• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DI BAWAH UMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DI BAWAH UMUR"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN

DI BAWAH UMUR

Bantuan dokter kepada kalangan hukum yang paling sering dan sangat diperlukan adalah pemeriksaan korban untuk pembuatan visum et repertum . Masalah visum adalah masalah utama yang menghubungkan dokter dengan kalangan penyidik atau kalangan peradilan, maka pemahaman mengenai masalah ini harus dikuasai dengan baik, tidak saja untuk kalangan dokter tetapi juga untuk penyidik, penuntut umum, pembela, dan hakim pengadilan. Visum et repertum adalah istilah asing, namun sudah menyatu dalam bahasa Indonesia sehingga orang awam sekalipun biasanya mengetahui bahwa visum et repertum berkaitam dengan surat yang dikeluarkan dokter untuk polisi dan pengadilan.9

Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung tentang visum et repertum, yaitu pada Staatsblad ( Lembaran Negara ) tahun 1937 No. 350 yang menyatakan :

Pasal 1 :

Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran di Negeri Belanda ataupun di Indonesia, merupakan alat bukti yang syah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta tersebut berisikan keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter pada benda yang diperiksa.

9

(2)

Pasal 2 ayat 1 :

Pada Dokter yang tidak pernah mengucapkan sumpah jabatan baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia, sebagai tersebut dalam Pasal 1 diatas, dapat mengucapkan sumpah sebagai berikut :

“Saya bersumpah ( berjanji ), bahwa saya sebagai dokter akan membuat pernyatan-pernyataan atau keterangan-keterangan tertulis yang diperlukan untuk kepentingan peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang melimpahkan kekuatan lahir dan batin”.10

Bila diperinci isi Staatsblad ini mengandung makna :

1. Setiap dokter yang telah disumpah waktu menyelesaikan pendidikannya di Belanda ataupun di Indonesia, ataupun dokter-dokter lain berdasarkan sumpah khusus ayat (2) dapat membuat visum et repertum.

2. Visum et repertum mempunyai daya bukti yang syah/ alat bukti yang syah dalam perkara pidana.

3. Visum et repertum berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat, ditemukan pada benda-benda/ korban yang diperiksa.

Ketentuan pada staatsblad ini merupakan terobosan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah tiap kali sebelum membuat visum. Setiap keterangan yang disampaikan untuk pengadilan haruslah keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini, maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan

10

(3)

pendidikannya, dianggap sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat visum et repertum. Oleh karena itu sampai sekarang pada bagian akhir visum, masih dicantumkan ketentuan hukum ini untuk mengingatkan yang membuat maupun yang menggunakan visum et repertum, bahwa dokter waktu membuat visum akan bertindak jujur dan menyampaikan tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan korban menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya.

A. Jenis dan Bentuk Visum Et Repertum 1. Jenis-jenis Visum Et Repertum

Visum et repertum terdiri dari beberapa jenis, antara lain :11 1. Visum untuk korban hidup

Yang termasuk visum untuk korban hidup adalah visum yang diberikan untuk korban luka-luka karena kekerasan, keracunan, perkosaan, psikiatri dan lain-lain. Berdasarkan waktu pemberiannya visum untuk korban hidup dapat dibedakan atas :

a. Visum seketika ( definitive )

yaitu visum yang langsung diberikan setelah korban selesai diperiksa. Visum inilah yang paling banyak dibuat oleh dokter.

b. Visum sementara

yaitu visum yang diberikan pada korban yang masih dalam perawatan. Biasanya visum sementara ini diperlukan penyidik untuk menentukan jenis kekerasan, sehingga dapat menahan tersangka atau

11

(4)

sebagai petunjuk dalam menginterogasi tersangka. Dalam visum sementara ini, belum ditulis kesimpulan.

Pemberian visum sementara ini hanya merupakan barang bukti untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap terdakwa atas telah terjadinya suatu peristiwa pidana, misalnya penganiayaan, pemerkosaan, percobaan membunuh dan lain-lain. Penangkapan dan penahanan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang dengan hanya dilandasi adanya dugaan. Akan tetapi harus didasarkan atas bukti-bukti permulaan.

