religius bagi peserta didiknya, dan juga agar guru menjadi teladan yang
baik untuk dapat dicontoh oleh peserta didiknya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendidikan Kewarganegaraan
1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan dianggap sebagai mata pelajaran yang
berfungsi membentuk watak atau karakter warga negara. Menurut
(Winarno: 2014: 185) menyatakan bahwa PKn berfungsi sebagai
pembenatukan karakter warga negara. PKn di sekolah memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Karakter yang dimaksud tentu saja karakter yang berpedoman pada nilai
luhur bangsa dalam hal ini Pancasila. Karakter kewarganegaraan baik untuk
pribadi maupun masyarakat Indonesia adalah karakter yang didasarkan atas
nilai-nilai Pancasila.
Menurut (Fadil dkk, 2013: 4) Pendidikan Kewarganegaraan
membantu peserta didik untuk membentuk pola pikir dan pola sikap
sebagai seorang warga negara yang mencerminkan atau selaras dengan
karakter, karena pendidikan kewarganegaraan mencakup nilai-nilai hidup
yang khas dari masyarakat sekitarnya.
Dari beberapa pengertian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa
Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang memfokuskan
pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara
yang cerdas, terampil,dan berkarakter.
2. Visi dan Misi Pendidikan Kewarganegaraan
a. Visi Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut Winataputra dalam (Winarno: 2014: 11), visi pendidikan
kewarganegaraan dalam arti luas, yakni sebagai sistem pendidikan
kewarganegaraan yang berfungsi dan berperan sebagai program
kurikuler dalam konteks pedidikan formal dan non formal, program
aksi sosial-kultural dalam konteks kemasyarakatan, dan sebagai bidang
kajian ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan
sosial. Visi ini mengandung dua dimensi, yakni dimensi substantif
berupa muatan pembelajaran dan objek telaah serta pengembangan dan
dimensi berupa penelitian dan pembelajaran.
b. Misi Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam konteks proses reformasi menuju Indonesia baru dengan
konsepsi masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturnya,
sosio-kultural, dan substansif-akademis (Winataputra: 2001) dalam
(Winarno: 2014:12).
Misi sosio-pedagogis adalah mengembangkan potensi individu
sebagai insan Tuhan dan makhluk sosial menjadi warga negara
Indonesia yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius.
Misi sosio-kultural adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita sistem
kepercayaan/nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam
konteks pembangunan masyarakat madani Indonesia melalui
pengembangan partisipasi warga negara secara cerdas dan
bertanggungjawab melalui berbagai kegiatan sosio-kultural secara
kreatif yang bermuara pada tumbuh kembangnya komitmen moral dan
sosial kewarganegaraan. Sedangkan misi substantif-akademis adalah
mengembangkan struktur atau tubuh pengetahuan pendidikan
kearganegaraan, termasuk di dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi
mengenai dan yang berkenaan dengan civic virtue atau kebijakan
kewarganegaraan dan civic culture atau budaya kewarganegaraan
melalui kegiatan penelitian dan pengembangan dan memfasilitasi
praksis sosio-pedagogis dan sosio-kultural dengan hasil penelitian
pengembangannya itu.
Dari misi sosio-pedagogis PKn dapat diketahui bahwa salah satu
misinya adalah untuk mengembangkan warga negara yang religius,
sehingga dengan mata pelajaran PKn harapannya dapat
3. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Di Indonesia bahkan di Negara lain bahwa tujuan pendidikan
kewarganegaraan adalah untuk membentuk warga negara yang baik (to be
good citizens). Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang dikemukakan
oleh (Djahiri: 1995: 10) adalah sebagai berikut:
a. Secara umum
Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian
Pendidikan Nasional, yaitu: “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan
mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
b. Secara Khusus
Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman
dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang
terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat
kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung
musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk
mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
Menurut (Chikwe, Moses: 2012: 12) Civic education should help
young people acquire and learn to use the skills, knowledge, and attitudes
that will prepare them to be competent and responsible citizens throught
their lives (Pendidikan Kewarganegaraan mampu membantu orang
memperoleh dan belajar menggunakan keterampilan, pengetahuan, dan
sikap yang akan mempersiapkan diri menjadi warga negara yang
kompeten dan bertanggungjawab melalui kehidupan mereka).
