• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Konsep Diri

a. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri merupakan bagian penting dalam membentuk kepribadian peserta didik. Secara umum konsep diri dapat didefinisikan sebagai pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Krause, Bochner, dan Duchesne (Surna, 2014:140) menyatakan, “Konsep diri merupakan kumpulan pengetahuan, ide, sikap, dan kepercayaan tentang apa yang terdapat dalam diri sendiri”. Selanjutnya Burn (Ghufron & Risnawita, 2010:13) menyatakan, “Konsep diri sebagai kesan terhadap diri sendiri secara keseluruhan yang mencakup pendapatnya terhadap diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapatnya tentang hal-hal yang dicapai”.

Dikemukakan pula oleh Willey (Ghufron & Risnawita, 2010:15) yang menyatakan, “Sumber pokok pembentukan konsep diri adalah interaksi dengan orang lain”. Pendapat di atas turut didukung oleh pernyataan C.H. Cooley (Ghufron & Risnawita, 2010:15) yang menyatakan bahwa kita menggunakan orang lain untuk menunjukkan siapa diri kita. Pandangan dan penilaian orang lain tersebut menjadi gambaran diri kita. Gabriel Marcel (Hutagalung, 2007:23) menyatakan:

“Kata kunci untuk memahami konsep diri manusia tidak dapat mengabaikan relasi antarmanusia. Bahwa manusia itu ada-dengan-partisipasi (being-by-participation), yaitu manusia masuk ke dalam (ada) individualnya dengan persekutuannya dengan manusia-manusia lainnya melalui cinta, harapan, dan kepercayaan”.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah keyakinan, pandangan, dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri yang terbentuk melalui persepsi dan interpretasi

(2)

dari diri sendiri dan lingkungan. Konsep diri mencakup pendapatnya terhadap diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapatnya tentang hal-hal yang dicapai.

b. Jenis Konsep Diri

Colhun dan Acocella (Musbikin, 2013:118) menyatakan bahwa konsep diri terbagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Berikut penjelasan mengenai jenis konsep diri positif dan negatif:

1) Konsep Diri Positif

Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai konsep diri positif. Menurut Brooks dan Emmert (Musbikin, 2013:118) seseorang yang memiliki konsep diri positif antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Yakin akan kemampuan mengatasi masalah

Individu yang memiliki konsep diri positif mempunyai keyakinan bahwa dirinya memiliki cukup kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah. Keyakinan tersebut akan memberikan dorongan yang positif serta menjadi motivasi bagi dirinya untuk memecahkan suatu masalah.

b) Merasa setara dengan orang lain

Individu yang memiliki konsep diri positif mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, mampu menghargai dirinya dengan baik, dan memiliki keyakinan bahwa dirinya cukup baik untuk dibandingkan dengan orang lain.

c) Menerima pujian tanpa rasa malu

Individu yang memiliki konsep diri positif menganggap pujian sebagai suatu hal yang wajar, apabila pujian tersebut memang pantas untuk diberikan kepada dirinya.

(3)

d) Perilaku sesuai dengan nilai dan norma

Menyadari bahwa setiap individu mempunyai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat. e) Mampu memperbaiki diri.

Individu yang memiliki konsep diri positif dapat mengenal dirinya sendiri dengan baik, karena mampu memahami kelebihan dan kekurangan yang ada dalam dirinya. Apabila terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan ia akan berusaha untuk mengubahnya.

Pernyataan lain dikemukakan oleh Hutagalung (2007:25) bahwa konsep diri positif akan tercermin pada sikap antara lain: (1) Terbuka pada penilaian dan pendapat orang lain mengenai dirinya. Penilaian dan pandangan yang baik dari orang lain akan diterima secara positif dan penilaian yang kurang baik akan dijadikan motivasi untuk menjadi lebih baik; (2)Tidak mengalami hambatan untuk berbicara dengan orang lain, karena individu dengan konsep diri positif mudah berinteraksi dengan orang lain dan merasa mempunyai cukup kemampuan untuk menghadapi situasi baru; (3) Cepat tanggap terhadap situasi di sekelilingnya. Individu dengan konsep diri positif akan cepat memberikan respon sesuai yang dibutuhkan lingkungan.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang memiliki sikap optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu. Mampu menerima kelebihan dan kekurangan yang ada dalam diri serta mampu mengevaluasi dan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas.

(4)

2) Konsep Diri Negatif

Konsep diri negatif adalah pandangan negatif yang diberikan individu kepada dirinya sendiri. Brews (2008:43) menyatakan, “Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya”. Hal ini berarti bahwa, individu yang memiliki konsep diri negatif menganggap bahwa dirinya tidak lebih baik dari orang lain, sehingga penghargaan atas dirinya sendiri kurang baik. Hal tersebut membuat individu merasa tidak memiliki cukup kemampuan untuk menghadapi tantangan dan kesempatan yang ada dalam hidupnya.

Brooks dan Emmert (Musbikin, 2013:119) menyatakan ada empat ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif, antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Peka terhadap kritik

Individu yang memiliki konsep diri negatif tidak menyukai kritikan, karena menganggap kritikan sebagai usaha orang lain untuk menjatuhkan harga dirinya. Oleh karena itu individu tersebut sering mempunyai masalah dengan interaksi sosial karena tidak mau menerima pendapat orang lain yang tidak sesuai dengan harapannya.

b) Responsif sekali terhadap pujian

Inividu yang memiliki konsep diri negatif menyukai segala bentuk pujian. Mereka menganggap bahwa pujian yang diberikan orang lain dapat menunjang harga dirinya. Sebaliknya, sikapnya terhadap orang lain suka mengkritik, mencela dan meremehkan.

c) Merasa tidak disenangi oleh orang lain

Individu yang memiliki konsep diri negatif merasa tidak diperhatikan oleh orang lain, sehingga menganggap orang lain sebagai musuh. Hal tersebut menyebabkan individu tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban dengan orang lain.