Apabila sikorban sudah sembuh atau sudah meninggal, maka dokter harus mengganti visum sementara yang telah dikeluarkan terdahulu dan berkewajiban untuk membuat visum yang baru. Dalam visum yang baru sebagai pengganti visum sementara, dokter telah sampai pada kesimpulan tentang apa yang dilihat dan diketahuinya dari tubuh korban unutk bahan pembuktian dipersidangan. Sedangkan visum sementara tadi tidak dapat diajukan sebagai alat bukti karena dalam visum sementara dokter belum sampai pada suatu kesimpulan terhadap apa yang dilihat dan didapat dari pemeriksaan korban.

c. Visum lanjutan

yaitu visum yang diberikan setelah korban sembuh atau meninggal dan merupakan lanjutan dari visum sementara yang telah diberikan sebelumnya. Dalam visum ini harus dicantumkan nomor dan tanggal dari visum sementara yang telah diberikan. Dalam visum ini dokter

(5)

telah membuat kesimpulan. Visum lanjutan tidak perlu dibuat oleh dokter yang membuat visum sementara, tetapi oleh dokter yang terakhir merawat penderita.

2. Visum jenazah

Visum et repertum jenazah dapat dibedakan atas beberapa, yaitu :12 a. Visum dengan pemeriksaan luar

Pemeriksaan luar yang dimaksud tidak dapat memberikan kepada umum apakah pemeriksaan pertama bagian luar saja, oleh karena kurang jelas disebutkan tetapi mungkin pembuat undang-undang hanyalah pemeriksaan luar saja. Pemeriksaan mayat yang hanya ditujukan pada bagian luar saja pada umumnya kurang dapat memberikan hasil yang diharapkan dalam membuktikan faktor penyebab kematian sikorban atau dengan kata lain hasil pemeriksaan tersebut kurang sempurna.

b. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam

Visum ini sering menimbulkan permasalahan antara penyidik, dokter dan masyarakat terutama dalam visum pemeriksaan luar dan dalam ( autopsy ). Masalah disini adalah hambatan dari keluarga korban bila visum harus dibuat melalui bedah mayat. Pemeriksaan bedah mayat berarti membuka semua rongga tubuh ( kepala, dada, perut, dan pinggul ) dan memeriksa semua alat-alat (organ) unutk

12

(6)

dapat menentukan sebeb kematian maupun penyakit atau kelainan yang mungkin terdapat pada si korban.

Apabila ditinjau dari segi yuridis, pemeriksaan bedah mayat bukanlah sekedar menentukan kematian sikorban saja melainkan melalui pemeriksaan tersebut akan dapat menjawab apakah perbuatan terdakwa merupakan satu-satunya penyebab kematian korban atau pada korban terdapat penyakit atau kelainan yang mempermudah atau mempercepat kematiannya sehingga berdasarkan teori yang dianut oleh hakim pada saat mengadili perkara dapat dijatuhi hukuman seadil-adilnya.

Permintaan bedah mayat ini merupakan otopsi dan harus mendapat izin dan persetujuan dari keluarga korban serta memperlakukan mayat dengan penuh penghormatan. Hasil dari pemeriksaan bedah mayat tersebut nantinya dituangkan oleh saksi ahli kedalam visum et repertum. Dokter dalam membuat visum et repertum jenazah dari mayat yang diperiksanya tidak dapat menyebutkan bahwa si korban mati akibat pembunuhan walaupun dokter mengetahui bahwa kematian sikorban disebabkan karena pembunuhan. Dokter dalam kesimpulannya hanya membuat keterangan tentang kematian korban, misalnya,kematian akibat keracunan, pendarahan diotak dan sebagainya.

(7)

2. Bentuk dari Visum Et Repertum

Bentuk visum et repertum yang sekarang dipakai adalah warisan para pakar kedokteran kehakiman yaitu profesor H. Muller, Prof Mas soetedjo Mertodidjojo dan Prof Sutomo Tjokronegoro sejak puluhan tahun yang lalu. Konsep visum et repertum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari :13

1. Pro- Yustisia

Menyadari bahwa semua surat baru syah di pengadilan apabila dibuat diatas kertas bermaterai dan hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum et repertum yang dibuatnya harus memakai kertas materai. Berpedoman kepada peraturan pos, maka bila dokter menulis Pro-Yustisia dibagian atas visum, maka itu sudah dianggap sama dengan kertas materai.

Penulisan kata Pro-Yustisia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (pro-yustisia). Hail ini sering terabaikan oleh pembuat maupun pemakai tentang arti sebenarnya kata pro-yustisia ini. Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai salah satu alat bukti yang syah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dengan kata lain kata Pro-Yustisia harus dicantumkan dikiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak perlu bermaterai.

13

(8)

2. Pendahuluan

Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa dan siapa yang diperiksa, saat pemeriksaan (tanggal, hari dan jam), dimana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan visum.

