunder. Stakeholder primer
merupakan pihak yang tidak ikut berpartisipasi secara berkelanjutan, organisasi tidak dapat bertahan. Sedangkan stakeholder sekunder merupakan pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan, tetapi mereka tidak terlibat dalam transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu berarti untuk kelangsungan hidup perusahaan.
Keberhasilan usaha suatu perusahaan ditentukan oleh manajemen perusahaan yang berhasil dalam membina hubungan antara perusahaan dengan para stakeholder. Stakeholder tidak hanya terdiri dari investor dan kreditur (shareholder), tetapi juga pemasok, pelanggan, pemerintah, masyarakat lokal, karyawan, badan regulator, asosiasi perdagangan, termasuk lingkungan hidup sebagai bagian dari kehidupan sosial. Pengungkapan keuangan dan non keuangan dalam laporan tahunan perusahaan dapat dikatakan sebagai sarana
untuk berkomunikasi antara manajemen dengan stakeholder. Lujun (2010) dalam penelitiannya berpendapat bahwa selama beberapa tahun terakhir, informasi CSR mendapatkan perhatian lebih banyak dibandingkan informasi perusahaan yang lain dari stakeholder.
Kegiatan CSR yang dilakukan dan diungkapkan secara berkelanjutan dalam laporan tahunan perusahaan, maka akan memberikan dampak pada kelangsungan hidup perusahaan dan akan mendapat dukungan dari stakeholder. Perusahaan perlu memberikan informasi relevan kepada stakeholder tentang posisi, upaya dan prestasi tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan melalui pengungkapan CSR. Saleh, et al. (2010) menyatakan bahwa teori
stakeholder berguna dalam menjelaskan CSR. Hal ini dikarenakan teori stakeholder mampu membedakan antara isu sosial dengan stakeholder.
Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan memiliki salah satu tanggung jawab kepada stakeholder, dengan melakukan pengungkapan sosial. CSR perusahaan seharusnya melampaui tindakan memaksimalkan laba untuk kepentingan pemegang saham (stockholder), namun lebih luas lagi bahwa kesejahteraan yang dapat diciptakan oleh perusahaan sebetulnya tidak terbatas kepada kepentingan pemegang saham saja, tetapi juga untuk kepentingan
stakeholder, yaitu semua pihak yang memiliki keterkaitan atau klaim terhadap
perusahaan (Untung, 2008). Perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi para
Pemegang saham memiliki hak terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan, stakeholder juga memiliki hak terhadap perusahaan. Stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan (power) untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu, power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder (Ghozali dan Chariri, 2007).
Power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber
ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan (Ghozali dan Chariri, 2007 mengutip Deegan, 2000).
Teori ini dengan jelas menampilkan corak baru dalam mempersepsikan perusahaan dalam bentuk yang lebih sosial dan humanis, serta memberikan kesadaran etika tentang tanggung jawab sosial. Pada dasarnya pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan bertujuan untuk memperlihatkan kepada masyarakat tentang aktivitas sosial yang dilakukan oleh perusahaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Dalam hal ini keamanan perusahaan dapat diperoleh yang pada akhirnya berujung pada kepentingan pemilik perusahaan, kemudian manajer akan termotivasi untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial.
2.1. 2 Teori Pensinyalan (Signalling Theory)
Penelitian mengenai hubungan antara CSR dengan ERC dapat dijelaskan dengan teori pensinyalan (signalling theory). Teori pensinyalan pertama kali
dikembangkan oleh Ross (1977). Teori pensinyalan mengindikasikan bahwa pelaporan keuangan oleh emiten merupakan suatu sinyal yang dapat mempengaruhi nilai saham mereka. Dalam pasar modal, pelaku pasar melakukan keputusan ekonomi dengan dasar informasi publikasi, pengumuman dan konfrensi pers (Jaswadi, 2003). Adanya sinyal dari perusahaan menyebabkan investor melakukan tindakan dan menentukan antisipasi yang tepat. Apabila perusahaan manyampaikan informasi ke pasar, umumnya pasar akan merespon sebagai suatu sinyal terhadap adanya suatu peristiwa tertentu yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan yang nantinya akan berpengaruh pada nilai saham perusahaan.
