• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penelitian ini akan membahas mengenai kerja sama keamanan antara pemerintah Jepang dan pemerintah Australia. Hal ini menjadi menarik mengetahui kedua negara memiliki dasar militer yang berbeda. Di mana Jepang memiliki kekuatan militer yang sejak pasca Perang Dunia II harus tetap bersifat bertahan sesuai konstitusi. Sehingga militer Jepang akan menemui hambatan ketika akan melakukan misi “keluar” dari negara karena terbatasi oleh konstitusi. Sedang militer Australia tidak terdapat batasan pengembangan militer yang secara mutlak diatur oleh konstitusi. Sehingga dapat banyak berperan dalam operasi militer yang terjadi di dunia internasional. Persamaan paling mendasar dalam militer kedua negara tersebut adalah Jepang dan Australia merupakan sekutu Amerika Serikat untuk menjaga keamanan di wilayah Asia Pasifik.

Satu dekade yang lalu, Cina adalah "negara berkembang;" kemudian di masa kini menjadi kekuatan regional, dan semakin global. Kebangkitan Cina adalah simbol dari munculnya Asia baru, lebih ekonomis dan politik yang lebih kuat. Satu dekade yang lalu, aspirasi nuklir Korea Utara membuat masyarakat internasional merasa khawatir; hingga kini pun kondisi tersebut masih menjadi perhatian, tapi dengan perhatian yang lebih dari sebelumnya, mengingat pada 2006 Pyongyang melakukan tes senjata nuklir. Dan yang semakin menjadi perhatian internasional, pasca peristiwa 11/9 dunia, tiap negara besar menjaga senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction/WMD) dan bahan mentah pengembangan senjata dari tangan non-state actors.1

SDF (Jepang) maupun ADF (Australia) telah menunjukkan kerja sama keamanan sebagai anggota penjaga perdamaian PBB dan sekutu Amerika Serikat. Sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB, SDF dan ADF berkontribusi operasi penjaga perdamaian pasca-konflik di Kamboja dan Timor Leste. Sebagai sekutu utama Amerika Serikat, kedua negara didukung Amerika Serikat yang memimpin War on Terror dan berkontribusi dalam rekonsiliasi pasca perang di Afghanistan dan Irak.

1

Ralph A. Cossa, et.al, The United States and the Asia-Pacific Region: Security Strategy for the Obama Administration, Pacific Forum CSIS, Honolulu, 2009, hal.19

(2)

2

Dalam konteks ini, perkembangan pesat dari kerja sama keamanan Jepang-Australia diimplementasikan dengan penandatanganan perjanjian yang diberi nama Japan-Australia Joint Declaration on Security Cooperation (JADSC). Bagi Jepang, perjanjian diplomatik mengenai keamanan yang pertama kali dilakukan oleh Jepang dengan negara selain Amerika Serikat sejak berakhirnya Perang Dunia II.2

Dalam hal ini, dapat dilihat sikap oportunis dari Jepang yang memang pada waktu itu baru saja mendirikan kementrian pertahanan secara independen setelah sebelumnya mengalami beribu ganjalan atas kontradiksi artikel 9 Konstitusi Jepang 1947. Kemudian dari sisi Australia, hal ini tentunya membawa kesempatan besar untuk memperluas kawasan keamanan dengan para aliansi yang ada. Ditambah dengan munculnya berbagai ancaman baru, terutama di kawasan Asia Pasifik, seperti konflik Laut Cina Selatan yang kemudian berpotensi untuk membentuk konflik yang lebih besar hingga berdampak secara tak langsung maupun langsung bagi Australia. Terutama, gerakan untuk memperluas kawasan keamanan ini tidak didasarkan oleh masalah yang kecil, namun guna untuk membendung pengaruh negara lain yang berkuasa di wilayah tersebut, yaitu Cina. Cina memang sudah menjadi ancaman yang besar bagi Australia sejak tahun-tahun awal kemerdekaan Australia. Namun setelah Cina menjadi kekuatan ekonomi terbesar ketiga3 dan menjadi top-five angkatan bersenjata dunia,menjadikan Cina sebagai ancaman keamanan yang cukup serius bagi Jepang dan Australia.

Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba melihat mengapa Jepang dan Australia yang memiliki perbedaan mendasar dalam militernya dapat membentuk perjanjian kerja sama keamanan. Serta melihat perkambangan perjanjian antar dua negara dengan melihat peristiwa-peristiwa internasional yang menjadi perhatian keamanan pemerintah Jepang dan pemerintha Australia.