3. Pemeriksaan

Bagian yang terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara obyektif dan pada bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa adanya. Misalnya terdapat suatu luka, dokter menuliskan dalam visum suatu luka berbentuk panjang, dengan panjang 10 cm, dan lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata, jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Menurut penulis cara penulisan ini lebih baik langsung disebut sebuah luka sayat dengan rincian seperti diatas. Demikian juga dengan luka robek, luka tembak dal lain-lain.

Pada bagian pemeriksaan ini, bila dokter mendapat kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran foto atau sketsa. Tujuannya adalah karena dengan lampiran foto atau sketsa pemakain

(9)

visum akan lebih mudah memahami penjelasan yang ditulis dengan kata-kata dalam visum.

4. Kesimpulan

Bagian ini memuat pendapat pribadi dokter sendiri, bersifat subyektif dan dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman. Untuk pemakain visum, ini adalah bagian yang penting, karena dokter diharapkan dapat menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan.

Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur korban (terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini). Pada kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.

5. Penutup

Pada bagian ini, visum et repertum ditutup dengan : demikian visum et repertum ini dibuat dengan sesungguhnya mengingat sumpah dokter yang tercantum dalam stb. 1937/350 atau sesuai dengan penjelasan KUHAP pasal 186 : keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam

(10)

suatu bentuk keterangan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Ketentuan ini sangat memudahkan dokter dalam membuat visum et repertum, tidak perlu setiap kali disumpah oleh penyidik kalau membuat visum et repertum. Visum et repertum harus dibuat sejujur-jujurnya dan sengaja dari ketentuan ini dapat dipidana berdasarkan KUHP pasal 242 yaitu sumpah palsu.14

B. Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Menurut KUHAP

Perlu diketahui bahwasanya visum et repertum itu dibuat bukan untuk kepentingan dokter dan bukan pula hanya untuk pemuas keinginan tahu dokter, misalnya didalam mengetahui penyebab kematian, penyebab perlukaan, adanya persetubuhan dengan kekerasan atau adanya gangguan jiwa pada barang bukti yang diperiksanya.

Visum et repertum dibuat dan dibutuhkan didalam rangka upaya penegakan hukum dan keadilan, dengan perkataan lain yang berlaku sebagai konsumen atau pemakai visum et repertum adalah perangkat penegak hukum, yang didalam tulisan ini dibatasi pada pihak penyidik sebagai instansi pertama yang memerlukan visum et repertum guna membuat terang dan jelas suatu perkara pidana yang telah terjadi, khususnya visum et repertum ini turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan

14

(11)

medik yang tertuang didalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.

Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang didalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilimu kedokteran dengan ilmu hukum, sehingga dengan memebaca visum et repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, maka Hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum di dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.

Didalam kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang lama, yaitu RIB maupun Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada satu Pasal pun yang memuat perkataan Visum et repertum. Visum et repertum hanya termuat dalam lembaran Negara tahun 1973 No. 350 Pasal 1 dan Pasal 2 yang menyatakan bahwa visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.

Di dalam KUHAP terdapat pasal yang berkaitan dengan kewajiban dokter, untuk membantu peradilan yaitu dalam bentuk keterangan ahli, pendapat orang

(12)

ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter, dan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP: Pasal 187 butir c).15

Di dalam KUHAP yang berhak mengajukan prosedur pengeluaran visum et repertum antara lain :

1. Pasal 7 ayat 1 huruf h KUHAP :

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : mendatangkan orang ahli yang diperlakukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.

2. Pasal 120 ayat 1 KUHAP :

Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

3. Pasal 133 ayat 1 KUHAP :

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

Dari ketentuan pasal-pasal diatas telah memberikan gambaran, bahwa yang dapat mengajukan prosedur pengeluaran visum et repertum adalah penyidik. Oleh karena itu visum et repertum semata-mata hanya dibuat agar suatu perkara

15

Abdul Mun,im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Pertama, Jakarta, 1989, Hal. 3.

(13)

pidana menjadi jelas dan hanya beguna bagi kepentingan pemeriksaan dan untuk keadilan serta diperuntukkan bagi kepentingan peradilan. Dengan demikian visum et repertum tidaklah dibuat / diterbitkan untuk kepentingan lain. Karena tujuan visum et repertum adalah untuk memberikan kepada Hakim ( Majelis ) suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti tersebut atas semua keadaan/atau hal sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan agar Hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung atas keyakinan Hakim.16

Jika dilihat dari Hukum Acara Pidana, maka ketentuan perihal alat-alat bukti yang syah menurut KUHAP terdapat dalam Pasal 184 ayat (1), yaitu:

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Memperhatikan alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, maka visum et repertum digolongkan kedalam keterangan ahli (dokter atau dokter ahli kedokteran kehakiman), walaupun secara khusus visum et repertum tidak pernah dicantumkan dalam KUHAP sebagaimana salah satu alat bukti yang syah, namun visum ini sudah menjadi bagian dari keterangan ahli dan keterangan ahli itu sendiri harus memberikan pendapat atau konklusi yang

16

(14)

didasarkan atas keilmuan atau keahlian khusus mengenai suatu hal untuk kepentingan pemeriksaan.