Manajer pada umumnya memiliki motivasi untuk menyampaikan informasi yang baik (good news) mengenai perusahaannya kepada para pemegang saham dan pihak luar secepat mungkin. Informasi tersebut diharapkan dapat memberikan sinyal yang meyakinkan sehingga meminimalkan asimetri informasi bagi para pemegang saham dan publik juga akan terkesan pada sinyal baik tersebut. Dalam hal ini, akan terefleksi pada harga saham sekuritas atau dengan kata lain nilai perusahaan akan tercermin pada harga saham perusahaan. Contoh penyampaian informasi melalui pensinyalan yaitu penyampaian informasi laba yang dapat diukur dengan ERC dan informasi-informasi dalam laporan tahunan perusahaan khususnya informasi mengenai pengungkapan CSR yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai prospek perusahaan dimasa depan kepada para pemakai laporan tahunan perusahaan.
Informasi tentang pengungkapan CSR merupakan suatu sinyal perusahan untuk mengkomunikasikan kinerja perusahaan dalam jangka panjang, karena CSR
terkait dengan acceptability dan sustainability, yang artinya perusahaan diterima dan berkelanjutan untuk dijalankan di suatu tempat dalam jangka panjang. Termasuk didalamnya tanggung jawab terhadap tenaga kerja dan keamanan produk bagi konsumen memiliki risiko terjadinya konflik sosial dan lingkungan yang lebih rendah dibanding perusahaan yang tidak melakukan dan mengungkapkan kegiatan CSRnya.
2.1. 3 Corporate Social Responsibility (CSR)
Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.
Konsep CSR pertama kali muncul dalam tulisan Social Responsibility of
the Businessman pada tahun 1953. Konsep yang digagas oleh Howard Rothmann
Browen ini telah menjawab keresahan dunia bisnis, karena bisa menjadi penawar kesan buruk perusahaan terhadap pandangan masyarakat dan lebih dari itu, pengusaha bisa dipandang hanya sebagai pemburu uang yang tidak perduli pada kemiskinan dan dampak lingkungan tanpa melakukan CSR. Sangat penting perusahaan melakukan CSR karena melalui CSR, pengusaha tidak lagi diganggu dengan perasaan bersalah pada masyarakat dan lingkungan sekitar.
CSR secara umum sudah mulai digunakan sejak tahun 1970 dan kemudian menjadi populer setelah diterbitkannya buku dengan judul Cannibals
With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business oleh Jhon Elkington pada tahun 1998. Elkington mengembangkan tiga hal penting yang harus diperhatikan perusahaan yaitu economic growth, environmental protection, dan
society equity yang kemudian berkembang menjadi profit, people, dan planet.
Pada penelitian Anggraini (2006) mengutip Darwin (2004) mengatakan bahwa CSR terbagi menjadi 3 kategori yaitu kinerja ekonomi, kinerja lingkungan dan kinerja sosial.
CSR adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholders, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Darwin, 2004). CSR dapat dikatakan sebagai inti dari etika bisnis, dimana perusahaan tidak hanya memiliki kewajiban ekonomi legal kepada pemegang saham tetapi juga mempunyai kewajiban-kewajiban kepada pihak lain yang berkepentingan (stakeholder), termasuk didalamnya pelanggan, pegawai, komunitas, investor, pemerintah, sampai kompetitor (Nurlela dan Islahudin, 2008).
Global Compact Initiative (2002) juga memberikan pemahaman tentang
CSR dengan sebutan 3P (profit, people, dan planet), yaitu tujuan bisnis tidak hanya mencari laba (profit), tetapi juga mensejahterakan orang (people), dan menjamin keberlanjutan hidup planet ini (Dahlia dan Siregar, 2008 mengutip Nugroho, 2007).
Perusahaan menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan tempat perusahaan beroperasi. Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai keadilan. Jika terjadi ketidakseimbangan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan dalam kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan tersebut (Sayekti dan Wondabio, 2007). Pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan merupakan salah satu cara perusahaan untuk membangun, mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi perusahaan dari sisi ekonomi dan politis (Sayekti dan Wondabio, 2007 mengutip Guthrie dan Parker, 1990).
