• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK. Kata kunci : lamun, kerapatan, strombus sp., tanjungpinang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK. Kata kunci : lamun, kerapatan, strombus sp., tanjungpinang"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

BASTIANSYAH MAYNOR, DERY. Hubungan Kerapatan Lamun dengan Strombus sp. Perairan Sekatap Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji. Pembimbing oleh Ita Karlina, S.Pi., M.Si dan Fadhliyah Idris, S.Pi., M.Si.

Penelitian mengenai Hubungan Kerapatan Lamun dengan Strombus sp. telah dilakukan di perairan Sekatap Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Mengetahui kepadatan strombus sp. dan keterkaitan antara kerapatan lamun dengan kepadatan strombus sp. di perairan Sekatap. Penelitian ini dilakukan dengan metode acak sebanyak 30 titik menggunakan plot berukuran 1x1 meter. Hasil penelitian ditemukan 3 jenis lamun yaitu, Enhalus

acoroides, Cymodocea serrulata, dan Halodule uninervis dan 2 jenis Strombus sp.

yaitu Strombus canarium dan Strombus turturella. Komposisi jenis lamun yang paling tinggi dilokasi penelitian yaitu perairan Sekatap Kelurahan Dompak berada pada jenis

Enhalus acoroides dengan persentase nilai sebesar 54%. Berdasarkan hasil penelitian

kerapatan lamun memiliki hubungan yang negatif terhadap kepadatan Gonggong, artinya setiap kenaikan 1 kerapatan lamun akan mengurangi Kepadatan Gonggong sebesar 0,1808 individu. Dengan nilai R-square sebesar 0.9332 yang berarti sebesar 93,32% data yang diambil dapat menjelaskan hubungan antara Kerapatan Lamun terhadap Kepadatan Siput Gonggong.

(2)

ABSTRACT

BASTIANSYAH MAYNOR, DERY. Seagrass Density Relation with Strombus sp. Waters of Sekatap Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang Riau Islands Province Department of Marine Science, Faculty of Marine Science and Fisheries, Raja Ali Haji Maritime University. Advisor by Ita Karlina, S.Pi., M.Si and Fadhliyah Idris, S.Pi., M.Si.

Research on Seagrass Density Relation with Strombus sp. Has been done in the waters of Sekatap Kelurahan Dompak Tanjungpinang City, The purpose of this research is to know Know the density of strombus sp. And the relation between seagrass density and density of strombus sp. In the waters of Sekatap. This research was conducted by random method as much as 30 point using plot measuring 1x1 meter. The results of the study found three types of seagrasses, namely, Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata, and Halodule uninervis and 2 types of Strombus sp. Namely

Strombus canarium and Strombus turturella. The highest seagrass species composition

in the research location is Sekatap Kelurahan Dompak waters located in Enhalus

acoroides type with percentage value of 54%. Based on the research of seagrass density

has a negative relation to density of strombus, meaning that every increase of 1 density of seagrass will reduce the density of strombus equal to 0,1808 individual. With R-square value of 0.9332 which means 93.32% of data taken can explain the relationship between Seagrass Density to Strombus Density.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Kawasan pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumberdaya hayati yang beragam, diantaranya ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang dan biota-biota laut yang berasosiasi di dalamnya salah satunya gastropoda. Perairan Sekatap juga memiliki potensi sumberdaya seperti gastropoda dan ekosistem lamun. Gastropoda yang terdapat di perairan Sekatap salah satunya adalah siput gonggong (strombus sp.). Siput gonggong merupakan salah satu jenis gastropoda yang mendiami areal pasang surut dengan substrat yang ditumbuhi lamun.

Lamun merupakan salah satu ekosistem yang terletak di daerah pesisir. Ekosistem lamun juga tidak terlepas dari peranannya sebagai daerah pemijahan (sp.awning ground), tempat pengasuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan daerah pembesaran (rearing ground) bagi biota perairan (Kordi,. 2011). Kelimpahan komunitas yang tinggi pun akan dipengaruhi dengan tingkat kerapatan lamun yang tinggi sebagai

habitat dan tempat tumbuhan akan secara optimal.

Secara ekologis komunitas gastropoda merupakan komponen yang penting dalam rantai makanan di padang lamun, beberapa jenis gastropoda merupakan hewan dasar pemakan detritus tersuspensi di dalam air guna mendapatkan makanan (Tomascik et al., 1997). Lamun juga dapat menyokong rantai makanan dan penting dalam proses siklus nutrien serta sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi dan abrasi.

Jumlah permintaan siput gonggong (strombus sp.) yang tinggi dengan cara berlebihan tanpa memperhatikan keberlangsungannya dikhawatirkan menurunkan populasi siput gonggong (strombus sp.) akan terus terjadi bahkan diprediksi akan terjadi kepunahan. Perlu adanya usaha dalam melestarikan habitat melalui restoking dan pembudidayaan untuk mengurangi dampak dari adanya pengambilan stok dialam secara berlebih, mengingat masih banyaknya masyarakat yang belum mengetahui keberadaan dan pemanfaatan siput gonggong. Agar didapatkan hasil yang optimal maka

(4)

perlu adanya penelitian dasar, dalam hal ini perlu diteliti kepadatan siput gonggong (strombus sp.) di habitatnya.

Manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan informasi kondisi kualitas perairan, jenis-jenis lamun, jenis-jenis siput gonggong (strombus sp.) dan hubungan kerapatan lamun kepadatan dengan siput gonggong (strombus sp.) yang terdapat di perairan Sekatap.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Siput Gonggong

(strombus sp.) menurut (Wye., 1997 in Utami., 2012) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Moluska Kelas : Gastropoda Ordo : Neotaenioglossa Famili : Strombidae Genus : Strombus

Seperti halnya dengan kelas

Gastropoda lainnya, ciri-ciri siput

gonggong ialah memiliki cangkang berbentuk asimetri seperti kerucut, terdiri dari tiga lapisan periostraktum, lapisan prismatik yang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan lapisan

nakre (lapisan mutiara). Siput gonggong berjalan dengan perut dan biasanya menggulung seperti ulir memutar ke kanan, menggendong cangkang yang berwarna coklat kekuningan, kakinya besar dan lebar untuk merayap dan mengeruk pasir atau lumpur. Sewaktu bergerak hewan ini menghasilkan lendir, sehingga pada tempat yang dilalui meninggalkan bekas lendir. Cangkang digunakan untuk melindungi diri dari serangan musuh atau kondisi lingkungan yang tidak baik (Zaidi et al., 2009).

Siput gonggong merupakan salah satu spesies dari siput laut menengah, yang termasuk dalam filum moluska dan berada dalam keluarga strombidae yang dianggap sebagai spesies ekonomis penting di Indo-Pasifik Barat. Pada tingkat individu dewasa siput gonggong memiliki cangkang berwarna coklat kekuningan. Panjang maksimum cangkang dapat mencapai 100 mm, tetapi umumnya berukuran 65 mm (Utami., 2012).

Siput gonggong memiliki satu cangkang yang memperlihatkan perputaran spiral dengan sudut 180º, disebut torsion (pilinan/putaran),

(5)

umumnya putaran cangkang bersifat dekstral (kekanan), yaitu putaran yang terjadi saat pertumbuhan berlawanan dengan arah jarum jam.

Menurut (Siddik., 2011) ciri-ciri gonggong lainnya ialah memiliki cangkang berbentuk seperti kerucut, terdiri dari tiga lapisan periostrakum, lapisan prismatik yang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan lapisan nacre (lapisan mutiara). Bentuk kepala jelas, mempunyai tentakel, mata dan radula serta probosis yang besar yang berguna untuk menyapu dan menyedot makanan yang bercampur dengan lumpur yang berada di dasar perairan.

Sebagian besar jenis-jenis siput mempunyai tutup cangkang yang disebut operkulum yang menempel pada kakinya. Pada saat sedang tidak berjalan, operkulum ini menutupi bagian bukaan cangkang (Kozloff, 1990 in Siddik, 2011). Operkulum berbentuk pipih memanjang dan bergerigi (Gambar 2), yang berfungsi ganda untuk melindungi tubuh yang berada dalam cangkang, dan sebagai

alat bantu berpindah tempat.

Di alam siput gonggong menyukai habitat pasir berlumpur. Menurut (Amini, 1986), siput gonggong banyak terdapat hidup di perairan pantai dengan dasar pasir berlumpur dan kondisi perairan dimana banyak ditemukan rumput laut. Sedangkan menurut Dharma. (1988), Strombus hidupnya diatas pasir, jika berjalan seperti melompat-lompat dengan menggunakan operkulum atau penutup cangkangnya yang berbentuk seperti pisau berduri.

Siput gonggong lebih bersifat epifauna atau hidup di atas permukaan substrat, walaupun hewan ini juga memiliki kebiasaan membenamkan diri pada waktu-waktu tertentu. Pemilihan ini dikarenakan kegiatan mencari makan dan reproduksi dilakukan di permukaan substrat.

Siput gonggong termasuk hewan

hermaprodit, artinya siput gonggong

memiliki sel kelamin jantan dan betina tetapi dalam proses perkawinannya tidak bisa membuahi dirinya sendiri, sehingga harus didahului dengan proses perkawinan semu antara dua gonggong. Tidak lama setelah melakukan perkawinan semu gonggong akan

(6)

bertelur dan telur menetas bergantung pada kondisi lingkungannya (Zaidi et

al., 2008).

Faktor utama yang menentukan penyebaran, kepadatan, dan komposisi jenis gastropoda adalah substrat dasar perairan, yaitu lumpur, pasir, dan kerikil. Tipe substrat suatu perairan akan mempengaruhi penyebaran, kepadatan, dan komposisi gastropoda salah satunya adalah siput gonggong.

Pada jenis sedimen berpasir, kandungan oksigen relatif besar dibandingkan pada sedimen yang halus karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi pada sedimen ini tidak banyak nutrien, sedangkan pada substrat yang lebih halus walaupun oksigen sangat terbatas tapi tersedia nutrien dalam jumlah besar (Wood., 1987 in Utami., 2012). Spesies siput gonggong umumnya mendiami substrat lunak dan dapat ditemukan pada substrat yang didominasi oleh pasir hingga pasir berlumpur (Dody., 2007).

Substrat pasir dengan kandungan lumpur pada ekosistem padang lamun

dalam jumlah tertentu merupakan habitat yang ideal bagi kehidupan siput gonggong, namun bila komposisi substrat didominasi oleh lumpur maka akan membahayakan kehidupan siput itu sendiri. Tingginya kandungan lumpur pada substrat dasar perairan akan menyebabkan makin meningkatnya partikel terlarut dan tersuspensi dalam air. Hal ini akan berakibat pada rendahnya kadar oksigen dalam sedimen atau hipoksia (Borja et al,. 2000 in Dody., 2007).

