• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Efektifitas Pembelajaran

Keefektifan pembelajaran adalah hasil guna yang diperoleh setelah pelaksanaan proses belajar mengajar (Sadiman, 1987 dan Iam Irfa’i, 2002:102). Menurut Tim Pembina Mata Kuliah Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya (1988) dalam Lince (2001:42), bahwa efesiensi dan keefektifan mengajar dalam proses interaksi belajar baik adalah segala daya upaya guru untuk membantu para siswa agar bisa belajar dengan baik. Keefektifan mengajar dapat diketahui, dengan memberikan tes, sebab hasil tes dapat dipakai untuk mengevaluasi berbagai aspek proses mengajar.

Suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila memenuhi persyaratan utama keefektifan pengajaran, yaitu:

1) Presentasi waktu belajar siswa yang tinggi dicurahkan terhadap pembelajaran

2) Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi diantara siswa 3) Ketetapan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan siswa

(orientasi keberhasilan belajar) diutamakan

4) Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif, mengembangkan struktur kelas yang mendukung butir (2), tanpa mengabaikan butir (4) (Soemosasmito, 1988:119)

Guru yang efektif adalah guru yang menemukan cara dan selalu berusaha agar anak didiknya terlibat secara tepat dalam suatu mata pelajaran dengan persentasi waktu belajar akademis yang tinggi dan pelajaran berjalan tanpa menggunakan teknik yang memaksa, negatif, atau hukuman (Soemosasmito, 1988:119). Selain itu guru yang efektif adalah orang-orang yang dapat menjalin hubungan simpatik dengan para siswa, menciptakan lingkungan kelas yang mengasuh, penuh perhatian, memiliki suatu rasa cinta

(2)

7

belajar, menguasai sepenuhnya bidang studi mereka dan dapat memotivasi siswa untuk bekerja tidak sekedar mencapai suatu prestasi namun juga menjadi anggota masyarakat yang pengasih (Kardi dan Nur, 200a:5).

Menurut Mohammad Jauhar pembelajaran dapat dikatakan efektif (effective/berhasil guna) jika mencapai sasaran atau minimal mencapai kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Di samping itu, juga penting adalah banyaknya pengalaman dan hal baru yang “didapat” siswa. Guru pun diharapkan memperoleh “pengalaman baru” sebagai hasil interaksi dua arah dengan anak didiknya. Pada setiap akhir pembelajaran perlu dilakukan evaluasi, untuk mengetahui keefektifan sebuah proses pembelajaran. Evaluasi yang dimaksud di sini bukan sekedar tes untuk siswa, tetapi semacam refleksi, perenungan yang dilakukan oleh guru dan siswa, serta didukung oleh data catatan guru. Hal ini sejalan dengan kebijakan penilaian berbasis kelas atau penilaian authentic yang lebih menekankan pada penelitian proses selain penilaian hasil belajar. Di satu sisi, guru menjadi pengajar yang efektif, karena menguasai materi yang diajarkan; mengajar dan mengarahkan dengan memberi contoh; menghargai siswa dan memotivasi siswa; memahami tujuan pembelajaran; mengajarkan keterampilan pemecahan masalah; menggunakan metode yang bervariasi; mengembangkan pengetahuan pribadi dengan banyak membaca; mengajarkan cara mempelajari sesuatu; dan melaksanakan penilaian dengan tepat dan benar. Di sisi lain, siswa menjadi pembelajar yang efektif dalam arti menguasai pengetahuan dan keterampilan atau kompetensi yang diperlukan; mendapat pengalaman baru yang berharga.

Sehingga untuk dapat mewujudkan pembelajaran yang efektif proses pembelajaran harus didesain secara kreatif. Pembelajaran harus bisa mengatasi segala hambatan dan keterbatasan dalam pelaksanaan pembelajaran. Ada 7 perilaku efektif guru dalam pembelajaran menurut Beni S. Ambarjaya, yaitu: konsisten, memperlakukan siswa sebagai individu, menciptakan lingkungan kelas yang bernuansa belajar, melibatkan diri dalam setiap ajang berbagi pengetahuan formal dan informal, membuka diri

(3)

8

terhadap kebutuhan siswa, melaksanakan umpan balik mengajar dan bekerja, dan melaksanakan penilaian terhadap siswa dengan alasan yang kuat.

Pembelajaran efektif telah tercapai jika dalam pelaksanaan pembelajaran terdapat keaktifan siswa dalam belajar. Siswa aktif atau tidak dalam pembelajaran sudah dapat diperkirakan sejak awal melalui rencana pembelajaran yang dibuat guru. Keaktifan belajar siswa selalu muncul ketika guru menghadirkan media pembelajaran yang tepat dan dapat dimanfaatkan oleh siswa semaksimal mungkin. Semakin bervariasi media pembelajaran yang digunakan, siswa akan semakin antusias mengikuti pembelajaran. Keterlibatan aktif siswa telah terbukti membuat pembelajaran menjadi efektif dengan hasil taraf serap yang maksimal.