2.1. 4 Earnings Response Coefficient (ERC)
Earnings response coefficient (ERC) merupakan proksi yang sering
digunakan oleh para peneliti untuk melihat hubungan antara informasi laba dengan bagaimana investor merespon informasi laba tersebut. Penelitian tentang ERC dipicu oleh penelitian Ball dan Brown (1968) yang menemukan tentang fenomena abnormal return. Kormendi dan Lipe (1987) melakukan penelitian awal tentang ERC. Kormendi dan Lipe melakukan estimasi tentang hubungan antara
return saham, laba, dan ERC, serta menguji apakah estimasi spesifik dari ERC
secara cross-sectional menggambarkan hubungan positif dengan atribut laba perusahaan secara time series. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa return saham, laba dan ERC berhubungan positif dengan atribut laba perusahaan secara
time series. Kormendi dan Lipe juga menemukan bahwa atribut laba tahunan
secara time series, yang dilaporkan perusahaan berbeda antar perusahaan, sehingga laba tidak selalu random walk untuk setiap perusahaan.
Pada penelitian awal yang dilakukan Kormendi dan Lipe (1987), Easton dan Zmijewski (1989), serta Collins dan Kothari (1989) menemukan empat faktor ekonomi utama yang menentukan ERC, yaitu : persistence, growth, risk dan
interest rate. Perkembangan penelitian selanjutnya dengan mengaitkan ERC
dengan berbagai macam komponen diantaranya adalah noise in earnings (Griffin, 1993), akuntansi akrual (Dechow, 1994; Feltham dan Pae, 1999), laba transitory (Collins et al., 1997; Hayn, 1995; Elliot dan Hana, 1996; Ramakrishnan dan Thomas, 1998; Abarbanell dan Lehavy, 2000), dan beberapa perkembangan penelitian lainnya. Scott (2000) menemukan tujuh faktor yang dapat menentukan ERC yaitu : beta, capital structur, persistence, earnings quality, growth
opportunities, the information of price dan the similarity of investor expectation.
Merujuk pada beberapa literatur diatas, maka besarnya hubungan antara laba akuntansi dan harga saham diukur dengan menggunakan ERC. ERC merupakan pengaruh laba kejutan (unexpected earnings) terhadap cumulative
abnormal return (CAR), yang ditunjukkan melalui slope coefficient dalam regresi abnormal return saham dengan unexpected earnings (Cho dan Jhung, 1991). Cho
dan Jhung (1991), ERC adalah reaksi CAR atas laba yang diumumkan perusahaan. Reaksi yang diberikan tergantung dari kualitas laba yang dihasilkan perusahaan. Tinggi rendahnya ERC tergantung dari “good news” atau “bad news”
yang terkandung dalam laba. ERC juga didefinisikan oleh Beaver (1968) sebagai ukuran sensitivitas perubahan harga saham terhadap perubahan laba akuntansi.
Kualitas laba tercermin dalam beberapa hal misalnya laba dengan presisi yang lebih baik, bagaimana persistensi laba, dan juga terkait dengan kredibilitas informasi dalam hal pelaporan laba. Harahap (2004) mengutip Scott (2000) menyatakan bahwa secara instuitif besarnya ERC mencerminkan kualitas
earnings yang tinggi, dimana ERC mengukur besarnya abnormal return saham
dalam merespon komponen kejutan dalam earnings yang dilaporkan perusahaan. Novianti (2008) menyatakan bahwa ERC menunjukkan kuat lemahnya reaksi pasar terhadap pengumuman laba, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi kandungan informasi laba. Sedangkan Mayangsari (2004) mengutip Lev (1989) dan Bandyopadhyay (1994) menyatakan bahwa besaran ERC menunjukkan kualitas earnings perusahaan.
