10 2.1. Pertanian dan Pembangunan Ekonomi
Suparmoko (2002;99) mengungkapkan bahwa tujuan pembangunan ekonomi pada umumnya adalah peningkatan pendapatan perkapita serta adanya pemerataan dalam penghasilan dan kesempatan berusaha. Lebih lanjut diungkapkan bahwa strategi pengembangan diarahkan pada tujuan dan sasaran pembangunan dengan mempertimbangkan kemampuan dan kekurangan yang ada.Hal ini dapat dilakukan dengan melaksanakan inventarisasi kekayaan (asset) daerah termasuk sumber daya alam dan lingkungan hidup daerah tersebut.
Salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu wilayah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).PDRB merupakan total nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu wilayah dalam suatu periode tertentu. Nilai tambah tersebut dihasilkan baik oleh faktor-faktor produksi dalam negeri maupun faktor-faktor produksi luar negeri yang digunakan di wilayah tersebut.
Suparmoko (2002; 203-209) menyimpulkan bahwa otonomi daerah mengandung arti merencanakan dan melaksanakan sendiri apa yang menjadi kepentingan masyarakat daerah tersebut. Hal tersebut sangat memungkinkan untuk memberikan kesejahteraan yang lebih tinggi kepada warga masyarakat daerah tersebut. Lebih lanjut disimpulkan bahwa ekonomi kerakyatan yang berbasis pertanian akan dapat menopang pelaksanaan otonomi daerah karena
sebagian besar rakyat adalah petani. Di samping sektor pertanian memiliki pasar yang luas dan merupakan sektor substitusi impor yang pasarnya sudah tersedia.
Sektor pertanian merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam suatu wilayah.Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, diantaranya sektor pertanian merupakan pemasok bahan pangan, pemasok bahan baku, sumber pendapatan nasional, penyedia lapangan pekerjaan, sumber investasi sekaligus sebagai sumber penghasil devisa.
Dalam Berita Resmi Statistik (BRS) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Februari 2016, secara nasional, sektor pertanian memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian. Pada tahun 2016 kontribusi sektor pertanian mencapai 13,45 persen dari total PDB Indonesia, merupakan yang terbesar kedua setalah sektor industri yang mencapai 20,51 persen. Dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2016 sebesar 5,02 persen, sektor pertanian mampu menyumbang sebesar 0,42 persen.
Sementara itu di Provinsi Bali, meski perekonomiannya ditopang oleh sektor pariwisata, ternyata kontribusi sektor pertanian mencapai 14,74 persen terhadap total ekonomi Bali. Angka ini merupakan kontribusi yang terbesar kedua setelah sektor akomodasi yang mampu berkontribusi sebesar 22,82 persen terhadap pembentukan nilai tambah di Provinsi Bali. Dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2016 sebesar 6,24 persen, sektor pertanian mampu memberikan kontribusi sebesar 0,45 persen. (BPS, 2016)
Sugiarto (2008) menyatakan bahwa sektor pertanian telah terbukti berhasil dalam menghadapi masa krisis ekonomi terutama dalam hal penyediaan
kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai, dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi.Hal ini menjadi pertimbangan utama perlu dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian dalam memperluas lapangan kerja, menurunkan angka kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih luas. Meskipun selama dekade terakhir kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan nilai tambah baik secara nasional maupun regional di Provinsi Bali terus menurun, sektor ini masih merupakan “penampung” tenaga kerja terutama di wilayah perdesaan.
2.2. Kesejahteraan Petani
Sunarti (2006) mengatakan bahwa kesejahteraan keluarga petani merupakan tujuan pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Merupakan perjuangan setiap keluarga untuk mencapai kesejahteraan anggota keluarganya. Secara sederhana keluarga petani dikatakan sejahtera manakala dapat memenuhi kebutuhan dasar anggotanya. Namun jika merujuk UU No 10 Tahun 1992 (UU tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera), keluarga sejahtera dimaknai secara luas yaitu: ” keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual, dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan”. Mengingat luas dan lebarnya rentang kualitas kebutuhan dasar individu dan keluarga, maka dalam definisi operasionalnya, kesejahteraan
seringkali direduksi menjadi sebatas terpenuhinya kebutuhan fisik dasar minimal seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Pengukurannyapun seringkali hanya dilakukan secara objektif, padahal kesejahteraan menyangkut aspek persepsi individu atau keluarga terhadap kondisi pemenuhan kebutuhan pokoknya. Oleh karenanya sekarang dikembangkan pengukuran kesejahteaan keluarga dengan menggunakan dua dimensi; objektif dan subjektif. Hal tersebut didukung fakta di lapangan bahwa antara kesejahteraan objektif dan subjektif seringkali tidak searah. Individu atau keluarga yang menurut pengukuran objektif telah sejahtera belum tentu secara subjektif telah merasa demikian, dan sebaliknya.Dalam perkembangan lebih lanjut kesejaheteraan lebih sering direpresentasikan dari besaran pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seperti sandang, pangan, papan, kesehatan pendidikan dan berbaai kebutuhan fisik lainnya.