(5)

d) Pesimis terhadap kompetisi

Individu yang memiliki konsep diri negatif enggan bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Individu tersebut merasa tidak mempunyai cukup kemampuan untuk melawan orang lain dan kompetisi hanya akan merugikan dirinya.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, individu yang memiliki konsep diri negatif cenderung memandang dirinya lemah, tidak berdaya, gagal, tidak mempunyai kelebihan, merasa diri kurang berharga, pesimis, dan tidak bisa menerima kritikan. Sehingga akan berdampak pada interaksinya dengan orang lain.

c. Pembentukan dan Pengembangan Konsep Diri

Cooley (Ghufron & Risnawita, 2010: 15) menyatakan bahwa individu menggunakan pandangan orang lain dalam menunjukkan siapa dirinya. Gambaran diri berkembang dalam dua tahap. Pertama, kita menginternalisasikan sikap orang lain terhadap diri kita. Kedua, kita menginternalisasikan norma masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah ciptaan sosial dan hasil belajar dari interaksi dengan orang lain.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang. Menurut Hutagalung (2007:27). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri, sebagai berikut:

1) Orang lain

Penilaian orang lain akan mempengaruhi penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Hanya orang-orang tertentu yang mempunyai peran penting dalam kehidupan seseorang atau biasa disebut dengan significant others yang dapat mempengaruhi penilaian individu terhadap dirinya. Ketika kecil, significant others adalah orang tua dan saudara. Dari merekalah individu mulai

(6)

membentuk konsep dirinya. Dalam perkembangannya significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan seseorang.

Saat individu telah dewasa, maka yang bersangkutan akan mencoba untuk menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengannya. Konsep ini disebut dengan generalized others, yaitu pandangan seseorang mengenai dirinya berdasarkan keseluruhan pandangan orang lain terhadap dirinya.

2) Kelompok acuan (Reference Group)

Individu dalam menjalani kehidupannya, tidak bisa lepas dari perannya sebagai anggota mssyarakat. Interaksinya dengan lingkungan membuat individu menjadi anggota dari berbagai kelompok. Diantara kelompok tersebut ada yang disebut dengan kelompok acuan, yang membuat individu mengarahkan perilakunya sesuai dengan norma dan nilai yang dianut kelompok tertentu. Kelompok inilah yang mempengaruhi konsep diri seseorang.

Sedangkan menurut Thalib (2010:124-125) “Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri siswa mencakup faktor keadaan fisik yakni penilaian orang lain mengenai fisik individu, faktor keluarga termasuk pengasuhan orang tua, pengalaman perilaku kekerasan, sikap saudara, status sosial ekonomi, dan faktor lingkungan sekolah”.

Sementara menurut Joan Rais (Musbikin, 2013: 113-114) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri individu adalah:

1) Jenis kelamin

Individu mempunyai tuntutan peran yang bermacam-macam berdasarkan jenis kelamin. Tuntutan tersebut dari perannya sebagai bagian dari anggota keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.

(7)

2) Harapan-harapan

Harapan orang lain akan mempengaruhi individu dalam memandang dirinya sendiri. Harapan yang positif dari orang lain bahwa inividu mampu menjadi pribadi yang dapat diandalkan di masa depan akan memotivasi individu dalam melakukan tingkah laku untuk menuju harapan-harapan tersebut.

3) Suku bangsa

Masyarakat terdiri dari berbagai macam kelompok suku bangsa. Apabila individu termasuk sebagai kaum minoritas, biasanya mempunyai konsep diri yang cenderung lebih negatif

4) Nama dan pakaian

Pemberian nama dari orang tua yang kurang sesuai dengan perkembangan zaman atau nama-nama tertentu yang lain dari kebiasaan akan membuat individu menjadi bahan tertawaan diantara teman-temannya, sehingga akan membuat individu mengarah kepada pembentukan konsep diri yang lebih negatif. Demikian halnya dengan cara berpakaian, individu dapat menilai atau mempunyai gambaran sendiri mengenai dirinya.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, konsep diri terbentuk dari ciptaan sosial dan hasil belajar dari interaksi dengan orang lain. Faktor-faktor yang membentuk konsep diri antara lain jenis kelamin, orang tua, saudara, teman sebaya, dan lingkungan masyarakat.

d. Aspek-Aspek Konsep Diri

Ada beberapa aspek dalam konsep diri. Menurut Berzonsky (Prawoto, 2010:22) aspek-aspek konsep diri meliputi:

1) Aspek fisik

Merupakan penilaian individu terhadap fisik yang dimilikinya. Meliputi penampilan, bentuk tubuh dan kesehatan.

(8)

2) Aspek sosial

Merupakan penilaian individu terhadap peran sosialnya sebagai anggota keluarga maupun masyarakat.

3) Aspek moral

Merupakan penilaian individu terhadap perilakunya yang sesuai dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat

4) Aspek psikis

Merupakan penilaian individu terhadap kemampuan dan sifat-sifat dalam dirinya.

Cohoun dan Acocella (Ghufron & Risnawita, 2010:17) mengatakan konsep diri terdiri dari tiga dimensi atau aspek, yaitu:

1) Pengetahuan

Pengetahuan adalah apa yang individu ketahui tentang dirinya. Meliputi keadaan fisik, usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, agama, dan lain-lain.

2) Harapan

Individu mempunyai harapan-harapan tentang dirinya berkaitan dengan kemungkinan menjadi apa dirinya di masa depan. 3) Penilaian

Di dalam penilaian, individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya sendiri. Semakin tidak sesuai antara harapan dan standar diri, maka akan semakin rendah harga diri seseorang.

Hattie (Thalib, 2010:123) menggolongkan konsep diri atas dua kategori utama, yaitu:

“Konsep diri umum dan konsep diri khusus. Konsep diri khusus mencakup konsep diri akademik, konsep diri sosial, dan presentasi diri. Konsep diri akademik mencakup kemampuan akademik, prestasi akademik, konsep diri berkelas. Konsep diri sosial termasuk konsep diri dalam hubungan dengan teman sebaya dan keluarga. Presentasi diri mencakup kepercayaan diri dan penampilan fisik”.

(9)

Konsep diri memiliki beberapa dimensi. William Howard Fittts (Musbikin, 2013:111-112) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Penjelasan dari dimensi-dimensi tersebut yaitu:

1) Dimensi internal adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi internal terdiri dari tiga bentuk:

a) Diri Identitas (Identity Self).

Merupakan aspek paling mendasar pada diri individu yang mengacu pada pertanyaan, “siapakah saya”. Individu memberikan label-label dan simbol pada dirinya sendiri untuk menggambarkan seperti apa dirinya.

b) Diri Pelaku (Behavior Self)

Merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. Diri perilaku berjalan sesuai dengan diri identitas. Diri yang ideal akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya.

c) Diri Penerimaan (Judging Self)

Berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dan diri perilaku. Komponen ini memberi pengaruh terhadap harga diri seseorang.

2) Dimensi Eksternal adalah penilaian individu mengenai dirinya sendiri melalui hubungan dan aktivitas sosial, nilai-nilai yang di anut, serta hal-hal lain di luar diri individu. Dimensi eksternal dibedakan atas lima bentuk, yaitu:

a) Diri Fisik (Physical Self), yaitu pandangan individu terhadap kondisi fisiknya yang mencakup kesehatan, penampilan diri dan gerak motorik.