Berbagai penelitian tentang ERC telah banyak dilakukan. Penelitian mengenai ERC selalu dikaitkan dengan faktor-faktor yang ditemukan mempengaruhi ERC dan digunakan sebagai variabel kontrol. Faktor-faktor tersebut menyebabkan respon pasar yang berbeda-beda terhadap laba, seperti risiko sistematik, persistensi laba, leverage, pertumbuhan perusahaan dan ukuran perusahaan. Risiko sistematik ditemukan berhubungan negatif dengan ERC (Setiati, 2004 mengutip Easton dan Zmijewski 1989, Collins dan Kothari, 1989), persistensi laba berhubungan positif dengan ERC (Setiati, 2004 mengutip Kormedi dan Lipe, 1987, Collins dan Kothari 1989), leverage berpengaruh negatif terhadap ERC (Dhaliwal et al 1991), pertumbuhan perusahaan berhubungan
positif dengan ERC (Setiati, 2004 mengutip Collins dan Kothari, 1989), dan ukuran perusahaan berhubungan negatif dengan ERC (Nugrahati, 2006 mengutip Chaney dan Jeter, 1991).
Setiati (2004) mengutip Subekti (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan perusahaan adalah kemampuan perusahaan yang lebih dalam mengeksploitasi kesempatan mengambil laba dibandingkan dengan perusahaan yang setara dalam kelompok industri. Tingkat pertumbuhan perusahaan yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan laba di masa yang akan datang sehingga data akan direspon positif oleh investor. Setiati (2004) mengutip Collins dan Kothari (1989) serta Bae dan Sami (1999) menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki kesempatan tumbuh yang lebih besar akan memiliki ERC yang tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin besar kesempatan tumbuh perusahaan maka semakin tinggi kesempatan perusahaan mendapatkan atau menambah laba yang diperoleh perusahaan di masa mendatang.
2.1. 5 Earning Response Coefficient (ERC) dan Pengungkapan Informasi pada Laporan Tahunan
Secara umum, hubungan tingkat pengungkapan informasi yang dilakukan oleh perusahaan dengan kinerja pasar perusahaan masih sangat beragam. Menurut Sayekti dan Wondabio (2007) mengutip Lang dan Lundholm (1993) secara teoritis ada hubungan positif antara pengungkapan (termasuk pengungkapan sukarela) dan kinerja pasar perusahaan. Laporan tahunan adalah salah satu media yang digunakan perusahaan untuk berkomunikasi langsung dengan para investornya.
Pengungkapan informasi pada laporan tahunan yang dilakukan oleh perusahaan diharapkan dapat mengurangi asimetri informasi dan juga mengurangi
agency problems (Healy et al., 2001). Penelitian Lang dan Lundholm (1993)
mengenai pengungkapan sukarela menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan yang lebih tinggi berasosiasi dengan kinerja pasar yang lebih baik (yang diukur dengan return saham). Lang et al., (1993) menggunakan korelasi laba dan return saham perusahaan sebagai proksi asimetri informasi. Hal ini konsisten dengan motif adverse selection (Lang et al., 1993). Korelasi laba dan return saham yang rendah mengindikasikan bahwa informasi laba hanya memberikan sedikit informasi tentang nilai perusahaan yang menunjukkan bahwa masih terdapat asimetri informasi yang tinggi. Pengungkapan tersebut bertujuan mengurangi asimetri informasi terutama pada perusahaan yang memiliki korelasi
earnings/returns yang rendah. Dengan demikian, Lang et al., (1993) menyatakan
adanya hubungan negatif antara korelasi earnings/returns (ERC) dengan tingkat pengungkapan.
2.1. 6 Penelitian-Penelitian Sebelumnya
Penelitian empiris awal mengenai CSR dilakukan Alexander dan Buchhloz (1978) yang meneliti mengenai hubungan antara tingkat CSR dan kinerja stock market. Penelitian ini tidak menemukan hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Alexander et al., (1978) mengemukakan bahwa salah satu kemungkinan penjelasan atas hasil penelitian tersebut adalah pasar modal yang sudah efisien, sehingga semua informasi sudah langsung tercermin
dalam harga saham. Pengukuran tingkat CSR yang digunakan oleh Alexander adalah dengan ranking yang diberikan oleh pelaku usaha dan mahasiswa.
Beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan mengenai pengaruh pengungkapan CSR terhadap ERC diantaranya dilakukan oleh Widiastuti (2002) yang meneliti pengaruh luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan terhadap ERC dan menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan prediksi, yang mengharapkan bahwa luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan berpengaruh negatif terhadap ERC. Namun, pengujian empirisnya justru menemukan adanya pengaruh positif dan signifikan dari luas pengungkapan sukarela terhadap ERC. Penjelasan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti (2002) adalah bahwa informasi sukarela yang diungkapkan perusahaan tidak cukup memberikan informasi tentang expected future earnings sehingga investor tetap menggunakan informasi laba sebagai proksi expected future
earnings.
Sayekti dan Wondabio (2007), serta Hidayati dan Murni (2009) melakukan penelitian mengenai pengaruh CSR disclosure dalam laporan tahunan terhadap ERC. Bukti empiris yang dilakukan dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan berpengaruh negatif terhadap ERC. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa investor mengapresiasi informasi CSR yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan. Tetapi, hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Daud dan Syarifuddin (2008) yang menyatakan bahwa pengungkapan CSR berpengaruh positif terhadap ERC. Hasil penelitian ini
tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Sayekti dan Wondabio (2007) dan Hidayati dan Murni (2009).
Wulandari dan Wirajaya (2014) juga meneliti pengaruh pengungkapan CSR pada ERC, dan hasil penelitiannya menyatakan bahwa CSR tidak berpengaruh terhadap ERC. Dapat disimpulkan bahwa investor hanya berorientasi pada jangka pendek perusahaan yaitu untuk membeli saham perusahaan dan dijual kembali, sedangkan CSR lebih berorientasi pada kinerja jangka panjang. Utaminingtyas dan Ahalik (2010) melakukan penelitian mengenai hubungan antara CSR dengan ERC dan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara CSR dengan ERC.
Tabel 2.1
Penelitian-penelitian yang terkait
No Peneliti Variabel Alat
Analisis Sampel Hasil
1 Anggraini, Fr. Reni
Retno, 2006,
Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi
Pengungkapan Informasi
Sosial dalam Laporan
Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta).
1) Variabel independen : Kepemilikan Manajemen, Leverage, Ukuran Perusahaan, Tipe Industri, dan Profitabilitas
2) Variabel dependen : Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Analisis Regresi Berganda
1188 perusahaan yang go public di BEJ periode pengamatan tahun 2000-2004.
1) Kepemilikan manajemen dan tipe industri berpengaruh secara signifikan pada pengungkapan CSR.
2 Sayekti, Yosefa dan
Ludovicus Sensi Wondabio, 2007, Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earning Response Coefficient. 1) Variabel independen : CSR Disclosore (CSRI)
2) Variabel dependen : ERC (regresi CAR dengan UE)
3) Variabel kontrol : a) Risiko (Beta) b) Pertumbuhan perusahaan (PBV) Analisis Regresi Berganda
108 laporan tahunan perusahaan yang terdaftar di BEJ periode pengamatan tahun 2005 yang terdiri dari berbagai industri.
1) CSR dalam laporan tahunan perusahaan berpengaruh negatif terhadap ERC, yang mengindikasikan bahwa investor mengapresiasi informasi CSR.
3 Lely Dahlia dan Silvia
Veronica Siregar, 2008,
Pengaruh Corporate
Social Responsibility
Terhadap Kinerja
Perusahaan.
1) Variabel independen : CSR (CSRI) 2) Variabel dependen : Kinerja
Keuangan :
a) ROE = EAT / Total Equity b) Abnormal Return
(AR) = Rit - Rmit
Analisis Regresi Berganda
91 perusahaan yang terdiri dari dua model pengujian yaitu model pertama menggunakan 66 sampel dan model kedua menggunakan 25 sampel perusahaan.
1) CSR berpengaruh terhadap kinerja keuangan (ROE dan CAR)
2) Namun CSR tidak berpengaruh terhadap kinerja pasar.
No Peneliti Variabel Alat
Analisis Sampel Hasil
4 Daud, Rulfah M., dan Nur
Afni Syarifuddin, 2008,
Pengaruh Corporate
Social Responsibility
Disclosure, Timeliness, dan Debt To Equity Ratio
Terhadap Earning
Response Coefficient
(Studi Empiris Pada
Perusahaan Manufaktur
Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia).
