• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diversifikasi Pangan Pokok Selain Beras

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diversifikasi Pangan Pokok Selain Beras"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

11

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diversifikasi Pangan Pokok Selain Beras

Penelitian mengenai bahan pangan pokok selain beras sudah banyak dilakukan oleh peneliti untuk mensukseskan program diversifikasi pangan pokok di Indonesia. Pengembangan pangan pokok non beras yang dikembangkan antara lain dalam bentuk mi, roti, atau nasi berbahan dasar sumber karbohidrat lokal seperti nasi jagung dan nasi tiwul.

Sugiyono et al (2008), Wonojatun (2010), dan Gilang (2008) melakukan penelitian mengenai pengembangan pangan pokok dalam bentuk mi dengan menggunakan bahan baku non terigu. Selama ini, mi yang sudah dikenal masyarakat umumnya berbahan dasar terigu. Namun, bahan baku terigu ini menggunakan gandum yang hampir seluruh pasokannya berasal dari impor. Dengan demikian, perlu dicari alternatif bahan baku lain terutama bahan baku lokal untuk membuat mi.

Penelitian yang dilakukan oleh Sugiyono et al (2008) mengembangkan pangan pokok non beras berbahan dasar sagu. Penelitian ini didasarkan pada pemikiran bahwa diversifikasi pangan pokok diharapkan dapat menyediakan berbagai alternatif pilihan produk pangan, sehingga ketergantungan terhadap beras yang sampai saat ini masih menjadi pangan pokok kebanyakan penduduk Indonesia dapat dikurangi.

Di Indonesia, tanaman sagu tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, dan Pulau Mentawai. Tanaman sagu ini kemudian diolah menjadi pati sagu yang sangat berpotensi untuk dijadikan bahan baku produk pangan pokok sumber karbohidrat. Sampai saat ini, masyarakat Papua masih menggunakan sagu sebagai bahan pangan pokok dan mengolahnya menjadi berbagai pangan tradisional seperti sagu lempeng, bagea, sinoli, kue kering dan sebagainya. Namun demikian, konsumsi sagu sebagai makanan pokok terus mengalami penurunan karena mulai tergeser oleh beras. Untuk dapat meningkatkan kembali konsumsi sagu terutama di wilayah timur Indonesia, diperlukan pengmbangan produk yang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

(2)

12 Sagu dapat digunakan untuk bahan baku produk mi yang merupakan produk yang digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pengembangan produk mi dari sagu diharapkan dapat meningkatkan popularitas sagu yang selama ini dianggap sebagai pangan inferior. Pati sagu termodifikasi digunakan untuk membuat mi melalui sebuah studi formulasi dan perbaikan proses produksi. Formula yang digunakan adalah adanya penambahan STPP (Sodium tripolifosfat dan guargum).

Aplikasi pati termodifikasi ikatan silang pada formula tersebut dapat menghasilkan mi dengan berat rehidrasi, cooking loss, dan kelengketan yang lebih baik. Aplikasi pati termodifikasi HMT (Heat Moisture Treatment) pada produk mi menghasilkan adonan dengan kualitas yang lebih baik antara lain menurunkan kelengketan dan memudahkan proses ekstruksi. Selain itu, mi yang dihasilkan juga memiliki waktu rehidrasi yang lebih singkat dibandingkan dengan mi dari pati alaminya, yaitu hanya mencapai dua menit.

Wonojatun (2010) melakukan penelitian mengenai pembuatan mi berbahan dasar tepung sorgum. Sorgum bicolor (L.) Moench merupakan tanaman serealia yang tergolong dalam famili yang sama dengan padi, jagung, tebu, gandum, dan barley, yaitu famili Graminae. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan produk mi berbahan dasar sorgum dengan menggunakan bantuan ekstruder pasta. Sasaran dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi produk pasta berbasis 100 persen sorgum yang disukai konsumen, sehingga dapat dijadikan model untuk pengembangan produk pangan non beras atau non gandum di Indonesia. Bentuk produk mi yang akan dikembangkan adalah snack sorgum siap santap.

Mi sorgum non sosoh juga memiliki total serat pangan yang lebih besar, yaitu 16,61 persen, angka ini memenuhi 33 persen pemenuhan AKG serat pangan. Sementara itu, total serat pangan dalam mi sorgum sosoh sebesar 14,03 persen memenuhi 28 persen AKG serat pangan, sehingga kedua produk mi sorgum ini dapat diklaim sebagai pangan tinggi serat. Secara keseluruhan mi sorgum non sosoh memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan mi sorgum sosoh, yaitu pada sisi total serat pangan, aktivitas antioksidan dan kandungan mineral Ca.

