TESIS
AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’
Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas
Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara
Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Disusun oleh :
oleh : NOVELINA LAHEBA
NIM : 076322008
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
ii
Persetujuan Pembimbing
TESIS
AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’
Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara
Oleh : Novelina Laheba
076322008
Telah disetujui oleh :
Dr. Budiawan
(Pembimbing I) __________________________
12 Januari 2010
Dr. Albertus Budi Susanto, S.J.
(Pembimbing II) ___________________________
iii Pengesahan
TESIS
AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’
Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara
Oleh : Novelina Laheba
076322008
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji tesis pada tanggal 8 Februari 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Tim Penguji :
Ketua/Moderator : Dr. G. Budi Subanar, S.J. ………
Anggota : 1. Dr. Budiawan ………
2. Dr. Albertus Budi Susanto, S.J. ………
3. Prof. Dr. P.M. Laksono ………
Jogjakarta 15 Februari 2010 Direktur Program Paska Sarjana
iv
Lembar Pernyataan
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Novelina Laheba, NIM : 076322008, dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis oleh orang lain lecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Yogyakarta, 12 Januari 2010
v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Novelina Laheba
Nomor Mahasiswa :076322008
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’
SUATU KAJIAN IDENTITAS KEBANGSAAN MASYARAKAT PULAU MIANGAS, KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD, SULAWESI UTARA
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan rolyalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 27 Februari 2010 Yang menyatakan
vi Kata Pengantar
Sampai saat ini saya masih sering membayang-bayangkan pantai pasir putih dan langit senja yang merah Miangas. Berada untuk beberapa waktu lamanya di Miangas adalah pengalaman terbaik dari sebuah keputusan ‘nekat’. Penelitian ini membuat sebagai orang “SATAS” diaspora saya menemukan diri saya pun kerab merasa sebagai “the Other” di tempat-tempat saya pernah menetap untuk beberapa lama. Suatu perasaan “tidak memilikihomeland, tidak “berakar” disuatu tempat, dan tidak dimiliki oleh “siapapun”. Saya akan selalu merindukan Miangas, karena perjalanan menuju kesana yang luar biasa, dan bertemu dengan orang-orang yang luar biasa, juga mengalami hal-hal yang luar biasa.
Setelah semua yang saya alami demi menggeluti identitas kebangsaam Miangas, di sini saya hendak berterima kasih kepadaPak Camat Septno Lantaa beserta Ibuyang sekarang telah bertugas di Lirung. KepadaSandradanBetyteman-teman yang dengannya saya menghabiskan banyak waktu untuk bercerita dan berkeluh kesah. Kepada Mama, Papa Akang, Emi si perempuan laut yang ‘perkasa’ danRudolfosertaAdrian. “Terima kasih so temani dan urus pa kita selama di Kakorotan”. Kepada Mama’ Wilhelmina Poeleo, “Kita sayang Mama’!”. Tak mungkin saya lewatkan ucapan terimakasih kepada DANPOSAL, Lettu Laut Handoyobeserta anggotanya yang membiarkan POSAL jadi tempat saya numpang nonton TV dan sesekali makan siang. Banyak terima kasih kepada banyak orang yang telah membantu saya selama di Miangas, termasukSersan Ranie Sanchezyang dengannya saya mendiskusikan banyak hal di dego-dego belakang kantor BCA RP Team.
vii
ide-ide baru ketika saya merasa sudah“mentok”. “Sebuah pengalaman berharga dibimbing oleh Bapak”. Terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Romo Budi Susanto, S.J.yang kadang saya repotkan dengan pertanyaan ini dan itu di saat sedang sibuk. Sangat disayangkan terlalu singkat dan terbatas jadwal konsultasi dengan Romo, dan itu karena keterbatasan saya. Ketelitian dan kejelian khas antropolog Romo membuat saya bisa melihat persoalan mendasar Miangas dari sudut pandang lain. Ucapan terima kasih yang sangat dalam saya sampaikan kepadaProf. Dr. P.M. Laksono, yang sedemikian rinci dan teliti membaca tesis saya lembar demi lembar dan memberikan komentar-komentar berharga. Itu amat sangat berarti buat saya.
Kepada para dosen IRB, Pak Nardi, Romo Banar, Romo Bas, Bu Kathtrin, Romo Hary, Pak George, dan Romo Moko, saya mengucapkan banyak terimakasih karena suasana akademis dan juga relasi dosen dan mahasiswa yang sangat kondusif bagi mahasiswanya untuk mengeksplorasi banyak hal selama masa perkuliahan. Saya pasti akan selalu merindukan suasana itu. “Hanya IRB yang bisa begitu!”. Tidak terlupakan juga Mbak Hengky, Lia di perpustakaan, danMas Mul. Kebaikan hati mereka dalam melakukan tugas-tugasnya membuat saya sangat terbantu.
viii
memiliki waktu yang sangat terbatas di Jogjakarta. Saya sampaikan terima kasih yang tak terhingga juga kepada harian KOMPAS, yang telah membantu membiayai penelitian ke Miangas. Bantuan itu sangat berarti.
Dengan segenap cinta, terima kasih kepada Mami “Oma” Lenny, Tune, Arci’, Akang, Arnun, dan Moma. Sangat patut disyukuri apa yang Tuhan perkenankan kita alami dalam kehidupan keluarga kita, dan cara kita menerimanya. KepadaYoram Alfi Lukas, suami terkasih, kesabarannya membuat hari-hari yang berat di Jakarta, Bandung dan Jogja bisa dijalani dengan lebih tenang. Ponakan-ponakanku yang membuat hidup jadi ceria,Elmori, Nancy, dan Ruben. PonakankuAbangTimothyyang sering disibukkan dengan pesanan-pesanan tiket untukAmbok dan mengantar kesana-kemari karena tesis ini, dan Adek Theo yang sedang belajar “menjadi dewasa” di kampus Theology. Papi, Lukas Laheba (yang sudah bersama Tuhan di surga), aku mengenali Papi dengan cara mengenali jiwa petualangan dan kecintaan akan laut dalam diriku, yang sudah pasti terwariskan dari jiwa seorang pealut yang selalu ada dalam dirimu.
ix
ABSTRAK
Miangas merupakan pulau terdepan utara Indonesia. Pulau ini masuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud. Sebagai pulau terpencil yang jauh dari kota-kota di kabupaten, provinsi maupun negara, Miangas sangat terisolasi dan tertinggal. Realitas ini terjadi sebagai akibat dari reproduksi nalar kolonial yang berlangsung jauh setelah dekolonisasi Hindia Belanda. Sebagai bagian dari gugusan pulau-pulau Nusa Utara, Miangas merupakan suatu wilayah berkarakter maritim yang oleh kebijakan pembangunan yang berorientasi ke daratan, yang sudah berlangsung sejak masa kolonial menjadi pulau yang senantiasa terpuruk.
Ada ambivalensi di Miangas. Hasrat dan permusuhan terhadap “Mindanao”, Filipina Selatan yang ada dalam imajinasi mereka, juga hasrat dan resistensi terhadap Indonesia, negara tempat Miangas menjadi bagian sahnya. Hal ini membuat Miangas menjadi ruang liminal, tempat hasrat dan resistensi berlangsung secara terus-menerus. Dalam ruang liminal ini, masyarakat Miangas ada sebagaiin-between citizenship, warga negara “antara”.
x
C. Tujuan dan Relevansi Penulisan 6
D. Tinjauan Pustaka 7
E. Kerangka Konseptual 11
F. Metodologi Penelitian 17
F.1 Prosedur, Jenis Data dan Responden 20
F.2 Strategi Pengolahan Data 23
G. Sistematika Tesis 23
Bab II. Dari Positivisme Hingga Nativisme, Reproduksi Nalar Kolonial dan Marjinalisasi Miangas
28
A. Pemerintahan Nusa Utara Pra-Kolonial 29
A.1 Masuknya Bangsa-bangsa Eropa 32
A.2 Memperebutkan Miangas 33
A.3 Kepulauan Yang Masih Terpuruk 35
A.4 Hubungan Dengan Filipina Hingga Kini 36
B. Manifestasi Nalar Kolonial di Negeri Jajahan 38
B.1 Nusa Utara di Ruang ‘Baru’ Bernama Indonesia 43
B.2 Pencaharian Indentitas 46
C. Sangihe-Talaud Pada Masa Orde Baru 49
C.1 Keindonesiaan yang Esensialis 54
C.2 “Lenyapnya” Sangihe-Talaud dan Lahirnya Kabupaten Kepulauan Talaud
56
C.3 Yang Berada di Garis Terdepan 61
D. Etnik Sangihe dan Talaud dan Bangsa Moro 62
E. Catatan Penutup 65
Bab III Di Antara Pantai dan Palma: Imajinasi Kebangsaan dan Loyalitas yang Dapat Dinegosiasikan
xi
A. Perkenalan Pertama Dengan Talaud 67
A.1 Kampung Kecil di Laut Lepas 75
A.2 Palma dan Laluga 79
Bab IV Ambivalensi Hasrat dan Resistensi Terhadap Negara 111
A. Kantor-kantor Pemerintah yang Kosong 113
B. Ketidakseimbangan Produksi dan Konsumsi 119
C. Tugu: Komunikasi Politik dan Reproduksi Identitas 121
D. Kontestasi Ruang, Kultur, dan Imajinasi 127
E. ‘Berpartisipasi’ Dalam Pilcaleg 128
F. Resistensi Terhadap Negara 130
G. ‘Gerbang’ dan ‘Pos Ronda’ Negara H. Sikap yang Ambivalen
134 137
BAB V Kontestasi Tiga Institusi 143
A. Gereja dan Klaim Atas Jatidiri Talaud 143
B. Gereja Dalam Bayang-bayang Kekuasaan Negara 145
C. Geliat Adat Dalam Ruang Sosial Warga 157
xii
Penjelasan Istilah
Dego-dego Bale-bale yang terletak di halaman atau teras rumah Depe Kata ganti milik (orang kedua )
Torang Kami
Kita Aku atau Saya
Nyanda (k) Tidak
Cupa Satu cupa sama dengan sebanyak satu kalens susu kental manis 380 ml. Biasanyan masyarakat menggunakan bekas kaleng susu kental manis untuk beras, cengkeh, sagu, dan sejenis itu.
