• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di tahun 2007 Museum House of Sampoerna (HoS) berinisiatif untuk berkontribusi membantu mengkomunikasikan museum-museum di Indonesia kepada khalayak. Museum HoS yang berada di bawah manajemen PT HM Sampoerna Tbk ini termasuk jenis museum swasta dan khusus dengan tema koleksi sejarah perusahaan. Dijalankan dengan manajemen profesional, Museum HoS cukup berhasil dari segi promosi sehingga setiap bulan mampu mendulang pengunjung sekitar 15.000 orang.

Keberhasilan tersebut mendorong Museum HoS, didukung oleh Sampoerna untuk Indonesia, berinisiatif untuk membantu promosi museum-museum di Indonesia. Maka digagaslah program Wisata Museum dengan tujuan mengembangkan destinasi wisata museum. Sebagai prototipe, program ini menggandeng 6 museum di Jawa yaitu Museum Nasional di DKI Jakarta, Museum Sejarah Jakarta di DKI Jakarta, Museum Mandiri di DKI Jakarta, Museum Geologi di Bandung, Museum Batik Danar Hadi di Surakarta, dan Museum 10 Nopember di Surabaya. Program Wisata Museum diluncurkan pada 21 Februari 2008 di Museum Nasional, Jakarta.

Terdapat beberapa keunikan yang menjadikan Program Wisata Museum menarik untuk diteliti. Pertama, jumlah museum pemerintah di Indonesia jauh lebih banyak daripada museum swasta. Di data Direktorat Permuseuman Depbudpar tahun 2014 tercatat di Indonesia terdapat 269 museum dengan komposisi 176 museum dikelola oleh kementerian/pemda, 7 museum dikelola oleh UPT Kemenbudpar, dan 86 museum dikelola oleh swasta (Rizky, 2014). Maka menjadi menarik ketika inisiatif promosi bersama semacam ini justru datang dari pihak museum swasta. Kedua, inisiatif ini diprakarsai oleh museum berlatar industri rokok, suatu industri yang peka terhadap sinisme dari masyarakat serta menghadapi limitasi promosi dan iklan. Museum HoS berada di bawah manajemen PT HM Sampoerna Tbk. yang terikat dengan regulasi periklanan produk rokok dengan batasan pemirsa 18 tahun ke atas. Sedangkan konsumen museum umumnya terdiri dari berbagai kalangan dan tak lepas dari unsur pendidikan yang terkait dengan anak-anak. Maka menarik untuk mengkaji bagaimana pengaruh latar industri Museum HoS tersebut berdampak pada Wisata Museum. Selain itu semua, di Indonesia jarang terjadi museum-museum bekerjasama berupa joint promotion untuk mengembangkan dirinya sebagai destinasi wisata semacam ini.

(2)

2 Joint promotion merupakan suatu pekerjaan yang relatif kompleks dan memerlukan kerjasama dan kesepakatan dari semua pihak yang terlibat. Sedangkan museum-museum yang terlibat di program Wisata Museum memiliki berbagai latar belakang dan kepentingan yang mempengaruhi kerjasama mereka. Maka penelitian ini mencoba menganalisa secara deskriptif bagaimana pelaksanaan joint promotion program Wisata Museum untuk mengembangkan destinasi wisata museum dalam konteks sosiokultural yang melingkupinya. Jika dikembangkan dan ditingkatkan niscaya program ini akan membantu peningkatan destinasi wisata ke museum dan dalam jangka panjang meningkatkan kinerja museum-museum di Indonesia. Dari penelitian ini diharapkan didapat gambaran dari salah satu bentuk manajemen komunikasi dalam mempromosikan museum sebagai destinasi wisata di Indonesia serta masukan-masukan bagi pengembangan program ini.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah penelitian ini adalah: Bagaimana Museum House of Sampoerna melakukan joint promotion berupa program Wisata Museum untuk mengembangkan destinasi wisata ke museum-museum di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

- Untuk menambah khazanah dalam ilmu promosi organisasi cagar budaya mengenai suatu bentuk promosi museum secara joint promotion.

- Guna mendapatkan masukan-masukan bagi pengembangan program Wisata Museum sehingga lebih optimal membantu destinasi wisata museum-museum di Indonesia.

- Untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan suatu bentuk promosi museum di Indonesia agar dapat diketahui dan menjadi pembelajaran bagi museum-museum lain.

1.4. Manfaat Penelitian

- Bagi House of Sampoerna dan Sampoerna untuk Indonesia: agar bisa mengembangkan program Wisata Museum sehingga makin optimal membantu museum-museum di Indonesia.

- Bagi museum-museum di Indonesia: menjadi contoh manajemen komunikasi dalam bentuk promosi museum. Dalam jangka panjang diharapkan dengan perbaikan upaya promosi, maka museum-museum akan lebih bisa bertahan dan sebagai destinasi wisata dan terpacu untuk memberi pelayanan yang lebih baik.

(3)

3 1.5. Obyek Penelitian

- Dikarenakan ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan Wisata Museum selama ini maka informan yang dianggap bisa memberikan data tersebut adalah para pengurus museum-museum yang terlibat dalam Wisata Museum selama periode 2008-2016.

- Teks saluran komunikasi program Wisata Museum. Sebagai data pendukung, teks perlu dikaji untuk memberi gambaran bagaimana House of Sampoerna berupaya mengemas museum-museum sebagai destinasi wisata dan sejauh mana saluran yang dipilih (brosur dan situs web) memenuhi persyaratan sebagai media komunikasi destinasi wisata.

1.6. Literature Review

Penelitian serupa yaitu tentang kampanye destinasi wisata museum pernah dilakukan oleh Sarah Karinda dari Fisipol UGM pada tahun 2013. Judul penelitiannya adalah “Revitalisasi Museum Melalui Kampanye Gerakan Nasional Cinta Museum” dengan sub judul “Studi kasus tentang strategi komunikasi pemasaran sosial direktorat pelestarian cagar budaya dan permuseuman kementerian pendidikan dan kebudayaan melalui kampanye gerakan nasional cinta museum”.

