Pemanfaatan
Multiplex
PCR dalam Identifikasi Jenis Ternak
untuk Menjamin Produk Halal dan
Thoyyib
(Use of Multiplex PCR for Identification of Species to
Ensure Halal and
Thoyyib
Products)
Henny Nuraini1, Sumantri C1, Andreas E2, Primasari A2, Irine2, Khaerunnisa I2
1Halal Science Centre, Institut Pertanian Bogor
2Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB, Jl. Agatis Kampus Dramaga, Bogor
hennynuraini@ymail.com
ABSTRACT
Falsification of ingredients derived from swine was often happens. Identification of species by means of the multiplication of target DNA molecules in a single reaction can be carried out at the same time by multiplex PCR using specific primers cytochrome b. DNA extraction was conducted from leather and gelatin using phenol-cloroform method. DNA amplification product of cyt- b gene in leather and gelatin samples tested showed a fragment of 398 bp target of swine and 274 bp target of bovine. Results showed that leather and gelatin of bovine and swine were detected. Results suggested that the method of multiplex PCR was rapid and simple method for identification of species to ensure the halal and thoyyib requirement for animal products.
Key Words: Halal, Multiplex PCR, Cytochrome b, Leather, Gelatin
ABSTRAK
Pemalsuan atau pencampuran bahan berasal dari babi masih sering terjadi. Upaya identifikasi spesies dengan cara perbanyakan molekul DNA target pada satu reaksi secara bersamaan dapat dilakukan melalui PCR multipleks dengan menggunakan primer spesifik cytochrome b. Ekstraksi DNA yang berasal dari kulit samak dan gelatin diisolasi menggunakan metode fenol kloroform. Amplifikasi PCR menggunakan
cytochrome b menghasilkan fragmen target pada 398 pb untuk spesies babi dan 274 pb untuk spesies sapi. Kulit samak dan gelatin dari sapi dan babi, maupun campuran keduanya dapat diidentifikasi dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa multipleks PCR merupakan metode yang cepat, mudah dan ekonomis untuk menjamin kriteria halal dan aman pada produk turunan hewan.
Kata Kunci: Halal, PCR Multipleks, Cytochrome b, Kulit Samak, Gelatin
PENDAHULUAN
Produk yang aman adalah produk yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen dan terbebas dari berbagai cemaran atau bahaya seperti bahaya fisik, kimia dan biologi serta halal bagi konsumen muslim. Produk halal didefinisikan sebagai produk (pangan dan nonpangan) yang tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi atau bersifat najis bagi umat Islam serta pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat islam. Makanan yang thoyyib berarti makanan yang sehat, proporsional dan aman.
(aman, sehat, utuh dan halal) untuk produk asal hewan. Pada saat ini masalah halal selalu menjadi isu yang hangat dibicarakan karena adanya berbagai upaya pelaku untuk melakukan penyimpangan dari kaidah halal dan thoyyib. Masalah yang sering timbul antara lain usaha pemalsuan daging dengan cara mencampur daging celeng, tikus atau jenis daging lainnya, yang harganya jauh lebih murah, penggunaan kulit atau bulu babi, serta penggunaan produk turunan lainnya seperti gelatin babi.
Pengembangan teknik deteksi pemalsuan telah dilakukan sebagai upaya pembinaan dan
seperti tercantum dalam pasal 29 ayat 4 (UU Perlindungan Konsumen Tahun 1999). Metode analisis yang akurat dengan prosedur yang sederhana sangat diperlukan untuk melakukan penelusuran jenis ternak. Ada beberapa cara untuk menentukan asal usul jenis ternak, antara lain melalui penelusuran DNA dengan menggunakan metode PCR konvensional (simpleks atau unipleks). Reaksi in vitro yang berjalan secara enzimatis ini merupakan cara memperbanyak molekul DNA pada target tertentu, dengan mempergunakan marker yang bersifat universal atau spesifik hanya ditemukan pada spesies tertentu saja (Nuraini 2004; Zhang et al. 2007; Ghovvati et al. 2009). Keunggulan lain dari teknik ini adalah dapat mendeteksi sampel dalam keadaan mentah, atau produk yang sudah mengalami pemanasan suhu tinggi dengan tingkat pencampuran yang relatif rendah. Permasalahan akan terjadi jika pemalsuan terdiri atas lebih dari satu jenis hewan, seperti pencampuran daging sapi dan daging celeng atau babi, atau daging sapi dengan daging tikus dan daging jenis lainnya.