Pada dasarnya visum et repertum merupakan laporan tertulis dari seorang seorang dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan sehingga dengan demikian visum et repertum dapat membantu penyidikan guna mengungkapkan suatu perkara pidana. Dalam suatu perkara pidana maka visum et repertum berfungsi sebagai berikut :

- Membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan - Menentukan tugas selanjutnya bagi penuntut umum dan Hakim di

Pengadilan

- Menggantikan sepenuhnya corpus delicti (pengganti barang bukti) karena barang bukti yang berasal dari tubuh manusia seperti luka maupun jenazah akan berubah.

Melalui hasil pemeriksaan dari dokter terhadap sikorban yang dituangkan dalam bentuk visum et repertum sebagai pengganti barang bukti, maka penuntut umum dapat lebih mempertajam tuntutannya serta menerapkan pasal-pasal dari KUHPidana terutama dalam peristiwa yang dilakukan dengan kekerasan bahkan jaksa selaku penuntut umum maupun Hakim setelah mempelajari isi dari visum et repertum dapat membayangkan bagaimana keadaan barang bukti pada saat terjadinya peristiwa pidana.

Melalui visum et repertum maka penyidikan tindak pidana yang menyangkut kesehatan dan nyawa manusia akan menjadi lancar dan berfungsi guna menggantikan sepenuhnya corpus delicti dan apabila tanda bukti suatu

(15)

perkara pidana merupakan suatu benda seperti senjata tajam, barang-barang hasil curian, dan lain-lain pada umumnya selalu dapat diajukan dimuka persidangan sebagai alat bukti. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan corpus delicti yang berupa tubuh manusia, misalnya luka-luka pada tubuh seseorang selalu berubah-berubah yaitu mungkin akan sembuh, membusuk atau akhirnya menimbulkan kematian dan mayatnya akan menjadi busuk dan dikubur. Jadi kesimpulannya keadaan itu tidak pernah tetap seperti pada waktu pemeriksaan dilakukan, maka oleh karenanya corpus delicti yang demikian itu tidak mungkin diajukan ketengah sidang pengadilan dan secara mutlak harus diganti dengan visum et repertum.17

Dengan berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, maka kedudukan keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk visum et repertum telah diterima dan diakui pleh Undang-undang sebagai alat bukti yang syah disamping visum digunakan sebagai keterang ahli juga digolongkan sebagai alat bukti surat, sebab merupakan keterangan ahli yang tertulis, diluar sidang pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 KUHAP butir c yang berbunyi “surat keterangan dari seorang ahli memuat pendapat berdasarkan keadilan mengenai hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.

C. Kedudukan atau Nilai Visum Et Repertum Pada Tindak Pidana Pemerkosaan

Di dalam KUHAP kedudukan atau nilai visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang syah. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik

17

(16)

yang tertuang didalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. 18

Pada tindak pidana perkosaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah merupakan kasus kesusilaan yang mana dalam proses pemeriksaannya disidang pengadilan oleh hakim harus dengan pintu tertutup, tetapi pada saat perkara diputus harus dinyatakan terbuka untuk umum. Seperti yang telah diketahui bahwa objek daripada perkosaan adalah perempuan tanpa menghiraukan apakah perempuan tersebut masih gadis (perawan) atau bukan gadis lagi. Apabila korban pemerkosaan tersebut adalah gadis yang masih perawan, maka pada prinsipnya yang memeriksa kasus perkosaan selalu menitikberatkan pemeriksaannya berdasarkan selaput dara/hymen apakah masih utuh atau tidak.

Hakim dalam hal ini sama sekali tidak memiliki pengetahuan atau keahlian tentang utuh atau tidaknya selaput dara/ hymen dari seorang perempuan. Untuk mendapatkan kepastian apakah selaput dara korban robek (utuh atau tidak utuh), maka hakim meminta bantuan seorang ahli, dalam hal ini seorang dokter yang juga didengar keterangannya sebagai saksi ahli dipersidangan dan memberikan penjelasan secara lisan tentang keadaan selaput dara si korban.19

18

Soeparmono, Op. Cit., Hal. 1.

