• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Data pola konsumsi rumah tangga miskin didapatkan dari data pengeluaran Susenas Panel Modul Konsumsi yang terdiri atas dua kelompok, yaitu data pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Rumah tangga dikategorikan miskin apabila pengeluaran per kapita per bulan berada dibawah garis kemiskinan propinsi yang telah ditetapkan BPS (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Garis Kemiskinan Menurut Propinsi di Pulau Jawa tahun 2008, 2009 dan 2010 (Rupiah)

Propinsi Kota Desa

2008 2009 2010 2008 2009 2010 DKI Jakarta 290.268 316.936 331.169 - - -Jawa Barat 190.824 203.751 212.210 155.367 175.193 185.335 Jawa Tengah 184.704 196.478 205.606 152.531 169.312 179.982 DI Yogyakarta 208.655 228.236 240.282 169.934 182.706 195.406 Jawa Timur 183.408 202.624 213.383 155.432 174.628 185.879 Banten 197.328 212.310 220.771 156.494 178.238 188.741 Indonesia 204.896 222.123 232.988 161.831 179.835 192.354

Sumber: BPS, Data dan Informasi Kemiskinan 2008 - 2010

Berdasarkan garis kemiskinan tersebut di atas didapatkan jumlah sampel rumah tangga miskin di Pulau Jawa yaitu sebanyak 3955 sampel rumah tangga miskin pada tahun 2008, tahun 2009 sebanyak 3580 sampel dan pada tahun 2010 sebanyak 3313 sampel. Dari sampel tersebut dilakukan analisis pola konsumsi rumah tangga miskin.

Jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih banyak daripada perkotaan. Secara nasional, penduduk miskin di perdesaan berjumlah hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penduduk miskin di perkotaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia hampir 60 persen tinggal di Pulau Jawa.

4.1. Pangsa Pengeluaran Total Rumah Tangga Miskin

Secara garis besar kebutuhan konsumsi barang dan jasa pada rumah tangga terdiri dari dua kelompok yaitu kebutuhan pangan dan bukan pangan. Pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasi pendapatannya guna memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan. Teorema Engel menyatakan untuk

(2)

rumah tangga yang berpendapatan rendah/miskin pengeluaran untuk pangan khususnya kebutuhan pokok sangat tinggi. Rumah tangga miskin akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan pangan sehingga sebagian besar pendapatannya akan digunakan untuk membeli makanan. Demikian pula yang terjadi pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa. Pada periode 2008-2010 persentase pengeluaran untuk makanan pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa lebih dari 60 persen atau hampir dua kali lipat dari pengeluaran bukan makanan (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan untuk Makanan dan Bukan Makanan Menurut Tipe Wilayah di Pulau Jawa Tahun 2008-2010.

Persentase Pengeluaran per kapita sebulan

Tipe Wilayah Makanan Non Makanan

2008 2009 2010 2008 2009 2010 - Perkotaan 62,35 62,10 62,57 37,65 37,90 37,43 - Perdesaan 66,22 65,12 65,77 33,78 34,88 34,23

Sumber : Susenas Panel Modul Konsumsi 2008-2010 diolah

Pola konsumsi rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan menjelaskan bahwa teorema Engel juga berlaku bagi rumah tangga berpendapatan rendah/miskin baik yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan. Tabel 4.2 menunjukkan alokasi pengeluaran terbesar untuk komoditi makanan mencapai lebih dari 60 persen dengan persentase pengeluaran makanan yang lebih besar pada rumah tangga miskin di perdesaan dibandingkan dengan rumah tangga miskin di perkotaan.

Secara umum, selama periode 2008-2010, pola konsumsi makanan pada rumah tangga miskin di perdesaan cenderung mengalami sedikit penurunan. Hal sebaliknya terjadi pada daerah perkotaan dimana terjadi sedikit peningkatan pada konsumsi makanan.