Mirip dengan penelitian ini, kampanye yang diteliti oleh Karinda juga bertujuan meningkatkan destinasi wisata. Perbedaannya, kampanye ini digelar oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, khalayak sasaran adalah pelajar, dan bukan lagi prototipe seperti Wisata Museum melainkan melibatkan museum-museum pemerintah se-Indonesia. Landasan teori yang digunakan adalah strategi kampanye pemasaran sosial. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus cross sectional. Teknik penyajian hasil penelitian cenderung deskriptif, semacam dokumentasi atas berbagai upaya dan medium komunikasi yang digunakan oleh Gerakan Nasional Cinta Museum. Penelitian Karinda tidak berupaya melakukan kajian dari segi teks medium-medium tersebut. Sedangkan penelitian ini menggunakan metode studi kasus instrumental, teknik penyajian cenderung eksplanatif, dan melakukan kajian atas teks medium komunikasi program Wisata Museum.

Penelitian lain yang ditemukan mengenai peningkatan destinasi wisata museum-museum dilakukan oleh Kahfi Alfarisi Firdaus dari Universitas Gunadarma pada tahun 2013 berjudul “Aplikasi Informasi Museum di Indonesia pada Ponsel Berbasis Android”. Penelitian ini bersifat aplikatif guna menghasilkan aplikasi komputer bagi destinasi wisata museum se-Indonesia.

Penelitian ini dan kedua penelitian tersebut diharapkan akan saling melengkapi. Kajian program Wisata Museum yang dikelola swasta bisa memberikan masukan-masukan

(4)

4 untuk meneruskan Gerakan Nasional Cinta Museum yang dikelola oleh pemerintah, dan bahkan memberi inspirasi pada pemerintah untuk membuat program-program peningkatan destinasi wisata ke museum di Indonesia. Sedangkan penelitian aplikasi android informasi museum di Indonesia bisa menjadi masukan bagi program Wisata Museum yang kini telah merambah daring berupa situs web.

1.7. Kerangka Pemikiran

1.7.1. Promosi Destinasi Wisata Museum

Museum dapat diklasifikasikan sebagai cagar budaya dari segi koleksi dan lokasi (jika menempati bangunan bersejarah) dan dari segi organisasi termasuk tipe organisasi nirlaba. Oleh karenanya promosi museum dapat mengadopsi teknik-teknik promosi cagar budaya yang termasuk dalam lingkup ilmu pemasaran organisasi nirlaba.

Definisi pemasaran organisasi nirlaba di penelitian ini disarikan dari definisi oleh Andreasen dan Kotler dan Misiura yaitu suatu fungsi manajemen di organisasi nirlaba yang mengidentifikasi, mengantisipasi, mempengaruhi perilaku dan kemudian memuaskan permintaan konsumen, untuk menghasilkan keuntungan finansial dan atau non-finansial seperti peningkatan minat masyarakat, menarik perhatian penyandang dana, konservasi, atau preservasi koleksi.

Promosi merupakan salah satu bagian dari bauran pemasaran. Promosi museum dapat mengadaptasi teknik-teknik promosi cagar budaya. Promosi itu sendiri dapat didefinisikan sebagai koordinasi kegiatan-kegiatan komunikasi pemasar yang menginformasikan, mengkomunikasikan dan merayu calon konsumen untuk membeli (mengkonsumsi) atau menerima suatu gagasan (Belch & Belch, 2003). Maka dapat dikatakan bahwa promosi cenderung merujuk pada komunikasi satu arah, yaitu dari pemasar kepada calon konsumen (khalayak sasaran). Dalam lingkup nirlaba, Andreasen dan Kotler (2008) lebih senang merujuk promosi sebagai “komunikasi”. Namun untuk penelitian ini akan tetap menggunakan istilah “promosi” agar tidak rancu dengan istilah “komunikasi” yang telah identik dengan ilmu “komunikasi” dan memiliki artian yang lebih luas.

Promosi dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan beragam kanal komunikasi yang dikenal dengan istilah bauran promosi. Awalnya bauran promosi terdiri atas empat elemen yaitu periklanan, promosi penjualan, publikasi/hubungan masyarakat, dan penjualan langsung. Seiring perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, elemen bauran promosi bertambah dengan pemasaran via media interaktif/internet serta pemasaran langsung (Belch & Belch, 2003).

(5)

5 Idealnya, untuk membangun suatu promosi yang efektif sebaiknya melalui langkah-langkah sebagai berikut, yaitu (1) menyusun tujuan komunikasi, (2) menyusun alternatif-alternatif pesan, (3) mengatasi masalah perhatian (khalayak sasaran) yang cenderung pemilih, (4) mengatasi masalah distorsi persepsi, (5) memilih saluran atau media penyampaian pesan, dan (6) mengevaluasi dan memilih pesan (Andreasen dan Kotler, 2008). Sedangkan Shimp (2007) memberikan kriteria promosi yang ideal yaitu “(1) ditujukan kepada khalayak sasaran yang spesifik, (2) diposisikan dengan jelas, (3) dibuat untuk mencapai tujuan tertentu, dan (4) dirancang sedemikian rupa agar bisa mencapai tujuan walaupun terbatasi oleh anggaran tertentu”.

Program Wisata Museum bertujuan mempromosikan museum-museum sebagai destinasi wisata. Pengertian promosi dalam lingkup penelitian ini adalah promosi yang termasuk dalam pemasaran cagar budaya. Bentuk pemasaran ini khas, berbeda dengan pemasaran komersial yang umum diterapkan. Pemasaran cagar budaya cenderung tak bermotif laba melainkan keuntungan-keuntungan dalam bentuk lain misalnya upaya regenerasi suatu lokalitas, upaya konservasi suatu situs, upaya mempertahankan keberadaan situs, dsb (Misiura, 2006). Terlepas dari kekhasan tersebut, langkah-langkah perencanaan hingga pelaksanaan serta kriteria ideal promosi untuk cagar budaya relatif sama dengan promosi komersial.