Jadi kesimpulan pembelajaran efektif dalam penelitian ini adalah suatu pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan, dan dapat mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan.

2.1.2 Model Pembelajaran Make A Match

Model pembelajaran make a match merupakan model pembelajaran kelompok yang memiliki dua orang anggota. Masing-masing anggota kelompok tidak diketahui sebelumnya tetapi dicari berdasarkan kesamaan pasangan misalnya pasangan soal atau jawaban. Guru membuat dua kotak undian, kotak pertama berisi soal dan kotak kedua berisi jawaban. Peserta didik yang mendapatkan soal mencari peserta didik yang mendapat jawaban yang cocok, demikian pula sebaliknya. Model ini dapat digunakan untuk membangkitkan aktivitas peserta didik belajar dan cocok digunakan dalam bentuk permainan.

Langkah-langkah make a match yang ditulis Endang Mulyatiningsih (2011, 233) :

a. Guru menyiapkan dua kotak kartu, satu kotak kartu soal dan satu kotak kartu jawaban.

b. Setiap peserta didik mendapat satu buah kartu.

c. Tiap peserta didik memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang.

d. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal maupun jawaban)

e. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu yang ditetapkan diberi poin.

(4)

9

f. Setelah satu babak, kotak dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.

Pada langkah-langkah make a match yang dikemukakan di atas, langkah tersebut berfokus pada membagi peserta didik menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok pemegang kartu soal dan kelompok yang kedua pemegang kartu jawaban. Apabila langkah ini dilaksanakan di dalam kelas, ruang gerak siswa akan terbatas apa lagi kalau jumlah siswa lebih dari 30 anak.

Lebih baiknya langkah-langkah ini dilakukan di luar kelas, agar suasana lebih nyaman dan menyenangkan, kemudian pemberian poin kepada kelompok soal dan jawaban yang sudah benar dari siswa sendiri, sehingga siswa lebih mengerti mengenai materi yang dipelajari.

Model pembelajaran cari pasangan dikembangkan oleh Make a Macth Lorna Curran pada tahun 1994 yang ditulis oleh Suminanto (2010, 33) mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :

a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaiknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.

b. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

c. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.

d. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban)

e. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.

f. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapt kartu yang berbeda dari sebelumnya.

g. Demikian seterusnya. h. Kesimpulan/penutup.

Langkah-langkah pembelajaran make a match yang dikemukakan di atas berfokus pada pembuatan kelompok dengan cara permainan mencari pasangan yang menggunakan kartu soal dan kartu jawaban.

Pada intinya langkah-langkah yang dikembangkan Make A Macth Lorna Curran hampir sama dengan langkah-langkah yang ditulis Endang Mulyatiningsih hanya membentuk dua kelompok yaitu kelompok pemegang kartu soal dan kelompok pemegang kartu jawaban, kemudian mencari pasangannya.

(5)

10

Menurut Agus Suprijono (2009, 20), langkah-langkah model make a macth sebagai berikut :

a. Persiapkan kartu jawaban dan kartu pertanyaan.

b. Guru membagi siswa menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama, kelompok pembawa kartu-kartu berisi pertanyaan. Kelompok kedua, adalah kelompok yang membawa kartu jawaban dan kelompok ketiga adalah kelompok penilai.

c. Atur posisi kelompok tersebut berbentuk huruf U. d. Untuk memulai permainan guru membunyikan peluit.

e. Guru sebaiknya membunyikan musik instrumental yang lembut.

f. Siswa yang sudah menemukan pasangannya wajib menunjukkan kepada kelompok penilai.

g. Setelah permainan sudah selesai kelompok penilai dipecah menjadi dua kelompok, dan kelompok pertama dan kedua menjadi kelompok penilai.

Langkah-langkah make a match yang dikemukakan di atas, sedikit berbeda dengan langkah-langkah make a match yang dikemukakan dua ahli sebelumnya yaitu dalam pembentukkan kelompok. Pada langkah-langkah di atas siswa dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok penilai, kelompok pemegang kartu soal dan kelompok pemegang kartu jawaban. Setelah kelompok pemegang kartu soal dan jawaban menemukan pasangannya, tugas kelompok penilai adalah memberikan poin apabila pasangannya benar. Disini tugas guru hanya memantau dan membimbing siswa. Dibandingkan langkah-langkah sebelumnya langkah-langkah ini lebih rapi dan tertata.