Pola konsumsi bukan makanan di perdesaan cenderung meningkat walau peningkatannya relatif kecil. Konsumsi bukan makanan pada wilayah perkotaan cenderung sedikit mengalami penurunan.

Tabel 4.3. menunjukkan pola konsumsi makanan dan bukan makanan pada rumah tangga miskin di tiap propinsi di Pulau Jawa. Persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi bukan makanan.

(3)

Hal ini terjadi di tiap propinsi namun besaran persentase pengeluarannya berbeda. Khusus Propinsi DKI Jakarta persentase pengeluaran untuk makanan hampir seimbang dengan persentase pengeluaran non makanan.

Tabel 4.3. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan untuk Makanan dan Bukan Makanan Menurut Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2008-2010.

Persentase Pengeluaran per kapita sebulan

Propinsi Makanan Non Makanan

2008 2009 2010 2008 2009 2010 DKI Jakarta 53,01 54,58 53,74 46,99 45,42 46,26 Jawa Barat 65,84 64,80 66,03 34,16 35,20 33,97 Jawa Tengah 64,48 63,69 63,80 35,52 36,31 36,20 DI Yogyakarta 59,73 60,70 60,66 40,27 39,30 39,34 Jawa Timur 65,19 64,03 64,38 34,81 35,97 35,62 Banten 66,23 66,80 65,42 33,77 33,20 34,58 Jawa 64,62 63,87 64,23 35,38 36,13 35,77

Sumber : Susenas Panel Modul Konsumsi 2008-2010 diolah

4.2. Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Miskin

Konsumi makanan terdiri konsumsi pangan dan rokok. Konsumsi makanan terbagi menjadi 14 kelompok konsumsi komoditi yaitu padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan jadi, tembakau dan sirih. Tabel 4.4. menunjukkan persentase pengeluaran untuk komoditi makanan yang paling tinggi dialokasikan untuk pengeluaran kelompok komoditi padi-padian (± 21%), pengeluaran tertinggi kedua untuk konsumsi komoditi makanan jadi (±10%), kemudian komoditi sayuran (±6%), tembakau dan sirih (±5%), bahan minuman dan kacang-kacangan (±4%).

Secara umum pada periode ini, konsumsi untuk padi-padian cenderung tidak berubah. Konsumsi umbi-umbian dan makanan jadi cenderung menurun sementara konsumsi kelompok komoditi ikan, daging, sayur-sayuran, kacang-kacangan dan bahan minuman cenderung mengalami sedikit peningkatan.

Pada periode 2008-2010, persentase pengeluaran makanan pada rumah tangga miskin menurut propinsi di Pulau Jawa didominasi oleh persentase pengeluaran untuk padi-padian dan makanan jadi, hanya komposisi persentase

(4)

pengeluaran yang sangat berbeda pada propinsi DKI Jakarta dimana persentase pengeluaran untuk makanan jadi hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan persentase pengeluaran untuk padi-padian, kondisi ini sangat berbeda dengan propinsi lainnya di Pulau Jawa (Lampiran 1).

Tabel 4.4. Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Rumah tangga Miskin Menurut Kelompok Makanan di Pulau Jawa, 2008-2010

Kelompok Makanan 2008 2009 2010

- Padi-padian 22,00 20,82 21,21

- Umbi-umbian 0,75 0,62 0,62

- Ikan 2,92 2,97 3,47

- Daging 0,64 0,67 0,77

- Telur dan susu 2,03 2,29 2,23

- Sayur-sayuran 5,84 5,87 6,03

- Kacang-kacangan 3,38 3,66 4,16

- Buah-buahan 1,53 1,31 1,34

- Minyak dan lemak 3,59 3,20 3,57

- Bahan minuman 3,20 3,15 4,26

- Bumbu-bumbuan 1,73 1,62 1,83

- Konsumsi lainnya 1,68 1,72 1,63

- Makanan jadi 10,41 10,85 8,49

- Tembakau dan sirih 4,92 5,10 4,79

Jumlah makanan 64,62 63,87 64,23

Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Panel Modul Konsumsi 2008, 2009, 2010 diolah.