(3)

13 Gilang (2008) meneliti mi dengan bahan baku tepung jagung. Penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi pembuatan mi jagung dalam skala besar akan membutuhkan peningkatan skala formulasi yang terbaik secara bertahap, identifikasi terhadap beberapa aliran dan kondisi proses pembuatan mi jagung, analisis dan spesifikasi alat-alat yang dapat digunakan dalam produksi skala besar. Berdasarkan kegiatan-kegiatan tersebut, terdapat beberapa hasil yang dapat digunakan sebagai tahapan produksi skala besar. Dalam proses pembuatan mi jagung, pencampuran bahan sebaiknya digunakan varimixer yang menggunakan tipe pengaduk bertipe jari-jari karena akan menghasilkan adonan yang cukup homogen dan merata. Pembuatan adonan yang dilakukan pada skala yang lebih besar akan mengalami kesulitan apabila dilakukan terhadap jumlah adonan mi yang lebih dari satu kilogram. Hal ini dikarenakan proses pencetakan lembaran dan pencetakan mi jagung harus kontinyu dan berkesinambungan. Apabila dipaksa dilakukan akan terdapat sebagian lembaran adonan harus menunggu untuk dilakukan proses selanjutnya. Akibat dari banyaknya jumlah adonan mi akan menghasilkan lembaran adonan yang kurang baik, patah-patah dan banyak adonan yang terbuang karena tidak tertekan dan tercetak dengan baik. Untuk pengukusan dalam penggandaan skala, tidak dapat digunakan alat pengukus dapur yang biasa dipakai, tetapi harus menggunakan alat steaming yang berkapasitas besar yang memiliki pengontrolan proses. Hal ini disebabkan pengukusan yang baik merupakan salah satu parameter proses penting atau titik kritis dalam pembuatan mi jagung. Pengukusan pertama dan kedua yang cukup memberikan hasil yang baik yaitu berturut-turut selama 15 menit dan 10 menit.

Proses pembuatan mi basah dari tepung jagung terdiri atas pencampuran bahan-bahan, pengukusan, pengulian, pencetakan (pressing, slitting, dan cutting) dan perebusan. Proses pencampuran merupakan tahapan untuk menghomogenkan bahan-bahan dalam pembuatan mi. Selain itu, proses pencampuran bertujuan untuk meratakan distribusi air ke dalam tepung sehingga adonan tidak membentuk gumpalan. Keseragaman distribusi partikel mempengaruhi waktu penetrasi air ke dalam granula pati. Proses pengukusan bertujuan untuk membentuk pati tergelatinisasi yang akan berperan sebagai zat pengikat dalam proses pembentukan lembaran mi. sedangkan proses pembuatan mi jagung kering terdiri

(4)

14 dari pencampuran, pengukusan pertama, pengulian, pencetakan, pengukusan kedua, dan pengeringan.

Selain pengembangan produk pangan pokok non beras dalam bentuk mi, penelitian lain yang dilakukan Husnah (2010) dan Lisnan (2008) juga turut mendukung program diversifikasi pangan non beras di Indonesia. Husnah (2010) melakukan penelitian mengenai pembuatan roti tawar berbahan dasar ubi jalar ungu. Pemanfaatan ubi jalar ungu dalam pengolahan pangan masih terbatas, sehingga tujuan penelitian ini adalah mempelajari teknik pembuatan tepung ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki, mengaplikasikannya ke dalam formulasi roti tawar, mengetahui tingkat substitusi tepung ubi jalar ungu ke dalam formulasi roti tawar yang dapat diterima dan mengetahui karakteristik fisikokimia roti tawar ubi jalar ungu.

Pembuatan tepung ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki dapat dilakukan dengan memodifikasi proses agar diperoleh penampakan warna ungu yang optimal. Proses pengukusan potongan ubi jalar ungu setebal satu sentimeter selama tujuh menit sebelum proses penyawutan merupakan salah satu alternatif untuk memperbaiki penampakan warna ungu yang memudar pada tepung ubi jalar ungu di pasaran. Teknologi ini lebih tepat jika diterapkan pada industri rumah tangga atau kecil yang banyak melibatkan tenaga kerja.

Tepung ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki dapat diaplikasikan dalam pembuatan roti tawar. Penggunaannya dalam formulasi roti tawar mampu diterima oleh panelis hingga substitusi 40 persen dengan nilai tingkat kesukaan agak disukai hingga disukai secara keseluruhan. Bentuk yang sesuai untuk diterapkan dalam pembuatan roti tawar ubi jalar ungu adalah bentuk loaf utuh.

Penelitian Lisnan (2008) membahas pembuatan beras artificial berbahan dasar kombinasi dari ubi kayu dan ubi jalar. Banyaknya sumber daya pangan lain selain beras yang berpotensi namun kurang dimanfaatkan sebagai makanan pokok memungkinkan diversifikasi pangan dapat diwujudkan. Komoditi-komoditi pertanian yang masih dapat dikembangkan dan dimanfaatkan lebih luas antara lain serealia (jagung, sorgum), umbi-umbian (ubi jalar, ubi kayu, kentang, talas, garut), serta tanaman pohon (sagu, pisang).

(5)

15 Penelitian ini bertujuan mengembangkan produk pangan baru berbasis ubi kayu dan ubi jalar yaitu beras artificial sebagai alternatif pangan pendamping nasi dan menentukan formula yang tepat dalam pembuatan beras artificial serta menganalisis sifat fisik, kimia dan sensorinya.

Proses pembuatan beras artificial meliputi pencampuran tepung, pati, dan air, dilanjutkan dengan proses penghabluran menggunakan ayakan 8 mesh, proses pembutiran dengan mesin pembutir, penyangraian selama 5-7 menit pada suhu 45-500C, dan pengeringan menggunakan oven pada suhu 600C selama 72 jam. Hasil rendemen pembuatan beras artificial ubi kayu dan ubi jalar menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah pati dalam rasio formula maka rendemen semakin meningkat.

