BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Penelitian
Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu melalui tahap-tahap perkembangan mulai dari periode pranatal sampai pada masa usia lanjut (Hurlock, 1996). Individu yang mengalami masa tua atau proses penuaan disebut juga lanjut usia atau disingkat lansia. Upaya untuk mempelajari proses penuaan ini telah dimulai sejak lama, mulai dari daftar manusia tertua, mekanisme penuaan, sampai pada penelitian medis serta psikologis modern untuk memperbaiki kesehatan manusia.
Dari berbagai studi didapat bahwa proses penuaan tidak hanya dipengaruhi oleh satu mekanisme saja, namun dipengaruhi oleh berbagai penyebab yang saling mempengaruhi, seperti genetik, kepribadian serta lingkungan (Hardywinoto & Setiabudhi, 1999). Santrock (1998) juga menambahkan bahwa proses penuaan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor kehidupan bersama (lingkungan dan keluarga) serta faktor pribadi orang itu sendiri, yaitu regulasi diri sendiri. Selain itu, Tomae (dalam Santrock, 1998) menyatakan bahwa proses penuaan dipengaruhi berbagai dimensi, yakni biokemis dan fisiologis, perubahan fungsional-psikologis, perubahan kepribadian, sosial, serta penyesuaian diri menuju masa tua. Oleh karena itu, perubahan lansia sangat berbeda dari satu individu usia lanjut dengan individu usia lanjut lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2004). Hal ini menyebabkan ada lansia yang merasa tidak dapat mengerjakan berbagai aktivitas sebaik pada saat muda dulu dan ada juga lansia yang merasa masih mampu melakukan berbagai
aktifitas fisik, untuk itulah penyesuian diri menjadi tuntutan bagi lansia (Harlock, 1996).
Menurut Martin dan Poland (1980), penyesuaian diri merupakan proses mengatasi permasalahan lingkungan yang berkesinambungan. Santrock (1998) juga menyatakan bahwa untuk mencapai penyesuaian diri yang baik bagi lansia adalah dengan berusaha mencapai psychological well-being (PWB). Bradburn (dalam
Santrock, 1998) mendefinisikan psychological well-being sebagai kebahagiaan dan
penerimaan diri sendiri sehingga mendapatkan suatu kepuasan diri dengan apa yang dimiliki yang dapat diketahui melalui beberapa dimensi antara lain lingkungan, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, serta penerimaan diri. Hardywinoto dan Setiabudhi (1999) menambahkan bahwa psychological well-being
merupakan salah satu faktor kepribadian yang berpengaruh dalam proses penuaan. Hurlock (1996) menyatakan bahwa lansia berusaha menyesuaikan diri dengan penurunan kondisi fisik seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini mengakibatkan aktivitas fisik akan menurun yang dapat berakibat pada pekerjaannya, sehingga sampai pada tahap pensiun. Pensiun merupakan pengunduran diri individu dari aktivitas sehari-hari. Noesyirwan (dalam Rosyid, 2003) mengemukakan bahwa secara teknis pensiun berarti berakhirnya suatu masa kerja, tetapi secara psikologis dan sosiologis pensiun mempunyai makna dan dampak yang tidak sama pada semua orang. Francis (2001) mengemukakan bahwa pensiun dapat diartikan sebagai masa tenang karena lepasnya aktivitas yang rutin dan masa menikmati masa tua dengan keluarga, namun ada juga lansia yang memandang pensiun sebagai masa kritis, dikarenakan persepsi orang lain terhadap dirinya yang sudah tidak berguna dan tidak kompeten lagi.