Pemasaran cagar budaya termasuk dalam ranah pemasaran organisasi nirlaba. Walaupun nirlaba, pakar pemasaran Andreasen dan Kotler (2008) menyarankan agar pemasaran dilandasi dengan cara berpikir yang berpusat kepada khalayak sasaran (target-audience mindset). Dolnicar dan Lazarevski (2009) menyebutnya dengan customer-centered mindset, yang berlawanan dengan organisation-centered mindset. Sekalipun kondisi di organisasi nirlaba berbeda dengan komersial karena produk (atau jasa) tersedia dahulu dan tidak bisa diubah disesuaikan dengan keperluan pasar seperti produk komersial. Dengan customer-centered mindset, segala bentuk aktifitas pemasaran termasuk promosi seharusnya diawali dengan meriset apa yang diperlukan, diinginkan, dan dipersepsikan oleh khalayak sasaran. Dengan kata lain, pemasaran organisasi nirlaba sebaiknya berfokus pada khalayak yang dituju. Ini diperkuat oleh pendapat Abratt, et al. dalam Semuel (2007) “Pengetahuan tentang perilaku konsumen merupakan kunci dalam merencanakan suatu strategi promosi yang baik. Konsumen merupakan aset perusahaan yang paling berharga, sehingga diperlukan usaha untuk menciptakan sekaligus menjaga ekuitas tersebut.”. Sedangkan pemasaran yang organisation-centered mindset cenderung merasa percaya diri bahwa produk atau jasanya

(6)

6 dibutuhkan oleh khalayak sasaran tanpa mencoba meneliti untuk mengklarifikasi perasaan tersebut.

Salah satu bentuk pemasaran yang cocok bagi museum adalah heritage tourism, yaitu memposisikan dan memasarkan museum sebagai destinasi wisata (Misiura, 2006). Heritage tourism dapat memanfaatkan berbagai kanal komunikasi, misalnya internet, hubungan masyarakat, periklanan, dsb. Program Wisata Museum dapat dikategorikan sebagai heritage tourism yang dilakukan secara bersama-sama (joint promotion) dengan memanfaatkan beberapa media promosi.

1.7.2. Media Promosi Museum

Program Wisata Museum dapat pula dikategorikan termasuk dalam ranah services marketing (pemasaran jasa) karena tidak menawarkan suatu barang. Ranah ini muncul karena Andreasen dan Kotler(2008) kurang setuju jika jasa dianggap bagian dari unsur produk pada bauran pemasaran. Mereka mendefinisikan jasa sebagai “penawaran sesuatu yang bernilai, tak kentara, dan tidak berujung pada kepemilikan atas apapun kepada khalayak sasaran, baik dari oleh individu maupun organisasi”. Jasa itu tak nyata dan tidak bisa disiapkan (dibuat) sebelumnya. Maka jasa merupakan sesuatu yang sulit dinilai oleh khalayak sasaran. Disarankan untuk membuat yang tak nyata ini menjadi nyata dengan memberdayakan atmospherics, yaitu berbagai hal yang terkait dengan jasa yang diberikan. Beberapa contoh atmospherics adalah tampilan seragam frontliner, kualitas brosur dalam menampilkan penawaran jasa, hingga tampilan arsitektur dan interior. Kesemuanya mampu mempengaruhi ekspektasi khalayak sasaran terhadap jasa yang akan diberikan padanya. Begitupun halnya dengan Program Wisata Museum. Tampilan media promosinya akan mempengaruhi ekspektasi khalayak sasaran pada museum-museum yang terlibat.

a. Media promosi berupa Brosur

Sebagai bagian dari atmospherics, Morgan (1996) menekankan betapa pentingnya brosur bagi suatu promosi wisata. Berbeda dengan anggapan umum akan lemahnya pengaruh brosur bagi promosi produk lain, ia menemukan bahwa brosur destinasi wisata sebagai promotional literature justru efektif dalam mempengaruhi khalayak sasaran (calon wisatawan). Bahkan di era internet, Holloway (2004) berpendapat walaupun situs web bisa menampilkan semua informasi yang ada di brosur, bahkan lebih, tetapi tampaknya brosur wisata belum tergantikan. Keunikan ini adalah salah satu hal yang membedakan promosi wisata dengan bisnis lainnya.

Morgan (1996) memberikan beberapa kriteria brosur destinasi wisata yang ideal. Kriteria dari sisi konten haruslah informatif dan akurat dalam menampilkan berbagai fasilitas

(7)

7 destinasi wisata dan tawaran promosi penjualan, jika ada. Dari sisi tampilan brosur harus atraktif dan mampu mencerminkan positioning destinasi wisata melalui desain komunikasi visualnya, misalnya logo, tone warna, pemilihan huruf, copywriting, ilustrasi, dan foto. Sedangkan dari sisi material adalah bentuk dan berat kertas harus nyaman untuk dipegang, disimpan, dan dibaca serta mudah didistribusikan. Dari sisi produksi perlu dipertimbangkan mendesain brosur dengan biaya yang efisien. Mengingat potensi brosur yang begitu besar, ia menyarankan agar tidak membuat brosur yang asal-asalan. Lebih baik menyerahkan desain brosur pada desainer komunikasi visual.