(10)

b) Diri Keluarga (Family Self), yaitu pandangan dan penilaian individu terhadap perannya sebagai bagian dari anggota keluarga.

c) Diri Pribadi (Personal Self), yaitu pandangan individu terhadap keadaan dirinya. Sejauh mana individu merasa puas terhadap diri pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

d) Diri Moral Etik (Moral-Ethical Self), yaitu persepsi individu terhadap perilakunya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Perilaku individu didasarkan pada nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk. e) Diri Sosial (Social Self), yaitu persepsi individu terhadap dirinya

dilihat dari interaksi sosial dengan orang lain dan lingkungan sekitar.

Gambaran konsep diri diperoleh dari penilaian individu terhadap berbagai aspek dalam dirinya. Thalib (2010:121) menyatakan bahwa konsep diri menggambarkan pengetahuan tentang diri sendiri yang mencakup konsep diri jasmaniah, diri sosial, dan diri spiritual. Konsep diri jasmaniah mencakup keadaan fisik, fungsi, dan penampilan fisik. Konsep diri sosial mencakup kecenderungan untuk menjalin persahabatan atau mengembangkan hubungan dengan orang lain. Konsep diri spiritual mencakup keseluruhan kapasitas psikis, keadaan kesadaran, dan disposisi seseorang.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri memiliki beberapa aspek. Aspek- aspek tersebut meliputi aspek fisik, sosial, psikis dan moral. e. Peranan Konsep Diri

Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku seseorang. Bagaimana seseorang memandang dirinya akan tercermin dari keseluruhan perilakunya. Felker (Desmita, 2011:169)

(11)

menyatakan terdapat tiga peranan penting konsep diri dalam menentukan perilaku seseorang, yaitu:

1) Konsep diri mempertahankan keselarasan batin individu

Individu dalam menjalani kehidupan dihadapkan pada situasi yang terkadang tidak sesuai dengan harapan. Apabila ide, perasaan, persepsi atau pikiran individu tidak seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah parilaku atau memilih suatu sistem untuk mempertahankan kesesuaian antara dirinya dengan lingkungan. 2) Konsep diri menentukan bagaimana individu memberikan penafsiran

atas penglamannya

Pandangan individu mengenai dirinya akan mempengaruhi cara pandang individu dalam menafsirkan pengalaman-pengalaman yang terjadi dalam hidupnya. Sebuah kejadian akan ditafsirkan secara berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain. Apabila individu menafsirkan pengalamannya secara negatif hal tersebut disebabkan oleh pandangan dan sikap negatif terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya, tafsiran positif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pandangan dan sikap positif terhadap dirinya sendiri.

3) Konsep diri berperan sebagai penentu pengharapan individu

Pandangan individu terhadap dirinya sendiri akan mempengaruhi pengharapan individu terhadap sesuatu. Peserta didik yang percaya diri dalam menghadapi ujian akhir dengan mengatakan “saya anak pintar dan saya sudah belajar dengan giat, nilai saya pasti bagus”, sesungguhnya sudah mencerminkan harapan apa yang akan terjadi dengan hasil ujiannya. Ungkapan tersebut menunjukkan keyakinannya bahwa ia mempunyai kemampuan untuk memperoleh nilai yang baik. Keyakinannya tersebut mencerminkan sikap dan pandangan positif terhadap dirinya sendiri. Pandangan positif

(12)

terhadap dirinya menyebabkan individu mengharapkan tingkat keberhasilan yang dicapai pada taraf yang tinggi.

Konsep diri dan prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat. Nylor (Desmita, 2011:171) mengemukakan bahwa banyak penelitian yang membuktikan hubungan positif yang kuat antara konsep diri dengan prestasi belajar di sekolah. Peserta didik yang memiliki konsep diri positif, diharapkan dapat memperlihatkan prestasi belajar yang baik di sekolah, memiliki penilaian diri yang tinggi, serta menunjukkan hubungan antarpribadi yang positif. Mereka menentukan target prestasi belajar yang realistis dan mengarahkan kecemasan akademis dengan belajar keras dan tekun, serta aktivitas-aktivitas mereka selalu diarahkan pada kegiatan akademis. Mereka juga memperlihatkan kemandirian dalam belajar, sehingga tidak tergantung kepada guru semata. Sementara itu Jiang (Thalib, 2010:122) menyatakan, “Perkembangan konsep diri dan percaya diri yang positif akan berpengaruh positif terhadap perkembangan sosial”.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri mempunyai peran penting dalam kehidupan seseorang. Peran konsep diri diantaranya sebagai penyeimbang keselarasan batin individu, pengharapan individu, sikap terhadap diri sendiri, meningkatkan prestasi, dan perkembangan sosial.

2. Konseling Behavioral dengan Teknik Model Simbolis a. Konseling Behavioral

1) Pengertian Konseling Behavioral

Konseling merupakan proses pemberian bantuan oleh konselor kepada konseli untuk membantu mengentaskan masalah yang dialami konseli. Berkaitan dengan pengertian konseling, Pepinsky&Pepinsky (Prayitno & Amti, 2008:100) menyatakan, “Konseling adalah interaksi antara dua orang individu yang disebut konselor dan klien yang terjadi dalam suasana professional, dilakukan dan dijaga sebagai

(13)

alat untuk memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien”. Pendapat tersebut menegaskan bahwa konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli (konselor) kepada individu yang mengalami masalah (klien) agar individu dapat memecahkan masalahnya secara mandiri, sehingga individu dapat menyesuaikan diri secara efektif dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungan.

Pandangan behavioral menitikberatkan pada proses belajar sebagai cara untuk membentuk tingkah laku manusia. Corey (2005:193) menyatakan, “Terapi tingkah laku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar”. Corey (2005:193) menyatakan bahwa terapi ini menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk mengubah tingkah laku dengan cara-cara yang lebih adaptif. Hartono dan Soedarmadji (2012:117) menyatakan bahwa konseling behavioral mencoba untuk mengilmiahkan semua perilaku manusia, bahwa semua perilaku manusia dapat diamati, diukur dan dapat didefinisikan secara operasional sehingga dapat dilakukan penilaian secara objektif.