Pemilihan formula terbaik dilakukan berdasarkan hasil analisis sensori, jumlah tepung yang digunakan dalam rasio formula, dan hasil rendemen. Formula terpilih untuk beras artificial ubi kayu adalah 70:30, sedangkan untuk beras artificial ubi jalar adalah 80:20 untuk perbandingan tepung:pati. Hasil analisis kimia beras artificial ubi kayu formula 70:30 meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, serat larut, serat tidak larut, kadar amilosa, dan daya cerna pati in vitro berturut-turut 6,0 persen, 0,7 persen (bk), 0,7 persen (bk), 1,9 persen (bk), 96,7 persen (bk), 6,0 persen, 7,1 persen, 29,6 persen, 62,4 persen. Sedangkan analisis kimia beras artificial ubi jalar formula 80:20 meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, serat larut, serat tidak larut, kadar amilosa, dan daya cerna pati in vitro berturut-turut adalah 6,3 persen, 1,0 persen (bk), 0,8 persen (bk), 2,3 persen (bk), 95,9 persen (bk), 4,8 persen, 7,1 persen, 31,7 persen, 54,8 persen.

2.2. Teknologi Pembuatan Mi 2.2.1. Pembuatan Mi secara Umum

Kusnandar (2008) menyatakan bahwa mi merupakan salah satu jenis produk pasta yang sudah dikenal masyarakat. Produk mi dapat dikelompokkan menjadi mi mentah, mi matang, mi kering, dan mi instan yang umumnya diproses dari tepung terigu. Mi mentah adalah mi dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35 persen. Mi matang adalah mi mentah yang sebelum

(6)

16 dipasarkan mengalami pengukusan lebih dahulu sehingga mengandung kadar air 52 persen. Mi kering adalah mi mentah yang mengalami pengukusan dan pengeringan (memiliki kadar air sekitar 10 persen), sedangkan mi instan adalah mi mentah yang telah mengalami pengukusan dan penggorengan.

Perbedaan teknologi proses produksi antara mi mentah, mi kering dan mi instan dan bihun/soun dapat dilihat pada Gambar 1. Proses produksi mi kering mencakup tahapan proses formulasi bahan (terigu, garam, air), pembentukan lembaran adonan (sheeting), pembentukan untaian mi, pengukusan, pemotongan, dan pengeringan. Untuk produksi mi instan, proses pengeringan diganti dengan proses penggorengan, sedangkan untuk mi mentah tidak dilakukan proses pengeringan setelah pembentukan untaian mi, tetapi diberi pupur tepung tapioka. Mi matang adalah mi mentah yang direbus dan dipupuri dengan minyak. Bihun dan soun umumnya diproses dari tepung beras atau pati kacang hijau dengan menggunakan teknologi ekstruksi. Proses pengukusan dilakukan untuk menggelatinisasi pati agar dapat membentuk untaian bihun/soun pada saat diekstruksi (Kusnandar 2008).

(7)

17 Gambar 1. Proses umum dalam produksi mi dan bihun/soun

Sumber: Kusnandar (2008)

Teknologi produksi mi pada umumnya menggunakan teknologi sheeting. Secara umum, pembuatan mi dengan teknologi sheeting meliputi tahapan proses pencampuran, pengistirahatan, pembentukan lembaran (sheeting) dan

Tepung, garam, air

Formulasi

Pencampuran

Pengistirahatan

campuran bahan Pengukusan

Pembentukan lembaran (sheeting) Ekstruksi Pembentukan untaian mi (slitting) Pengukusan (steaming) Pengukusan (steaming) Pemupuran (dusting) Pemupuran dengan minyak Pengeringan Penggorengan Pengeringan Bihun/soun Mi instan Mi kering Mi matang Mi mentah

(8)

18 pembentukan untaian mi (slitting), pengukusan (steaming), pemotongan untaian mi, dan pengeringan (khusus untuk mi kering). Untuk memperoleh produk yang awet dan mudah dihidangkan, maka setelah pengukusan dilakukan penggorengan sehingga jadilah mi instan.

Bahan-bahan yang digunakan (tepung, garam alkali, dan air) dicampurkan hingga homogen. Pencampuran dilakukan dengan mengguanakn dough mixer. Sebelum pembentukan lembaran, adonan biasanya diistirahatkan untuk memberi kesempatan penyebaran air dan pembentukan gluten. Pembentukan lembaran dengan roll press menyebabkan pembentukan serat-serat gluten yang halus dan ekstensibel.

Untuk mendapatkan adonan yang baik, faktor-faktor yang mempengaruhi adalah jumlah air yang ditambahkan, waktu dan suhu pengadukan. Garam diperlukan dalam jumlah sedikit karena adonan setelah bercampur air garam akan memiliki sifat fungsional yang penting, yaitu sebagai pengokoh, tekstur dan penguat flavor. Protein gandum akan larut sebagian dalam air dan membentuk massa protein yang lengket.

Jenis protein yang membentuk massa lengket dengan larutan garam yang sangat encer disebut gliadin. Sebagian protein lain yang tidak larut, yaitu gluteninakan melemas dan membentuk struktur serat yang kokoh dengan protein yang larut tersebut, sehingga mampu membentuk adonan yang sangat fleksibel dan tahan banting.