Namun dalam praktek seorang dokter tidak perlu hadir dipersidangan, cukup mengeluarkan surat keterangan yang menjelaskan keadaan selaput dara korban yang mana hal-hal yang ditemukan dokter pada si korban akan dituangkan dalam visum et repertum.

19

Rita mawarni, Dikutip dari Makalah yang berjudul “Kejahatan Seksual Pemerkosaan, Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran USU.

(17)

Dalam praktek dipersidangan, pada tindak pidana pemerkosaan ada kalanya visum et repertum tidak terlampir dalam berkas perkara sehingga Hakim dalam memeriksa tindak pidana pemerkosaan tersebut mengalami kesulitan karena alat bukti tidak lengakap. Oleh karena itu ada baiknya setiap tindak pidana pekosaan sebelum dilimpahkan kepengadilan harus benar-benar teliti lebih dahulu terutama dalam hal alat bukti seperti visum et repertum sangat penting bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili terutama dalam hal pembuktiannya.

Pada tindak pidana perkosaan apabila dilengakapi dengan visum et repertum maka akan memperlancar jalannya pemeriksaan, sehingga Hakim dalam memeriksa perkara tersebut cukup mempedomani visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter. Soerang Hakim bila merasa ragu atas kebenaran ini atau kurang jelasnya visum et repertum, maka Hakim dapat mengahadirkan dokter yang mengeluarkan visum et repertum tersebut dipersidangan untuk didengar keterangannya sebagai saksi ahli. Seorang dokter dalam memeriksa korban tindak pidana perkosaan tidak selamanya menitikberatkan pemeriksaannya pada keadaan selaput dara/ hymen si korban. Perkosaan dapat dibuktikan melalui pemeriksaan sperma laki-laki yang ditemukan dalam vagina sikorban, selama 72 jam atau 3 hari, tanda-tinda kekerasan yang ditemukan pada tubuh sikorban seperti luka, bekas pukulan atau dinyatakan secara sungguh-sungguh dan soebyektif mungkin dalam visum et repertum. Dalam persidangan pada tindak pidana perkosaan, Hakim selalu mengaharapkan keterangan saksi ahli demi tercapainya kepastian Hukum.

(18)

D. Tindak Pidana Perkosaan Terhadap Wanita yang Belum Dewasa Merupakan Delik Aduan

Didalam ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (2) KUHP, Undang-undang telah menentukan bahwa pelaku dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP tidak akan dituntut kecuali jika ada pengaduan. Tentang apa sebabnya tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP oleh pembentuk undang-undang telah dijadikan suatu delik aduan, menurut VAN-BEMMELEN-VAN HATTUM ialah karena pembentuk undang-undang telah bermaksud untuk memberikan kesempatan bagi pelaku untuk menikahi korban, yang apabila pernikahan tersebut benar-benar terjadi, maka dengan sendirinya tidak akan ada pengaduan dari pihak wanita yang merasa dirugikan.20

Adapun isi dari Pasal 287 ayat (1) KUHP : barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun.

Pasal 287 ayat (2) KUHP : penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umurnya perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada Pasal 291 dan Pasal 294 KUHP.

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP terdiri dari unsur-unsur :

a. Unsur Subyektif:

20

(19)

1. Yang ia ketahui

2. Yang sepantasnya harus ia duga

Dari kedua unsur subyektif diatas yang masing-masing yakni “yang ia ketahui dan yang sepantasnya harus ia duga” di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP tersebut maksudnya, pria secara layak/wajar dapat menduga atau mengetahui bahwa umur wanita tersebut belum 15 tahun atau belum dapat dinikahi.

Agar pelaku dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsu-unsur subyektif tersebut diatas, baik penuntut umum maupun Hakim harus dapat membuktikan bahwa pelaku memang “mengetahui” atau setidak-tidaknya “dapat menduga” bahwa wanita yang mengadakan hubungan kelamin diluar nikah dengan dirinya itu belum mencapai usia 15 tahun atau belum dapat dinikahi. Jika pengetahuan atau dugaan pelaku tersebut ternyata tidak dapat dibuktikan di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, maka Hakim akan memberikan putusan bebas bagi pelaku.

b. Unsur-unsur Obyektif : 1. Barang siapa

Unsur “barang siapa” dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP tersebut menunjukkan pria. Apabila pria tersebut memenuhi unsur dari tindak pidana yang diatur dalam pasal ini, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.