Ratumbanua Kepala Adat di Talaud. Di Miangas Ratumbanua disebut juga Mangkubumi I
Manami Ritual tahunan menangkap ikan secara tradisional di Miangas. Di Kakorotan disebut Manee
BCA Border Cross Agreement, suatu area khusus dengan kebijakan khusus yang dibentuk atas kerjasama Filipina dan Indonesia. Pimpinan tertinggi dalam struktur BCA Miangas dipegang oleh Panglima Derah Militer (Pangdam)
POSAL Pos Angkatan Laut POSAD Pos Angkatan Darat
Mister Sebutan orang Miangas untuk petugas Kantor BCA Republic of Philipines
Talaud Besar Pulau karakelang dan sekitarnya Sangir Besar Pulau terbesar di kepulauan Sangir
Orang Nanusa Sebutan orang Miangas untuk orang-orang dan wilayah di kepulauan Dampulis, Marampit, Kakorotan, Intata, Malok, Garat, dan Karatung yang secara adminsitratif pemerintahan disebut kecamatan Nanusa, ibu kota kecamatannya Karatung.
Mangail Aktivitas mencari ikan dengan peralatan pancing tradisional dan menggunakan katinting
Katinting Perahu kecil tanpa mesin atau hanya dengan satu mesin. Di Kakorotan disebutLonde
Opo Lao Sebutan orang talaud untuk jabatan kepala desa
Fufu Pengawetan makanan dengan pengasapan, biasanya yang di fufu adalah ikan.
Pamboat Perahu nelayan berukuran lebih besar dari katinting, biasanya bermesin 2 sampai 3. Berkapasitas 6-10 orang
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Wilayah perbatasan antar negara modern yang dibentuk berdasarkan “mercatorian map”1dalam banyak hal rentan konflik. Sebagai contoh, belum lama ini konflik memanas di perbatasan negara Kamboja dan Thailand. Masih segar dalam ingatan kita
ketegangan Indonesia dengan Malaysia terkait Ambalat. Kita juga sering mendengar berita tentang berbagai kasus tindakan kriminal di perbatasan seperti: perdagangan senjata, trafiking, dan migrasi ilegal.
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan posisi geografisnya yang strategis berbatasan dengan beberapa negara sekaligus, baik perbatasan laut seperti dengan Filipina, Thailand, Australia, Singapura, maupun perbatasan daratan seperti dengan Papua Nugini, Timor Leste dan Malaysia. Banyak pulau terdepan Indonesia yang masih bisa ‘terlepas’ dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini dikarenakan masalah batas wilayah belum terselesaikan secara tuntas dengan negara tetangga yang bersangkutan. Salah satu persoalan tersebut terjadi di Kepulauan SATAS, Provinsi Sulawesi Utara. Kepulauan terdepan
Utara Indonesia tersebut berbatasan perairan langsung dengan Filipina.
Kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro kini dikenal dengan singkatan SATAS. Sebelum pemekaran pertama yang terjadi pada tahun 2002, wilayah ini bernama Kabupaten
Sangihe-Talaud. SATAS juga merupakan sebutan untuk bentangan laut dengan ratusan pulau yang terletak di ujung paling utara Indonesia. Secara geografis SATAS terletak pada koordinat 20 -5035’LU dan 125010’ – 127010’ BT. Di atas peta, kawasan ini terbagi dalam dua kepulauan,
1
yaitu: Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud. Keduanya terhampar di Laut Sulawesi yang berbatasan langsung dengan Filipina. Pertengahan 2007, terjadi pemekaran kedua, sehingga secara administratif kawasan ini terdiri dari tiga daerah otonom, yaitu: Kabupaten
Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud dan Kabupaten Kepulauan SITARO. SITARO bukan nama yang akan ditemukan dalam peta (toponim), akan tetapi merupakan akronim dari tiga pulau utama pembentuknya: Siau, Tagulandang dan Biaro (Salindeho &
Sombowadile 2008)
Meskipun terdiri dari tiga kabupaten yang berbeda secara administratif, kepulauan ini dirangkum dalam satuplatformstrategi pembangunan karena kesamaan ciri kewilayahan
serta kepentingan pembangunan. Secara antropologis dan historis perangkuman kawasan ini ke dalam satu platform sangat logis, mengingat masyarakat SATAS memiliki hubungan kekerabatan akibat kawin-mawin para raja-raja dan leluhur mereka. Hubungan kekerabatan ini tidak hanya sebatas kepulauan SATAS, tetapi juga dengan masyarakat pulau Balut dan
Sarangani di Selatan Filipina, yang oleh Filipina disebut sebagai etnik Sangil.
Relasi kekerabatan etnik lintas negara ini dapat ditelusuri melalui silsilah leluhur. Oleh para sejarawan Filipina disebut-sebut bahwa raja-raja kerajaan-kerajaan pra-moderrn
di Sangihe yakni Tabukan dan Kendahe merupakan satu keluarga. Kerajaan Kendahe mencakup hingga wilayah yang sekarang menjadi bagian Filipina Selatan (Ulaen dan Hayase 1998).
Sebagai sebuah wilayah berkarakter kepulauan, budaya laut tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat SATAS. Mulai dari mata pencaharian, pengetahuan lokal (lokal knowledge) tentang karang, tanda-tanda dalulungatau tsunami, pengolahan air laut, penangkapan ikan, perbintangan, dan navigasi laut, serta gejala-gejala angin dan
dengan bahasa Sangihe. Penemuan beragam jenis perahu khas juga semakin membuktikan kemapanan budaya maritim SATAS (Salindeho dan Sombowadile 2008).
Kentalnya budaya laut menghidupi dan dihidupi oleh masyarakat SATAS tidak
berarti budaya bercocok tanam tidak menjadi bagian dari kehidupan mereka sama sekali. Pada masa kolonial, pala, cengkeh, dan kelapa telah menjadi komoditas yang membuat SATAS menjadi wilayah yang diperebutkan oleh Spanyol, Belanda dan Portugis. Akan tetapi
topografi daratan pulau-pulau Sangihe dan SITARO yang terjal dan bergunung-gunung membatasi ruang aktifitas daratan masyarakat. Talaud sedikit berbeda, pulau-pulaunya relatif tidak curam.
Keterbatasan ruang darat ini telah mendorong terjadinya migrasi ke Utara pulau Sulawesi . Selain itu, transmigrasi entah itu dikarenakan kebijakan kolonial, atau karena mengamankan diri dari bencana vulkanik letusan gunung berapi menjadi faktor penyebab migrasi. Alasan ekonomi juga telah mendorong praktek migrasi ilegal ke Filipina Selatan,
yang kini menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia dan Filipina untuk mengatasinya. Secara ekonomi kepulauan ini bisa dikatakan miskin. Letaknya yang terpencil membuat kepulauan ini tidak berkembang dengan baik. Keterbatasan transportasi,
komunikasi, ekonomi, dan akses pendidikan membuat perkembangan infrastruktur dan masyarakat tersendat-sendat pula.
Sebuah peristiwa terjadi pada tahun 2005. Kecamatan Miangas, salah satu pulau
terdepan di kabupaten Talaud, bergolak. Terjadi pengibaran bendera Filipina. Di sana, Peso, mata uang Filipina marak digunakan dalam transaksi ekonomi, terutama yang terkait dengan perdagangan ikan dan barang-barang eletronik, baik transaksi legal maupun ilegal.
Di Mindanao para imigran dari SATAS ke Filipina banyak yang tinggal baik secara
kelas dua, yang lebih banyak menjadi buruh dan melakukan jenis kerja kasar lainnya. Mereka dikenal sangat ulet2.
Winsulangi Salindeho, bupati Sangihe menegaskan bahwa kesejahteraan
ekonomilah sebagai faktor utama penyebab munculnya tindakan “separatis” di Miangas . “Sementara gerakan separatis, munculnya keinginan sebagian
masyarakat Talaud di Pulau Miangas bergabung dengan Filipina karena alasan kesejahteraan.
Salindeho mengungkapkan, kondisi ekonomi masyarakat Pulau Miangas cukup parah pada saat laut bergelombang. Biasanya dalam tiga bulan masyarakat Pulau Miangas kelaparan karena ketiadaan suplai beras ke wilayahnya.
"Ketiadaan suplai itu karena kapal yang biasa masuk ke Miangas terhalang ombak ganas. Akibat kapal tidak masuk, warga kesulitan mendapat beras, dan akhirnya selama berbulan-bulan makan kelapa yang dikeringkan," katanya”.3
Pernyataan Salindeho bahwa “gerakan separatis” di Talaud semata-mata adalah karena persoalan ekonomi, tampak simplisistik, walaupun persoalan ekonomi bisa jadi
merupakan salah satu faktor pemicu tindakan-tindakan “separatis” semacam itu. Perspektif ekonomi ini kemudian menjadi dasar munculnya berbagai usulan solusi oleh Pemda Kabupaten maupun Provinsi. Solusi yang diajukan antara lain BTA (Border Trade Area), suatu zona perdagangan khusus yang memberi ruang transaksi lebih otonom kepada masyarakat
SATAS dalam kerjasama ekonomi dengan Filipina. Selain itu muncul usulan untuk ditetapkan sebagai Daerah Terpencil. Dengan status ini kawasan ini akan memperoleh kebijakan ekonomi khusus4(Salindeho & Sombowadile 2008).