2

David Walton, 'Australia and Japan: Towards a New Security Partnership?', Japanese Studies, 28:1, 2008, hal.74

3 Diukur dengan standar GDP negara-negara di dunia. Cina berada di poin 3,5 triliun USD, dipuncaki oleh

Amerika Serikat di 14,4 triliun USD, Jepang di nomor kedua dengan 4,3 triliun USD, dan Australia di nomor 15 dengan 850 milyar USD.

The World Bank, GDP (online), 2007,

<http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?order=wbapi_data_value_2007+wbapi_data_v alue&sort=desc&page=1>, diakses 20 Agustus 2015.

(3)

3

1.2 Rumusan Masalah

Terdapat dua pertanyaan yang diajukan oleh penulis sebagai pembahasan dalam karya ilmiah ini:

Mengapa pemerintahan Shinzo Abe membentuk kerja sama keamanan Japan-Australia Joint Declaration on Security Cooperation dengan Japan-Australia? Dan bagaimana kebijakan tersebut dijalankan?

1.3 Kerangka Berpikir

Untuk menganalisis serta menjawab pertanyaan, penulis akan menggunakan perspektif structural realism terutama menggunakan teori defensive realism dan alliance.

Structural realism merupakan teori neorealis yang menekankan struktur kekuatan dunia, dan perubahan kekuatan-kekuatan besar pada kemampuan militer agar relatif terhadap saingan terdekat mereka, dan mempengaruhi perilaku negara dalam sistem global.4 Structural realist setuju bahwa politik internasional pada dasarnya adalah struggle for power tetapi mereka tidak mendukung asumsi realis klasik bahwa ini adalah hasil dari sifat manusia. Sebaliknya, atribut structural realist adalah kompetisi keamanan dan konflik antar-negara karena ketiadaan otoritas menyeluruh di atas negara (anarki) dan distribusi power yang relatif dalam sistem internasional. Waltz mendefinisikan struktur sistem internasional dalam tiga elemen: pengorganisasian prinsip (organizing principle), diferensiasi unit (differentiation of units), dan distribusi kemampuan (distribution of capabilities).5 Struktural realist tertarik dalam menyediakan peringkat negara sehingga dapat membedakan dan menghitung jumlah great power yang ada pada setiap waktu tertentu. Jumlah great power, pada gilirannya, menentukan struktur sistem internasional. Sehingga kondisi internasional akan menentukan apakah suatu negara akan bersikap secara offensive atau defensive. Dan dalam karya ilmiah ini penulis menggunakan teori dari defensive, yang Menurut Waltz,

defensive realism merupakan bentuk perspektif yang ditujukan kepada suatu negara

4

Charles W. Kegley, Jr., World Politics: Trend and Transformation, 11th edn, Thomson Wadsworth, Boston, 2008, hal.416.

5

John Baylis, Steve Smith & Patricia Owen, The Globalization of World Politics: An introduction to international relations, 5th ed, Oxford University Press, New York, 2011, hal.91

(4)

4

yang menganggap bahwa keamanan (security) sebagai dasar interest negara dan meningkatkan power dalam jumlah yang diperlukan sebagai tujuan untuk menjamin survival negara,6 sehingga tidak menurunkan tingkat keamanan negara lain.

Negara dengan realis defensif tidak mengancam keamanan masing-masing secara sengaja. Akibatnya, sementara mungkin terdapat konflik kepentingan diantara mereka, beberapa konflik ini dapat diselesaikan secara damai. Kerja sama adalah pilihan lain untuk menyelesaikan konflik kepentingan, maka dari itu realis defensif lebih cenderung untuk melakukan external balancing dalam upaya untuk mengimbangi ancaman ekasternal yang muncul. Negara yang merasa terancam akan berupaya meningkatkan kemampuan militernya untuk meningkatkan keamanan. Namun dalam kondisi terancam, suatu negara bila tidak mampu mengimbangi maka akan mencari bantuan pada negara lain dengan membentuk aliansi (alliance) yang merupakan aplikasi dari eksternal balancing.

