• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERFORMA PRODUKSI TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG BUNGKIL INTI SAWIT SKRIPSI WIDYA PITA LOKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERFORMA PRODUKSI TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG BUNGKIL INTI SAWIT SKRIPSI WIDYA PITA LOKA"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMA PRODUKSI TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG BUNGKIL INTI SAWIT

SKRIPSI

WIDYA PITA LOKA E10013084

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS JAMBI

(2)

PERFORMA PRODUKSI TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG BUNGKIL INTI SAWIT

Widya Pita Loka (E10013084), di bawah bimbingan Wiwaha Anas Sumadja1) dan Resmi2)

RINGKASAN

Bungkil inti sawit (BIS) merupakan hasil samping dari pengolahan inti kelapa sawit yang masih bisa dimanfaat untuk pakan unggas. Selain ketersediaanya yang melimpah BIS juga mengandung nutrisi yang cukup baik. BIS mengandung protein kasar 15,43%-19,00%, lemak kasar 7,71%, serat kasar 15,47%-20,00%, kalsium 0,43%, dan Phospor 0,86%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui performa produksi telur puyuh yang diberi ransum mengandung bungkil inti sawit.

Penelitian ini dilakukan di kandang Fapet Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi yang dilaksanakan mulai tanggal 8 April sampai 30 Juni 2016. Penelitian ini menggunakan puyuh betina umur 21 hari sebanyak 140 ekor. Perlakuan yang digunakan meliputi: T1 (ransum 0% BIS), T2 (ransum mengandung 12,5 % BIS), T3 (ransum mengandung 25% BIS), dan T4 (ransum mengandung 37,5%). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Peubah yang diamati meliputi konsumsi ransum, umur bertelur pertama, bobot telur, produksi telur dan konversi ransum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian BIS hingga 37,5% dalam ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum, umur bertelur pertama, bobot telur, produksi telur dan konversi ransum.

(3)

PERFORMA PRODUKSI TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG BUNGKIL INTI SAWIT

Oleh

WIDYA PITA LOKA E10013084

Telah Diuji di Hadapan Tim Penguji

Pada Hari Rabu, tanggal 18 April 2017, dan dinyatakan Lulus

Ketua : Ir. Wiwaha Anas Sumadja, M.Sc, PhD Sekretaris : Ir. Resmi, MP

Anggota : 1. Prof. Dr. Ir. Zubaidah, MS 2. Dr. Yatno, S.Pt., M.Si 3. Heru Handoko, S.Pt., M.Si

Menyetujui:

Pembimbing Utama, Pembimbing Pendamping,

Ir. Wiwaha Anas Sumadja, M.Sc, PhD Ir. Resmi, MP NIP. 19640711 199001 1 002 NIP. 19590818 198603 2 002

Tanggal: Tanggal:

Mengetahui:

Wakil Dekan BAKSI, Ketua Jurusan/Program Studi

Dr.Sc.Agr.Ir. Teja Kaswari, M.Sc Ir. Darmawan, MP

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Performa Produksi Telur Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Yang Diberi Ransum Mengandung Bungkil Inti Sawit” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini sesuai dengan kaidah penulisan yang berlaku.

Jambi, April 2017

dto

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai Rambai pada tanggal 8 Mei 1995, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mulyadi, S.E dan Ibu Siti Nurma. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 116/V Sungai Rambai pada tahun 2007, pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Pengabuan Teluk Nilau pada tahun 2010, dan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Pengabuan Teluk Nilau pada tahun 2013. Penulis mengambil Jurusan IPA dan menamatkan SMA pada tahun 2013.

Pada tahun 2013 penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Jambi melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Praktek lapang dilaksanakan pada semester VI (genap) tahun akademik 2015/2016 yang bertempat di Desa Mendalo Darat Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi. Pada Bulan Juli

(6)

i PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan nikmat kesehatan serta kesempatan yang telah dianugrahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi. Skripsi ini merupakan persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Program Studi Peternakan Universitas Jambi.

Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ayahku tercinta Mulyadi S.E dan Ibuku tercinta Siti Nurma yang selalu berdoa dengan penuh kesabaran dan memberikan semangat serta melimpahkan kasih sayang dan dorongan moral serta materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Kepada Adik-adikku Angga Setiawan dan Alda Wulandari yang luar biasa memberi semangat kepada penulis selama perkuliahan.

3. Bapak Ir. H. Wiwaha Anas Sumadja, M.Sc, PhD selaku pembimbing akademik

sekaligus pembimbing utama yang selalu memberikan nasehat, bimbingan dan motivasi kepada penulis selama perkuliahan, serta memberikan pengarahan dan saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Ir. Resmi, MP selaku pembimbing pendamping yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan pengarahan dan bimbingan serta saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, M.Sc.agr selaku Dekan Fakultas Peternakan dan seluruh staf pengajar Fakultas Peternakan Universitas Jambi yang telah banyak memberi ilmu pengetahuan dan wawasan kepada penulis.