Pengembangan teknik PCR yang cukup efisien dan ekonomis adalah multiplex PCR, yang terdiri atas beberapa set primer dipergunakan secara bersama-sama untuk mengamplifikasi beberapa daerah target sekaligus. Pemilihan marka yang tepat untuk menggandakan sekuen DNA target menggunakan multipleks PCR sudah dilakukan yaitu dengan marka gen cytochrome b (Matsunaga et al. 1999; Lanzilao et al. 2005; Martin et al. 2007; Nuraini et al. 2012; Nuraini et al. 2013; Irine et al. 2013). Penggunaan multipleks PCR dengan marka atau primer
cytochrome b dapat dijadikan metode pengujian kemurnian suatu produk sebagai upaya perlindungan konsumen. Hasil penelitian juga dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan yang terkait kehalalan suatu produk,
baik pangan dan nonpangan pada kondisi segar ataupun olahan, khususnya yang berasal dari hewan.
MATERI DAN METODE Primer spesifik
Untuk primer reverse spesifik ternak sapi dan babi mengikuti Matsunaga et al. (1999). Primer forward yang digunakan untuk sapi dan babi yaitu 5’-GACCTCCCAGCTCCATCA AACATCT CATCTTG ATGAAA-3’. Sekuen primer reverse yang digunakan disajikan pada Tabel 1.
Sumber DNA
Sumber DNA berupa sampel daging (sebagai kontrol positif), gelatin dan kulit samak. Proses isolasi DNA menggunakan metode phenol-chloroform (Sambrook & Russel 2001).
Amplifikasi fragmen DNA spesifik
Amplifikasi fragmen DNA spesifik dilakukan dengan metode PCR (polymerase chain reaction). Komponen reaksi yang digunakan sebanyak 25 µl, terdiri atas primer
forward 35 pmol, primer reverse @ 5 pmol, campuran dNTP 200 µM, MgCl2 1 mM, dan taq polymerase 0,5 unit dan buffernya. Proses amplifikasi dijalankan pada GeneAmp® PCR System 9700 (Applied Biosystems™) dengan kondisi denaturasi awal pada suhu 94ºC selama 5 menit, 35 siklus yang terdiri atas denaturasi pada suhu 94ºC selama 45 detik, penempelan primer pada suhu 60ºC selama 45 detik dan pemanjangan DNA baru pada suhu 72ºC selama 1 menit dan pemanjangan akhir pada suhu 72ºC selama 5 menit.
Tabel 1. Sekuen primer spesifik fragmen DNA sapi dan babi
Jenis hewan Reverse (5’-3’) Hasil amplifikasi
Sapi CTA GAA AAG TGT AAG ACC CGT AAT ATA AG 274 bp Babi GCT GAT AGT AGA TTT GTG ATG ACC GTA 398 bp Sumber: Matsunaga et al. (1999)
Visualisasi dan interpetasi hasil amplifikasi Visualisasi hasil amplifikasi dilakukan pada gel agarose 2% (v/w) yang diwarnai dengan EtBr (ethidium bromide) di atas UV transiluminator. Fragmen DNA spesifik sapi dan babi ditunjukkan dengan pita DNA sepanjang 274 dan 398 pb. Hasil visualisasi dengan dua atau lebih pita menunjukkan adanya campuran kedua sumber bahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cytochrome b sebagai primer spesifik
Persentase homologi dari primer dilakukan untuk mengetahui tingkat kespesifikan dari suatu runutan DNA. Pada Tabel 2 disajikan hasil pengujian derajad kesamaan pada runutan sekuen primer spesifik dari beberapa jenis ternak. Berdasarkan pengujian, primer forward
memiliki derajad kesamaan yang relatif tinggi terhadap sekuen sapi, babi dan tikus, yaitu berkisar antara 80-92,10% dari runutan 38 basa. Runutan primer reverse memiliki derajad homologi yang tinggi pada satu jenis hewan tertentu dan rendah pada jenis hewan lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa primer
reverse adalah bersifat spesifik untuk suatu jenis hewan tertentu. Sekuen primer reverse
babi memiliki derajad kemiripan yang tinggi dengan sekuen gen cytochrome b tikus yaitu 85,19% dari runutan 27 basa tetapi derajad kemiripan lebih rendah untuk spesies domba,
begitu pula dengan sekuen primer reverse sapi, tikus dan jenis hewan lainnya.
