• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSIDENSI PIOMETRA MELALUI PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA ANJING DI RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "INSIDENSI PIOMETRA MELALUI PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA ANJING DI RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

INSIDENSI PIOMETRA MELALUI PEMERIKSAAN RADIOLOGI

PADA ANJING DI RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

Oleh

DYAH INGGAR PRESTIANA NIM 061111239

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)
(3)
(4)

Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian Tanggal: 11 Agustus 2016

KOMISI PENILAI SEMINAR HASIL PENELITIAN

(5)
(6)

THE RADIOLOGICAL PYOMETRA INCIDENCE OF THE DOGS ON VETERINARY FACULTY AIRLANGGA UNIVERSITY

Dyah Inggar Prestiana

ABSTRACT

The aim of this study was to determine and understand the number of pyometra incidences from X-Ray examination and the influence towards age and race on dogs at the Veterinary Teaching Hospital of Faculty of Veterinary Medicine Airlangga University within April to July 2015. 333 dogs are used as reference of secondary data using age, breed and pyometra cases as variable. The data were evaluated using the descriptive analysis and Chi-square. Analysis results showed that the incidence of pyometra in dogs in Veterinary Teaching Hospital of Faculty of Veterinary Medicine Airlangga University is 9.3%, or 31 cases out of 333 female dog at the hospital during the period. Based on several researches show that the age and breed affects the incidence of pyometra in dogs. The highest incidence in dogs within the age of 8-12 years amounted to 23.9%, while the lowest incidence in aged less than 4 years of 3.7%. Based on the breed of the data, the highest incidence in dogs of large breed category 17.1%, while the lowest incidence of pyometra 0% is in giant dog breeds.

(7)

INSIDENSI PIOMETRA MELALUI PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA ANJING DI RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Dyah Inggar Prestiana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapakah insidensi piometra yang diperiksa secara X-ray dan untuk mengetahui adakah pengaruh kejadian piometra terhadap umur dan ras pada anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga pada periode April - Juli 2015. Sebanyak 333 anjing digunakan sebagai acuan data primer dan sekunder dengan variabel umur, ras anjing dan kasus piometra setiap bulan. Data yang diperoleh dievaluasi menggunakan analisis deskriptif dan Chi-Square. Hasil analisis menunjukkan bahwa insidensi piometra pada anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga sebesar 9,3 persen atau sebanyak 31 kasus dari 333 anjing betina di Rumah Sakit Hewan Pendidikan selama periode penelitian. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa umur dan ras mempengaruhi kejadian piometra pada anjing. Kejadian tertinggi pada anjing dengan umur lebih dari 8 – 12 tahun sebesar 23,9 persen, sedangkan kejadian terendah pada umur kurang dari 4 tahun sebesar 3,7 persen. Berdasarkan ras, kejadian piometra anjing tertinggi terdapat pada anjing dari kategori ras besar yaitu 17,1 persen, sementara kejadian piometra anjing terendah pada kategori ras sangat besar yaitu 0 persen.

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat terselesaikannya Skripsi dengan judul Insidensi Piometra Melalui Pemeriksaan Radiologi Pada Anjing Di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas terselesaikannya skripsi ini kepada :

Prof. Dr. Pudji Srianto, drh., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atas kesempatan mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan mantan Dekan Prof. Hj. Romziah Sidik, drh., Ph.D atas kesempatan yang diberikan sehingga dapat mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan.

Julien Soepraptini, drh, SU. Selaku pembimbing utama dan Prof. Dr. Herry A. H., drh., M.Si. selaku dosen pembimbing serta yang bersedia memberi bimbingan, saran dan nasehat yang bermanfaat selama penelitian serta dalam penyusunan skripsi ini.

(9)

Tri Nurhajati, drh., M.S. selaku dosen wali yang telah memberi bimbingan, dukungan dan nasihat yang membangun selama ini.

Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atas wawasan keilmuan, bimbingan dan motivasi selama mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Seluruh paramedis dan koas di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atas bantuan dalam proses penelitian ini. Kedua orang tua Ayahanda Soedirman dan Ibunda Endang Supriyani, saudara-saudari tercinta Sugyo Hardono, Tutik Endriyani, Tardan Sudiarto, Indah Lestiana dan Arie Sudrajad serta segenap keluarga besar yang telah memberikan doa, nasihat, motifasi dan dukungan baik material maupun spiritual dalam menyusun skripsi ini.

Sahabat-sahabat tersayang Firda, Dintha, Aim, Agwin, Nadia, Bogins, Bilkis, Ahmed, Andik dan Dwi atas semangat, dukungan dan bantuan yang telah diberikan. Teman-teman XII IPS 1, FKH angkatan 2011, keluarga besar KMPV TB dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih memerlukan banyak penyempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik. Semoga hasil penelitian ini dapat bermafaat bagi semua pihak.

Surabaya, 9 September 2016

(10)

DAFTAR ISI

2.1.3 Karakteristik Biologis Anjing... 12

2.1.4 Organ Reproduksi Anjing Betina ... 13

2.1.5 Siklus Reproduksi Anjing Betina ... 14

2.1.5.1 Proestrus ... 15

2.2.1 Patogenesis Piometra ... 20

2.2.2 Gejala Klinis Piometra ... 21

2.2.3 Diagnosa Piometra... 23

2.2.4 Faktor Predisposisi ... 24

2.2.5 Terapi Piometra ... 25

(11)

BAB 3 MATERI DAN METODE ... 29

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

3.2. Materi Penelitian ... 29

3.3. Metode Penelitian ... 29

3.3.1 Variabel Penelitian ... 30

3.3.2 Definisi Operasional ... 30

3.3.3 Analisis Data ... 32

3.4. Diagam Penelitian ... 33

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 34

BAB 5 PEMBAHASAN ... 38

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

6.1 Kesimpulan ... 42

6.2 Saran ... 43

RINGKASAN ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Klasifikasi anjing menurut ukuran/berat badan ... 12

2.2. Data biologis anjing secara umum ... 13

2.3. Panjang rata-rata dan kisaran interval estrus pada berbagai ras anjing ... 14

2.4. Isolat bakteri pada vagina anjing normal ... 21

2.5. Tanda-tanda klinis yang sering terlihat di anjing betina yang terkena piometra ... 23

4.1. Data insidensi piometra pada anjing periode April – Juli 2015 ... 34

4.2. Data kejadian piometra pada anjing per bulan... 34

4.3. Data kejadian piometra pada anjing berdasarkan umur anjing ... 35

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Organ reproduksi anjing betina... 13

4.1. Diagram batang persentase piometra pada anjing per bulan ... 35

4.2. Hasil Chi-Square tests berdasarkan umur ... 36

4.3. Hasil Chi-Square tests berdasarkan breed ... 36

(14)

DAFTAR SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG

% = Persen ± = Kurang lebih BB = Berat Badan

CEH = Cystic Endometrial Hyperplasia

CEH/P = Cystic Endometrial Hyperplasia-Pyometra EPC = Endometritis-Pyometra Complex

et al = et alia kg = kilogram mg = miligram

OH = Ovariohysterectomy PG F2α = Prostaglandin F2α

RSHP = Rumah Sakit Hewan Pendidikan

RSPCA = Royal Society for Prevention of Cruelty to Animals TECT = Transcervical Endoscopic Catheterisation

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

The man’s best friend adalah julukan yang pantas diberikan pada anjing. Binatang ini sudah menjadi sahabat manusia sejak ribuan tahun silam. Kedekatan anjing dan manusia sudah dituangkan dalam patung sejak ratusan tahun silam (Rakhmatdi dan Budiana, 2008). Seperti patung hachiko di Shibuya-Tokyo, Old Shep di Fort Benton-Montana dan Greyfriars Bobby di Edinburgh-Skotlandia (Ketut, 2011).

Manusia pada masa itu memanfaatkan anjing-anjing liar untuk membantu aktivitas berburu. Selain itu, anjing juga di pelihara untuk menjaga harta majikan sehingga tercipta hubungan yang akrab (Rakhmatdi dan Budiana, 2008).