Penyebaran dan kepadatan siput gonggong berhubungan dengan diameter rata-rata butiran sedimen, kandungan debu dan liat, serta cangkang-cangkang biota yang telah mati, yang secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar ukuran butiran berarti semakin kompleks substrat, sehingga semakin beragam pula jenis biotanya.

Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga, berbuah, berdaun dan berakar sejati yang hidupnya terendam di dalam air laut dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Lamun tumbuh subur pada daerah terbuka pasang surut dan perairan

(7)

pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil dan patahan karang mati dengan kedalaman sampai 4 m (Dahuri., 2003).

Lamun terdiri dari rhizome atau rhizoma (batang terbenam atau akar rimpang), daun dan akar. Rhizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar dan berbuku-buku atau dikenal sebagai akar rimpang. Dengan rhizoma dan akarnya inilah tumbuhan tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut hingga tahan terhadap hempasan gelombang dan arus. Lamun berbeda dengan tumbuhan laut lain yang hidup terbenam di dasar laut seperti makroalga (sea weeds) yang dikenal sebagai rumput laut. Tumbuhan lamun memiliki bunga dan buah yang kemudian berkembang menjadi benih.

Lamun dapat membentuk padang lamun dengan kepadatan mencapai 4.000 tumbuhan per m2 (Nyabakken., 1998). Karena tipe perakarannya rimpang (rhizoma) menyebabkan daun-daun tumbuhan lamun sangat lebat. Akar pada tumbuhan lamun tidak berfungsi penting dalam pengambilan air, karena daun dapat menyerap

nutrien secara langsung dari dalam air laut. Kemudian untuk menjaga agar tubuhnyay tetap mengampung di dalam air, tumbuhan ini dilengkapi dengan ruang udara (Dahuri., 2003). Lamun biasanya terdapat dalam jumlah yang melimpah dan sering membentuk padang yang lebat dan luas di perairan tropik. Sifat-sifat lingkungan pantai terutama dekat estuari, cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan lamun. Lamun juga hidup di lingkungan yang sulit, pengaruh gelombang, sedimentasi, pemanasan air, pergantian pasang dan surut.

Lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup beranekaragam biota laut seperti Ikan, Krustasea, Moluska ( Pinna sp., Lambis

sp., dan Strombus sp.,) Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Archaster sp., Linckia sp.) dan

cacing ( Polychaeta) (Bengen., 2001). Tumbuhan lamun membentuk padang sebagaimana padang rumput di darat. Karena itu, padang lamun mempunyai potensi dan fungsi yang strategis. Ekosistem lamun merupakan

(8)

salah satu ekosistem di laut dangkal yang produktif. Di samping itu, ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal. Menurut hasil penelitian, diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut (Bengen., 2001).

Lamun tumbuh padat membentuk padang, sehingga dikenal dengan padang lamun (seagrass bads). Padang lamun dapat mrmbentuk vegetasi tunggal, tersusun atas satu jenis lamun yang tumbuh membentuk padang yang lebat, sedangkan vegetasi camouran terdiri dari 2-12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu subsrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi tunggal adalah

Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninerves, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum (Dahuri.,

2003). Pada subsrat berlumpur di daerah mangrove ke arah laut, sering di jumpai padang lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi tinggi. Sementara padang lamun vegetasi campuran terbentuk di daerah intertidal

yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal. Padang lamun tumbuh dengan baik yang terlindung dan bersubsrat pasir, stabil serta dekat sedimen yang bergerak secara horizontal.

Lamun merupakan satu-satunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut. Tumbuh-tumbuhan ini hidup di habitat perairan pantai yang dangkal. Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya (alga dan rumput laut), lamun berbunga, berbuah, dan menghasilkan biji. Lamun yang khas lebih sering di temukan pada substrat lumpur berpasir yang tebal di antara mangrove dan terumbu karang (Bengen., 2001).

Lamun merupakan tumbuhan yang mempunyai akar (Rhizoma), batang, daun, bunga, dan buah (beberapa spesies). Berbeda dengan seaweed yang merupakan makroalga yang tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati. Sebagai tumbuhan tingkat tinggi,

seagrass mempunyai sistem reproduksi

dan pertumbuhan yang khas.

Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan

(9)

karang mati, dengan kedalaman mencapai 4 meter. Seperti layaknya padang rumput, lamun dapat menyebar dengan perpanjangan akar. Penyebaran lamun terlihat sedikit unik dengan pola penyebaran yang sangat tergantung pada topografi dasar pantai, kandungan nutrien dasar perairan (substrat), dan beberapa faktor fisik dan kimia lainnya.

Pertumbuhan lamun diduga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolisme, serta faktor ekternal, seperti zat-zat hara (nutrient) dan tingkat kesuburan perairan (Dahuri., 2003). Untuk tumbuh, lamun membutuhkan cahaya matahari, suhu air dan salinitas yang sesuai. Tumbuhan ini tumbuh di laut dangkal karena membutuhkan cahaya matahari yang cukup.