Air akan menyebabkan serat-serat gluten mengembang karena gluten menyerap air. Dengan peremasan, serat-serat gluten ditarik, disusun berselang dan terbungkus dalam pati. Dengan demikian, terbentuklah adonan yang lunak, halus serta elastis.

Jumlah air yang ditambahkan berkisar antara 28-38 persen, tergantung jenis terigunya. Lebih dari 38 persen akan menyebabkan adonan menjadi terlalu lembek. Sebaliknya jika terlalu sedikit, air adonan akan rapuh. Waktu pengadukan berkisar antara 2-10 menit, dengan suhu adonan yang baik berkisar antara 25-450 C. Jika suhu lebih rendah dari 250 C, adonan menjadi keras, rapuh dan kasar. Sedangkan jika lebih tinggi dari 450 C, kegiatan enzim akan meningkat dan akan

(9)

19 merangsang perombakan gluten dengan akibat menurunnya densitas mi, sebaliknya akan meningkatkan kelengketan.

Sebelum adonan dibentuk menjadi lembaran, diperlukan waktu untuk memberi kesempatan adonan untuk beristirahat sejenak. Tujuannya adalah untuk menyeragamkan penyebaran air dan mengembangkan gluten (terutama bila pH-nya kurang dari 7,0). Pengistirahatan adonan mi yang lama dari gandum keras akan menurunkan kekerasan mi setelah direbus.

Dalam proses pembentukan lembaran, adonan dimasukkan ke dalam roll press dengan tujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten. Dalam roll press, serat-serat gluten yang tidak beraturan segera ditarik memanjang dan searah oleh tekanan antara dua roller. Tekanan roller diatur sedemikian rupa sehingga mula-mula ringan (clearance 4,0 mm), sampai kuat (clerance 1,6 mm) dengan reduksi clearance rata-rata sebesar 15 persen.

Pada saat adonan mencapai roller terakhir, adonan yang pada awalnya memiliki ketebalan 1,0 cm dari roll pertama, direntangkan sampai mencapai lembaran adonan yang tipis yang siap untuk mengalami proses pengirisan memanjang (slitting), dengan ketebalan 1,0-1,5 mm yang kemudian diikuti dengan proses pemotongan dengan panjang mi sekitar 50 cm. Pada saat dipotong menjadi untaian mi, mi dapat dibentuk menjadi kriting dan rapat dengan mengatur kecepatan putar roller dan konveyor. Setelah dikukus, mi akan nampak kuning pucat dan bersifat setengah matang. Mi kemudian dipotong-potong menjadi bentuk segi empat dan dikeringkan hingga kadar air sekitar 10 persen.

Parameter mutu mi dapat dilihat dari mutu fisik, kimia dan organoleptik. Mi kering yang bermutu baik (sebelum dimasak) memiliki tekstur yang kuat (tidak rapuh/mudah patah), permukaan yang halus dan warna kuning yang seragam. Apabila dimasak (direbus dalam air), mi cepat mengalami rehidrasi (untuk mi instan kurang dari tiga menit), tidak hancur/larut dalam air rebusan (cooking loss rendah, yaitu kurang dari dua persen), tidak lengket, cukup elastis, dan tidak terlalu mengembang. Mi terigu instan mengandung kadar air sekitar 7 persen, protein 10 persen, lemak 21 persen, dan karbohidrat 62 persen.

(10)

20 2.2.2. Teknologi Mi Jagung

Jagung yang digunakan dalam pembuatan mi jagung adalah jenis jagung yang berwarna kuning. Setelah melewati proses pengeringan dan pemipilan, biji jagung kering diolah menjadi tepung jagung dengan ukuran 100 mesh. Tepung jagung inilah yang kemudian akan diolah menjadi mi jagung, baik sebagai mi jagung subtisusi maupun mi jagung 100 persen.

Hasil penelitian Kusnandar (2008) menyatakan komposisi kimia tepung jagung yang dihasilkan dari penggilingan kering yang dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan utama dalam tepung jagung adalah karbohidrat sebesar 90,46 persen. Selain itu, tepung jagung juga mengandung protein yang cukup tinggi yaitu sebesar 7,24 persen.

Tabel 7. Komposisi Kimia Tepung Jagung Varietas Pioneer-21

No. Komponen Jumlah (%)

1 Kadar air 7.49 2 Protein 7.24 3 Lemak 1.77 4 Abu 0.53 5 Karbohidrat 90.46 Sumber: Kusnandar (2008)

Putra (2008) dalam Kusnandar (2008) menyatakan bahwa tepung jagung adalah tepung yang diproduksi dari jagung pipil kering dengan cara menggiling halus bagian endosperma jagung yang mengandung sekitar 86 – 89 persen pati. Penepungan jagung mencakup tahap proses penggilingan kasar (penyosohan) dari jagung pipil untuk menghasilkan grits, perendaman untuk memisahkan bagian endosperma (grits) dari kulit dan lembaga, pengeringan dan penggilingan halus untuk menghasilkan tepung jagung, dan pengayakan untuk menghasilkan tepung jagung dengan ukuran 100 mesh.