Persentase pengeluaran kelompok makanan pada rumah tangga miskin baik di perdesaan maupun di perkotaan juga memiliki pola yang sama. Persentase pengeluaran padi-padian, makanan jadi dan kelompok komoditi sayuran merupakan konsumsi terbesar pada rumah tangga miskin baik di perdesaan maupun di perkotaan. Hal ini dimungkinkan masih relatif mudahnya mencari dan mendapatkan sayuran sebagai alternatif pilihan pengganti lauk pauk (Lampiran 2).

4.3. Pangsa Pengeluaran Bukan Pangan Rumah Tangga Miskin

Konsumsi kelompok komoditi bukan pangan terdiri dari konsumsi kelompok komoditi perumahan dan fasilitas rumah tangga, kelompok barang dan jasa, kelompok pakaian, alas kaki dan tutup kepala, kelompok barang-barang tahan lama, kelompok pajak dan asuransi, kelompok keperluan pesta dan upacara. Konsumsi kelompok komoditi perumahan dan fasilitas rumah tangga terdiri dari

(5)

konsumsi perumahan/sewa rumah dan pemeliharaannya, konsumsi listrik, bahan bakar, pos dan telekomunikasi. Konsumsi kelompok komoditi barang dan jasa terdiri dari konsumsi barang dan jasa untuk keperluan pribadi/individu misalnya perlengkapan mandi dan cuci, konsumsi barang dan jasa kesehatan dan konsumsi barang dan jasa pendidikan serta kelompok barang dan jasa transportasi. Pada Tabel 4.5 terlihat persentase pengeluaran bukan makanan yang paling tinggi adalah untuk pengeluaran kelompok perumahan dan fasilitas rumah tangga (±17%) dan kelompok komoditi barang dan jasa (±12%).

Tabel 4.5. Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Rumah tangga Miskin Menurut Kelompok Bukan Makanan di Pulau Jawa, 2008-2010

Kelompok Bukan Makanan 2008 2009 2010 - Perumahan dan fasilitas rumah tangga 17,60 17,76 17,28

- Barang dan jasa 11,89 12,23 12,63

- Pakaian, alas kaki dan tutup kepala 3,92 4,03 3,92

- Barang-barang tahan lama 1,02 1,18 0,98

- Pajak dan asuransi 0,48 0,52 0,63

- Keperluan pesta dan upacara 0,34 0,43 0,34

Jumlah bukan makanan 35,38 36,13 35,77

Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Panel Modul Konsumsi 2008, 2009, 2010 diolah.

Persentase pengeluaran komoditi bukan makanan terjadi peningkatan pada kelompok komoditi barang dan jasa serta komoditi pajak dan asuransi, walaupun peningkatan persentase pengeluarannya relatif kecil. Persentase pengeluaran untuk kelompok komoditi perumahan dan fasilitas rumah tangga serta komoditi barang tahan lama cenderung mengalami penurunan.

Persentase pengeluaran untuk bukan makanan tiap propinsi di Pulau Jawa didominasi oleh kelompok komoditi perumahan dan komoditi barang dan jasa. Pada propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten terjadi peningkatan persentase pengeluaran untuk bukan makanan. Peningkatan persentase ini didorong oleh meningkatnya persentase pengeluaran untuk komoditi barang dan jasa, pakaian, alas kaki dan tutup kepala, barang-barang tahan lama, pajak dan asuransi. Persentase pengeluaran untuk kelompok komoditi perumahan dan fasilitas rumah tangga serta keperluan pesta dan upacara mengalami penurunan di tiap propinsi. (Lampiran 1).