Pendidikan karakter sangat terpengaruhi oleh pendidikan
kewarganegaraan, dimana pendidikan kewarganegaraan memiliki
peranan penting dalam pembentukan karakter. Karena pendidikan
kewarganegaraan mencakup semua poin-poin karakter. Yang termasuk
poin karakter didalam pendidikan kewarganegaraan adalah budi pekerti,
moral, norma. Pembentukan karakter peserta didik ini bertujuan
untuk menciptakan seorang yang berakhlak, berbudi pekerti, bermoral
dan taat terhadap peraturan yang ada baik yang terisirat maupun tersurat
(Fadil dkk: 2013: 6).
Berdasarkan tujuan PKn di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digunakan sebagai wahana
untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang
berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan dapat diwujudkan
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan makhluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata
pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari
segi agama, bahasa, suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945.
B. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
1. Pengertian Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut Cogan dalam (Winarno: 2014: 71) menyatakan bahwa
pembelajaran PKn merupakan proses pendidikan secara utuh dan
menyeluruh terhadap pembentukan karakter individu sebagai warga negara
yang cerdas dan baik.
Kaitannya dengan PKn di Indonesia, Kosasih Djahiri dalam
(Winarno: 2014: 71) menyatakan bahwa:
“Pembelajaran PKn adalah program pendidikan yang secara
programatik prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan (culturing) serta memberdayakan (empowering)
menusia / anak didik (diri dan lingkungannya) menjadi warga
negara yang baik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Menurut (Rahmat dkk: 2013: 21) Pembelajaran PKn dapat
membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan intelektual yang
memadai serta pengalaman praktis agar memiliki kompetensi dan
efektivitas dalam berpartisipasi.
Dari pengertian pembelajaran PKn diatas, peneliti penyimpulkan
pembinaan karakter warga negara di mana diharapkan melalui
pembelajaran PKn dapat terbina sosok warga negara yang baik, warga
negara yang kritis, warga negara yang pertisipatif, dan warga negara yang
bertanggungjawab bagi kelangsungan negara bangsa.
2. Materi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut (Rahmat dkk: 2013: 47) sebagai standar nasional dalam
aspek isi atau ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
sebagaimana termuat dalam standar isi (Permendiknas Nomor 22 / 2006)
meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a. Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi: hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah Pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, keterbukaan dan jaminan keadilan.
b. Norma, hukum, dan peraturan, meliputi: tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib disekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistim hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional.
c. Hak asasi manusia meliputi: hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
d. Kebutuhan warga negara meliputi: hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, mengharhai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara.
e. Konstitusi negara meliputi: proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi.
f. Kekuasaan dan politik, meliputi: pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintah daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.
h. Globalisasi meliputi: globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.
Dari materi-materi PKn diharapkan dapat menumbuhkan wawasan
dan kesadaran bernegara, menumbuhkan sikap dan perilaku cinta tanah air,
meningkatkan warga negara yang taat aturan, mengingkatkan warga
negara yang berbudi luhur, berkepribadian, berkarakter, mengamalkan
masing-masing sila Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut (Winarno: 2014: 96) pendekatan yang mendukung
pembelajaran PKn adalah pendekatan berbasis nilai, pendekatan berpikir
kritis, pendekatan inquiry, dan pendekatan kooperatif.
a. Pendekatan berbasis nilai
PKn sebagai program pendidikan politik pada hakikatnya
bertujuan membentuk warga negara yang baik. Ukuran warga negara
yang baik tentu saja adalah sesuai dengan pandangan hidup dan nilai
hidup yang diyakini bangsa yang bersangkutan. Dengan demikian PKn
selau terikat dengan nilai. Nilai itulah yang dijadikan arah
pengembangan warga negara yang dimaksud.
b. Pendekatan berpikir kritis
Karakteristik berpikir kritis diupayakan dalam Pembelajaran PKn.