Anjing merupakan hewan yang banyak dipelihara oleh manusia. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam aspek pemeliharaan anjing, terutama aspek kesehatan, hal ini menjadi sangat penting karena kesehatan yang baik akan membuat anjing menunjukkan penampilan dan kondisi prima. Aspek kesehatan anjing terkadang kurang diperhatikan oleh pemiliknya, misalnya salah satu gangguan reproduksi karena patologis uterus seperti piometra (Ruiz-Maldonado et al., 1977).

(16)

kronis atau subakut berkembang dan mempunyai pengaruh yang merugikan bagi fertilitas (Sayuti A., dkk, 2012)

Piometra merupakan penyakit uterus anjing betina dewasa yang ditandai dengan tertimbunnya nanah di dalam rongga uterus bersamaan dengan perubahan hiperplastik dari mukosa uterus. Proses berlangsung akut atau kronis yang berlangsung saat periode diestrus terkait dengan lesi di dalam dan di luar organ genital (Subronto, 2014).

Piometra terbagi menjadi dua langkah. Pertama, perubahan patologis karena Cystic Endometrial Hyperplasia (CEH). CEH merupakan penebalan endometrium karena peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar endometrium yang menunjukkan aktivitas sekretori (C. Edward et al., 1987) dan (Root, 2000). Kedua, perubahan patologis karena infeksi. Infeksi disebabkan organisme yang merupakan bagian dari flora normal vagina. Escherichia coli adalah isolat yang paling umum (Root, 2000). Uterus yang mengalami piometra memiliki pertambahan diameter lumen oleh akumulasi cairan nanah dan umumnya dinding uterus bertambah tebal hingga 2 mm akibat peningkatan vaskularisasi dan aktivitas sekresi kelenjar (Goddard, 1995).

(17)

lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan bakteri (Aqudelo, 2005; Birchard and Sherding, 2000).

Serviks merupakan pintu gerbang menuju ke uterus. Serviks akan tetap dalam kondisi tertutup rapat kecuali dalam keadaan estrus. Pada saat serviks membuka, bakteri yang sacara alami akan ditemukan di vagina secara mudah dapat masuk kedalam uterus. Jika uterus dalam kondisi normal, bakteri-bakteri tersebut tidak akan bertahan hidup. Namun, disaat dinding uterus mengalami penebalan dan cystic, maka akan menjadi kondisi yang baik untuk perkembangan bakteri dikarenakan otot-otot dari uterus tidak bekerja secara sempurna maka bakteri tidak dapat dikeluarkan. Piometra dapat terjadi pada anjing betina yang tidak atau belum disterilisasi. Anjing diatas umur 3 tahun beresiko tinggi terserang piometra dan menunjukkan gejala klinis antara 4 minggu – 4 bulan setelah anjing mengalami estrus (Smith, 2006).

(18)

Penemuan Roentgen ini merupakan suatu revolusi dalam dunia kedokteran karena ternyata dengan hasil penemuan ini dapat diperiksa bagian-bagian yang sebelumnya tidak pernah dapat dicapai dengan cara-cara pemeriksaan konvensional (Rasad, 2009).

Penggunaan sinar roentgen di Indonesia sudah cukup lama. Alat roentgen sudah digunakan sejak tahun 1898 oleh tentara kolonial Belanda dalam perang di Aceh dan Lombok. Selanjutnya pada awal adab ke 20 ini, sinar roentgen terutama digunakan di rumah sakit militer dan rumah sakit pendidikan dokter di Jakarta dan Surabaya (Rasad, 2009).

Penggunaan radiologi saat ini semakin berkembang dalam mendeteksi penyakit-penyakit hewan terutama dalam pencitraan organ-organ jaringan lunak, termasuk kedalamnya organ-organ pada sistem reproduksi anjing betina. Satu catatan penting yang merupakan cikal bakal aplikasi radiologi untuk mendeteksi kelainan pada system reproduksi adalah penggunaan radiologi untuk mendeteksi piometra (Noviana Deni, dkk, 2008).

(19)

Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui kasus anjing yang menderita piometra di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga selama bulan April-Juli 2015 dengan bantuan radiologi (X-Ray), untuk membantu keakuratan suatu diagnosis yang akan menjadi kunci sukses keberhasilan terapi yang diberikan (Sayuti A., dkk, 2012).

1.2 Rumusan Masalah

1. Berapakah insidensi piometra yang diperiksa secara X-Ray di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga pada periode April-Juli 2015?

2. Apakah ada pengaruh kejadian piometra dengan umur dan ras pada anjing?

1.3 Landasan Teori

Kasus piometra bukanlah penyakit baru, karena banyak kasus piometra sudah ditemui sejak tahun 1968. Pengobatan piometra pada anjing memerlukan keahlian tersendiri, karena harus memahami gejala klinis yang timbul, menegakkan diagnosa yang tepat, memahami diagnosa banding dan memberikan terapi yang baik dan tepat pula (Koesharyono, 2009).

(20)

beberapa breed anjing tertentu yang berisiko tinggi dengan proporsi melebihi 50% (Egenvall et al., 2001).

Piometra merupakan suatu penyakit yang umum terjadi. Anjing betina Nulliparous (belum pernah melahirkan anak anjing) dan yang berumur lebih dari 4 tahun tampaknya lebih cenderung mengalami piometra (Chastain et al., 1999). Sebuah studi di Swedia, berdasarkan data asuransi hewan, menunjukkan bahwa 23,24% dari semua anjing betina menderita piometra sebelum usia 10 tahun. Bernese Mountain, Rottweiler, rough-haired Collie, Cavalier King Charles Spaniel dan Golden Retriever yang terdaftar sebagai breed anjing yang rentan terhadap piometra (Hagman, 2004).

Dari total anjing betina pada 78.469 kasus hewan rawat jalan di rumah sakit hewan RSPCA, Manchester, UK, tercatat 1.728 kasus piometra. Prevalensi keseluruhan piometra selama masa studi adalah 2,2%. Ada peningkatan insidensi tahunan piometra, dari 1,8% pada tahun 2006 menjadi 2,9% pada tahun 2011, sementara tingkat elektif ovariohysterectomy secara bersamaan menurun dari 11,7% menjadi 9,1%. Usia rata-rata dipresentasikan adalah 7,7 tahun (Gibson et al., 2013).

(21)

Proporsi terbesar anjing yang menderita pyometra adalah 10 jenis breed berikut: Bernese Mountain (66%), Great Dane (62%), Leonberger (61%), Rottweiler (58%), Irish Wolfhound (58%), Staffordshire Bullterrier (54%), Bullterrier (52%), Newfoundland (50%), Collie (smooth haired) (44%), dan Old English Sheepdog (42%).

Insiden piometra yang telah dilaporkan yaitu 9% (Ewald, 1961) dan 15,2% (Fakuda, 2001), sedangkan pada studi lain menemukan kejadian 2% pada anjing betina yang berusia lebih dari 10 tahun (Egenval et al., 2001).

Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu langkah konfirmasi yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis kelainan-kelainan pada uterus. Bahkan pada beberapa keadaan radiologi secara tunggal dapat digunakan sebagai alat penegak diagnosis sebelum munculnya gejala-gejala klinis. Studi kasus ini bertujuan mempelajari penggunaan radiologi sebagai penegak diagnosis tunggal untuk mendeteksi gangguan yang terjadi pada uterus anjing (Noviana Deni, dkk, 2008).

Radiologi abdomen seharusnya dapat dilakukan pada anjing betina yang diduga menderita piometra untuk memastikan diagnosa dan untuk mengidentifikasi penyakit yang belum diketahui (C. Edward and W. Richard, 1987).

1.4 Tujuan Penelitian

(22)

1. Untuk mengetahui berapakah insidensi piometra yang diperiksa secara X-Ray di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga pada periode April-Juli 2015.

2. Untuk mengetahui adakah pengaruh kejadian piometra terhadap umur dan ras pada anjing.

1.5 Manfaat Penelitian

Mendapatkan informasi kejadian piometra pada periode April-Juli 2015 di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai acuan dalam pencegahan dan penanganan penyakit piometra.