Brosur pun berguna bagi museum untuk mempermudah orientasi pengunjung. Belcher dalam Alexander dan Alexander (2008) menyatakan bahwa terdapat 4 elemen dasar dari orientasi pengunjung museum yaitu geografis (meja layanan pelanggan dan denah bangunan museum), intelektual (video dan publikasi), konseptual (area orientasi dan publikasi), dan psikologis (brosur dan berbagai materi promosi museum lainnya). Jika keempat elemen ini tercukupi niscaya bermanfaat meningkatkan kualitas kunjungan.

b. Media Promosi Berupa Situs Web

Kemajuan teknologi internet memberi manfaat bagi promosi museum berupa internet marketing. Ini didukung oleh pengamatan Alexander dan Alexander (2008) tentang kecenderungan makin banyak calon pengunjung museum mencari informasi dan merencanakan kunjungannya ke museum. Situs web museum sebaiknya menawarkan berbagai informasi seperti apa saja yang dipamerkan, sedang ada program apa, jam buka, dan peta menuju museum. Internet marketing pun akan membantu orientasi pengunjung museum. Pendapat senada diutarakan oleh Stern “pembeli online produk pariwisata, seperti memilih tujuan wisata, memutuskan membeli produk kerajinan setempat dapat saja dilakukannya secara impulsif, misalnya dengan memutuskan memesan paket wisata yang sebelumnya tidak direncanakan, atau setelah membandingkan dengan paket tujuan wisata lainnya secara online” (dalam Semuel, 2007)

Velthoven (1997) dalam buku Website Graphics: The Best of Global Site Design mensyaratkan beberapa hal bagi situs web yang ideal. Persyaratan ini dapat menjadi acuan bagi perancangan komunikasi situs web suatu museum, yaitu (a) konten situs web yang baik adalah yang mampu mendorong emosi, termotivasi, mendapat informasi, dan yang terpenting adalah ingin untuk kembali mengunjungi. (b) organization and navigation: organisasi yang baik dan navigasi yang mudah akan membuat nyaman pengunjung situs web. (c) desain visual: situs web sebaiknya menggunakan logo, warna, dan typeface yang benar dan konsisten sesuai brand yang ingin dibangun. Selain itu konsistensi elemen grafis juga penting

(8)

8 karena memudahkan pengunjung mengenali situs web tersebut. (d) performances: performa dapat dicapai dari penyesuaian situs web dengan kecepatan internet yang dipakai oleh pengunjung situs dan kapasistas web server. Situs web yang didesain dengan byte ringan akan lebih mudah diakses. (e) compatibility: situs web seharusnya kompatibel dengan semua platform komputer yang digunakan pengunjung, walaupun mereka menggunakan web browser dan operating system (MAC/ Windows) yang berbeda. (f) interactivity: jika ingin menarik pengunjung, membuatnya bertahan dan kembali, di dalam situs web sebaiknya ada unsur interaktif berupa fitur untuk umpan balik, kontrol, kreatifitas, produktivitas, komunikasi, dan adaptasi. (g) usability. Jakob Nielsen dan Hoa Loranger (dalam Sutanto et al., 2010) mendefinisi-kan usability sebagai sebuah atribut kualitas berhubungan dengan kemudahan sesuatu untuk digunakan.

Secara khusus, Misiura (2006) mensyaratkan beberapa hal bagi situs web heritage marketing. Situs web tak hanya harus bermanfaat, tetapi juga harus menyenangkan agar menumbuhkan minat mengunjungi lebih dari sekali. Ada baiknya situs web terhubung dengan situs-situs lain dengan peminatan serupa, misalnya situs web pemerhati cagar budaya, situs web dinas permuseuman, dan asosiasi permuseuman nasional dan internasional. Situs web juga sebaiknya terindeks dengan search engines, direktori, portal, atau situs web komunitas tertentu untuk mendorong kunjungan dari situs lain. Dan yang terpenting, situs web harus membawakan pesan yang kuat agar promosi cagar budaya secara online ini menjadi efektif (117).

Jika disarikan, kriteria situs web dari Velthoven (1997) dan Misiura (2006) meliputi teknis dan non teknis. Berhubung penelitian ini tidak melibatkan teknis maka kriteria situs web ideal yang akan digunakan untuk menganalisa situs web program Wisata Museum adalah yang terkait dengan komunikasi yaitu konten, desain visual, keterhubungan dengan situs lain dengan peminatan serupa, terindeks, usability dilihat dari organisasi dan navigasi, serta interaktifitas dengan penggunanya.

Palmer memberikan pilihan lain bagi pemasaran wisata cagar budaya secara online adalah melalui collaboratively marketing tourism destinations. Dengan cara ini dapat tercipta ‘kerjasama virtual’ sehingga bagi wisatawan tersedia pilihan berbagai destinasi wisata heritage di satu area (dalam Misiura, 2006). Kerjasama virtual semacam inilah dalam bentuk joint promotion yang ingin dicapai melalui program Wisata Museum.

1.7.3. Joint Promotion

Joint promotion didefinisikan sebagai satu promosi penjualan yang digelar bersama-sama oleh beberapa brand sekaligus. Tujuannya adalah untuk meningkatkan penjualan atau

(9)

9 penggunaan produk. (Pearson Education; Marketing Teacher, n.d.). Terdapat definisi yang relatif mirip hanya saja dalam konteks periklanan yaitu joint advertising dan cooperative advertising. Bagi organisasi nirlaba Andreasen dan Kotler (2008) mendefinisikan joint advertising sebagai “bentuk iklan di mana rekanan membayar untuk menempatkan pesannya. Pihak pemrakarsa bisa mengontrol sepenuhnya atau sebagian atas konten pesan”. Sedangkan cooperative advertising adalah “joint advertising oleh beberapa kelompok atau organisasi yang bertujuan sama” (Qfinance Dictionary, 2015). Berhubung penelitian ini membahas promosi yang tidak melibatkan penjualan maka joint promotion dimaknai sebagai promosi yang dilakukan bersama-sama oleh museum HoS dan museum-museum rekanan, yang mana rekanan tidak dikenakan biaya, dengan tujuan nirlaba.