Dalam hal ini dimaksudkan agar terwujud warga negara yang
partisipatif dan bertanggungjawab dalam negara demokrasi. Berpikir
berdasar pengetahuan ilmiah. Berpikir kritis termasuk dalam
keterampilan kewarganegaraan (civic skill), yaitu pada bagian
keterampilan berpikir kritis atau keterampilan intelaktual (intellectual
civic skill).
c. Pendekatan inquiry
Melalui pendekatan inquiry diharapkan guru dapat menciptakan
pembelajaran yang menentang sehingga melahirkan interaksi antara
gagasan yang diyakini siswa sebelumnya dengan suatu bukti baru untuk
mencapai pemahaman baru yang lebih scientific melalui proses
eksplorasi atau pengujian gagasan baru.
d. Pendekatan Kooperatif
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan
aktivitas siswa adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan pada kelompok kecil,
siswa belajar dan bekerjasama sampai pada pengalaman belajar dan
bekerja sama sampai pada pengalaman belajar yang optimal baik
pengalaman individu maupun pengalaman kelompok.
4. Komponen-Komponen Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut (Sanjaya, Wina: 2008: 204) sebagai suatu sistem, proses
pembelajaran terdiri dari beberapa komponen yang satu sama lain saling
berinteraksi dan berinterelasi. Komponen-komponen tersebut adalah
tujuan, materi pelajaran, metode atau strategi pembelajaran, media,
a. Tujuan Pembelajaran
Menurut (Djamarah: 2010: 42) Tujuan adalah komponen yang
dapat mempengaruhi komponen pengajaran lainnya seperti bahan
pelajaran, kegiatan belajar mengajar, pemilihan metode, alat, sumber,
dan evaluasi. Bila salah satu komponen tidak sesuai dengan tujuan,
maka pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tidak akan dapat mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut (Winarno: 2014: 60) tujuan pembelajaran PKn yang
disusun disetiap rencana atau skenario pembelajaran harus bersumber
dan tuturan dari tujuan pembelajaran diatasnya, yaitu dalam silabus,
standar kompetensi lulusan dan tujuan mata pelajaran PKn yaitu
membentuk warga negara yang cerdas, berkarakter dan terampil.
b. Materi Pelajaran
Menurut (Djamarah: 2010: 43) Materi pelajaran adalah substansi
yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar. Materi yang
disebut sebagai sumber belajar ini adalah sesuatu yang membawa pesan
untuk tujuan pembelajaran.
Menurut (Winarno: 2014: 30) materi pelajaran kewarganegaraan
dikemas dalam tiga bagian, yaitu pengetahuan kewarganegaraan, nilai
kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan yang pada
c. Metode pembelajaran
Menurut (Djamarah: 2010: 46) metode adalah suatu cara yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
kegiatan belajar mengajar, metode diperlukan oleh guru dan
penggunaannya bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
setelah pengajaran berakhir.
Terdapat beberapa metode pembelajaran menurut (Djamarah:
2010: 83), antara lain:
1)Metode proyek
Metode proyek atau unit adalah cara penyajian pembelajaran
yang bertitik tolak dari suatu masalah, kemudian dibahas dari
berbagai segi yang berhubungan sehingga pemecahannya secara
keseluruhan dan bermakna.
2)Metode eksperimen
Metode eksperimen adalah cara penyajian pelajaran, dimana
siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan
sendiri sesuatu yang dipelajari.
3)Metode tugas dan resitasi
Metode ini diberikan karena dirasakan bahan pelajaran terlalu
banyak, sementara waktu sedikit. Artinya, banyaknya bahan yang
4)Metode diskusi
Metode diskusi adalah cara penyajian pelajaran, dimana
siwa-siswa dihadapkan kepada suatu masalah yang bisa berupa
pernyataan atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas
dan dipecahkan bersama.
5)Metode sosiodrama
Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku
dalam hubungannya dengan masalah sosial.
6)Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan
meragakan atau mempertunjukan kepada siswa atau suatu proses,
situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik sebenarnya
ataupun tiruan, yang sering disertai dengan penjelasan lisan.
7)Metode problem solving
Metode problem solving (metode pemecahan masalah) bukan
hanya sekadar metode mengajar, tetapi juga merupakan suatu
metode berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan
metode lainnya yang dimulai dengan mencari data sampai kepada
menarik kesimpulan.
8)Metode karyawisata
Cara mengajar yang dilaksanakan dengan mengajar siswa ke
suatu tempat atau objek tertentu diluar sekolah untuk mempelajari /
9)Metode tanya jawab
Metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam
bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada
siswa, tetapi dapat juga dari siswa kepada guru.