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anjing

Anjing merupakan hewan peliharaan yang memiliki hubungan paling dekat dengan manusia. Kedekatan hubungan ini salah satunya disebabkan oleh tingkat kecerdasannya yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan hewan lain, sehingga dapat dilatih untuk membantu manusia. Anjing juga dikenal sebagai sahabat yang setia bagi manusia dan memiliki kepatuhan yang luar biasa (Prajanto dan Agus 2004).

Teori mengenai asal usul anjing sangat variatif. Salah satu teori mengatakan bahwa berdasarkan bukti genetika dan arkeologis berupa fosil dan tes DNA anjing merupakan hewan yang telah mengalami domestikasi dari serigala antara 17.000 sampai 14.000 tahun yang lalu. Hewan ini ketika pertama kali dipelihara oleh manusia tidak memiliki silsilah yang jelas, namun karena ada sifat-sifat tertentu dari anjing yang dibutuhkan oleh manusia menyebabkan ada usaha mengawin silangkan anjing sehingga sekarang diperkirakan telah diperoleh anjing yang telah terdomestikasi kurang lebih 400 jenis (Untung, 2007).

(24)

Kedekatan anjing dan manusia tidak terjadi begitu saja. Hal ini terbentuk melalui sebuah proses panjang yang berlangsung selama ribuan tahun. Semula manusia dan serigala abu-abu (nenek moyang anjing) adalah kompetitor di dalam perburuan makanan. Keberhasilan manusia di dalam perburuan, membangun komunitas dan pemukiman membuat kelompok serigala mendekati pemukiman manusia untuk mendapatkan sisa-sisa buruan manusia. Seiring waktu, kondisi ini berkembang menjadi kondisi ketergantungan dari kelompok serigala terhadap kelompok manusia. Manusia pun memanfaatkan kemampuan serigala di dalam membaca tanda-tanda alam dan melacak keberadaan hewan buruan. Sebaliknya, manusia memberikan perlindungan dan makanan bagi kelompok serigala abu-abu yang kemudian kita kenal dengan anjing (Sianipar, 2004).

Seiring perkembangan waktu, peradaban manusia terus berubah dan berkembang. Masyarakat nomaden mulai menetap dan berkembang menjadi masyarakat agraris (agrikultur). Pada peradaban agraris berkembang fungsi-fungsi khas anjing, antara lain berkembang fungsi-fungsi anjing gembala (sheepdog/herding dog), anjing penjaga ternak (guard dog/livestock dog), anjing penangkap hama (terrier) dan berbagai peran khusus anjing bagi manusia dalam peradaban agrikultur (Pennisi, 2002).

(25)

perubahan pada peran anjing didalam kehidupan manusia. Fungsi-fungsi sosial anjing semakin berkurang. Peran anjing di dalam masyarakat agraris semakin berkurang dan tergantikan dengan cara hidup baru yang berorientasi pada pemanfaatan teknologi dan mesin-mesin modern (agroindustri) (Pennisi, 2002).

Namun demikian, kemanapun anjing masih terus dimanfaatkan di dalam bidang-bidang tertentu seperti kedokteran, militer, sains dan kemanusiaan. Selain dari itu, sebagian besar populasi anjing saat ini hanyalah berperan sebagai hewan peliharaan (pet) (Pennisi, 2002).

2.1.1 Klasifikasi Anjing

Klasifikasi anjing sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Phylum : Chordota Subphylum : Vertebrata Class : Mamalia Order : Carnivora Family : Canidae Genus : Canis

(26)

2.1.2 Klasifikasi Anjing

Seiring waktu berjalan dimana faktor alam tidak mendukung sehingga jumlah buruan semakin berkurang mengakibatkan anjing mulai tergantung kepada manusia hingga akhirnya dimanfaatkan oleh manusia (Pennisi, 2002). Hubungan manusia dengan anjing semakin akrab memunculkan ide untuk mengkawinsilangkan anjing, sehingga sekarang terdapat beragam bangsa anjing sesuai keperluan (Hatmosrojo dan Budiana, 2003). Sampai saat ini telah dikenal lebih dari empat ratus jenis anjing peliharaan (Untung, 2007). Spesies anjing di dunia yang dikategorikan menjadi 4 jenis bangsa, yaitu ras kecil, ras sedang, ras besar dan ras sangat besar (Dominique et al., 2004). Data dan daftar klasifikasi ras anjing menurut ukuran dan berat badan dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Klasifikasi Anjing menurut Ukuran/Berat Badan.

Klasifikasi Ras Berat Badan (kg)

(27)

Tabel 2.2 Data Biologis Anjing Secara Umum.

Lama Hidup 13 – 17 tahun, bisa sampai 34 tahun Kawin Sesudah Beranak 30 – 90 hari

Siklus Kelamin Monoestrus

Periode Estrus ± 9 hari (kisaran 4 – 12 hari)

Perkawinan Saat masa estrus

Ovulasi Spontan

Fertilisasi Beberapa hari setelah kawin

(Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo, 1988) dan (Subronto, 2014)

2.1.4 Organ Reproduksi Anjing Betina

Uterus anjing terdiri dari serviks, corpus uteri, dan 2 cornua uteri. Cornua uteri terletak di dalam abdomen dan panjang dari uterine tubes sampai corpus uteri. Corpus uteri terletak sebagian di rongga pelvic dan terletak diantara kantung kemih dan colon (M. Gillian and C. W. Gery, 2004).

(28)

2.1.5 Siklus Reproduksi Anjing Betina

Anjing mempunyai siklus reproduksi yang berbeda dengan hewan domestik dalam beberapa hal : pertama, anjing betina adalah monoestrus, ovulasinya hanya terjadi satu atau dua kali dalam satu tahun dengan interval 5-12 bulan (Concanon et al., 1986), yang kedua kebuntingan terjadi dalam fase normal diestrus dan ketiga periode tidak aktifnya ovarium yang panjang yang dikenal dengan sebagai anestrus muncul diantara siklus baik apakah hewan tersebut bunting atau tidak (Junaidi A., 2006).

Kebuntingan memperpanjang periode sampai estrus berikutnya; jadi periode antar estrus pada anjing beagle yang bunting adalah 230 ± 3 hari dan pada anjing yang tidak bunting 202 ± 5 hari (Concannon et al., 1987). Variasi ini tergantung apakah anjing bunting atau tidak atau dikawinkan tetapi tidak bunting (Junaidi A., 2006).

Tabel 2.3 Panjang dan kisaran interval estrus pada berbagai macam ras anjing. Interval (minggu)

Anjing ras Rata-rata Kisaran

Chihuahua 31 -

Golden retriever 33 27-39,5

Pomeranian 27 -

Yorkshire terrier 32 31-34

Anjing bunting 32 28-39

Anjing tidak bunting 29 25-34

(29)

Pada umumnya panjang periode antar estrus terus mengalami peningkatan sampai umur 4 tahun (Andersen and Wooten, 1959). Panjang periode antar estrus pada anjing ras murni adalah 8 ± 0,2 bulan, sedangkan pada anjing ras campuran adalah 7,3 ± 0,3 bulan. Anjing tua biasanya mempunyai siklus estrus yang tidak teratur dan sering periode anestrusnya panjang (Andersen, 1957).

Setiap komponen dari siklus diperpanjang, tetapi anestrus berperan pada kebanyakan dari siklus estrus. Estrus berlanjut beberapa hari sesudah ovulasi disertai dengan tingginya plasma P. Anjing berbeda dengan hewan lain, yang mana tidak terjadi luteolisis jika perkawinan tidak menghasilkan fertilisasi (Junaidi A., 2006).

Anjing betina secara seksual tetap mau menerima pejantan selama beberapa hari sesudah ovulasi, dan sesudah pembentukan dan selama inisiasi fungsi dari korpus luteum, hal ini mempunyai peranan dalam problem terminologi dalam urutan dari siklus estrus. Menurut terminologi yang asli siklus estrus terdiri dari proestrus, estrus, metestrus, diestrus dan anestrus (Junaidi A., 2006).

