1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas melibatkan kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik (Sudoyo et al., 2009). Menurut WHO, seseorang dikatakan obesitas apabila memiliki BMI (Body Mass Index) lebih dari sama dengan 25,0. BMI adalah perhitungan kalkulasi atau rasio yang dinyatakan sebagai berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 pada laki-laki dewasa (> 18 tahun) mengalami peningkatan prevalensi obesita yaitu dari 13,9% pada tahun 2007 menjadi 19,7 % pada tahun 2013. Sedangkan pada wanita dewasa (> 18 tahun) terjadi kenaikan yang ekstrim mencapai 19 %. Dari 14,8% pada tahun 2007 menjadi 32,9 % pada tahun 2013. Secara nasional, status gizi dewasa berdasarkan indikator lingkar perut (LP) prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun adalah 26.6% lebih tinggi dari tahun 2007 yaitu 18,8% (Riskesdas, 2013).
Obesitas dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin yang terdiri dari resistensi insulin/hiperinsulinemia, intoleransi glukosa/diabetes melitus, dislipidemia, hiperuresemia, gangguan fibrinolisis, hiperfibrinogenemia, dan hipertensi (Sudoyo et al., 2009) Selain itu obesitas dapat menyebabkan gangguan pada berbagai sitem organ diantaranya yaitu gangguan sistem pernafasan, sistem endokrin, sistem neurologi, sistem musculoskeletal, sistem integumentum, imunitas, psikososial, dan gangguan pertumbuhan (Rudolph, 2006; Kliegman et al., 2006).
Obesitas diketahui sebagai penyebab mortalitas dan morbiditas kanker (payudara, kolon, esophagus, ginjal, ovarium, pancreas, dan uterus) dan infeksi respirasi kronik dan akut meliputi: bronkitis, pneumonia, tuberculosis, septikemia, dan infeksi lainnya (Dixit, 2008).
Keadaan kelebihan kalori kronik saat obesitas mengubah faktor metabolik yang dapat mempengaruhi fungsi imun dan mempercepat penuaan khususnya pada organ lympoid timus. Keadaan ini ditandai dengan peningkatan kadar leptin dan penurunan kadar ghrelin dan adiponektin yang menyebabkan peningkatan inflamasi (Dixit, 2008).
Obesitas merusak regenerasi sistem imun khususnya kemampuan timus untuk memproduksi sel-sel imun, menyebabkan involusi timus dan defek signifikan pada responsibilitas sel T, mengurangi kemampuan sel dendritik (DC) untuk menyajikan antigen ke sel T, serta penurunan signifikan sel Natural Killer (NK) sitotoksik dengan mengeluarkan interferon α (IFN- α), interferon β (IFN-β) dan menurunkan ekspresi tumor necrosis factor (TNF-α) dan interleukin 6 (IL-6) yang menunjukan gangguan respon imun selama obesitas (Dixit, 2008).
Peptida neuroendokrin yaitu sitokin dan kemokin dipercayai bertanggungjawab mengatur keseimbangan energi terhadap fungsi imun. Interaksi neuroendokrin-imun terjadi selama keadaan energi positif kronik yang terjadi saat obesitas dan berkaitan dengan keadaan imunodefisiensi dan inflamasi kronik yang berkontribusi meningkatkan risiko kematian prematur (Dixit, 2008).
Interaksi langsung antara populasi leukosit dengan jaringan adiposa selama obesitas dan meningkatnya jumlah adiposa saat penuaan lingkungan lympoid merupakan respon adaptif dan respon patologi yang menyebabkan perubahan keseimbangan energi (Dixit, 2008). Peningkatan adiposit diregulator oleh PPAR yang meningkat saat mengalami obesitas dalam mengubah sel germinativum timus menjadi adiposit, sehingga akan mempercepat involusi timus (Hyunwon et al., 2009).
Penuaan (aging) mengakibatkan ketidakmampuan sel untuk merespon stres dan meningkatkan ketidakseimbangan homeostatis, dimana penuan dapat
meningkatkan resiko penyakit kanker, penyakit Alzeimer, penyakit jantung, hipertensi, diabetes, osteoporosis dan lain-lain (Martin et al., 2013).
Penuaan berkaitan dengan sejumlah perubahan fungsi imun, salah satu perubahan besar yang terjadi seiring pertambahan usia adalah proses thymic involution. Penuaan timus ditandai dengan penurunan output sel T naive bersama dengan penggantian progresif zona tymic lympostromal dengan jaringan adiposit, dimana terjadi kehilangan sel epitelial timus dan peningkatan fibroblas. sel epitelial timus akan mengalami transisi menjadi fibroblas melalui proses epitelial mesenkimal transisi (EMT) (Hyunwon et al., 2009) sehingga akan meningkatkan pembentukan korpuskula hassal yang terbentuk dari sel-sel retikular epitelial gepeng (sel epitelial tipe VI) yang mengalami fibrotik, keratinisasi dan terkalsifikasi pada medula timus (Leslie, 2014; Mescher 2012). pembentukan korpuskula hassal di medula timus jumlahnya meningkat seiring pertambahan usia, selama masa penghancuran timosit dan selama involusi (Leslie, 2014).
Puasa memiliki pengaruh sebaliknya yaitu menyebabkan keseimbangan energi negatif dan dapat memperpanjang masa hidup. Puasa dapat menunda penuaan imun yang memberikan kontribusi untuk memperpanjang umur dengan mengurangi kerentanan terhadap penyakit infeksi (Messaoudi et al., 2006).
