• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

I.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Era perdagangan bebas diawali di tahun 2003 Asean Free Trade Area (AFTA), dilanjutkan tahun 2010 Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), tahun 2015 Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan tahun 2020 General Agreement on

Tariffs and Trade (GATT) menimbulkan persaingan Sumber Daya Alam (SDA) dan

Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi semakin ketat. Kegiatan perdagangan yang lebih kompetitif ini membawa tantangan baru dan peluang baru bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional, termasuk di dalamnya pembangunan sektor pertanian. Persaingan produk pada era perdagangan bebas ini akan semakin ketat karena hanya perusahaan atau negara yang mampu menghasilkan produk berdaya saing tinggi yang akan mampu memanfaatkan potensi pasar terbuka, sedangkan negara atau perusahaan yang tidak mampu menghasilkan produk bersaing akan terdesak mundur (Saragih, 2001).

Salah satu komoditas pertanian yang memiliki harga fluktuatif di pasaran adalah bawang merah. Pada tahun 2015 ini harga bawang merah kembali naik sebagai imbas dari naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Permintaan bawang merah di pasaran sangat banyak, mengingat manfaat bawang merah di bidang kuliner sebagai penguat cita-rasa dan keharuman sebuah masakan, selain itu bawang merah juga berpotensi untuk pemanfaatan di bidang biofarmaka. Menurut Amin dan Kapadnis (2005) kandungan senyawa fitokimia bawang merah diketahui bermanfaat sebagai jamur dan anti-bakteri.

Penggunaan bawang merah sebagai obat sudah dilakukan secara tradisional turun temurun dari nenek moyang masyarakat Indonesia dan dewasa ini potensi biofarmaka bawang merah semakin banyak dieksplorasi, antara lain dilakukan oleh Ratih (2010) dan Rachmad et al. (2008) yang mengkaji zat-zat fitokimia di dalam bawang merah, menemukan bahwa bawang merah memiliki efek farmakologis yang baik bagi kesehatan, antara lain sebagai obat penurun kadar kolesterol, pengobatan leukimia (Merhi, 2008), dan anti-tuberculosis (Amin et al., 2009).

(2)

2

Kebutuhan bawang merah di Indonesia meliputi kebutuhan bawang merah untuk konsumsi, produksi, sebagai benih, dan untuk memenuhi permintaan ekspor. Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk, peningkatan pendapatan perkapita, dan kesadaran masyarakat akan gizi makanan, dipastikan konsumsi bawang merah masyarakat Indonesia akan semakin terus meningkat. Menurut data proyeksi kebutuhan bawang merah yang digambarkan oleh Anonim (2006), total kebutuhan bawang merah akan terus meningkat, mulai dari 1,2 juta ton pada tahun 2015 menjadi 1,3 juta ton pada tahun 2020 dan di tahun 2025 akan menjadi 1,5 juta ton.

Peningkatan permintaan bawang merah selama ini belum diimbangi dengan suplai yang memadai. Menurut Rachmat et al. (2013), angka produktivitas bawang merah masih rendah, dalam sepuluh tahun terakhir yaitu tahun 2000-2009, rata-rata produktivitas bawang merah nasional hanya sekitar 9,24 ton/ha, angka tersebut masih jauh di bawah potensi produksi yang berada di atas 20 ton/ha. Data terbaru menunjukkan bahwa capaian produksi bawang merah pada tahun 2013 sebesar 1.021.175 ton atau sebesar 87,93% dari target 1.161.300 ton. Realisasi ini jauh lebih besar dari produksi tahun 2012 yang berdasarkan angka tetap tahun 2012, produksi bawang merah sebesar 964.195 ton. Belum tercapainya realisasi produksi sesuai dengan target menurut Anonim (2012) disebabkan oleh anomali cuaca, kelangkaan benih, serangan OPT dan penggunaan benih berlabel yang belum sepenuhnya diterapkan oleh petani.