2.1.5.1 Proestrus

(30)

malas, tidak mentaati perintah; beberapa anjing betina manaiki betina yang lain dan membuat gerakan koitus seperti anjing jantan. Anjing minum air dalam jumlah yang sangat banyak sehingga sering urinasi (urine marking). Perubahan-perubahan ini mendorong meningkatnya konsentrasi plasma estradiol yang disebabkan oleh aktivitas perkembangan folikel ovarium. Estradiol menyebabkan berbagai proses dalam saluran reproduksi, menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas epithelium glandular dan menyebabkan edema dan vaskularisasi yang dapat menyebabkan kapiler mukosa menjadi mudah pecah dan pecahnya sel-sel kedalam lumen uterus, jadi muncul bercak darah (bloodstain) dalam leleran vulva. Perkembangan mukosa dapat menyebabkan kemerahan dan ballooning dari lipatan mukosa vagina, yang dapat dilihat secara langsung dengan endoskopi. Proliferasi sel-sel epithelial yang mencolok juga menyebabkan mukosa vagina dibawah stimulasi estradiol. Perubahan-perubahan didalam morfologi vagina dapat digunakan dalam menentukan waktu ovulasi dan waktu optimal fertilitas (Junaidi A., 2006).

2.1.5.2 Estrus

Durasi estrus adalah sama dengan proestrus, kurang lebih 9 hari (dengan kisaran 4-12 hari). Periode dibatasi oleh hari pertama dan hari terakhir dari penerimaan pejantan. Pada saat pubertas durasinya lebih panjang dari rata-rata (Smith and McDonald, 1974).

(31)

laku siap untuk dinaiki dan mau menerima (lordosis). Feromon merupakan komponen kimia terpenting dalam menegaskan masa transisi ini. Feromon disekresikan oleh anjing betina dibawah pengaruh estradiol dan terdeteksi oleh olfaktori anjing atau organ vemeronasal. Feromon diproduksi di ginjal dan saluran reproduksi dan bercampur dengan urin atau ada di leleran vagina, khususnya untuk tujuan status seksual. Bersamaan dengan tanda-tanda tingkahlaku, feromon meningkatkan daya tarik seksual dan menstimulasi aktifitas reproduksi pejantan. Salah satu feromon betina adalah methyl-p-hydroxybenzoate, dan jika komponen ini diterapkan ke vulva dari betina anestrus ataupun yang sudah dikebiri, tetap akan menstimulasi kegairahan (Junaidi A., 2006).

(32)

2.1.5.3 Metestrus

Rata-rata panjangnya periode metestrus ini adalah 75 hari (dengan kisaran 60-90 hari), dibatasi oleh akhir penerimaan pejantan dan regresi dari korpus luteum. Edema vulva menghilang agak cepat dan hilang, dan hanya sedikit leleran vagina yang mungkin ada. Anjing menjadi kalem dan rileks dan daya tarik ke pejantan segera menurun (Junaidi A., 2006).

Fase ini terjadi setelah estrus, dan didefinisikan sebagai dimulainya sewaktu betina menolak untuk dikawini, biasanya 6-8 hari sesudah permulaan estrus, atau 8-10 hari sesudah puncak LH menjelang ovulasi (Junaidi A., 2006).

2.1.5.4 Diestrus

Fase diestrus ditandai dengan korpus luteum menjadi matang dan pengaruh

progesteron menjadi dominan. Endometrium menebal, kelenjar uterina membesar,

dan otot uterus menunjukkan peningkatan perkembangan. Perubahan ini

ditunjukkan untuk mensuplai zat-zat makanan bagi embrio bila terjadi kebuntingan.

Kondisi ini akan terus berlangsung selama masa kebuntingan dan korpus luteum

akan dipertahankan sampai akhir masa kebuntingan.

Serviks menutup rapat untuk mencegah benda-benda asing memasuki

lumen uterus, mukosa vagina menjadi pucat, serta lendirnya mulai kabur dan

lengket. Apabila tidak terjadi kebuntingan, maka endometrium dan

(33)

2.1.5.5 Anestrus

Periode inaktif dari ovarium atau anestrus berlangsung antara 2-10 bulan (Concanon et al., 1986), selama itu tidak ada tanda-tanda luar dari aktifnya ovarium seperti tidak adanya leleran vagina. Anjing pada fase ini tingkah lakunya dan secara fisik normal. Pada beberapa ras durasi anestrus dapat lebih lama dari rata-rata (Mellin et al., 1976).

2.2 Piometra

Cystic Endometrial Hyperplasia (CEH)-piometra adalah kondisi yang paling serius dari reproduksi anjing betina dewasa (M. Gillian and C. W. Gery, 2004). Piometra dapat terjadi pada anjing yang belum pernah kawin maupun yang sudah beberapa kali melahirkan (partus) (M. Gillian and C. W. Gery, 2004). Menurut Stone (1998) piometra dapat menyerang anjing mulai dari estrus pertama yaitu sekitar 6-14 bulan.

Piometra merupakan penyakit uterus anjing betina dewasa yang ditandai dengan tertimbunnya nanah di dalam rongga uterus bersamaan dengan perubahan hiperplastik dari mukosa uterus. Proses berlangsung akut atau kronis yang berlangsung saat periode diestrus terkait dengan lesi di dalam dan di luar organ genital (Subronto, 2014).

(34)

menurun, demam, vomit, terkadang distensi abdomen seperti hewan bunting namun hewan dalam keadaan kesakitan (piometra tertutup), yang pada akhirnya harus segera ditangani untuk mencegah terjadinya sepsis dan kematian pasien.

Piometra adalah penyakit dari interaksi bakteri dengan endometrium abnormal yang telah mengalami perubahan patologis yang diansumsikan disebabkan oleh respon berlebihan terhadap rangsangan progesteron (C. Edward and W. Richard, 1987).

Progesteron mendukung pertumbuhan endometrium dan sekresi kelenjar sambil menekan aktivitas miometrium, sehingga memungkinkan akumulasi sekresi kelenjar uterus. Sekresi ini menyediakan lingkungan yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan bakteri lebih ditingkatkan dengan menghambat respon leukosit terhadap infeksi di uterus (Baba et al, 1983).

2.2.1 Patogenesis Piometra

(35)

Hiperplasia endometrium dengan sista merupakan respons abnormal dari uterus terhadap progesteron, dengan proliferasi berlebihan dari kelenjar penghasil lendir serta infiltrasi limfosit dan plasma sel. Uterus jadi tidak mampu mengembangkan embrio dan jadi steril atau infertil. Setelah periode diestrus selesai, hiperplasia endometrium dengan sista larut. Piometra terjadi bila lendir yang cokelat berlebihan dan eksudat radang tertimbun di dalam uterus karena serviks dalam keadaan tertutup. Komplikasi infektif kuman menjadikan kondisi semakin buruk (Subronto, 2014).

Tabel 2.4 isolat bakteri pada vagina anjing normal

(Sumber: C. Edward and W. Richard, 1987)

2.2.2 Gejala Klinis Piometra

Kebanyakan kasus ini terjadi pada anjing betina umur lebih dari 6 tahun, 1-12 minggu setelah estrus. Dengan perubahan yang ada di uterus, gejala jadi bervariasi. Potensi (kemampuan menutup) serviks, lamanya sakit, ada tidaknya

(36)

infeksi sekunder kuman, dan gejala yang timbul menjadi lebih bervariasi (Subronto, 2014).

(37)

Tabel 2.5 Tanda-tanda klinis yang sering terlihat di anjing betina yang terkena piometra.

(Sumber: C. Edward and W. Richard, 1987)

2.2.3 Diagnosis Piometra

Diagnosis ini harus dicurigai pada setiap anjing betina yang sakit di fase diestrus. Diagnosis dikonfirmasi ketika tanda-tanda klinis yang sesuai yang dilaporkan oleh pemilik anjing dalam hubungannya dengan kelainan pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan evaluasi radiografi (Sandholm et al, 1975).

Diagnosis piometra pada umumnya berdasarkan sejarah yang dilaporkan oleh pemilik anjing atau anamnesa, pemeriksaan fisik, analisa biokimia darah (untuk menghitung darah dan kimia serum lengkap), radiologi (untuk mengidentifikasi pembesaran uterus yang berisi cairan) dan pap vagina (untuk

Gejala Klinis % Pada Anjing

Leleran vagina 85

Lethargy / depresi 62

Anorexia 42

Polyuria dan/ polydipsia 28

Vomit 15

Nocturia 5

Diare 5

(38)

Menurut (Root Margaret, 2010) dan (C. Edward and W. Richard, 1987) Diagnosis piometra terbaik dibuat dengan bantuan radiografi karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi pembesaran uterus.