Tepung jagung dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menggantikan sebagian atau semua tepung terigu dalam produksi mi. Penggunaan tepung jagung dalam mi memiliki keunggulan, yaitu: (a) dapat mengurangi biaya bahan baku dan produksi; (b) mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku terigu; (c) memberikan keunggulan terhadap mi, yaitu tanpa penggunaan pewarna makanan

(11)

21 sintetis dan adanya kandungan beta karoten. Mi jagung yang dihasilkan dari 100 persen tepung jagung berwarna lebih kuning dibandingkan mi terigu atau mi substitusi, karena kandungan beta karoten dalam mi jagung lebih banyak (Kusnandar 2008).

Penggunaan tepung jagung dalam mi akan dibatasi oleh karakteristik fungsional tepung jagung, terutama disebabkan oleh kandungan protein gluten yang rendah dan karakteristik protein gluten jagung yang juga berbeda dengan yang ada dalam tepung terigu. Hal ini menyebabkan tepung jagung tidak mampu membentuk lembaran adonan yang elastik dan kompak sebagaimana tepung terigu. Pembentukan lembaran adonan tepung jagung dapat terbentuk apabila dilakukan proses pemanasan (pengukusan) terlebih dahulu untuk menggelatinisasi sebagian pati yang akan berfungsi sebagai binding agent dalam pembentukan lembaran adonan. Sebagai konsekuensinya, teknologi proses mi yang sudah ada di industri mi tidak bisa langsung diadopsi untuk memproduksi 100 persen mi jagung, karena harus menambah satu tahap proses pengukusan di antara tahap pencampuran bahan dan proses sheeting. Alternatif lain dari proses produksi mi jagung adalah dengan teknologi ekstruksi. Teknologi ekstruksi biasanya digunakan untuk memproduksi bihun atau soun.

Mi jagung dapat diproses dengan memodifikasi teknologi sheeting yang sudah ada, yaitu dengan melakukan proses pengukusan sebagian tepung jagung sebelum dilakukan proses pembentukan lembaran adonan. Pengukusan ini diperlukan untuk mengatasi kesulitan pembentukan lembaran adonan, yaitu dengan mengandalkan pati jagung tergelatinisasi sebagai perekat (binding agent) selama proses sheeting. Secara umum, proses produksi mi jagung dengan teknologi sheeting mencakup tahapan formulasi bahan, pengukusan untuk menggelatinisasi sebagian tepung jagung (10 persen dari total tepung), pencampuran antara formulasi bahan yang tidak tegelatinisasi dengan tepung gelatinisasi (mixing), pembentukan lembaran adonan dan untaian mi (sheeting dan slitting) sehingga dihasilkan mi mentah. Jika dilanjutkan ke tahap pengukusan dan pengeringan maka akan dihasilkan mi kering (Kusnandar 2008)

Hasil penelitian Juniawati (2003) menyatakan bahwa mi jagung mengandung nilai gizi yang baik, yaitu menyumbangkan 360 kalori/kemasan.

(12)

22 Tingginya nilai energi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan lemak mi jagung juga rendah, karena tidak ada proses penggorengan. Mi jagung tidak menggunakan pewarna sintesis seperti halnya mi terigu instan, karena warna kuning mi jagung berasal dari pigmen beta karoten, lutein, dan xianthin yang secara alami terdapat dalam jagung. Keunggulan-keunggulan tersebut dapat menjadi nilai jual dan promosi mi jagung.

Selanjutnya, Juniawati (2003) dan Budiyah (2005) menjelaskan bahwa proses pembuatan adonan merupakan tahapan yang sangat kritis dalam pembuatan mi jagung, karena kualitas adonan akan sangat mempengaruhi karakteristik mi yang diperoleh. Untuk dapat menghasilkan adonan dan untaian mi yang kuat (tidak mudah patah), maka perlu ada bagian dari pati yang digelatinisasi. Pati tergelatinisasi ini berfungsi sebagai pengikat yang diperlukan pada saat pembentukan lembaran adonan yang kohesif dan cukup elatis untuk dapat dibentuk untaian mi. Hal ini disebabkan tepung jagung tidak mengandung protein gliadin dan glutenin sebagaimana pada tepung gandum yang bertindak sebagai pengikat (binding agent) untuk membentuk tekstur adonan yang elastic-cohesive bila ditambah air dan diuleni.

Pengukusan adonan dengan menggunakan mesin steam blancher dilakukan pada suhu 900C selama 15 menit. Pengurangan waktu pengukusan menyebabkan lembaran yang dihasilkan rapuh dan mudah sobek. Proses pregelatinisasi yang tepat akan menghasilkan gelatinisasi yang cukup dengan pati tergelatinisasi menjadi zat pengikat antar granula pati di dalam adonan (Sigit 2008).

2.3. Analisis Kelayakan Usaha Produk Pangan Olahan

Penelitian mengenai analisis kelayakan usaha produk pangan olahan telah dilakukan oleh peneliti terdahulu namun dengan jenis produk yang berbeda-beda. Manijo (2005), Purnamawati (2007), dan Pramuji (2007) membahas mengenai kelayakan pembuatan tepung bahan pangan sumber karbohidrat dari sumber daya lokal. Usaha pembuatan tepung bahan pangan sumber karbohidrat ini akan

(13)

23 menjadi awal munculnya beragam produk makanan jadi yang dapat menjadi substitusi beras.

