• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

ANALISIS KESTABILAN LERENG BATUAN

Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat dua proses utama dalam melakukan evaluasi kestabilan lereng batuan, pada bab ini dibahas langkah kedua yang merupakan tahap analisis kestabilan lereng batuan.

Metode yang banyak digunakan untuk menganalisis kestabilan lereng adalah metode kesetimbangan batas (limit equilibrium). Metode analitis ini menggunakan konsep faktor keamanan, yaitu perbandingan antara gaya penahan dan gaya penggerak yang diperhitungkan pada bidang gelincirnya. Namun seringkali metode ini tidak efektif untuk memprediksi longsoran pada batuan dan cara penanggulangannya (Maerz, 2000). Oleh karena itu, penggunaan desain empriris dan klasifikasi massa batuan untuk melakukan analisis kestabilan lereng batuan menjadi penting (Franklin dan Maerz, 1996).

Berdasarkan hal di atas, penulis menggunakan klasifikasi massa batuan berupa rock mass rating (Bieniawski, 1984) yang kemudian diaplikasikan untuk analisis kestabilan lereng batuan dengan menggunakan klasifikasi slope mass rating (Romana, 1985).

5.1 Klasifikasi Massa Batuan dengan Sistem Rock Mass Rating (RMR)

Dalam sistem RMR, terdapat lima parameter dasar yang digunakan untuk mengklasifikasikan massa batuan dalam suatu kelas tertentu. Kelima parameter dasar tersebut dibahas secara terperinci seperti berikut ini.

5.1.1 Kuat Tekan Uniaksial Andesit

Dalam kaitannya untuk mencari parameter kekuatan batuan, penulis menggunakan metode point load. Tujuan metode ini adalah untuk mendapatkan indeks kekuatan batuan dengan beban titik terhadap andesit.

(2)

Pengujian dilakukan terhadap 20 sampel andesit yang diambil dari lereng penelitian. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan hasil pengujian dengan keakuratan yang tinggi. Dari hasil uji point load indeks kekuatan batuan sebesar 10,07 MPa (lihat Lampiran H).

5.1.2 Rock Quality Designation (RQD)

Rock quality designation pertama kali dipublikasikan oleh Deere dkk. (1967 op cit. GSEG, 1970). RQD adalah persentase yang menunjukkan perbandingan antara inti batuan utuh yang memiliki panjang lebih dari 10 cm terhadap panjang total keseluruhan inti batuan (core).

Kemudian Priest (1993 op cit. Adu dan Acheampong, 2003) memberikan persamaan yang menghubungkan frekuensi diskontinuitas ( ) dengan RQD sebagai berikut :

) 1 , 0 1 ( 100 0,1λ + λ = eRQD dan L N = λ dengan :

N adalah jumlah diskontinuitas yang memotong garis pengamatan (scan line) L adalah panjang dari garis pengamatan (scanline).

Perhitungan RQD secara rinci diberikan pada Lampiran I. Dari hasil perhitungan, dapat dikatakan bahwa massa batuan pada keseluruhan segmen memiliki persentase RQD berkisar 93 % sampai 97 %. Untuk lebih jelas, diberikan rekapitulasi hasil perhitungan RQD dari keseluruhan segmen (Tabel 5.1).

(3)

Tabel 5.1. Rekapitulasi hasil perhitungan RQD keseluruhan segmen Segmen Nilai RQD (%) 1 96,93 2 97,75 3 96,35 4 96,06 5 94,53 6 93,47 7 93,38 8 96,01 5.1.3 Spasi Diskontinuitas

Spasi rekahan adalah jarak antara dua rekahan terdekat yang saling sejajar pada arah normal atau tegak lurus bidang rekahan (Priest dan Hudson, 1976). Oleh karena itu pengukuran spasi rekahan dilakukan pada rekahan-rekahan dalam set yang sama. Jarak yang diukur selama pengamatan di lapangan masih merupakan jarak semu karena pengukuran jarak mengikuti scanline, sehingga yang diperoleh belum tentu jarak tegak lurus antar dua rekahan.

Berdasarkan uraian di atas, maka spasi rekahan sebenarnya (Si) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

θ α β cos cos cos × × × =So Si dengan

adalah sudut vertikal antara scanline dengan bidang horizontal adalah sudut horizontal antara scanline dengan arah kemiringan

adalah sudut vertikal antara garis normal rekahan dengan bidang horizontal So adalah spasi semu yaitu jarak yang diukur di lapangan

(4)

Perhitungan spasi rekahan sebenarnya (Si) dari tiap set rekahan dicantumkan pada Lampiran J.