(20)

Untuk terpenuhinya unsur ini, tidaklah cukup jika hanya terjadi hubungan diluar antara alat kelamin pelaku dengan alat kelamin korban, melainkan harus terjadi persatuan alat kelamin pelaku dengan korban. Disamping itu Undang-undang juga mensyaratkan bahwa persatuan antara alat kelamin itu harus terjadi diluar perkawinan. Yang dimaksud dengan perkawinan didalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP itu ialah perkawinan yang sah menurut undang-undang yang berlaku pada saat pernikahan itu dilakukan.

3. Wanita yang belum mencapai usia 15 tahun atau yang belum dapat dinikahi.

Di dalam ketentuan hukum pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (2) KUHP, undang-undang telah menetukan bahwa pelaku dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP itu tidak akan dituntut, kecuali jika ada pengaduan.

Jika tindak pidana perkosaan terhadap wanita yang belum mencapai usia 15 tahun tetapi telah berusia diatas 12 tahun, dan tidak mengakibatkan luka parah atau meninggal, maka peristiwa ini adalah delik aduan. Apabila perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang berusia dibawah 12 tahun maka peristiwa itu adalah delik biasa. Dengan perkataan lain Pasal 287 KUHP tidak merupakan delik aduan, jika :

1. Wanita tersebut belum mencapai usia 12 tahun; 2. Wanita tersebut luka parah;

(21)

3. Wanita tersebut meninggal dunia;

4. Wanita tersebut merupakan anaknya sendiri, anak tirinya atau anak angkatnya yang masih dibawah umur;

5. Wanita tersebut merupakan seorang anak dibawah umur yang pengawasannya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan pada pelaku.21

Kecermatan diperlukan pada penerapan Pasal 287 KUHP khususnya unsur kesalahan yang dirumuskan dengan “diketahui atau patut dapat menduga”. Maksudnya, si pria secara layak/wajar dapat menduga bahwa umur wanita tersebut belum 15 tahun. Jika tubuh si wanita seperti wanita dewasa maka akan sulit mempersalahkannya.

Pada umunya delik aduan dapat dibedakan menjadi 2 jenis, antara lain :22 1. Delik Aduan Absolut/Mutlak

Delik aduan absolut atau mutlak ini adalah jenis peristiwa pidana yang dapat dituntut bilamana ada pengaduan, misalnya peristiwa pidana yang diancam dengan Pasal 284, 287, dan Pasal 293 KUHP, serta pasal-pasal lainnya dalam KUHP yang biasanya menyatakan bahwa peristiwa ini hanya dapat dituntut bila ada pengaduan. Delik aduan absolut ini merupakan pengaduan yang diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga pengaduannya berbunyi : “saya minta agar peristiwa ini

21

Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal.60

22

R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Bandung, 1948, Hal. 94.

(22)

dituntut”. Dengan demikian pengaduan dalam delik aduan ini adalah onsplitbaar (tidak dapat dipecah/tidak dapat dibelah).

2. Delik Aduan Relatif

Delik aduan relatif adalah delik dalam keadaan tertentu saja diperlukan adanya pengaduan, sedangkan pada umunya ia merupakan kejahatan biasa. Pengaduan ini dilakukan bukan untuk menuntut peristiwanya tetapi pengaduan diperlukan untuk menuntut orangnya,sehingga pengaduannya berbunyi : saya minta si A dituntut. Dalam hal ini maka pengaduan tersebut bersifat splitbaar (dapat dipecah/dibelah).

1. Orang yang Berhak Mengajukan Delik Aduan

Jika dilihat dalam Pasal 72 KUHP dapat diketahui bahwa yang berhak mengajukan Delik Aduan adalah :

a. Orang yang dikenai atau orang yang menjadi korban kejahatan yang bersangkutan.

b. Dalam hal orang yang bersangkutan belum cukup umur atau belum dewasa atau dibawah pemilikan orang lain, maka yang berhak mengajukan pengaduan adalah wakilnya yang sah dalam perkara-perkara sipil.

c. Jika wakil-wakil tersebut tidak ada, maka yang berhak mengadu adalah wali yang mengawasi, keluarga sedarah dalam garis lurus.

(23)

d. Dalam hal orang bersengkutan meninggal, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan ibu bapaknya, anak atau suaminya ( isterinya) yang masi hidup.

2. Jangka Waktu Mengajukan dan Mencabut Delik Aduan : a. Pasal 74 ayat (1) KUHP

Dari pasal ini dapat diketahui bahwa jangka waktu mengajukan pengaduan itu adalah :

- Pengaduan dimulai pada saat orang yang berhak mengadu itu mendengar/mengetahui peristiwa yang dilakukan.