Lubis (2011:167) menyatakan bahwa para ahli behavioristik memandang gangguan tingkah laku diperoleh dari proses belajar yang salah. Oleh karena itu, perilaku tersebut dapat diubah dengan cara mengubah lingkungan menjadi lebih positif, sehingga perilaku yang dihasilkan juga menjadi positif. Selanjutnya Corey (2005:196) menyatakan ciri-ciri terapi behavioristiksebagai berikut: (1) Berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik; (2) Pemberiantreatment secara jelas dan cermat; (3) Merumuskan prosedur treatment secara spesifik sesuai dengan masalah klien; (4) Menafsirkan hasil terapi secara objektif. Segayut dengan itu, Gladding (Lubis, 2011:168) menyatakan, “Terapi behavioristik merupakan pilihan bagi konselor untuk menangani masalah klien seperti gangguan makan,

(14)

penyalahgunaan obat, disfungsi psikoseksual, kecemasan, stres, asertivitas, dan masalah interaksi sosial”.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa konseling behavioral adalah bantuan yang diberikan konselor kepada konseli untuk mengubah tingkah laku maladaptif menjadi adaptif melalui proses belajar dengan cara mengubah lingkungan lebih positif.

2) Pandangan Tentang Manusia

Menurut pandangan behavioristik setiap orang dipandang memiliki kecenderungan positif atau negatif karena pada dasarnya kepribadian manusia dibentuk oleh lingkungan sosial budaya dimana ia berada. Perilaku manusia dihasilkan dari pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan sekitar. Lingkungan yang baik akan menghasilkan perilaku baik, begitu juga sebaliknya. Jadi, manusia adalah produk dari lingkungan (Lubis, 2011:168). Bandura (Lubis, 2011:169) menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menghadapi stimulus (rangsangan) dari lingkungan. Hal tersebut bermakna bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan sesuai dengan respon yang diberikan oleh lingkungan.

Dustin & George (Lubis, 2011:169) mengemukakan pandangan mereka tentang konsep manusia sebagai berikut:

a) Manusia dilahirkan bersikap netral, sehingga memiliki kemampuan untuk berperilaku baik atau jahat

b) Manusia dapat mengontrol perilakunya sendiri, apabila perilakunya tidak sesuai dengan yang diharapkan lingkungan, manusia akan berusaha mengubahnya.

c) Manusia dapat memperoleh perilaku yang baru. Perilaku baru dapat dipelajari melalui proses belajar.

d) Perilaku manusia dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang lain.

(15)

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik atau jahat, karena pada dasarnya perilaku manusia dibentuk dari lingkungan dimana ia tinggal, (2) Manusia dapat merubah perilaku yang negatif menjadi positif dengan cara mengubah lingkungan yang berperan sebagai proses belajar individu, (3) Manusia juga memiliki kemampuan untuk memberi respon terhadap lingkungan.

3) Tujuan Konseling Behavioral

George dan Cristiani (Lubis, 2011:171) menyatakan, “Konselor harus cermat dan jelas dalam menentukan tujuan konseling”. Tujuan yang cermat dan jelas akan mempermudah konselor dalam memberikan teknik dan prosedur perlakuan yang tepat kepada konseli, serta mempermudah konselor dalam melakukan evaluasi keberhasilan dari proses konseling. Corey (2005:199) menyatakan,

“Tujuan umum konseling behavioral adalah menciptakan kondisi-kondisi baru sebagai proses belajar. Dasar alasannya ialah bahwa segenap tingkah laku dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh”. Krumboltz dan Thorensen (Corey, 2005:201) menetapkan tiga kriteria utama bagi perumusan tujuan, yaitu: (1) Tujuan konseling disesuaikan dengan keinginan klien; (2) Konselor harus bersedia membantu klien dalam mencapai tujuan; (3) Konselor mampu memperkirakan sampai sejauh mana klien dapat mencapai tujuan.

Dikemukakan pula oleh Komalasari, Wahyuni dan Karsih, 2011:156) tujuan konseling behavioral antara lain :

a) Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi konseli sebagai proses belajar

(16)

b) Menghapus hasil belajar yang tidak adaptif dan mengganti dengan pengalaman belajar yang adaptif dan belum dipelajari oleh konseli

c) Membantu konseli mempelajari respon-respon baru yang lebih sehat dan membuang respon-respon yang merusak diri atau maladaptif

d) Konseli belajar perilaku baru yang adaptif dan mempertahankan perilaku tersebut

e) Konselor dan konseli bersama-sama menetapkan tujuan tingkah laku serta bagaimana cara mencapainya

Berkaitan dengan tujuan konseling behavioral, Latipun (Lubis, 2011:157) menyatakan :

“Secara umum tujuan terapi behavioristik adalah menciptakan suatu kondisi baru yang lebih baik melalui proses belajar sehingga perilaku simtomatik dapat dihilangkan. Sementara tujuan behavioristik secara khusus adalah mengubah tingkah laku adaptif dengan cara memperkuat tingkah laku yang diharapkan dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta berusaha menemukan cara-cara bertingkah laku yang tepat”.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan konseling behavioral adalah menghapus tingkah laku yang maladaptif dengan menciptakan kondisi baru sebagai proses belajar untuk membentuk tingkah laku baru yang adaptif dan mempertahankan perilaku tersebut.

4) Teknik-teknik Konseling Behavioral

Teknik-teknik dalam konseling behavioral dapat diterapkan pada konseling individual maupun kelompok. Beberapa teknik tersebut menurut Corey (2005:208-222) sebagai berikut :

a) Desensitisasi Sistematik

Desensitisasi sistematik diarahkan kepada klien untuk menampilkan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan.

(17)

Desensitisasi sistematik melibatkan proses relaksasi. Klien dilatih untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman yang membangkitkan kecemasan yang dibayangkan dan divisualisasi. Pemberian stimulus penghasil kecemasan dipasangkan secara berulang-ulang dengan stimulus penghasil keadaan santai sampai stimulus penghasil kecemasan terhapus.

b) Latihan Asertif

Latihan asertif digunakan untuk membantu klien yang mengalami kesulitan menyatakan atau menegaskan diri di hadapan orang lain. Prosedur yang digunakan menggunakan permainan peran. Melalui permainan peran akan diperlihatkan kelemahan klien dalam situasi nyata. Kemudian klien diajarkan dan diberi penguatan untuk menyatakan atau menegaskan diri di hadapan orang lain.

c) Terapi Aversi

Terapi aversi digunakan untuk meredakan gangguan behavioral yang spesifik, melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan pemberian stimulus yang menyakitkan sampai tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Kendali aversi berupa penggunaan berbagai hukuman atau penarikan pemerkuat positif.

d) Penguatan Positif

Konselor memberi ganjaran berupa penguatan positif segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Penguatan positif digunakan agar klien mempertahankan tingkah laku yang telah terbentuk. Penguatan positif dapat dilakukan dengan memberi senyuman, persetujuan, perhatian, medali, bintang emas dan hadiah-hadiah.