Masa pensiun dapat memberikan efek positif dan efek negatif bagi lansia. Efek positif masa pensiun muncul karena lansia melakukan penyesuaian diri yang baik, sehingga lansia mengalami tahap integrity atau wisdom (Santrock, 1998; Meier
& Holm, 2004; Rosyid, 2003). Efek negatif masa pensiun muncul karena penyesuaian diri yang buruk, sehingga lansia mengalami despair (Santrock, 1998;
Meier & Holm, 2004; Rosyid, 2003). Despair pada masa pensiun dapat menambah distress dan kecemasan pada lansia. Solinge (2007) dalam penelitiannya
menambahkan bahwa ketika individu mengalami pensiun, kesehatan lansia cenderung menurun akibat dari pensiun. Tanpa adanya stimulus kondisi pensiun, kebanyakan lansia sendiri telah mengalami distress dan kecemasan akan tugas
perkembangannya. Pernyataan ini diperkuat anggapan bahwa pekerjaan dianggap penting karena bisa mendatangkan kepuasan (uang, status, dan harga diri), sehingga melepaskan pekerjaan yang telah dilakukan sehari-hari akan menumbulkan kecemasan dan penyesuaian diri yang sulit pada masa lansia (Agustina, 2008). Hal ini mengakibatkan perasaan-perasaan depresi seperti loneliness, isolasi sosial dan
distres menjadi efek utama dalam menghadapi pensiun yang tidak ada persiapan pada masa muda (Papalia, 2001).
Solinge dan Henkens (2005) menambahkan bahwa depresi, kepuasan hidup, dan makna hidup juga dipengaruhi oleh keadaan ataupun situasi individu dalam menghadapi pensiun. Bahkan penelitian lebih lanjut ditemukan bahwa keputusan pensiun mempengaruhi kepuasan perkawinan, konflik keluarga serta self-efficacy
(Raymo & Sweeney, 2005).
Menurut Solinge dan Henkens (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kemampuan individu dalam menyesuaikan diri terhadap pensiun akan mempengaruhi psychological well-being seseorang. Lebih lanjut dalam penelitian
Charles (1999) dan Seitsamo (2006) menyatakan bahwa penyesuaian diri pensiun berkorelasi positif dengan psychological well-being seseorang, ini dikarenakan
kesadaran diri dan penyesuaian diri yang baik akan kondisi pensiun.
Keadaan pensiunan di Indonesia berbeda dengan kondisi pensiun di luar negeri terutama di Jepang. Kebanyakan pensiunan di luar negeri terutama di Jepang, memiliki aktivitas lain setelah mereka pensiun, seperti berkebun, berdagang, atau menjadi kepala kuil. Berbeda dengan di Indonesia yang hanya kebanyakan pasrah dan sedikit sekali yang memiliki aktivitas atau pekerjaan setelah pensiun. Hal ini dikarenakan adanya faktor budaya di Indonesia, dimana anak tertualah yang membiayai ayahnya setelah pensiun (Elizabeth, 2004).
Solinge (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kesehatan yang buruk, self-efficacy yang rendah, kognitif yang menurun dan konsep diri yang buruk
disebabkan karena mayoritas lansia dalam penelitian tidak lagi melakukan aktivitas ataupun bekerja. Keadaan pensiun menyebabkan lansia dipandang tidak mampu lagi oleh orang lain, walaupun menurutnya masih bisa memberi kontribuasi bagi perusahaan. Hal inilah yang menyebabkan seseorang dilanda post-power syndrome,
yakni gejala individu membayangkan kebesaran dan kemampuan di masa lalu. Charles (1999) juga menambahkan bahwa individu pensiun yang mengalami post-power syndrome akan mengalami masa-masa depresi yang berat ketika tidak mampu
menerima kenyataan yang ada atau despair, tuntutan hidup yang mendesak dan
kurang mampu menyesuaikan diri dengan baik.
Solinge dan Henkens (2005) menyatakan bahwa individu berbeda dalam menghadapi kondisi pensiun, ada yang melakukan penyesuaian diri yang baik dan ada yang melakukan penyesuaian diri yang buruk. Hal ini dipengaruhi oleh empat faktor, yakni pertama self-efficacy dan konsep diri, yaitu persepsi diri akan
kemampuan mengatasi sesuatu perubahan atau masalah. Kedua, faktor keluarga, yaitu dukungan sosial, jumlah anak, dan peran dalam keluarga. Ketiga, tuntutan lingkungan, yaitu persepsi lingkungan akan dirinya yang sudah tidak mampu lagi. Keempat, kecemasan pensiun, yaitu kesehatan yang buruk, keuangan, status sosial dan ada tidaknya konflik keluarga.