Pola penyebaran yang tidak merata dengan kerapatan yang relatif rendah dan bahkan terdapat semacam ruang-ruang kosong di tengah padang lamun yang tidak tertumbuhi oleh lamun. Kadang-kadang terlihat pola penyebaran yang berkelompok-kelompok, namun ada juga pola penyebaran yang merata tumbuh

hampir pada seluruh garis pantai landai dengan kerapatan yang sedang dan bahkan tinggi. Jenis-jenis Lamun dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Spesies lamun yang dijumpai di perairan Indonesia (Azkab., 2009)

Lamun di Indonesia di temukan 13 spesies, yang sebelumnya hanya dikenal 12 spesies. Sebagai tambahan adalah spesies Halophila beccari (Kordi., 2011). Penyebaran lamun di Indosenia mencakup perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Spesies yang dominan dan dijumpai hampir di seluruh Indonesia adalah

Thalassia hemprichi) yang dikenal

sebagai lamun duyung (dugong grass). Lamun duyung mempunyai daun berukuran panjang 5-20 cm dan lebar 4-10 mm, 4-10-17 tulang daun mebujur, serta memiliki ketebalan rhizoma 5 mm. Lamun ini tumbuh di subsrat

(10)

berpasir hingga pada pecahan karang. Sering menjadi spesies dominan pada padang lamun campuran dan melimpah.

Siput gongong (strombus sp) tergolong dalam kelas Gastropoda atau hewan yang berkaki diperut. Habitat siput gonggong umumnya adalah substrat lumpur berpasir yang banyak ditumbuhi tumbuhan bentik seperti lamun dan makro alga, mulai dari batas surut terendah hingga kedalaman ± 6 meter (Abbott., 1960 in Utami., 2012). Pemilihan habitat ini mengikuti ketersediaan makanan berupa detritus dan makro alga serta kondisi lingkungan yang terlindung dari gerakan massa air (Nybakken., 1988).

Asosiasi antara rumput laut dengan Gastropoda, famili Strombidae khususnya strombus sp, banyak ditemukan oleh para peneliti. Menurut (Amini., 1986), Strombus canarium banyak ditemukan pada substrat pasir berlumpur yang di tumbuhi rumput laut samo-samo (Enhalus accoroides) dan

Thalassia spp.

Jenis siput laut ini memiliki tingkah laku dalam beberapa fase sebagai berikut fase membenamkan diri ke dalam substrat, fase aktif mencari makan di permukaan substrat, dan fase reproduksi. Siput gonggong akan membenamkan diri ke dalam substrat pada saat pergerakan massa air.

BAB III METODE

PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Agustus 2016, yang meliputi studi literatur, survei awal lokasi, pengambilan data lapangan, analisa sampel, pengolahan data, analisa data dan penyusunan laporan hasil penelitian di Perairan Sekatap, Kelurahan Dompak, Kota

Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji.

(11)

Gambar 3 Peta lokasi penelitian

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel dibawah ini :

Tabel 2 Alat dan Bahan

3.3. Prosedur Pengambilan Data 3.3.1. Penentuan Titik Pengamatan

Penentuan titik pengamatan ditentukan menggunakan metode

random sampling dibagi atas 30 titik

sampling yang dianggap dapat mewakili daerah penelitian tersebut. Penentuan titik pengamatan berdasarkan metode systematic random

sampling (SRS), dengan melihat

panjang garis pantai yaitu lebih kurang 1 (satu) kilometer.

3.3.2. Pengamatan Siput Gonggong Pengambilan contoh siput gonggong dengan transek kuadrat yang dibuat berukuran 1m x 1m dilakukan pada saat air surut dengan kedalaman air antara 10-50 cm yang disamakan dengan metode pengamatan lamun. Kemudian untuk mengambil siput gonggong dengan menggunakan tangan secara satu persatu. Jumlah siput gonggong yang digunakan untuk dijadikan sebagai data ialah siput gonggong yang menempel pada lamun dan permukaan substrat.

3.3.3. Pengamatan Lamun

Tahap penelitian dilakukan dengan beberapa prosedur yaitu sebagai berikut:

a. Untuk penentuan lokasi dimulai dari survei terlebih dahulu tingkat kerapatan padang lamun dan komposisi jenis secara visual serta keberadaan siput gonggong di lokasi pengamatan

b. Pengamatan lamun dilakukan dengan transek yang

(12)

berukuran 1m x 1m seperti pada gambar 5.

c. Pengamatan dilakukan pada titik-titik penelitian yang telah di tentukan oleh peneliti yang dianggap mewakili daerah penelitian tersebut.

d. Jenis lamun yang terdapat pada transek kemudian diambil dan dimasukkan ke kantong plastik dan dibawa ke Laboratorium untuk diidentifikasi jenisnya.

e. Pengamatan lamun dilakukan pada saat surut dengan kedalaman air antara 10-50 cm.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Kepadatan Siput Gonggong (strombus sp.)

Untuk menghitung kepadatan siput gonggong dapat digunakan rumus (Siddik., 2011):

D =

∑ 𝑥𝑖

𝑛

Keterangan : D : Kepadatan siput gonggong (strombus sp.)