Derdasarkan beberapa langkah-langkah model pembelajaran make a match di atas, langkah-langkah make a match dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Siswa dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I sebagai kelompok pemegang kartu soal, kelompok II sebagai kelompok pemegang kartu jawaban dan kelompok III sebagai penilai.

b. Guru menyiapkan benda kongkret, kartu soal dan kartu jawaban.

c. Setiap siswa dari kelompok I mendapatkan satu kartu soal dan setiap anggota dari kelompok II mendapatkan satu kartu jawaban.

d. Kelompok I yang memegang kartu soal memikirkan jawaban sedangkan kelompok II yang memegang kartu jawaban memikirkan soal yang sesuai.

(6)

11

e. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal maupun jawaban).

f. Selanjutnya setelah kelompok I dan II berpasangan. Kartu yang telah dipasangkan (soal dan jawaban) diberikan kepada kelompok III untuk dikoreksi.

g. Kelompok III sebagai penilai memberikan poin kepada kelompok yang benar.

h. Setelah batas waktu yang ditentukan habis, kemudian ketiga kelompok bertukar peran, kelompok I menjadi penilai, kelompok II menjadi kelompok pemegang kartu soal dan kelompok III sebagai pemegang kartu jawaban.

i. Selanjutnya melakukan langkah seperti di atas.

j. Pertukaran peran dilakukan sampai semua kelompok merasakan menjadi kelompok pemegang kartu soal, kartu jawaban dan penilai.

k. Kesimpulan/ penutup.

Pembelajaran dengan menggunakan model make a match yaitu pembelajaran yang menuntut siswa untuk berkelompok dengan pencarian atau penentuan pasangan berdasarkan dengan permainan yang disajikan oleh guru. Guru harus menyediakan dua kartu soal dan jawaban kemudian dari situ siswa dapat menentukan pasangannya.

Pembelajaran ini akan lebih menarik apabila dilengkapi dengan media-media yang kongkret apa lagi siswa SD termasuk dalam tahap oprasional kongkret. Jadi apabila pembelajaran dilengkapi dengan media-media kongkret siswa akan lebih tertarik untuk memperhatikan dan lebih mudah memahami materi yang disampaikan guru.

2.1.3 Hasil belajar IPS

Pada pembelajaran salah satu tujuan yang akan dicapai adalah hasil belajar. Pembelajaran yang benar dan baik akan mencapai hasil belajar yang baik pula. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2011 : 22).

(7)

12

Pengalaman belajar siswa pada saat pembelajaran akan berbeda-beda oleh karena itu kemampuan-kemampuan yang dimiliki tiap siswa tentu berbeda. Aspek perubahan itu mengacu pada taksonomi tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Bloom, Simpson dan Harrow yang mencakup tiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik (Winkel dalam Purwanto, 2008:45).

Klasifikasi hasil belajar menurut Bloom dalam Agus Suprijono (2009: 6) secara garis besar membagi menjadi 3 ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris.

1. Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual. 2. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap.

3. Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak.

Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kamampuan siswa dan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah profesional yang dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik dibidang kognitif (intelektual), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku (psikomotorik).

Hasil belajar harus diidentifikasi melalui informasi hasil pengukuran bidang/materi/dan aspek perilaku baik melalui teknik tes maupun non tes.

Penguasaan materi yang dimaksud adalah derajat pencapaian kompetensi hasil belajar seperti yang dikehendaki dalam standar proses dan dinyatakan dalam aspek perilaku yang terbagi dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga ranah tersebut dinamakan dengan taksonomi tujuan belajar kognitif. Taksonomi tujuan belajar domain kognitif menurut Benyamin S. Bloom yang telah disempurnakan David Krathwohl serta Norman E. Gronlund dan R.W. de Maclay ds ( Wardani, Nanik Sulistya, dkk, 2010:3.21) adalah menghafal (Remember), memahami (Understand), mengaplikasikan (Aply), menganalisis (Analize), mengevaluasi (Evaluate), dan membuat (create).

(8)

13

Derdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan siswa yang didapat dari pengalaman-pengalaman pembelajaran yang berupa kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Hasil belajar yang diperoleh dari pembelajaran digunakan guru sebagai ukuran atau kriteria dalam pencapaian tujuan pendidikan. Ukuran hasil belajar dapat diperoleh dari aktifitas pengukuran. Secara sederhana pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa angka. Proses pembelajaran guru juga melakukan pengukuran terhadap proses dan hasil belajar yang hasilnya berupa angka-angka yang mencerminkan capaian, proses dan hasil belajar tersebut. Nilai hasil belajar dapat diperoleh dengan cara tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket.