6. Ibu Ir. Hendalia, MS selaku dosen pembimbing lapangan (Farm Experience). 7. Rekan satu tim penelitian Nofriansyah, Dias Triyambodo, Giniung Pratidina

dan Laily Hanifa yang selalu bekerjasama dan selalu menyemangati penulis. 8. Sahabatku tersayang Suci Ardiyanti yang selalu memberikan semangat yang

(7)

ii 9. Sahabat seperjuangan Suliani, Syintia Dwi Agustina, Azizah, Dwi D.A

Sihombing, Rinda Devianti, Tria Noberta Futri yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

10. Teman seperjuangan posko 5 Eky, Melvi, Meti, Mia, Sela, Inta, Santa, Fitri, Tirta, Julistiono, Ardian, Riyadi, Bayu, Ikhsan.

Laporan penelitian ini adalah hasil upaya maksimal penulis dengan bantuan berbagai pihak. Kritik atas kekurangan laporan ini mudah-mudahan dapat diperbaiki oleh peneliti-peneliti berikutnya untuk topik penelitian lain.

Akhir kata penulis banyak mengucapkan ribuan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang setimpal kepada kita semua.

Jambi, April 2017

(8)

iii

2.3. Bungkil Inti Sawit dalam Ransum Unggas ... 5

2.4. Produksi Telur ... 6

2.5. Konsumsi Ransum ... 7

2.6. Konversi Ransum... 8

BAB III. METODE PENELITIAN... 10

3.1. Tempat dan Waktu ... 10

3.2. Materi dan Peralatan ... 10

3.3. Metode ... 10

3.4. Rancangan Penelitian... 14

(9)

iv

5.1. Kesimpulan ... 21

5.2. Saran ... 21

DAFTAR PUSTAKA ... 22

(10)

v DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Produksi telur puyuh pada level protein yang berbeda ... 7

2. Kebutuhan konsumsi pakan pada puyuh ... 8

3. Kebutuhan nutrient dalam ransum puyuh fase layer ... 8

4. Kandungan zat makanan bahan penyusun ransum perlakuan ... 12

5. Komposisi bahan penyusun ransum perlakuan ... 12

6. Kandungan zat makanan ransum perlakuan ... 13

(11)

vi DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Bagan proses pengolahan kelapa sawit dan perkiraan proporsi terhadap

(12)

vii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Analisis ragam dari data konsumsi ransum (gram/ekor/hari) ... 26

2. Analisis ragam dari data umur bertelur pertama (hari) ... 27

3. Analisis ragam dari data bobot telur (gram/butir) ... 28

4. Analisis ragam dari produksi telur (%) ... 29

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Puyuh merupakan salah satu jenis unggas yang memiliki potensi untuk dikembangkan dan ditingkatkan produksinya. Selain menghasilkan daging, puyuh juga menghasilkan telur untuk memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat. Puyuh merupakan unggas daratan yang memiliki ukuran tubuh kecil, pemakan biji-bijian dpan serangga kecil. Jenis puyuh yang sering dibudidayakan adalah puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) karena puyuh ini mulai bertelur pada umur 42 hari. Puyuh betina mampu menghasilkan 250-300 butir telur dalam

setahun. Berat telurnya sekitar 10 g/butir atau 7-8% dari bobot badan. Puyuh berpotensi sebagai penyumbang bahan pangan asal hewani untuk memenuhi kebutuhan konsumsi protein. Menurut data dari Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), populasi puyuh di Indonesia sebanyak 7.840.880 ekor. Dengan populasinya yang cukup banyak maka perlu ketersediaan bahan pakan yang banyak pula.

Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan suatu usaha peternakan, karena 60-70% biaya yang dikeluarkan peternak digunakan untuk pembelian pakan. Saat ini Indonesia masih mengimpor sebagian bahan pakan dari luar negeri. Hal ini menyebabkan harga pakan unggas komersil relatif mahal dan tidak stabil. Untuk mengurangi biaya produksi, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pakan alternatif yang kandungan nutrisinya baik, selalu tersedia, mudah didapat dan murah. Bungkil inti sawit (BIS) merupakan hasil samping dari pengolahan inti kelapa sawit yang masih bisa dimanfaat untuk pakan ternak unggas.

Direktorat jenderal perkebunan (2014) melaporkan bahwa produksi minyak kelapa sawit di Indonesia mencapai 29.344.479 ton dan diperkirakan menghasilkan 7.336.119 ton inti sawit. Di provinsi Jambi pada tahun 2014 produksi minyak kelapa sawit mencapai 1.857.260 ton dan bila dihitung secara

(14)

2 Kandungan nutrisi pada BIS yaitu protein kasar 15.43%-19.00%, lemak kasar 7.71%, serat kasar 15.47%-20.00%, Ca 0.43%, P 0.86% dan Cu 21.86 ppm (Aritonang, 1984). Penggunaan BIS hingga level 30% dalam ransum puyuh petelur tidak memberikan efek negatif terhadap produksi telur, berat telur dan dapat mengurangi biaya pakan (Makinde et al., 2014). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjut dengan meningkatkan level penggunaan BIS dalam ransum untuk melihat produksi telur pada puyuh.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui performa produksi telur pada puyuh yang diberi ransum mengandung bungkil inti sawit.