(6)

Persentase pengeluaran bukan makanan pada rumah tangga miskin di daerah perdesaan dan perkotaan tidak berbeda. Persentase pengeluaran terbesar untuk kelompok komoditi perumahan dan fasilitas perumahan serta kelompok komoditi barang dan jasa (Lampiran 2).

4.4. Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin

Informasi mengenai struktur pengeluaran rumah tangga dapat mengindikasikan seberapa penting pengeluaran kelompok komoditi terhadap struktur pengeluaran rumah tangga. Rata-rata pengeluaran untuk tiap kelompok komoditi Pulau Jawa, perkotaan dan perdesaan dapat dilihat Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Persentase Pengeluaran Rumah Tangga Miskin Sebulan untuk Makanan dan Bukan Makanan Menurut Tipe Wilayah di Pulau Jawa Tahun 2008-2010.

Persentase Rata-rata Pengeluaran RTM Sebulan

Kelompok Komoditi Perkotaan Perdesaan

2008 2009 2010 2008 2009 2010 Makanan pokok 19,99 18,76 19,33 24,70 23,36 23,77 Lauk pauk 8,18 8,88 8,97 8,38 8,82 9,06 Rokok 4,92 5,17 4,98 4,02 4,59 4,78 Makanan lainnya 29,26 29,30 29,29 29,12 28,35 28,16 Jumlah Makanan 62,35 62,10 62,57 66,22 65,12 65,77 Telekomunikasi 0,41 0,67 0,87 0,22 0,43 0,61 Pendidikan 3,23 3,63 4,06 2,57 3,19 3,30

Non makanan lainnya 34,01 33,59 32,50 30,98 31,26 30,32

Jumlah Bukan Makanan 37,65 37,90 37,43 33,78 34,88 34,23

Total Pengeluaran 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Rata-rata (000 rupiah) 753 812 858 561 649 698

Sumber : Susenas Panel Modul Konsumsi 2008-2010 Diolah

Rata-rata total pengeluaran rumah tangga miskin per tahun di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor ketersediaan fasilitas dan kemudahan mengakses sehingga penduduk miskin di perkotaan lebih tinggi rata-rata pengeluarannya. Hasil yang sama juga didapatkan pada studi sebelumnya yang dilakukan oleh Ariningsih (2004) dan Kahar (2010). Secara statistik rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin untuk semua komoditi memiliki perbedaan yang nyata yang ditunjukkan oleh hasil uji rata-rata dan keragaman antara perdesaan dan perkotaan (Lampiran 3).

(7)

Persentase pengeluaran terbesar pada rumah tangga miskin adalah untuk konsumsi komoditi pangan yang besarnya di atas 60 persen. Pola yang sama terjadi pada rumah tangga miskin di perdesaan dan perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa teorema Engel berlaku pada rumah tangga miskin baik di kota maupun di desa. Interpretasi dari temuan ini adalah apabila terjadi kenaikan harga pangan maka rumah tangga miskin akan terkena dampak yang besar karena sebagian besar proporsi pengeluarannya untuk konsumsi pangan.

Selama periode 2008-2010, persentase pengeluaran untuk pangan di perdesaan cenderung mengalami penurunan sementara persentase pengeluaran untuk pangan di perkotaan cenderung meningkat. Hasil yang sama pada studi sebelumnya yang dilakukan oleh Nurfarma (2005) di Sumatra Barat.

Persentase pengeluaran untuk makanan pokok lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan perkotaan. Ini menunjukkan bahwa rumah tangga miskin di perdesaan lebih cenderung mengalokasikan pendapatannya guna memenuhi kebutuhan makanan pokok.

Persentase pengeluaran untuk lauk pauk, rokok dan makanan lainnya hampir sama antara perdesaan dan perkotaan. Persentase pengeluaran untuk makanan lainnya sekitar 28-30 persen, persentase pengeluaran untuk lauk pauk sekitar 8-10 persen, persentase pengeluaran untuk rokok sekitar 5 persen.