Hasil belajar siswa dihitung berdasarkan evaluasi, pengukuran dan asesmen. Teknik yang dapat digunakan dalam asesmen pembelajaran yaitu:

1. Tes

Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek tertentu dari peserta tes. Dalam kaitan dengan pembelajaran aspek tersebut adalah indikator pencapaian kompetensi.

Tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait atau sifat atau atribut pendidikan yang setiap butir pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar (Suryanto Adi, dkk, 2009). Dilihat dari tujuannya dalam bidang pendidikan, tes dapat dibagi menjadi:

a. Tes Kecepatan (Speed Test)

Tes ini bertujuan untuk mengases peserta tes (testi) dalam hal kecepatan berpikir atau keterampilan, baik yang bersifat spontanitas (logik) maupun hafalan dan pemahaman dalam mata pelajaran yang telah dipelajarinya.

(9)

14

b. Tes Hasil Belajar (Achivement Test)

Tes ini dimaksudkan untuk mengases hal yang telah diperoleh dalam suatu kegiatan seperti Tes Hasil Belajar (THB), tes harian (formatif) dan tes akhir semester (sumatif). Tes ini bertujuan untuk mengases hasil belajar setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam suatu kurun waktu tertentu.

c. Tes Kemajuan Belajar (Gains/Achivement Test)

Tes kemajuan belajar disebut juga dengan tes perolehan. Tes ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi awal testi sebelum pembelajaran dan kondisi akhir testi setelah pembelajaran. Mengetahui kondisi awal testi digunakan pre-tes dan kondisi akhir post-tes.

d. Tes Formatif

Tes formatif adalah tes hasil belajar yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana kemajuan belajar yang telah dicapai peserta didik dalam suatu program pembelajaran tertentu seperti tes harian, ulangan harian.

Menurut Endang Poerwanti, dkk. 2008 langkah-langkah menyusun tes yaitu:

a. Perencanaan tes

- Menentukan cakupan materi yang akan diukur - Memilih bentuk tes

- Menetapkan panjang tes b. Menulis bulir pertanyaan - Menulis draft soal

- Memantapkan validitas isi (Content validity) - Melakukan uji-coba (try out)

- Revisi soal

c. Melakukan pengukuran dengan tes - Menjaga obyektivitas pelaksanaan - Memberikan skor pada hasil tes - Melakukan analisis hasil tes

(10)

15

Kisi-kisi (test blue-print atau table of specification) adalah format atau matriks pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik atau pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang kemampuan tertentu. Penyusunan kisi-kisi ini dimaksudkan sebagai pedoman merakit atau menulis soal menjadi perangkat tes. Langkah-langkah untuk menyusun kisi-kisi soal menurut Wardani Naniek Sulistya dkk, (2010, 3.5-3.6) adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan sampel atau contoh materi yang akan ditulis butir soalnya hendaknya dilakukan dengan mengacu pada tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai.

2. Jenis asesmen yang akan digunakan. Pemilihan jenis asesmen berhubungan erat dengan jumlah sampel materi yang dapat diukur, tingkat kognitif yang akan diukur, jumlah peserta tes, serta jumlah butir soal yang akan dibuat, dan juga sangat terkait dengan tujuan pembelajaran yang akan di ukur.

3. Jenjang kemampuan berpikir atau perilaku yang ingin dicapai. Setiap kompetensi mempunyai penekanan kemampuan yang berbeda dalam mengembangkan proses berpikir peserta didik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kumpulan butir soal yang akan digunakan dalam tes, harus dapat mengukur proses berpikir yang relevan dengan proses berpikir yang dikembangkan selama proses pembelajaran. Dalam Standar Isi, kemampuan berpikir yang akan diukur dapat dilihat pada "perilaku yang terdapat pada rumusan kompetensi dasar atau pada standar kompetensi".

4. Indikator perilaku dalam kisi-kisi merupakan pedoman dalam merumuskan soal yang dikehendaki. Untuk merumuskan indikator dengan tepat, guru harus memperhatikan materi yang akan diujikan, indikator pembelajaran, kompetensi dasar, dan standar kompetensi. Indikator yang baik dirumuskan secara singkat dan jelas. Dalam hubungan ini kita mengenal ranah kognitif yang dikembangkan oleh Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan yang kemudian direvisi oleh Krathwoll (2001). Revisi Krathwoll terhadap tingkatan dalam ranah kognitif adalah ingatan (C1),

(11)

16

pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan kreasi (C6).