1.3. Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang penggunaan bungkil inti sawit dalam ransum puyuh petelur sebagai bahan pakan

(15)

3 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Puyuh

Puyuh merupakan unggas yang memiliki siklus hidup relatif pendek dengan laju metabolisme tinggi, dan pertumbuhan serta perkembangannya yang sangat cepat (Radhitya, 2015). Burung puyuh merupakan salah satu komoditi unggas dari genus Coturnix yang dapat dimanfaatkan sebagai penghasil telur dan daging (Setyawan et. al., 2012). Puyuh mulai dijinakkan di Jepang pada tahun 1890-an (Nugroho dan Mayun, 1986). Sedangkan, di Indonesia puyuh mulai dikenal dan diternakkan pada tahun 1979 (Progressio, 2000). Jenis puyuh yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) (Suryani, 2015).

Karakteristik yang mencirikan puyuh Jepang menurut Wheindrata (2014) adalah : (1) paruh pendek dan kuat, badan lebih besar dibanding puyuh jenis lain, panjang badan 18-19 cm, berbentuk bulat dengan ekor pendek, (2) jari kaki empat

buah, tiga jari ke arah depan satu jari ke arah belakang, warna kaki kekuning-kuningan, (3) pada kepala puyuh jantan dewasa, diatas mata dan bagian alis mata belakang terdapat bulu putih berbentuk garis melengkung yang tebal, bulu dada

merah sawo matang polos tanpa ada bercak-bercak cokelat kehitaman, suara puyuh jantan lebih keras dibanding yang betina, (4) warna bulu puyuh betina dewasa hampir sama dengan warna bulu puyuh jantan berbeda hanya pada dada yang warna dasarnya agak pucat, bergaris-garis, atau berbecak kehitam-hitaman, (5) puyuh mencapai dewasa kelamin sekitar umur 40-42 hari, (6) berat badan puyuh betina dewasa 142-144 gram/ekor, sedangkan puyuh jantan 115-117 gram/ekor, (7) puyuh betina dapat bertelur 200-300 butir/tahun dengan berat telur 9-10 gram/butir.

(16)

4 percobaan dalam penelitian seleksi unggas khususnya untuk seleksi jangka panjang (Maeda et. al., 1997). Klasifikasi puyuh secara ilmiah yaitu sebagai

Spesies : Coturnix coturnix japonica

2.2. Bungkil Inti Sawit (BIS)

Bungkil inti sawit (palm kernel cake / PKC) merupakan hasil samping yang diperoleh dari pabrik pengolahan kelapa sawit yang potensial untuk dijadikan sebagai bahan pakan ternak (Elisabeth dan Ginting, 2003). Pemanfaatan BIS sebagai sumber energi dalam pakan juga dapat mengurangi biaya pakan (Anggreini et. al., 2014). Pengolahan inti sawit menghasilkan sekitar 45% minyak inti sawit sebagai hasil utama dan bungkil inti sawit sekitar 45% sebagai hasil sampingan (Devendra, 1977). BIS mempunyai berat jenis, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan sudut tumpukan yang lebih tinggi dari sifat fisik yang dimiliki bungkil kedele (Yatno, 2011).

Kandungan zat makanan pada BIS adalah bahan kering 91,8%, protein kasar 15,3%, serat kasar 15,0%, dan abu 5% (Idris et. al., 1998, dalam Elisabeth

dan Ginting, 2003). Nilai kecernaan BIS tanpa fermentasi adalah 63,87% dan setelah fermentasi 3 hari menjadi 74,91% (Supriyati et, al., 1998). Bungkil inti

sawit, sangat potensial untuk digunakan sebagai pakan alternatif sumber protein dan energi. Kandungan gizi pada BIS adalah protein kasar 15.32 %, serat kasar 14.39%, lemak kasar 1.75%, Ca 0.49% dan P 0.68%, dengan kandungan energi metabolis 1892 Kkal/kg (Shakila and Reddy, 2014).

(17)

5 Kandungan zat nutrisi dalam BIS bervariasi, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan umur tanaman, teknik ekstraksi, daerah asal atau jenis kelapa sawit (Aritonang, 1984). Berikut adalah bagan komposisi produk dan hasil samping dari pengolahan kelapa sawit :

Gambar 1. Bagan proses pengolahan kelapa sawit dan perkiraan proporsi terhadap tandan buah segar (Elisabeth dan Ginting, 2003)

2.3. Bungkil Inti Sawit dalam Ransum Unggas

Konsentrat protein yang diekstraksi dari bungkil inti sawit memiliki

retensi protein dan energi metabolis murni yang lebih tinggi dari bungkil inti sawit tanpa pengolahan serta hampir menyamai dengan bungkil kedelai yang

mempunyai retensi protein dan energi metabolis murni berturut-turut sebesar (69.82 vs 70.57% dan 2605.97 vs 2857.35 kkal/kg) (Yatno et. al., 2008). Penggunaan dedak dan BIS yang di suplementasi dengan Maxigrain® enzyme sebanyak 15% selama fase pertumbuhan dan 30% selama pada fase bertelur dapat meningkatkan bobot badan dan produksi telur serta mengurangi biaya pakan (Makinde, 2012). Pemberian bungkil inti sawit hingga 30% pada puyuh menghasilkan konversi pakan sebesar 3,17 (Pranata, 2015).