Manijo (2005) melakukan analisis kelayakan pada proyek Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang yang bekerjasama dengan BPPT. Proyek tersebut yaitu mengembangkan proyek agribisnis unit pengolahan jagung di Kecamatan Sumedang Selatan yang terdiri dari budidaya jagung, pengolahan jagung menjadi pati, dan pemasaran pati jagung beserta produk sampingannya yang berupa dedak. Berdasarkan aspek teknis, daerah Sumedang Selatan layak untuk dijadikan tempat pengembangan proyek unit pengolahan jagung karena hasil analisis tanah, iklim, kondisi topografi dan kondisi tanah di lapangan, jumlah tenaga kerja yang tersedia, serta sarana penunjang dapat disimpulkan bahwa daerah ini memiliki lingkungan yang mendukung untuk pengembangan komoditas jagung. Hasil analisis aspek pasar menyatakan usaha unit pengolahan jagung ini memiliki prospek yang baik yaitu besarnya kebutuhan pati nasional selama ini yang berkisar anatar 1,5 – 2,0 juta ton per tahun. Dilihat dari aspek sosial, sebagian besar masyarakat sekitar proyek (90 persen) mendukung didirikannya unit usaha pengolahan jagung karena diharapkan akan membuka lapangan kerja baru.

Berdasarkan hasil analisis finansial dan ekonomi, diperoleh nilai NPV pada analisis kelayakan finansial yaitu sebesar Rp 1.111.815.320,78 dan Rp 169.206.001,27 untuk kelayakan ekonomi, sehingga proyek ini layak dilakukan karena kedua NPV bernilai positif. Nilai Net B/C proyek ini memiliki nilai sebesar 2,84 untuk finansial dan 1,28 untuk ekonomi, sehingga proyek ini layak untuk dilaksanakan karena kedua nilai Net B/C telah lebih dari 1. Nilai IRR yang diperoleh proyek pengolahan pati jagung yaitu sebesar 60,50 persen untuk finansial dan 34,69 persen untuk ekonomi, dimana kedua nilai IRR ini sudah lebih besar dibandingkan nilai diskono yang digunakan yaitu 17 persen sehingga proyek ini layak untuk dijalankan. Berdasarkan perhitungan, diperoleh nilai PBP yaitu sebesar 5,4 tahun untuk finansial dan 9,3 tahun untuk ekonomi, sehingga proyek ini layak dilaksanakan karena mampu mengembalikan modal sebelum umur ekonomis habis. Dengan demikian, secara keseluruhan usaha produksi pati jagung ini layak untuk dilaksanakan.

(14)

24 Purnamawati (2007) menganalisis kelayakan usaha pembuatan tepung talas Safira pada PT. Bogor Agro Lestari. Perusahaan tersebut melihat adanya peluang untuk memenuhi permintaan Jepang akan tepung talas yang selalu meningkat setiap tahunnya. Menanggapi permintaan tersebut, PT. Bogor Agro Lestari akan mendirikan pabrik yang berlokasi di daerah Subang untuk memproduksi Safira Powder.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis aspek pasar, aspek teknis, aspek bahan baku, aspek manajemen dan aspek kelembagaan petani-proyek. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis aspek finansial dengan menggunakan kriteria investasi yang terdiri atas NPV, IRR, Net B/C, dan PBP. Kemudian dilakukan analisis sensitivitas sebagai lanjutan atas hasil analisis finansial untuk melihat tingkat kepekaan investasi usaha Safira Powder terhadap perubahan pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi manfaat dan biaya.

Hasil analisis aspek pasar menunjukkan usaha Safira Powder ini layak untuk diusahakan. Adanya permintaan dari Jepang dan pasar yang telah tersedia (captive market) merupakan peluang yang baik bagi perusahaan.

Hasil analisis aspek teknis, bahan baku dan kelembagaan petani-proyek menunjukkan usaha Safira Powder ini layak dilakukan. Lokasi pabrik, teknologi yang digunakan dan layout pabrik sesuai untuk usaha ini serta mendukung kelancaran proses produksi dan usaha.penyediaan bahan baku pun telah diatur dengan baik melalui pengaturan mulai dari tingkat petani, penerimaan dan penyimpanan di gudang sampai dengan penggunaan bahan baku untuk diolah lebih lanjut. Selain itu, pola kemitraan yang dibentuk dalam hal pengadaan bahan baku telah diatur dengan baik melalui perjanjian dan menguntungkan bagi kedua belah pihak yang bekerja sama.

Analisis aspek manajemen menunjukkan usaha Safira Powder layak untuk dilakukan. Struktur organisasi yang digunakan adalah struktur organisasi lini dan staf. Tugas dan wewenang masing-masing jabatan telah diatur dengan baik sehingga tidak ada perangkapan jabatan serta tenaga kerja yang dibutuhkan pun telah terinci dengan baik.