Produksi bawang merah bersifat musiman sementara permintaan terus merata sepanjang tahun. Sebagian besar petani bawang merah hanya menanam bawang merah di musim kemarau saja karena pada musim penghujan resiko gagal panen sangat tinggi akibat serangan patogen jamur ataupun bakteri. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kesenjangan antara pasokan dan permintaan sehingga dapat menyebabkan gejolak harga antar waktu (Rachmat et al., 2012). Pada bulan-bulan non musim, yaitu bulan Januari s/d April/Mei harga bawang merah bisa melonjak 2-4 kali lipat dari harga normal. Harga bawang merah normal adalah Rp. 8000 s/d 12.000/ kg, sementara harga bawang merah pada bulan non musim bisa mencapai Rp. 45.000 s/d 50.000/ kg (Suwandi, 2013). Untuk mencukupi kebutuhan bawang merah nasional, maka pemerintah harus melakukan impor bawang merah. Impor

(3)

3

bawang merah biasanya terjadi pada bulan April – Juli (Basuki et al., 2004 Cit. Basuki et al.,2014).

Salah satu permasalahan penting penghambat produktivitas bawang merah adalah penyakit moler. Menurut hasil wawancara dengan petani yang dilakukan oleh Wiyatiningsih (2003), penyakit ini dapat menurunkan hasil umbi lapis sebesar 50%. Wiyatiningsih (2007) melaporkan bahwa keparahan penyakit moler ini meningkat pada saat musim penghujan yang mencapai angka 13,75 – 30 %, sedangkan untuk musim kemarau keparahan penyakit hanya berkisar antara 0,75 – 15 %.

Moler merupakan penyakit yang sudah dikaji mulai dari tahun 1980 oleh Ebenebe dan berlanjut hingga sampai saat ini. Penelitian Ebenebe pada tahun 1980 memperoleh patogen Glomerella cingulata dari hasil isolasi tanaman genus Allium bergejala moler, sedangkan Wiyatiningsih (2003) dan Fadhilah (2014), memperoleh isolat Fusarium oxysporum f.sp. cepae. Penelitian terbaru oleh Lestiyani (2015), yang melakukan analisis beberapa isolat jamur penyebab penyakit moler secara molekular diperoleh hasil sequensing urutan basa DNA yang menunjukkan termasuk ke dalam genus Fusarium, salah satunya adalah teridentifikasi sebagai F. acutatum.

Patogen penyebab moler merupakan patogen bersifat tular tanah, sehingga sangat sulit untuk dilakukan pengendalian selama petani masih belum bisa beralih untuk sementara waktu dari bawang merah ke komoditas yang lain karena keberadaan inang yang terus ada akan mendukung siklus kehidupan patogen terus berlangsung. Agrios (2005) menjelaskan bahwa kejadian penyakit merupakan hasil interaksi antara tanaman inang yang rentan, patogen yang virulen, dan lingkungan yang mendukung. Hasil penelitian Wiyatiningsih (2007) dan Perdhana (2015) yang memperoleh data meningkatnya insidensi penyakit moler di musim penghujan mengindikasikan bahwa musim penghujan merupakan kondisi lingkungan yang mendukung bagi perkembangan penyakit ini.

Pengelolaan patogen tular tanah dapat dilakukan dengan cara menekan perkembangan propagul melalui penutupan mulsa plastik sebagai salah satu cara solarisasi, tetapi cara tersebut membutuhkan banyak biaya dan waktu, di samping hasilnya juga tidak bersifat berkelanjutan dan berakibat sampingan merusak struktur tanah. Pengendalian yang bersifat berkelanjutan tanpa merusak struktur tanah dapat dilakukan dengan menggunakan agens hayati seperti mikroorganisme patogenik

(4)

4

terhadap patogen tanaman. Doran et al. (1996), menyatakan bahwa mikroorganisme menjadi kunci utama dalam menekan perkembangan patogen tular tanah. Pengendalian terhadap serangan patogen tular tanah sebaiknya lebih difokuskan terhadap perlindungan daerah perakaran karena akar merupakan pintu masuk utama patogen tular tanah. Pertumbuhan rambut akar akan menghasilkan luka yang menjadi lubang alami untuk patogen menginfeksi tanaman.