Mengenai kriteria pelaksanaan joint promotion di penelitian ini disarikan dari berbagai sumber. Ini dikarenakan suatu deskripsi yang oleh Pearson Education di atas disebut sebagai joint promotion di literatur-literatur lain dikenal pula sebagai horizontal co-operative sales promotion atau cross promotion atau umbrella sales promotion (Sonal and Preeta, 2015) atau bagian dari partnership marketing (Andresen, 2006).

Sonal dan Preeta (2015) memberikan beberapa syarat untuk terselenggaranya joint promotion, yaitu:

- Kompleksitas pekerjaan pada joint promotion lebih tinggi daripada ketika berpromosi sendirian. Diperlukan perencanaan yang cermat disusul dengan penerapannya.

- Joint promotion hanya akan berhasil jika tujuan dari masing-masing rekanan tidak saling bersinggungan. Maka diperlukan kehati-hatian saat memilih rekanan.

- Adanya kesediaan untuk saling berbagi informasi dari semua pihak yang terlibat. - Adanya kesepakatan syarat dan ketentuan kerjasama yang mengikat semua pihak dan

disepakati semenjak awal (10).

Varadarajan memberikan acuan kerangka kerja joint promotion (dalam Sonal dan Preeta, 2015) seperti tercantum di tabel berikut.

Tabel 1.1. Acuan kerangka kerjajoint promotion.

Analisa Mengidentifikasi Peluang-peluang untuk menjalin joint promotion Mendefinisikan Peranan joint promotion di dalam promotion mix

perusahaan.

Perencanaan Menyaring Calon rekanan potensial bagi joint promotion Mengembangkan Beberapa pilihan konsep program joint promotion,

termasuk besaran insentif, syarat dan kondisi bagi yang mau berpartisipasi, durasi promosi, perkiraan biaya, dsb.)

(10)

10 Mengevaluasi Beberapa pilihan konsep program joint promotion

serta menimbang-nimbang untung ruginya. Mengeksplorasi Minat calon rekanan terhadap program yang

ditawarkan

Pretest Terhadap konsep joint promotion, jika diperlukan. Mengembangkan

dan

menyempurnakan

Detil-detil program dan mendiskusikannya dengan calon rekanan

Negosiasi Syarat dan ketentuan bagi semua pihak Meminta

persetujuan

Dari semua pihak.

Implementasi dan pengawasan

Penerapan Program

Pengawasan Perkembangan dan performa program Modifikasi (Jika diperlukan) di tengah-tengah program

berjalan

Evaluasi Performa joint promotion

Mengerucut pada pembahasan joint promotion dalam lingkup promosi museum, dalam bukunya tentang cause marketing Andresen (2006) menyatakan bahwa rekanan (partnership) sangat diperlukan jika organisasi nirlaba ingin lebih berdaya membuat perubahan di dunia ini. Berbeda dengan di swasta atau pemerintahan yang memiliki sumber daya relatif lengkap, misalnya divisi RnD, jaringan distribusi, divisi akuntansi, divisi pemasaran, divisi PR, bahkan rekanan biro iklan. Sedangkan organisasi nirlaba biasanya kekurangan sumber daya semacam itu. Maka disarankan agar organisasi nirlaba untuk membangun rekanan dengan swasta atau pemerintah.

Syarat rekanan yang berhasil diilustrasikan bagaikan sebuah (kue) donat. Jika rekanan tidak berhasil bagaikan orang-orang berpegangan tangan melingkar tetapi tengahnya kosong. Jika rekanan berhasil maka bagaikan donut padat dengan isi di tengahnya. Komponen rekanan yang sukses dapat dilihat dari kesesuaian (fit) dan isi (filling). Fit adalah tujuan yang sama bagi khalayak sasaran bersama. Sedangkan filling adalah keuntungan yang didapat oleh setiap rekanan ketika kerjasama telah sukses memenangkan hati dan pikiran khalayak sasaran. Dikarenakan memenangkan khalayak sasaran adalah tujuan utama maka khalayak sasaran adalah hal pertama yang harus dipertimbangkan ketika hendak merencanakan partnership marketing (Andresen, 2006) – dimana di dalamnya bisa terdapat joint promotion.

Filling atau keuntungan yang dirasakan oleh tiap rekanan mungkin saja tidak sama. Beberapa tipe keuntungan yang bisa didapat dari kerjasama antara organisasi nirlaba dengan swasta/pemerintah adalah:

(11)

11 - Pemenuhan sisi filantrofi: adanya rasa terkoneksi dengan suatu aksi sosial dan

kemampuan membuat perubahan

- Finansial: dana segar, peningkatan pemasukan, atau pembagian biaya antar rekanan. - Citra: citra positif, peningkatan kredibilitas.

- Keahlian: mendapat bantuan keahlian dari rekanan

- Pasar baru: akses pada khalayak atau konsumen atau konstituen yang berbeda.

- Sumber daya pemasaran: meningkatkan kemampuan menjangkau khalayak dengan medium komunikasi dan jaringan distribusi yang ditanggung bersama.

- Efisiensi: mengurangi biaya dari aktifitas yang sama oleh masing-masing rekanan. - Produk dan jasa: mampu meningkatkan produk, jasa, atau manfaat lain bagi

konsumen atau khalayak sasaran.

- Keuntungan kompetitif: meningkatkan kemampuan bersaing.

- Moral karyawan: meningkatkan perasaan positif karyawan terhadap perusahaan/organisasi (Andresen, 2006).