Teknik multipleks PCR sangat ditentukan oleh desain primer, karena kespesifikan primer
dan temperature melting (Tm) akan
berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan amplifikasi dibandingkan pada simpleks PCR (Matsunaga et al. 1999). Disamping itu, primer yang digunakan juga harus memenuhi syarat panjang primer berkisar antara 18-24 pb atau lebih, kandungan basa GC sebesar 35-60% serta memiliki suhu annealing 55-58ºC atau lebih tinggi (Henegariu et al. 1997).
Gen cytochrome b (cyt b) dikodekan oleh DNA mitokondria (mtDNA) yang berisi delapan transmembran heliks yang dihubungkan oleh intramembran atau domain ekstra-membran. Gen cyt b ini sangat unik karena memliki sekuen yang bersifat kekal di dalam level spesies, oleh karena itu sering digunakan untuk mengelompokkan jenis hewan atau mengetahui hubungan kekerabatan antar spesies, disamping untuk identifikasi jenis hewan dan pengujian dalam penetapan halal (Aida et al. 2005; Lanzilao et al. 2005; Ahmed et al. 2007; Che Man et al. 2007; Jain et al. 2007; Kitpipit et al. 2012; Irine et al. 2013).
Kespesifikan gen cyt b terbukti dengan teramplifikasinya DNA babi dan sapi dengan panjang fragmen yang berbeda (398 pb dan 274 pb) serta campuran DNA (DNA mix) dari kedua jenis ternak dapat diamplifikasi dalam satu reaksi, sehingga kedua pita dapat divisualisasi dalam satu sumur gel elektroforesis (Gambar 1-4).
Tabel 2. Persentase homologi dari spesifik primer cytochrome b beberapa jenis hewan
Spesifik primer Kambing Ayam Sapi Domba Babi Kuda Tikus
Forward (38 bp) 100,00 86,80 92,10 86,80 80,00 100,00 92,00 Kambing (26 bp) 96,15 42,31 73,08 23,08 76,92 73,08 73,08 Ayam (27 bp) 74,07 100,00 37,04 25,93 51,85 33,33 77,78 Sapi (29 bp) 75,86 44,83 100,00 72,41 37,93 79,31 75,86 Domba (26 bp) 92,31 53,85 73,08 100,00 50,00 65,38 76,92 Babi (27 bp) 37,04 55,56 77,78 33,33 100,00 81,48 85,19 Kuda (26 bp) 80,77 65,38 73,08 76,92 76,92 100,00 8846 Tikus (28 bp) 71,43 75,00 78,57 64,29 67,86 64,29 100,00
Gambar 1. Hasil amplifikasi DNA sampel kulit; M: Marker; S: DNA sapi; B: DNA babi; C: Campuran DNA sapi dan babi; 1-4: Sampel kulit samak; 2: Sampel kulit samak sapi dan babi; DW: Air sebagai kontrol negatif
M S B C 1 2 3 4 5 6 DW
Gambar 2. Hasil amplifikasi DNA sampel kulit samak; M: Marker; S: DNA sapi; B: DNA babi; C: Campuran DNA sapi dan babi; 1-6: Sampel kulit samak; DW: Air sebagai kontrol negatif
Gambar 3. Hasil amplifikasi DNA sampel gelatin; M: Marker; S: DNA sapi; B: DNA babi; C: Campuran DNA sapi dan babi; 1-3: Sampel gelatin; DW: Air sebagai kontrol negatif
100 bp 200 bp 300 bp 400 bp bp 500 bp 274 bp 398 bp 274 bp 398 bp M S B C 1 2 3 4 DW 400 bp 300 bp 200 bp 400 bp 300 bp 200 bp M S B C 1 2 3 DW
Gambar 4. Hasil amplifikasi DNA sampel gelatin; M: Marker, S: DNA sapi; B: DNA babi; C: Campuran DNA sapi dan babi; 1-5: Sampel gelatin; DW: Air sebagai kontrol negatif
Amplifikasi fragmen DNA spesifik asal hewan
Pada penelitian ini dipilih produk asal hewan berupa kulit samak dan gelatin. Kedua macam produk ternak ini sangat luas penggunaannya. Sampel kulit samak dan gelatin yang diekstraksi dengan metode fenol kloroform berhasil mengisolasi DNA dari kedua bahan tersebut. Daging segar sebagai sampel positif dapat dengan mudah diekstraksi karena DNA mitokondrianya tersedia dalam jumlah cukup dan belum banyak mengalami degradasi atau terkontaminasi bahan lain. Hal ini terkait dengan marker cytochrome b yang akan digunakan untuk mengamplifikasi DNA target dari sampel yang diuji.