2http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/01/daerah/1789160.htm,Kaki di Indonesia, Perut di Filipin, Ambon Tue, 31
May 2005 15:20:59 -0700
3http://64.203.71.11/kompas-cetak/0406/02/daerah/1059338.htm
4Dalam PP 63/1992 tentang PENGERTIAN DAERAH TERPENCIL DAN JENIS IMBALAN DALAM BENTUK NATURA
Selain persoalan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) yang belum terselesaikan, Filipina juga masih bisa mengklaim beberapa pulau di SATAS dengan mengacu pada dokumenParis Treaty 1898. Untuk itu Dephankam RI telah menyerukan agar ditegakkan penampakan
kedaulatan di sana, fisik maupun kesejahteraan. Ada kekhawatiran negara akan lepasnya Miangas, pulau terdepan di SATAS, karena kondisi masyarakat yang dikatakan terpencil, terbelakang, dan miskin5. Pulau Miangas, tidak mustahil akan bernasib seperti Ligitan dan
Sipadan.
Tesis ini tidak bermaksud membicarakan tentang pengembangan ekonomi wilayah perbatasan tidak juga mengkaji imigrasi ilegal, atau ritual-ritual tertentu sebagaimana yang
telah dilakukan oleh beberapa sarjana yang telah meneliti masyarakat SATAS. Tesis ini menelusuri persoalan identitas kebangsaan secara lebih jauh. Tesis ini berangkat dari pengamatan atas praktek hidup keseharian masyarakat, juga berbagai peristiwa khusus, untuk memahami mengapa gejala-gejala atau fenomena identitas kebangsaan seperti,
misalnya, pengibaran bendera Filipina di Miangas terjadi.
Tesis dikembangkan berdasarkan penelitian di Pulau Miangas, suatu pulau kecamatan di kabupaten Talaud. Miangas dipilih sebagai yang tepat merepresentasikan pergulatan
identitas kebangsaan masyarakat SATAS karena dua alasan. Pertama berbatasan/berhadapan langsung dengan Filipina Selatan. Kedua, di sana telah terjadi apa yang disinyalir sebagai “gerakan separatis”. Pulau ini relatif lebih ber-“gejolak” dibanding
pulau-pulau terdepan lainnya di SATAS
mereka yang bekerja atau pelayanan jasa di daerah terpencil, kemudahan bagi Wajib Pajak yang menanam modalnya di sana, juga pemberian penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tertentu kepada karyawan dan/atau orang lain berkenaan dengan pekerjaan atau jasa di daerah terpencil. Bagi perusahaan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan bagi penerimanya bukan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
B. Rumusan Pertanyaan Masalah
Tesis ini dikembangkan berdasarkan pembatasan persoalan dalam pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana praktek-praktek identitas kebangsaan6
direproduksi di wilayah pulau perbatasan Miangas di Kepulauan SATAS?
Tiga pertanyaan berikutnya dikembangkan berdasarkan pertanyaan umum di atas, untuk memberi arah dan cakupan persoalan yang lebih jelas dan fokus. Pertama, bagaimana
identitas kebangsaan yang terbayangkan oleh masyarakat Miangas dalam konteks wilayah kepulauan sekaligus pulau perbatasan? Kedua, tesis ini akan menjawab pertanyaan tentang intitusi-institusi apa saja yang terlibat dalam reproduksi identitas kebangsaan, berikut
mekanismenya. Pertanyaan ketiga yang juga dijawab oleh tesis ini adalah, bagaimana pengalaman masyarakat dalam merespon mekanisme reproduksi identitas kebangsaan oleh institusi-isntitusi tersebut?
C. Tujuan dan Relevansi Penulisan
Tesis ini dikembangkan untuk empat tujuan: Pertama, untuk menjelaskan Miangas sebagai suatu pulau perbatasan yang mempengaruhi bentuk struktur, interaksi sosial dan
praktek hidup keseharian masyarakat. Kedua, untuk memahami apa yang dibayangkan masyarakat tentang identitas kebangsaannya. Ketiga, dalam tesis ini juga saya akan mencoba mengeksplorasi perubahan realitas ruang fisik dan sosial oleh kehadiran negara di
perbatasan dan dampaknya terhadap praktek-praktek identitas kebangsaan warga Miangas.
6
Kemudian yang keempat, akan menyelidiki berbagai bentuk dan cara-cara masyarakat bereaksi terhadap mekanisme reproduksi identitas kebangsaan7.
Saya mengembangkan tesis ini karena cukup relevan bagi dunia akademik. Kajian
seperti ini dapat memberi perspektif baru atas fenomena identitas kebangsaan masyarakat perbatasan. Disamping itu kajian sejenis penting untuk memperkaya kajian nasionalisme dan integrasi bangsa. Mengingat masalah perbatasan negara dan pulau-pulau terdepan,
menjadi topik yang mengemuka sepanjang tahun 2009. Tesis ini juga cukup relevan dalam hal mencoba menghadirkan wacana kebangsaan masyarakat perbatasan.
D. Tinjauan Pustaka
Telah banyak penelitian yang dilakukan atas wilayah perbatasan antar negara. Berbagai esai juga telah dipublikasikan di berbagai media cetak maupun elektronik. Kajian-kajian atas masyarakat perbatasan tersebut pada umumnya berkutat pada tema-tema
antropologis, kriminalitas, hubungan politik dan pertahanan keamanan transnasional serta pengembangan ekonomi wilayah.
Kajian antropologi antara lain dilakukan oleh Goldstein atas masyarakat diaspora
Ayllus dan Tiwanaku di tempat yang tersebar di berbagai negara di sekitar pegunungan Andhes Kajian ini semacam napak tilas jejak-jejak masa lalu kedua komunitas tersebut dalam rangka memahami hubungan-hubungan antara masyarakat dengan dengan dunia
material di sekelilingnya (Goldstein 2000, hal 182).
Para pakar sejarah Eropa di Amerika Serikat melakukan konferensi di Netherland 23-25 April 2003. Hasil dari konferensi tersebut adalah sekumpulan jurnal tentang berbagai
7
fenomenafrontiers andBoundariesAmerika Serikat baik itu sejarah, ideologi, identitas, juga politik dan ekonomi (Van Minnen dan Huilton 2004).
Persoalan kriminalitas yang terjadi di perbatasan pun telah banyak diteliti, seperti
persoalan perempuan pekerja migran ilegal di perbatasan Indonesia-Malaysia (Yetriyani 2004), juga Trafiking anak di perbatasan Thailand dan Myanmar (SCUK 2003).
Kajian perbatasan di Indonesia lebih banyak bicara tentang strategi pengembangan
ekonomi masyarakat perbatasan, pertahanan dan keamanan nasional, serta perdagangan lintas batas (Tenriangke Muchtar 2007, Banyu Perwita, 2007 dan Kimpraswil 2003).
Karena penelitian ini dilakukan atas masyarakat berkultur maritim atau bahari dan
kepulauan, maka penting bagi saya untuk menelusuri berbagai kajian dan artikel yang mengangkat persoalan tersebut. Studi kebaharian di Indonesia cenderung berupa kajian sosiologis, antropologis dan sejarah. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa artikel di media elektronik yang ditulis antara lain oleh Muhamad Karim, Koesnadi, dan Muhamad Ridwan
Alimuddin. Koesnadi menulis tentang studi kasus konflik sumberdaya masyarakat pesisir di Gresik-Jawa Timur (Koesnadi, 2005). Sedangkan Alimuddin secara singkat mengupas teknologi lokal berupa rumpon; sebagai suatu produk budaya bahari- masyarakat nelayan
Mandar-Sulawesi Barat (Alimuddin, 2007). Artikel Karim lebih merupakan kritik atas keterpurukan budaya bahari, yang gejalanya tampak jelas pada keterpurukan ekonomi masyarakat pesisir di berbagai wilayah di Indonesia (Karim, 2003).
Sebuah kajian sejarah maritim yang cukup mendalam dilakukan oleh A.B Lapian. Lapian mengemukakan tentang struktur dan pola kepemimpinan masyarakat maritim dimana pola kepemimpinan kelompok-kelompok masyarakat sangat dipengaruhi oleh pola pemimpin dan awak kapal dalam pelayaran (Lapian 1987). Dikatakan oleh Lapian bentuk
yang menghubungkan serta mengintegrasikan pulau-pulau di nusantara ke dalam suatu sistem wilayah yang lebih luas.8 Kajian tentang kepulauan yang cukup penting dilakukan oleh Myrna Eindhoven. Dalam tulisannya berjudulNew Colonizer? Identity, representation
and government in post-New Order Mentawai Archipelago,Eindhoven membahas persoalan pemekaran Mentawai menjadi kabupaten terpisah dari Kabupatan Padang-Pariaman. Pemekaran ini telah ‘memisahkan’ Mentawai dari mainland-nya Minangkabau. Namun
desentralisasi tak lebih dari kendaraan kepentingan elit-elit lokal yang menggunakan jargon ‘putra daerah’, ‘self-determination’,dan ‘akses sumberdaya alam’ demi kekuasaannya. Pada akhirnya perilaku oportunistik ini justru menciptakan penjajahan baru atas masyarakat
Mentawai setelah sekian lama dijajah olehmainland(Eindhoven 2007, hal 39-68).
Saya temukan sebuah studi penting lainnya karya Carole Faucher. Tulisannya setopik dengan penelitian yang akan saya lakukan, yakni fenomena politik identitas masyarakat perbatasan Kepulaun, dalam hal ini Kepulauan Riau (KEPRI), yang berbatasan
dengan Singapura dan Malaysia.
Kawasan ini dikenal dengan kawasan segitiga emas, suatu kawasan yang sangat strategis bagi kerjasama di bidang ekonomi. Faucher menyelidiki bagaimana masyarakat
urban kelas menengah membayangkan identitas “Masyarakat KEPRI” (Faucher 2007, hal 443-458). Ia menemukan adanya tarik ulur antara masyarakat kelas menengah urban di pulau Bintan dengan kelompok elite lokal dalam hal gagasan identitas KEPRI paska
kejatuhan Suharto dan bangkitnya euforia otonomi daerah. Faucher lebih jauh mengeksplorasi masalah perbedaan kelompok-kelompok masyarakat dalam memformulasikan suatu model yang dapat merangkul semua kelompok sehingga memiliki suatu ‘sense of belonging’atas KEPRI.