1) Variabel Independen : a) CSR (CSRI) b) Timeliness
c) Debt to Equity Ratio (perbandingan total hutang dengan modal sendiri) 2) Variabel Dependen : ERC (proksi
harga saham dan laba akuntansi)
Analisis Regresi Linear Berganda
19 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode pengamatan tahun 2006 dan 2007.
1) Corporate Social Responsibility berpengaruh positif terhadap ERC. 2) Timeliness berpengaruh
positif terhadap ERC. 3) Debt to Equity Ratio
berpengaruh negatif terhadap ERC.
5 Nurlela dan Islahudin,
2008, Pengaruh
Corporate Social
Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan
Prosentase Kepemilikan
Manajemen sebagai
Variabel Moderating.
1) Variabel Independen : CSR 2) Variabel Dependen : Nilai
Perusahaan
3) Variabel Moderasi : Prosentase Kepemilikan Manajemen
MRA 41 perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEI
periode pengamatan tahun 2005.
1) CSR tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 2) Prosentase kepemilikan manajemen memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap nilai perusahaan.
6 Hidayati, Nuur Naila dan
Sri Murni, 2009, Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Earnings Response Coefficient Pada
Perusahaan High Profile.
1) Variabel independen : UE 2) Varibel dependen :
Earnings-returns (CAR)
3) Variabel pemoderasi : CSR disclosure (CSRDI berdasarkan GRI) Analisis Regresi Berganda dengan metode OLS Crossectio -nal
37 laporan tahunan perusahaan high profile yang terdaftar di BEI periode pengamatan tahun 2006.
1) CSR berpengaruh negatif terhadap ERC.
No Peneliti Variabel Alat
Analisis Sampel Hasil
7 Utaminingtyas, Tri Hesti
dan Ahalik, 2010, The
Relationship Between
Corporate Social
Responsibility and
Earnings Response
Coefficient: Evidence
from Indonesian Stock Exchange.
1) Variabel : a) CSR (CSRI)
b) ERC (regresi CAR dengan UE) 2) Variabel Moderasi : Pengungkapan
Sukarela
3) Variabel Kontrol : a) Ukuran Perusahaan
(ln total aset perusahaan) b) Struktur Modal
(CSit = TUit/TAit)
Analisis Regresi Linear
41 perusahaan yang memiliki indeks 45 saham yang paling likuid (LQ45) yang terdaftar di Indonesian Stock Exchange periode pengamatan tahun 2007.
1) Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara CSR dengan ERC.
8 Cheng, Megawati dan
Yulius Jogi Christiawan,
2011, Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Abnormal Return. 1) Variabel Independen : Pengungkapan CSR (CSRI berdasarkan GRI)
2) Variabel Dependen : Abnormal Return (CAR)
3) Variabel Kontrol : a) PBV ratio
b) Return on Equity (ROE)
Analisis Regresi Berganda
41 perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam yang terdiri dari 10 perusahaan industri agrobisnis, 11 perusahaan pertambangan, dan 20 perusahaan kimia dasar yang terdaftar di BEI tahun 2007-2009. 1) CSR berpengaruh positif terhadap abnormal return. 2) ROE berpengaruh negatif terhadap abnormal return. 3) PBV tidak berpengaruh terhadap abnormal return. 9 Silvia Agustina, 2012, Pengaruh Profitabilitas dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan. 1) Variabel Independen : a) Profitabilitas b) Pengungkapan CSR 2) Variabel Dependen : Nilai
Perusahaan
Analisis Regresi Berganda
25 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2007-2010.
1) Profitabilitas dan pengungkapan CSR berpengaruh pada nilai perusahaan.
No Peneliti Variabel Alat
Analisis Sampel Hasil
10 Kadek Trisna Wulandari
dan I Gede Ary Wirajaya,
2014, Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Earning Response Coefficient. 1) Variabel Independen : Pengungkapan CSR (CSRI berdasarkan GRI)
2) Variabel Dependen : ERC (regresi CAR dengan UE)
3) Variabel Kontrol : Ukuran Perusahaan
Analisis Regresi Linear Berganda
82 perusahaan yang terdiri dari 9 sektor yang terdaftar di BEI periode pengamatan tahun 2011-2012.
1) CSR tidak berpengaruh terhadap Earning Response Coefficient.