(18)

6 Penggunaan BIS dapat diberikan sampai level 30% pada ransum fase bertelur (mulai umur 6 minggu) tanpa mempengaruhi produksi telur, berat telur serta dapat meningkatnya bobot badan dan mengurangi biaya pakan (Makinde et. al., 2014). Menurut Yatno (2009) pemberian 12% konsentrat protein BIS terfortifikasi tidak memberikan efek negatif pada ternak yang tergambar dari skor lesio dan gambaran histopatologi usus dan hati bahkan memberikan efek positif terhadap bobot badan akhir dan indeks kuning telur puyuh masa bertelur. Menurut Pranata (2015) pemberian BIKSF dan BIKS sebanyak 10, 20, 30% dengan kandungan serat kasar dalam ransum perlakuan sebesar 3,45 – 9,49 tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan puyuh dan persentase karkas.

2.4. Produksi Telur

(19)

7 Tabel 1. Produksi telur puyuh pada level protein yang berbeda

Sumber: Eishu et. al., (2005) dalam Triyanto (2007)

2.5. Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dimakan dalam jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk dapat hidup, meningkatkan pertambahan bobot badan dan untuk produksi. Menurut North dan Bell (1990) pakan pada unggas diperlukan untuk body maintenance, pertumbuhan, pertumbuhan bulu dan produksi telur. Menurut Triyanto (2007) ada dua faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan pada unggas yaitu faktor berpengaruh dominan (kandungan energi pakan dan suhu lingkungan) dan faktor yang berpengaruh minor (strain burung, berat tubuh, bobot telur harian, pertumbuhan bulu, derajat stress dan aktifitas burung). Konsumsi pakan mempengaruhi penampilan produksi unggas sebab pakan yang dikonsumsi digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok serta untuk proses produksi (Anggorodi, 1985). Puyuh umur 35 hari akan mengkonsumsi pakan lebih banyak dengan densitas pakan yang tinggi dibandingkan dengan densitas pakan yang rendah pada umur yang sama (Atmamihardja et. al., 1983). Ransum yang dikonsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas ransum terutama bentuk fisik ransum yang diberikan (Bachari et. al.,

2006). Tingkat konsumsi pakan burung puyuh dipengaruhi oleh tingkat energi dan palatabilitas pakan (Setiawan, 2006). Kebutuhan jumlah pakan puyuh dan

(20)

8 Tabel 2. Kebutuhan konsumsi pakan pada puyuh

Umur Puyuh Kebutuhan Jumlah Pakan

(gram/ekor/hari)

0 - 10 hari 2-3

11 - 20 hari 4-5

21 - 30 hari 8-10

31 - 40 hari 12-15

41 hari sampai afkir 17-20

Sumber: Abidin (2002)

Tabel 3. Kebutuhan nutrient dalam ransum puyuh fase layer

Zat Makanan (%) Layer (umur > 6 minggu)

Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi (gram) dengan produksi telur (gram) yang dihasilkan pada waktu tertentu (Triyanto, 2007). Konversi pakan digunakan untuk mengukur keefisienan penggunaan pakan dalam memproduksi telur (Setiawan, 2006). Semakin kecil nilai angka konversi menunjukkan tingkat efisiensi puyuh memanfaatkan pakan menjadi daging dan telur (Zainudin dan Syahruddin, 2012). Menurut Tillman et. al., (1991) konversi ransum dipengaruhi beberapa hal, diantaranya derajat pertumbuhan, bobot badan, komposisi pakan, status produksi, aktivitas ternak, tipe ternak, jenis kelamin, laju perjalanan pakan dalam alat pencernaan, temperatur lingkungan dan palatabilitas pakan.

(21)
(22)

10 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di kandang Fapet Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi mulai dari tanggal 8 April sampai 30 Juni 2016.

3.2. Materi dan Peralatan

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak puyuh yang berumur 21 hari sebanyak 140 ekor. Ransum yang digunakan adalah ransum yang dibuat sendiri dengan bahan-bahan yang digunakan untuk menyusun ransum adalah BIS, jagung kuning, tepung ikan, bungkil kedele, dedak, dikalsium phosphat, CaCO3, premix, lysine, methionin.

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang ternak puyuh, lampu pijar, sapu, sikat, ember, plastik, tempat pakan, tempat air minum, koran, timbangan.

3.3. Metode

3.3.1. Persiapan bungkil inti sawit

BIS di dapat dari daerah Sarolangun, PT. Krisna Duta Agroindo. BIS tersebut kemudian digiling menggunakan grinder. Setelah dilakukan penggilingan

kemudian BIS di saring dengan ukuran saringan 60 mesh. 3.3.2. Persiapan alat penelitian

(23)

11 3.3.3. Persiapan kandang

Kandang yang akan digunakan adalah kandang kelompok yang berjumlah 20 unit, masing-masing unit berisi 7 ekor puyuh dan menggunakan tempat penampungan ekskreta. Sebelum di gunakan kandang dibersihkan terlebih dahulu dengan cara sanitasi kandang yaitu dicuci dengan air bersih dan disemprot desinfektan. Setelah kandang kering, dilakukan pengkapuran kandang dengan tujuan untuk membasmi mikroba yang menempel pada kandang. Lalu puyuh dimasukkan ke dalam kandang. Pembersihan ekskreta 2 hari setelah puyuh dimasukkan didalam kandang.