(18)

e) Percontohan

Percontohan atau model sebagai proses belajar melalui observasi terhadap tingkah laku seseorang atau sekelompok orang yang dijadikan model, kemudian diberi penguatan untuk mencontoh tingkah laku sang model.

f) Token Ekonomi

Token ekonomi digunakan apabila penguat lain tidak bisa memberikan pengaruh pada kemajuan tingkah laku konseli. Dalam token ekonomi, tingkah laku yang layak diperkuat dengan penguatan yang bisa diraba (seperti kepingan logam) yang bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diinginkan konseli.

5) Tahap-tahap Konseling Behavioral

Konseling behavioral memiliki beberapa tahap dalam pelaksanaannya. Menurut Rosjidan (Komalasari, Wahyuni dan Karsih, 2011:157) konseling behavioral memiliki empat tahap, yaitu: asesmen (assessment), menentukan tujuan (goal setting), mengimplementasikan teknik (technique implementation), dan evaluasi dan mengakhiri konseling (evaluation-termination). Penjelasan dari tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut :

a) Assesment

Konselor mengumpulkan informasi yang menggambarkan keadaan konseli saat ini. Informasi yang diperlukan berupa aktifitas nyata, perasaan, nilai-nilai dan pikiran konseli. Konselor menganalisis perilaku yang bermasalah saat ini dan mencoba untuk mengidentifikasi latar belakang munculnya masalah tersebut. Tahap assesment diperlukan untuk menyusun strategi pemberian bantuan kepada konseli.

(19)

b) Goal Setting

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment, konselor dan konseli menyusun serta merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling.

c) Technique Implementation

Setelah merumuskan tujuan, konselor dan konseli menentukan strategi belajar yang akan digunakan untuk membantu konseli mencapai perubahan tingkah laku yang diinginkan.

d) Evaluation-Termination

Konselor melakukan evaluasi dengan melihat sejauh mana perubahan tingkah laku konseli setelah melalui proses konseling. Tingkah laku konseli digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas konseling dan efektivitas teknik yang digunakan. Terminasi lebih dari sekedar mengakhiri konseling. Terminasi meliputi : menguji apa yang terakhir konseli lakukan, mengeksplorasi kemungkinan konseling tambahan, membantu konseli mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling dan memantau secara terus menerus tingkah laku konseli.

6) Peran dan Fungsi Konselor

Konselor memainkan peran aktif dan direktif dalam proses konseling, yakni konselor menerapkan pengetahuan ilmiah untuk memecahkan masalah klien. Konselor dalam terapi behavioristik secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku maladaptif klien serta menentukan prosedur penyembuhan yang mengarah pada tingkah laku yang baru dan adaptif (Corey, 2005:202).

Selanjutnya Krasner (Corey, 2005:203) menyatakan, “Peran terapis adalah memanipulasi dan mengendalikan psikoterapi dengan pengetahuan dan kecakapannya menggunakan teknik-teknik belajar dalam suatu sistem penguatan sosial”.

(20)

Goodstein (Corey, 2005:203) menyatakan bahwa peran konselor sebagai pemberi penguatan. Konselor dapat memberikan perkuatan seperti perhatian, minat, dan persetujuan. Perkuatan. yang diberikan konselor adalah bentuk penguatan yang berarti bagi klien.

Peran konselor yang lain adalah sebagai model bagi kliennya. Bandura (Corey, 2005:205) menyatakan, “Salah satu proses fundamental yang memungkinkan klien bisa mempelajari tingkah laku baru adalah imitasi atau percontohan sosial”. Konselor sebagai orang yang membantu dan membimbing klien dalam menjalani proses konseling secara tidak langsung menjadi model pribadi yang ditiru oleh klien, karena klien memandang konselor sebagai orang yang patut untuk diteladani. Klien sering kali meniru sikap, nilai, dan tingkah laku konselor. Oleh karena itu, diharapkan seorang konselor tidak memunculkan perilaku yang tidak semestinya untuk ditiru atau dicontoh oleh klien.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan peran dan fungsi konselor dalam konseling behavioral adalah sebagai guru, pengarah, ahli dalam mendiagnosis tingkah laku dan menyusun prosedur penyembuhan, pemberi perkuatan, dan model bagi klien. b. Teknik Model Simbolis

1) Pengertian Teknik Model Simbolis

Model simbolis merupakan salah satu teknik dalam konseling behavioral. Corey (Nursalim, 2013:121) berpendapat, “Model simbolis (symbolic model) adalah tokoh yang dilihat melalui film, video atau media lain. Contohnya seseorang penderita neurosis yang melihat tokoh dalam film yang dapat mengatasi masalahnya dan kemudian ditirunya”.

Dalam percontohan, individu mengamati seorang model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model. Bandura (Corey, 2005:221) menyatakan bahwa, “Belajar yang bisa diperoleh melalui pengalaman langsung bisa pula diperoleh secara tidak

(21)

langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain berikut konsekuensi-konsekuensinya”. Corey (2005:221) juga berpendapat:

“Kecakapan-kecakapan sosial tertentu bisa diperoleh dengan mengamati dan mencontoh tingkah laku model-model yang ada. Juga reaksi-reaksi emosional yang terganggu yang dimiliki seseorang bisa dihapus dengan cara orang itu mengamati orang lain yang mendekati objek-objek atau situasi-situasi yang ditakuti tanpa mengalami akibat-akibat yang menakutkan dengan tindakan yang dilakukannya. Pengendalian diri pun bisa dipelajari melalui pengamatan atas model yang dikenai hukuman”.

Proses belajar melalui model didapatkan setelah melakukan pengamatan terhadap perilaku orang lain (model) dengan menambah atau mengurangi tingkah laku yang diamati sekaligus melibatkan proses kognitif (Komalasari, dkk.,2011:176).

Hartono dan Soedarmadji (2012:130) menyatakan bahwa seseorang akan belajar dari sisi negatif dan positif yang dimiliki model. Hal tersebut bermakna bahwa jika model memperoleh banyak sisi negatif terhadap suatu kejadian, maka konseli belajar untuk tidak mendekati sisi negatif model yang dicontoh. Sebaliknya jika model memperoleh sisi positif terhadap suatu kejadian, maka konseli belajar untuk meniru sisi positif yang diperankan model.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa teknik model simbolis merupakan kegiatan mengamati perilaku model yang dicontohkan melalui bahan-bahan tertulis, audio, video, film atau slide, sehingga pengamat dapat belajar dari sisi negatif dan positif yang dimiliki model kemudian menirunya menjadi tingkah laku yang baru.