1.7.4. Regulasi CSR, Iklan, Promosi, dan Sponsorship Produk Tembakau

Industri rokok seperti PT HM Sampoerna Tbk termasuk tipe perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam. Kekuatiran akan adanya ekspoitasi alam yang berlebihan dan berdampak ke kehidupan sosial masyarakat, oleh perusahaan-perusahaan bertipe semacam itu, memunculkan tuntutan kompensasi berupa tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sosial dan alam, terutama di sekitar tempatnya beroperasi. Dalam bahasa Inggris tanggung jawab perusahaan ini dikenal dengan istilah CSR yang merupakan singkatan dari corporate social responsibility. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mendefinisikan CSR sebagai “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”. Pemerintah Indonesia mewajibkan pelaksanaan CSR bagi perusahaan BUMN, perusahaan pengelola minyak dan gas, perusahaan penanaman modal, dan perusahaan yang terkait dengan sumber daya alam.

Program Wisata Museum dapat dikategorikan sebagai CSR. Maka sebagai bagian dari PT HM Sampoerna Tbk, dalam menjalankan program Wisata Museum HoS perlu mematuhi regulasi mengenai CSR serta pembatasan iklan, promosi, dan sponsorship untuk produk tembakau yang berlaku di Indonesia. Pasal 74 UU Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 memberikan kriteria pelaksanaan CSR, yaitu (1) kewajiban CSR dilaksanakan baik di dalam

(12)

12 maupun di luar lingkungan Perseroan, (2) CSR dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan (memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan CSR) setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali ada ketentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, (3) realisasi anggaran untuk pelaksanaan CSR diperhitungkan sebagai biaya Perseroan, (4) pelaksanaan CSR dimuat dalam laporan tahunan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS, (5) serta jika Perseroan tidak melaksanakan CSR maka akan terkena sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kriteria ini yang dipakai untuk menilai pelaksanaan program Wisata Museum sebagai CSR.

Seperti telah disebutkan di bagian latar belakang, industri rokok yang melatari Museum HoS sensitif terhadap sinisme dari masyarakat akibat potensi dampak negatif kesehatan yang dapat timbul dari konsumsi rokok dan produk tembakau lainnya. Untuk mengurangi minat merokok, terutama di kalangan generasi muda, banyak negara menerapkan pembatasan komunikasi rokok dan produk tembakau lainnya kepada masyarakat dalam bentuk iklan, promosi, dan sponsorship.

Selain sebagai CSR, Program Wisata Museum dapat pula dikategorikan sebagai sponsorship karena promosi museum-museum rekanan dibantu dari segi pendanaan dan produksi oleh Museum HoS. Ini memenuhi definisi sponsorship pada PP No. 109 tahun 2012 tentang Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yaitu “segala bentuk kontribusi langsung atau tidak langsung, dalam bentuk dana atau lainnya, dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh lembaga atau perorangan dengan tujuan mempengaruhi melalui Promosi Produk Tembakau atau penggunaan Produk Tembakau”. Maka pelaksanaan program Wisata Museum harus mematuhi aturan mengenai sponsorship berupa CSR di PP tersebut yang dirinci di tabel berikut ini.

Tabel 1.2. Aturan sponsorship CSR di pada PP No. 109 tahun 2012.

Topik Pasal Esensi isi pasal

Sponsor Pasal 37 Sponsorship oleh produsen dan/atau pengimpor Produk Tembakau dalam bentuk CSR hanya dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. tidak menggunakan nama merek dagang dan logo Produk Tembakau termasuk brand image produk Tembakau.

b. tidak bertujuan untuk mempromosikan produk Tembakau. Batas

waktu penerapan ketentuan

Pasal 62 Setiap produsen, pengimpor, dan/atau pengedar Produk Tembakau yang mensponsori suatu kegiatan harus menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 36 dan 37 paling lambat 12 bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

(13)

13 Sanksi Pasal 40 Bagi pengiklan atau yang mempromosikan Produk Tembakau yang

melanggar Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 35, 36, 37, dan 39 akan dikenai sanksi administratif oleh Menteri dan/atau menteri yang terkait berupa: a. penarikan dan/atau perbaikan iklan.

b. peringatan tertulis.

c. pelarangan sementara mengiklankan Produk Tembakau yang bersangkutan jika terjadi pelanggaran berulang atau pelanggaran berat. Pasal 47 Setiap penyelenggaraan kegiatan yang disponsori oleh Produk

Tembakau dan/atau bertujuan untuk mempromosikan Produk Tembakau dilarang mengikutsertakan anak di bawah usia 18 tahun. Apabila mengikutsertakan anak di bawah usia 18 tahun akan dikenakan sanksi oleh pejabat Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

1.8. Kerangka Konsep

Dari kerangka pemikiran di atas maka disarikan menjadi kerangka konsep sebagai berikut. Konsep dan makna yang tercantum di tabel berikut diambil dari penjelasan di kerangka pemikiran.

Tabel 1.2. Kerangka konsep penelitian.

No. Konsep Makna Indikator Pertanyaan Penelitian

1. Promosi destinasi wisata museum Koordinasi kegiatan komunikasi pemasar museum yang menginformasikan, mengkomunikasikan dan merayu calon konsumen untuk berwisata ke museum.

- Ada bauran promosi: periklanan / promosi penjualan / publikasi (hubungan masyarakat) / penjualan langsung / pemasaran via media interaktif (internet) / pemasaran langsung. - Ada perencanaan promosi

ideal: (1) identifikasi khalayak sasaran, (2) menyusun tujuan komunikasi, (3) menyusun alternatif-alternatif pesan, (4) mengatasi masalah perhatian (khalayak sasaran) yang cenderung pemilih, (5) mengatasi masalah distorsi persepsi, (6) memilih saluran atau media penyampaian pesan, dan (7) mengevaluasi dan memilih pesan.

- Memenuhi kriteria promosi yang ideal yaitu (1)

ditujukan kepada khalayak

- Bagaimana program Wisata Museum memanfaatkan bauran promosi?