10) Metode ceramah
Metode ceramah adalah cara penyajian pelajaran yang
dilakukan guru dengan peraturan atau penjelasan lisan secara
langsung terhadap siswa.
d. Media Pembelajaran
Pembelajaran materi PKn sebagai pendidikan nilai moral
pemerlukan media tertentu yang dapat berperan sebagai stimulus
(perangsang) bagi potensi afektual siswa (Rahmat dkk: 2009: 103).
Jenis-jenis media sebagai berikut:
1)Media visual
Media visual sering disebut juga media tampak yang
menggunakan indera penglihatan agar dapat memahaminya. Media
visual ini ada yang menampilkan gambar, foto, diagram, chart, grafis,
kliping.
2)Media audio
Media audio berfungsi untuk menyalurkan pesan audio dari
indera pendengaran. Termasuk di dalam media ini adalah radio,
piringan hitam, pita audio, tape recorder, dan telepon.
3)Media audio visual
Media audio-visual merupakan gabungan antara media audio
dan media visual, misalnya: slide, dan film rangkai yang disertai
dengan suara.
e. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi merupakan komponen terakhir dalam sistem proses
pembelajaran. Evaluasi bukan saja berfungsi untuk melihat keberhasilan
siswa dalam proses pembelajaran, akan tetapi juga berfungsi sebagai
umpan balik bagi guru atas kinerjanya dalam pengelolaan pembelajaran.
Melalui evaluasi, dapat melihat kekurangan dalam pemanfaatan
berbagai komponen sistem pembelajaran.
Peneliti penyimpulkan bahwa semua komponen dalam sistem
pembelajaran PKn saling berhubungan dan saling mempengaruhi untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran dapat terlaksana dengan
baik, efisien, dan efektif dengan adanya komponen-komponen yang
terkandung di dalam sistem pengajaran tersebut.
C. Karakter Religius
1. Pengertian Karakter
Ada beberapa pengertian karakter yang diungkapkan oleh beberapa
“Karakter dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika”.
Menurut (Kesuma, Dharma dkk; 2011: 11) karakter berasal dari nilai
tetang sesuatu. Suatu nilai yang diwujudkan dalam bentuk perilaku anak
itulah yang disebut karakter. Jadi suatu karakter melekat dengan nilai dari
perilaku tersebut.
Menurut (Salahudin: 2013: 44) mengungkapkan bahwa:
“Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri
khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang
dibuat”.
Dari beberapa definisi karakter diatas, peneliti dapat menyimpulkan
secara ringkas bahwa karakter adalah sikap, tabiat, kepribadian yang
melekat pada seseorang, yang menjadikan seseorang mempunyai ciri khas
tersendiri dan membedakan dirinya dengan orang lain.
2. Pengertian Karakter Religius
Menurut (Hamid: 2013: 4) Selaras dengan pandangan manusia
sebagai makhluk Tuhan, dalam menggali nilai-nilai yang melandasi
pendidikan hendaknya memperhatikan nilai-nilai yang bersumber dari
Tuhan. Jiwa manusia harus diisi oleh nilai-nilai religius karena kebenaran
tertinggi berasal dari nilai-nilai keagamaan yang bersumber dari Sang
religius merupakan awal dari pembentukan budaya religius. Tanpa adanya
pendidikan nilai religius, maka budaya religius tidak akan terwujud.
Menurut (Listyarti, Retno, 2012: 5) karakter religius adalah:
“Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Religius adalah proses mengikat kembali atau bisa dikatakan dengan tradisi, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya”.
Karakter religius menurut (Mustari: 2014: 1) adalah:
“Nilai karakter dalam hubunganya dengan Tuhan. Ia menunjukkan
bahwa pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan / atau ajaran
agamanya ”.
Dari beberapa pengertian karakter religius diatas, peneliti
penyimpulkan bahwa karakter religius adalah perilaku dengan ukuran baik
dan buruk yang didasarkan pada ketentuan dan ketetapan agama.