Selama periode 2008-2010, persentase pengeluaran untuk makanan pokok baik di perdesaan maupun di perkotaan cenderung mengalami penurunan. Persentase pengeluaran untuk lauk pauk, rokok, dan makanan lainnya cenderung mengalami peningkatan baik di perdesaan maupun di perkotaan.

Persentase pengeluaran rumah tangga miskin untuk bukan makanan lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan. Hal ini lebih disebabkan adanya kemudahan mengakses dalam memenuhi kebutuhan bukan pangan dan jasa pada rumah tangga miskin di perkotaan.

Persentase pengeluaran pada rumah tangga miskin untuk telekomunikasi sangat kecil yaitu dibawah satu persen baik di perdesaan maupun di perkotaan. Persentase pengeluaran untuk pendidikan juga cukup kecil persentasenya bila dibandingkan dengan persentase pengeluaran rumah tangga miskin untuk rokok.

(8)

Persentase pengeluaran untuk non makanan lainnya cukup besar sekitar 30-34 persen.

Selama periode 2008-2010, terjadi peningkatan konsumsi rumah tangga miskin terhadap pengeluaran untuk bukan makanan di perdesaan dan penurunan konsumsi bukan makanan di perkotaan. Persentase pengeluaran untuk konsumsi telekomunikasi dan pendidikan mengalami peningkatan, sementara persentase pengeluaran rumah tangga miskin untuk kelompok komoditi non makanan lainnya sedikit menurun baik di perdesaan maupun di perkotaan.

4.5. Pangsa Pengeluaran Telekomunikasi Rumah tangga Miskin

Pengeluaran telekomunikasi termasuk ke dalam kelompok komoditi perumahan dan fasilitas perumahan. Persentase pengeluaran per kapita sebulan rumah tangga miskin untuk kelompok perumahan dan fasilitas rumah tangga paling tinggi dalam kelompok komoditi bukan pangan (Tabel 4.5). Kelompok ini terdiri dari komoditi sewa rumah, pemelliharan, listrik, air dan bahan bakar untuk memasak serta pos dan telekomunikasi. Rincian persentase pengeluaran untuk kelompok perumahan dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan Rumah Tangga Miskin untuk Kelompok Barang Perumahan dan Fasilitas Perumahan di Pulau Jawa, 2008-2010

Kelompok Barang 2008 2009 2010

Perumahan dan fasilitas perumahan

- Sewa, kontrak, perkiraan sewa rumah 7,14 7,46 7,76

- Pemeliharaan rumah dan perbaikan ringan 0,33 0,25 0,22

- Rekening listrik, air dan bahan bakar 7,55 8,08 8,04

- Rekening telepon, pulsa HP, wartel, pos 0,30 0,53 0,73

Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Panel Modul Konsumsi 2008, 2009, 2010 diolah

Persentase pengeluaran untuk komoditi sewa rumah, listrik, air dan bahan bakar serta komoditi telekomunikasi yang terdiri dari rekening telepon, pulsa HP, wartel dan benda pos cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan yang cukup besar terjadi pada komoditi sewa rumah dan telekomunikasi.

Peningkatan persentase pengeluaran rumah tangga miskin untuk pos dan telekomunikasi terjadi di perdesaan dan perkotaan. Persentase pengeluaran untuk

(9)

pos dan telekomunikasi di perdesaan meningkat hampir tiga kali lipat dari 0,22 persen pada tahun 2008 menjadi 0,61 persen pada tahun 2010 dan di perkotaan meningkat dua kali lipat dari 0,41 persen pada tahun 2008 menjadi 0,87 persen pada tahun 2010. Pada Tabel 4.8. terlihat bahwa peningkatan pengeluaran rumah tangga miskin untuk telekomunikasi terjadi hampir di seluruh propinsi di Pulau Jawa baik itu perdesaan maupun perkotaan hanya persentase peningkatannya saja yang berbeda.