2.2.4 Faktor Predisposisi

Lokapirnasari (1993) menyebutkan banyak faktor yang ikut mempengaruhi kesehatan dan tingginya kejadian penyakit pada anjing, antara lain umur, breed, dan musim.

Beberapa breed yang dilaporkan memiliki kecenderungan menderita piometra adalah Rottweiler, Saint Bernard, Chow Chow, Golden Retriever, Miniature Schnauzer, Irlandia Terrier, Airedale Terrier, Cavalier King Charles Spaniel, Rough Collie dan Bernese Mountain (Krook, 1960; Smith, 2006). Breed dengan resiko piometra yang rendah antara lain : Drevers, German Sherped, Daschunds, dan Swedish Hounds (Egenvall et al., 2001). Penelitian lain menunjukkan tidak adanya disposisi breed (Ewald, 1961; Wheaton, 1989).

(39)

2.2.5 Terapi Piometra

Menurut C. Edward and W. Richard (1987) Ada 2 pendekatan terapi untuk piometra yaitu terapi medis atau pengobatan farmakologis dan operasi. Ovariohysterectomy adalah pengobatan terbaik untuk semua kasus piometra. Operasi pengangkatan rahim yang terinfeksi segera membersihkan endotoksin dari tubuh (Root Margaret, 2010). Namun ovariohysterectomy menjadi pengobatan pilihan untuk piometra jika pemilik sangat menginginkan mempertahankan potensi reproduksi (C. Edward and W. Richard, 1987).

Terapi medis dapat dipertimbangkan jika anjing memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) serviks terbuka (2) azotemia tidak ada atau cukup ringan (3) anjing betina muda (4) anjing memiliki kecenderungan terhadap efek samping pasca operasi. Terapi medis tidak dianjurkan dalam kasus piometra tertutup (Root Margaret, 2010).

(40)

Untuk tujuan luteolisis dan pembukaan serviks, hingga progesteron tidak lagi terbentuk, juga dapat disuntikkan Prostaglandin F2α dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg. Harus diingat efek samping prostaglandin yang meliputi hiperpnea, salivasi, muntah, diare, ataxia, dan rasa sakit yang sangat (Subronto, 2014).

Pencucian uterus dengan larutan antiseptika sering membawa hasil. Pemberian antibiotik spektrum luas mutlak diperlukan. Siprofloxacin atau lainnya mampu membersihkan kuman-kuman yang terdapat sistemik (Subronto, 2014).

Setelah anjing betina telah ditangani secara medis untuk penyembuhan piometra dengan prostaglandin, diasumsikan bahwa kambuh selalu mungkin. Disarankan bahwa pemilik obyektif menetapkan pilihan yang realistis dari jumlah anak anjing yang akan diperoleh dari anjing betina. Anjing betina akan dilakukan ovariohysterectomy untuk menghindari kambuhnya piometra (C. Edward and W. Richard, 1987).

2.3 Tinjauan Piometra Dari Sudut Pandang Radiologi

Pemeriksaan radiologis sesudah perang dunia kedua maju dengan pesat sekali sejalan dengan kemajuan ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain pada umumnya. Kemajuan ini dipengaruhi oleh perkembangan tekhnologi fisika, kimia, biologi, elektronika, komputer, dan sebagainya (Rasad dkk, 1992).

(41)

Sinar X ditimbulkan dari penghentian tiba-tiba suatu gerakan elektron dari katoda ke anoda dalam ruangan hampa udara. Katoda dipanaskan hingga suhunya mencapai sekitar 2000°C oleh filamen pemanas khusus. Elektron diemisikan oleh katoda, dipercepat oleh medan listrik di antara katoda dan anoda, lalu menumbuk anoda dengan energi yang cukup besar, terbentuklah radiasi elektromagnetik jenis sinar x di tempat ini (Rasad S., 2009).

Proses pembuatan foto roentgen (radiografi) diperlukan : (1) perlengkapan untuk membuat radiografi, terdiri atas film roentgen (film X-ray), intesifying screen, kaset, grid (kisi-kisi), alat-alat fiksasi, alat pelindung (protektif), marker (tanda atau kode) ; (2) jenis pemeriksaan dan posisi pemotretan ; (3) pengetahuan pesawat roentgen ; (4) pengetahuan kamar gelap ; (5) proses terjadinya gambaran radiografi (Rasad S., 2009).

Daya tembus sinar X berbeda-beda sesuai dengan benda yang dilaluinya. Benda-benda yang mudah tembus sinar X memberi bayangan hitam (radioluscent). Benda-benda yang sukar ditembus sinar X memberi bayangan putih (radiopaque). Diantaranya hitam dan putih terdapat bayangan perantara yaitu semi radiopaque. Berdasarkan mudah tidaknya ditembus sinar X, maka bagian tubuh dibedakan atas : (1) radioluscent (hitam) : gas dan udara ; (2) radioluscent sedang : jaringan lemak ; (3) keputih-putihan : jaringan ikat, otot, darah, kartilago, epitel, batu kolesterol. Batu asam urat ; (4) radiopaque sedang : tulang, garam kalsium ; (5) radiopaque (putih) : logam-logam berat (Rasad dkk, 1992).

(42)
(43)

BAB 3

MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Waktu penelitian 4 bulan, yaitu bulan April-Juli 2015. Pendataan dilakukan terhadap kasus piometra pada anjing pada periode April-Juli 2015.

3.2 Materi Penelitian

Materi yang diamati adalah data primer kasus piometra pada anjing betina yang diperoleh dari RSHP dan juga dilengkapi data sekunder dari rekam medik ambulatoir atau catatan medis dan buku ambul pasien Rumah Sakit Hewan Pendidikan Universitas Airlangga selama periode empat bulan, yaitu mulai dari April - Juli 2015. Di dalam ambulatoir dan buku ambul tersebut terdapat data – data pasien yang diperiksa antara lain catatan tanggal pemeriksaan, umur, ras anjing. Data yang diambil adalah kasus piometra pada anjing betina dengan pemeriksaan radiologi dari catatan medis baru atau pertama kalinya pasien datang (tanpa adanya pengulangan) di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

3.3 Metode Penelitian

(44)

jumlah kejadian setiap bulannya. Data kejadian piometra diambil selama 4 bulan di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga yang telah melalui penegakan diagnosa dengan cara anamnesa, pemeriksaan gejala klinis dan pemeriksaan radiologi. Pencatatan data diambil dari ambulatoir dan buku ambul pasien yang ada di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga pada bulan April-Juli 2015.

3.3.1 Variabel Penelitian

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:

Variabel bebas yang diamati dalam penelitian ini mencakup umur dan jenis anjing selama 4 bulan.

Variabel tergantung yang digunakan dalam menilai kasus piometra dari data kejadian penyakit pada bulan April-Juli 2015 yang penegakan diagnosanya berdasarkan anamnesa, gejala klinis dan pemeriksaan radiologi.

Variabel kendali dalam penelitian ini diambil anjing yang telah diperiksakan di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga yang telah ditentukan menderita piometra dengan pemeriksaan radiologi.

3.3.2 Definisi Operasional

(45)

berlangsung saat periode diestrus terkait dengan lesi di dalam dan di luar organ genital (Subronto, 2014).

b) Anjing yang menderita piometra yaitu anjing yang telah didiagnosis berdasarkan sejarah kasus atau anamnesa dan pemeriksaan fisik, apabila diperlukan dapat juga dilakukan pemeriksaan hematologis, ultrasonografi atau radiografi dan kultur bakteriologis/sitologi vagina serta uterus (Hagman et al., 2006).

c) Penegakan diagnosa yaitu dengan pemeriksaan menggunakan

pembuatan foto roentgen daerah abdomen dengan posisi Lateral dan atau Ventero Dorsal dengan adanya cairan di dalam uterus. Diagnosa positif jika terdapat timbunan nanah pada uterus anjing (Noviana Deni, dkk, 2008).

d) Insidensi merupakan jumlah kasus baru suatu penyakit yang ditemukan selama periode waktu tertentu (Timmreck, 2001). Insidensi dapat dinyatakan sebagai hitungan frekuensi, tingkat atau proporsi (Porta, 2014).