- Apakah terdapat pengaplikasian IMC? - Bagaimana perencanaan

program Wisata Museum sebagai suatu promosi destinasi wisata museum? - Apakah program Wisata

Museum mendapat dukungan dari sisi sosial dan budaya di sekitarnya? - Apakah program Wisata

Museum memenuhi kriteria promosi yang ideal?

- Apakah program Wisata Museum telah customer centered mindset?

- Bagaimana brosur dan situs web program Wisata Museum mempromosikan destinasi wisata museum? - Apakah terdapat dukungan

(14)

14 sasaran yang spesifik, (2)

diposisikan dengan jelas, (3) dibuat untuk mencapai tujuan tertentu, dan (4) dirancang sedemikian rupa agar bisa mencapai tujuan walaupun terbatasi oleh anggaran tertentu. - Dilandasi oleh

customer-centered mindset: promosi seharusnya diawali dengan meriset apa yang

diperlukan, diinginkan, dan dipersepsikan oleh khalayak sasaran. Dengan kata lain, berfokus pada khalayak yang dituju.

- Adanya atmospherics yang mendukung.

2. Joint promotion

Promosi yang dilakukan bersama-sama oleh museum HoS dan museum-museum rekanan, yang mana rekanan tidak dikenakan biaya, dengan tujuan nirlaba.

- Ada perencanaan dan penerapan yang cermat sesuai acuan kerangka kerja joint promotion

- Adanya “fit” yaitu tujuan yang tidak saling

bersinggungan dari masing-masing rekanan joint promotion.

- Rekanan bisa menerima latar belakang inisiator dari perusahaan rokok.

- Adanya kesediaan untuk saling berbagi informasi dari semua pihak yang terlibat.

- Adanya kesepakatan syarat dan ketentuan kerjasama yang mengikat semua pihak dan disepakati semenjak awal.

- Joint promotion berdampak positif atau memberi

keuntungan bagi setiap rekanan.

- Bagaimana perencanaan dan penerapan program Wisata Museum?

- Apakah perencanaan dan penerapan program Wisata Museum sesuai dengan kerangka kerja?

- Apakah semua museum rekanan memiliki tujuan yang sama?

- Apakah ada museum yang keberatan dengan latar belakang inisiator dari perusahaan rokok? - Apakah semua museum

rekanan bersedia saling berbagi informasi? - Bagaimana syarat dan

ketentuan kerjasama bagi semua rekanan?

- Keuntungan/dampak apa yang didapat oleh setiap rekanan dari joint promotion? 3. Media promosi destinasi wisata Media yang digunakan untuk mempromosikan destinasi wisata.

- Memenuhi kriteria brosur destinasi wisata museum yang ideal dari segi (1) konten, (2) desain komunikasi visual, (3)

- Bagaimana kualitas brosur dan situs web program Wisata Museum sebagai media promosi destinasi wisata ke museum?

(15)

15 material, (3) biaya produksi

yang efisien, (4) dan didesain oleh desainer komunikasi visual profesional.

- Memenuhi kriteria situs web destinasi wisata museum yang ideal: (1) kelengkapan informasi, (2) konten yang menyentuh emosi, (3) organisasi yang baik dan navigasi yang mudah, (4) atmospherics: menarik, mudah dikenali, dan konsisten sesuai brand yang ingin dibangun (5) menyenangkan dan interaktif, (6) terhubung dengan situs-situs lain dengan peminatan serupa, (7) situs web terindeks dengan search engines, direktori, portal, atau situs web komunitas tertentu, (8) membawakan pesan

promosi yang kuat.

- Apakah brosur didesain oleh desainer komunikasi visual profesional?

- Apakah situs web didesain oleh profesional? 4. Regulasi CSR, Iklan, Promosi, dan Sponsorship Produk Tembakau Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yang mengatur pelaksanaan CSR perusahaan serta pembatasan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau. - CSR dilaksanakan di dalam atau di luar lingkungan Perseroan.

- CSR dilaksanakan oleh Direksi perusahaan berdasarkan rencana kerja tahunan.

- Realisasi anggaran untuk pelaksanaan CSR

diperhitungkan sebagai biaya Perseroan

- Pelaksanaan CSR dimuat dalam laporan tahunan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS.

- Dalam pelaksanaan program tidak

menggunakan nama merek dagang dan logo Produk Tembakau termasuk brand image Produk Tembakau. - Program tidak bertujuan

untuk mempromosikan Produk Tembakau.

- Apakah program Wisata Museum terlaksana di dalam atau di luar perusahaan? - Apakah program

dilaksanakan oleh Direksi perusahaan berdasarkan rencana kerja tahunan? - Apakah pendanaan program

datang dari perseroan? - Apakah pelaksanaan

program dimuat dalam laporan tahunan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS?

- Apakah terdapat

penggunaan nama merek dagang dan logo, termasuk brand image produk tembakau dalam pelaksanaan program? - Apakah ada muatan yang

mempromosikan produk tembakau pada program?

(16)

16 - Pelaksanaan program tidak

mengikutsertakan anak di bawah usia 18 tahun. - Program mematuhi regulasi

CSR, iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau dalam jangka waktu 12 bulan setelah regulasi dikeluarkan.

- Pelaksanaan program tidak mengikutsertakan anak di bawah usia 18 tahun. - Program mematuhi regulasi

CSR, iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau dalam jangka waktu 12 bulan setelah regulasi dikeluarkan.

1.9. Metodologi Penelitian

1.9.1. Pendekatan penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretif dengan asumsi bahwa realita keberlangsungan segala proses joint promotion program Wisata Museum tak lepas dari pemaknaan hasil interaksi dan keyakinan dari mereka yang terlibat di dalamnya. Pemaknaan tak lepas dari pengaruh bagaimana situasi sosial dan lingkungan di sekitar program Wisata Museum baik semenjak direncanakan hingga kini. Maka penelitian ini berada pada konteks sosiokultural.