8Lapian, AB (1992),Sejarah Nusantara Sejarah Bahari, FIB UI, Jakarta,. Berupa naskah pidato pengukuhan pada upacara
Meskipun terdapat kesamaan zona perbatasan kepulauan dan topik politik identitas antara penelitian Faucher dan yang akan saya lakukan, namun ada perbedaan signifikan. Penelitian saya tidak hanya sebatas periode post-Suharto. Selain itu karakter
perbatasan yang saya kaji sangat berbeda. SATAS bukan kawasan Segitiga Emas yang menarik beragam ‘pendatang’ dari berbagai wilayah Indonesia untuk kepentingan ekonomi dengan kata lain telah menjadi pusat transaksi dengan intensitas pertukaran yang tinggi.
SATAS berhadapan dengan Filipina Selatan yang merupakan wilayah yang relatif termarjinalkan. Satu perbedaan lagi, wilayah penelitian saya mencakup kajian kepulauan dan kebaharian. Kedua hal ini sama sekali bukan merupakan perhatian Faucher.
Bagaimana dengan kajian tentang SATAS? Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang SATAS ditulis oleh Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile. Buku ini bersifat informatif. Berbagai persoalan seperti keterpurukan ekonomi, akses transportasi dan pendidikan dipaparkan. Kritik atas kebijakan pemerintah yang melemahkan SATAS juga
diungkapkan dalam tulisan ini. (Salindeho & Somobwadile, 2008). Selain itu ada pula kajian yang telah dilakukan tentang kekerabatan masyarakat SATAS dan masyarakat pulau Balut dan Sarangani yang beretnik Sangil di Filipina Selatan (Hayase, Dominggo Non & Ulaen,
1998).
Sebuah kajian tentang Miangas dilakukan oleh Willem Johan Bernard Versfelt. Dalam bukunya yang berjudulThe Miangas Arbitration, Versfel mengemukakan persoalan
Meninjau berbagai studi dan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan tiga hal: Pertama, belum ada kajian politik identitas masyarakat zona perbatasan kepulauan yang mendalam. Kedua, kajian kepulauan dan maritim yang telah dilakukan belum ada yang
secara spesifik mengkaji tentang masyarakat zona perbatasan kepulauan. Ketiga, meskipun telah banyak dilakukan kajian atas SATAS, belum ada yang melakukan kajian politik identitas kebangsaan masyarakat SATAS, apalagi Miangas.
Letak kebaruan dari tesis ini adalah pada: Pertama, penelitian ini secara meneliti “identitas” kebangsaan masyarakat perbatasan kepulauan dengan menggali sumber-sumber pemahaman/imajinasi identitas kebangsaan masyarakat. Kedua, penelitian ini
praktek-praktek identitas kebangsaan Miangas dalam hidup keseharian.
E. Kerangka Konseptual
Merebaknya isu-isu identitas semacam etnosentrisme, etnonasionalisme, bahkan
terorisme telah mendorong berbagai macam kajian atas identitas kelompok-kelompok masyarakat dengan institusi-institusinya, di berbagai belahan dunia. Politik The Self-Other
tetap eksis meskipun batas-batas teritori semakin cair oleh globalisasi. Bahkan negara yang
paling demokratis sekalipun tetap harus berhadapan dengan isu politik identitas seperti ras, etnisitas, dan nasionalitas.
Berbagai konsep yang berbeda dan kontradiktoris satu sama lain, membuat politik
terkandung suatu gagasan identitas atau mekanisme pengidentifikasian diri yang terdiri dari aspek individualistik“Who am I”dan aspek interrelasi “Who I do belong to”.9
Pengindentifikasian diri seseorang atau suatu komunitas sebagaimana digagas
oleh Stuart Hall:
We should speak of identification, and see it as an ongoing process. Identity arises not so much from the fullness of identity which is already inside us, by the ways we imagine ourselves to be seen by others10.
Dengan perspektif Hall ini bisakah dikatakan peristiwa insiden pengibaran bendera Filipina, lalu orientasi ekonomi yang lebih cenderung ke Filipina sebagai bagian dari proses
pengidentifikasian identitas kebangsaan yang tak akan pernah selesai itu? Menurut peneliti “ya”, karena senantiasa ada kekuatan-kekuatan; tidak semata-mata ekonomi- yang bermain secara terus-menerus sehingga politik keseharian masyarakat di sana pun terus bergerak
dan berubah. Kekuatan-kekuatan inilah yang mempengaruhi identifikasi tersebut di Miangas. Posisi di perbatasan dan kedekatan jarak geografis dan kekerabatan etnik dengan etnik Sangil di Filipina Selatan itu sendiri sudah merupakan faktor-faktor yang membuat identitas kebangsaan di Miangas lebih dinamis. Masih oleh Hall dikatakan:
But something we have learnt from the whole discussion of identification, in feminism and psychoanalysis, is the degree to which that structure of identification is always constructed through ambivalence. Always constructed trough splitting. Splitting between that which one is, and that which is other11.
9http://www.lotofessays.com/viewpapaer/1668523html, copyright 2008
10(Terjemahan bebas peneliti) “ Sudah semestinya kita menyebutnya identifitkasi dan melihatnya (identitas) sebagai suatu
proses terus menerus. Identitas justru tidak banyak muncul dari identitas yang utuh yang sudah ada dari sananya dalam diri kita, melainkan dari cara-cara kita membayangkan bagaimana diri kita dilihat oleh orang lain”.
Hall, Stuart and du Gay, Paul (eds) (1996)The Questioned of Cultural Identity. London, Sage.
11(Terjemahan bebas) Tetapi satu hal yang kita pelajari dari semua diskusi tentang identifitkasi, baik dalam feminisme
maupun.dalam psikoanalisa adalah, suatu proses dimana struktur identitas selalu dikonstruksi melalui ambivalensi. Selalu dikonstruksi melalui pemilahan. Pemilahan antara “yang ini” dan “yang lain”
Hall, Stuart (1991), Old and New Identities,in D. King, Anthony, (Ed), Culture, Globalization and The World System,
Hal ini senada dengan ide Frederik Barth yang berkata bahwa munculnya nasion dari kesadaran kolektif atas siapa yang termasuk “kita” dan “bukan kita”. “Kita” di sini berubah tergantung pada siapa yang dibayangkan sebagai “bukan kita”. Sehingga batas-batas
(boundaries12) itu menjadi sangat cair (Armstrong 1994). Identitas senantiasa merupakan soal menempatkan dan memposisikan yang lain ke sisi lain di jagad raya ini (Hall 1991). Ada fenomena lainnya yang menggambarkan geliat identitas kebangsaan Miangas. Sepenggal
berita menarik yang peneliti kutip dari Kompasonline.
Namun, orientasi ekonomi yang lebih banyak ke Filipina menjadikan warga Pulau Miangas enggan mengaku dirinya orang Indonesia. Sebaliknya, di Filipina mereka dianggap kaum migran. Kedatangan mereka harus dengan menunjukkan surat perjalanan yang dikeluarkan aparat Kecamatan BCA. Miangas. "Kaki kami di Indonesia, tetapi perut di Filipina," kata Julius, warga Miangas13
Dari kutipan di atas saya menangkap kegamangan identitas kebangsaan yang terungkap di sini tak hanya sekedar proses memposisikan diri “who I am” and “Who I do belong to”.
Bukan sekedar menempatkan atau memposisikan siapa dan di mana “Other”. Ungkapan Julius itu merupakan metafor yang mengandung imajinasi identitas kebangsaan yang lain. Sehingga bisa dikatakan di sini, mungkin orang-orang seperti Julius tidak memandang ada
batas negara di situ, tidak ada frontier; batas unit politik; negara- yang ditetapkan oleh undang-undang, dan melalui kesepakatan antar negara serta disahkan secara internasional. Siapa yang diidentifikasi sebagai “kita yang sebangsa” dan “yang lain yang bukan sebangsa”
mencair dalam metafor tersebut. Mungkin juga ada kesadaran akan batas demarkasi dan justru ia dengan sengaja sedang melakukan resistensi atas batas tersebut.
12Boundaries yang dimaksud di sini adalah sebagaimana yang digagaskan oleh Fredrik Bart dalamEthnic Groups and Boundaries. terjadi negosiasi terus-menerus akan batas-batas (Boundaries) antara kelompok-kelompok masyarakat. (Barth, 1969)
13Ambon, Tue, 31 May 2005 15:20:59 -0700Kaki di Indonesia, Perut di Filipin, Miangas. [ppiindia]
Pertanyaan lebih jauh lagi yang muncul kemudian, dalam konteks identitas kebangsaan, apa batas-batas yang ada dalam imajinasi orang-orang seperti Julius? Batas-batas di sini yang saya maksud adalah dalam artianboundaries, yang lebih merupakan batas
imajinatif, batas antara yang diimajinasikan sebagai “kita” dan “bukan kita”. Siapa yang diimajinasikan sebagai “kita” dan “bukan kita” di sana, shingga muncul gagasan “di Indonesia dan di Filipina sekaligus”, “ada di sini dan di sana sekaligus”, dalam metafor
Julius? Di sinilah sesungguhnya fokus pembahasan tesis ini, yaitu tentang apa yang ada di kepala, soal proses berpikir dengan logika tertentu.
Masyarakat Miangas adalah masyarakat bahari. Tentang kebaharian di Indonesia
para antropolog setuju bahwa kebijakan pembangunan di Indonesia selama ini beratmosfirkan konsep negara agraris. Padahal dalam Deklarasi Juanda dengan jelas dinyatakan Indonesia adalah negara kepulauan (Archipelagic State) (Sulistiyo, 2004, hal. 35).
Kepulauan dari perairan Indonesia menjadi satu kesatuan, sedangkan laut yang menghubungkan pulau demi pulau merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari daratnya.