- Jangka waktunya adalah 6 bulan bagi mereka yang tinggal di Indonesia dan 9 bulan bagi mereka yang tinggal di luar Indonesia.

- Jika pengaduan itu dengan lisan, maka waktunya adalah pada saat pemberitahuan dengan lisan itu diajukan.

- Jika pengaduan itu tertulis, maka waktunya adalah pada saat tanggal pengiriman surat pengaduan itu.

- Khusus untuk Pasal 293 ayat (3) KUHP, jangka waktu pengaduan adalah 9 bulan bagi mereka yang tinggal di Indonesia dan 12 bulan bagi mereka yang tinggal diluar indonesia, hal ini berhubungan dengan jangka waktu mengandung (hamil) bagi seorang perempuan.

b. Pasal 75 KUHP

Jika dilihat dari bunyi Pasal 75 KUHP dapat diketahui bahwa orang yang mengajukan pengaduan, dalam tempo 3 bulan terhitung mulai dari pemasukan pengaduan itu, dapat mencabut kembali

(24)

pengaduannya. Pengaduan yang telah dicabut tidak dapat diajukan lagi.

3. Beberapa Jenis Perkosaan

Jika dilihat dari segi bentuk dan jenis perkosaan yang terjadi di indonesia, maka perkosaan dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis perkosaan, yaitu :23

a. Sadistic Rape/ perkosaan sadis

Pada saat sebelum atau sesudah perkosaan terjadi, maka pelaku melakukan perbuatan sadis terhadap korbannya. Dalam hal ini pelaku perkosaan menggunakan kekuatan fisik untuk menyakiti korban, seperti memukul, menyiksa dan sebagainya.

b. Anger Rape

Hubungan seksual yang dilakukan bukanlah untuk memenuhi kebutuhan biologis dari pelaku, tetapi untuk melampiaskan rasa kekecewaan, marah dan prustasi yang dialami oleh pelaku.

c. Domination Rape

Dimana pelaku melakukan perkosaan dengan menggunakan kekuasaan sebagai lelaki terhadap perempuan dengan tujuan utama penaklukan seksual.

d. Exploitation Rape

Dimana pelaku melakukan perkosaan dengan menggunakan keunggulan dan kekuasaan yang dimilikinya, sehingga ia bisa mengambil keuntungan dari posisi wanita yang bergantung pada pelaku dari segi

23

(25)

ekonomis dan sosial. Posisi ketergantungan tersebut dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan persetubuhan dengan korban.

e. Seductive Rape

Dimana pelaku perkosaan adalah orang yang dikenal oleh korban. Persetubuhan terjadi karena adanya situasi merangsang yang diciptakan oleh kedua pihak.

4. Usaha Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan

Perkosaan merupakan salah satu kejahatan yang dapat mencemarkan nama baik sikorban, keluarga serta menimbulkan keresahan ditengah masyarakat. Untuk itu kejahatan haruslah ditanggulangi sedini mungkin dengan berbagai usaha karena tidak seorangpun anggota masyarakat yang menghendaki terjadinya tindak pidana, khususnya tindak pidana pemerkosaan. Dalam tindak pidana perkosaan, penulis menggunakan cara penggulangan seperti penanggulangan yang bersifat preventif,represif dan reformasi.

1. Penanggulangan Preventif

Penanggulangan preventif adalah upaya penanggulangan yang lebih dititikberatkan pada pencegahan kejahatan yang bertujuan agar kejahatan itu tidak sampai terjadi. Kejahatan dapat dikurangi dengan melenyapkan faktor-faktor penyebab kejahatan itu, sebab bagaimanapun kejahatan itu tidak akan pernah habis. Disamping itu usaha pencegahan dapat mempererat kerukunan dan meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesama anggota masyarakat.24

24

Http://isjd.pdii.lipi.co.id./admin/jurnal/131087381_1410_5349.Fdf.,diakses pada tanggal 17 April 2012.

(26)

Kebijaksanaan dan langkah pencegahan kejahatan juga harus dilakukan dengan melihat kondisi-kondisi yang ada didalam masyarakat. Dari hal ini dapat kita ketahui mencegah sebelum terjadi kejahatan harus dilakukan. Oleh karena itu lembaga-lembaga yang ada didalam masyarakat harus melaksanakan fungsinya secara aktif dan kreatif sehingga tidak memberi kesempatan bagi mereka yang berniat jahat untuk melakukan kejahatan termasuk di dalamnya kejahatan perkosaan atau setidaknya dapat memperkecil tingkat kejahatan.