Pembangunan sektor pertanian merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pembangunan ekonomi.Pembahasan mengenai pembangunan sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai tingkat kesejahteraan petani.Tingkat kesejahteraan petani berkaitan erat dengan dengan pendapatan yang diterima petani dan tingkat pengeluarannya baik untuk memenuhi konsumsi rumah tangganya maupun pengeluaran untuk biaya produksinya.
Peningkatan kesejahteraan petani merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh dalam hal pengentasan kemiskinan mengingat sebagian besar penduduk miskin bekerja di sektor pertanian.Salah satu faktor penyebab besarnya angka
kemiskinan adalah rendahnya pendapatan yang diterima sebagai akibat rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja dengan upah riil yang diterima juga rendah. Disamping itu kurang berkembangnya kesempatan kerja danrendahnya produktivitas kerja disektor ekonomi pedesaan yang mengakibatkan mengalirnya tenaga kerja usia muda terdidik ke wilayah perkotaan (Spare and Haris, 1986; Manning 1992). Salah satu penyebab lambannya peningkatan produktivitas tenaga kerja adalah lambannya peningkatan upah riil buruh pertanian (Manning dan Jayasura,1996) atau mengalami stagnasi, sementara upah riil non tani mengalami penurunannya (Erwidodo dkk, 1993).
Sugiarto (2008) mengatakan bahwa sebagian besar rumah tangga petani mempunyai kemampuan mengalokasikan pendapatan terhadap total pengeluaran/ konsumsi yang berbeda.Oleh karena itu, untuk meningkatkan kesejahteraan petani diperlukan kebijakan untuk meningkatkan pendapatan melalui berbagai aspek yang menunjang peningkatan sektor pertanian dan non pertanian. Disamping itu diperlukan kebijakan harga komoditas pertanian yang layak diterima petani dengan pengembangan usaha pertanian yang berkelanjutan, serta didorong oleh iklim usaha di luar pertanian yang lebih kondusif, sehingga dapat diperoleh manfaat bagi rumahtangga petani sebagai penyedia tenaga kerja, aset lahan dan modal yang terbatas.
Dalam perkembangannya, kesejahteraan petani sering kali terabaikan.Apalagi ditunjang dengan perkembangan sektor ekonomi lainnya yang kecepatannya jauh lebih cepat dibanding sektor pertanian, sehingga menyebabkan banyak terjadi alih fungsi lahan dan mengakibatkan munculnya banyak petani
gurem.Karena itu diperlukan revitalisasi sektor pertanian sebagai bagian dari upaya penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran, peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah, kemandirian dan distribusi serta pelestarian lingkungan hidup.
2.3. Nilai Tukar Petani (NTP)
Salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP).Indikator ini merupakanperbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib) yang dinyatakan dalam persentase. Secara konsep NTP menyatakan tingkat kemampuan tukar atas barang‐barang (produk) yang dihasilkan petani di pedesaan terhadap barang/jasa yang dibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam proses produksi pertanian.(BPS, 2016).
Menurut Simatupang, et al, 2007, bahwa penanda kesejahteraan yang unik bagi rumahtangga tani praktis tidak ada, sehingga NTP menjadi pilihan satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian.
NTP dimanfaatkan untuk mengukur kemampuan tukar (term of trade) produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam berproduksi dan konsumsi rumah tangga, dapat digunakan untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan tingkat pendapatan petani dari waktu ke waktu yang dapat dipakai sebagai dasar kebijakan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani. Selain itu menunjukkan tingkat daya saing (competiveness) produk pertanian dibandingkan dengan produk lain.