Asal sampel yang akan diuji sangat menentukan hasil isolasi DNA. Sampel berasal dari jaringan seperti otot atau daging, kulit, tulang, rambut, darah dan cairan tubuh lainnya dapat digunakan sebagai sumber untuk menentukan lokus DNA mitokondria. Molekul DNA mitokondria terdapat dalam jumlah ratusan sampai ribuan copy dibandingkan dengan DNA inti yang hanya dua copy pada setiap selnya.
Kulit samak adalah produk nonpangan yang dapat diproses lebih lanjut menjadi bahan pembuat pakaian, sepatu atau produk lainnya. Bagi konsumen muslim, kulit samak ini menjadi najis apabila berasal dari babi. Upaya pemalsuan bahan baku seperti ini sering terjadi sehingga perlu disiapkan metode deteksi yang akurat. Hasil amplifikasi DNA yang berasal dari kulit diperlihatkan pada Gambar 1 dan 2.
Pada Gambar 1 terdapat sampel kulit dengan pita campuran babi dan sapi (sampel nomor 2). Hal ini menunjukkan bahwa bahan kulit tersebut berasal dari kulit sapi yang dilapisi kulit babi. Hal ini dapat terjadi dalam proses pembuatan produk seperti sepatu, jaket atau tas dimana terdapat bagian tertentu yang bagian dalamnya dilapisi kulit yang berbeda dengan bagian luar (skin lining). Hasil ini menunjukkan bahwa kulit yang berasal dari hewan dapat diisolasi DNAnya sehingga memungkinkan untuk diketahui asal jenis hewannya.
Produk turunan hewan yang lain yang sangat luas penggunaannya adalah gelatin. Gelatin dimanfaatkan oleh industri pangan, obat-obatan, kosmetika dan industri lainnya. Bahan baku untuk membuat gelatin adalah tulang dan kulit jangat (berasal dari sapi), kulit babi dan kulit ikan. Pada umumnya, gelatin yang dijual di pasaran diproduksi dari kulit dan tulang babi, karena proses produksi lebih ekonomis dibandingkan yang berasal dari sapi. Kolagen adalah rangkaian molekul polipeptida yang menyusun gelatin.
Wardani et al. (2012) dalam kajiannya tentang perbedaan gelatin sapi dan gelatin babi menggunakan biosensor surface plasmon
resonance (SPR), menunjukkan hasil
pengamatan kurva attenuated total reflectance
(ATR) dengan biosensor berbasis SPR terdapat perbedaan pergeseran sudut SPR antara gelatin sapi dan gelatin babi. Pergeseran sudut SPR gelatin sapi lebih besar dibandingkan dengan gelatin babi.
Isolasi DNA dari permen jelly yang 200 bp 300 bp 400 bp M C
+
1 S + B + 2 3 4 500 bp 274 bp 398 bp 5 D WWwalaupun mempunyai tingkat kemurnian yang relatif rendah yaitu berkisar 1,036 hingga 1,186. Hal ini dikarenakan gelatin sudah mengalami berbagai proses pemanasan serta tercampur dengan bahan lainnya dalam proses pembuatan permen jelly. Namun demikian jumlah DNA tersebut masih dapat diamplifikasi oleh cytochrome b sehingga dapat diketahui gelatin yang digunakan berasal dari sapi atau babi. Sampel yang mengandung gelatin babi dan sapi teridentifikasi dengan munculnya dua pita pada hasil elektroforesis (Nuraini et al. 2013).
Gelatin yang diuji merupakan gelatin serbuk dengan tingkat kehalusan yang berbeda sehingga waktu ekstraksi juga menentukan jumlah DNA yang dapat diisolasi. Gambar 3 menunjukkan hasil amplifikasi DNA gelatin yang ternyata berasal dari sapi dengan panjang 274 pb sedangkan Gambar 4 menunjukkan hasil amplifikasi DNA gelatin babi sepanjang 398 pb.
Keakuratan primer cytochrome b pada sekuen tikus (dengan primer reverse 5’- GAA TGG GAT TTT GTC TGC GTT GGA GTT T-3’) dapat dilihat dari pencampuran daging sapi dan daging tikus sebesar 1%, yang terbukti dapat teramplifikasi pada produk bakso dengan panjang 603 pb (Nuraini et al. 2012).
Untuk menjamin kemurnian dan kehalalan produk ternak dapat memanfaatkan teknik PCR multipleks dan primer spesifik species yang berasal dari cytochrome b. Penggunaan PCR multipleks dan gen cyt b dalam penelitian ini terbukti berhasil untuk deteksi dan identifikasi jenis atau sumber kulit dan gelatin secara cepat, tepat, dan akurat. Primer yang digunakan terdiri atas satu primer forward
untuk kedua jenis hewan dan dua primer
reverse yang disusun pada daerah spesifik ternak babi dan sapi.
KESIMPULAN
Proses ekstraksi berhasil mengisolasi DNA mitokondria dari sampel kulit samak dan gelatin. Pengujian menggunakan multiplex PCR sebagai metode identifikasi spesies yang ekonomis karena dapat mendeteksi pencampuran lebih dari satu bahan dalam satu kali reaksi merupakan metode yang aplikatif sebagai upaya menjamin kehalalan dan keamanan produk turunan hewan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed MM, Abdel-Rahman SM, El-Hanafy AA. 2007. Application of species-specific polymerase chain reaction and cytochrome b gene for different meat species authentication. Biotechnol. 6:426-430.
Aida AA, Man YBC, Wong CMVL, Raha AR, Son R. 2005. Analysis of raw meats and fat of pigs using polymerase chain reaction for Halal authentication. Meat Sci. 69:47-52.
Che Man YBC, Aida AA, Raha AR, Son R. 2007. Identification of pork derivatives in food products by species-specific polymerase chain reaction (PCR) for halal verification. Food Control. 18:885-889.
Ghovvati S, Nassiri MR, Mirhoseini SZ, Moussavi AH, Javadmanesh A. 2009. Fraud identification in industrial meat products by multiplex PCR assay. Food Control. 20:696-699.
Henegariu O, Heerema NA, Dlouhy SR, Vance GH, Vogt PH. 1997. Multiplex PCR: Critical parameters and step-by-step protocol. BioTech. 23:504-511.
Irine, Nuraini H, Sumantri C. 2013. Species authentication of dog, cat and tiger using
cytochrome β gene. J Anim Sci Tech. 36:171-78.
Jain S, Brahmbhati MN, Rank DN, Joshi CG, Solank JV. 2007. Use of cytochrome b gene variability in detecting meat species by multiplex PCR assay. Indian J Anim Sci. 77:880-881.
Kitpipit T, Tobe SS, Kitchener AC, Gill P, Linacre A. 2012. The development and validation of a single SNaPshot multiplex for tiger species and subspecies identification-Implications for forensic purposes. Forensic Sci Int.6:250-257. Lanzilao I, Burgalassi F, Fancelli S, Settimelli M, Fani R. 2005. Polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism analysis of mitochondrial cyt b gene from species of dairy interest. J AOAC Int. 88:128-135.
Martin I, Garcia T, Fajardo V, Rojas M, Hernandez PE, Gonzalez I, Martin R. 2007. Technical Note: detection of cat, dog, and rat or mouse tissues in food and animal feed using species-specific polymerase chain reaction. J Anim Sci. 85:2734-2739.
Matsunaga T, Chikuni K, Tanabe R, Muroya S, Shibata K, Yamada J, Shinmura Y. 1999. A quick and simple method for the identification
of meat species and meat products by PCR assay. Meat Sci. 51:143-148.
Nuraini H. 2004. Pengembangan sekuen porcine repetitive element 1 (PRE-1) sebagai penanda molekuler untuk mendeteksi material babi pada produk daging olahan. [Disertasi]. [Bogor (Indonesia)]: Institut Pertanian Bogor. Nuraini H, Primasari A, Andreas E, Sumantri C.
2012. The use of cytochrome b gene as a specific marker of the rat meat (Rattus norvegicus) on meat and meat products. J Anim Sci Tech.35:15-20.
Nuraini H, Furqon A, Sari SA, Dewi MK, Zainatha FM, Novianti WT, Sumantri C. 2013. Deteksi kandungan gelatin babi pada produk permen jelly meggunakan penanda gen sitokrom b. J Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 1:2303-2227.
Sambrook J, Russel D. 2001. Molecular cloning a laboratory manual. Ed ke-3. United State of America New York (USA): CSH Laboratory Press.
Undang undang Republik Indonesia No. 8. 1999. Tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara RI tahun 1999.
Wardani DP, Suharyadi E, Abraha K. 2012. Kajian awal identifikasi perbedaan gelatin sapi dan gelatin babi menggunakan biosensor berbasis
Surface Plasmon Resonance (SPR). Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVI HFI Jateng & DIY. hlm. 153-157.
Zhang CL, Fowler MR, Scott NW, Lawson G, Slater A. 2007. A Taqman real-time PCR system for the identification and quantif ication of bovine DNA in meats, milks and cheeses. Food Control. 18:1149-1158.