Aliansi merupakan perjanjian formal atau informal untuk kerja sama keamanan antara dua atau lebih negara berdaulat.7 Definisi ini mengasumsikan beberapa tingkat komitmen dan pertukaran keuntungan bagi kedua belah pihak; memutus hubungan atau gagal untuk menghormati perjanjian mungkin akan mengakibatkan konsekuensi tertentu, atau bahkan bila terdapat kompensasi dengan cara lain. Negara melakukan eksternal balancing melalui pembentukan aliansi karena tiga tendensi:

1) biaya ekonomi yang lebih rendah dengan membentuk aliansi dibandingkan pengeluaran militer akan lebih mendukung untuk melakukan balancing eksternal,

2) konsekuensi negatif dari akuisisi senjata nuklir akan menyebabkan negara mengandalkan eksternal, bukan balancing internal, dan

3) negara-negara yang melakukan balancing memiliki kekuatan negara yang relatif kecil kepada negara yang dianggap ancaman, kondisi tersebut semakin besar memungkinkan untuk menyeimbangkan eksternal daripada internal.8

Semakin tinggi kemungkinan hegemoni, semakin besar kemungkinan pula untuk negara-negara berupaya untuk menyeimbangkan.

6

Baylis, Smith & Owen, 2011, hal.94

7 Stephen M. Walt, The Origins of Alliances, Cornell University Press, New York, 1987, hal.12 8

Thomas R. Bendel, On The Types of Balancing Behavior (Thesis), Naval Postgraduate School, Monterey, 1994, hal.48

(5)

5

Hambatan sistemik utama untuk eksternal balancing adalah koordinasi dan masalah tindakan kolektif. Teori kolektif memprediksi bahwa menyeimbangkan aliansi akan sulit untuk membentuk dan membuatnya berjalan efektif. Kendala menyeimbangkan terhadap calon hegemon akan dapat diterima oleh negara-negara yang tidak memberikan kontribusi untuk itu aliansi; salah satunya adalah keuntungan keamanan suatu negara tidak mencegah negara lain dari manfaat mendapat keamanan juga. Hasilnya adalah insentif yang kuat untuk free ride.

Realisme defensif percaya bahwa negara, dalam banyak keadaan, dapat mengatasi rintangan yang ditimbulkan oleh situasi anarki untuk mencapai kerja sama. Sistem internasional tidak selalu menimbulkan perang maupun konflik, sehingga strategi bertahan (defensive) seringkali dianggap sebagai jalan utama untuk mencapai keamanan.

Menggunakan definisi agak luas ini masuk akal karena beberapa alasan.

Pertama, banyak negara kontemporer enggan untuk menandatangani perjanjian formal dengan sekutu mereka. Kedua, perbedaan yang tepat–misalnya, antara aliansi formal dan informal–mungkin akan mengaplikasikan lebih dari yang akan diungkapkan dalam perjanjian. Misal: tidak terdapat perjanjian aliansi secara formal antara Amerika Serikat dan Israel, tapi tidak ada yang akan mempertanyakan tingkat komitmen antara dua negara tersebut. Perubahan komitmen itu, telah terungkap terutama oleh perubahan perilaku atau dengan pernyataan verbal, bukan dengan penulisan kembali suatu dokumen. Aliansi memiliki dua tipe dalam menanggapi suatu ancaman:9 balancing didefinisikan sebagai beraliansi dengan negara lain terhadap ancaman yang terjadi; bandwagoning mengacu kepada keselarasan dengan sumber bahaya. Jika balancing dilakukan, maka beberapa negara merasa lebih aman, karena agresor akan menghadapi gabungan (aliansi) dari oposisi. Tetapi jika cenderung lebih membentuk pada bandwagoning maka akan terjadi insecurity, karena agresor yang sukses akan menarik negara lain untuk bergabung dalam aliansinya, sehingga meningkatkan kekuatan mereka sekaligus mengurangi jumlah lawan-lawan mereka.

9

Balancing merupakan bentuk aliansi yang terdiri dari dua negara atau lebih sebagai respon atas ancaman eksternal untuk menghadapi negara yang memberi ancaman. Bentuk bandwagoning adalah suatu negara yang menghadapi ancaman eksternal akan beraliansi dengan negara yang memberi ancaman paling besar.

(6)

6

Penggunaan defensive realism pada karya ini sebagai pedoman pembahasan JADSC. Penulis berargumen bahwa JADSC merupakan hasil dari structural realism. Serta JADSC yang merupakan bentuk aliansi dari sikap defensif realism yang diambil oleh Jepang dan Australia atas situasi internasional yang dinilai dari structural realism.