Rumus:
It : Indeks harga yang diterima petani Ib : Indeks harga yang dibayar petani NTP : Nilai Tukar Petani
Menurut BPS, nilai NTP lebih dari 100 diinterpretasikan petani mengalami surplus. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya; dengan demikian tingkat kesejahteraan petani lebih baik dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya. Nilai NTPsama dengan 100, diinterpretasikan petani mengalami impas/break even dengan kata lain tingkat kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan.Nilai NTPkurang dari100, berarti petani mengalami
defisit.Tingkat kesejahteraan petani pada suatu
periodemengalamipenurunandibanding tingkat kesejahteraan petani pada periode sebelumnya.
2.4. Pendapatan Petani
Dalam pengertian umum pendapatan merupakan hasil pencaharian usaha.Budiono (1992) mengemukakan bahwa pendapatan adalah hasil dari penjualan faktor-faktor produksi yang dimilikinya kepada sektor produksi.Sedangkan menurut Winardi (1992) pendapatan hasil berupa uang atau materi lainnya yang dapat dicapai dari penggunaan faktor-faktor produksi.
Arsyad (2004) mengemukakan pendapatan seringkali digunakan sebagai indikator pembangunan suatu negara selain untuk membedakan tingkat kemajuan ekonomi antara negara maju dengan negara berkembang.
Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan seseorang atau masyarakat, sehingga pendapatan masyarakat ini mencerminkan kemajuan ekonomi suatu masyarakat. Menurut Sukirno (2000), pendapatan individu merupakan pendapatan yang diterima seluruh rumah tangga dalam perekonomian dari pembayaran atas penggunaan faktor-faktor produksi yang dimilikinya dan dari sumber lain. Menurut Sukirno (2006) pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh penduduk atas prestasi kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan maupun tahunan. Kegiatan usaha pada akhirnya akan memperoleh pendapatan berupa nilai uang yang diterima dari penjualan produk yang dikurangi biaya yang telah dikeluarkan.
Soekartawi (2002: 3) menyatakan penerimaan adalah hasil kali antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Mubyarto (1995); Pangandaheng (2012), menyatakan pendapatan merupakan penerimaan yang dikurangi dengan biaya–biaya yang dikeluarkan.Pendapatan seseorang pada dasarnya tergantung dari pekerjaan dibidang jasa atau produksi, serta waktu jam kerja yang dicurahkan, tingkat pendapatan perjam yang diterima.
Mubyarto (1995), menyatakan bahwa pendapatan petani merupakan penerimaan yang dikurangi dengan biaya - biaya yang dikeluarkan dalam usaha tani dan pemasaran hasil pertanian. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
pendapatan petani padi sawah diantaranya adalah luas lahan, pendidikan formal dan kompetensi petani.
2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Petani
Struktur pendapatan petani umumnya dibagi menjadi dua kelompok yaitu pendapatan dari sektor pertanian dan pendapatan dari sektor non pertanian.Sumber pendapatan di sektor pertanian merupakan kontribusi dari pendapatan usaha pertanian (usaha tani sawah/tegal, kebun, pekarangan, usaha ternak) dan diluar usaha pertanian seperti berburuh tani. Pendapatan di luar pertanian terdiri dari usaha non pertanian (dagang, industri, angkutan dan jasa), pegawai negeri/TNI, buruh non pertanian dan pendapatan dari sumber lain seperti sumbangan, penyewaan asset dan lainnya (Sugiarto, 2008).
Luas lahan yang dikuasai akan berpengaruh positif pada tingkat produksi padi sawah (Mubyarto, 1986). Semakin tinggi luas lahan pertanian yang dikuasai maka akan semakin besar pula tingkat produksinya. Di sisi lain harga jual produksi padi sawah juga berpengaruh signifikan terhadap jumlah produksi. Jika harga jual produksi meningkat maka petani akan berusaha meningkatkan jumlah produksinya. Ketiga variable tersebut yaitu luas lahan, harga jual produksi dan jumlah produksi berpengaruh signifikan terhadap pendapatan petani padi sawah (Pahlevi, 2013).
Zikrina dkk(2011) dalam jurnal berjudul Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Petani Padi Organik Di Kabupaten Serdang Bedagai menyimpulkan bahwa produktivitas padi organik, harga urin sapi, dan upah tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani padi organik.