1.9.2. Jenis penelitian

Dengan mengacu kepada ketiga tujuan penelitian maka tipe penelitian ini adalah deskriptif.

1.9.3. Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus instrumental.

1.9.4. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif.

1.9.5. Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi penelitian adalah pulau Jawa karena museum-museum rekanan program Wisata Museum kesemuanya berada di Jawa. Mereka berada di kota-kota besar yaitu DKI Jakarta, Bandung, Surakarta, dan Surabaya. Penelitian direncanakan akan berlangsung selama 9 bulan semenjak November 2015 hingga Juli 2016.

1.9.6. Teknik pengumpulan data

Penelitian ini hendak mengumpulkan data dari sumber primer dan sekunder. Data primer yang ingin diperoleh adalah kisah pengalaman para pengurus museum rekanan Wisata

(17)

17 Museum selama bergabung dengan program tersebut, mulai dari tahap persiapan, eksekusi, hingga evaluasi mereka atas pelaksanaan program serta analisis teks dari brosur dan situs web Wisata Museum. Sedangkan data sekunder yang ingin didapat adalah dari publikasi dan dokumentasi mengenai Wisata Museum (jika ada) serta studi pustaka mengenai museum dan promosi.

Teknik pengumpulan data tentang tahapan perencanaan program Wisata Museum akan dilakukan melalui wawancara dengan sampel yang dipilih secara purposive sampling. Sampel adalah para pengurus museum-museum yang terlibat dalam Wisata Museum selama periode 2008-2014.

Jenis wawancara adalah semi-terstruktur yang mana peneliti telah menyiapkan pedoman wawancara dan mengantisipasi arah jawaban-jawaban tetapi membuka kesempatan munculnya pertanyaan-pertanyaan lain seiring berkembangnya pembicaraan dengan nara sumber. Wawancara akan diupayakan dilakukan langsung secara tatap muka. Apabila tidak memungkinkan menemui langsung, ada kemungkinan wawancara akan dilakukan via telepon atau daring.

Teknik pengumpulan data sekunder adalah dengan mengumpulkan studi literatur tentang promosi museum serta mengumpulkan bukti-bukti tahapan pelaksanaan program Wisata Museum misalnya brosur, foto-foto pelaksanaan, publikasi di media massa, dsb.

Sebagai alat bantu, penelitian ini akan memanfaatkan instrumen-instrumen perangkat keras yaitu komputer dan alat perekam data baik berupa audiovisual maupun tulisan; serta perangkat lunak berupa koneksi internet serta perekam dan pengolah data.

1.9.7. Teknik pengolahan data

Data yang diperoleh akan dipilah-pilah sesuai konsep di kerangka konsep, yaitu promosi destinasi wisata museum, joint promotion, media promosi destinasi wisata museum, dan regulasi CSR, iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau. Masing-masing kelompok data tersebut kemudian menjadi bahan untuk dianalisa.

1.9.8. Teknik analisis data

Teknik analisa data adalah dengan mengacu pada indikator-indikator di kerangka konsep.

1.9.9. Uji validitas dan reliabilitas

Uji validitas akan dilakukan secara validitas konstruk. Teknik untuk mencapai validitas konstruk adalah dengan mengumpulkan multisumber bukti pada saat pengumpulan

(18)

18 data, yaitu dari semua rekanan program Wisata Museum didukung dengan bukti publikasi program dan literatur komunikasi pemasaran, serta di akhir meminta informan kunci, yaitu pihak museum HoS untuk meninjau ulang data.

Protokol studi kasus digunakan sebagai uji reliabilitas penelitian ini. Protokol merupakan urutan pengerjaan penelitian yang meliputi tinjauan kasus berupa rumusan masalah, prosedur bagi peneliti ketika turun ke lapangan, pertanyaan-pertanyaan penelitian yang akan diajukan dan dijawab, serta petunjuk berupa daftar isi bagi penyusunan laporan.

1.9.10. Limitasi penelitian

Data pelaksanaan program Wisata Museum akan semakin kaya dan mendetil jika bisa mendapat masukan dari khalayak yang mengakses baik brosur maupun situs webnya. Namun dikarenakan program telah berjalan cukup lama semenjak tahun 2008 maka akan relatif sulit menelusuri khalayaknya.

Di tahapan situs web, program Wisata Museum selain menampilkan rekanan juga mengikutsertakan hingga ratusan museum lainnya di Indonesia. Namun peran serta mereka dalam pelaksanaan program relatif sedikit dibandingkan dengan para rekanan. Maka pengumpulan data dibatasi hanya dari museum-museum rekanan program.

Gambar

Tabel 1.1. Acuan kerangka kerja joint promotion.
Tabel 1.2. Aturan sponsorship CSR di pada PP No. 109 tahun 2012.
Tabel 1.2. Kerangka konsep penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dimensi fungsional diukur melalui beberapa indikator yaitu : jarak antar ruangan yang fungsional tidak saling berjauhan maupun sempit-sempitan, luas masing- masing

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: pertama, tata cara pengujian qanun Aceh melalui executive review belum memenuhi syarat seperti yang

bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta – pesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik

Siklus Pengeluaran adalah aktivitas bisnis yang berulang dan operasi pemrosesan data yang terkait dengan pembelian dan pembayaran barang dan jasa.. Tujuan utama siklus pengeluaran

Hasil pengujian hipotesis ketiga diperoleh nilai kualitas layanan administrasi memiliki pengaruh terhadap kepuasan mahasiswa namun berdampak negatif, yang berarti

Dengan asupan udara pembakaran yang sama untuk setiap operasi, gas mempan bakar yang dihasilkan dari proses gasifikasi batok kelapa diduga mempunyai nilai kalor

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Faktor-Faktor Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Karyawan PT. X” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak

 Stadium I, merupakan tahap kanker yang hanya ditemukan pada paru-paru4. dan belum menyebar ke kelenjar getah