Rumus Insidensi =JJ e y e ×100%

e) Ras adalah kelompok individu yang menghuni daerah tertentu dan memiliki sifat khas serta frekuensi gen yang membedakan dari kelompok individu lainnya (R. Sapto, 2005).

(46)

3.3.3 Analisis Data

(47)

3.4 Diagram Penelitian

Ambulatoir

Tidak dilakukan pemeriksaan radiologi Buku ambul pasien RSHP FKH UA

Data deskriptif Anjing menderita piometra

RSHP

Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik

(48)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian tentang insidensi kasus piometra pada anjing, menunjukkan insidensi piometra pada anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga pada periode April – Juli sebesar 9,3% dengan jumlah kasus piometra sebanyak 31 anjing betina yang telah melakukan pemeriksaan radiologi. Jumlah pasien anjing betina yang telah diperiksa di Rumah Sakit Hewan Pendididkan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga pada periode April – Juli 2015 sebanyak 333 anjing betina. Data tersaji dalam dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Data Insidensi Piometra pada Anjing Periode April – Juli 2015.

Kasus Jumlah Insidensi (%)

Negatif 302 90,7

Positif 31 9,3

Total 333 100,0

Berdasarkan data setiap bulan dalam periode April – Juli 2015, kejadian kasus piometra pada anjing tertinggi pada bulan April yaitu berjumlah 16 anjing betina (13,4%), kejadian terendah pada bulan Juli dengan jumlah 1 anjing betina (2%). Data tersaji dalam dalam Tabel 4.2 dan Gambar 4.1.

Tabel 4.2. Data Kejadian Piometra pada Anjing per Bulan.

Bulan Negatif Positif Insidensi (%)

April 103 16 13,4

Mei 72 5 6,4

Juni 79 9 10,2

(49)

Gambar 4.1. Diagram Batang Persentase Piometra pada Anjing per Bulan.

Berdasarkan sampel yang dianalisis, terdapat variasi rentang umur yang menjadi faktor resiko piometra pada anjing. Rentang umur dalam penelitian ini adalah hasil pembagian kelompok umur. Dari 333 anjing betina terbagi menjadi, umur kurang dari 4 tahun sebanyak 185 anjing, umur 4-8 tahun sebanyak 88 anjing, umur lebih dari 8 tahun-12 tahun sebanyak 46 anjing, dan yang berumur lebih dari 12 tahun sebanyak 14 anjing. Kejadian tertinggi terdapat pada rentang umur lebih dari 8 tahun-12 tahun yaitu 23,9% dan kejadian terendah pada rentang umur kurang dari 4 tahun yaitu 3,7%. Data tersaji dalam Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Data Kejadian Piometra pada Anjing Berdasarkan Umur Anjing. Umur Anjing (tahun) Negatif Positif Insidensi (%)

(50)

Gambar 4.2. Hasil Chi-Square Tests Berdasarkan Umur

Hasil Test Chi-Square menunjukkan value 0,000 (P<0,05), bahwa terdapat hubungan antara umur dengan kejadian piometra.

Selama 4 bulan sejak April-Juli 2015, Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga telah memeriksa 333 anjing betina, yang terbagi dalam 4 klasifikasi ras anjing menurut ukuran dan berat badan yaitu ras kecil (<10kg), ras sedang (10-25kg), ras besar (>25-50kg) dan ras sangat besar(>50kg). kemudian terdiri dari 228 anjing ras kecil, 68 anjing ras sedang, 35 anjing ras besar dan 2 anjing ras sangat besar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian kasus piometra tertinggi pada anjing kategori ras besar yaitu 17,1%. Kejadian piometra terendah pada anjing kategori ras sangat besar yaitu 0%. Data tersaji dalam dalam Tabel 4.4 dan Gambar 4.2.

Tabel 4.4. Data Kejadian Piometra pada Anjing berdasarkan Ras Anjing.

Ras Anjing Negatif Positif Insidensi (%)

(51)

Gambar 4.3. Hasil Chi-Square Tests Berdasarkan Ras

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 5.409a 3 .144

Likelihood Ratio 5.128 3 .163

Linear-by-Linear Association 4.160 1 .041

N of Valid Cases 333

Hasil Test Chi-Square menunjukkan value 0,144 (P>0,05), bahwa tidak terdapat hubungan antara ras dengan kejadian piometra.

(52)

BAB 5 PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Juli 2015 di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar ketepatan radiologi dalam mendiagnosa piometra pada anjing dan perbedaan kejadian berdasarkan data kejadian tiap bulan, ras dan umur anjing. Penelitian ini dilakukan pada periode April sampai dengan Juli 2015. Data-data kasus piometra diperoleh dari data primer kasus piometra pada anjing betina yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Pendidikan dan juga dilengkapi data sekunder berupa rekam medik ambulatoir atau catatan medis dan buku ambul pasien yang ada di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, yang selanjutnya diolah dan disajikan dalam tabel frekuensi distribusi. Analisis dan interpretasi data dilakukan dengan menganalisis tabel frekuensi distribusi, serta membandingkannya dengan berbagai penelitian lain yang sejenis dan data-data lain yang mendukung, termasuk juga kajian teori.

(53)

Kasus piometra pada anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga periode April – Juli 2015 sebesar 9,3% tergolong sangat tinggi, Gibson et al. (2013) menyatakan bahwa kasus piometra di 5 RSH, Manchester, UK selama periode 2006 – 2011 sebesar 2,2%. Berdasarkan data kejadian piometra pada anjing yang dikumpulkan, kejadian bulan April yaitu 13,4% dengan jumlah kasus piometra 16 anjing betina, bulan Mei yaitu 6,4% dengan jumlah kasus piometra 5 anjing betina, bulan Juni yaitu 10,2% dengan jumlah kasus piometra 9 anjing betina dan bulan Juli yaitu 2,0% dengan jumlah kasus piometra 1 anjing betina. Berdasarkan data kejadian piometra pada anjing yang dikumpulkan, kejadian perbulan yang tertinggi pada bulan April. Kejadian piometra yang tinggi dan cenderung meningkat kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor ekonomis, perawatan dan lingkungan. Pemilik seringkali memilih terapi obat-obatan dibandingkan operasi, dikarenakan alasan ekonomi. Terapi obat-obatan dan atau hormon menyebabkan kelainan hormon pada organ reproduksi anjing betina dan dinding uterus menjadi rentan terhadap infeksi sekunder, sehingga terjadi piometra.

(54)

Berdasarkan pengelompokkan umur tersebut kejadian piometra tertinggi terjadi pada umur lebih dari 8 - 12 tahun. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Hagman et al. (2011) bahwa piometra lebih cenderung muncul pada anjing berumur menengah keatas (tua) dengan rata-rata umur mulai dari sekitar 6,4 sampai 9,5 tahun. Pada sebuah penelitian di Swedia menunjukkan anjing betina mengalami piometra kurang dari umur 10 tahun. Anjing betina tua lebih rentan terhadap piometra dikarenakan anjing telah mengalami estrus dan kawin berulang kali, serviksnya terbuka ketika anjing mengalami estrus dan memungkinkan bakteri masuk ke dalam rahim dan menyebabkan infeksi (endometritis), berkembang lalu menjadi nanah yang terkumpul dalam uterus. Selain itu, penurunan daya tahan tubuh pada anjing tua menyebabkan anjing semakin rentan terhadap piometra.

(55)

Drevers, German Sherped, Daschunds, dan Swedish Hounds. Tingginya kasus piometra pada anjing ras besar dimungkinkan karena adanya faktor lingkungan dan perawatan anjing. Semakin besar ras anjing perawatan maupun biaya operasinya juga mahal. Perawatan anjing dengan baik dan teratur serta penanganan estrus yang baik dapat mencegah piometra, tidak disarankan bagi pemilik anjing melakukan terapi hormonal untuk mencegah kebuntingan.