5. Sebaran tingkat kesukaran butir soal. Dalam menentukan sebaran tingkat kesukaran butir soal dalam set soal, harus mempertimbangkan interpretasi hasil tes mana yang akan dipergunakan, interpretasi hasil tes lebih kepada ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam pembelajaran. 6. Waktu atau durasi yang disediakan untuk pelaksanaan tes. Lamanya waktu tes merupakan faktor pembatas yang harus diperhatikan dalam membuat perencanaan tes. Waktu pelaksanaan tes, disesuaikan dengan jenis tes yang ditentukan. Jika asesmen formatif yang akan diterapkan kepada peserta didik, maka asesmen dilaksanakan setelah guru selesai mengajarkan satu unit pembelajaran, atau diterapkan pada akhir setiap standar kompetensi ataupun kompetensi dasar pada setiap satuan pembelajaran (RPP), atau dilakukan di tengah-tengah perjalanan program pengajaran atau tengah semester.

7. Jumlah butir soal. Penentuan jumlah butir soal yang tepat dalam satu kali tes tergantung pada beberapa hal, antara lain tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, ragam soal yang akan digunakan, proses berpikir yang ingin diukur, dan sebaran tingkat kesukaran dalam set tes tersebut.

Penskoran Tes Objektif

Cara penskoran tes objektif sangat sederhana. Dikerjakan secara manual atau dengan mesin. Pada dasarnya skor setiap butir soal tes objektif adalah satu atau nol. Satu (1) untuk setiap butir yang dijawab benar dan nol (0) untuk setiap butir yang dijawab salah. Tinggal menghitung saja berapa butir soal yang dijawab benar dan berapa butir soal yang dijawab salah.

Ada beberapa penulis yang menganjurkan menggunakan formula tebakan, dalam arti setiap jawaban yang salah diberi hukuman. Cara seperti ini memang dapat mengurangi keinginan peserta didik untuk menebak jawaban yang tidak dikuasainya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diterapkan hukuman tidak menyebabkan adanya perbedaan yang berarti

(12)

17

dengan tanpa hukuman. Baik diterapkan formula tebakan atau tidak, urutan ranking peserta didik akan tetap.

2. Non Tes

Teknik non tes sangat penting dalam mengases peserta didik pada ranah afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes, yaitu:

a. Pengamatan atau Observasi.

Secara umum observasi dapat diartikan sebagai penghimpunan bahan-bahan keterangan yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap berbagai fenomena yang dijadikan obyek pengamatan (Pupuh F. dan M.S. Sutikno, 2009: 86).

Observasi atau pengamatan adalah teknik penilaian yang dilakukan dengan menggunakan indera secara langsung. Observasi dilakukan dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku yang akan diamati (BSNP, 2007: 6).

Observasi adalah teknik non tes dengan melakukan pengamatan terhadap pebelajar sesuai dengan pedoman observasi yang berisi indikator pengamatan.

b. Portofolio

Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik dalam karya tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan belajar dan prestasi siswa.

Derdasarkan penjabaran keterangan di atas, peneliti memutuskan untuk mengukur hasil belajar siswa dengan tes formatif dan non tes yang dilaksanakan dalam setiap akhir pertemuan.

2.1.6 Pembelajaran IPS

1. Pengertian IPS

Nama Ilmu Pengetahuan Sosial dalam dunia pendidikan dasar muncul bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum SD tahun 1975.

(13)

18

Dilihat dari sisi ini maka bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial masih “baru”. Kita sebut “baru” karena bahan yang dikaji sebetulnya bukanlah baru namun cara pandang yang dianutnya memang dapat dianggap baru.

Ada beberapa pendapat tentang pengertian IPS dari beberapa ahli, Jean Jarolimek (1967, 1) berpendapat bahwa IPS adalah mengkaji manusia dalam hubungannnya dalam lingkungan sosial dan fisiknya. Sedangkan Wesley berpendapat IPS sebagai bagian dari nilai-nilai sosial yang dipilih untuk tujuan pendidikan. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai (KTSP Standar Isi 2006).

Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat dengan pendekatan tersebut diharapkan siswa akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan (KTSP Standar Isi 2006). (Depdiknas: 2006).

2. Tujuan Mata Pelajaran IPS

Tujuan mata pelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut (KTSP Standar Isi 2006).

a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.

c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.

d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

(14)

19 3. Ruang Lingkup Mata Pelajaran IPS

Pada jenjang pendidikan dasar, ruang lingkup pengajaran IPS dibatasi sampai pada gejala dan masalah sosial yang dapat dijangkau pada geografi dan sejarah terutama gejala dan masalah sosial kehidupan sehari-hari yang ada di lingkungan sekitar siswa di SD.