Puasa menyebabkan peningkatan faktor orexigenik seperti neuropeptide Y (NPY), agouti gene-related protein (AGRP), dan ghrelin serta mengurangi hormon anorexigenik seperti leptin pada tikus. Ghrelin potensial menghambat pelepasan sitokin proinflamasi dari sel T, monosit, dan sel endotelial dan meningkatkan tymopoesis (Dixit, 2008).
Puasa dapat mengurangi jumlah adiposit di timus, meningkatkan jumlah sel T naive, dan mencegah kehilangan timus epitelial sel (TEC) di korteks dan di medulla serta menghambat mekanisme mesenkimal epitelial transisi (EMT) untuk mengubah sel epitelial menjadi fibroblas (Hyunwon et al., 2009). Pencegahan EMT akan menghambat pembentukan kurpuskula hassal yang berasal dari sel epitelial yang mengalami fibrotik dan terkalsifikasi (Leslie, 2014).
Atas dasar latar belakang masalah ini, mendorong penulis untuk melakukan penelitian “perbedaan jumlah korpuskula hassal timus pada tikus obesitas yang dipuasakan dan yang tidak dipuasakan”.
1.2.Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan jumlah korpuskula hassal timus pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar obesitas antara yang dipuasakan dan yang tidak dipuasakan ?
1.3.Tujuan Penelitian
Mengetahui perbedaan jumlah korpuskula hassal timus pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar obesitas antara yang dipuasakan dan yang tidak dipuasakan.
1.4.Keaslian penelitian
1. Peneliti : Hyunwong et al., tahun 2009
Judul : Inhibition of Thymic Adipogenesis by Caloric Restriction Is Couple with Reduction in Age-Related Thymic Involution.
Penelitian : Menggunakan tikus betina dengan restriksi kalori selama 16 minggu (24 ekor) dan ad libitum (24 ekor) dengan usia tikus 12-26 bulan dan tikus usia 3-4 bulan sebagai kontrol. Hasilnya tikus yang mengalami restriksi kalori menunjukan penurunan mekanisme adipogenik, meningkatkan densitas seluler di korteks dan medula timus, dan dapat mendorong thymopoiesis selama penuaan sehingga mencegah terjadinya involusi timus.
Perbedaan : waktu, tempat, variabel dependen, dan variabel terkendali penelitian.
2. Peneliti : Hyunwong et al., tahun 2009 Judul : Obesity accelerates thymic aging
Penelitian : Menggunakan tikus betina usia 8 minggu dengan material reagen analisis fluorescence-activated cell sorting (FACS). Hasil penelitian menyatakan bahwa obesitas mempengaruhi mekanisme yang mengatur generasi sel T dengan menginduksi atau mempercepat involusi timus secara prematur. Obesitas yang diinduksi oleh makan mengurangi jumlah timosit dengan signifikan meningkatnya apoptosis timosit, menurunkan selulariras kortikal dan medula timus, berkurangnya timopoiesis serta menurunkan progenitor lympoid.
Perbedaan :waktu, tempat, variabel dependen, dan variabel terkendali penelitian.
3. Peneliti : Messaoudi et al., tahun 2006
Judul : Delay of T cell senescence by caloric restriction in aged long-lived nonhuman primates
Penelitian : menggunakan 25 monyet laki-laki dan 17 monyet perempuan usia 19-23 tahun, 28 monyet sebagai kontrol dan 14 diberi perlakuan restriksi kalori, penelitian berlangsung selama 42 bulan. Hasilnya bahwa Restriksi kalori menghambat efek samping penuaan sel T pada primata non-human. Restriksi diet meningkatkan pemeliharaan dan atau produksi sel T naive, juga meningkatkan fungsi sel T dan mengurangi produksi sitokin inflamasi oleh sel T memori. Restriks kalori dapat menunda penuaan imun pada primata non-human, yang memberikan kontribusi untuk memperpanjang umur dengan mengurangi kerentanan terhadap penyakit infeksi.
Perbedaan : waktu, tempat, dan variabel penelitian.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat bagi peneliti
- Menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama menjalani perkuliahan - Mengetahui bagaimana pengaruh puasa khususnya intermitten
fasting terhadap gambaran struktur histologi timus pada tikus Wistar
- Memberikan informasi ilmiah mengenai manfaaat puasa dalam peningkatan sistim imun khususnya pada jaringan timus dan penuaan
1.5.2. Manfaat bagi ilmu kedokteran
- Menambah informasi tentang pengaruh puasa khususnya intermittent fasting terhadap gambaran struktur histologi timus pada tikus wistar
- Memberikan landasan ilmiah mengenai manfaat puasa khususnya intermittent fasting bagi kesehatan. Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan program kesehatan untuk program pencegahan penyakit khususnya penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan berpuasa, serta penyakit lain yang diakibatkan oleh obesitas sehingga diharapkan mampu membantu pemerintah dalam menurunkan prevalensi obesitas dan menurunkan angka mortalitas akibat obesitas.
- Memberikan informasi pengaruh puasa khususnya intermittent fasting terhadap peningkatan sistem imun
- Memberikan informasi bahwa dimungkinkan terdapat pengaruh puasa dalam menurunkan penuaan dan mencegah berbagai penyakit
1.5.3. Manfaat bagi Pemerintah
- Membantu pemerintah menurunkan insidensi obesitas