3. Dimensi Nilai Religius
Dimensi keagamaan dan budaya dalam pendidikan karakter menurut
(Salahudin, Anas, 2013: 195) adalah:
a. Ideologis (religious belief), yaitu menyangkut tingkat keyakinan seseorang mengenai kebenaran agama dan nilai luhur budaya bangsanya, terutama ajaran-ajaran yang fundamental atau dogmatik. b. Ritualistik (religious practice), yaitu menyangkut tingkat kepatuhan
seseorang dalam menjalankan ritus-ritus agama dan nilai luhur budaya bangsanya yang keadaban.
c. Intelektual (religious knowledge), yaitu menyangkut tingkat pengetahuan dan pemahaman sesorang mengenai ajaran-ajaran agama dan budaya bangsanya,
e. Konsekuensial (religious effect), yaitu menyangkut seberapa kuat ajaran dan nilai agama dan budaya bangsa berkeadaban seseorang memotivasi dan menjadi sumber inspirasi atas perilaku-perilaku duniawinya saat ini.
Dimensi dalam nilai religius di atas menjadi acuan untuk
menanamkan nilai religius kepada peserta didik melalui pendidikan
karakter.
4. Indikator Karakter Religius
Menurut (Taniredja: 2012: 116) berdasarkan Ketetapan MPR RI No.
VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan Bab IV, khusus dalam
bidang religius, bahwa untuk mengukur tingkat keberhasilan perwujudan
Visi Indonesia 2020 dipergunakan indikator-indikator utama sebagai
berikut:
a. Terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia
sehingga ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan
nilai-nilai luhur budaya, terutama kejujuran, dihayati dan diamalkan
dalam perilaku kesehariannya.
b. Terwujudnya toleransi antar dan antara umat beragama.
Berikut penjelasan secara rinci mengenai indikator-indikator utama
karakter religius:
a. Beriman
Menurut (Eniyawati: 2014: 3) iman berarti keyakinan yang
tertanam dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan
keselarasan antara hati, lisan atau ucapan dan tingkah laku atau
perbuatan terhadap segala hal.
Menurut (Majid, Abdul: 2013: 93) iman yaitu sikap batin penuh
kepercayan kepada Allah. Jadi tidak cukup kita hanya percaya adanya
Allah, melainkan harus mengingat menjadi sikap mempercayai kepada
adanya Tuhan dan menaruh kepercayaan kepada-Nya.
b. Bertakwa
Menurut (Eniyawati: 2014: 3) takwa berarti menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala yang dilarang-Nya dengan penuh
kerelaan dan ketaatan. Sejalan dengan pernyataan (Zubaedi: 2013: 85)
bahwa semua agama mempunyai pengertian tentang ketakwaan, secara
umum takwa berarti taat melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya.
Dari pernyataan diatas, penulis menyimpulkan bahwa bertakwa
adalah perilaku seseorang yang selalu patuh terhadap ajaran atau
perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan Tuhan.
c. Berakhlak mulia
Akhlak mulia akan tampak dalam penampilan, perkataan, ataupun
tingkah laku seseorang. Menurut (Marzuki: 2015: 89) manusia yang
baik (mulia) adalah manusia yang memiliki akhlak (karakter) yang baik
dan manusia yang buruk adalah manusia yang memiliki akhlak
(karakter) yang buruk. Menurut (Marzuki: 2015: 91) untuk menjadi
dirinya, antara lain dengan memelihara kesucian lahir dan batin,
bersikap tenang, selalu menambah ilmu pengetahuan, dan membina
disiplin.