Σxi : Jumlah siput gonggong (ind)

n : Luas petak contoh (m2)

3.5.2. Kerapatan Vegetasi Lamun 3.5.2.1. Kerapatan Jenis

Kerapatan Jenis (Ki), yaitu jumlah total individu jenis lamun suatu unit area yang diukur. Kerapatan jenis lamun dihitung dengan rumus (Fachrul, 2007):

Ki =

𝑛𝑖

𝐴

Keterangan :

Ki : Kerapatan jenis ke-i ni : Jumlah total jenis ke-i

A : Luas area total pengambilan

sampel (m2)

3.5.2.2. Kerapatan Relatif

Kerapatan Relatif (KR), yaitu perbandingan antara jumlah individu jenis dan jumlah total individu seluruh jenis. Kerapatan relatif lamun dihitung dengan rumus (Fachrul., 2007):

KR =

𝑛𝑖

(13)

Keterangan :

KR : Kerapatan relatif

ni : Jumlah individu ke-i

Σn : Jumlah individu seluruh jenis

3.5.3. Hubungan Kerapatan Lamun dengan Kepadatan Strombus sp.

Untuk melihat hubungan antara jenis lamun dengan kepadatan siput gonggong digunakan analisis regresi linear sederhana. Dari hasil tersebut dapat diketahui hubungan kerapatan lamun dengan (strombus sp.) siput gonggong.

Rumus yang digunakan (Hasan., 2008):

y = a + bx

Keterangan :

y : kepadatan siput gonggong x : kerapatan lamun

a : intersep

b : koefisien regresi

Analisis data regresi linier sederhana untuk melihat hubungan antara kerapatan lamun terhadap kepadatan siput gonggong menggunakan software SPSS untuk pengolahan data statistik penelitian.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Kepadatan siput gonggong (Strombus sp.)

Siput gonggong yang ditemukan pada vegetasi lamun perairan Sekatap Kelurahan Dompak selama penelitian

dari 30 titik sampling yaitu 2 jenis,

strombus caranium dan strombus turturella. Hasil dari kepadatan dapat

dilihat dari gambar 5.

(14)

Gambar 5 Hasil kepadatan Strombus sp.

Berdasarkan hasil penelitian kepadatan strombus sp. (siput gongong) di perairan Sekatap Kelurahan Dompak untuk jenis strombus caranium yaitu 0,50 ind/m2 dan jenis strombus

turturella yaitu 0,30 ind/m2 dari 30 titik sampling seperti gambar 5 diatas. Mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Andrianto (1989) in Dinas Kelautan Perikanan Pertanian Kehutanan dan Energi (2012), kepadatan rata-rata gonggong di Pulau Dompak pada Oktober 1988 adalah sebesar 0,72 ind/m2. Artinya Kepadatan siput gongong menurun dari penelitian sebelumnya, diduga mungkin karena penangkapan siput gongong yang berlebihan dari alam.

Berdasarkan hasil penelitian kepadatan strombus caranium lebih besar dari strombus turturella itu mungkin karena pemilihan sampilng yang secara acak (random sampling)

seperti metode yang peneliti gunakan sehingga strombus caranium yang lebih banyak ditemukan pada plot kuardat selama penelitian.

4.3. Kerapatan jenis dan Kerapatan relatif Lamun Kerapatan spesies lamun adalah banyak individu tegakkan suatu spesies lamun yang ditemukan pada luasan tertentu. Hasil pengamatan lamun pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 Spesies lamun yang ditemukan yaitu; Enhalus acoroides,

Cymodocea serullata, dan Halodule uninervis. Dapat dilihat dari tabel 3.

(15)

Dari hasil penelitian komposisi jenis lamun yang paling tinggi dilokasi penelitian perairan Sekatap Kelurahan Dompak yaitu adalah jenis Enhalus

acoroides dengan persentase nilai

sebesar 54%, dapat dilihat di gambar 6. Jenis lamun Enhalus acoroides lebih mendominasi karena pada titik pengamatan memiliki substrat pasir berlumpur, sehingga sangat cocok untuk lamun jenis Enhalus accorides. Pada substrat pasir berlumpur banyak ditumbuhi lamun jenis Enhalus accoroides. (Amini., 1986 in Siddik.,

2011).

Jenis lamun Enhalus acoroides mempunyai akar kuat dan diselimuti oleh benang-benang hitam yang kaku dan rhizomanya tertanam di dalam substrat. Jenis lamun ini tumbuh di perairan dangkal dengan substrat pasir berlumpur. Spesies Enhalus acoroides tumbuh subur di daerah yang terlindung di pinggir bawah dari mintakat pasang surut dan di batas atas mintakat bawah litoral (Romimoharto,. dan Juwana,. 2009).

4.4. Parameter Kualitas Perairan 4.4.1. Suhu

Suhu adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organsme-organisme tersebut (Hutabarat., 2000). Hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada tabel 4.

Dari hasil pengukuran suhu di perairan Sekatap Kelurahan Dompak rata-rata suhu pada pagi hari yaitu 28,73 0C, pada siang hari 30,72 0C dan pada waktu sore hari 29,39 0C. Sedangkan baku mutu menurut Kepmen-LH No 51 tahun 2004 lampiran 3 tentang biota laut suhunya berkisar antara 280C - 300C. Dengan demikian kondisi suhu pada perairan

(16)

Sekatap Kelurahan Dompak masih dikategorikan normal untuk kehidupan biota laut dengan acuan Kepmen-LH No 51 tahun 2004.

Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya reproduksi (Nybakken., 1988). Menurut Dody. (2007), bahwa, siput gonggong (strombus sp.) hidup pada kisaran suhu antara 28,5-29,9 °C.