2. Penanggulangan Represif

Penanggulangan Represif adalah penanggulangan setelah terjadinya kejahatan dengan memberikan tekanan terhadap pelaku kejahatan, dengan tujuan agar kejahatan tidak terulang kembali dan penanggulangan ini pada umumnya ditujukan kepada sipelaku kejahatan tersebut, yang dimulai dengan usaha penangkapan, pengusutan di peradilan, dan penghukuman.

Penanggulangan yang bersifat Represif ini adalah berupa tindakan penanggulangan yang dilakukan setelah terjadi kejahatan dengan memberikan sanksi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya/kesalahan yang dilakukan oleh sipelaku atau dengan kata lain para pelaku diminta mempertanggung jawabkan atas perbuatannya.

Oleh sebab itu dalam tindakan penanggulangan kejahatan secara penal ini, peranan polisi, jaksa dan hakim sangatlah penting. Pihak kepolisian perlu mengembangkan sistem responnya yang cepat dan tepat apabila mendapat laporan mengenai tindakan-tindakan kriminal. Setelah itu mengadakan pengusutan dengan kerjasama dari anggota masyarakat sehingga dapat mengajukan ke pengadilan

(27)

untuk mendapatkan pembuktian yang obyektif demi tercapainya keadilan bagi masyarakat. Upaya ini dalam kejahatan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur diharapkan kepada pelaku di hukum lebih berat lagi karena terkadang pelaku dapat juga bebas.

3. Penanggulangan bersifat Reformatif

Penanggulangan kejahatan perkosaan yang bersifat reformatif adalah segala cara pembaharuan atau perbaikan kepada semua orang yang telah melakukan perbuatan jahat yang melanggar Undang-undang. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah residivis atau kejahatan ulangan. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yang semuanya adalah menuju pada kesembuhan, sehingga si pelaku kejahatan dapat menjadi manusia yang baik.

Upaya Reformatif ini dilakukan setelah adanya upaya-upaya lain serta upaya ini bertujuan mengembalikan atau memperbaiki jiwa si penjahat kembali, yang mana untuk kejahatan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur dapat dilakukan dengan metode reformatif dinamik (metode klasik dan metode moralisasi) serta metode profesional service. Melalui metode reformatif dinamik, yakni metode yang memperlihatkan cara bagaimana mengubah penjahat dari kelakuannya yang tidak baik, terdapat metode klasik dengan jalan memberikan hukuman yang berat. Walaupun metode ini tidak berlaku bagi semua kejahatan, mengingat hukuman yang berat semata-mata tidak mengubah tingkah laku penjahat itu sendiri.25

25

Http://isjd.pdii.lipi.co.id./admin/jurnal/131087381_1410_5349.Fdf.,diakses pada tanggal 17 April 2012.

(28)

Metode moralisasi diterapkan dengan jalan memberikan bimbingan dan ceramah dalam penjara sehingga dapat merubah perilaku si pelaku untuk menginsyafi semua perbuatannya yang tidak terpuji dan ia tidak akan mengulangi kembali perbuatan tersebut. Sedangkan metode profesional service, diharapkan Pengadilan dan Penjara mendapat bantuan dari ahli-ahli Profesional yang membantu di dalam penyelidikan sehingga mendapatkan penilaian yang objektif terhadap keadaan si terdakwa.

Referensi

Dokumen terkait

Status gizi balita akan termanifestasi pada tingkat masing-masing individu yang dipengaruhi oleh asupan makanan serta status kesehatan (penyakit), yang keduanya merupakan

Nonyl Phenol memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dengan bertambahnya konsentrasi dari pada surfaktan Alfa Olefin Sulfonat. Pada injeksi batuan sandstone nonyl phenol

Dengan judul objek desain Konservasi Kawasan Area Pelabuhan Sungai Kalimas: Mengintegrasikan Rencana Pemerintah Kota Sesuai Potensi Pemukiman Masyarakat Surabaya,

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukan bahwa jenis dan komposisi nutrisi media tanam jamur tiram putih memberikan pengaruh yang nyata pada persentase

dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan teknik deskripsi induktif yaitu metode-metodenya diawali dengan menjelaskan data basil penelitian yaitu data tentang praktek

bagi anggota Polri tersebut ditegaskan dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 yang substansinya, penyidikan terhadap anggota Polri yang melakukan

Establishment of Sustainable Investment Consultancy and Entrepreneurship Development Center for Entrepreneurs oriented towards solving the problems of pre-establishment