(56)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga kota Surabaya tentang diagnosa kasus piometra pada anjing melalui pemeriksaan radiologi periode April – Juli 2015, dapat disimpulkan :

1. Insidensi piometra pada anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya periode April – Juli 2015 yaitu 9,3% (31 kasus), frekuensi tertinggi pada bulan April 2015 yaitu 13,4% dengan jumlah kasus piometra 16 anjing betina.

(57)

6.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka diberikan saran sebagai berikut :

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh terapi hormon, frekuensi kelahiran dan bakteri yang terdapat pada uterus yang mengalami piometra.

2. Perlu diperhatikan bagi dokter hewan maupun klien (pemilik), Anjing yang rentan terhadap piometra adalah anjing berumur tua dan kategori ras besar, tidak terkecuali anjing betina dengan umur dan ras lainnya.

3. Perlu dituliskan ras anjing dalam ambulatoir untuk kelengkapan data ambulatoir dan agar kelancaran dan kefalidan data penelitian di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Universitas Airlangga.

(58)

RINGKASAN

Dyah Inggar Prestiana. Insidensi Piometra Melalui Pemeriksaan Radiologi pada Anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dibawah bimbingan Julien Soepraptini, drh, SU. selaku pembimbing utama dan Prof. Dr. Herry A. H., drh., M.Si. selaku pembimbing serta.

Anjing merupakan hewan peliharaan yang banyak dipelihara dan memiliki hubungan paling dekat dengan manusia, akan tetapi masih banyak pemilik yang kurang memperhatikan aspek kesehatan anjing, misalnya aspek kesehatan reproduksi.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahu berapakah insidensi piometra yang diperiksa secara X-Ray di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga pada periode April – Juli 2015 dan untuk mengetahui adakah pengaruh kejadian piometra terhadap umur dan ras pada anjing.

(59)
(60)

DAFTAR PUSTAKA

Agudelo, C.F. 2005. Cystic Endometrial Hyperplasia –Pyometra Complex in Cats. Vet Quart 27 (4):173-182.

Andersen, A.C. 1957. Puppy Production in The Weaning Age. J. Amer. Vet. Med.Ass. 130:151.

Andersen, A.C., Wooten, E. 1959. The Estrous Cycle of The Dog. In Reproduction in Domestic Animals, ed. HH Cole, PT Cupps, pp. Chapter 11

Åsheim, Å. 1965. Pathogenesis of Renal Damage and Polydipsia in Dogs with Pyometra. J. Am. Anim. Hosp. Assoc. 147: 736-745.

Baba, E., Hata, H., Fukata, T. 1983.Vaginal and Uterine Microflora of Adult Dogs. Am J Vet Res 44:606-610.

Bigliardi, E., E. Pamigiani, S. Cavirani, A. Luppi, L. Bonati and A. Corradi. 2004. Ultrasonography and Cystic Hyperplasia-Pyometra Complex in The Bitch. Reprod. Dom. Anim. 39: 136-240.

Biologimu.2011.Reproduksi Anjing.www.biologimu.com[23 Oktober 2015]. Birchard, S.J. and R.G. Sherding. 2000. Saunders Manual of Small Animal Practice.

2nd ed. W.B. Saunders Company. Pennsylvania.

C. Edward F., W. Richard N. 1987. Canine and Feline Endocrinology and Reproduction W.B. Sounders. Company 446-454.

Chaniago, Arman, Y. S. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Pustaka Setia. Bandung 427-428.

Chastain, C.B., D. Panciera and C. Waters. 1999. Associations Between Age, Parity, Hormonal Therapy and Breed, and Pyometra in Finnish Dogs. Small Anim. Endocrinol. 9: 8.

Concannon, P.W., Weinstein, R., Whaley, S., Frank, D. 1987. Suppression of Luteal Function in The Dogs By Luteinizing Hormone Anti-serum and By Bromocriptine. J. Reprod. Fert. 81:175.

Concannon, P.W., Whaley, S., Anderson, S.P. 1986. Increased LH Pulse Frequency Associated with Termination of Anestrus During The Ovarian Cycle of The Dog. Biol. Reprod. 34:119. Dominique, G., Josee and V. Jean-pierre. 2004. The Royal Canin Dog Encyclopaedia. Aniwa S.A. French.

(61)

Eastman, G.W., Christoph, W., Jane, C. 2012. Radiologi Klinis. Buku Kedokteran ECG 6-10. Egenvall, A., R. Hagman, B. Bonnet, A. Hedhammar, P. Olsson and A.S. Lagerstedt. 2001. Breed Risk of Pyometra in Insured Dogs in Sweden. J. Vet. Intern. Med. 15: 530-538.

Ewald, B.H. 1961. A Survey of The Cystic Hyperplasia - Pyometra Complex in The Bitch. Small Anim. Clin. 1: 383-386.

Fakuda, S. 2001. Incidence of Pyometra in Colonyraised Beagle Dogs. Exp. Anim. 50: 325-328.

Feldman, E.C. and R.W. Nelson. 2004. Cystic Endometrial Hyperplasia/Pyometra Complex. In: R. Kersey (Ed.). Canine and Feline Endocrinology and Reproduction. WB Saunders Co. 852-867.

Gibson, A., R. Dean, D. Yates and J. Stavisky. 2013. Retrospective Study of Pyometra at Five RSPCA Hospitals in the UK: 1728 cases from 2006 to 2011. Vet. Rec. 173: 396.

Goddard, P.J. 1995. Veterinary Ultrasonography. CAB International. England. Hagman, R. 2004. New Aspects of Canine Pyometra [Doctoral Thesis]. Swedish

University of Agricultural Sciences. Uppsala.

Hagman, R., H. Kindahl, B.A. Fransson, A. Bergström, B. Ström-Holst and A.S. Lagerstedt. 2006. Differentiation Between Pyometra and Cystic Endometrial Hyperplasia/Mucometra in Bitches by Prostaglandin F2alpha Metabolite Analysis. Theriogenology. 66: 198-206.

Hagman, R., A.S. Lagerstedt, A. Hedhammar and A. Egenvall. 2011. A breed-matched case-control study of potential risk-factors for canine pyometra. Theriogenology. 75: 1251-1257.

Hatmosrojo, R. dan N.S. Budiana. 2003. Melatih Anjing Keluarga. Penebar Swadaya. Jakarta.

Jitpean, S., R. Hagman, B. Ström-Holst, O.V. Höglund and A. Egenvall. 2012. Breed Variations in The Occurrence of Pyometra and Mammary Tumours in Swedish Dogs. Dept. Clin. Sci. Fac. Vet. Med. Swed. Univ. Agric. Sci. SE-750 07 Uppsala. Sweden.

Johnston, S.D., M.V.R. Kustritz and P.N.S. Olson. 2001. Disorders of The Canine Uterus and Uterine Tubes (oviducts). In: R. Kersey (Ed.). Canine and feline theriogenology. WB Saunders Co. 206-224.

Junaidi, A. 2006. Reproduksi dan Obstetri pada Anjing. Gadjah Mada University Press 12:18-23.

(62)

Koesharyono. 2009. Pyometra, Penyakit Infeksi Rahim pada Anjing. Anjing Kita.com – [06 Februari 2015].

Krook, L., S. Larsson, J.R. Rooney. 1960. The Interrelationship of Diabetes Mellitus, Obesity, and Pyometra in The Dog. Am. J. Vet. Res. 21: 120-124. Linnaeus Carolus. 2009. Binomial Nomenclatur of Dog. A Taxonomic and

Geographic Reference.

Lokapirnasari, W.L. 1993. Studi Tentang Kejadian Penyakit Anjing di Rumah Sakit Hewan Surabaya [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga.

Lukiswanto, B.S. dan Yuniarti, W.M. 2013. Pemeriksaan Fisik pada Anjing dan Kucing. AUP v.

Lundorff, J.A., M. Bantz and P.J.S. Dirch. 1994. Cystic Endometrial Hyperplasia/Pyometra Complex in The Dog. Eur. J. Comp. Anim. Prac. 4: 20-26.

Lynda, P. 1999. Case, The Dog it Behavior, Nutrition & Health. Iowa State Univerity Press. 8.