Bieniawski (1989) tidak menjelaskan bagaimana cara menghitung spasi diskontinuitas apabila terdapat lebih dari satu set diskontinuitas pada suatu massa batuan. Namun, mengacu kepada Edelbro (2003 op cit. Palmstrom, 2005) yang intinya menyatakan bahwa apabila terdapat lebih dari satu set diskontinuitas dalam massa batuan, maka spasi diskontinuitas yang digunakan adalah spasi diskontinuitas yang memiliki nilai rata-rata terkecil.

Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat diberikan spasi diskontinuitas yang digunakan untuk perhitungan RMR terhadap keseluruhan segmen lereng pada Tabel 5.2 sebagai berikut.

Tabel 5.2. Hasil perhitungan spasi diskontinuitas pada tiap segmen lereng

Segmen Spasi diskontinuitas (meter)

1 0,289 2 0,508 3 0,217 4 0,392 5 0,136 6 0,231 7 0,153 8 0,774 5.1.4 Kondisi Diskontinuitas

Kondisi diskontinuitas merupakan salah satu parameter komplek dalam klasifikasi RMR, terdiri atas beberapa sub-parameter : (i) roughness (kekasaran); (ii) separation (bukaan); (iii) filling (material pengisi); (iv) persistence (kemenerusan); dan (v) weathering (pelapukan).

(5)

Bieniawski (1984) memberikan skala roughness (Tabel 5.3) yang dapat diaplikasikan langsung di lapangan, untuk mempermudah penilaian terhadap permukaan bidang diskontinuitas secara visual.

Tabel 5.3 Skala roughness yang digunakan dalam sistem RMR (Bieniawski, 1984)

Tingkat Roughness Permukaan Keterangan

Very rough suface

Membentuk sisi curam yang hampir vertikal dan permukaan diskontinuitas sangat bergelombang.

Rough surface

Permukaan bergelombang pada beberapa bagian, terdapat asperities, dan terasa sangat abrasif.

Slightly rough surface

Terdapat asperities, permukaan diskontinuitas terasa bergelombang jika disentuh.

Smooth suface

Tidak terdapat asperities, permukaan diskontinuitas terasa halus.

Slickensided surface

Permukaan rata dan mengkilat (polashing surface).

Hasil pengamatan secara visual terhadap kedelapan lereng penelitian menunjukkan bahwa permukaan diskontinuitas keseluruhan segmen lereng tersebut secara umum termasuk kedalam kategori slightly rough surface (lihat Foto 4.9).

Separation (bukaan) adalah jarak tegak lurus antara dua permukaan rekahan yang terbuka. Jika ruang antara rekahan tersebut tidak terisi maka disebut aperture, namun jika terisi oleh suatu material maka lebih cocok jika digunakan penamaan lebar rekahan (ISRM, 1978 op cit. Bieniawski, 1984). Selanjutnya, Bieniawski (1984) mengklasifikasikan separation (bukaan) yang digunakan dalam sistem RMR adalah seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 5.4.

(6)

Tabel 5.4 Klasifikasi aperture (bukaan) dalam sistem RMR (Bieniawski, 1984)

Kategori Bukaan Lebar Bukaan

(mm) Keterangan

Close < 0,1 Tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.

Moderately open < 1

Kedua permukaan rekahan akan bersentuhan dengan sedikit pergerakan geseran (shearing movement).

Open 1 – 5

Kedua permukaan rekahan bersentuhan setelah pergerakan geseran.

Very open > 5

Kedua permukaan rekahan tetap tidak bersentuhan setelah terjadi pergerakan geseran yang besar.

Berdasarkan hasil investigasi diskontinuitas pada tiap segmen lereng penelitian (lihat Lampiran A), dapat disimpulkan bahwa pada umumnya bukaan yang ada memiliki lebar dengan kisaran 1 – 3 mm. Oleh karena itu, berdasarkan tabel klasifikasi di atas, bukaan rekahan (aperture) tersebut masuk dalam kategori open (lihat Foto 4.9).