Ruang lingkup mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar meliputi aspek-aspek sebagai berikut (KTSP Standar Isi 2006).

a. Manusia, Tempat, dan Lingkungan. b. Waktu, Keberlanjutan, dan Perubahan. c. Sistem Sosial dan Budaya.

d. Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan. 4. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Pencapaian tujuan IPS dapat dimiliki oleh kemampuan siswa yang standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar ini merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan siswa untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. Secara rinci SK dan KD untuk mata pelajaran IPS yang ditujukan bagi siswa kelas IV SD disajikan melalui tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1

SK dan KD mata pelajaran IPS Kelas IV Semester II

Standar Kompetensi

2. Mengenal sumber daya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan Kabupaten / Kota dan Provinsi.

Kompetensi Dasar 2.3 Mengenal perkembangan teknologi produksi komunikasi, dan

(15)

20

transportasi serta pengalaman menggunakannya.

Indikator

2.3.1 Membandingkan alat-alat teknologi komunikasi yang digunakan masyarakat setempat pada masa lalu dan masa kini.

2.3.2 Menunjukan cara-cara penggunaan alat teknologi komunikasi pada masa lalu dan masa kini.

2.3.3 Menceritakan pengalaman

menggunakan teknologi

komunikasi.

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian sebelumnya yaitu berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas IV SD Negeri 2 Planggu Dengan Metode Make A Match Tahun Ajaran 2010/2011” yang disusun oleh Aris Setyono. Penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata kelas pada siklus pertama sebesar 66 dengan jumlah siswa yang memenuhi nilai KKM mencapai 10 siswa. Pada siklus kedua peningkatan hasil belajar siswa semakin baik dengan ditunjukkan nilai rata-rata kelas sebesar 71,27 dengan jumlah siswa yang memenuhi KKM 15 orang. Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode make a match dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kelebihan yang dicapai dalam penelitian ini adalah peneliti dapat merancang proses pembelajaran dengan baik sehingga rata-rata nilai IPS dapat meningkat. Kelemahan dalam penelitian ini adalah dalam unit penelitian jumlah siswa hanya 18 orang jadi penanganannya akan lebih mudah, tetapi bagaimana apabila jumlah siswa lebih dari 30 bahkan ganjil, itu akan lebih menantang dan penelitiannya akan lebih menarik dibanding jumlah siswa sedikit.

(16)

21

Mendasarkan kelemahan yang terdapat pada penelitian di atas pada penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk menggunakan jumlah siswa yang lebih banyak.

Penelitian yang selanjutnya berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Make A Match pada Mata Pelajaran IPA untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V SDN 2 Sengonwetan Semester II Tahun Ajaran 2009/2010” yang disusun oleh Sri Rejeki. Hasil penelitian ini yaitu data siswa pada kondisi awal hanya 51%, siklus 1 mencapai 75%, dan siklus 2 dengan presentase 85%. Dilihat dari hasil rata-rata ulangan harian kondisi awal rata-rata ulangan mencapai 66, pada siklus 1 mencapai rata-rata 78 dan pada siklus 2 mencapai rata-rata 88. Kelebihan dari penelitian ini adalah langkah-langkah dalam pembelajarannya sangat menarik sehingga dapat membuat siswa antusias mengikuti proses belajar mengajar yang akhirnya membuat hasil belajar meningkat. Kelemahan dalam penelitian ini adalah siklus yang digunakan hanya sampai siklus 2 lebih baik sampai siklus ke tiga agar peningkatan hasil belajar lebih pasti. Mendasarkan kelemahan yang terdapat di atas pada penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk melakukan penelitian PTK dengan 3 siklus agar data yang diperoleh lebih valid.

Temuan yang ketiga berjudul “Penerapan Model Make A Match pada Mata Pelajaran IPS tentang Keadaan Alam Indonesia untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas V di SD Negeri Semanggi 02 Kecamatan Jepon Kabupaten Blora” yang disusun oleh Bagus Edi Rosanto. Pada penelitian ini siklus 1, rata-rata hasil belajar pada siklus 1 mencapai 70,83 dan pada siklus 2 mencapai rata-rata 80 dengan ketuntasan 100%. Kelebihan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah hasil pada siklus 2 bisa mencapai 100%, hal ini sangat baik karena pada umumnya peningkatan hanya mencapai 30 – 40 %. Kelemahan penelitian ini adalah hasil belajar hanya diukur berdasarkan tes formatif sebaiknya aspek yang lain juga diukur. Mendasarkan kelemahan yang terdapat pada penilitian di atas pada penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai pertimbangan agar

(17)

22

menggunakan hasil proses juga sehingga hasil belajar yang diperoleh yaitu dari nilai tes dan nilai proses.