3.3.4. Persiapan ransum

Ransum yang digunakan terdiri dari BIS, jagung kuning, tepung ikan, dedak, bungkil kedele, dikalsium phosphat, CaCO3, premix, lysine, methionin. Ransum disusun sesuai dengan kebutuhan zat makanan puyuh. Perlakuan yang diberikan yaitu :

T1 = Ransum 0% BIS

T2 = Ransum mengandung 12,5% BIS

T3 = Ransum mengandung 25% BIS T4 = Ransum mengandung 37,5% BIS

Pembuatan ransum dilakukan dengan cara mencampurkan bahan yang

(24)

12 Tabel 4. Kandungan zat makanan bahan penyusun ransum perlakuan

Zat

ket. a)Hasil Analisa Lab: Nutrisi Ruminansia dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi Tahun 2016. b) Hartadi et al., (1980). c) Hasil Analisa Lab: Nutrisi Ruminansia Dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan

Universitas Padjadjaran Tahun 2010 dalam (Radhitya, 2015). d) Yatno (2009).

Tabel 5. Komposisi bahan penyusun ransum perlakuan

(25)

13 Tabel 6. Kandungan zat makanan ransum perlakuan

Zat Makanan (%) Perlakuan

Keterangan: Dihitung berdasarkan Tabel 4 dan 5 3.3.5. Pemberian ransum dan air minum

Ransum yang telah disusun sesuai perlakuan diberikan tiga kali sehari yaitu pagi, siang dan sore hari dan air minum diberikan adlibitum.

3.3.6. Pengacakan perlakuan dan pengacakan puyuh

Penempatan puyuh dan pemberian ransum perlakuan didalam kandang dilakukan secara acak. Urutkan kandang dari nomor 1 sampai 20 kemudian dilakukan pengacakan perlakuan beserta ulangannya terlebih dahulu dengan

menggunakan lotre. Puyuh yang telah ditimbang dan diberi nomor 1 sampai 140 di acak dengan menggunakan lotre lalu ditempatkan berdasarkan hasil pengacakan kandang. Setiap unit kandang diisi dengan 7 ekor puyuh.

3.3.7. Pengambilan dan penimbangan telur puyuh

(26)

14 3.4. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + αi + Eij

Keterangan : i = 1, 2, 3, 4 (banyaknya perlakuan) j = 1, 2, 3, 4 , 5 (banyaknya ulangan) Yij = Nilai Pengamatan yang diukur

µ = Pengaruh dari rata – rata peubah yang diamati αi = Pengaruh perlakuan ke – i

Eij = Pengaruh Galat Percobaan ulangan ke - j dan perlakuan ke – i

3.5. Peubah yang Diamati

Pada penelitian ini peubah yang diamati adalah konsumsi ransum,umur peneluran pertama, produksi telur puyuh (quail day), bobot telur dan konversi. 1. Konsumsi ransum yaitu selisih antara ransum yang diberikan dengan sisa

ransum dinyatakan dalam (gram/ekor/hari).

2. Umur bertelur pertama dihitung dengan cara mencatat saat pertama kali puyuh bertelur (hari).

3. Bobot telur didapat dari telur yang ditimbang dengan timbangan digital dinyatakan dalam (gram/butir).

4. Produksi telur (quail day) =

x 100%

5. Konversi ransum dihitung berdasarkan perbandingan antara konsumsi ransum dengan berat telur dalam minggu yang sama.

Konversi ransum =

(27)

15 3.6. Analisis Data

(28)

16 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Performa Produksi Telur Puyuh

Rataan konsumsi ransum, umur bertelur pertama, bobot telur, produksi telur dan konversi ransum puyuh umur 51-97 hari pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan konsumsi, umur bertelur pertama, bobot telur, produksi telur dan konversi ransum puyuh umur 51-97 hari

Peubah Perlakuan

T1 T2 T3 T4

Konsumsi (gram/ekor/hari) 26,35±1,94 26,72±1,80 26,99±1,97 28,80±1,98

Umur bertelur pertama

(hari) 50±2,24 49±3,08 51±4,16 53±3,36

Bobot telur (gram/butir) 9,48±0,25 9,08±0,36 9,25±0,28 9,11±0,54

Produksi telur (quail

day)(%) 17,87±6,87 19,04±3,23 17,61±5,05 17,90±2,38 Konversi 16,82±5,52 14,67±4,26 18,34±4,36 19,08±3,47 Keterangan: T1 (Ransum 0% BIS), T2 (Ransum mengandung 12,5% BIS), T3 (Ransum mengandung 25% BIS), T4 (Ransum mengandung 37,5% BIS).

4.1. Konsumsi ransum

(29)

17 bahwa tidak terdapat perbedaan konsumsi pakan antara perlakuan BIS yang difermentasi maupun tanpa fermentasi sampai dengan 30%. Namun lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Triyanto (2007) bahwa rataan konsumsi ransum puyuh umur 6-13 minggu adalah 22,24 gram/ekor/hari. Demikian juga pada penelitian Achmanu et. al., (2011) bahwa konsumsi ransum puyuh adalah 21,05 gram/ekor/hari.