Lingkungan sekitar perakaran dikenal dengan istilah rizosfer yang merupakan bagian kecil dari lingkungan tanah. Mikroba menempati relung sebagai bagian kecil dari rizosfer karena daerah tersebut sangat kaya akan mineral dan nutrisi lain sebagai hasil dari eksudat yang dilepaskan oleh akar. Menurut Narula et al. (2009), eksudat akar ini mengandung senyawa yang dibutuhkan oleh mikroorganisme seperti gula, asam organik dan asam amino sehingga banyak mikroorganisme yang tertarik untuk hidup di sekitar perakaran dan berinteraksi dengan akar.

Kehidupan mikroorganisme di dalam tanah sangat kompleks terutama di daerah sekitar perakaran, selain mikroorganisme yang bersifat patogenik terhadap tanaman, diketahui bahwa di dalam tanah juga terdapat mikroorganisme yang bersifat positif terhadap pertumbuhan tanaman. Interaksi secara langsung terjadi antara bakteri yang hidup pada relung rizosfer dengan tanaman. Menurut catatan Blanco (2007), interaksi tersebut dibedakan menjadi menjadi tiga yaitu, menguntungkan; merugikan; dan netral. Bakteri bersifat netral diketahui memberikan dampak positif terhadap tanaman tetapi secara tidak langsung. Sebagai contoh beberapa jenis bakteri dari golongan Pseudomonas dilaporkan mampu menekan perkembangan bakteri patogen dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan mekanisme Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR) atau dengan mekanisme Induced Systemic Resistance (ISR).

Pengendalian patogen dengan menggunakan agens hayati ini merupakan pendekatan dengan memanfaatkan sifat bakteri yang hidup berkelompok dengan mekanisme quorum sensing sebagai cara yang dilakukan individu bakteri untuk memberikan sinyal berupa produk senyawa biokimia tertentu yang akan menghasilkan respon berkumpulnya beberapa individu bakteri dengan kepentingan yang sama. Dengan kemampuan kolektif dari individu bakteri maka akan terbentuk

(5)

5

daya dukung bakteri terhadap tumbuhan untuk melangsungkan pertumbuhannya dan mengendalikan infeksi patogen. Peningkatan populasi rizobakteri menguntungkan tentunya akan diikuti dengan daya dukung yang semakin besar (Podile et al., 2013).

Dengan melihat peranan rizobakteri yang sangat besar dalam mendukung pertumbuhan tanaman dan mendukung tanaman dalam melawan serangan patogen, maka diperlukan adanya kajian mengenai kerapatan dan keragaman bakteri untuk mengetahui dan membuktikan hubungan antara kerapatan dan keragaman rizobakteri terhadap insidensi penyakit moler. Jika keanekaragaman bakteri menguntungkan pada tanah supresif (tanah terinfestasi propagul penyakit) rendah maka diperlukan adanya upaya untuk mengintroduksi bakteri menguntungkan sehingga diperoleh keseimbangan populasi bakteri yang akan dapat menekan pertumbuhan propagul patogen tanaman.

Selama ini pengendalian penyakit moler yang dilakukan oleh petani bawang merah di Indonesia masih terbatas pada pengendalian secara kimiawi yang secara ekologi tidak baik untuk kelangsungan hidup organisme lain di ekosistem tanah maupun air. Pencemaran tanah oleh fungisida akan menekan populasi bakteri menguntungkan sehingga kedepan dapat mengancam keseimbangan mikroorganisme rizosfer. Jika penggunaan fungisida dilakukan secara terus menerus, maka di masa yang akan datang petani akan selalu bergantung pada fungisida karena bakteri menguntungkan sudah tidak mampu lagi mendukung pertumbuhan tanaman ataupun melindungi tanaman dari mikroorganisme patogen tanaman.

Komunitas mikroba rizosfer sangat penting bagi kelangsungan kehidupan tanaman dan tegakan di atasnya. Walaupun ruang lingkupnya sangat kecil dibandingkan ekosistem tanah seluruhnya namun dalam rizosfer dihuni milyaran mikroba membentuk komunitas yang kompleks. Masing-masing mikroba beraktivitas sesuai dengan perannya, saling berinteraksi membangun jejaring dan bereaksi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Mikroba rizosfer menyediakan pemecahan masalah yang dihadapi oleh tanaman secara terpadu melebihi reaksi yang dihasilkan oleh fungsi masing-masing secara individu. Oleh karena itu menjaga kesehatan dan keseimbangan ekologi di rizosfer sangat penting untuk membantu meningkatkan produktivitas tanaman dan tegakan (Widyati, 2013).

(6)

6

Penurunkan risiko serangan penyakit moler di musim penghujan akan membantu petani untuk mendapatkan penghasilan sepanjang tahun, selain itu di sisi lain juga akan membantu tercapainya pemenuhan kebutuhan bawang merah di pasaran. Dengan terpenuhinya suplai bawang merah oleh petani, tentunya akan memperkecil peluang untuk terdesaknya bawang merah lokal oleh bawang merah impor, selain itu juga akan mengurangi potensi resiko terjadinya introduksi spesies patogen asing yang terbawa oleh bawang merah impor.

2. Tujuan

1. Mengetahui keragaman dan kerapatan rizobakteri bawang merah pada musim kemarau dan penghujan.

2. Mengetahui korelasi antara keragaman serta kerapatan populasi bakteririzosfer pertanaman bawang merah terhadap besarnya insidensi penyakit moler pada musim kemarau dan penghujan.

3. Mengetahui jumlah ragam bakteri rizosfer bawang merah yang mempunyai aktivitas antagonistik terhadap F. acutatum pada musim kemarau dan penghujan.

3. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai data kerapatan populasi rizobakteri, keragaman rizobakteri, dan jumlah ragam rizobakteri antagonis terhadap F. acutatum di perakaran bawang merah sebagai dasar penelitian selanjutnya, dan sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan teknik budidaya khususnya dalam pengelolaan pengelolaan penyakit moler.

2. Rizobakteri dengan kemampuan antagonis berdaya hambat tinggi terhadap F. acutatum dapat menambah koleksi rizobakteri sebagai agens hayati yang selanjutnya dapat dikembangkan lebih luas untuk aplikasi di lapangan dalam mendukung pengelolaan penyakit moler yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ini sesuai dengan penelitian Kim dan Park (2011) di mana perusahaan yang semakin besar berkontribusi terhadap CSR akan lebih berhati-hati dalam melaporkan

Produk dengan konsentrasi carbamide peroxide lebih dari 10% tidak disetujui sebagai bahan yang aman dan efektif oleh ADA untuk pemakaian di luar klinik gigi.. Pasta gigi

Tujuan dari penelitian tugas akhir ini adalah melakukan analisis teoritis dan simulasi untuk menemukan pengaruh variasi geometri die pada tegangan penarikan kawat dengan

Kesimpulan: Berdasarkan hasil evaluasi dapat disimpulkan bahwa: 1) pada komponen input, SMAN 2 Kota Tangerang Selatan tidak menerapkan semua persyaratan dan ketentuan

Berdasarkan hasil dari uji asumsi klasik yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa model regresi yang digunakan berdistribusi normal serta tidak terjadi masalah

Pada LKS berbasis pendekatan saintifik materi laju reaksi diketahui menyajikan fenomena berupa gambar, rumus kimia, dan persamaan kimia yang mengakibatkan KPS siswa

Hasil analisis ragam pertumbuhan bibit karet klon PB 260 asal stum mata tidur di polybag dan di uji lanjut DMNRT menunjukan bahwa pemberian zat pengatur

Dimana, dari hasil analisis deskriptif nampak bahwa untuk siswa yang memiliki gaya kognitif field dependent , rata-rata skor hasil belajar matematika siswa yang