Temuan yang selanjutnya berjudul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar PKn Materi Sistem Pemerintahan Tingkat Pusat Melalui Teknik Make A Match bagi Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Kradenan Semester II Tahun Ajaran 2010/2011” yang disusun oleh Edi Sukirso. Hasil dari penelitian ini, data awal rata-rata ulangan mencapai 54,5 kemudian pada siklus 1 naik sebesar 41% dari kondisi awal. Pada siklus 2 rata-rata ulangan mencapai 83,86 naik 9% dari siklus 1. Kelebihan dari penelitian ini adalah dilihat dari peningkatan hasil belajar dan langkah-langkah dalam pembelajaran siswa sangat antusias mengikuti proses belajar mengajar. Kelemahan penelitian ini adalah pengukuran hasil belajar hanya diukur dengan tes formatif. Mendasarkan kelemahan yang terdapat pada judul penelitian di atas maka pada penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai pertimbangan agar tidak hanya menggunakan tes formatif saja tetapi menggunakan nilai proses juga.

Temuan yang berikutnya yaitu berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning dengan Bentuk Struktural (Make A Match) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Sejarah Siswa Kelas XI SMA Rifaiyah Tahun Pelajaran 2009/2010” yang disusun oleh Roi Dewi Sabana. Hasil dari penelitian ini, data awal rata-rata hanya mencapai 55,81 % dari nilai kriteria ketuntasan minimal yaitu 69 dengan target ketuntasan adalah 70 %. Prasiklus hasil belajar siswa rendah yakni ketuntasan hanya 24 orang atau 55,81 % dengan nilai rata-rata 67,33%. Nilai tertinggi pada tahap prasiklus ini adalah 90 dan nilai terendah adalah 50. Setelah dilakukan tindakkan pada siklus pertama perolehan hasil belajar berdasarkan evaluasi yang diberikan oleh guru pada akhir pelajaran pada siklus pertama hanya 27 siswa atau 62,79%, kriteria ketuntasan minimal dengan nilai rata-rata 69,88, nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 60. Sedangkan pada siklus kedua ketuntasan meningkat menjadi 39 siswa atau 90,70% dengan nilai rata-rata 77,33, nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 65.

(18)

23

Kelebihan dari penelitian ini adalah peneliti bisa membuat langkah-langkah pembelajaran menjadi menarik untuk diikuti siswa SMA sehingga dapat meningkatkan hasil belajar. Kelemahan penelitian ini adalah peningkatan yang dialami tidak terlalu drastis dan nilai tertinggi tidak pernah berubah selalu 90. Mendasarkan kelemahan di atas pada penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk menaikan KKM agar siswa lebih tertantang dan hasil belajar meningkat.

Jadi dari temuan di atas dapat disimpulakan bahwa penggunaan model make a match dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Penelitian di atas hampir sama dengan penelitian yang akan dilakukan. Perbedaannya yaitu terletak pada mata pelajaran yang akan diteliti dan cara pelaksanaan penelitian. Persamaannya yaitu kedua penelitian ini menggunakan metode make a match. Jadi dengan demikian penelitian di atas mendukung penelitian ini.

2.3 Kerangka Berpikir

Setelah melakukan observasi peneliti melihat bahwa pembelajaran IPS kelas IV berlangsung konvesional. Guru masih sebagai sumber belajar yang ada di kelas sehingga peserta didik hanya mendengarkan penjelasan dari guru. Bahkan peran peserta didik pasif saat pembelajaran IPS berlangsung. Sehingga hasil belajar tidak mencapai target KKM yang telah ditentukan.

Mata pelajaran IPS pada umumnya berbentuk abstrak, dengan banyak uraian materi yang harus dipahami siswa. Pada umumnya juga guru hanya memakai metode ceramah untuk menjelaskan materi ini padahal dilihat dari perkembangan siswa, siswa SD akan lebih mudah memahami materi yang berbentuk kongkret. Apabila guru hanya menjelaskan materi dengan ceramah anak-anak kelamaan akan merasa bosan, mengantuk, dan sering kali asyik berbicara sendiri dengan temannya.

Apabila hal tersebut tidak segera diperbaiki hasil belajar yang akan diperoleh siswa bisa jadi tidak akan memenuhi KKM yang telah ditentukan.

(19)

24

Guru harus jeli dalam memilih model pembelajaran yang tepat agar bisa membangkitkan semangat dan keaktifan siswa dalam belajar sehingga dapat meningkatkan hasil belajar agar mencapai atau melebihi target yang sudah ditetapkan.