Menurut Setiawan (2006) puyuh mengkonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat makanan lainnya, sehingga apabila kebutuhan energi terpenuhi maka puyuh akan berhenti makan. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah ukuran tubuh, bobot badan, tahapan produksi, suhu lingkungan dan keadaan energi pakan (North dan Bell, 1992).

4.2. Umur bertelur pertama

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan BIS hingga taraf 37,5% (T4) dalam ransum puyuh berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap umur bertelur pertama. Rataan umur bertelur pertama perlakuan T1, T2, T3 dan T4 masing-masing yaitu 50, 49, 51 dan 53 hari. Umur bertelur pertama pada

penelitian ini lebih lambat dibandingkan dengan penelitian Makinde (2012) bahwa umur bertelur pertama pada puyuh yang diberi ransum mengandung 15% dan 30% BIS yang di suplementasi dengan Maxigrain® enzyme adalah 42 dan 43 hari.

Yatno (2009) melaporkan bahwa umur induk puyuh mulai bertelur yang diberi ransum mengandung 12% konsentrat protein BIS terfortifikasi dan 12% BIS adalah 48 dan 46 hari. Hasil penelitian Masroh et. al., (2014) melaporkan bahwa umur pertama bertelur pada puyuh yang diberi ransum komersil adalah 47 hari. Lambatnya umur bertelur pertama diduga karena pengaruh dari genetik puyuh yang dipelihara. Sejalan dengan pendapat Zainudin dan Syahruddin (2012) bahwa lambatnya umur induk bertelur juga berkaitan dengan genetik puyuh yang dipelihara.

4.3. Bobot telur

(30)

18 minggu adalah 9,17 gram. Bobot telur yang dihasilkan lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Makinde et. al., (2014) bahwa penggunaan BIS dalam ransum puyuh umur 6-22 minggu pada level 15% dan 30% menghasilkan bobot telur 10,43 dan 10,32 gram. Moritsu et. al., (1997) menyatakan bahwa bobot telur standar pada puyuh adalah 10 gram.

Bobot telur yang rendah diduga karena pengaruh dari umur puyuh sehingga belum bisa mencapai bobot telur standar. Sesuai dengan pendapat Triyanto (2007) yang menyatakan bahwa bobot telur semakin tinggi sejalan dengan bertambahnnya umur sampai dicapai bobot yang stabil dan pada minggu ke-9 sampai ke-13 bobot telur sudah stabil diatas 10 gram/butir. Sejalan dengan pendapat Setiawan (2006) bahwa bobot telur puyuh umur 7 minggu sampai dengan 15 minggu adalah 10-12 gram. Bobot telur biasanya seragam, hanya pada telur double yolk dan telur abnormal lainnya yang tidak seragam (North dan Bell, 1992).

4.4. Produksi telur

Produksi telur harian atau Quail Day Production merupakan jumlah

produksi telur pada hari yang sama dibagi dengan jumlah ternak puyuh yang ada dikali 100%. Pada penelitian ini rataan produksi telur tertinggi ada pada T2 dengan rataan 19,04% diikuti oleh rataan produksi T4, T1 dan T3 masing-masing

(31)

19 Gambar 2. Rataan produksi telur tiap perlakuan sampai umur 7 minggu produksi

Produksi telur yang dihasilkan lebih rendah jika dibandingkan penelitian Yatno (2009) bahwa produksi telur puyuh sampai umur 55 hari yang diberi ransum mengandung 12% BIS adalah 30,08%. Demikian juga dengan penelitian Makinde et. al., (2014) bahwa produksi telur puyuh umur 6-22 minggu yang diberi ransum mengandung 15% dan 30% BIS adalah 75,89% dan 73,70%. Jika dilihat produksi telur sebesar 19,04% (T2) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ransum kontrol yaitu 17,87% (T1). Hal ini diduga karena bahan pakan yang digunakan pada ransum kontrol (T1) belum mampu diserap dan dimanfaatkan secara optimal oleh puyuh untuk memproduksi telur. Selain itu, Produksi telur yang rendah juga diduga kerena umur puyuh belum mencapai puncak produksi. Sesuai pendapat Triyanto (2007) bahwa pada awal bertelur produksi telur masih sedikit dan semakin meningkat sesuai pertambahan umur hingga mencapai puncak produksi pada minggu ke-15.

Ahmadi (2014) melaporkan bahwa rataan produksi telur puyuh umur 8-14 minggu yang diberi ransum komersil adalah 67,89%. Setyawan et. al., (2012) melaporkan bahwa produksi telur puyuh umur 7 bulan yang diberi ransum kontrol

adalah 82,68%. Puyuh betina dapat bertelur antara 200-300 butir/tahun dan berat telurnya antara 8,25-10,1 gram/butir (Scaible, 1970).