Tabel 4.8. Persentase Pengeluaran per Kapita Rumah Tangga Miskin untuk Komoditi Telekomunikasi Menurut Tipe Wilayah dan Propinsi di Pulau Jawa. 2008-2010

Persentase Pengeluaran Telekomunikasi per kapita sebulan

Propinsi Perkotaan Perdesaan

2008 2009 2010 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) DKI Jakarta 0,91 1,33 1,11 - - -Jawa Barat 0,20 0,44 0,78 0,09 0,19 0,33 Jawa Tengah 0,39 0,63 0,83 0,26 0,52 0,72 DI Yogyakarta 0,70 1,11 1,02 0,54 0,79 1,08 Jawa Timur 0,49 0,76 0,95 0,26 0,52 0,70 Banten 0,31 0,66 0,86 0,05 0,13 0,24 Jawa 0,41 0,67 0,87 0,22 0,43 0,61

Sumber : Susenas Panel Modul Konsumsi 2008-2010 Diolah

Pengeluaran rumah tangga miskin untuk kelompok komoditi telekomunikasi juga secara rata-rata berbeda nyata antara perdesaan dan perkotaan. Rata-rata pengeluaran telekomunikasi rumah tangga miskin di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan yang di perdesaan.

Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi terhadap telekomunikasi rumah tangga miskin di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa rumah tangga miskin baik di perdesaan maupun di perkotaan telah mampu mengkonsumsi komoditi telekomunikasi yang pada awalnya merupakan barang mewah.

4.6. Pangsa Pengeluaran Rokok Rumah tangga Miskin

Komoditi tembakau dan sirih mencakup komoditi rokok, komoditi tembakau dan komoditi sirih. Sekitar 70 persen rumah tangga miskin, kepala

(10)

rumah tangganya mengkonsumsi rokok dimana modus jumlah batang yang dikonsumsi sebanyak 84 batang seminggu atau sekitar 12 batang rokok sehari (hasil susenas diolah).

Merokok merupakan perilaku konsumsi yang mahal biayanya, seperti yang diungkapkan Busch et al.(2004). Rata-rata pengeluaran rokok rumah tangga miskin di Pulau Jawa berdasarkan daerah tempat tinggal berbeda nyata antara perkotaan dan perdesaan. Rata-rata pengeluaran untuk konsumsi rokok lebih tinggi 1,5 kali lipat di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan

Tabel 4.9. Persentase Pengeluaran Perkapita Sebulan untuk Rokok, Tembakau dan Sirih Menurut Tipe Wilayah dan Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2008-2010.

Persentase Pengeluaran per kapita sebulan

Uraian Rokok Tembakau dan Sirih

2008 2009 2010 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) Tipe Wilayah - Perkotaan 4,51 4,84 4,62 5,19 5,30 5,07 - Perdesaan 3,00 3,60 3,85 4,73 4,96 5,08 Propinsi DKI Jakarta 3,83 4,07 3,06 3,83 4,07 3,06 Jawa Barat 4,55 4,87 5,05 5,81 5,76 5,71 Jawa Tengah 3,03 3,10 3,68 4,58 4,36 4,82 DI Yogyakarta 1,38 2,10 2,45 2,86 3,28 3,57 Jawa Timur 3,39 3,88 3,86 4,71 4,92 4,78 Banten 5,25 9,00 7,39 5,55 9,08 7,53 Jawa 3,63 4,11 4,22 4,92 5,10 5,08

Sumber : Susenas Panel Modul Konsumsi 2008-2010 Diolah

Persentase pengeluaran rumah tangga miskin untuk tembakau dan sirih merupakan salah satu persentase terbesar pada rumah tangga miskin di perdesaan maupun di perkotaan yaitu sekitar lima persen. Persentase pengeluaran rokok pada rumah tangga miskin di perkotaan lebih besar dibandingkan dengan perdesaan, namun bila digabungkan dengan persentase pengeluaran untuk tembakau maka persentase pengeluaran untuk kelompok komoditi tembakau dan sirih hampir sama antara rumah tangga miskin di perdesaan dan di perkotaan. Pengeluaran untuk komoditi ini 2,5 kali lipat dari pengeluaran yang dialokasikan untuk kesehatan baik di perdesaan dan perkotaan dan 1,5 kali lipat dari pengeluaran yang dialokasikan untuk pendidikan di perdesaan.