4.4.2. Salinitas

Salinitas adalah banyaknya zat yang terlarut dalam air laut. Zat yang terlarut ini meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang berasal dari organisme hidup dan gas-gas terlarut. Fraksi terbesar dari bahan terlarut terdiri dari garam-garam anorganik yang berbentuk ion-ion (Nybakken., 1992). Salinitas juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme, khususnya bagi

siput gonggong (Utami., 2012). Hasil salinitas dapat dilihat pada tabel 5.

Hasil pengukuran salinitas menunjukkan bahwa nilai salinitas pada perairan Sekatap Kelurahan Dompak berkisar antara 32,800/00 – 33,400/00. Menurut Kepmen-LH No 51 tahun 2004 lampiran 3 tentang biota laut salinitas berkisar antara 330 /00-340/00. Berarti kadar salinitas pada perairan Sekatap Kelurahan Dompak memiliki salinitas normal untuk biota laut, termasuk lamun yang berada diperairan tersebut. Menurut Dody. (2007), bahwa kadar salinitas siput gonggong berkisar antara 31,0-33,3 ‰. Salinitas adalah konsentrasi seluruh larutan garam yang diperoleh dalam air laut. Salinitas sangat berpengaruh

(17)

terhadap tekanan osmotik didalam air, semakin tinggi salinitasnya maka akan semakin besar pula tekanan osmotiknya. Biota di perairan memerlukan banyak energi dari makanannya untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan osmotik tersebut (Kordi., 2007).

4.4.3. pH (derajat keasaman)

Derajat keasaman atau (pH) digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan adapun yang dimaksudkan “keasaman” di sini adalah konsentrasi ion hydrogen (H+) dalam pelarut air. Nilai pH berkisar dari 0 hingga 14. Suatu larutan dikatakan netral apabila memiliki nilai pH =7. Nilai pH >7 menunjukkan larutan memiliki sifat basa, sedangkan nilai pH < 7 menunjukan keasaman (Effendi., 2003). Hasil penelitian pH (derajat keasaman) dapat dilihat pada tabel 6 Tabel 6 Hasil pengukuran Derajat Keasaman perairan Sekatap

Kondisi derajat keasaman (pH) dari hasil penelitian pada perairan Sekatap Kelurahan Dompak dengan rata-rata pada saat pagi hari 7,54, pada siang hari 7,74 dan pada sore hari 7,66. Dengan demikian kondisi derajat keasaman (pH) ini baik untuk kehidupan optimal biota laut. Jika mengacu pada ketetapan Kepmen-LH No 51 tahun 2004 yang menentukan bahwa nilai derajat keasaman (pH) yang optimum bagi kehidupan biota laut adalah pada kisaran 7 – 8,5.

4.4.4. DO (oksigen terlarut) Oksigen terlarut (DO) salah satu bentuk gas terlarut yang paling penting dalam sistem kehidupan perairan. Oksigen terlarut juga merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota air (Nybakken., 1988). Menurut Setyobudiandi., (2000) in Ippah.,

(18)

(2007), bahwa penurunan oksigen terlarut tidak mempunyai pengaruh yang berarti karena moluska dapat melakukan metabolisme secara anaerob. Dengan demikian nilai oksigen terlarut perairan dapat dilihat pada tabel 7.

Hasil pengukuran kandungan Oksigen terlarut (DO) diperairan Sekatap Kelurahan Dompak yaitu dengan hasil rata-rata pada waktu pagi hari adalah sebesar 7,30 mg/L, pada siang hari sebesar 7,33 mg/L dan pada sore hari sebesar 7,47 mg/L. Menurut Kepmen–LH No 51 tahun 2004 tentang biota laut kandungan Oksigen terlarut (DO) yang sesuai untuk kehidupan organisme akuatik adalah sebesar > 5

mg/L. Dengan demikian kondisi Oksigen terlarut (DO) melebihi kisaran optimal yang ditentukan sehingga layak untuk kehidupan biota laut.

Sedangkan menurut Effendi. (2003), kandungan oksigen terlarut minimal 2 mg/L sudah cukup mendukung kehidupan organisme perairan secara normal. Namun menurut Kordi. (2007), meskipun beberapa jenis organisme akuatik masih dapat hidup pada kondisi oksigen 2-3 mg/L, namun sebagian besar biota akuatik hidup baik pada kadar oksigen minimal 5 mg/L. Sastrawijaya. (2000), mengatakan bahwa kondisi Oksigen Terlarut (DO) diperairan tergantung pada suhu, fotosintesis, tingkat penetrasi cahaya, aliran air, serta jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air.

4.5. Karakteristik Subsrat

Tipe atau jeins subsrat dianalisis dengan menggunakan skala wenwort. Penentuan tipe substrat dasar perairan Sekatap Kelurahan Dompak kota Tanjungpinang dilakukan dengan pengambilan sample sebanyak 30 titik sampling. Berdasarkan hasil penelitian

(19)

tipe substrat dasar perairan Sekatap Kelurahan Dompak hampir sama 30 titik sampling, maka diambil per area dimana area I itu dipangkal wilayah area sampling, area II diambil pada tengah wilayah sampling, dan area III itu diujung wilayah area sampling. Adapun komposisi substrat pada setiap area sampling dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8 Hasil pengukuran fraksi subsrat perairan Sekatap Kelurahan Dompak

Tipe substrat pada lokasi penelitian di perairan Sekatap Kelurahan Dompak yang didapatkan dari hasil analisis laboratorium dari ukuran partikel substrat yang merupakan habitat siput

gonggong yaitu sebagian besar terdiri dari pasir berlumpur. Menurut Dody. (2007), bahwa spesies siput gonggong umumnya mendiami substrat lunak dan dapat ditemukan pada substrat yang didominasi oleh pasir hingga pasir berlumpur dan berada pada areal yang tenang dan terlindung dari gerakan arus yang kuat. Sedangkan Menurut Amini., (1986) in Dody., (2012), menyatakan bahwa siput gonggong di perairan Pulau Bintan Riau, sering ditemukan di antara tumbuhan lamun dengan substrat pasir berlumpur.