Menurut Solinge (2007), penyesuaian diri yang baik lebih ditekankan pada
self-efficacy. Hal ini dikarenakan individu itu sendirilah yang menentukan
bagaimana menyesuaikan diri, walaupun ada dukungan sosial, keluarga, ekonomi dan sebagainya. Self-efficacy menurut Helm (2000) dipengaruhi bagaimana individu
itu memandang diri sendiri.
Self-efficacy dan konsep diri merupakan bagian dari self-esteem, atau harga
diri. Menurut Christia (2007) self-esteem merupakan proses evaluasi diri seseorang
terhadap kualitas-kualitas dalam dirinya dan terjadi terus menerus dalam diri manusia. Coopersmith (dalam Handayani dkk, 1998) menambahkan bahwa self-esteem merupakan proses evaluasi diri seseorang terhadap kualitas-kualitas dalam
dirinya dan terjadi terus menerus dalam diri manusia.
Self-esteem berkembang sesuai dengan kualitas interaksi individu dengan
lingkungannya, baik itu yang meningkatkan harga diri maupun yang menurunkan harga diri (Handayani dkk, 1998). Self-esteem yang tinggi ditandai dengan
kepercayaan diri yang tinggi, rasa puas, memiliki tujuan yang jelas, dan selalu berpikir positif, sedangkan self-esteem yang rendah ditandai dengan rasa takut,
cemas, depresi, dan tidak percaya diri (Robson, 1988).
Self-esteem memiliki pandangan yang berbeda antara laki-laki dan wanita
mengenai penilaian diri. Crain (dalam Respati dkk, 2006) mengemukakan bahwa laki-laki akan memiliki self-esteem lebih tinggi bila memiliki fisik yang diinginkan,
sedangkan wanita lebih kearah tingkah laku ataupun bersosialisasi akan meningkatkan nilai harga diri.
Adapun aspek-aspek yang berhubungan dengan self-esteem, menurut Brown
(dalam Christia, 2007) terdapat 3 aspek, yakni global self-esteem, self-evaluation
dan emotion. global self-esteem merupakan variabel keseluruhan dalam diri individu
secara keseluruhan dan relatif menetap. Self-evaluation merupakan bagaimana cara
seseorang dalam mengevaluasi variabel dan atribusi yang terdapat pada diri mereka. Sedangkan emotion adalah keadaan emosi sesaat terutama seseuatu yang muncul
sebagai konsekuensi positif dan negatif.
I.B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti ingin meneliti bagaimana pengaruh self-esteem terhadap penyesuaian diri terhadap pensiun pada lansia.
I. C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh self-esteem terhadap
penyesuaian diri terhadap pensiun pada lansia.
I. D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberi dua manfaat, yaitu : manfaat secara teoritis dan secara praktis.
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitan ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk pengembangan ilmu psikologis, khususnya di bidang Psikologi Klinis dalam rangka
perluasan teori, terutama yang berkaitan dengan penyesuaian diri terhadap pensiun serta self-esteem pada lansia.
2. Manfaat praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penunjang penelitian lebih lanjut mengenai lanjut usia dan dapat memberikan manfaat bagi individu atau kelompok yang berkecimpung dalam Gerontologi. Selain itu, juga dapat memberikan manfaat bagi lansia untuk tindakan preventif ataupun pencegahan terhadap gejala-gejala post-power syndrome.
I.E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I : PENDAHULUAN
Berisikan latar belakang masalah diadakannya penelitian ini, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : LANDASAN TEORI
Berisikan mengenai tinjauan kritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan, landasan teori yang mendasari tiap-tiap variabel, hubungan antar variabel dan pembentukan hipotesa (hipotesis penelitian).
Bab III : METODE PENELITIAN
Berisikan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional variabel,
populasi dan sampel penelitian, alat ukur yang digunakan, metode pengambilan data dan metode analisis data.
Bab IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab akan memapaparkan mengenai hasil deskripsi data penelitian, uji hipotesa utama dan pembahasan mengenai hasil penelitian.
Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi jawaban atas masalah yang diajukan. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data. Saran dibuat dengan mepertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh.