• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN

DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

DWI WIDIANIS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014

Dwi Widianis

(4)

RINGKASAN

DWI WIDIANIS. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh R. NUNUNG NURYARTONO dan TONI BAKHTIAR.

Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup, sehingga kecukupan pangan bagi setiap orang pada setiap waktu merupakan hak asasi yang layak dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintah pusat maupun daerah.

Pola konsumsi pangan sangat penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengingat skor Pola Pangan Harapan (PPH) NTT yang rendah dengan menduduki peringkat 32 dari 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2012. Pola konsumsi pangan menggambarkan kombinasi pilihan komoditas yang dikonsumsi rumah tangga miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar sekaligus memenuhi asupan gizi yang cukup dan berimbang.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) periode Maret tahun 2008-2010 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan melakukan analisis terhadap 988 sampel rumah tangga miskin. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif serta analisis ekonometrika dengan model Linear Approximation-Almost Ideal Demand System (LA-AIDS). Variabel-variabel yang digunakan untuk mengestimasi pangsa pengeluaran pangan antara lain: harga komoditas, pendapatan riil, jumlah anggota rumah tangga, wilayah tempat tinggal (perdesaan/perkotaan), tingkat pendidikan kepala rumah tangga, dan tren tahun.

Secara umum, pola konsumsi dipengaruhi oleh harga sendiri, harga komoditas lain, pendapatan, wilayah tempat tinggal (perdesaan/perkotaan), dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga pada taraf nyata 5%. Nilai elastisitas harga sendiri menunjukkan permintaan seluruh komoditas bersifat inelastis. Komoditas jagung dan singkong merupakan barang substitusi bagi beras, selanjutnya jagung, singkong, sayur, dan buah termasuk barang normal. Sedangkan komoditas beras, ikan, daging, telur, dan rokok termasuk barang mewah.

Simulasi 1 terkait program raskin dianggap mampu meningkatkan konsumsi beras, ikan, daging, telur, sayur, dan rokok. Simulasi 2 menunjukkan bahwa program pemerintah terkait pemberian BLT kepada rumah tangga miskin dianggap mampu meningkatkan konsumsi beras, ikan, daging, telur, sayur, dan rokok secara signifikan, sedangkan komoditas makanan lainnya juga mengalami peningkatan yang relatif kecil. Adapun simulasi 3 yang merupakan kombinasi program raskin dan BLT menunjukkan peningkatan permintaan komoditas makanan yang sangat signifikan, sehingga simulasi 3 ini dinilai sebagai simulasi kebijakan yang paling efektif untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga miskin di Provinsi NTT.

(5)

diversifikasi pangan di Provinsi NTT. Jagung dan singkong dapat dijadikan makanan pokok alternatif pengganti beras. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan impor beras dari daerah lain; (2) Pemerintah NTT diharapkan menyusun aturan nyata terkait program penganekaragaman pangan yang semakin mengedepankan potensi pangan pokok lokal.

(6)

SUMMARY

DWI WIDIANIS. Food Consumption Pattern of the Poor Household in Nusa Tenggara Timur Province. Supervised by R. NUNUNG NURYARTONO and TONI BAKHTIAR.

Food is a basic need for humans to be able to sustain life, so that adequate food for all people at all times an adequate rights fulfilled. Food needs for the entire population at any time in an area of food policy became the main target for the central and local governments.

Patterns of food consumption is very important to measure the level of welfare of poor households in Nusa Tenggara Timur (NTT) Province recall score of Hope Food Pattern NTT was ranked low with 32 of the 33 provinces in Indonesia in 2012. Food consumption patterns describe the combination of commodities consumed choice of poor households to meet basic needs as well as fulfill adequate nutrition and balanced.

This study used the data of the National Socio Economic Survey (Susenas) in March period 2008-2010 are sourced from the Central Statistics Agency (BPS) to conduct an analysis of 988 samples of poor households. The analytical method used is descriptive analysis method and analysis of econometric model Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA-AIDS). The variables used to estimate the share of food expenditure include: commodity prices, real income, household size, region of residence (rural/urban), education level of the household head , and the trend of the year.

In general, the pattern of consumption is affected by its own price, prices of other commodities, income, region of residence (rural/urban), and level of education of household head at the 5% significance level. Own price elasticity shows demand for all commodities is inelastic. Maize and cassava are substitutes for rice, then maize, cassava, vegetables, and fruits are normal goods. Meanwhile, rice, fish, meat, eggs, and cigarettes are a luxury item.

Simulation 1 related programs are considered Raskin able to increase the consumption of rice, fish, meat, eggs, vegetables, and cigarettes. Simulation 2 shows that the BLT government programs related to poor households were considered to improve the consumption of rice, fish, meat, eggs, vegetables, and smoking significantly, while other food commodities also increased relatively small. Simulation 3 which is a combination of Raskin and BLT program showed an increase in demand for food commodities significantly, thus simulation 3 is considered as the most effective policy simulations to increase the consumption of poor households in NTT.

Suggested policy implications for local government to improve the welfare of poor households through the fulfillment of the consumption of nutritious food and balanced among others: (1) It needs food diversification program in NTT. Maize and cassava can be used as an alternative staple food rice. This reduces the dependence on rice imports from other regions; (2) The Government of NTT is expected to draw up rules related to real food diversification program which increasingly emphasizes the potential of the local staple food.

(7)
(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN

DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Nama : Dwi Widianis

NIM : H151114114

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi Ketua

Dr Toni Bakhtiar, SSi MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada AllahSubhanahu Wa Ta’alaatas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul “Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi dan Dr Toni Bakhtiar, SSi MSc selaku komisi pembimbing yang dalam kesibukannya masih meluangkan waktu dan dengan penuh kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku penguji di luar komisi dan Dr Ir Sri Mulatsih, MscAgr selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur serta Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan BPS Batch 4 yang senantiasa membantu penulis dalam perkuliahan dan penyelesaian tesis ini. Terima kasih dan perhargaan penulis juga sampaikan kepada Badan Pusat Statistik (BPS) atas ramahnya pelayanan serta data-data yang disediakan untuk tesis ini.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta Tri Mulyani serta dua buah hatiku tersayang Naufal Shalih dan Farah Shalihah, kepada orang tua serta keluarga besar di Surabaya dan Jakarta atas dukungan, doa dan kasih sayangnya.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan penulis. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala

memberikan balasan dengan kebaikan-kebaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis. Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi positif dalam proses pembangunan dan bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Bogor, April 2014

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Kemiskinan 5

Pola Konsumsi Rumah Tangga 5

Tinjauan Teoritis 6

Teori Permintaan 6

Efek Substitusi dan Pendapatan 9

Fungsi Permintaan dengan Variabel Sosial Demografi 10

Tinjauan Empiris 10

Kerangka Pikir 11

Hipotesis Penelitian 12

3 METODE PENELITIAN 13

Jenis dan Sumber Data 13

Metode Analisis 16

Analisis Deskriptif 16

Analisis Model LA-AIDS 16

Spesifikasi Model Penelitian 19

Definisi Variabel Operasional 21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin 22

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Rumah Tangga Miskin 26

Elastisitas Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin 27

Elastisitas Harga Sendiri 27

Elastisitas Harga Silang 28

Elastisitas Pendapatan 29

Elastisitas Jumlah Anggota Rumah Tangga 30

Dampak Subsidi Raskin dan BLT terhadap Konsumsi Pangan 31

5 SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 33

Saran 33

(16)

LAMPIRAN 36

RIWAYAT HIDUP 51

DAFTAR TABEL

1 Pangsa pengeluaran perkapita perbulan rumah tangga miskin menurut tipe wilayah dan kelompok komoditas di NTT tahun 2008-2010 (%) 2 2 Tingkat kemiskinan di Indonesia dan NTT tahun 2008-2013 (%) 3 3 Garis kemiskinan menurut wilayah tempat tinggal di Provinsi NTT

tahun 2008-2010 (rupiah perkapita perbulan) 13

4 Pembagian rumah tangga sampel tahun 2008-2010 14

5 Daftar dan jenis variabel yang digunakan dalam penelitian 15 6 Perkembangan rata-rata jumlah konsumsi makanan rumah tangga

miskin perkapita perbulan menurut komoditas tahun 2008-2010 (kg) 23 7 Pangsa pengeluaran rumah tangga miskin terhadap total pengeluaran

perbulan tahun 2008-2010 (%) 23

8 Pengeluaran makanan perbulan rumah tangga miskin menurut

wilayah tempat tinggal tahun 2008-2010 (rupiah) 24 9 Pengeluaran makanan perbulan rumah tangga miskin menurut tingkat

pendidikan kepala rumah tangga tahun 2008-2010 (rupiah) 25 10 Koefisien penduga parameter model LA-AIDS Provinsi NTT 26 11 Elastisitas harga sendiri komoditas makanan rumah tangga miskin

menurut wilayah dan pendidikan KRT di Provinsi NTT tahun

2008-2010 (%) 28

12 Elastisitas harga silang komoditas makanan rumah tangga miskin

di Provinsi NTT tahun 2008-2010 (%) 29

13 Elastisitas pendapatan komoditas makanan rumah tangga miskin

menurut wilayah dan pendidikan KRT di NTT tahun 2008-2010 (%) 29 14 Elastisitas jumlah anggota rumah tangga pada komoditas makanan

rumah tangga miskin di Provinsi NTT tahun 2008-2010 (%) 30 15 Perubahan permintaan komoditas berdasarkan hasil simulasi di

Provinsi NTT tahun 2008-2010 (%) 32

DAFTAR GAMBAR

1 Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga komoditas A 9

2 Alur kerangka pikir 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Output pengolahan program SAS 36

2 Elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pendapatan dan elastisitas jumlah anggota rumah tangga berdasarkan tahun 41 3 Elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pendapatan

dan elastisitas jumlah anggota rumah tangga berdasarkan wilayah dan

(17)

4 Elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pendapatan dan elastisitas jumlah anggota rumah tangga berdasarkan pendidikan

KRT dan tahun 46

5 Elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pendapatan dan elastisitas jumlah anggota rumah tangga berdasarkan wilayah dan

(18)
(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup, sehingga kecukupan pangan bagi setiap orang pada setiap waktu merupakan hak asasi yang layak dipenuhi. Pangan seringkali dianggap sebagai komoditas yang strategis dan mencakup hal-hal yang bersifat ekonomi, sosial, bahkan politik (Amang 1995). Berdasarkan kenyataan tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintah pusat maupun daerah.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam pembangunan pertanian. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu provinsi di Indonesia juga menghadapi tantangan yang sama dalam menghadapi pemenuhan kebutuhan pangan secara regional.

Undang Nomor 7 Tahun 1996 yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan pangan dalam arti luas mencakup makanan dari hasil-hasil tanaman dan ternak serta ikan baik produk primer maupun olahan. Tingkat ketersediaan pangan untuk konsumsi energi dan protein diukur dalam satuan kilokalori dan gram. Konsumsi energi dan protein di tingkat nasional pada tahun 2010 sebesar 1925.61 kilokalori perkapita perhari dan 55.01 gram perkapita perhari, sedangkan pada level Provinsi NTT sebesar 1960.28 kilo kalori perkapita perhari dan 54 gram perkapita perhari (Badan Pusat Statistik 2011). Angka tersebut telah melebihi standar kecukupan protein tetapi kurang memenuhi standar kecukupan energi yang direkomendasikan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 masing-masing sebesar 2000 kilokalori untuk standar kecukupan energi dan 52 gram untuk standar kecukupan protein. Hal ini mengindikasikan pemenuhan asupan gizi masyarakat belum optimal dalam kerangka mewujudkan stabilitas pangan nasional dan regional.

Konsumsi pangan merupakan kegiatan mendasar dan perilaku utama bagi pemenuhan kebutuhan dasar individu dan rumah tangga. Konsumsi pangan sebagai bentuk kegiatan sehari-hari yang akan mencerminkan gambaran pola konsumsi pangan dalam memenuhi kecukupan pangan baik jumlah maupun kualitas pangan. Pola konsumsi dapat dijadikan acuan dalam mengukur indikator kesejahteraan penduduk seperti status kesehatan penduduk, status gizi penduduk, dan status kemiskinan penduduk.

(20)

2

adalah rumah tangga miskin (Seale et al. 2003). Rumah tangga miskin dapat dikatakan sebagai rumah tangga yang memiliki pendapatan rendah. Pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli juga rendah, sehingga rumah tangga miskin melakukan pilihan dalam membelanjakan pendapatannya bahkan mungkin harus meniadakan beberapa kebutuhan dasar lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar tertentu (Sengul dan Tuncer 2005).

Tabel 1 Pangsa pengeluaran perkapita perbulan rumah tangga miskin menurut tipe wilayah dan kelompok komoditas di NTT tahun 2008-2010 (%)

Tahun Pangan Nonpangan

Desa Kota Desa+Kota Desa Kota Desa+Kota

2008 72.69 63.30 67.00 27.31 36.70 33.00

2009 70.49 66.76 68.58 29.51 33.24 31.42

2010 71.19 62.61 66.07 28.81 37.39 33.93

Sumber: BPS (2008-2010)

Pola konsumsi rumah tangga menggambarkan alokasi pengeluaran komoditas pangan dan nonpangan. Tabel 1 menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan lebih besar daripada pengeluaran nonpangan baik di desa maupun kota di NTT. Secara umum pengeluaran pangan rumah tangga miskin mencapai lebih dari 60%, sedangkan pengeluaran nonpangan di kisaran 30% dari total pengeluaran rumah tangga miskin.

Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Kemiskinan menjadi permasalahan dunia yang menarik perhatian bagi banyak negara untuk segera mencari solusi penanggulangannya. Kepedulian dunia dalam upaya menanggulangi kemiskinan diwujudkan dengan diselenggarakannya Deklarasi Millenium (Millenium Declaration) pada bulan September tahun 2000 yang diikuti oleh 189 negara anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) termasuk Indonesia. Deklarasi

Millenium Development Goals (MDGs) menempatkan pengentasan kemiskinan dan kelaparan sebagai tujuan pertama dari 8 butir kesepakatan dalam deklarasi (UNDP 2003).

Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam perekonomian. Masih tingginya angka kemiskinan mengindikasikan bahwa kegiatan pembangunan belum berhasil sepenuhnya, karena salah satu tujuan dari pembangunan adalah memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat. Kegiatan pembangunan yang tidak mengubah kondisi kemiskinan akan menyisakan masalah yang memicu permasalahan sosial. Oleh karena itu kemiskinan selalu menjadi agenda pembangunan, seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) periode 2004-2009.

(21)

3

kemiskinan tersebut masih tergolong tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia yakni Provinsi NTT masih berada pada peringkat keempat provinsi termiskin di Indonesia sepanjang tahun 2008 hingga 2013. Angka kemiskinan NTT juga lebih tinggi dari rata-rata angka nasional selama kurun waktu 2008-2013, meskipun ada kecenderungan menurun.

Tabel 2 Tingkat kemiskinan di Indonesia dan NTT tahun 2008-2013 (%)

Tahun Indonesia NTT Peringkat

termiskina

2008 15.42 25.65 4

2009 14.15 23.31 4

2010 13.33 23.03 4

2011 12.49 21.23 4

2012 11.96 20.88 4

2013 11.37 20.03 4

Keterangan:adibandingkan dengan 33 provinsi di Indonesia Sumber: BPS (2008-2013)

Pola konsumsi dapat mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Pola konsumsi rumah tangga miskin sangat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu adanya perubahan harga dan pendapatan. Teorema Engel menyatakan pangsa pengeluaran pangan akan menurun seiring dengan peningkatan pendapatan. Pendapatan yang meningkat berarti daya beli juga meningkat sehingga mempengaruhi perubahan pola konsumsi baik konsumsi pangan maupun nonpangan. Peningkatan pendapatan memberikan kesempatan besar untuk asupan makanan yang lebih banyak dan kualitas makanan yang lebih baik. Dari hasil penelitian di 114 negara di dunia didapatkan bahwa negara miskin menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan seperti makanan, minuman dan tembakau serta lebih responsif terhadap perubahan harga dan pendapatan. Penyesuaian besar terhadap pola konsumsi pangan dilakukan ketika terjadi perubahan harga dan pendapatan (Seale et al. 2003; Sengul dan Tuncer 2005; Haqet al.2008).

Berdasarkan pertimbangan kondisi dan peluang potensi pengembangan keanekaragaman konsumsi pangan lokal di NTT, maka pola konsumsi berbasis pangan pokok lokal perlu diubah secara bertahap dengan mempertimbangkan ketersediaan pangan, pengetahuan, dan daya beli masyarakat. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) bahwa program peningkatan ketahanan pangan mencakup peningkatan keanekaragaman pada subsistem produksi juga subsistem konsumsi pangan sampai pada tingkat rumah tangga (Suryana 2001).

(22)

4

persentase pengeluaran rumah tangga terhadap permintaan beras di Provinsi NTT mencapai kisaran 33% dengan tren yang meningkat.

Perumusan Masalah

Konsumsi pangan merupakan hal penting dalam menunjang pemenuhan gizi masyarakat maupun rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga miskin dipengaruhi berbagai faktor antara lain harga, pendapatan, dan karakteristik sosial demografi. Pola konsumsi rumah tangga miskin menggambarkan alokasi pengeluaran untuk pangan dan nonpangan pada rumah tangga miskin. Konsumsi pangan di rumah tangga miskin lebih besar dibandingkan dengan konsumsi non pangan. Kebutuhan akan konsumsi non pangan kadang terpinggirkan guna memenuhi konsumsi pangan.

Sumarwan dan Sukandar (1998) menyatakan bahwa besar kecilnya pendapatan akan menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi oleh suatu rumah tangga, kemudian jenis pangan tersebut akan menentukan pola konsumsinya. Kahar (2010) menyatakan bahwa keragaman konsumsi masyarakat di wilayah perdesaan dan perkotaan berbeda dikarenakan perbedaan fasilitas dan aksesibilitas suatu wilayah.

Respon perubahan konsumsi pangan akibat perubahan harga, pendapatan, dan jumlah anggota rumah tangga sebagai karakteristik sosial demografi dapat dilihat dari besaran elastisitas. Ukuran elastisitas ini meliputi elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pendapatan (pengeluaran) maupun elastisitas jumlah anggota rumah tangga merupakan ukuran yang penting untuk melihat pola konsumsi pangan rumah tangga miskin di NTT.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran pola konsumsi pangan rumah tangga miskin di NTT? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pola konsumsi pangan rumah

tangga miskin di NTT?

3. Bagaimana respon perubahan konsumsi pangan rumah tangga miskin akibat perubahan harga, pendapatan, dan karakteristik sosial demografi di NTT?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan pola konsumsi pangan rumah tangga miskin di NTT; 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan

rumah tangga miskin di NTT;

3. Menganalisis perubahan konsumsi pangan rumah tangga miskin akibat perubahan harga, pendapatan, dan karakteristik sosial demografi di NTT.

Manfaat Penelitian

(23)

5

penelitian lebih lanjut. Selanjutnya bagi penulis, penelitian ini merupakan sarana untuk mendalami ilmu di bidang ekonomi terkait konsumsi rumah tangga miskin.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kemiskinan

Kemiskinan memiliki pengertian yang luas. Secara umum definisi kemiskinan meliputi kemiskinan secara relatif dan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan (Damanhuri 2010). Sedangkan Ravallion (1992) menyatakan kemiskinan relatif mengacu pada posisi tingkat pendapatan seseorang atau rumah tangga dibandingkan dengan pendapatan rata-rata di suatu negara. Adapun kemiskinan absolut merupakan kondisi miskin yang ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan dasar minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja dengan menghitung jumlah penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan (BPS 2009a).

Chambers (1995) menegaskan bahwa kemiskinan absolut merupakan kondisi seseorang yang mengalami kekurangan akan kebutuhan fisik, aset, dan pendapatan untuk dapat hidup sejahtera. Todaro dan Smith (2006) menyatakan kemiskinan absolut adalah kondisi seseorang yang pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai orang yang pendapatannya di bawah US$ 1 perhari.

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kebutuhan dasar ini merupakan kebutuhan minimum seseorang dapat hidup dengan layak. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Berdasarkan konsep ini, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita di bawah garis kemiskinan.

Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan dan penghitungannya dilakukan secara terpisah antara daerah perkotaan dan perdesaan. Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan nilai 2100 kilokalori perkapita perhari. Sedangkan garis kemiskinan nonmakanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.

Pola Konsumsi Rumah Tangga

(24)

6

Demikian pula halnya bila harga barang yang dikehendaki berubah. Hal ini menjadi kendala bagi rumah tangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat konsumsi akan suatu barang berbeda pula, sehingga membentuk pola konsumsi yang berbeda antar rumah tangga.

Satu cara untuk mengkaji pola konsumi rumah tangga adalah dengan menganalisis tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut. Pengetahuan mengenai jenis-jenis barang yang dikonsumsi masyarakat dapat dijadikan dasar bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, terutama terkait ketersediaan yang cukup dan pemenuhan gizi yang optimal.

Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi NTT mencatat skor Pola Pangan Harapan (PPH) Provinsi NTT mencapai 67.8 (menduduki peringkat 32 dari 33 provinsi) pada tahun 2012. Capaian ini mengindikasikan konsumsi pangan masyarakat NTT belum beragam dan seimbang menurut asupan gizi yang dianjurkan. Retnaningsih (2007) menyatakan bahwa rumah tangga dengan kemandirian pangan tinggi mempunyai skor PPH yang lebih baik dibandingkan lainnnya. Kemandirian pangan rumah tangga merupakan dasar ketahanan dan kemandirian pangan daerah.

Rumah tangga didefinisikan sebagai seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus, dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumah tangga umumnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak disebut sebagai rumah tangga biasa. Anggota rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah tangga (BPS 2009b).

Setiap anggota rumah tangga membutuhkan berbagai komoditas baik makanan maupun nonmakanan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain, setiap anggota rumah tangga akan mengkonsumsi berbagai komoditas makanan maupun nonmakanan setiap hari. Hal ini mendorong terjadinya aktivitas ekonomi berupa permintaan dan penawaran suatu barang atau jasa.

Permintaan/konsumsi pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan untuk mengkonsumsi barang atau jasa tersebut. Kemampuan tersebut ditentukan terutama oleh pendapatan dari rumah tangga dan harga barang yang dikehendaki. Apabila jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan berubah maka jumlah barang yang diminta juga akan berubah. Demikian pula halnya bila harga barang yang dikehendaki berubah maka jumlah permintaan terhadap barang tersebut juga berubah. Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat konsumsi akan suatu barang berbeda pula, sehingga membentuk pola konsumsi yang berbeda antar rumah tangga.

Tinjauan Teoritis

Teori Permintaan

(25)

7

Konsumen diasumsikan mempunyai sifat rasional yaitu bertujuan memaksimumkan utilitasnya berdasarkan batasan jumlah pendapatan atau anggaran belanja yang dimiliki. Konsumen akan memilih berbagai kombinasi sejumlah n barang dengan kendala anggaran. Fungsi permintaan konsumen V

yang disesuaikan dengan kendala anggaranߣdituliskan secara matematis sebagai berikut:

ܸ௜ = ݂(ݍଵݍଶ… .ݍ௡) +ߣ(ݕ− ∑௡௜ୀଵ݌௜ݍ௜) , (2.1) dengan y adalah pendapatan (tetap),݌ adalah harga barang ke-i, qi adalah kuantitas barang ke-i, dan λ adalah marjinal utilitas dari pendapatan.

Fungsi permintaan ini disebut sebagai fungsi permintaan Marshallian (Marshallian Demand Function) atau disebut juga uncompensated demand function yang menyatakan bahwa suatu besaran konsumsi atau permintaan komoditas oleh seorang konsumen dipengaruhi oleh tingkat harga komoditas tersebut, harga komoditas lain, dan pendapatan. Bentuk yang lain adalah fungsi permintaan Hicksian (Hicksian demand function) yang diperoleh dari minimisasi pengeluaran pada tingkat utilitas tertentu (konstan).

Kesimpulan penting dari fungsi permintaan Marshallian adalah permintaan terhadap komoditas apapun merupakan fungsi single-value dari harga-harga dan pendapatan, dan fungsi permintaan adalah homogen derajat nol dalam harga dan pendapatan di mana bila semua harga dan pendapatan berubah dalam proporsi yang sama maka jumlah barang yang diminta tetap, tidak akan berubah (Henderson dan Quandt 1980). Kesimpulan pertama merupakan nilai maksimum dari turunan pertama fungsi utilitas yang ditunjukkan dengan nilai Rate of Commodity Subtitution (RCS) sama dengan rasio harga. Kesimpulan yang kedua menunjukkan bahwa syarat turunan kedua harus terpenuhi. Dalam permintaan n

barang turunan kedua menghasilkan penurunan RCS antara tiap pasang komoditas.

Dalam model permintaan untuk n komoditas maka elastisitas yang dihasilkan harus memenuhi kondisi (Henderson dan Quandt 1980):

1. Homogenitas

Persyaratan yang menyebutkan bahwa jika pendapatan dan harga berubah dalam proporsi yang sama, maka permintaan terhadap suatu komoditas tidak akan berubah. Hal ini merupakan implikasi dari sifat fungsi permintaan yang homogen berderajat nol terhadap harga dan pendapatan. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut:

ܧ௜௜+∑௡௝ୀଵܧ௜௝+ܧ௬ = 0݅,݆,ݕ= 1,2, … ,݊ , (2.2)

dengan Eiiadalah elastisitas harga sendiri, Eijadalah elastisitas harga silang danEyadalah elastisitas pendapatan.

2. Agregasi Cournot

Agregasi cournot merupakan rata-rata tertimbang dari elatisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang sebuah komoditas dengan penimbang rata-rata pangsa pendapatan atau proporsi pengeluaran barang tersebut terhadap total pengeluaran, sama dengan negatif dari pangsa pendapatan barang tersebut, sebagai berikut :

∑௜ୀଵ௡ ݓෝ௜ܧ௜௝ = −ݓෝ௝ ݅,݆= 1,2, … ,݊ , (2.3)

(26)

8

harga silang. Untuk fungsi permintaan terkompensasi (Hicksian Demand Function) maka aggregasi Cournot harus sama dengan nol. Dinotasikan dengan rumus :

∑௡௜ୀଵݓෝ௜ξ௜௝ = 0݅,݆= 1,2, … ,݊ , (2.4)

di mana ξ௜௝ adalah elatisitas harga silang terkompensasi.

3. Agregasi Engel

Agregasi Engel menunjukkan hubungan antara elastisitas pendapatan dengan berbagai komoditas yang dibelanjakan konsumen. Jumlah elastisitas pendapatan tertimbang semua komoditas yang dibelanjakan konsumen sama dengan satu. Dinotasikan dengan rumus:

∑௡௜ୀଵݓෝ௜ܧ௜௬ = 1 , (2.5)

di manaܧ௜௬ adalah elastisitas pendapatan. 4. Negativitas danSlutsky Condition

Perubahan harga akan menyebabkan perubahan pendapatan riil. Dampak perubahan ini bisa dipisahkan atas pengaruh substitusi (substitution effect) dan pengaruh pendapatan (income effect). Slutsky-schultz condition adalah bahwa nilai elastisitas harga sendiri dariuncompensated demandakan sama nilainya dengan elastisitas harga sendiri dari compensated demand dikurangi dengan elastisitas pendapatan yang sudah dikali dengan proporsi pengeluaran komoditas ke-i. PersamaanSlutskydirumuskan sebagai berikut:

ܧ௜௜ =∑୬୧ୀଵ ௜௜ξ −ݓෝ௜ܧ௜௬݅= 1,2, … ,݊ , (2.6)

di mana Eii adalah elastisitas harga sendiri uncompensated, ξ௜௜ adalah elatisitas harga sendiricompensated,danܧ௜௬adalah elastisitas pendapatan. Pengaruh substitusi merupakan pengaruh negatif, yang merupakan syarat negativitas Slutsky. Syarat simetri Slutsky menyatakan bahwa apabila pendapatan riil konstan, pengaruh substitusi akibat perubahan harga komoditas ke-j terhadap permintaan komoditas ke-i sama dengan pengaruh substitusi akibat perubahan harga komoditas ke-i terhadap permintaan komoditas ke-j. Efek substitusi dari komoditas ke-i dan j tersebut bersifat simetri, dan kondisi simetri dapat ditulis sebagai berikut:

ݓෝ௜(ܧ௜௝+ݓෝ௝ܧ௜௬) =ݓෝ௝(ܧ௝௜ +ݓෝ௜ܧ௝௬). (2.7)

Elastisitas didefinisikan sebagai ukuran persentase perubahan pada suatu variabel yang disebabkan oleh perubahan satu persen variabel yang lain. Elastisitas permintaan menunjukkan persentase perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan satu persen variabel yang memengaruhinya, sementara kondisi lainnya diasumsikan tidak berubah (ceteris paribus). Jika dilihat dari penyebab perubahan permintaan, elastisitas dikelompokkan menjadi elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pendapatan (Salvatore 1997). Dalam penelitian ini ditambahkan elastisitas jumlah anggota rumah tangga sebagai pendekatan variabel sosial demografi.

Elastisitas harga sendiri merupakan persentase perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan harga barang itu sendiri. Sesuai dengan hukum permintaan, kenaikan harga menyebabkan turunnya jumlah barang yang diminta. Sebaliknya, turunnya harga barang tersebut akan menyebabkan kenaikan jumlah barang yang diminta. Sehingga, elastisitas harga sendiri mempunyai tanda negatif. Nilai elastisitas dapat membedakan barang menjadi beberapa sifat antara lain:

(27)

9

elastis). Elastisitas harga silang menunjukkan persentase perubahan jumlah barang yang diminta disebabkan oleh perubahan harga barang lain. Nilai elastisitas harga silang tergantung pada hubungan kedua barang tersebut, yakni memiliki sifat barang pelengkap (komplementer) dengan nilai elastisitas < 0, barang pengganti (substitusi) dengan nilai elastisitas > 0, atau tidak ada hubungan kegunaan pada kedua barang tersebut (netral) jika nilai elastisitas harga silangnya = 0.

Elastisitas pendapatan menunjukkan ukuran respon permintaan konsumen terhadap suatu komoditas akibat adanya perubahan pendapatan konsumen. Nilai elastisitas pendapatan dapat dipergunakan untuk mengelompokkan suatu barang apakah termasuk barang inferior, barang normal, atau barang mewah. Nilai

elastisitas dapat dibedakan menjadi: ε < 0 (barang tersebut termasuk barang inferior), 0 < ε <1 (barang tersebut termasuk barang normal atau pokok) dan ε > 1

(barang tersebut termasuk barang mewah). Elastisitas jumlah anggota rumah tangga merupakan ukuran respon permintaan konsumen terhadap suatu komoditas akibat adanya perubahan jumlah anggota rumah tangga sebagai salah satu karakteristik sosial demografi.

.

Efek Substitusi dan Pendapatan

Pengaruh perubahan harga terhadap permintaan akan menimbulkan dua efek, yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Maksimisasi utilitas dengan asumsi barang normal adalah turunnya harga barang akan meningkatkan jumlah barang yang dibeli. Hal ini dikarenakan efek substitusi menyebabkan jumlah barang yang dibeli akan lebih banyak sehingga utilitas konsumen bergerak sepanjang kurva indiferen dan efek pendapatan menyebabkan jumlah barang yang dibeli lebih banyak karena harga menurun sehingga meningkatkan daya beli. Sehingga utilitas konsumen bergerak ke kurva indiferen yang lebih tinggi (Nicholson 1995).

Sumber: Nicholson (1995)

Gambar 1 Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga komoditas A

(28)

10

Gambar 1 memperlihatkan bahwa awalnya konsumen memperoleh utilitas maksimum dengan mengkonsumsi komoditas A sebanyak X1 dan komoditas B

sebanyak Y1. Saat terjadi penurunan harga komoditas A sementara harga

komoditas B tetap, maka terjadi pergeseran utilitas (E1→F) di mana konsumen

akan mengkonsumsi lebih banyak komoditas A yaitu di titik C dan mengurangi konsumsi komoditas B (Y1→D). Efek ini disebut efek substitusi di mana terjadi

penggantian/substitusi antara komoditas A dan komoditas B.

Penurunan harga komoditas A akan menyebabkan seolah-olah pendapatan konsumen meningkat, sehingga konsumen mampu membeli lebih banyak komoditas dan mencapai tingkat utilitas yang lebih tinggi. Konsumsi komoditas A dan komoditas B masing-masing meningkat menjadiX1 dan X2. Efek inilah yang

disebut dengan efek pendapatan. Penjumlahan dari kedua efek ini disebut efek total permintaan suatu komoditas karena terjadi perubahan harga.

Efek substitusi dan efek pendapatan dapat digunakan untuk menentukan tipe/jenis komoditas. Efek pendapatan mampu menjelaskan sifat suatu komoditas sebagai barang normal, inferior, atau giffen. Barang normal mempunyai efek pendapatan positif dan barang inferior memiliki efek pendapatan negatif. Apabila efek pendapatan negatif lebih besar daripada nilai absolut dari efek substitusi maka barang ini disebut barang giffen.

Dua komoditas dikatakan bersifat substitusi bila peningkatan harga salah satu komoditas menyebabkan peningkatan permintaan komoditas lainnya. Sedangkan kedua komoditas dikatakan bersifat komplementer bila peningkatan harga salah satu komoditas mengakibatkan penurunan permintaan komoditas lainnya.

Fungsi Permintaan dengan Variabel Sosial Demografi

Besarnya konsumsi komoditas selain dipengaruhi oleh harga dan pendapatan, juga dipengaruhi oleh karakteristik sosial demografi. Perbedaan karakteristik sosial demografi dapat menyebabkan perbedaan preferensi terhadap suatu komoditas yang berakibat pada perbedaan pola konsumsi. Karakteristik sosial demografi di antaranya tingkat pendidikan kepala rumah tangga, lokasi tempat tinggal, jumlah anggota rumah tangga, dan sebagainya.

Kahar (2010) menyimpulkan adanya perbedaan pola konsumsi antara rumah tangga yang tinggal di perdesaan dengan rumah tangga yang tinggal di perkotaan. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga dan semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga, maka jumlah permintaan terhadap komoditas ikan/daging/telur/susu di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.

Triana (2011) juga menyimpulkan bahwa karakteristik sosial demografi seperti jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan wilayah tempat tinggal berpengaruh terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin. Sementara itu, rumah tangga dengan pendidikan kepala rumah tangga yang lebih tinggi memiliki total pengeluaran yang lebih tinggi pula.

Tinjauan Empiris

(29)

11

makanan pada rumah tangga miskin di Turki. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa respon permintaan antarkelompok makanan bervariasi antara rumah tangga miskin dan sangat miskin. Pengeluaran untuk komoditas roti, padi-padian dan gula sangat tinggi dan pengeluaran untuk ikan, daging dan lemak sangat rendah pada rumah tangga sangat miskin. Ketersediaan pangan pada rumah tangga sangat miskin sangat responsif terhadap perubahan harga dan pendapatan dibandingkan rumah tangga miskin.

Seale et al. (2003) menggunakan model LA-AIDS meneliti pola konsumsi makanan di 114 negara meliputi negara berpendapatan rendah, sedang, dan tinggi. Hasil penelitiannya adalah negara berpendapatan rendah lebih responsif terhadap perubahan harga dan pendapatan. Negara-negara berpenghasilan rendah/miskin menghabiskan sebagian besar anggarannya pada kebutuhan makanan terutama makanan pokok (sereal).

Ariningsih (2004) menggunakan model LA-AIDS meneliti tentang perbedaan dan besarnya konsumsi pangan hewani seperti telur, daging antara daerah perkotaan dan perdesaan di Jawa. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa pangsa pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani sangat rendah tetapi sangat tinggi untuk pangan sumber protein nabati. Pola pengeluaran rumah tangga untuk komoditas telur, daging, ikan pada daerah perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan.

Busch et al. (2004) menggunakan model LA-AIDS meneliti pengeluaran tembakau terhadap pola konsumsi rumah tangga di Amerika Serikat. Hasil penelitiannya adalah variabel harga rokok berpengaruh positif terhadap permintaan makanan pada rumah tangga, untuk beberapa amatan berpengaruh negatif pada pengeluaran untuk pakaian dan perumahan.

Kerangka Pikir

Kemiskinan merupakan indikator yang terkait dengan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah tangga miskin merupakan rumah tangga dengan pendapatan perkapita perbulan lebih rendah dari standar kebutuhan minimum yang digambarkan dengan garis kemiskinan.

Rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari memiliki perilaku atau kebiasaan konsumsi yang disebut dengan pola konsumsi. Pola konsumsi rumah tangga miskin terhadap suatu komoditas dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya harga komoditas, harga komoditas lainnya, besarnya pendapatan serta karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin seperti pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, dan lokasi/wilayah tempat tinggal rumah tangga miskin tersebut.

(30)

12

Gambar 2 Alur kerangka pikir

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori dan literatur, dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Harga dan pendapatan mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin di NTT;

2. Terdapat perbedaan pola konsumsi antara rumah tangga miskin yang tinggal di daerah perdesaan dengan perkotaan di NTT;

3. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin di NTT;

4. Jumlah anggota rumah tangga mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin di NTT.

Jumlah Anggota Rumah Tangga

Pendidikan Kepala Rumah Lokasi/Wilayah

Pendapatan Harga komoditas

lain Harga komoditas

Implikasi Kebijakan

Fungsi Permintaan (LA-AIDS) Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin

(31)

13

3 METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data yang bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008-2010 periode Maret. Data yang digunakan adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga dan karakteristiknya dengan cakupan Provinsi NTT. Jumlah sampel rumah tangga Susenas di Provinsi Nusa Tenggara Timur dari tahun 2008-2010 masing-masing sebesar 1656, 1674, dan 1740 rumah tangga.

Konsep kemiskinan diukur dengan menggunakan garis kemiskinan menurut wilayah perdesaan maupun perkotaan di Provinsi NTT yang ditentukan berdasarkan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach). BPS (2011) mencatat besaran garis kemiskinan perdesaan di Provinsi NTT pada tahun 2008, 2009, dan 2010 berturut-turut sebesar 126746, 142478, dan 160743 rupiah perkapita perbulan, sedangkan garis kemiskinan perkotaan di Provinsi NTT pada tahun 2008, 2009, dan 2010 berturut-turut sebesar 199006, 218796, dan 241807 rupiah perkapita perbulan seperti yang disajikan Tabel 3.

Tabel 3 Garis kemiskinan menurut wilayah tempat tinggal di Provinsi NTT tahun 2008-2010 (rupiah perkapita perbulan)

Tahun Garis kemiskinan

Perdesaan Perkotaan

2008 126 746 199 006

2009 142 478 218 796

2010 160 743 241 807

Sumber: BPS (2011)

Proses pengkategorian sampel rumah tangga Susenas menjadi rumah tangga miskin dan rumah tangga tidak miskin dengan cara sebagai berikut:

1. Membuat garis kemiskinan baik garis kemiskinan perdesaan maupun garis kemiskinan perkotaan;

2. Menghitung total pengeluaran rumah tangga sampel Susenas sebagai proksi terhadap tingkat pendapatan rumah tangga;

3. Membagi total pengeluaran rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga untuk mendapatkan pengeluaran perkapita;

4. Mengkategorikan rumah tangga yang memiliki pengeluaran perkapita lebih kecil dari garis kemiskinan menjadi rumah tangga miskin sedangkan rumah tangga dengan pengeluaran perkapita di atas garis kemiskinan disebut rumah tangga tidak miskin;

5. Menjadikan rumah tangga miskin menjadi unit analisis.

(32)

14

miskin di tahun 2008, 296 rumah tangga miskin tahun 2009 dan 339 rumah tangga miskin di tahun 2010 seperti yang disajikan Tabel 4.

Tabel 4 Pembagian rumah tangga sampel tahun 2008-2010

Jumlah sampel 2008 2009 2010 Total

Rumah tangga 1 656 1 674 1 740 5 070

Rumah tangga

miskin 353 296 339 988

Sumber: Susenas Panel (2008-2010), diolah.

Susenas mengumpulkan data kor dan data modul konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga. Data yang dikumpulkan dalam kor antara lain keterangan anggota rumah tangga, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sosial ekonomi lainnya. Sedangkan susenas modul konsumsi berisi tentang kuantitas dan nilai konsumsi makanan yang mencakup 215 komoditas dengan 14 subkelompok komoditas. Ke-14 subkelompok komoditas tersebut adalah: padi-padian, umbi-umbian, ikan/udang/kerang, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, serta tembakau dan sirih.

Pengeluaran/konsumsi rumah tangga untuk nonmakanan mencakup 108 item pengeluaran dengan subkelompok sebanyak 6 subkelompok item yaitu: perumahan dan fasilitas rumah tangga, barang dan jasa, pakaian/alas kaki dan tutup kepala, barang-barang tahan lama, pajak dan asuransi, serta keperluan pesta dan upacara serta berisikan pendapatan, penerimaan, dan pengeluaran bukan konsumsi.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain variabel harga, pangsa pengeluaran per komoditas terpilih, dan pendapatan (didekati oleh nilai pengeluaran). Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Asumsi rutinitas. Data konsumsi Susenas mencatat transaksi pengeluaran rumah tangga dalam kurun waktu seminggu yang lalu (untuk makanan) dan perbulan terakhir (untuk non makanan). Situasi ekonomi pada saat pengumpulan data seperti gejolak harga, inflasi, musim panen, musim kemarau, sebenarnya mempengaruhi asumsi rutinitas konsumsi rumah tangga. Akan tetapi, hal ini secara teori dimungkinkan untuk dilakukan.

2. Data pendapatan tidak diperoleh, sehingga nilai pendapatan didekati dengan pengeluaran. Pengeluaran konsumsi merupakan pengeluaran konsumsi selama perbulan yang diproksikan dari pengeluaran seminggu yang lalu untuk komoditas makanan dan pengeluaran perbulan yang lalu untuk komoditas bukan makanan.

3. Justifikasi nilai konsumsi terhadap beberapa rumah tangga (dikarenakan tidak semua rumah tangga mengkonsumsi kelompok makanan yang dipilih). Rumah tangga yang tidak mengonsumsi suatu komoditas dilakukan justifikasi nilai pengeluaran dengan menggunakan harga minimum dengan kuantitas yang sangat kecil yaitu 0.00001.

(33)

15

justifikasi dengan membagi nilai pengeluaran dengan indeks harga konsumen pada tahun tersebut.

5. Nilai harga untuk komoditas makanan merupakan harga implisit yang dihasilkan dari perbandingan nilai pengeluaran konsumsi terhadap kuantitas makanan. Konversi satuan dilakukan untuk beberapa komoditas, sehingga setiap kelompok komoditas memiliki satuan yang sama.

Model LA-AIDS digunakan untuk memperkirakan pola konsumsi rumah tangga miskin dengan memasukkan variabel penjelas. Estimasi model dilakukan dengan memberikan bobot/penimbang pada setiap rumah tangga agar sampel rumah tangga dapat mewakili populasinya. Adapun variabel yang digunakan (sesuai ketersediaan data) adalah:

1. Nilai pangsa pengeluaran untuk setiap komoditas pilihan perkapita perbulan per rumah tangga (interval). Cakupan komoditas yang dipilih didasarkan pada konsumsi pangan pokok masyarakat NTT, yaitu beras, jagung, dan singkong. Komoditas tambahan yaitu ikan, daging, telur, sayur, buah dan rokok digunakan untuk menganalisis barang komplementer dari pangan pokok utama. Jadi, secara keseluruhan diteliti 9 komoditas. Pemilihan komoditas yang diteliti didasarkan pada kelompok makanan yang sering dikonsumsi sekaligus mewakili pangan sumber karbohidrat dan protein.

2. Harga setiap komoditas yang secara implisit didekati dengan nilai pengeluaran dibagi kuantitas konsumsi (interval).

3. Nilai total pengeluaran perkapita perbulan sebagai pendekatan dari pendapatan perkapita perbulan (interval). Hal ini didasarkan dengan asumsi bahwa semua pendapatan perbulan habis seluruhnya digunakan untuk konsumsi, tanpa ada tabungan.

4. Jumlah anggota rumah tangga (interval). 5. Variabeldummyyang menunjukkan:

a. tipe wilayah tempat tinggal, yaitu perdesaan=0, perkotaan=1 (nominal) b. tingkat pendidikan kepala rumah tangga (KRT), yaitu: ≤SD=0, >SD=1

(nominal)

6. Variabel tren tahun, yaitu : 2008, 2009, 2010 (ordinal).

Adapun secara ringkas daftar dan jenis variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan pada Tabel 5.

Tabel 5 Daftar dan jenis variabel yang digunakan dalam penelitian

Variabel Skala Satuan

Pangsa pengeluaran Interval Persen

Harga komoditas Interval Rupiah

Pendapatan riil Interval Rupiah

Jumlah anggota rumah tangga Interval Orang

(34)

16

Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis ekonometrika dengan menggunakan model LA-AIDS. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program aplikasi Microsoft Excel, Microsoft Access, dan SAS 9.1.3.

Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan pemaparan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis deskriptif ini digunakan untuk memberikan gambaran tentang pola konsumsi rumah tangga miskin serta peranan dari karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin seperti jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga serta wilayah tempat tinggal terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin di Provinsi NTT.

Analisis Model LA-AIDS

Metode analisis model LA-AIDS dapat digunakan untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel sosial demografi. Model ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-2 dan ke-3. Tujuan ke-2 didasarkan dari hasil estimasi koefisien sistem persamaan LA-AIDS sedangkan tujuan ke-3 dijawab menggunakan nilai elastisitas yang dihitung dari koefisien penduga model.

Model LA-AIDS merupakan pengembangan dari kurva Engel dan fungsi permintaan tidak terkompensasi yang diturunkan dari teori maksimisasi utilitas. Deaton dan Muellbauer (1980) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan (pengeluaran) dengan tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam bentukbudget share, sebagai berikut:

ݓ௜ =ߙ௜+ߚ௜logݕ , (3.1)

dengan wi menunjukkan pangsa pengeluaran komoditas ke-i, sedangkan y merupakan variabel penjelas yaitu pendapatan (pengeluaran). Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro sampai level yang lebih tinggi secara konsisten. Fungsi preferensic sebagai fungsi dari utilitas

udan hargapdidefinisikan dalam bentuk logaritma sebagai berikut:

logܿ(ݑ,݌) = (1 −ݑ) logܽ(݌) +ݑlogܾ(݌), (3.2) denganc menunjukkan total pengeluaran, u dan pmenunjukkan nilai utilitas dan harga. Persamaan (3.2) merupakan fungsi ܽ(݌) dan ܾ(݌) yang bersifat linear positif dan homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsiܽ(݌)bernilai antara nol dan satu sehingga dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilaiu

adalah nol. Sedangkanܾ(݌)merupakan biaya “kenikmatan” (cost of bliss) jika nilai u adalah satu. Diketahui sejumlahn komoditas memiliki fungsi loga(p) dan logb(p) sebagai berikut:

logܽ(݌) =ߙ+∑௡௝ୀଵߙlog݌+ଵ

ଶ∑௡௜ୀଵ∑௡௝ୀଵߛ௜௝∗ log݌௜log݌௝, (3.3) logܾ(݌) = logܽ(݌) +ߚ∏௡ ݌ఉೕ

(35)

17

Dengan menyubstitusikan persamaan (3.3) dan (3.4) ke dalam persamaan (3.2) diperoleh:

logܿ(ݑ,݌) =ߙ+∑௝ୀଵ௡ ߙlog݌ + ଵ

ଶ∑௜ୀଵ௡ ∑௡௝ୀଵߛ௜௝∗ log݌௜log݌௝ +

ݑߚ଴∏௡௝ୀଵ݌௝ఉೕ, (3.5)

denganα,β, dan γadalah parameter. Perhatikan bahwa berdasarkan aturan rantai:

߲logܿ(ݑ,݌)

dengan ݍ adalah kuantitas produk ke-i. Di lain pihak:

߲logܿ(ݑ,݌)

sebagai budget shareproduk ke-i. Turunkan secara parsial kedua ruas persamaan (3.5) terhadaplog݌ diperoleh:

(36)

18

Persamaan (3.8) di atas diketahui bahwa:

ߛ௜௝ = ߛ௜௝

+ߛ

௝௜∗

2 .

Dalam masalah maksimisasi utilitas diketahui:

ݕ= ܿ(ݑ,݌),

denganyadalah total pengeluaran. Persamaan (3.5) menjadi:

logݕ= logܫ+ݑߚෑ ݌ఉೕ

merupakan logaritma dari indeks harga. Dari persamaan (3.9) diperoleh:

logݕ− logܫ =ݑߚෑ ݌ఉೕ

Substitusikanuke persamaan (3.8) diperoleh:

ݓ௜ =෍ ߙ௝log݌௝

Indeks hargaIdapat diestimasi dengan indeks harga Stone berikut:

logܫ =෍ ݓlog݌

௜ୀଵ

,

sehingga persamaan (3.10) berubah menjadi model linear berikut:

ݓ௜ =෍ ߙ௝log݌௝

Persamaan (3.11) di atas dikenal dengan persamaan model LA-AIDS yang dibangun oleh Deaton dan Muellbauer (1980). Selanjutnya fungsi logaritma bisa dituliskan dalam bentuk fungsi logaritma natural. Model LA-AIDS dapat bersifat

restricted atau unrestricted, di mana model yang restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan adalah:

Adding Up : ∑௡௜ୀଵݓ = 1,∑௡௜ୀଵߙ = 1,∑௡௜ୀଵߛ௜௝ = 0,∑௡௜ୀଵߚ = 0, (3.12)

Homogeneity : ∑௡௝ୀଵߛ௜௝ = 0, (3.13)

Symmetry : γij= γji. (3.14)

(37)

19

tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Adapun terdapat beberapa kelebihan model LA-AIDS antara lain:

1. Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas beberapa kelompok komoditas yang saling berkaitan;

2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah tersedia; 3. Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan

menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai penduga yang baik;

4. Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya.

Model LA-AIDS merupakan sebuah sistem persamaan yang secara ekonometrik dilakukan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) yang diestimasi dengan prosedur Generalized Least Square(GLS). Model SUR terdiri atas suatu kumpulan peubah-peubah endogen yang dipertimbangkan sebagai suatu kelompok karena memiliki hubungan yang erat satu sama lain, sehingga SUR diartikan sebagai regresi yang seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain yang disebabkan oleh kedekatan secara teoritis antar persamaan tersebut.

Ada beberapa persyaratan dasar yang harus dimiliki oleh sebuah model permintaan, yaitu symmetri dan homogeinity, sedangkan sifat fungsi permintaan yang utama yaitu adding up sudah dipenuhi model. Simetri diderivasi dari teori utilitas yang menunjukkan kekonsistenan konsumen dengan rasionalitas ekonomi dalam mengkonsumsi. Homogenitas menunjukkan kelenturan konsumen dalam melakukan pengaturan dan pengaturan ulang anggaran biaya konsumsi sesuai dengan perubahan anggaran total biaya konsumsi yang dimilikinya.

Sifat restriksi homogen dan simetri sulit untuk dipenuhi bila terjadi ketidakkonsistenan data. Uji restriksi perlu dilakukan untuk menunjukkan efektifitas model yang digunakan. Selanjutnya mengggunakan model persamaan permintaan dengan memaksakan (impose) restriksi homogen dan simetri. Hal ini didasarkan dengan pertimbangan bahwa asumsi homogen dan simetri merupakan sifat suatu fungsi permintaan.

Spesifikasi Model Penelitian

Model LA-AIDS yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi model yang digunakan Sengul dan Tuncer (2005) sebagai pengembangan model asli Deaton dan Muellbauer (1980) dengan melibatkan beberapa karakteristik sosial demografi yaitu jumlah anggota rumah tangga, tipe daerah (perdesaan/perkotaan) dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga serta tren waktu. Adapun spesifikasi model penelitian ini adalah sebagai berikut:

ݓ௜ =ߙ௜+∑௝ ߛ௜௝ln݌௝+ߚ௜lnቀ௬ቁ+ߤ௜lnܬܣܴܶ+߬௜ܹܫܮ+ߠ௜ܭܴܶ+ߩ௜ܶ+ߝ௜ (3.15)

keterangan:

i, j = 1, 2, …, 9 komoditas

wi = proporsi pengeluaran komoditas ke-i lnpj = logaritma natural harga komoditas ke-j

ln(y/I) = logaritma natural total pengeluaran dibagi dengan indeks harga Stone

(38)

20

lnJART = logaritma natural jumlah anggota rumah tangga

WIL = dummywilayah (perdesaan=0, perkotaan=1)

KRT = dummy pendidikan kepala rumah tangga (≤SD=0, >SD=1)

T = tren tahun (2008=0, 2009=1, 2010=2)

ߙ,ߚ,ߛ,ߤ,߬,ߠ,ߩ = parameter model permintaan

ߝ௜ = sisaan (error term) komoditas ke-i

selanjutnya persamaan di atas diestimasi denganSeemingly Unrelated Regression

(Zellner 1962).

Pengukuran Respon Perubahan Variabel

Pengukuran respon perubahan variabel merupakan besaran elastisitas yang meliputi respon perubahan permintaan suatu komoditas akibat perubahan harga (elastisitas harga sendiri), respon perubahan permintaan suatu komoditas akibat perubahan harga komoditas lainnya (elastisitas harga silang), respon perubahan permintaan suatu komoditas akibat terjadinya perubahan tingkat pendapatan (elastisitas pendapatan), dan respon perubahan permintaan suatu komoditas akibat terjadinya perubahan jumlah anggota rumah tangga (elastisitas jumlah anggota rumah tangga).

Tujuan ke-3 dianalisis melalui pengukuran elastisitas yang diperoleh dari hasil perhitungan penduga koefisien model LA-AIDS, kemudian menghitung dampak perubahan harga dan pendapatan dalam bentuk simulasi. Bentuk umum elastisitas harga pada permintaan yang tidak terkompensasi dari model LA-AIDS adalah:

Berdasarkan penurunan tersebut, bisa dituliskan rumusan elastisitasnya adalah sebagai berikut:

4. Elastisitas jumlah anggota rumah tangga: ܧ௜௦ = ఓෝ೔

௪ෝ೔, (3.20)

di mana ߚ෠,ߛො௜௜ ,ߛො௜௝,ߤො merupakan penduga parameter model LA-AIDS dan nilai

ݓෝ௜ merupakan penduga pangsa pengeluaran pada model LA-AIDS.

(39)

21

Diketahui bahwa matriks Q berukuran 9x1 adalah matriks perubahan permintaan komoditas ݍ , matriks E berukuran 9x10 adalah matriks gabungan elastisitas harga dan elastisitas pendapatan, serta matriks P berukuran 10x1 adalah matriks perubahan harga dan pendapatan, sedangkan ݍ merupakan jumlah permintaan komoditas ke-i adalah harga komoditas ke-i, dan y adalah pendapatan rumah tangga miskin. Nilai i dan j menunjukkan jumlah komoditas terpilih dalam penelitian yaitu 9 komoditas (beras, jagung, singkong, ikan, daging, telur, sayur, buah, dan rokok).

Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi akan berdampak langsung maupun tak langsung terhadap rumah tangga miskin. Simulasi dilakukan untuk melihat perubahan permintaan komoditas apabila terjadi perubahan harga dan pendapatan akibat pemberian subsidi pemerintah.

Konsumsi makanan pokok merupakan salah satu aspek untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah pemberian subsidi beras miskin (raskin) kepada rumah tangga miskin. Pemerintah memberikan subsidi beras sebesar 3900 rupiah perkilogram. Subsidi itu diberikan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.02/2010. Pemberian subsidi tersebut setara dengan 28 persen dari harga pasar. Subsidi raskin diberikan dalam bentuk barang, namun dalam simulasi didekati dengan penurunan harga beras.

Pemerintah juga memberikan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin. Pemerintah memberikan subsidi langsung tunai kepada masyarakat miskin sebesar seratus ribu rupiah perbulan yang setara dengan peningkatan pendapatan rumah tangga miskin sebesar 21 persen.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilakukan skema simulasi sebagai berikut:

- Simulasi 1 : subsidi raskin sehingga menurunkan harga beras 28 persen; - Simulasi 2 : pemberian BLT sehingga meningkatkan pendapatan 21 persen; - Simulasi 3 : gabungan subsidi raskin dan BLT.

Definisi Variabel Operasional

Definisi operasional variabel-variabel yang digunakan dalam model sebagai berikut:

(40)

22

2. Anggota rumah tangga adalah semua orang yang tercakup dalam suatu rumah tangga. Orang yang telah tinggal dalam rumah tangga selama 6 bulan atau lebih, atau yang telah tinggal kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap/berencana tinggal selama 6 bulan atau lebih dianggap sebagai anggota rumah tangga. Sebaliknya anggota rumah tangga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih, tidak dianggap sebagai anggota rumah tangga.

3. Pengeluaran total rumah tangga miskin adalah seluruh nilai pengeluaran rumah tangga miskin perbulan, mencakup pengeluaran makanan dan bukan makanan, dinyatakan dalam rupiah.

4. Pengeluaran perkapita adalah total pengeluaran rumah tangga miskin perbulan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga, dinyatakan dalam rupiah.

5. Pengeluaran makanan rumah tangga adalah pengeluaran konsumsi makanan rumah tangga perbulan, dinyatakan dalam rupiah.

6. Pengeluaran makanan perkapita adalah pengeluaran konsumsi makanan rumah tangga perbulan dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga dalam rumah tangga tersebut, dinyatakan dalam rupiah.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin

Perkembangan konsumsi makanan rumah tangga miskin yang menjadi fokus penelitian ini digambarkan pada Tabel 6. Komoditas beras dan jagung merupakan komoditas makanan pokok utama bagi rumah tangga miskin di Provinsi NTT. Konsumsi bahan makanan pokok terutama beras mengalami peningkatan dari tahun 2008-2010. Dari 5.68 kg perkapita perbulan menjadi 6.61 kg perkapita perbulan. Hal ini menunjukkan permintaan beras mendominasi konsumsi rumah tangga miskin. Sastraadmaja (2007) mengemukakan bahwa beras merupakan komoditas pangan pokok penting yang sering dikonsumsi masyarakat. Konsumsi singkong cenderung mengalami penurunan dari 4.37 kg perkapita per bulan di tahun 2008 menjadi sekitar 2.29 dan 2.46 kg perkapita per bulan di tahun 2009 dan 2010.

(41)

23

Konsumsi daging relatif rendah dari besaran 0.58 kg perkapita perbulan pada tahun 2008, kemudian meningkat menjadi 0.66 kg perkapita perbulan. Namun angka ini masih tergolong relatif rendah dibandingkan capaian konsumsi komoditas lainnya. Hal ini mengindikasikan kurangnya konsumsi protein yang dihasilkan komoditas daging karena harganya relatif mahal yang sulit dijangkau oleh rumah tangga miskin di Provinsi NTT.

Tabel 6 Perkembangan rata-rata jumlah konsumsi makanan rumah tangga miskin perkapita perbulan menurut komoditas tahun 2008-2010 (kg)

Komoditas Tahun

2008 2009 2010

Beras 5.68 5.67 6.61

Jagung 5.49 6.27 4.05

Singkong 4.37 2.29 2.46

Ikan 0.77 0.61 0.72

Daging 0.58 0.69 0.66

Telur 0.21 0.27 0.30

Sayur 5.86 4.85 4.38

Buah 2.24 1.58 2.11

Rokok*) 78.59 68.02 82.63

Keterangan: *) dalam satuan batang

Sumber: Susenas Panel (2008-2010), diolah.