4.6. Hubungan Kerapatan Lamun dengan Kepadatan Strombus sp.

Berdasarkan uji asumsi, data dapat digunakan untuk perhitungan regresi karena asumsinya terpenuhi. Analisis regresi ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang hubungan antara Kerapatan Lamun dengan Kepadatan

strombus sp. (Siput Gonggong) dilokasi penelitian yaitu perairan Sekatap Kelurahan Dompak. Berdasarkan perhitungan statistik diperoleh nilai p-value (0,1663) < signifikan (0,05), dengan demikian

(20)

berarti persamaan regresi tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antar variabel yang diteliti.

Data hasil perhitungan regresi menunjukkan nilai R-square sebesar 0,9332 yang berarti sebesar 93,32% data yang diambil dapat menjelaskan hubungan antara Kerapatan Lamun terhadap Kepadatan Siput Gonggong. Persamaan regresi untuk kedua variabel yang diteliti yaitu kerapatan lamun dan kepadatan siput gonggong adalah y = 1,7064 - 0,1808x. Berdasarkan hasil penelitian tersebut kerapatan lamun memiliki hubungan yang negatif terhadap kepadatan Gonggong, artinya setiap kenaikan 1 kerapatan lamun akan mengurangi Kepadatan Gonggong sebesar 0,1808 individu. Kurva Regresi Linear Sederhana dapat dilihat pada gambar 11 berikut.

Hasil perhitungan regresi yang menunjukkan hubungan yang negatif

dilokasi penelitian, artinya peningkatan kerapatan lamun, justru akan mengurangi tingkat kepadatan Siput Gonggong. Hal ini disebabkan karena dilokasi penelitian yaitu perairan Sekatap Kelurahan Dompak, lamun lebih didominasi oleh jenis Enhalus

accoroides yang kurang sesuai untuk

habitat Siput Gonggong. Kepadatan siput gonggong tergolong rendah hal ini dikarenakan siput gonggong paling banyak memanfaatkan lamun jenis

Halophila spp sebagai media untuk

menempelkan telurnya pada helai daun. (Zaidi., 2009).

Kerapatan lamun yang terlalu tinggi akan menghambat aktifitas dari organisme dasar yaitu Siput Gonggong karena sistem perakaran yang rapat, sehingga tidak ada ruang yang ideal untuk pergerakan bagi siput gonggong.

Strombus urceus dan Strombus canarium merupakan jenis Gastropoda

umumnya kedua spesies ini banyak ditemukan penutupan relatif lamun kurang dari 50%, hal ini karena pada penutupan lamun yang tinggi/ padat akan menyulitkan pergerakan Gastropoda jenis ini (Syari., 2005).

(21)

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

1. Siput gonggong yang ditemukan pada lamun perairan Sekatap Kelurahan Dompak selama penelitan yaitu 2 jenis dengan jenis strombus caranium dan strombus turturella dan terdapat 3 Spesies lamun yang ditemukan pada lokasi penelitian, yaitu;

Enhalus accoroides,

Cymodocea serullata, dan Halodule uninervis. Komposisi

jenis lamun yang paling tinggi dilokasi penelitian yaitu perairan Sekatap Kelurahan Dompak berada pada jenis

Enhalus acoroides dengan persentase nilai sebesar 54%. 2. Persamaan regresi untuk kedua

variabel yang diteliti yaitu y = 1,7064 - 0,1808x. Berdasarkan hasil penelitian kerapatan lamun memiliki hubungan yang negatif terhadap

kepadatan Gonggong, artinya setiap kenaikan 1 kerapatan lamun akan mengurangi

Kepadatan Gonggong sebesar 0,1808 individu. Dengan nilai R-square sebesar 0.9332 yang berarti sebesar 93,32% data yang diambil dapat

menjelaskan hubungan antara Kerapatan Lamun terhadap Kepadatan Siput Gonggong dan sisanya 6,68% dipengaruhi oleh faktor lain.

5.2. SARAN

Diharapkan kepada peneliti selanjutnya melakukan penelitian tepat pada waktu musim siput gonggong, menurut masyarakat setempat bertepatan pada bulan April hingga Mei. Jadi hubungan lamun dengan siput gonggong diperkirakan akan tergambar lebih jelas dan perlu dilakukan penelitian terhadap faktor lingkungan lain, serta sejauh mana tingkat toleransi Siput Gonggong terhadap faktor lingkungan perairan, serta perlu dilakukan kajian untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara faktor lingkungan terhadap tingkat kepadatan Siput Gonggong.

(22)

DAFTAR

PUSTAKA

APHA, 1992. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. American Public Health Association, Washington DC, USA.