Mengacu pada UU No. 17 TAHUN 1985, yang merupakan ratifikasi dari UNCLOS
(United Nation Convention on The Law of The Sea), Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, yang dimaksud negara kepulauan adalah :
Hal ini kontradiktoris dengan wacana yang terpadatkan dalam istilah pulau terluar, yang anehnya dipakai dalam Deklarasi Djuanda itu sendiri. Atas penggunaan penanda yang sudah sedemikian ternaturalisasi ini Susanto Zuhdi menyampaikan opininya (Zuhdi 2008)14
Interpretasi penulis tentang arti "terdalam" merupakan ungkapan untuk mewakili pengertian suatu titik yang berada di "tengah". Jika asumsi ini dapat diterima, sebutan terhadap "pulau terluar" berasal dari sudut pandang "pusat". Lalu, apakah ini bermakna memperhadapkan "luar" yang sama dengan "pinggiran" (periphery) dengan "dalam" yang berarti "pusat" (center).
Jika demikian, tak pelak lagi ini adalah cara pandang kontinental atau daratan. Mungkinkah itu berasal dari kategori penyebutan "Indonesia Dalam" (Jawa) dan "Indonesia Luar" (Luar Jawa) seperti pernah dikemukakan Clifford Geertz. Menurut dia, dua wilayah itu memang berbeda kontras secara ekologis.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia mengacu pada kata archipelago. Terjemahan itu sebenarnya salah kaprah. Padahal, arti arche
sesungguhnya adalah utama danpelagoartinya laut. Jadi, seharusnya "laut utama".
Istilah “pulau terluar” ini masih secara resmi dipakai hingga saat ini sebagaimana
disebut-sebut dalam PP 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Meskipun sudah ada upaya penggunaan “pulau terdepan” dalam UU No. 18 Tahun 2007 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam Tentang Penetapan Batas-batas Kontinen 2003.
Namun dari keseluruhan pasal-demi pasal dalam undang-undang tersebut, hanya ada satu kalimat yang menyebut “pulau terdepan”.
Wajar saja jika Salindeho dan Sombowadile memberi sub judul dalam buku mereka
“Miangas Terluar atau Di luar?”(Salindeho & Sombowadile 2008). Pertanyaan menohok ini bukan hanya mempersoalkan posisi geografis Miangas yang bahkan dalam beberapa
dokumen pemerintah Indonesia sendiri tidak termasuk dalam koordinat wilayah Indonesia, tetapi juga persoalan sangat terpinggirnya Miangas dalam segala aspek.
Di sini jelas negara melalui produk-produk hukumnya memberikan identitas, label
tertentu kepada Miangas dan pulau-pulau terdepan lainnya. Bisa kita bayangkan mitos-mitos, ideologi dan imaji apa yang terkondensasi dalam penanda itu. Mitos-mitos dalam tanda ini tentu juga telah membentuk imaji-imaji tertentu masyarakat Miangas atas dirinya.
Ideologi yang terkandung dalam “pulau terluar” niscaya menginterpelasi (Althusser 1971) masyarakat Miangas. Aspek material ideologi semacam ini yang menjadi bagian sentral dari penelitian saya. Akan saya selidiki praktek-praktek, simbol-simbol, serta ‘barang’ seperti
apa wujud ideologi itu di sana, dan bagaimana hal-hal tersebut beredar dan berlangsung di Miangas.
Sebagai sebuah pulau, Miangas sangat kental dengan budaya maritim. Sangat mungkin pola kepemimpinan dalam masyarakatnya senada dengan kepemimpinan
nakhoda dan Anak Buah Kapal (ABK) dalam pelayaran. Pola dan struktur kepemimpinan seperti ini ditemukan oleh Lapian di kepulauan-kepulauan di Indonesia. Bahkan istilah-istilah yang digunakan untuk menamai bagian dari pranata-pranata sosial mereka juga
menggunakan nama-nama struktur di kapal. Falsafah hidup survival sangat kuat di masyarakat maritim karena kehidupan di laut yang sering mendesak para pelaut utuk membuat keputusan hidup atau mati karena tantangan kerasnya ‘gelombang’ laut. Oleh
Navigasi dan pengetahuan tanda-tanda laut menjadi krusial dalam ‘pendidikan’ informal tradisional. Tentu saja realitas hidup dengan laut ini membentuk kesadaran diri yang berbeda dengan masyarakat agraris. Sumber-sumber ekonomi berbasis laut
menghasilkan praktek-praktek manajemen ekonomi yang khas maritim.
Terkait etos kerja bahari semacam ini seorang antropolog SATAS, Alex Ulaen mengatakan, telah terjadi perubahan etos bahari yang tangguh dan ulet dengan
kepemimpinan yang kuat menjadi berorientasi ke darat di SATAS. Akibatnya adalah kegamangan yang muncul dalam bentuk ‘kemalasan’ berlayar mencari dan mengelola sumber-sumber ekonomi laut yang luas dan beragam. Keterampilan-keterampilan khas maritim juga mengalami degradasi dari generasi ke generasi15.
F. Metodologi Penelitian
Dalam sebuah dialog yang di Multply; sebuah website komunitas dunia maya, peneliti mencatat komentar dan pengalaman tentang Miangas.
“Wuih...keren ya..Bisa ke pulau terluar... saya nonton teropong, pantainya bener-bener bagus, bali sangat kalah”. 19-Jun-2007 17:43:38 WIB bypeau-peau
“Miangas memang luar biasa ,saya sdh dua kali ke Miangas ,bukan hanya pulaunya luar biasa indahnya tapi itu ombaknya yang bikin orang males kesana,saya pernah 18 jam di hantam gelombang setinggi 7 meter Alhamdullilah saya masih hidup sampai hari ini, saya punya banyak foto panorama Miangas yang indah” . 2-Jul-2008 12:22:09 WIB bySiswanto
Dengan pasir putih-bersihnya yang lembut dan halus, serta hamparan tanaman kelapa yang
memenuhi hampir tiga perempat wilayahnya, Miangas memang indah. Tak heran jika
15“Di sisi lain, kata Alex, sejak Soeharto berkuasa kebiasaan maritim perlahan mulai luntur di Talaud. Terjadi proses
Spanyol, pada masa kolonial menamai pulau yang sempat menjadi bagian dari koloninya ini
Las Palmas.Dan Amerika Serikat menyebutnyaPalma Island(Versfeld 1933).
Pulau kecil dan tak banyak dikenal orang ini luasnya hanya 3 Km2dan berpenduduk
sekitar 700 jiwa. Pulau perbatasan ini cukup dekat letaknya dengan Filipina. Hanya dibutuhkan waktu tiga hingga empat jam dari Miangas ke Santa Agustien atau General Santos, Mindanao, bandingkan dengan waktu dua hari untuk tiba di Menado, ibu kota
Sulawesi Utara. Bahkan ke Melonguane, ibu kota kabupaten Talaud, membutuhkan waktu sekitar tujuh jam, sehingga tak heran jika relasi ekonomi masyarakat Miangas lebih intens dengan Filipina daripada dengan Indonesia.16
Begitu terpencilnya pulau ini hingga pada musim ombak besar tak ada satu kapalpun
yang bisa berlabuh di pantainya. Hal ini membawa dampak kelaparan akibat terhentinya pasokan makanan terutama beras. Dalam kondisi demikian masyarakat makan laluga,
sejenis umbi-umbian liar rawa-rawa yang banyak tumbuh di sana. Laluga dimakan dengan
ikan segar dan kelapa.17 Secara ekonomis, Miangas miskin, harga beras bisa mencapai hingga di atas tujuh ribu rupiah per liter. Kondisi pemukiman masyarakat yang tak layak telah mendorong Depsos dan TNI bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat iangas mengeluarkan anggaran bernilai lima hingga sepuluh milyar untuk pembangunan perumahan yang telah dimulai sejak April 2008.18
16http://www.sinarharapan.co.id/berita/0609/09/opi01.html
17indosiar.com, Sulawesi Utara
Reporter : Asep Syaifullah dan Yadi Supiyandi
Juru Kamera : Dedi Effendi, Dedi Suhardiman dan Damar Galih Editor : Wahyu Indra Rukmana
On Air : 19 June, 2007, Pukul 12.30 WIB
Jangan tanya keadaan pendidikan, sama terpuruknya dengan ekonomi. Dari kekurangan tenaga guru, tidak tersedianya buku-buku pelajaran, gaji yang diterima oleh guru hanya gaji pokok tanpa tunjangan apapun, hingga hambatan untuk peningkatan
kapasitas guru, melengkapi beban hidup di Miangas.
Pemerintahan di Miangas sebenarnya cukup unik. Pulau itu hanyalah sebuah desa, yang dipimpin oleh kepala desa, namun di sana pula terdapat pemerintahan tingkat
kecamatan. Jadi satu kecamatan memimpin satu desa. Hal lain yang cukup unik juga di sana terdapat anggota TNI dan Angkatan Bersenjata Filipina yang berpangkat perwira dengan beberapa anak buah masing-masing. Ini terjadi karena adanya kerjasama pengamanan lintas
perbatasan. Mereka bertugas di kantor BCA (Border Cross Agreement) Miangas. Pada HUT RI tentara Filipina ini ikut serta dalam upacara pengibaran bendera merah-putih19. Namun tidak demikian sebaliknya, TNI tidak pernah hadir dalam upacara memperingati hari nasional negara Republik Filipina yang dilakukan di kantor BCA RP Team.
Peristiwa pengibaran bendera Filipina di Miangas sebagaimana yang telah disinggung beberapa kali, terjadi karena tewasnya seorang aparat desa.
Manado, Kompas - Tewasnya Sekretaris Desa Pulau Miangas, Johnny Awala, yang diduga dianiaya oleh Kepala Kepolisian Sektor Border Crossing Area Briptu Da menyulut kemarahan warga di kawasan paling utara yang berbatasan dengan Mindanao, Filipina, itu. Warga bahkan sempat mengibarkan bendera Filipina selama 10 jam di pulau yang terletak sekitar empat jam perjalanan laut dari ibu kota kabupaten itu.20
Bagaimana peristiwa pengibaran bendera ini bisa kita pahami dalam konteks ‘keunikan’,
kemiskinan, keterpinggiran dan kebaharian Miangas?