2) Tujuan Teknik Model Simbolis

Menurut Nursalim (2013:121) strategi model dapat digunakan untuk membantu konseli, antara lain sebagai berikut:

a) Melalui pengamatan model, individu belajar perilaku baru sesuai yang ditampilkan model

(22)

b) Melalui pengamatan model, individu dapat menampilkan perilaku baru dengan cara yang tepat dan pada saat yang diharapkan

c) Melalui pengamatan model, individu dapat mengurangi rasa takut dan cemas seperti yang dicontohkan model

d) Melalui pengamatan model, individu dapat mengembangkan keterampilan sosial dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungan sekitar

e) Melalui pengamatan model, individu dapat mengubah perilaku verbal dan dapat mengobati kecanduan narkoba

Pengaruh dan peniruan terhadap model menurut Bandura (Nursalim, 2013:121) ada tiga hal yaitu: 1) Individu mendapatkan respon berupa perilaku baru setelah melihat model yang ditampilkan, kemudian berusaha memadukan hasil pengamatannya dengan perilaku seperti yang dicontohkan model, 2) Individu dapat menghilangkan rasa takutnya setelah mengamati perilaku model saat melakukan sesuatu yang oleh si pengamat atau individu menimbulkan perasaan takut, namun pada tokoh yang ditampilkan tidak berakibat apa-apa atau bahkan akibatnya positif, 3) Individu mengambil respon-respon yang ditampilkan model untuk ditiru perilakunya.

Komalasari, dkk (2011:178-179) tentang pengaruh model simbolis yaitu :

a) Model simbolis memberikan respon kepada pengamat untuk meniru perilaku model dan memperlihatkannya dalam perilaku yang baru.

b) Model simbolis dapat menghilangkan rasa takut individu, yaitu ketika model yang ditampilkan melakukan sesuatu yang oleh individu dianggap sebagai hal yang menakutkan tetapi ternyata tidak berakibat apa-apa bagi model bahkan berakibat positif.

(23)

c) Model simbolis dapat mendorong individu untuk melakukan sesuatu yang sudah dipelajari dan tidak ada hambatan untuk melakukan perilaku tersebut.

Dikemukakan pula oleh Nursalim (2013:121) model simbolis dapat digunakan untuk: (1) Membentuk perilaku baru pada individu; (2) Memperkuat perilaku individu yang sudah terbentuk. Perilaku yang dapat dicontoh individu dari model yang diamati mendapat ganjaran dari konselor.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan teknik model simbolis adalah membentuk perilaku baru, memperkuat perilaku yang sudah terbentuk, menampilkan perilaku yang sudah diperoleh dengan cara yang tepat atau pada saat diharapkan, mengurangi rasa takut dan cemas, serta memperoleh keterampilan sosial.

3) Unsur-unsur Model Simbolis

Cornier (Nursalim, 2013:124). Dalam mengembangkan model simbolis harus mempertimbangkan unsur-unsur sebagai berikut :

a) Karakteristik konseli/pengguna model

Model simbolis yang akan digunakan harus dipertimbangkan karakteristiknya agar sesuai dengan karakteristik si pengamat. Seperti jenis kelamin, usia dan kebiasaan. Hal ini dimaksudkan agar pengamat lebih mudah menyerap respon yang diberikan model, karena model yang diamati sesuai dengan keadaan dirinya.

b) Perilaku tujuan yang akan dimodelkan

Konselor menetapkan perilaku tujuan yang akan dipelajari pengamat untuk menjadi perilaku baru. Apakah cukup menggunakan satu model atau memakai serangkaian model yang dikembangkan.

(24)

c) Media

Konselor menentukan media yang digunakan untuk menampilkan model. Media dapat berupa film, video, komik, slide, buku, serta media lain yang berupa simbol. Masing-masing media memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan media disesuaikan dengan tempat, dengan siapa dan bagaimana model simbolis akan digunakan.

d) Isi tampilan/presentasi

Apa pun bentuk media yang digunakan, konselor tetap harus menyusun naskah yang menggambarkan isi tampilan/presentasi model. Isi naskah tersebut berisi:

(1) Instruksi

Konselor memberikan instruksi berupa gambaran bagi setiap perilaku atau serangkaian perilaku yang ditampilkan model. Instruksi diberikan dengan singkat dan jelas agar konseli dapat dengan mudah mengenali perilaku-perilaku yang akan ditiru. Instruksi yang singkat dan jelas memudahkan perhatian konseli kepada model yang ditampilkan.

(2) Modeling

Konselor membuat naskah berupa gambaran tentang perilaku yang dimodelkan dan dialog-dialog dari aktivitas tersebut. Naskah disajikan dengan runtut dan terencana.

(3) Praktik

Konselor memberi kesempatan kepada konseli untuk mempraktikkan perilaku baru dari apa yang telah mereka baca, lihat, dan dengar dari model yang ditampilkan.

(4) Umpan balik

Setelah konseli mempraktikkan dalam waktu yang cukup memadai, konselor memberikan umpan balik agar konseli mengulangi modeling dan mempraktikkan kembali perilaku yang dirasakan sulit.

(25)

(5) Ringkasan

Konselor membuat naskah yang berisi ringkasan tentang perilaku yang ditampilkan model dan pentingnya konseli meniru perilaku-perilaku tersebut.

(6) Uji coba

Konselor melakukan uji coba pada model yang telah disusun. Hal ini dilakukan agar model yang digunakan tepat sasaran, yaitu dapat digunakan untuk memberi respon kepada konseli sehingga terbentuk perilaku baru. Beberapa hal yang perlu diuji coba seperti penggunaan bahasa, urutan perilaku, model, waktu praktik, dan umpan balik. Uji coba ini dapat dilakukan pada teman sejawat atau pada kelompok sasaran. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa dalam model simbolis terdapat unsur-unsur yang mempengaruhi pelaksanaannya yaitu karakteristik pengguna model, perilaku yang ditampilkan, media yang digunakan, isi tampilan, dan uji coba.