Menurut (Cut Nya Dhin: 2013: 1) Akhlak adalah kepribadian
yang melahirkan tingkah laku perbuatan manusia terhadap diri sendiri
dan makhluk lain sesuai dengan suruhan dan larangan-Nya. Sejalan
dengan Milan dalam (Zubaedi: 2013: 84) bahwa secara garis besar
dikelompokan dalam tiga dimensi nilai akhlak. Pertama, akhlak
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan mencakup: mengenal Tuhan
sebagai pencipta, Tuhan sebagai pemberi dan Tuhan sebagai pemberi
balasan. Kedua, akhlak terhadap sesama manusia dengan mencakup: (1)
akhlak terhadap orang tua, dapat dimanifestasikan melalui aktivitas:
berbakti kepada keduanya, menghormati dengan berkata halus dan
sopan. (2) akhlak terhadap saudara, dapat dimanifestasikan melelui
aktivitas: bersikap adil terhadap saudara, menjaga sopan santun dan
rendah hati kepadanya. (3) akhlak terhadap lingkungan masyarakat,
dapat dimanifestasikan melalui aktivitas: menjaga lisan dan perbuatan,
menghormati dan tenggang rasa kepada mereka, dalam bergaul harus
menggunakan bahasa yang baik dan benar, sopan. Ketiga, akhlak
terhadap alam sekitar, akhlak terhadap alam bukan hanya semata-mata
untuk kepentingan alam, tetapi jauh dari itu untuk memelihara,
Dari pemaparan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa akhlak
merupakan perilaku, sikap, perbuatan, sopan santun seseorang. Akhlak
mulia berarti perilaku atau kepribadian baik yang dilakukan oleh
seseorang terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
d. Kejujuran
Kejujuran adalah sikap seseorang yang menyatakan sesuatu
dengan sesungguhnya secara benar dan apa adanya. Kejujuran harus
ditanamkan karena menjadi dasar dan menjadi patokan sebuah
kepercayaan diberikan. Menurut (Emosda: 2011: 4) jujur (kejujuran)
akan tercermin dalam perilaku yang diikuti dengan hati yang lurus
(ikhlas), berbicara sesuai dengan kenyataan, berbuat sesuai bukti dan
kebenaran. Dengan demikian kejujuran merupakan salah satu unsur
kekuatan spiritual, akhlak mulia, serta kepribadian.
Menurut (Kesuma, Dharma: 2012: 7) orang-orang yang memiliki
kejujuran dicirikan oleh perilaku berikut:
1)Jika bertekad (inisiasi keputusan) untuk melakukan sesuatu,
tekadnya adalah kebenaran dan kemaslahatan.
2)Jika berkata tidak berhohong (benar dan apa adanya).
3)Jika adanya kesamaan antara yang dikatakan hatinya dengan apa
yang dilakukannya.
Dari pernyataan-pernyataan diatas penulis meyimpulkan bahwa
kejujuran merupakan sikap lurus hati, tidak berbohong misalnya dalam
yang berlaku. Kejujuran merupakan dasar yang penting untuk bisa
dipercaya orang lain.
e. Toleransi antar dan antara umat beragama
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk, salah satunya
ditandai dengan beragamnya agama. Negara memberi kebebasan
kepada penduduk untuk memilih salah satu agama yang telah ada di
Indonesia. Tiap pemeluk agama mendapatkan kesempatan untuk
menjalankan agama dan menciptakan kehidupan beragama sesuai
dengan ajaran agama masing-masing. Dari perbedaan agama ataupun
keyakinan, diharapkan tetap terjalin kerukunan. Namun, kerukunan dan
keharmonisan antarumat beragama tersebut hanya terwujud apabila
setiap umat menghargai toleransi. Menurut (Rifa: 2016) toleransi antar
umat beragama berarti adanya kesepahaman dan kesatuan untuk
melakukan amalan dan ajaran agama yang dipeluk dengan menghormati
adanya perbedaan yang masih ditolerir. Dengan kata lain, sesama umat
seagama tidak boleh saling menghina, bermusuhan ataupun
menjatuhkan, melainkan harus dikembangkan sikap saling menghargai,
menghormati, dan toleransi. Menurut (Jamrah:2015: 2) toleran antara
umat beragama artinya adalah bahwa masing-masing umat beragama
membiarkan dan menjaga suasana kondusif bagi umat agama lain untuk
melaksanakan ibadah dan ajaran agamanya tanpa dihalangi-halangi.
Dari indikator-indikator religius diatas, penulis menyimpulkan
sehari-hari, dilakukan secara terus menerus maka akan terbentuk
karakter religius pada diri peserta didik. Seperti yang diungkapkan
(Azzet: 2013: 88) bahwa:
“hal yang semestinya dikembangkan dalam diri anak didik adalah
terbangunnya pikiran, perkataan, dan tindakan anak didik yang diupayakan senantiasa berdasarkan nilai-nilai ketuhanan atau yang bersumber dari ajaran agama yang dianutnya. Jadi, agama yang dianut oleh seseorang benar-benar dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari”.