Konteks geo-fisik dengan segala upaya masyarakat untuk survive di dalamnya, di sanalah konstruksi identitifikasi kebangsaan masyarakat Miangas berlangsung. Di dalam
ruang itu pula identitas kebangsaan mengemuka dalam berbagai simptom. Ekpresi-ekspresi identitas kebangsaan itu menjadi khas karena konteks ruang hidup mereka. Oleh sebab itu untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah saya ungkapkan pada bagian sebelum ini,
saya perlu hadir di Miangas, mengalami kehidupan sehari-hari di sana, bersentuhan dengan alamnya, dan bergaul dengan kulturnya.
F.1 Prosedur, Jenis Data dan Responden
Tesis ini dibangun berdasarkan data yang diproses sedemikian rupa. Terdapat enam jenis data yang dikumpulkan, yaitu data institusi, teks budaya, pengalaman masyarakat,
pengalaman pribadi sebagai peneliti, informasi berupa opini/artikel di media cetak dan elektronik serta kajian kepustakaan. Data institusi diperoleh melalui wawancara semi terstruktur, observasi, pengumpulan dokumen-dokumen dan arsip-arsip terkait topik yang relevan. Data institusi mencakup lembaga yang berperan dalam produksi/reproduksi
(praktek-praktek) identitas kebangsaan baik itu sosial, agama dan negara. Institusi-institusi tersebut adalah gereja dan organisasi berbasis kepercayaan lainnya, pemerintah daerah, organisasi tradisional atau yang berbasis adat dan tradisi, organisasi berbasis ekonomi,
politik, singkatnya, semua institusi yang ada di Miangas yang melibatkan masyarakat, tertuama terkait penanaman gagasan identitas kebangsaan. Data yang akan dikumpulkan berupa aktifitas-aktifitas, rencana kerja, program, laporan-laporan, struktur organisasi, dan
informasi terkait lainnya.
peribahasa, situs-situs bersejarah, arsip-arsip sejarah, semboyan, arsitektur, infrastruktur, bendera, ritual upacara bendera, proses belajar mengajar, dan lain sebagainya.
Untuk memperoleh data tentang pengalaman masyarakat, saya melakukan observasi
partisipatif dengan melibatkan diri dalam berbagai aktivitas warga bersama anak-anak dan orang dewasa serta lansia. Juga dilakukan wawancara semi terstruktur yang berlangsung secara informal dalam bentuk obrolan santai. Data yang dikumpulkan berupa pengalaman
identitas kebangsaan masyarakat baik yang disadari atau tidak, yang termanifestasi dalam praktek hidup sehari-hari dan peristiwa-peristiwa tertentu baik rutin maupun insidental. Penggalian data akan menelusuri hingga pada imajinasi-imajinasi identitas kebangsaan dan
praktek-praktek common sense. Data pengalaman masyarakat ini juga digunakan untuk memahami respons warga terhadap mekanisme dan proses reproduksi identitas kebangsaan.
Sebagai peneliti yang mengalami berbagai sentuhan dengan ruang, waktu dan orang miangas saya menuangkan semua hal pribadi dalam jurnal harian selama penelitian, entah
itu persepsi, penilaian, dan sudut pandang. Data ini penting untuk senantiasa menyadari ‘posisi’, juga untuk kritis terhadap persepsi, nilai dan sudut pandang pribadi ketika mengolah data yang melibatkan interpretasi personal.
Berbagai opini dan artikel di media cetak dan elektronik dikumpulkan sebagai data pendukung. Saya juga mengunduh beragam tulisan di laman-laman tertentu di internet untuk memperkaya informasi. Data penting lain bersumber dari kepustakaan juga dikumpulkan.
terhadap SATAS. Tokoh adat, agama dan tokoh masyarakat lainnya juga aparat Institusi Pengaman Perbatasan baik Indonesia maupun Filipina.
Proses pengumpulan data sebagaimana yang saya paparkan di atas tentu menuntut
saya terlibat langsung dengan warga Miangas dengan segala dinamika yang berlangsung di dalamnya. Saya tinggal di rumah salah seorang warga dan menjadi bagian dari dinamika Miangas dalam jangka waktu tertentu. Karena itu pendekatan yang digunakan dalam tesis ini
adalah Etnografi. Dalam konteks Kajian Budaya, Etnografi, sebagaimana yang diungkapkan Paulo Saukko (Saukko, 2003, hal.56) adalah:
being true to different lived experiences and to critically interogate concepts that we have used to categorize those experinces – translates to two research orientations within the approach. The first is a hermeneutic or phenomenological quest to understand different lived worlds. The second is a post-structuralist aim to unravel discourses that mediate our undetstanding of both internal lived and the external social worlds21.
Artinya etnografi mencoba untuk menyelidiki secara lebih akurat pengalaman hidup masyarakat yang beragam. Juga, ada semacam petualangan hermeneutik dan fenomenologis dalam upaya memahami pengalaman atau dunia yang beragam tersebut.
Penelitian ini juga akan diperkaya dengan sedikit petualangan semiotika, dalam hal membaca simbol-simbol yang hadir di Miangas seperti tugu-tugu dan kalender, spanduk dan lain sebagainya. Dalam pendekatan ini saya juga menyelidiki wacana-wacana yang
mendasari pengkategorian pengalaman-pengalaman tersebut baik itu oleh media, pemerintah, maupun institusi lainnya. Seperti misalnya kategori masyarakat perbatasan atau masyarakat terpencil yang kerab dikenakan terhadap Miangas.
21(Terjemahan bebas) Menghormati dan menghargai pengalaman-pengalaman yang beragam dan secara kritis menguji
F.2 Strategi Pengolahan Data
Data menurut jenisnya yakni teks-teks budaya, institusi dan pengalaman masyarakat yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa. Data teks budaya dibaca secara semiotik untuk
menemukan tanda-tanda dominan dan bagaimana tanda-tanda tersebut menjadi suatu yangnaturalmembentukcommon sensepraktek-praktek hidup masyarakat.
Data institusi-institusi akan diinterpretasi dalam kaitannya dengan pertarungan
dalam rangka taking position. Cara-cara institusi-institusi yang ada memposisikan diri atau diposisikan. Institusi mana yang memposisikan diri dan diposisikan sebagai pihak yang
legitimate untuk menentukan identitas kebangsaan yang sah atas Miangas. Institusi yang
ada juga akan dibaca sebagai aktor-aktor yang memainkan strategi dan memobilisasi modal untuk memperoleh status sebagai yang otoritatif dan memiliki legitimasi itu.
Sedangkan data pengalaman Masyarakat akan diinterpretasi sebagai fenomena yang menyimpan persoalan-persoalan kultural lain, yang lebih luas . Fenomena ini dibaca sebagai
gejala-gejala yang di baliknya tersimpan persoalan-persoalan kemasyarakatan lain, entah yang disadari maupun yang tidak disadari, yang kait-mengkait dengan pergulatan identitas.
G. Sistematika Tesis
Tesis ini terdiri dari enam bab. Bab pertama merupakan bab pendahuluan. Pada bab ini dipaparkan latar belakang, masalah, tujuan, dan kerangka teori, serta metodologi
Miangas dipandang sebagai suatu wilayah yang terkait dengan kepulauan SATAS secara keseluruhan dan NKRI.
Kemudian Bab III diberi judul “di antara pantai dan palma: imajinasi kebangsaan dan
loyalitas yang sewaktu-waktu dapat dinegosiasikan”. Dalam bab ini dijelaskan tiga hal. Pertama, imajinasi identitas masyarakat Miangas sebagai masyarakat pulau perbatasan RI-Filipina, beserta deskripsi atas pemahaman masyarakat atas ruang sosial dan geografis yang
mereka tempati. Kedua, wujud imajinasi-imajinasi dan pemahaman-pemaham tersebut dalam tatanan sosial, etos, nilai-nilai, pola-pola interaksi sosial dan praktek hidup keseharian. Ketiga, menjelaskan bagaimana imajinasi kebangsaan dalam konteks ruang
sosial dan geografis ‘perbatasan’
Lebih jauh lagi dalam bab empat yang berjudul “ambivalensi hasrat dan resistensi terhadap negara” dibahas bentuk-bentuk kehadiran negara serta bagaimana kehadiran tersebut mengkonstruk infrastruktur wilayah dan formasi sosial serta praktek-praktek
Identitas kebangsaan masyarakat SATAS. Dibahas pada bagian ini ketegangan-ketegangan, negosiasi-negosiasi indentitas kebangsaan yang terjadi antara negara dan masyarakat dan faktor apa yang memunculkan praktek-praktek negosiasi dan ketegangan-ketegangan itu.
Dibahas juga Miangas sebagai “gerbang” yang merupakan mekanisme kontrol negara modern yang xenofobia atas ruang dan “Pos Ronda” dimana institusi ekonomi berupa pasar mangkir dari Miangas, itu mengindikasikan mangkirnya pertukaran. Ketika pertukaran tidak
terjadi yang ada hanya konsumsi.
Bab lima membahas tiga institusi dominan yang saling tarik ulur dalam upaya menempatkan diri sebagai institusi yang memiliki legitimasi dalam penentuan identitas kebangsaan Miangas. Pembahasan juga mencakup modal-modal strategis apa yang
mekanismen dan strateginya, serta modal-modal apa yang digunakan pihak yang bernegosiasi. Karena itu bab ini diberi judul “kontestasi tiga institusi”
Tesis ini ditutup dengan kesimpulan pembahasan dari bab dua hingga bab lima. Tiga
kesimpulan tersebut ditarik dari suatu refleksi kritis atas pertama, nalar modernitas yang mengosongkan “tempat” menjadi ruang yang abstrak di Miangas. Kedua, liminalitas Miangas dalam suatu ruang in- between. Yang ketiga, instrumentalisasi identitas sebagai
BAB II
DARI POSITIVISME HINGGA NATIVISME:
REPRODUKSI NALAR KOLONIAL DAN MARJINALISASI MIANGAS
Pada bab Pendahuluan saya telah mendeskripsikan kondisi geografis Miangas yang bermuara pada keterbelakangan, keterisolasian secara sosial,ekonomi, politik, dan ideologi. Telah diangkat pula kasus-kasus yang mengindikasikan problematiknya identitas kebangsaan
Masyarakat Miangas.