4) Tahap Belajar Melalui Model Simbolis

Model simbolis memiliki tahap-tahap dalam pelaksanaannya. Menurut Woolfolk (Nursalim, 2013:122). Terdapat empat tahap belajar melalui pengamatan perilaku orang lain (modeling), yaitu tahap perhatian (atensi), tahap retensi, tahap reproduksi, dan tahap motivasi. Tahap belajar melalui model simbolis dapat dideskripsikan sebagai berikut :

a) Tahap perhatian (atensi)

Konseli harus memfokuskan perhatiannya saat proses mengamati model berlangsung agar dapat belajar perilaku baru dari model yang ditampilkan.

b) Tahap retensi

Konseli harus mengamati perilaku yang ditampilkan model agar dapat menirunya. Perhatian yang dilakukan konseli akan

(26)

mempermudah untuk mengingat penampilan model dalam memori jangka panjangnya. Dalam tahap retensi, terjadi pengkodean perilaku secara simbolis menjadi kode-kode visual dan verbal dalam penyimpanan memori jangka panjang. Sehingga pada tahap ini terjadi proses kognitif dari pengamat untuk memperoleh gambaran perilaku yang diamati.

c) Tahap reproduksi

Agar konseli dapat memperagakan perilaku baru dengan lancar dan mahir, maka diperlukan latihan berulang kali dan umpan balik dari konselor terhadap perilaku yang ditiru. Umpan balik pada perilaku yang salah akan menghindarkan perilaku tersebut berkembang menjadi kebiasaan yang diinginkan. Umpan balik pada perilaku yang benar akan memotivasi konseli untuk mengembangkan perilaku tersebut pada kehidupannya.

d) Tahap motivasi dan penguatan

Konselor memberi penguatan dan motivasi pada setiap peniruan tingkah laku yang dilakukan konseli. Dengan pemberian penguatan konseli akan lebih termotivasi untuk menaruh perhatian, mengingat dan memproduksi perilaku yang baru. Pemberian penguatan dan motivasi memegang peranan penting dalam pembelajaran melalui pengamatan.

Segayut dengan itu, menurut Komalasari, dkk (2011:179-180) langkah-langkah dalam teknik model simbolis sebagai berikut:

a) Konselor menetapkan bentuk penokohan yang akan menjadi model, apabila model yang digunakan berbentuk simbolis maka dapat menggunakan film, video, buku, komik, slide, dan media lain yang berupa simbol

b) Model menampilkan kompleksitas perilaku yang disesuaikan dengan tingkat perilaku konseli

(27)

c) Konselor memberikan instruksi, aturan, behavior rehersal dan penguatan saat modeling berlangsung

d) Konselor memberi penguatan ketika konseli memperhatikan penampilan model

e) Konselor merencanakan pemberian penguatan pada setiap peniruan tingkah laku yang dilakukan konseli

f) Konselor membagi setiap tahap yang dibutuhkan untuk menampilkan model, mulai dari yang mudah ke arah yang lebih sukar. Hal ini dilakukan apabila perilaku yang dimodelkan bersifat kompleks

g) Konselor membuat skenario yang relalistik mengenai model yang ditampilkan

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ada empat tahap belajar melalui pengamatan perilaku orang lain (modeling) yaitu: tahap perhatian, tahap retensi, tahap reproduksi, dan tahap motivasi. Langkah-langkah konseling behavioral dengan teknik model simbolis meliputi: 1) Menentukan karakteristik konseli/ pengguna model, 2) Menetapkan perilaku tujuan yang akan dimodelkan, 3) Menentukan media yang digunakan untuk menampilkan model (audio, video, maupun film), 4) Konselor membuat skenario yang relalistik mengenai model yang ditampilkan, 5) Konselor memberikan instruksi, aturan, behavior rehersal dan penguatan saat modeling berlangsung.

5) Langkah-langkah Konseling Behavioral dengan Teknik Model Simbolis

Konseling behavioral dengan teknik model simbolis mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:

a) Assesment

Konselor menganalisis perilaku yang bermasalah saat ini dan mencoba untuk mengidentifikasi latar belakang munculnya masalah

(28)

tersebut. Tahap assesment diperlukan untuk menyusun strategi pemberian bantuan kepada konseli.

b) Goal Setting

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment, konselor dan konseli menyusun serta merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling.

c) Technique Implementation

Setelah merumuskan tujuan, konselor dan konseli menentukan strategi belajar yang akan digunakan untuk membantu konseli mencapai perubahan tingkah laku yang diinginkan. Teknik yang digunakan adalah model simbolis. Langkah-langkahnya sebagai berikut:

(1) Menentukan karakteristik konseli/pengguna model (2) Menetapkan perilaku tujuan yang akan dimodelkan

(3) Menentukan media yang digunakan untuk menampilkan model (audio, video, maupun film).

(4) Konselor menyusun naskah yang menggambarkan isi tampilan/presentasi

(5) Melakukan uji coba pada model yang telah disusun agar tepat sasaran. Uji coba dilakukan pada teman sejawat.

(6) Menampilkan model yang telah disusun dan diuji cobakan. Saat model ditampilkan terdapat tahap-tahap belajar melalui pengamatan perilaku, yaitu :

(a) Tahap perhatian, konseli memfokuskan perhatiannya saat proses belajar mengamati model berlangsung

(b) Tahap retensi, konseli harus mengamati perilaku model, karena pada tahap ini terjadi proses kognitif dari pengamat untuk memperoleh gambaran perilaku yang diamati.

(c) Tahap reproduksi, konseli mempraktikan perilaku yang diamati

(29)

(d) Tahap motivasi dan penguatan, konselor memberi umpan balik agar konseli mengulangi modeling dan mempraktikkan kembali perilaku yang dirasakan sulit. (7) Konselor memberikan instruksi, aturan, behavior rehersal dan

penguatan saat modeling berlangsung d) Evaluation-Termination

Konselor melakukan evaluasi dengan melihat sejauh mana perubahan tingkah laku konseli setelah melalui proses konseling. Konselor mengeksplorasi kemungkinan konseling tambahan, dan membantu konseli mentransfer apa yang dipelajari dalam konseling 3. Konseling Behavioral dengan Teknik Model Simbolis untuk

Mengembangkan Konsep Diri Peserta Didik

Konseling behavioral adalah bantuan yang diberikan konselor kepada konseli untuk mengubah tingkah laku maladaptif menjadi adaptif melalui proses belajar dengan cara mengubah lingkungan menjadi lebih positif, sehingga mendorong munculnya perilaku yang diinginkan (adaptif).

Model simbolis merupakan kegiatan mengamati perilaku model yang dicontohkan melalui bahan-bahan tertulis, audio, video, film atau slide, sehingga pengamat dapat belajar dari sisi negatif dan positif yang dimiliki model kemudian menirunya menjadi tingkah laku yang baru.

Menurut Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan (Komalasari, dkk, 2011:176). Pendapat tersebut diperjelas oleh Bandura (Hambali & Jaenudin, 2013:157) menyatakan, “Sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”.