Salah satu komoditas yang menurut kesehatan seharusnya bukan merupakan konsumsi rumah tangga apalagi rumah tangga miskin adalah rokok. Rokok bukan hanya komoditas yang tidak bermanfaat bagi tubuh, melainkan juga sangat berbahaya bagi tubuh. Berdasarkan data, konsumsi rokok perkapita rumah tangga miskin per bulan masih relatif besar. Bahkan semakin meningkat dari sekitar 79 batang perkapita perbulan di tahun 2008 menjadi sekitar 83 batang perkapita perbulan pada tahun 2010.

Tabel 7 Pangsa pengeluaran rumah tangga miskin terhadap total pengeluaran perbulan tahun 2008-2010 (%)

Komoditas Tahun

2008 2009 2010

Beras 18.10 23.68 27.01

Jagung 16.25 10.33 6.99

Singkong 2.06 1.04 1.49

Ikan 2.75 2.18 3.02

Daging 1.21 1.83 1.42

Telur 0.32 0.48 0.51

Sayur 8.59 9.67 7.97

Buah 1.94 1.41 1.82

Rokok 2.32 2.33 2.51

Makanan lain 18.12 17.60 17.54

Bukan makanan 28.33 29.45 29.71

(42)

24

Tabel 7 menunjukkan bahwa konsumsi makanan pokok terutama beras merupakan kebutuhan utama bagi rumah tangga miskin di NTT. Rata-rata rumah tangga miskin di Provinsi NTT membelanjakan sekitar 27.01% dari total pengeluaran rumah tangganya untuk konsumsi beras pada tahun 2010. Selain beras, jagung juga merupakan komoditas makanan penting bagi rumah tangga miskin di NTT. Total pengeluaran rumah tangga miskin untuk jagung mencapai 16.25% di tahun 2008. Hal yang menarik lainnya terlihat bahwa pengeluaran untuk rokok hampir setara dengan pengeluaran untuk komoditas ikan bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengeluaran untuk daging maupun telur.

Perkembangan pangsa pengeluaran untuk konsumsi beras mengalami peningkatan selama periode tahun 2008-2010 dengan diiringi penurunan konsumsi jagung. Hal ini mengindikasikan diversifikasi pangan belum berjalan sepenuhnya meskipun jagung bisa dijadikan komoditas pangan pokok lokal NTT. Konsumsi daging dan telur juga mengalami peningkatan meskipun masih dalam komposisi yang relatif rendah. Hal ini mengindikasikan rendahnya permintaan pangan hewani yang sejalan dengan hasil penelitian Daud (2006).

Selain itu, konsumsi sayur mengalami peningkatan selama periode tahun 2008-2010 dan penurunan selama periode tahun 2009-2010, namun pangsa pengeluaran sayur menempati posisi keempat dari seluruh komoditas makanan yang dikonsumsi rumah tangga miskin. Sementara itu, konsumsi buah menduduki peringkat ketiga terbawah dari seluruh komoditas makanan yang dikonsumsi rumah tangga miskin. Adapun konsumsi rokok juga mengalami peningkatan yang signifikan sepanjang tahun 2008-2010. Hal ini menunjukkan pengetahuan tentang kesehatan dan kesadaran hidup sehat belum dimiliki rumah tangga miskin di NTT.

Tabel 8 Pengeluaran makanan perbulan rumah tangga miskin menurut wilayah tempat tinggal tahun 2008-2010 (rupiah)

Komoditas

Wilayah

Perdesaan Perkotaan

Rata-rata % Rata-rata %

Beras 157 836.67 23.05 217 779.72 21.17

Jagung 72 984.17 11.73 39 567.09 4.82

Singkong 10 421.88 1.58 9 166.17 1.07

Ikan 17 510.88 2.44 53 635.21 5.43

Daging 10 863.65 1.53 9 532.75 0.80

Telur 2 715.97 0.40 8 568.36 0.90

Sayur 55 645.98 8.79 77 924.90 7.88

Buah 12 128.01 1.78 11 120.00 1.21

Rokok 17 078.45 2.32 34 748.38 3.27

Sumber: Susenas Panel (2008-2010), diolah.

(43)

25

rumah tangga miskin di perdesaan lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga miskin di perkotaan.

Rumah tangga miskin di perdesaan mengeluarkan uang rata-rata sebesar Rp 157 836.67 per bulan untuk konsumsi beras atau 23.05% dari total pengeluaran. Sedangkan rumah tangga miskin di perkotaan mengeluarkan uang rata-rata sebesar Rp 217 779.72 per bulan untuk konsumsi beras atau 21.17% dari total pengeluaran. Pangsa pengeluaran beras untuk rumah tangga miskin di perkotaan lebih rendah daripada perdesaan. Hal ini menunjukkan komoditas beras merupakan komoditas yang banyak dikonsumsi masyarakat perdesaan dan menjadi komoditas penting bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.

Tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga (KRT) menentukan dalam mengambil keputusan mengenai komoditas-komoditas yang akan dikonsumsi rumah tangga. Pendidikan KRT yang tinggi lebih memahami mengenai kebutuhan gizi anggota rumah tangganya. Tabel 6 memperlihatkan bahwa proporsi konsumsi makanan pokok berupa beras lebih besar untuk rumah tangga miskin yang memiliki KRT berpendidikan SMP ke atas. Sedangkan rumah tangga miskin dengan KRT berpendidikan SD ke bawah proporsi konsumsi makanan pokok berupa jagung dan singkong lebih besar bila dibandingkan dengan rumah tangga miskin dengan KRT berpendidikan SMP ke atas. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa rumah tangga miskin dengan KRT berpendidikan SD ke bawah lebih bisa untuk mensubstitusi konsumsi beras dengan konsumsi makanan pokok lainnya berupa jagung dan singkong.

Tabel 9 Pengeluaran makanan perbulan rumah tangga miskin menurut tingkat pendidikan kepala rumah tangga tahun 2008-2010 (rupiah)

Komoditas

Pendidikan Kepala Rumah Tangga

≤SD >SD

Rata-rata % Rata-rata %

Beras 160 890.19 22.91 171 831.66 22.95

Jagung 71 610.64 11.49 62 959.58 9.34

Singkong 10 925.21 1.63 6 293.28 0.95

Ikan 19 219.62 2.55 26 833.62 3.42

Daging 10 670.52 1.50 11 400.31 1.33

Telur 2 730.90 0.39 5 996.96 0.76

Sayur 57 198.82 8.83 58 021.75 7.94

Buah 12 203.74 1.77 11 033.52 1.49

Rokok 18 142.55 2.39 20 095.18 2.36

Sumber: Susenas Panel (2008-2010), diolah.

Konsumsi protein berupa ikan, daging dan telur untuk rumah tangga miskin yang memiliki KRT berpendidikan SMP ke atas lebih besar dibandingkan dengan konsumsi protein rumah tangga miskin dengan KRT berpendidikan SD ke bawah. Hal ini dapat mengindikasikan pengetahuan tentang pentingnya asupan protein mendorong untuk mengkonsumsi protein lebih banyak. Demikian pula untuk konsumsi sayur-sayuran.

Gambar

Tabel 2 Tingkat kemiskinan di Indonesia dan NTT tahun 2008-2013 (%)
Gambar 1 Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga komoditas A
Gambar 2 Alur kerangka pikir
Tabel 5 Daftar dan jenis variabel yang digunakan dalam penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan Bio Hand Sanitizer Kitosan ini dengan cara mencampurkan beberapa komponen seperti kitosan sebagai bahan aktif pada sediaan Bio Hand Sanitizer tersebut,

Mengapa penulis memilih surat kabar Warta Kota, dikarenakan surat kabar ini banyak dibaca oleh semua kalangan dengan beragam tingkat usia, namun bentuk bahasa

Berdasar uraian masalah yang dijelaskan, penelitian ini dilakukan pada siswa mekanik alat berat, adapun tujuan penelitian untuk mengetahui apakah pembelajaran

Selama kerja praktek, Baitussalam (PT. Papua Tour &amp; Travel) pratikan memposisikan sebagai seorang desain grafis yang di tempatkan dibawah divisi marketing yang

Keakuratan primer cytochrome b pada sekuen tikus (dengan primer reverse 5’- GAA TGG GAT TTT GTC TGC GTT GGA GTT T- 3’) dapat dilihat dari pencampuran daging sapi dan

Dari data LSD yang didapat, perlakuan betadine salep (kontrol positif) dibandingkan dengan SEDN 5%, SEDN 10% dan SEDN 15% terdapat perbedaan tidak bermakna

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, bahwa dalam rangka penyelenggaraan Sistem Akuntabilitas Kinerja

Tujuan penelitian ini: (1) Mengetahui cara meningkatkan hasil belajar sejarah siswa kelas XI IPS 1 SMA Negeri 3 Bantul Tahun Ajaran 2012/2013, dengan menggunakan