Pada Bab Pendahuluan juga telah diperlihatkan bahwa kompleksitas persoalan keterbelakangan dan keterisolasian tersebut berjalin dengan kegamangan identitas
kebangsaan mereka. Persoalan lain yang juga telah sedikit dibahas adalah tentang wacana ‘pulau terluar’ yang telah turut membentuk realitas keterbelakangan Miangas.
Tujuan tesis ini secara keseluruhan, sebagaimana yang telah saya paparkan dalam bab pendahuluan adalah untuk mengungkap imajinasi identitas kebangsaan Masyarakat
Miangas. Secara legal formal Miangas adalah milik NKRI, namun, bukan tidak mungkin bahwa imajinasi identitas kebangsaan yang berkembang dalam suatu masyarakat seperti itu berjalan dengan logika dan kepentingannya sendiri yang belum tentu searah dengan
ideologi negara tempat di mana ia secara sah menjadi bagian darinya (logika perlawanan). Sebab imajinasi suatu kelompok masyarakat atau etnik tertentu merupakan produk sejarah yang berlangsung dalam konteks sosio-politik, kultur, gegorafis, ekonomi dan
ideologi/agama yang spesisik.
Pada Bab II ini, saya akan membahas konteks sejarah yang membentuk realitas Miangas kini. Meskipun di bagian ini dipaparkan peristiwa-peristiwa bersejarah kepulauan Siau, Sangihe dan Talaud, akan tetapi “sejarah” yang hendak dibahas pada bab ini bukan
uraikan pada bab ini adalah sejarah gagasan-gagasan yang membuat suatu peristiwa terjadi sedemikian rupa, sehingga membentuk realitas tertentu yang baru. Sejarah seperti ini yang digagaskan oleh Foucault. Dalam tulisannya tentang sejarah seksualitas Foucault
mengatakan:
Sejarah seksualitas itu atau lebih tepatnya sederet kajian mengenai berbagai hubungan historis antara kekuasaan dan wacana tentang seks
Sejarah Bagi Foucault bukan sekedar memaparkan peristiwa-peristiwa tetapi menginvestigasi sejarah nalar atau pengetahuan yang dinyatakan atau diterima sebagai kebenaran, yang berkembang pada pada waktu dan tempat tertentu, atas objek tertentu.
Dalam sejarah seksualitas Foucault membongkar nalar-nalar yang membentuk suatu tipe pengetahuan tertentu tentang seksualitas. Pengetahuan bagi Foucault adalah kekuasaan (Foucault 1976).
Tentang kekuasaan ia mengatakan, kekuasaan itu pada hakekatnya terbentuk oleh unsur-unsur tertentu yang terorganisir. Dalam kekuasaan tersebut terjadi perjuangan dan pertarungan tanpa henti untuk entah itu mengubah, memperkokoh, atau memutarbalikkan hal. Terjadi hubungan antar kekuatan yang saling mendukung atau sebaliknya saling
kontradiktoris, saling mengucilkan, bahkan terjadi kesenjangan dalam kekuasaan. Hubungan-hubungan kekuatan tersebut membentuk suatu sistem Kekuasaan juga mengandung strategi-strategi. Dalam strategi-strategi inilah hubungan-hubungan tersebut
menghasilkan dampaknya, atau kristalisasinya. Dampak atau kristalisasi tersebut termanifestasi dalam perangkat negara, produk-produk hukum, dan hegemoni sosial (Foucault 1976)
Di sini saya akan memfokuskan pembahasan pada historisitas nalar atau
produk hukum, larangan, perang, kontrak politik dan sebagainya, di Hindia Belanda atau Indonesia, yang membentuk realitas tertentu di SATAS dan Miangas.
Bab ini akan disusun menjadi empat bagian. Pertama, saya akan memaparkan
sejarah yang berlangsung di kepulauan Siau, Sangihe dan Talaud, atau dikenal juga dengan Nusa Utara. Kedua, akan membahas bagaimana pengetahuan modern produk pencerahan telah membentuk suatu paradigma techne yang agresif dan kental dengan kekerasan.
Agresifitas tersebut termanifestasi dalam berbagai aspek kolonialisme Eropa di Hindia Belanda. Agresifitas tersebut itu pula yang kemudian membentuk sebuah ruang teritori, dan kultural ‘baru’ yang bernama Indonesia, melalui rekonstruksi ruang teritori dan kultural
pra-kolonial dengan nalar modern itulah Indonesia dibentuk. Pembentukan Indonesia itu berangkat dari asumsi modernitas sebagai proses pemeradaban yang menjadi keharusan sejarah. Di dalam ruang baru itu berbagai konsep dan batasan dibangun dan membentuk kepulauan Indonesia dengan batas-batas teritorinya.
Akan dibahas juga proses pembentukan identitas keindonesiaan yang diwarnai perpecahan yang telah berakar di masa kolonial. Perpecahan ini memuncak pada pemberontakan-pemberontakan dari Kahar Muzakar, DI/TII hingga PRRI/PERMESTA.
Pada bagian ketiga pembahasan akan memasuki wilayah wacana Orde Baru yang membentuk Nusa Utara menjadi Sangihe-Talaud, suatu kepulauan perbatasan dan secara administratif dikategorikan sebagai daerah terpencil, daerah tertinggal, dan beberapa
kategori lain yang dikembangkan oleh berbagai departemen pemerintah. Kategori-kategori ini tak lain merupakan kelanjutan mekanisme reproduksi marjinalisasi dan sub-ordinasi. Wacana Sangihe Talaud bentukan pemerintah pusat ini telah membentuk beragam relasi kekuasaan yang asimetris di antara Sangihe dan Talaud. Dominasi teritori dan kultur Sangihe
Pada bagian yang sama juga akan dibahas wacana-wacana yang menghasilkan produk hukum berupa kerjasama-kerjasama kontraktual di bidang pendidikan, kultur dan seni antara negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dengan
Republik Filipina. Pembahasan akan melihat bagaimana dampak kerjasama tersebut terhadap ‘nasib’ relasi keseluruhan SATAS dengan ‘kerabatnya’ di Filipina Selatan.
Reformasi dan desentralisasi kemudian menjadi momentum Talaud untuk lepas dari
‘penjajahan’ Sangihe dan menjadi Otonom. Maka Nusa Utara terbelah menjadi Kabulaten Sangihe dan Kabupaten Talaud. Dalam pilihan untuk Otonom, Talaud mencoba merekonstruksi identitasnya yang selama ini tenggelam dalam bayang-bayang kultur
Sangihe. Beberapa tahun kemudian pulau-pulau kecil bernama Siau, Tagulandang dan Biaro yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Sangihe menuntut otonomi, dan berhasil mendirikan kabupaten SITARO.
Bagian keempat, bagian terakhir dari bab ini, akan membahas relasi SATAS dan Moro
yang sangat kental diwarnai asumsi Islam-Teroris yang menghancurkan relasi kekerabatan SATAS dengan bangsa Moro di Filipina Selatan. Pembahasan relasi dengan Moro ini dilakukan tersendiri karena karakter relasi SATAS dengan bangsa Moro yang ‘khusus’.
A. Pemerintahan Nusa Utara Pra-Kolonial
Catatan Antonio Pigaffeta -seorang juru tulis Magellan- bertahun 1421,
berbeda. Ia mencatat, kira-kira tahun 1670 terdapat 9 kerajaan di Sangihe-Talaud yakni: Kendahe, Taruna, Kolongan, Manganitu, Kauhis, Limau, Tabukan, Sawang dan Tamako.
Dua kerajaan mula-mula terdapat di Kendahe, Sangihe Besar22. Kerajaan ini sangat
kental dipengaruhi oleh sistem kekuasaan di Sulu dan Mindanao. Hubungan kedua kerajaan tersebut dengan Filipina Selatan memang erat. Kerajaan Kendahe oleh sebuah situs bersejarah di Mindanao menyebutnya Candahar (Winsulangi & Sombowadile 2008).
Pada awalnya kerajaan ini berada di bawah kekuasaan kerajaan Mindanao Tubis, tetapi kemudian berpisah. Kerjaan Kendahe meliputi sebagaian wilayah kabupaten Sangihe sekarang ini, antara lain: Bahu, Talawid, Kendahe, Kolongan, Batuwukala. Demikian juga
dengan Lipang, Miangas dan Kawio. Tidak hanya sebatas Sangihe, beberapa wilayah Mindanao juga menjadi bagian dari kerajaan ini. Wilayah tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Valentijn adalah Coelamang, Daboe (Davao), Ijong, Maleyo, Catil dan Leheyne
Kerajaan lainnya yang merupakan kerajaan tertua di kawasan Sangihe-Talaud adalah Tabukan. Wilayah kerajaan ini juga mencakup beberapa wilayah Sangihe seperti Marore, Nusa, Bukida, Tehang, hingga Matutuang. Dan wilayah Talaud seperti Beo, Loba, Esang,
Lirung, Salibabu, Bonoda, Rawis masuk wilayah kerajaan tersebut kemudian. Kerajaan Tabukan juga mencakup hingga wilayah Filipina Selatan.
Pendiri kedatuan “Tampungan Lawo” cikal bakal kerajaan Tabukan adalah
Gumansalangi. Ia seorang pangeran dari Sultan Cottabatu yang beretnik Merano, Mindanao Selatan, yang kini menjadi salah satu suku pembentuk bangsa Moro.