Sedangkan harga bibit, harga pupuk kandang, harga pestisida organik, dan biaya pemasaran tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani padi organik.
Fatmawati M Lumintang (2013) dalam jurnal Analisis Pendapatan Petani Padi Di Desa Teep Kecamatan Langowan Timur mengatakan besar kecilnya pendapatan usahatani padi sawah yang diterima oleh penduduk di desa di pengaruhi oleh penerimaan dan biaya produksi. Jika produksi dan harga jual padi sawah semakin tinggi maka akan meningkatkan penerimaan. Apabila biaya produksi lebih tinggi dari penerimaan maka akan menyebabkan kerugian usaha tani.
Thohir Basuki (2008) meneliti ada empat variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap penerapan benih padi hibrida di Kecamatan Cibuaya yaitu luas lahan, status lahan, rasio pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan total, dan umur. Semakin luas lahan yang digarap maka kemungkinan petani untuk mengadopsi benih padi hibrida juga semakin tinggi.Petani penggarap bukan pemilik tanah ternyata mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk menggunakan benih padi hibrida.Semakin tinggi rasio pendapatan usahatani padi terhadap pendapatan total, semakin kecil kemungkinan petani untuk menggunakan benih padi hibrida.Semakin tua petani maka kemungkinan petani untuk menanam padi hibrida semakin kecil.
Susianti dan Rustam Abdul Rauf (2013) dalam jurnal yang berjudul Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Jagung Manis (Studi Kasus: di Desa Sidera Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten
Sigi)menyimpulkan bahwa secara simultan, luas lahan, harga benih, harga pupuk, harga pestisida, upah tenaga kerja, umur petani, pendidikan petani dan harga output berpengaruh nyata terhadap pendapatan usaha tani jagung manis.
Christofel Denhas Nababan (2008) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa biaya pupuk berpengaruh negatif terhadap pendapatan petani jagung. Setiap kenaikan biaya pupuk sebesar 1 persen maka pendapatan petani jagung berkurang sebesar 0,06 persen, ceteris paribus. Tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pendapatan petani jagung. Setiap kenaikan jumlah tenaga kerja sebesar 1 persen maka pendapatan petani jagung bertambah 0,31 persen, ceteris paribus. Luas lahan berpengaruh positif terhadap pendapatan petani jagung. Kenaikan luas lahan sebesar1 persen akan mengakibatkan kenaikan pendapatan petani jagung sebesar 0,60 persen, ceteris paribus.
Suprayitno (2015) menyimpulkan bahwa benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan hasil produksi, secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan usahatani di Desa Genjor Kecamatan Sugihwaras terbukti secara statistik. Hasil pengujian secara parsial, semua variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikat diantara seluruh variabel-variabel bebas, hanya variabel hasil produksi saja yang berpengaruh signifikan terhadap pendapatan usahatani di Desa Genjor Kecamatan Sugihwaras Kabupaten Bojonegoro.
Hasil penelitian Agus Dwi Nugroho dkk (2015) menunjukkan produksi petani kedelai dipengaruhi oleh variabel luas lahan dan jumlah pupuk urea sedangkan variabel jumlah bibit serta jumlah pupuk kandang dan Phonska tidak berpengaruh terhadap produksi kedelai. Untuk variabel pendapatan petani kedelai
dipengaruhi oleh harga produk, harga pupuk TSP, harga pestisida dan harga tenaga kerja sedangkan harga pupuk Phonska tidak berpengaruh.Untuk pengembangan produksi maka petani dapat melaksanakan peningkatan luas tanam dan peningkatan penggunaan pupuk urea.Sedangkan dalam rangka peningkatan pendapatan petani kedelai maka pemerintah perlu memberikan insentif harga kedelai yang tinggi serta memberikan bantuan saprodi untuk mengurangi biaya produksi.
Berdasarkan hasil penelitian Dewi Sahara dkk (2004) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat keuntungan usahatani kakao secara nyata adalah luas areal dan harga pupuk. Keuntungan maksimal akan diperoleh petani dengan memperluas areal pertanaman dan meningkatkan penggunaan pupuk sampai batas rekomendasi dosis pemupukan. Disamping perluasan areal pertanaman, keuntungan masih dapat ditingkatkan dengan penambahan pupuk sesuai dengan acuan rekomendasi, artinya walau terdapat peningkatan biaya pupuk namun produksi yang dicapai akan optimal sehingga keuntungan akan meningkat.