Karakter religius ini sangat dibutuhkan oleh peserta didik dalam
menghadapi perubahan zaman dan degradasi moral dalam hal ini siswa
diharapkan mampu memiliki berkepribadian dan berperilaku sesuai
dengan ukuran baik dan buruk yang didasarkan pada ketentuan dan
ketetapan agama. Sejalan dengan pendapat (Azzet: 2013: 86) bahwa tanda
yang paling tampak oleh seseorang yang beragama dengan baik adalah
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu peserta didk harus dikembangkan karakternya agar
benar-benar berkeyakinan, bersikap, berkata-kata, dan berperilaku sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya. Untuk mewujudkan harapan tersebut
dibutuhkan pendidik atau guru yang bisa menjadi suri tauladan bagi
peserta. Guru tidak hanya memerintah siswa agar taat dan patuh serta
menjalankan ajaran agama namun juga memberikan contoh, figur, dan
keteladanan. Sejalan dengan pernyataan (Fathurrohman, Muhammad: 2015:
66) bahwa dalam menciptakan budaya religius di lembaga pendidikan,
D. Hubungan Pendidikan Kewarganegaraan dengan Karakter Religius
Menurut (Winataputra: 2007: 159) bahwa yang menjadi dasar
kehidupan masyarakat bangsa Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Dengan kata lain, kehidupan masyarakat bangsa Indonesia
yang hendak diwujudkan adalah masyarakat bangsa yang cerdas, religius, adil
dan beradab, bersatu, demokratis, dan sejahtera. Untuk mewujudkan cita-cita
tersebut, maka “tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran” dengan
“mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang
diatur dengan undang-undang (Pasal 31 UUD 1945). Di dalam pasal tersebut
tersirat adanya upaya yang sengaja untuk mengembangkan warga negara
yang cerdas, demokratis, dan religius, yang secara progmatik merupakan
tujuan dan missi dari pendidikan kewarganegaraan dalam arti yang sangat
luas, atau citizenship education.
Dari pernyataan tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa sesuai
dengan tujuan dan missi pendidikan kewarganegaraan salah satunya dapat
mengembangkan warga negara yang berkarakter religius.
Hasil penelitian Siti Aisyah (2015) dengan judul Implementasi Metode
Pembiasaan Guna Menumbuhkan Karakter Religius Siswa Dalam
Pembelajaran Akhlak di SMP Muhammadiyah 4 Sambi Boyolali. Jika
dikaitkan dengan penelitian peneliti maka kesimpulannya, pelaksanaan
metode pembiasaan guna menumbuhkan karakter religius siswa yang di
terapkan di SMP Muhammadiyah 4 Sambi Boyolali yakni pembiasaan
bersikap jujur, membiasakan salam dan berjabat tangan, hidup bersih dan
sehat, shalat zuhur berjamaah, tadarus Al-Qur-an. Faktor pendukung yaitu
dukungan dari seluruh warga sekolah dan masyarakat, sarana dan prasarana
yang lengkap serta adanya jadwal piket bagi guru dalam sholat zuhur
berjamaah. Faktor penghambat yaitu kurangnya orang tua dalam memantau
pembiasaan putra putrinya dirumah, adanya perbedaan perilaku dari
masing-masing siswa, dan dampak negatif kemajuan teknologi seperti
handphone, game play station, dan televisi.
Hasil penelitian penelitian Afsya Oktafiani Hastuti (2015) dengan judul
“Implementasi Pendidikan Karkter Religius dalam Pembelajaran Sosiologi di
SMA Negeri 1 Comal” menunjukan bahwa proses implementasi pendidikan
karakter religius dapat dilihat dari tahap persiapan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Implementasi pendidikan karakter
religius dalam tahap persiapan pembelajaran menunjukan bahwa guru
Sosiologi melakukan penyusunan perangkat pembelajaran dan menganalisis
karakteristik kelas sebelum mengajar dengan memperhatikan nilai-nilai
penanaman nilai-nilai religius dilakukan oleh guru Sosiologi dengan
mengaitkan sesuai dengan materi ajar yang sedang dibahas. Selanjutnya,
hambatan-hambatan yang dialami sekolah berkaitan dengan implementasi
pendidikan karakter religius dalam pembelajaran sosiologi meliputi
perbedaan tingkat pemahaman siswa, pengaruh lingkungan diluar sekolah,
dan kurangnya kontrol dari guru terhadap pelaksanaan pendidikan karakter
religius.
F. Kerangka Berfikir