Lebih lanjut lagi, hasil investigasi pada Lampiran A juga menunjukkan bahwa sebagian besar rekahan yang ada telah tergantikan (replacement) oleh material oksidasi. Material oksidasi tersebut kemungkinan berasal dari hasil pelapukan batuan andesit, memiliki warna coklat terang kemerahan, material bersifat lepas (non-cohesive material), dan bersifat lunak (soft filling).

ISRM (1978 op cit. Bieniawski, 1984) membagi kelas diskontinuitas berdasarkan sifat kontinuitas dari rekahan, yaitu (i) persistent (continuous); dan (ii) not persistent (not continuous). Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa secara umum keseluruhan lereng segmen penelitian memiliki diskontinuitas yang tidak menerus dengan kisaran panjang 1 – 3 meter.

(7)

Klasifikasi derajat pelapukan untuk massa batuan diberikan pada Tabel 5.5 (ISRM, 1978). Akan tetapi, dalam klasifikasi RMR hanya menggunakan derajat I, II, III, dan IV. Derajat pelapukan V (completely weathered) dapat disetarakan dengan derajat IV (highly weathered) karena pada kedua derajat tersebut gaya gesek (frictional strength) dari permukaan diskontinuitas menjadi sangat kecil (Romana, 1985).

Tabel 5.5. Klasifikasi tahapan pelapukan pada massa batuan (ISRM, 1978)

Grade Term Decomposed rock

(%) Description

Ia Fresh - No visible weathering

Ib Fresh - Slight discoloration of walls

II Slighlty

weathered < 10 General discoloration

III Moderately

weathered 10 – 50

Part of rock is decomposed. Fresh rock is a continuum

IV Highly

weathered 50 – 90

General decomposition of rock. Some fresh rock appears

V Completely

weathered > 90

All rock is decomposed. Original structure remains

VI Residual

soil 100

All rock is converted to soil. Original structure is destroyed

Dari hasil pengamatan di lapangan, terlihat sebagian massa batuan pada lereng segmen 1 dan 2 telah mengalami pelapukan derajat III (moderately weathered), karena sebagian kecil dari massa batuan telah terdekomposisi. Sedangkan pada lereng segmen 3 sampai 8 dianggap mengalami pelapukan derajat II (slightly weathered), karena hanya mengalami perubahan warna (discoloration) pada permukaan massa batuannya saja.

5.1.5 Kondisi Airtanah

Dalam klasifikasi RMR, kondisi airtanah dapat diperkirakan dengan tiga cara : (i) menghitung kecepatan aliran air dalam terowongan; (ii) menghitung rasio tekanan

(8)

Namun apabila klasifikasi RMR diaplikasikan pada lereng batuan, informasi mengenai kondisi airtanah secara umum (general condition) dirasakan sudah mencukupi (Romana, 1985). ISRM (1978) memberikan klasifikasi kondisi airtanah yang dapat digunakan untuk aplikasi klasifikasi RMR pada lereng batuan (Tabel 5.6).

Tabel 5.6. Kondisi airtanah untuk aplikasi RMR pada lereng batuan (ISRM, 1978) Unfilled joints Filled joints

Description

Joint Flow Filling Flow

Completely dry Dry No Dry No

Damp Stained No Damp No

Wet Damp No Wet Some drips

Dripping Wet Occasional Outwash Dripping

Flowing Wet Continuous Washed Continuous

Pengamatan kondisi airtanah (general groundwater condition) dilakukan secara visual terhadap keseluruhan segmen lereng penelitian. Dari hasil pengamatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kondisi umum airtanah pada lereng segmen 1 dan 2 adalah lembab (damp), karena material pengisi rekahan dalam keadaan lembab, namun tidak terdapat rembesan pada segmen lereng tersebut. Sementara itu, lereng segmen 3 sampai 8 dianggap kering (completely dry), karena material pengisi berada dalam kondisi kering dan tidak dijumpainya rembesan pada segmen lereng tersebut.

Setelah kelima parameter dasar dari RMR dibahas, massa batuan pada setiap segmen lereng penelitian dapat dikategorikan berdasarkan klasifikasi RMR tersebut. Perhitungan klasifikasi RMR diberikan pada Lampiran K dan Tabel 5.7 merangkum hasil perhitungan RMR yang telah dilakukan.

Dari hasil perhitungan, didapatkan kisaran nilai RMR pada keseluruhan segmen lereng adalah 66 – 78. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa keseluruhan massa batuan penyusun lereng masuk dalam kelas II (good rock).