(15)

25 Untuk melihat manfaat yang diperoleh dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan pada usaha ini, maka perlu dilakukan analisis kelayakan finansial. Analisis ini dilakukan pada dua pola, yaitu jika perusahaan menggunakan kombinasi modal sendiri dan pinjaman bank, serta jika perusahaan menggunakan modal sendiri. Hasil analisis aspek finansial pada pola yang menggunakan kombinasi modal sendiri dan pinjaman bank menunjukkan usaha Safira Powder menghasilkan NPV sebesar Rp 11.215.687.963, IRR sebesar 65,57 persen, Net B/C sebesar 9,69 dan PBP selama 2 tahun 3,2 bulan. Hasil analisis aspek fianansial pada pola yang menggunakan modal sendiri menunjukkan hasil NPV sebesar Rp 11.577.961.558, IRR sebesar 46,56 persen, Net B/C sebesar 4,14 dan PBP selama 2 tahun 5,9 bulan. Berdasarkan hasil yang diperoleh kedua pola ini menunjukkan usaha Safira Powder layak untuk dilaksanakan karena nilai NPV, IRR, Net B/C, dan PBP memenuhi kriteria kelayakan investasi. Berdasarkan perbandingan hasil kriteria penilaian investasi, penggunaan modal sendiri lebih baik dibandingkan dengan pola kombinasi penggunaan modal sendiri dan pinjaman bank. Hal ini terlihat dari nilai NPV pada pola penggunaan modal sendiri lebih besar dari pada nilai NPV pada penggunaan kombinasi modal sendiri dan pinjaman bank.

Analisis sensitivitas hanya dilakukan pada pola kombinasi penggunaan modal sendiri dan pinjaman bank karena kombinasi penggunaan modal ini yang akan digunakan oleh perusahaan. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas masing-masing perubahan menunjukkan usaha ini tetap layak dilaksanakan. Usaha ini sangat sensitif terhadap kenaikan harga bahan baku sebesar 10 persen, dan kurang sensitif terhadap penurunan jumlah bahan baku sebesar 10 persen.

Pramuji (2007) juga meneliti mengenai kelayakan usaha agroindustri ubi jalar, yaitu pembuatan tepung ubi jalar. Analisis yang dilakukan oleh Pramuji (2007) mencakup analisis aspek non finansial dan aspek finansial. Hasil analisis aspek pasar dan bahan baku menunjukkan bahwa usaha pengolahan tepung ubi jalar ini tidak layak untuk dilaksanakan. Tingginya tingkat harga jual tepung ubi jalar dibandingkan dengan tepung lainnya dan juga tingkat persaingan dalam industri tepung yang cukup besar membuat perusahaan mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya. Berbeda dengan penelitian Purnamawati (2007),

(16)

26 dimana produk tepung talas Safira sudah memiliki permintaan yang terus meningkat dari Jepang. Belum adanya kontinuitas suplai bahan baku ubi jalar membuat proses produksi menjadi terhambat dan ini sangat mengganggu kegiatan operasional unit pengolahan tepung ubi jalar. Hasil analisis manajemen menunjukkan bahwa usaha pengolahan tepung ubi jalar ini layak untuk diusahakan. Struktur pengelola yang telah ada dan pembagian tugas dan wewenang yang telah diatur sedemikian baik membuat proses pengelolaan dan manajemen berjalan dengan lancar.

Analisis finansial dilakukan pada dua pola, yaitu jika perusahaan menggunakan kombinasi modal Pemda Kabupaten Bogor dan pinjaman bank, serta jika perusahaan menggunakan modal dari Pemda Kabupaten Bogor saja. Hasil analisis aspek finansial pada pola yang menggunakan kombinasi modal Pemda Kabupaten Bogor dan pinjaman bank menunjukkan usaha pengolahan tepung ubi jalar menghasilkan NPV sebesar Rp -102.863.103, Net B/C sebesar 0,24 dan PBP selama 25 tahun 1 bulan. Untuk nilai IRR tidak bisa diperoleh karena nilai NPV yang negatif. Hasil analisis aspek finansial yang menggunakan seluruhnya modal dari Pemda Kabupaten Bogor menunjukkan usaha pengolahan tepung ubi jalar menghasilkan NPV sebesar Rp -172.163.103, Net B/C sebesar 0,16 dan PBP selama 36 tahun 6,1 bulan. Untuk nilai IRR tidak dapat diperoleh karena nilai NPV yang negatif. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kedua pola ini menunjukkan bahwa usaha pengolahan tepung ubi jalar tidak layak untuk dilaksanakan karena nilai NPV, IRR, Net B/C, dan PBP tidak memenuhi kriteria kelayakan investasi.

Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa usaha ini sangat sensitif terhadap penurunan harga bahan baku sebesar 10 persen dan 40 persen. Berdasarkan perbandingan hasil analisis sensitivitas, menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi modal dari Pemda Kabupaten Bogor dan pinjaman bank lebih layak daripada penggunaan modal seluruhnya dari Pemda Kabupaten Bogor. Hal ini terlihat dari NPV, IRR, dan Net B/C yang lebih besar dan PBP yang lebih pendek.

Hasil analisis switching value menunjukkan bahwa penurunan harga bahan baku sebesar 5,61 persen dan kenaikan harga jual sebesar 3,08 persen pada

(17)

27 penggunaan modal yang berasal dari Pemda Kabupaten Bogor dan pinjaman bank serta penurunan harga bahan baku sebesar 10,34 persen dan kenaikan harga jual sebesar 5,36 persen pada penggunaan modal yang berasal dari Pemda Kabupaten Bogor masih memenuhi kriteria minimum kelayakan investasi sehingga usaha pengolahan tepung ubi jalar masih dapat dikatakan layak untuk terus diusahakan.