(32)

20 4.5. Konversi Ransum

Konversi ransum pada puyuh petelur merupakan perbandingan antara berat pakan yang dikonsumsi dengan berat telur yang dihasilkan pada waktu tertentu. Konversi ransum digunakan untuk mengukur keefisienan penggunaan pakan dalam memproduksi telur. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan BIS dalam ransum hingga taraf 37,5% (T4) berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap konversi ransum puyuh umur 51-97 hari. Konversi ransum perlakuan T1, T2, T3, dan T4 masing-masing yaitu 16,82; 14,67; 18,34 dan 19,08. Konversi ransum pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Makinde et. al., (2014) bahwa konversi ransum pada puyuh umur 6-22 minggu yang diberi ransum mengandung 15% dan 30% BIS adalah 2,28 dan 2,65. Penelitian Ahmadi (2014) melaporkan bahwa konversi ransum pada puyuh umur 8-14 minggu yang di beri ransum komersil adalah 3,62.

Penggunaan BIS dalam ransum menghasilkan angka konversi yang tinggi dan relatif sama antar perlakuan. Hal ini di duga karena komsumsi dan produksi telur yang dihasilkan tiap perlakuan relatif sama. Sejalan dengan pendapat Yatno

(2009) bahwa konversi pakan erat kaitannya dengan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan maupun produksi telur. Pendapat yang sama juga oleh Zainudin dan Syahruddin (2012) bahwa angka konversi erat kaitannya dengan

(33)

21 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa bungkil inti sawit dapat digunakan hingga taraf 37,5% tanpa mempengaruhi performa produksi telur puyuh.

5.2. Saran

(34)

22 DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Meningkatkan Produktivitas Puyuh Si Kecil yang Penuh Potensi. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Achmanu, Muharlien, Salaby. 2011. Pengaruh lantai kandang (rapat dan renggang) dan imbangan jantan-betina terhadap konsumsi pakan, bobot telur, konversi pakan dan tebal kerabang pada burung puyuh. Ternak Tropika. 12:1-14.

Ahmadi, S.E.T. 2014. Produktivitas Puyuh Petelur Coturnix coturnix japonica yang Diberi Tepung Daun Jati (Tectona grandis Linn. f.) Dalam Ransum. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Amrulloh, I.K. 2003. Seri Beternak Mandiri: Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor. Babi yang Sedang Tumbuh. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Atmamihardja, R.I., R.A.E. Pym, and D.J. Farrell. 1983. Calorimetric studies on selected lines of Japanese quail. Aust J. Agric Res. 34:799-807.

Bachari, I., R. Roeswandy, dan A. Nasution. 2006. Pemanfaatan solid dekanter dan suplementasi mineral zinkum dalam ransum terhadap produksi burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) umur 6-17 minggu dan daya tetas. Jurnal Agribisnis Peternakan. 2:72-77.

Devendra, C. 1977. Utilization of feedingsstuff from palm oil. Hal. 116-131 dalam: Prosiding. Symp. on feedingstuffs for livestock in South East Asia, 17-19 October 1977. Kuala Lumpur.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2014. Statistik perkebunan Indonesia komoditas kelapa sawit 2013-2015. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Statistik Populasi Puyuh. Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

(35)

23 Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Ensminger, M.A. 1992. Poultry Science (Animal Agriculture Series). 3rd Edition. Interstate Publisher, Inc., Danville, Illnois.

Hartadi, H. et.al. 1980. Tabel Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. Fakultas Peternakan and Veterinary Sciences Universitas Gadjah Mada, Yayasan Rockefeller Utah State University, Yogyakarta, Indonesia.

Maeda, Y., F. Minvielle, and S. Okamoto. 1997. Changes of protein polymorphis in selection program for egg production in Japanese quail (Coturnix coturnix japonica). Japanese Poultry Science. 34:263-272.

Makinde, O.J. 2012. Comparative Response of Japanese Quails Fed Palm Kernel Meal and Brewer’s Dried Grain Based Diets Supplemented with Maxigrain® Enzyme. Thesis. Department of Animal Science, Faculty of Agriculture, Ahmadu Bello University, Zaria, Nigeria.

Makinde, O.J., T.S.B. Tegbe, S.E. Babajide, I. Samuel, and E. Ameh. 2014. Laying performance and egg quality characteristics of Japanese quails (Coturnix coturnix japonica) fed palm kernel meal and brewer’s dried grain based diets. Science Education Development Institute. 4:1514-1521.

Masroh, F.K., E. Sudjarwo, E. Widodo. 2014. Pengaruh Penambahan Tepung Kulit Singkong Terfermentasi Terhadap Performans Pertumbuhan dan Umur Pertama Bertelur pada Puyuh. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.

Moritsu, Y., K.E. Nestor, D.O. Noble, N.B. Antony, and W.C. Bacon. 1997. Divergent selection for body weight and yolk frecursor in Coturnix coturnix japonica. Poultry Sci. 76:437-444.

Mufti, M. 1997. Dampak Fotoregulasi dan Tingkat Protein Ransum Selama Periode Pertumbuhan terhadap Kinerja Burung Puyuh Petelur. Tesis. Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

North, M.O., and D.D. Bell. 1992. Commercial Chicken Production Manual. 4th Edition. An AVI Book Published by Van Nostrand Reinhold, New York. NRC. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. National Academy Science,

Washington DC.

Nugroho dan I.G.Kt. Mayun. 1986. Beternak Burung Puyuh. Eka Offsets, Semarang.