Berdasarkan penelitian Eniza Saleh dkk (2006) diperoleh bahwa skala usaha (jumlah ternak sapi), motivasi beternak berpengaruh sangat nyata terhadap pendapatan peternak sapi potong. Sedangkan umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, jumlah tanggungan keluarga dan jumlah tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan peternak sapi potong.
Hasil penelitian Sujarno (2008) menunjukkan bahwa modal kerja, tenaga, pengalaman dan jarak tempuh melaut secara bersama-sama mempengaruhi
pemdapatan nelayan di Kabupaten Langkat.Dari 4 faktor tersebut ternyata modal kerja memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan faktor tenaga kerja, pengalaman melaut dan jarak tempuh. Karena itu disarankan untuk membuka akses mendapatkan modal kerja dengan cara bekerjasama dengan koperasi atau lembaga keuangan baik bank maupun non bank.
Hasil penelitian Heryansyah dkk(2013) menunjukkan bahwa modal, jumlah nelayan, jarak tempuh dan ukuran kapal berpengaruh signifikan terhadap produksi nelayan, sedangkan pendidikan berpengaruh tidak signifikan terhadap produksi nelayan di Kabupaten Aceh Timur.Untuk mendorong peningkatan produksi nelayan, pemerintah daerah perlu mencari solusi untuk mendapatkan modal kerja dan bantuan armada tangkap yang lebih besar agar dapat meningkatkan hasil tangkapannya (produksi) guna kesejahteraan nelayan.
2.6. Penelitian Sebelumnya
Hasil penelitian Joni Arman Damanik (2014) menyimpulkan bahwa variabel luas lahan dan variabel biaya produksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan petani padi.Sedangkan variabel jumlah tenaga kerja memiliki pengaruh tetapi tidak signifikan terhadap pendapatan petani padi di Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen.Saran yang berkaitan dalam hasil penelitian ini yaitu hendaknya para petani padi dapat meningkatkan produktivitasnya dengan memanfaatkan segala faktor-faktor produksi yang dimilikinya secara efisien. Hendaknya pengelolaan tanaman padi dilaksanakan lebih baik lagi dengan cara melakukan pergantian tanaman pada lahan agar kesuburan lahan tetap terjaga dan menyediakan lumbung padi pasca panen.
Penelitian Dedi Muttakin dkk (2014) yang dituangkan dalam jurnal berjudul Faktor-faktor Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Tani Kelapa Sawit Pola Swadaya di Desa Kepau jaya Kabupaten Kampar diperoleh hasil bahwa secara simultan seluruh faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendapatan, sedangkan secara parsial yang berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan hanyalah variable umur tanaman, biaya pupuk, biaya tenaga kerja, biaya peralatan, biaya transportasi dan jumlah produksi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya sebagaimana diuraikan di atas adalah pada penelitian ini dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani di masing-masing sub sektor pertanian di Provinsi Bali. Untuk sub sektor tanaman pangan, variabel yang dianalisis meliputi luas panen, produksi, bibit, pupuk/pestisida, upah pekerja, biaya jasa pertanian dan biaya lainnya. Untuk sub sektor hortikultura, variabel yang dianalisis meliputi luas panen, produksi, bibit, pupuk/pestisida, upah pekerja, biaya jasa pertanian dan biaya lainnya. Untuk sub sektor perkebunan, variabel yang dianalisis meliputi luas panen, produksi, bibit, pupuk/pestisida, upah pekerja, biaya jasa pertanian dan biaya lainnya. Untuk sub sektor peternakan variabel yang dianalisis meliputi jumlah ternak, produksi, pakan, obat-obatan, BBM/listrik/air, upah pekerja, biaya jasa peternakan dan biaya lainnya. Untuk sub sektor perikanan budidaya, variabel yang diteliti meliputi luas baku, produksi, bibit/benih, pupuk/pakan, upah pekerja, biaya jasa perikanan dan biaya lainnya. Sedangkan untuk sub sektor perikanan tangkap, variabel yang dianalisis adalah produksi, upah pekerja, bahan bakar, biaya jasa
penangkapan dan biaya jasa lainnya. Tehnik analisis yang digunakan adalah dalam penelitian ini adalah analisis faktor yang bertujuan untuk mengelompokkan beberapa variabel yang memiliki kemiripan untuk dijadikan satu faktor.