Guru memperbaiki kondisi di atas dengan menerapkan model make a match (mencari pasangan) dan menggunakan benda kongkret pada saat siswa memahami materi IPS. Make a Match adalah termasuk model pembelajaran kooperatif yang menyajikan pembelajaran dalam bentuk permainan mencari kelompok dengan menyediakan kartu soal dan kartu jawaban. Di sini peserta didik dibagi menjadi tiga kelompok yang pertama kelompok pemegang kartu soal, kedua kelompok pemegang kartu jawaban, dan yang ketiga penilai. Setelah kelompok pertama dan kelompok kedua menemukan pasangannya, dan dinilai oleh kelompok penilai, selanjutnya ketiga kelompok berganti peran.

Penggunaan benda kongkret pada pembelajaran kooperatif tipe make a match diharapkan siswa lebih mudah memahami dan menangkap materi IPS yang disampaikan. Selanjutnya dengan penggunaan benda kongkret pada pembelajaran kooperatif tipe make a match siswa dapat berperan aktif dalam pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar sesuai bahkan melebihi KKM yang sudah ditetapkan. Langkah- langkahnya sebagai berikut :

a. Siswa dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I sebagai kelompok pemegang kartu soal, kelompok II sebagai kelompok pemegang kartu jawaban dan kelompok III sebagai penilai.

b. Guru menyiapkan benda kongkret, kartu soal dan kartu jawaban.

c. Setiap siswa dari kelompok I mendapatkan satu kartu soal dan setiap anggota dari kelompok II mendapatkan satu kartu jawaban.

d. Kelompok I yang memegang kartu soal memikirkan jawaban sedangkan kelompok II yang memegang kartu jawaban memikirkan soal yang sesuai.

(20)

25

e. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal maupun jawaban).

f. Selanjutnya setelah kelompok I dan II berpasangan. Kartu yang telah dipasangkan (soal dan jawaban) diberikan kepada kelompok III untuk dikoreksi.

g. Kelompok III sebagai penilai memberikan poin kepada kelomok yang benar.

h. Setelah batas waktu yang ditentukan habis, kemudian ketiga kelompok bertukar peran, kelompok I menjadi penilai, kelompok II menjadi kelompok pemegang kartu soal dan kelompok III sebagai pemegang kartu jawaban.

i. Selanjutnya melakukan langkah seperti di atas.

j. Petukaran peran dilakukan sampai semua kelompok merasakan menjadi kelompok pemegang kartu soal, kartu jawaban dan penilai.

(21)

26

Gb 2.1. Skema Kerangka Berpikir Hubungan antara Model Pembelajaran Make A Match dan Hasil Belajar

pengalaman menggunakannnya

Pembelajaran Konvensional Pembelajaran Make A Match

Guru menyampaikan materi ceramah

Siswa pasif mendengarkan penjelasan dari

guru

Hasil belajar rendah (< KKM 90) - Pembentukan 3 kelompok - Penentuan peran Penilaian H as il B el aj ar Tes Formatif

Kelompok I Kelompok II Kelompok III

Pemegang k a r t u s o a l Pemegang kart u jaw aba n

Penilai soal dan jawa

ban Memikirkan dan mencari kartu yang sesuai

dengan soal atau jawaban.

Penilaian pasangan kartu

Kelompok berganti peran yang berbeda dengan peran yang pertama

Penarikan kesimpulan

Mengerjakan Tes Formatif

Hasil belajar meningkat (≥ KKM 90)

Penilaian hasil belajar Penilaian proses

(22)

27

2.4 Hipotesis

Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan “Ada efektifitas penggunaan benda kongkret pada model pembelajaran make a match terhadap hasil belajar IPS siswa kelas IV SD Gugus Perkutut Tuntang Semarang semester II tahun ajaran 2011/2012”

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatif ini diperlukan, karena data yang digunakan adalah data sekunder dengan menitikberatkan penelitian pada data

Metoda ini bertujuan untuk menilai “potensi resiko” pekerja yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja, bukan pada menghitung peluang dan dampak kecelakaan kerja

Layanan Dial-Up merupakan jasa akses internet yang memanfaatkan jaringan telepon biasa dan modem dial up, pelanggan diharuskan berlangganan ke Internet Service Provider

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Nunukan ( BKP) , maka dengan ini Saudara kami undang untuk mengikuti acara PembuktianKualifikasi yang akan dilaksanakan pada:4. Hari/Tanggal : Rabu, 26

Letakkan Kursor Mouse disisi bawah dari salah satu baris yang telah dipilih untuk dipertinggi.. Pastikan Kursor Mouse berubah panah dengan arah atas dan bawah

Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial,. Universitas

Langkah-langkah dalam pengecekkan televisi yang rusak adalah sebagai berikut , Pertama yang harus dilakukan adalah memeriksa bagian catu dayanya, apakah sudah ada tegangan yang