(11)

Secara umum terjadi peningkatan persentase pengeluaran untuk tembakau dan sirih. Rumah tangga miskin di Propinsi Banten mengalokasi pengeluaran untuk tembakau dan sirih paling tinggi di antara propinsi lainnya di Pulau Jawa. Peningkatan persentase pengeluaran untuk kelompok komoditi tembakau dan sirih ini didukung oleh peningkatan persentase pengeluaran untuk rokok. Pada Tabel 4.9. persentase pengeluaran untuk rokok menyumbang lebih dari 75 persen dari persentase pengeluaran untuk komoditi tembakau dan sirih.

4.7. Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Selain pengaruh kondisi daerah tempat tinggal, pola konsumsi juga di pengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu kepala rumah tangga/istri dengan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki perbedaan struktur pengeluaran rumah tangga. Tingkat pendidikan mendorong rumah tangga mengalokasikan pengeluaran kepada pangan yang lebih bermutu.

Persentase kepala rumah tangga miskin di Pulau Jawa pada Tabel 4.10, yang tidak pernah sekolah atau pernah sekolah tetapi tidak lulus SD sekitar 52,8 persen. Kondisi tersebut terutama terjadi di perdesaan 57,6 persen daripada di perkotaan 46,2 persen, sementara kepala rumah tangga yang pendidikannya lebih tinggi dari SD sebanyak 12,7 persen. Pendidikan KRT di atas SD lebih banyak di perkotaan 19,5 persen dibandingkan perdesaan 7,8 persen.

Bila dilihat dari kemampuan membaca dan menulis, kepala rumah tangga miskin yang mampu membaca dan menulis pada tahun 2010 di Pulau Jawa hanya 76 persen dengan persentase lebih besar di perkotaan yaitu 81 persen dibandingkan dengan perdesaan yaitu 72 persen. Berdasarkan propinsi di Pulau Jawa, 95 persen kepala rumah tangga miskin di DKI Jakarta yang dapat membaca, sementara di Jawa Timur hanya 69 persen. Persentase pendidikan KRT yang di atas SD di Propinsi Banten paling rendah dibandingkan propinsi yang lainya.

(12)

Tabel. 4.10. Persentase Kepala Rumah Tangga Miskin Menurut Pendidikan dan kemampuan Membaca dan Menulis Menurut Wilayah dan Propinsi di Pulau Jawa, 2008-2010

Uraian Tidak pernah

sekolah <SD SD >SD Bisa Membaca dan Menulis Wilayah Perkotaan 14,6 31,6 34,3 19,5 81,0 Perdesaan 22,2 35,4 34,6 7,8 72,0 Propinsi DKI Jakarta 6,6 22,4 25,0 46,1 95,0 Jawa Barat 8,1 32,2 47,0 12,7 91,0 Jawa Tengah 22,2 35,6 32,2 9,9 71,0 DI Yogyakarta 19,6 29,2 26,3 24,9 74,0 Jawa Timur 24,7 33,4 29,2 12,8 69,0 Banten 20,9 44,4 25,4 9,4 76,0 Jawa 19,0 33,8 34,5 12,7 76,0