M. Gillian S., C. Gary W.E., Harvey Mike, 2004. Manual of Animal Reproduction and Neonatology BSAVA, United kingdom, 46-49:183-185.

Mellin, T.N., Orczyk, G.P., Hichens, M., Behrman, H.R. 1976. Serum Profiles of Luteinizing Hormone, Progesterone and Total Estrogens During The Canine Estrous Cycle. Theriogenology 15:481.

Miller, M.E. 1993. Anatomi of The Dog. Philadelphia: W.B. Sounder Campany. Noviana, D., Wywy, G.M., Chusnul, C. 2008. Diagnosis Ultrasonografi untuk

Mendeteksi Gangguan pada Uterus Kucing (felis catus) vol 24, No.1 39-41. Pennisi, E. 2002. Canine Evolution : A Shaggy Dog History

http://www.dogexpert.com//. [02 Maret 2015].

Permentan. 2010. SK Mentan no.02/Permentan/OT.140/2010. Pedoman Pelayanan Jasa Medik Veteriner. Peraturan Menteri Pertanian.

Porta, M.S. 2014. A Dictionary of Epidemiology. 6th ed. Oxford. Oxford University

Press.

Prajanto, dan A. Andoko. 2004. Membuat Anjing Sehat dan Pintar. Agromedia Pustaka. Bandung.

R. Sapto Wiyono. 2005. Kamus Pintar Biologi. Citra Wacana. Surabaya 362-363. Rakhmatdi H., dan N.S. Budiana. 2008. Melatih Anjing Penjaga. Penebar Swadaya.

(63)

Rasad, S. 2009. Radiologi Diagnostik. FKUI. Jakarta 325.

Rasad, G. Ilyas, M.D. Rachman dan I. Ekayuda. 1992. Radiologik Diagnostik. Sub Bagian Radiologi Diagnostik, Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. R.S. Dr. Cipto Mangunkusumo. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Renton, J.P., J.S. Boyd and M.J.A. Harvey. 1993. Observations on The Treatment and Diagnosis of Open Pyometra in The Bitch (Canis familiaris). J. Reprod. Fertil. Suppl. 47: 465-469.

Root, M.K. 2010. Clinical Canine & Feline Reproduction Evidence-based Answer. Wiley-Blackwell USA 245-247.

Ruiz-Maldonado, R., L. Tamayo and J. Dominguez. 1977. Norwegian Scabies Due to Sarcoptes Scabiei var. Canis. Arch. Dermatol 113:1733.

Sandholm, M., H. Vasenius and A.K. Kivisto. 1975. Pathogenesis of Canine Pyometra. JAVMA. 167: 1006-1010.

Sayuti, A., Juli, M., Amrozi, Syafruddin, Roslizawaty, Yudha, F. 2012. Gambaran Klinis Sapi Piometra Sebelum dan Setelah Terapi dengan Antibiotik dan Prostaglandin Secara Intra Uteri. Jurnal.unsyiah.ac.id. Vol. 6, No. 2

Sianipar, N.D. 2004. Merawat dan Melatih Anjing Penjaga. Agromedia Pustaka. Depok.

Smith, B.J. and S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Cobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Smith, F.O. 2006. Canine Pyometra. Theriogenology 66:610-612.

Smith, S.M., McDonald, L.E. 1974. Serum Levels of Luteinizing Hormone and Progesterone During The Estrous Cycle, Pseudopregnancy and Pregnancy in The Dog. Endocrinology 94:404.

Stone, E.A., M.P. Littman, J.L. Robertson and K.C. Bovee. 1998. Renal Dysfunction in Dogs with Pyometra. J. Am. Vet. Med. Assoc. 193: 457-464. Subronto, 2014. Ilmu Penyakit Hewan Kesayangan Anjing (Canine Medicine).

Gadjah Mada University Press 115-118.

Untung, O. 2007. Merawat dan Melatih Anjing. Penebar Swadaya. Jakarta 1-3. Wheaton, L.G., A.L. Johnson, A.J. Parker and S.K. Kneller. 1989. Results and

Complications of Surgical Treatment of Pyometra: a review of 80 cases. J. Am. Anim. Hosp. Assoc. 25: 563-568.

(64)

Lampiran 1. Contoh Ambulatoir RSHP FKH Universitas Airlangga.

(65)

Lampiran 2. Mesin X-Ray di RSHP Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

(66)

Lampiran 3. Anjing Menderita Piometra

Anjing Mini (Pomeranian) 7 Tahun, 4,1 Kg

(67)

Lampiran 4. Leleran Piometra

(68)

Lampiran 4.(Lanjutan)

(69)

Lampiran 5.Hasil Rontgen Anjing yang Menderita Piometra

Anjing Kimi (Golden Retriever), 4 tahun, 33 Kg

(70)

Lampiran 6.Data Anjing yang Menderita Piometra

No. No. Ambul Bulan Nama

(71)
(72)
(73)

Lampiran 9. Hasil Analisis dengan SPSS 18.0 for Windows.

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Frequency Percent Valid Percent

(74)

Chi-Square Tests

a. 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.30.

Linear-by-Linear Association 4.160 1 .041

N of Valid Cases 333

(75)

T-Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

t-test for Equality of Means

Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error

t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

BB Equal variances assumed .049 7.616

Equal variances not

Ketepatan_XRAY positif pyo positif xray Count 126 30

% within Ketepatan_XRAY 80.8% 19.2%

% within Piometra 41.7% 96.8%

% of Total 37.8% 9.0%

positif pyo negatif xray Count 176 1

% within Ketepatan_XRAY 99.4% .6%

% within Piometra 58.3% 3.2%

% of Total 52.9% .3%

Total Count 302 31

% within Ketepatan_XRAY 90.7% 9.3%

% within Piometra 100.0% 100.0%

(76)

Ketepatan_XRAY * Piometra Crosstabulation

Total

Ketepatan_XRAY positif pyo positif xray Count 156

% within Ketepatan_XRAY 100.0%

% within Piometra 46.8%

% of Total 46.8%

positif pyo negatif xray Count 177

% within Ketepatan_XRAY 100.0%

% within Piometra 53.2%

% of Total 53.2%

Total Count 333

% within Ketepatan_XRAY 100.0%

% within Piometra 100.0%

% of Total 100.0%

Continuity Correctionb 32.044 1 .000

Likelihood Ratio 41.131 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 34.116 1 .000

N of Valid Cases 333

Gambar

Gambar
Tabel 2.1. Klasifikasi Anjing menurut Ukuran/Berat Badan. Klasifikasi Ras Berat Badan (kg)
Tabel 2.2 Data Biologis Anjing Secara Umum.
Tabel 2.3 Panjang dan kisaran interval estrus pada berbagai macam ras anjing.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan impor menurut trayek kapal pengangkutannya di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya sebanyak 733.496 kegiatan tramper nasional dan 19.440.499 kegiatan tramper

Berangkat dari kesadaran serta kepedulian akan hal tersebut pada tanggal 01 Juni 2012 kami membentuk suatu paguyuban kesenian tradisional jathil kreasi baru dengan nama

Kesimpulan yang didapat dari pembuatan abon pisang muda dengan penambahan bumbu masak habang yaitu formulasi ke empat selain teksturnya sudah halus, pada saat

Tujuan dari usaha ini adalah Jellow hadir sebagai produsen jelly buah siap saji yang fresh serta tanpa pemanis buatan.Untuk kedepannya, dapat mengembangkan industry gelling agent

1 Pejabat Eksekutif yang menangani fungsi audit intern telah menyampaikan laporan pelaksanaan audit intern kepada Direktur Utama dan Dewan Komisaris dengan tembusan kepada

Hasil yang didapatkan adalah lidocain 9,8% untuk anestesi pada terapi jahit perineum, misoprostol 5,6% untuk induksi persalinan dan 8,5% masalah aborsi, ondancetron

Kursus ini bersesuaian untuk peserta yang telah bekerja dengan persekitaran atau tugasan penjaga jentera elektrik di industri. Dan juga sesuai bagi mereka yang ingin membuat

Foto yang disebelah kanan adalah ketika Suraya mengecek kembali (dengan keyakinannya mengevaluasi embat gamelan yang telah dibuatnya) jarak nada atau interval pada