(9)

Tabel 5.7. Rekapitulasi hasil perhitungan RMR untuk setiap segmen lereng penelitian Segmen Nilai RMR 1 66 2 66 3 73 4 73 5 71 6 73 7 71 8 78

5.2 Analisis Kestabilan Lereng berdasarkan Slope Mass Rating (SMR)

Hasil analisis kinematik (lihat Tabel 4.3) dan klasifikasi RMR (lihat Tabel 5.7) yang telah dilakukan tersebut, dijadikan suatu parameter masukan dalam klasifikasi SMR yang dibahas dalam subbab berikut ini.

Jika dilihat pada Tabel 2.5 yang menjelaskan tentang perhitungan SMR dan nilai pembobotannya, tidak disebutkan secara lengkap mengenai bagaimana cara menghitung nilai SMR untuk tipe longsoran membaji (Sulistianto, 2001). Namun, Romana (1985 op cit. Sulistianto, 2001) menyatakan bahwa nilai SMR longsoran baji didapatkan dengan cara menghitung nilai SMR untuk masing-masing sistem rekahan yang terlibat.

Lokasi penelitian terletak pada area penambangan yang menggunakan metode peledakan (blasting) untuk memproduksi blok-blok batuan secara cepat dan efisien. Romana (1984) menyatakan bahwa apabila penelitian dilakukan pada daerah penambangan yang menggunakan teknik peledakan dengan tujuan efektivitas dari kuantitas produksi, maka faktor penyesuai untuk metode peledakan (F4) dapat dikategorikan dalam deficient blasting.

(10)

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, perhitungan SMR untuk setiap segmen lereng penelitian diberikan pada Lampiran L dan Tabel 5.8 berikut ini merangkum hasil perhitungan SMR yang telah dilakukan.

Tabel 5.8. Rekapitulasi hasil perhitungan SMR untuk tiap segmen lereng

Segmen Nilai SMR 1 38,00 2 58,00 3 61,25 4 61,25 5 59,25 6 58,63 7 59,25 8 62,50

Berdasarkan hasil perhitungan SMR di atas, dapat disimpulkan bahwa lereng segmen 1 merupakan lereng kelas IV (bad) dengan kondisi lereng tidak stabil. Kemudian lereng segmen 2, 5, 6, dan 7 merupakan lereng kelas III (normal) dengan kondisi lereng stabil sebagian (partially stable), sedangkan lereng segmen 3, 4, dan 8 dapat dikategorikan sebagai lereng kelas II (good) dengan kondisi lereng yang stabil.

5.3 Kajian Awal Desain Perkuatan Lereng Batuan

Banyak cara yang dapat digunakan untuk menanggulangi terjadinya longsoran pada suatu lereng batuan. Penulis menggunakan klasifikasi SMR dalam memilih jenis perkuatan yang dibutuhkan secara optimum dan efektif.

Pada umumnya, jenis-jenis perkuatan yang dapat digunakan untuk usaha stabilisasi lereng batuan dibagi menjadi enam kelas yang berbeda (Tabel 5.9).

(11)

Tabel 5.9. Kelas dan metode perkuatan yang digunakan (Romana, 1985)

Support class Support measure

No support None

Scaling

Protection

Toe dithes

Fences (at toe or in the slope) Nets (over the slope face)

Reinforcement Bolts

Anchors

Concreting

Shotcrete Dental concrete Ribs and/or beams Toe walls

Drainage Surface drainage

Deep drainage Reexcavation

Pada umumnya tidak ada perkuatan yang dibutuhkan apabila suatu lereng batuan memiliki nilai SMR melebihi 75. Di lain pihak, eskavasi total dapat dilakukan pada lereng yang memiliki tipe longsoran planar yang besar, namun eskavasi total tersebut tidak dibutuhkan pada lereng batuan yang memiliki nilai SMR di atas 30 (Romana, 1985).

Pemilihan jenis perkuatan yang sesuai harus didasarkan atas dua hal utama, yaitu tipe keruntuhan utama yang terjadi dan frekuensi dari diskontinuitas yang ada. Berdasarkan hal tersebut, Romana (1985) memberikan panduan untuk memilih jenis perkuatan yang dibutuhkan berdasarkan nilai SMR yang didapatkan (Tabel 5.10).