Konsep diri merupakan pandangan, keyakinan, pikiran peserta didik mengenai dirinya sendiri. Konsep diri terdiri dari konsep diri positif dan

(30)

konsep diri negatif. Konsep diri pada peserta didik akan mempengaruhi perilaku yang dilakukan. Apabila konsep diri yang dimiki peserta didik negatif maka perilaku yang ditunjukkan juga negatif. Konseling behavioral dengan teknik model simbolis adalah bantuan yang diberikan konselor kepada konseli dengan memperlihatkan model-model melalui film, video, slide yang dapat mendorong peserta didik untuk mengembangkan konsep dirinya. Dengan bantuan model, peserta didik dapat belajar dari sikap, pikiran dan tingkah laku model yang ditampilkan. Peserta didik yang mempunyai konsep diri rendah akan mampu lebih terarah memperbaiki tingkah laku sesuai dengan model yang diamati.

4. Penelitian yang Relevan

Terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini, yaitu:

a. Ni Luh Dian Sintadewi, Ni Ketut Suarni, Dewi Arum W.M.P (2014) dengan judul Efektivitas Model Konseling Behavioral Teknik Modeling untuk Meningkatkan Efikasi Diri Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Singaraja Tahun Pelajaran 2013/2014.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa model konseling behavioral teknik modeling efektif untuk meningkatkan efikasi diri siswa, hal ini dilihat dari hasil analisis nilai t hitung lebih besar dari t tabel (6,51 > 1,734) dengan taraf signifikansi 0.05. Hal ini menunujukkan bahwa model konseling behavioral teknikmodeling efektif untuk meningkatkan efikasi diri siswa.

b. Gd. Agus Dharma Putra, Ni Ketut Suarni, Dewi Arum WMP (2014) dengan judul Efektivitas Konseling Behavioral dengan Teknik Modeling untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri Siswa Kelas X SMK Negeri 2 Singaraja Tahun Pelajaran 2013/2014.

Hasil analisis data menggunakan t-test, didapatkan bahwa konseling behavioral dengan teknik modeling efektif untuk mengoptimalkan penyesuaian diri siswa. Hal ini dilihat dari hasil analisis

(31)

data hasil penelitian yang diperoleh t hitung = 5,09 dan t tabel dengan db = 18 dan taraf signifikansi 0,05 atau 5% adalah 2,101, dengan demikian diperoleh perbandingan t hitung > t tabel (5,09 > 2,101) dan hasil nilai post test kelompok eksperimen lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis alternatif diterima dengan kata lain konseling behavioral dengan teknik modeling efektif mengoptimalkan penyesuaian diri siswa kelas X SMK Negeri 2 Singaraja Tahun Ajaran 2013/2014.

c. Musrifatun Nikmah, Gede Sedanayasa, Ni Nengah Madri Antari pada (2014) dengan judul Penerapan Konseling Behavioral dengan Teknik Modeling untuk Meningkatkan Rasa Percaya Diri Siswa Kelas VIII B MTs. Al-Khairiyah Tegallinggih Singaraja Tahun Pelajaran 2013/2014.

Peningkatan percaya diri siswa dapat dilihat dari kondisi awal ke siklus I terjadi peningkatan rata-rata percaya diri dari 465,33% menjadi 575,33% dengan peningkatan 110% dan dari siklus I ke siklus II peningkatan rata-rata dari 168,67% menjadi 250,67% dengan peningkatan 82%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan konseling behavioral dengan teknik modeling dapat meningkatkan percaya diri siswa kelas VIII B MTs. Al-Khairiyah Tegallinggah Singaraja Tahun Pelajaran 2013/2014.

d. Ayu Sri Juniariasih Mandala, N Dantes, NM Setuti pada (2014) dengan judul Penerapan Konseling Behavioral dengan Teknik Modeling untuk Meningkatkan Emotional Intelligence Siswa Pada Kelas XAPI SMK Negeri Seririt Kabupaten Buleleng.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa emotional intelligence siswa dapat ditingkatkan setelah diberikan layanan konseling kelompok melalui penerapan konseling behavioral dengan teknik modeling. Peningkatan persentase emotional intelligence siswa terjadi baik pada penelitian siklus I maupun penelitian siklus II. Pada siklus I diketahui bahwa persentase awal 56.36% meningkat menjadi 66.31% dengan rata-rata persentase peningkatan sebesar 18.02%, sedangkan pada

(32)

siklus II diketahui bahwa persentase siklus I 66.31% meningkat menjadi 77.16% dengan rata-rata peningkatan sebesar 16.49%. Hal ini membuktikan bahwa penerapan konseling behavioral dengan teknik modeling dapat berfungsi secara efektif untuk meningkatkan emotional intelligence siswa.

B. Kerangka Berfikir

Konsep diri mempunyai peran penting dalam menentukan perilaku individu. Peserta didik yang memiliki konsep diri negatif akan memandang dirinya secara negatif, dan apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dapat menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat.

Peserta didik yang memiliki konsep diri negatif perlu mendapat bantuan agar dapat mengembangkan konsep dirinya menjadi lebih baik dan positif. Melalui konseling behavioral dengan teknik model simbolis, diharapkan dapat membantu peserta didik dalam mengembangkan konsep dirinya. Kerangka pemikiran dari uraian di atas dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir Konsep Diri Positif

Konseling Behavioral dengan Teknik Model

Simbolis

Konsep Diri Negatif Peserta Didik

(33)

C. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditentukan hipotesis penelitian ini adalah: ”Konseling Behavioral dengan Teknik Model Simbolis Efektif Untuk Mengembangkan Konsep Diri Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 6 Sragen Tahun Ajaran 2015/2016”.

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Kerangka BerfikirKonsep Diri Positif

Referensi

Dokumen terkait

Dalam gambar Tuak yang digambar oleh Arkan terdapat objek: satu telor besar yang bentuknya tidak bulat, tiga telor yang besarnya sedang berada di tengah, lima telor yang kecil

pembelajaran probing promting sendiri akan diberikan kepada kelas eksperimen, sedangkan pada kelas kontrol akan menggunakan model pembelajaran scramble. Dari jumlah

Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa

1. Paradigma penelitian Kuantitatif adalah positivism, bahwa dunia kehidupan social dapat diteliti berdasarkan prinsip-prinsip hukum sebab akibat seperti

Hasil jumlah iterasi dalam satu kali konvergen terhadap jumlah varian data training pada metode improved semi supervised k-means dengan k-means Pada pengujian ketiga

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami resiliensi ekonomi rumah tangga petani dalam pengelolaan Ume Talang di Desa Lebung Gajah Kecamatan Tulung