Di awal abad 20, tahun 1900-an, hanya tersisa empat kerajaan saja yaitu: Manganitu, Kendahe yang bergabung dengan Tahuna sehingga disebut Kendahe-Tahuna/Taruna, Siau
22Yang dimaksud dengan Sangihe Besar adalah pulau terbesar di kepualauan Sangihe tempat ibu kota Kabupaten Sangihe
dan Tabukan. Pada tanggal 13 Mei 1912 Kepulauan Nanusa yang sekarang adalah kecamatan Nanusa dan pulau Palma atau Miangas yang berada di Talaud masuk dalam wilayah kerajaan Kendahe-Tahuna23.
Dari Filipina Selatanlah Islam masuk ke Sangihe-Talaud. Tercatat bahwa telah terjadi migrasi sekelompok keluarga dari Tugis di Mindanao ke beberapa wilayah pesisir Sangir Besar seperti Talawid, Tarianglama, Mohongsawang, Tabukan, pulau-pulau Bukide, dan
Enggohe.
(Gambar 1. Peta penyebaran Islam di Nusa Utara pada masa Imam Masade)
Kelompok ini dipimpin oleh seorang imam Islam bernama Masade. Hingga saat ini agama Islam yang dibawa oleh Imam Masade masih dianut oleh orang-orang di tempat-tempat yang disebutkan tadi, dan disebut sebagai Islam Tua. Imam Masade wafat di Sangihe, kemudian jasadnya dibawa pulang ke Mindanao dan diperlakukan sebagai kuburan keramat
tempat ziarah pemeluk Islam Tua dari Sangihe Besar.
A.1 Masuknya Bangsa-bangsa Eropa
Dalam sejarah kolonialisme Eropa, abad 17 merupakan abad persaingan perluasan
wilayah antara Spanyol, Inggris, Portugis dan Belanda di Nusantara. Sejarah mencatat Nusa Utara merupakan arena perebutan kekuasaan antara Spanyol, Portugis dan Belanda, kemudian Amerika atas pulau Miangas atau di sebut Las Palmas (Palma).
Kepulauan ini memang sangat subur karena aktifitas vulkaniknya. Rempat-rempah berupa cengkeh dan pala merupakan komoditas utama yang menarik bangsa-bangsa Eropa datang dan menguasainya. Kelapa juga komoditas yang menarik minat mereka. Jauh
sebelum perusahaan swasta Belanda-VOC- masuk ke Maluku, Spanyol telah mapan di Filipina. Masuknya VOC menimbulkan persaingan. Semula hanya persaingan dagang, tetapi kemudian berkembang ke persaingan penyebaran agama. Spanyol menyebarkan agama Katolik, Belanda Protesan Calvinis.
Nusa Utara berhasil diambil alih oleh pemerintah Belanda dan menjadi bagian dari koloni Belanda. Tahun 1825, kawasan ini dimasukkan sebagai wilayah Residen Manado yang berada di bawah Gubernemen Maluku. Kemudian, Manado dijadikan wilayah karesidenan
tersendiri yang terpisah dari Ternate. Perubahan ini membuat kiblat Nusa Utara, terutama di bidang pendidikan, yang sebelumnya berorientasi ke Filipina beralih ke Manado.
Demikian juga dengan Politik, perdagangan dan pekabaran Injil. Semua perdagangan
Pelayaran di kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro diorientasikan ke Manado sebagai sub-sistem dari sub-sistem pelayaran Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Semua sub-sistem ini distrukturisasi oleh Belanda. Kawasan Nusa Utara resmi dijadikan sebagai Landstreek Van
Manado.
Bangsa-bangsa Eropa terutama Belanda inilah yang telah membawa agama Kristen masuk dan menggeser pengaruh Islam dari Filipina Selatan. Hingga kini mayoritas penduduk
kepulauan SATAS adalah Kristen Protestan.
A.2 Memperebutkan Miangas
Meskipun pada abad 20 kepulauan SATAS sudah menjadi bagian dari Hindia Belanda, namun kekuasaan itu terganjal oleh Paris Treaty 1898. Akibatnya, Amerika yang menjajah Filipina setelah mengusir Spanyol, mengklaim Miangas sebagai miliknya. Paris Treaty merupakan persetujuan serah terima wilayah jajahan Spanyol di Filipina kepada Amerika
Serikat. Pasal III dari Paris Trety tersebut mengatakan, Spanyol menyerahkan kepada Amerika Serikat kepulauan yang dikenal sebagai pulau-pulau Filipina, dan pulau-pulau tercakup dalam garis-garis yaitu: Garis memanjang Barat ke Timur, sepanjang garis 200
Lintang Utara lewat bagian alur Bachi yang dapat dilayari, dari garis 1180 ke 1270 Bujur Timur, lantas sepanjang 1270 Bujur Timur, ke sejajaran garis 4045’ Lintang Utara, dan sepanjang garis lintang ini ke titik silang 119035’ Bujur Timur kemudian, dari posisi bujur ini
Pada tahun 1925 persengketaan atas Miangas ini di bawa kePermanent Court of Arbritration. Amerika Serikat berargumen bahwa sebagai pihak penerus kekuasaan atas bekas koloni Spanyol mereka berhak atas pulau Miangas, tidak hanya atas alasan peta
Cartographer tetapi juga diperkuat oleh perjanjian antara kedua negara. Perjanjian yang dirujuk di sini adalah perjanjian Munster 1648, tentang pembagian teritori Belanda dan Spanyol atas Hindia Timur dan Barat. Dalam perjanjian ini telah disepakati pasal pemilikan
aktual. Hak ini masih berlaku karena tidak ada perjanjian Internasional lain yang membatalkan perjanjian tersebut sampai serah terima terjadi dalam Paris Treaty 1889.
Letak geografis Miangas yang masuk dalam gugusan pulau-pulau Filipina juga
menjadi alasan klaim Amerika Serikat atas pulau itu. Atas nama hak kontiguitas, yaitu hak kepemilikan wilayah berdasarkan letak geografis, Amerika Serika mengklaim Miangas adalah miliknya, tanpa harus memandang apakah telah terjadi penyelenggaraan pembangunan atau tidak oleh Amerika Serikat di pulau Miangas.
Untuk menyanggah klaim Amerika Serikat, Belanda berargumen bahwa tidak ada bukti kuat bahwa Spanyol menemukan pulau Miangas. Kolonisasi Belanda telah berlangsung di sana semenjak 1677, kedaulatan Belanda ini berasala dari perjanjian dengan raja-raja
pribumi Kepulauan Sangihe. Perjanjian-perjanjian ini menegaskan kedaulatan dan kekuasaan Belanda sebagai penguasa tertinggi terhadap seluruh wilayah raja-raja yang mengikat perjanjian dengannya.
Dalam sidang kasus tersebut hakim arbitrator Max Hubert memenangkan Belanda berdasarkan bukti bahwa Belanda telah menerapkan kedaulatannya secara terus-menerus dengan cara damai di pulau Miangas24.
2410 butir pertimbangan/argumentasi Hubert yang memenangkan Belanda atas Miangas yaitu:
A.3 Kepulauan yang Masih terpuruk
Kepulauan SATAS hingga kini berkembang sangat lambat. Berdasarkan kondisi
desa-desanya pada tahun 1995 Bappenas menetapkan seluruh desa di SATAS (yang pada masa itu masih disebut kabupaten Sangihe-Talaud) sebagai desa Miskin, sehingga masuk dalam kriteria desa yang meperoleh program IDT (Inpres Desa Tertinggal)
Beberapa penyebab kemiskinan ini dikarenakan keterbatasan ruang daratan dan rendahnya produktifitas (Salindeho& Sombowadile 2008). Kondisi kepulauan yang sebagian besar pulau-pulaunya adalah pulau-pulau mikro yang terjal, menyebabkan terbatasnya
ruang pemukiman dan olahan. Ruang yang layak menjadi pemukiman dan ruang olahan hanyalah pesisir pantai pulau-pulau besar. Pulau-pulau mikro dapat dijadikan pemukiman sejauh tersedia air tawar bersih, serta bahan makanan.
Kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya produktifitas terjadi karena berbagai
usaha masyarakat tidak dapat dipasarkan. Bukan karena masyarakat tidak menghendaki namun jika pola perikanan dan pertanian dilakukan lebih produktif dengan skala yang lebih
2) Tidaklah cukup menetapkan suatu hak kedaulatan wilayah yang diperoleh pada waktu tertentu, namun harus diperagakan bahwa kedaulatan wilayah itu terus berlangsung dan tetap berlangsung pada waktu terkait putusan persengketaan dianggap kritisa. Peragaan itu, yaitu penampakan aktual aktivitas-aktivitas negara yang terkait dengan kedaulatan teritorial.
3) Secara alamiah kedaulatan terhadap sebuah wilayah hakikatnya tidak terbatas ihwal keberlangsungannya 4) Penampakan kedaulatan teritorial secara damai dan terus-menerus (damai dalam kaitan dengan negara lain)
sama baiknya dengan kepemilikan
5) Jauh sebelum munculnya hukum internasional, batas-batas daratan ditetapkan oleh fakta bahwa kekuasaan negara diterapkan di dalamnya, sedemikian juga, di bawah aturan hukum Internasional, fakta penampakan terus-menerus dan damai merupakan pertimbangan paling pentind dalam penetapan abtas-batas antar negara 6) Penampakan fungsi-fungsi negara secara damai dan terus menerus pada saat munculnya sengketa merupakan
kriteria bagi penentuan kelayakan alamiah kedaulatan teritorial
7) Okupasi, yaitu membuat klaim terhadap kedaulatan teritorial, haruslah efektif, yaitu memberikan jaminan-jaminan tertentu terhadap negara lain dan bagi warga negaranya
8) Atas alasan-alasan tadi, penemuan semata, tanpa tindakan sesudahnya, tidak bisa pada waktu kini memadai dalam rangka membuktikan kedaulatan terhadap Pulau Palmas (atau Miangas); dan sejauh itu memang terbukti tidak ada kedaulatan, pertanyaan tentang ditinggalkannya kedaulatan oleh satu negara dan digantikan negara lain tidaklah relevan dibicarakan
9) Hak atas dasar penemuan harus disempurnakan dalam periode tertentu dengan pendudukan efektif terhadap daerah yang ditemukan