(12)

Tabel 5.10. Rekomendasi jenis perkuatan untuk setiap kelas SMR (Romana, 1985)

Class SMR Support

Ia 91 – 100 None

Ib 81 – 90 None or scaling

IIa 71 – 80 (None. Toe ditch or fence), spot bolting

IIb 61 – 70 Toe ditch or fence, nets, spot or systematic bolting

IIIa 51 – 60 Toe ditch and/or nets, spot or systematic bolting, spot shotcrete

IIIb 41 – 50

(Toe ditch and/or nets), systematic bolting. Anchors, systematic shotcrete

Toe wall and/or dental concrete IVa 31 – 40 Anchors, systematic shotcrete, toe wall

and/or concrete, (reexcavation) drainage IVb 21 – 30 Systematic reinforced shotcrete, toe wall

and/or concrete, reexcavation, deep drainage Va 11 – 20 Gravity or anchored wall or reexcavation

Berdasarkan Tabel 5.10 di atas, lereng segmen 1 yang memiliki nilai SMR 38,00 termasuk dalam kategori kelas IVa. Pada segmen 1 ini dapat digunakan perkuatan jenis jangkar kabel baja (anchors), beton semprot (shotcrete) secara sistematis, dan tumpuan beton (toe wall).

Kemudian pada lereng segmen 2, 5, 6, dan 7 dengan kisaran nilai SMR 58,00 sampai dengan 59,25 termasuk dalam kategori Kelas IIIa. Pada segmen ini jenis perkuatan yang digunakan dapat berupa paritan pada kaki lereng (toe ditch) dikombinasikan dengan jala kawat (nets), baut batuan (bolting) secara sistematis, dan beton semprot (shotcrete) pada beberapa bagian lereng.

Sedangkan pada lereng segmen 3, 4, dan 8 dengan kisaran nilai SMR 61,25 sampai 62,50 masuk dalam kategori Kelas IIb. Pada segmen ini, jenis perkuatan yang dibutuhkan berupa paritan pada kaki lereng (toe ditch), dikombinasikan oleh penggunaan batu batuan (bolting) pada beberapa titik lereng dengan penggunaan jala

Gambar

Tabel 5.1. Rekapitulasi hasil perhitungan RQD keseluruhan segmen Segmen Nilai RQD (%) 1 96,93 2 97,75 3 96,35 4 96,06 5 94,53 6 93,47 7 93,38 8 96,01 5.1.3 Spasi Diskontinuitas
Tabel 5.2. Hasil perhitungan spasi diskontinuitas pada tiap segmen lereng Segmen Spasi diskontinuitas (meter)
Tabel 5.3 Skala roughness yang digunakan dalam sistem RMR (Bieniawski, 1984)
Tabel 5.4 Klasifikasi aperture (bukaan) dalam sistem RMR (Bieniawski, 1984) Kategori Bukaan Lebar Bukaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menerapkan metode pembelajaran yang terintegrasi dengan teknologi komputer (seperti SPC) akan memberikan suatu model yang berbasis unjuk kerja, hal ini

Sistem manajemen lingkungan dan sosial (ESMS) membantu penerima hibah untuk mengintegrasikan aturan dan tujuan dalam operasi proyek, melalui serangkaian proses yang

Pekerjaan meliputi: memberikan bantuan pengelolaan program secara keseluruhan; koordinasi kegiatan program; menciptakan sinergi di antara semua pemangku kepentingan;

Sedangkan upaya sekolah yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam kegiatan tidak terprogram (kegiatan rutin, kegiatan spontan, kegiatan keteladanan) yaitu; (a)

Dijangka tidak menghasilkan kesan buruk yang bererti apabila arahan penggunaan yang disarankan dipatuhi.. Penyedutan,

Adapun judul dari Laporan Tugas Akhir yang penulis sajikan adalah “Pengembangan Algoritma Penjadwalan Siklus Batch Produksi Crumb Rubber (SIR) Untuk Meningkatkan

Sistem informasi perpustakaan sekarang ini sangatlah penting untuk sekolah, instansi maupun pihak lainnya, dengan menggunakan sistem informasi perpustakaan, proses peminjaman,

Institut Keguruan Dan Teknologi Larantuka Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia S1 2 Institut Keguruan Dan Teknologi Larantuka Pendidikan Bahasa Inggris S1 2 Institut Keguruan