(36)

24 Progression, W. 2003. Burung Puyuh. http://warintek.progessio.or.id-byrans. Di

unduh 10 Desember 2016.

Putra. S.V.H. 2013. Perkembangan Ovarium Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) yang Diberi Variasi Warna Lampu Pencahayaan Selama 16 Jam. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Radhitya, A. 2015.Pengaruh pemberian tingkat protein ransum pada fase grower terhadap pertumbuhan puyuh (Cortunix cortunix japonica). Students e-Journal.4(2): 1- 11.

Scaible, P.J. 1970. Poultry Feed and Nutrition. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticit.

Setiawan, D. 2006. Performa Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) pada Perbandingan Jantan dan Betina yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Setyawan, A.E., E. Sudjarwo, E. Widodo, dan H. Prayogi. 2012. Pengaruh penambahan limbah teh dalam pakan terhadap penampilan produksi telur burung puyuh. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan. 23:7-10.

Shakila, S. and P.S. Reddy. 2014. Certain observations on nutritive value of palm kernel meal in comparison to deoiled rice bran. International Journal of Science, Environment and Technology. 3:1071-1075.

SNI 01-3907-2006. Pakan puyuh bertelur (quail layer). Badan Standardisasi Nasional, Indonesia.

Starck, M.J. and G.H.A. Rahman. 2003. Phenotypic flexibility of structure and function of the digestive system of Japanese quail. J. Exp. Biol. 206:1887-1897.

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1993. Principle and Procedure of Statistics. Second Edition. McGraw-hill Book Company Aukland, Newzealand.

Sudrajat D, D. Kardaya, E. Dihansih, dan S.F.S Puteri. 2014. Performa produksi telur burung puyuh yang diberi ransum mengandung kromium organik. JITV. 19(4): 257-262.

Supriyati, T. Pasaribu, H. Hamid, dan A.P. Sinurat. 1998. Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat dengan menggunakan Aspergillus niger. JITV 3:165-170.

(37)

25 Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusuma, dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta.

Triyanto. 2007. Performa Produksi Burung Puyuh (coturnix coturnix japonica) Periode Produksi Umur 6-13 Minggu pada Lama Pencahayaan yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Utomo, J.W., A.A. Hamiyanti, dan E.Sudjarwo. 2014. Pengaruh penambahan tepung darah pada pakan terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan serta umur pertama kali bertelur burung puyuh. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24(2): 41-48.

Wheindrata, H.S. 2014. Panduan Lengkap Beternak Burung Puyuh Petelur. Lily Publisher. Yogyakarta.

Yatno. 2009. Isolasi Protein Bungkil Inti Sawit dan Kajian Nilai Biologinya Sebagai Alternatif Bungkil Kedelai Pada Puyuh. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yatno. 2011. Fraksinasi dan sifat fisiko-kimia bungkil inti sawit. Agrinak. 1(1): 11–16.

(38)

26 LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis ragam dari data konsumsi ransum (gram/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan Jumlah Rataan

1 2 3 4 5

(39)

27 Lampiran 2. Analisis ragam dari data umur bertelur pertama (hari)

Perlakuan Ulangan Jumlah Rataan

1 2 3 4 5

(40)

28 Lampiran 3. Analisis ragam dari data bobot telur (gram/butir)

Perlakuan Ulangan Jumlah Rataan

1 2 3 4 5

(41)

29 Lampiran 4. Analisis ragam dari produksi telur (%)

Perlakuan Ulangan Jumlah Rataan

1 2 3 4 5

(42)

30 Lampiran 5. Analisis ragam dari data konversi ransum

Perlakuan Ulangan Jumlah Rataan

1 2 3 4 5

Gambar

Gambar 1. Bagan proses pengolahan kelapa sawit dan perkiraan proporsi terhadap tandan buah segar (Elisabeth dan Ginting, 2003)
Tabel 1. Produksi telur puyuh pada level protein yang berbeda
Tabel 2. Kebutuhan konsumsi pakan pada puyuh
Tabel 4. Kandungan zat makanan bahan penyusun ransum perlakuan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Namun, kesempatan atau sarana yang telah diberikan oleh Prodi IPPAK-USD untuk mengembangkan kemampuan public speaking melalui pelatihan teater rakyat nampaknya

Kondisi yang terjadi, pengeringan yang optimal harus tetap dilakukan untuk proses produksi, tetapi alat pengering yang digunakan masih belum sesuai dan apabila tetap

Membaca merupakan suatu kegiatan yang bersifat kompleks, karena kegiatan ini melibatkan kemampuan dalam mengingat simbol-simbol grafis yang berbentuk huruf,

SIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI Berdasarkan data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa bahan ajar yang perlu dikembangkan pada topik Perubahan Materi Genetik

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) terdapat variasi fenotip pada kerbau endemik lokal Kudus pada

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ PENERAPAN TAX PLANNING

Penelitian Wijayani (2011) mengenai pergantian manajemen, opini audit, financial distress , presentase perubahan ROA, ukuran KAP, ukuran klien pada auditor switching

Laci Furniture ”.Tujuan utama dari rancang bangun ini adalah untuk meningkatkan kemampuan akademis penulis dalam mengembangkan dan menerapkan teori dan praktek