Penelitian Manijo (2005) dan Purnamawati (2007) menunjukkan bahwa usaha produksi tepung bahan pangan yang dibahas layak untuk dilaksanakan, baik secara aspek non finansial maupun finansial. Namun, penelitian Pramuji (2007) menghasilkan kesimpulan bahwa usaha tepung ubi jalar yang diteliti tidak layak diusahakan. Hal ini disebabkan oleh harga jual tepung ubi yang terlalu tinggi dan tidak adanya kontinuitas pasokan bahan baku ubi jalar. Selain itu, analisis finansial pada kedua skenario dari usaha pembuatan tepung ubi jalar ini dinyatakan tidak layak karena hasil perhitungan NPV, IRR, Net B/C dan PBP tidak memenuhi kelayakan kriteria investasi.

Putera (2006) menganalisis kelayakan usaha pada Restoran Mie Kondang yang berencana untuk berkembang menjadi usaha waralaba sehingga diperlukan evaluasi menggunakan analisis kelayakan. Berbeda dengan penelitian Manijo (2005), Purnamawati (2007), dan Pramuji (2007) yang menganalisis kelayakan usaha dari usaha produksi tepung untuk bahan baku pembuatan makanan, penelitian Putera (2006) menganalisis usaha yang ingin mengembangkan usaha makanan jadi yaitu mi ayam.

Hasil analisis kelayakan non finansial seperti aspek teknis, aspek manajemen, aspek hukum, dan aspek pasar menunjukkan bahwa usaha Restoran Mie Kondang layak untuk dilaksanakan. Hal ini ditunjukkan oleh bauran pemasaran yang dilakukan oleh restoran sudah cukup baik, kemudahan teknologi yang digunakan sudah tepat guna dan sesuai dengan kebutuhan, aspek hukum yang mendukung usaha berupa izin usaha dari pemerintah, dan struktur manajerial yang ringkas sehingga memudahkan koordinasi antar bagian organisasi.

Hasil analisis aspek finansial pada tingkat diskonto 11,98 persen diperoleh nilai NPV sebesar Rp 118.810.854,4, Net B/C sebesar 1,427, IRR sebesar 18,50 persen, dan PBP selama 3 tahun 5 bulan 25 hari. Berdasarkan hasil perhitungan

(18)

28 aspek finansial, usaha Restoran Mie Kondang ini layak dilaksanakan karena nilai NPV, IRR, Net B/C, dan PBP sudah memenuhi syarat kelayakan investasi.

Hasil analisis switching value menunjukkan bahwa Restoran Mie Kondang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap perubahan nilai penjualan produk makanan dan terhadap perubahan biaya bahan baku. Penurunan nilai penjualan produk makanan yang melebihi 4,00 persen atau kenaikan biaya bahan baku yang melebihi 5,43 persen akan menyebabkan usaha yang dilakukan oleh Restoran Mie Kondang menjadi tidak layak untuk dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat risiko yang relatif tinggi bagi Restoran Mie Kondang dalam menjalankan usahanya.

Persamaan penelitian dengan penelitian kelayakan usaha terdahulu yaitu adanya kesamaan pada alat analisis yang digunakan. Studi kelayakan usaha yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digambarkan melalui analisis aspek-aspek non finansial, sedangkan analisis kuantitatif digambarkan melalui aspek finansial.

Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang telah ada yaitu bahwa penelitian ini akan menganalisis kelayakan usaha dari komoditas yang berbeda. Penelitian ini akan menganalisis kelayakan usaha dari hasil olahan tepung jagung yang berupa mi mentah, baik mi mentah 30 persen maupun mi mentah jagung 100 persen. Penelitian yang akan dilakukan ini menganalisis kelayakan usaha dari aspek non finansial dan finansial. Selain itu, belum ada penelitian mengenai kelayakan usaha mi mentah yang berasal dari bahan baku tepung jagung.

Gambar

Tabel 7. Komposisi Kimia Tepung Jagung Varietas Pioneer-21

Referensi

Dokumen terkait

sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Pengaruh Penyuluhan Pubertas terhadap P engetahuan di SDN 119 Pucangsawit Surakarta”.. Karya

Pemeriksaan proliferasi fibroblas keloid menggunakan MTT assay diawali dengan menghisap semua medium yang ada pada tiap sumuran. Kemudian medium komplit baru

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Kurikulum 2013 Pada Pendidikan Dasar

Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh dari kandungan hara tanah N rendah, hara P dan K pada sedang (Tabel 5). Namun perlakuan interaksi dari tiga faktor pupuk urea,

Berdasarkan data hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan bah-wa penerapan model pembelajaran PjBL ( Pro- ject-Based Learning ) dapat

untuk saling membantu dalam menyelesaikan suatu permasalahan.Diharapkan dengan penerapan model pembelajaran ini dapat diciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan

Manajemen operasi (manajemen produksi) adalah pengaturan dan pengendalian yang sistematis atas proses pengolahan sumber daya menjadi jasa atau barang jadi yang mendatangkan nilai

Hasil penelitian ini adalah (1) proses pengubahan tingkah laku berfokus pada pola pikir; (2) analisis dan diagnosis berfokus pada pola pikir, kondisi psikologis