1.4 Argumen Utama

Perubahan struktur internasional Asia-Pasifik terjadi karena runtuhnya sistem bipolar antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, yang kemudian dikhawatirkan kebangkitan Cina akan menggantikan posisi Uni Soviet serta ancaman baru seperti nuklir dan terorisme. Tidak stabilnya kondisi di wilayah Asia Pasifik terutama dengan semakin bangkitnya China dengan peningkatan ekonomi dan militer China, serta semakin beraninya Korea Utara dalam pengembangan senjata nuklirnya, membuat pemerintah Jepang memutuskan untuk membentuk suatu kerja sama (aliansi) di bidang keamanan bersama Australia yang bersifat balancing terhadap Cina. Kerja sama tersebut bertujuan untuk mengimbangi bangkitnya Cina dan menjaga kestabilan keamanan di wilayah Asia Pasifik. Jepang memilih Australia sebagai partner kerjasama karena Jepang dan Australia sama-sama berupaya menjunjung demokrasi dan liberalisasi, yang membentuk tujuan dan paham yang serupa. Serta didukung dengan rasa terancam atas kebangkitan Cina dan masing-masing kedua negara terbantu pula dengan aliansi bersama Amerika Serikat.

1.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis memilih untuk menggunakan metode penelitian kualitatif. Pembahasan yang akan dijelaskan dalam penelitian akhir ini dibangun melalui data-data sekunder, yaitu dengan pemakaian studi literatur yang mengutamakan data tertulis dalam bentuk cetak seperti buku, jurnal, majalah, koran, dan diktat kuliah. Selain itu, penulis juga berusaha melengkapinya dengan data tertulis bentuk elektronik seperti e-book, jurnal maupun artikel elektronik dan sumber-sumber online lain dari website tertentu.

(7)

7

1.6 Jangkauan Penelitian

Dalam penulisan karya skripsi, penulis melakukan penelitian mengenai kerja sama keamanan antara Jepang dan Australia mulai dari tahun 2007 sebagai awal terbentuknya kerja sama hingga tahun 2012 ketika perjanjian mengalami pembaharuan.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian akhir berjudul “Politik Kerja sama Keamanan Jepang dan Australia Tahun 2007-2012” akan dibagi ke dalam 4 bab. Bab satu akan berisikan pendahuluan mengenai latar belakang, rumusan masalah, kerangka berpikir, argumen utama, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua akan menjelaskan perubahan struktur strategis kawasan Asia-Pasifik di aspek keamanan serta menjelaskan lebih dalam mengenai gambaran awal pembentukan dari JADSC. Pada bab ini pula akan dianalisa mengapa Jepang dan Australia memilih untuk bersikap defensive realism setelah melihat kondisi internasional melalui structural realism. Bab tiga akan menjawab pertanyaan “Mengapa pemerintahan Shinzo Abe membentuk kerja sama keamanan Japan-Australia Joint Declaration on Security Cooperation dengan Australia? Dan bagaimana kebijakan tersebut dijalankan?” Selain itu, bab ini akan menjelaskan pula mengenai perkembangan yang terjadi setelah ditandatanganinya JADSC hingga tahun 2012. Bab empat merupakan penutup yang berisi kesimpulan atas seluruh pembahasan yang telah dipaparkan dalam penelitian akhir ini.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai tahap awal dari perancangan sistem kendali autoclave ini, maka akan dilakukan identifikasi sistem guna mendapatkan model sistem alat autoclave secara eksperimen

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan model matematika hubungan antara parameter kualitas pengeringan minyak jarak pagar dengan waktu pengeringan, menentukan model

Coklat kemerahan (5YR4/4), liat, gumpal bersudut sedang, agak teguh, perakaran halus sedang, pori mikro sedang, pH 4.2, selaput liat jelas tipis, sedikit, batas horison berangsur

Function tersebut berguna untuk mengambil data, menampilkan data yang telah diambil dan membandingkan produk yang telah dipilih oleh user.. Function Product

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Selain itu keakuratan perhitungan data penjualan dan penerimaan kas bisa dipastikan karena dengan perhitungan secara otomatis oleh sistem, terlebih lagi dalam

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah virus Covid-19 adalah dengan menerapkan perilaku Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di mana dalam penerapannya

Menurut studi yang dilakukan oleh Antariksa Budileksmana (2005: 491) menyatakan bahwa dengan periode pengamatan pada return pasar tahun 1999- 2004, pengujian membuktikan