Azkab, M. H. 2000. Struktur dan Fungsi pada Komunitas Lamun. Oseana (3) 25 : 9.

Azkab, M. H. 2009. Study on seagrass community structure and biomass in the southern part of Seribu Islands. Paper presented at the First Regional Symposium of the ASEAN-Australia Coastal Living Resources Project. Manila, Philippines. 353-362.

Bengen, D. G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 61hal.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 412 hal.

Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. PT Sarana Graha. Jakarta. 135 hal.

Dody, S. 2007 Habitat dan Sebaran Spasial Siput Gonggong (Strombus turturella) di Teluk Klabat, Bangka Belitung. Prosiding Seminar Nasional Moluska dalam Penelitian, Konservasi dan Ekonomi. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta. 100 hal.

Dody, S. 2012. Pemijahan dan Perkembangan Larva Siput Gonggong (Strombus Turturella), Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta. 4 : 107-113.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). 2012. Penyusunan Rencana Zonasi Pengelolaan Kawasan Habitat Gonggong (Strombus sp.) Kota Tanjungpinang. Griya Reka Esterika. Tanjungpinang.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan Perairan. Kanisus. Yagyakarta. 258 hal.

Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. 198 hal.

Hasan, I. 2009. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Bumi Aksara. Jakarta. 220 hal.

Hutabarat, S. 2000. Productivitas Perairan dan Plankton. Telaah Terhadap Ilmu Kelautan dan Perikanan. Badan Penerbit Universitas Dipenogoro.

Ippah, I. 2007. Pola Perubahan Kepadatan dan Biomassa Populasi Simping (Placuna placenta Linn, 1758) di Perairan Kron, Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten. Skipsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautam, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(23)

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Baku Mutu Ait Laut

Untuk Biota Laut.

Kordi, G. K. 2007. Pengelola Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. PT Renika Cipta. Jakarta. 224 hal.

Kordi, G. K. 2011. Ekosistem Lamun (Seagrass). PT Rineka Cipta. Jakarta 191 hal

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 358 hal.

Nybakken, J. W. 1988. Biologi laut. suatu pendekatan ekologis. (Terjemahan dari Marine biology An ecological approach, 3 rd edition). Eidman M, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, & Sukardjo S (penerjemah). PT Gramedia. Jakarta. 443 hal.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. Suatu pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh M. eidman., D. G.. Bengen., M. Hutomo dan S. Suharjo., PT Gramedia. Jakarta. 459 hal.

Romimohtarto, K., dan Juwana. S., 2009. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang Biologi Laut. Djambatan. Jakarta. 540 hal.

Sastrawijaya, T. 2000. Pencemaran Lingkungan. PT Rineka Cipta. Jakarta. 14 hal.

Siddik, J. 2011. Sebaran Spasial dan Potensi Reproduksi Populasi Siput Gonggong (Strombus Turturela) di Teluk Klabat Bangka – Belitung. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Syari, I. A. 2005. Asosiasi Gastropoda di Ekosistem Padang Lamun Perairan Pulau Lepar Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. and Moosa, M. K. 1997. The Ecology of Indonesian Seas Part Two. Periplus Edition. 642 pp.

Utami, D. K. 2012. Studi Bioekologi Habitat Siput Gonggong (Strombus Turturella) Di Desa Bakit, Teluk Klabat, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Zaidi, C. C., Arshad A., Idris, M. H., Bujang, J. S,, Ghaffar, M. A., 2008. Sexual polymorphism in a population of Strombus canarium L at Merambong Shoal, Malaysia. Journal Zoological Studies 47 : 318– 325.

Zaidi, C. C., Arshad A., Idris, M. H., Bujang, J. S,, Ghaffar, M. A., 2009. Species Description and Distribution of Strombus (Mollusca: Strombidae) in Johor Straits and its

(24)

Surrounding Areas. Journal Sains Malaysiana 38 : 39–46.

Gambar

Tabel 1 Spesies lamun yang dijumpai  di perairan Indonesia (Azkab., 2009)
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
Gambar 6 Komposisi jenis lamun
Tabel 8 Hasil pengukuran fraksi subsrat  perairan Sekatap Kelurahan Dompak

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Ian Azhar dan Arim 2016 dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh pembiayaan jual beli, pembiayaan bagi hasil, dan ratio non performing finance terhadap

Perbedaan dari dua jenis ini adalah SIR-10 menggunakan bahan baku yaitu 85% bokar (bongkahan karet) A dan 15% bokar B, sedangkan untuk jenis SIR-20 yang memiliki

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pendidikan Ibnu Khaldun dalam perspektif sosiologi memandang pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi akal-pikiran,

Dengan melaksanakan praktek peserta didik dapat Terampil membuat job sheet sambungan plat dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan job sheet sambungan plat

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa respon struktur gedung beton bertulang berupa nilai base shear, simpangan antar lantai

- 2 orang bertugas membaca wirid sebelum iqamah salat Subuh (jadwal petugas dibuat oleh bagian Ibadah dari OPPM) dan santriwati yang lainnya wajib melaksanakan salat sunah

Bapak Safwan Yusuf mengatakan bahwa “kepengurusan ISSI selama ini belum berjalan dengan baik, salah satu faktornya adalah beliau sama sekali tidak memahami

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bibit kelapa sawit berumur 4 bulan dari PPKS dengan varietas D x P Dumpy, tanah Ultisol dari Kecamatan Galang,