Sumber : Susenas Panel Modul Konsumsi 2008-2010 Diolah

Rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin selain dibedakan menurut daerah perkotaan dan perdesaan juga dibedakan menurut jenjang pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga yaitu kepala rumah tangga berpendidikan SD ke bawah (≤SD) dan kepala rumah tangga yang berpendidikan di atas SD (>SD). Pembedaan jenjang pendidikan dilatarbelakangi oleh asumsi pada umumnya bahwa kepala rumah tangga yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat pendapatan yang lebih baik karena cenderung lebih produktif. Fakta empiris pun memperlihatkan secara statistik bahwa baik di perdesaan maupun di perkotaan, rata-rata pendapatan yang didekati dengan total pengeluaran rumah tangga miskin berbeda nyata berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangganya dimana rata-rata pendapatan/pengeluaran rumah tangga miskin lebih tinggi pada rumah tangga yang KRT-nya berpendidikan di atas SD (Lampiran 4 dan 5). Pada rumah tangga yang pendidikan kepala rumah tangganya lebih tinggi cenderung lebih produktif sehingga pendapatannya lebih tinggi dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah.

Hasil pengujian secara empiris menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi telekomunikasi pada rumah tangga miskin berdasarkan tingkat pendidikan kepala rumah tangga tidak berbeda antara perdesaan maupun perkotaan. Hal ini menujukkan bahwa besarnya pengeluaran telekomunikasi rumah tangga miskin

(13)

dapat dikatakan sama pada rumah tangga miskin di perdesaan maupun di perkotaan.

Hasil yang sama didapatkan pada pengeluaran rokok di perdesaan. Berdasarkan pendidikan kepala rumah tangganya, rumah tangga miskin di perkotaan yang kepala rumah tangganya di atas SD pengeluaran untuk konsumsi rokok nyata lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga miskin yang kepala rumah tangganya berpendidikan SD ke bawah, sementara di perdesaan rata-rata pengeluaran untuk rokok tidak berbeda nyata antara rumah tangga miskin yang kepala rumah tangganya berpendidikan di atas SD dan di bawah SD. Hal ini dimungkinkan rumah tangga miskin di perkotaan lebih banyak mengkonsumsi rokok sementara di perdesaan lebih banyak mengkonsumsi tembakau.

Gambar

Tabel 4.3. Persentase Pengeluaran per Kapita Sebulan untuk Makanan dan Bukan  Makanan Menurut Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2008-2010
Tabel 4.4.  Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita Sebulan Rumah tangga  Miskin Menurut Kelompok Makanan di Pulau Jawa, 2008-2010
Tabel  4.6.  Persentase  Pengeluaran  Rumah  Tangga  Miskin  Sebulan  untuk  Makanan dan Bukan Makanan Menurut Tipe Wilayah di Pulau Jawa  Tahun 2008-2010
Tabel 4.9. Persentase Pengeluaran Perkapita Sebulan untuk Rokok, Tembakau dan  Sirih  Menurut  Tipe  Wilayah  dan  Propinsi  di  Pulau  Jawa  Tahun   2008-2010

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan penting yang berkenaan dengan tingkat pendidikan kepala rumah tangga adalah elastisitas harga sendiri bagi KRT berpendidikan SD ke bawah dan SMP ke atas terhadap

Hipotesis dalam penelitian ini adalah diduga pendapatan, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, biaya kesehatan dan harga rokok yang dikonsumsi pada rumah tangga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat kesejahteraan rumah tangga atau semakin miskin suatu rumah tangga maka semakin condong untuk lebih banyak

Kristina Hariyani Sitompul (120304030) dengan judul skripsi “Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin” Studi Kasus Di Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan,

menyelesaikanskripsidenganjudul “Studi Perbandingan Pola Konsumsi Rumah Tangga Kaya Dan Miskin Di Kota Medan.” Adapun skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat kesejahteraan rumah tangga atau semakin miskin suatu rumah tangga maka semakin condong untuk lebih banyak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya proporsi pengeluaran konsumsi pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga miskin, besarnya tingkat konsumsi

Hasil penelitian menunjukkan Terdapat tiga variabel yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga miskin di Kecamatan Belinyu yaitu pendapatan keluarga, jumlah