• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANGANAN ISU HAM TERKINI DI TAHUN 2018 YANG PEMANTAUANNYA HINGGA B-12 DILAKUKAN OLEH DIREKTORAT KERJA SAMA HAM (JAKARTA, 19 DESEMBER 2018)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENANGANAN ISU HAM TERKINI DI TAHUN 2018 YANG PEMANTAUANNYA HINGGA B-12 DILAKUKAN OLEH DIREKTORAT KERJA SAMA HAM (JAKARTA, 19 DESEMBER 2018)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PENANGANAN ISU HAM TERKINI DI TAHUN 2018 YANG PEMANTAUANNYA HINGGA B-12 DILAKUKAN OLEH

DIREKTORAT KERJA SAMA HAM (JAKARTA, 19 DESEMBER 2018)

DIREKTORAT KERJA SAMA HAK ASASI MANUSIA DIREKTORAT JENDERAL HAK ASASI MANUSIA

(2)

PENANGANAN ISU HAM TERKINI DI TAHUN 2018 YANG PEMANTAUANNYA HINGGA B-12 DILAKUKAN OLEH

DIREKTORAT KSHAM

Di awal tahun 2018, Direktorat Kerja sama Hak Asasi Manusia telah merencanakan untuk memantau dan melaporkan perkembangan penanganan beberapa isu hak asasi manusia (HAM) terkini. Sehubungan dengan adanya alih tugas maka telah dilakukan penyelarasan terhadap tim penyusun laporan (penelaah dan editor). Berikut ini adalah beberapa isu hak asasi manusia terkini yang telah

ditelaah perkembangan dan penanganannya oleh tim penelaah dan editor terkait:

No Isu HAM Terkini Penelaah Pejabat Editor

1 Pelindungan Bagi Saksi dan Korban Anto, Ichwan Kasubdit KDN-1

2 Hukuman Mati Sisca, Relly Kasubdit KDN-1

3 Pencatatan Sipil Anto, Ritha Kasubdit KDN-1

4

Pelaksanaan Kerja Sama (MoU) Antara DJHAM dan INFID, IGCN, HRWG, LPSK, Beberapa Pemprov

Anto, Ichwan, Ritha Kasubdit KDN-1

5 Disabilitas Ditha, Ritha Kasubdit KDN-2

6 Pekerja Migran Ichwan, Ditha Kasubdit KDN-2

7 Perdagangan Orang Sisca, Relly Kasubdit KDN-2

8 Ujaran Kebencian Sisca, Dimas Kasubdit KDN-2

9 Anak (SPPA) dan Perempuan Dimas, Relly Kasubdit KLN

10 Bisnis dan HAM Ibrahim, Gina Kasubdit KLN

11 Intoleransi Dimas, Gina Kasubdit KLN

12 Antipenyiksaan Ibrahim, Ditha Kasubdit KLN 13 Masyarakat Adat Gina, Ibrahim Kasubdit KLN

(3)

1 1. Pelindungan Bagi Saksi dan Korban1

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kedudukan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah sesuai ketentuan Pasal 184 KUHAP, dan sesuai ketentuan Pasal 1 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang Ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Namun di sisi lain, KUHAP belum mengatur mengenai aspek perlindungan bagi saksi. Adapun pengaturan mengenai perlindungan saksi ditemukan dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UUPSK”), sesuai ketentuan Pasal 4 UUPSK, perlindungan saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.

Kedudukan korban tidak secara eksplisit diatur dalam KUHAP, kecuali terhadap korban yang juga berkedudukan sebagai saksi, sehingga ketentuan dan jaminan perlindungan diberikan kepada korban yang juga menjadi saksi dalam setiap proses peradilan pidana.

Sementara itu, UUPSK mengatur perlindungan terhadap saksi dan/atau korban, baik itu terhadap korban yang juga menjadi saksi, korban yang tidak menjadi saksi dan juga anggota keluarganya. Sehingga, jaminan perlindungan terhadap korban tindak pidana dan terutama terhadap korban pelanggaran HAM berat diatur sesuai ketentuan UUPSK serta peraturan pelaksana lainnya seperti PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada saksi dan korban.

Adapun jaminan perlindungan terhadap korban tindak pidana, dapat berupa perlindungan saksi, pemberian bantuan, restitusi, dan kompensasi sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah disebut di atas.

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa “keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah

melakukan perbuatan yang didakwakan padanya, melainkan harus disertai alat bukti yang sah.”

Berdasarkan Pasal 189 ayat (4) KUHAP tersebut di atas maka keterangan saksi harus dilandasi pada semangat untuk mengungkap kebenaran materiil dalam setiap proses peradilan pidana. Dengan demikian, dalam proses pemeriksaan diungkap perbuatan nyata yang dilakukan terdakwa (actus reus) dan derajat kesalahan terdakwa (mens rea/guilty mind).

Pengungkapan actus reus di dalam proses persidangan juga penting dalam pembentukan keyakinan majelis hakim. Tentunya keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah merupakan elemen penting dalam proses peradilan pidana yang membantu majelis mengungkap kebenaran materiil.

Perlindungan terhadap saksi, karena itu menjadi hal yang penting, mengingat saksi selama ini seringkali mendapatkan intimidasi maupun tekanan dari berbagai pihak.

1

(4)

2 Jaminan pemberian perlindungan ini untuk memberikan jaminan terhadap saksi untuk mengungkap fakta sebenarnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.

2. Hukuman Mati2

Pelaksanaan Hukuman Mati atau eksekusi mati yang sedang diterapkan di Indonesia ini mengalami Pro dan Kontra. Menurut mereka yang setuju dengan dijalankannya hukuman mati menganggap bahwa hukuman mati itu merupakan hal yang senapas dan sejalan dengan kaidah hukum islam yang berlaku dengan kata lain qishash. Sedangkan mereka yang menganggap bahwa hukuman mati tidak layak diterapkan di Indonesia itu berasumsi bahwa setiap orang mempunyai hak hidup.Hak Asasi Manusia merupakan hak absolute dan Universal yang tidak dapat dicabut oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.

Memang dalam hukum positif yang sedang berlaku di Indonesia kita ini mengenal adanya hukuman mati atau pidana mati.Dalam KUHP Bab II mengenai pidana pasal 10, menerangkan tentang macam-macam pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan, dan termasuk pidana mati tersebut. Namun dalam perkembangannya pidana mati tersebut relevan apa tidak untuk diterapkan di Indonesia? perdebatan itu muncul ketika banyak orang mulai menanyakan tentang baik tidaknya hukuman mati yang belum lama ini telah dilaksanakan di Indonesia dengan kasus Narkotika, Karena hal tersebut menyangkut tentang hak absolute yang dimiliki orang secara kodrati dan tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun apalagi Indonesia juga menganut ideology dan dasar negara Pancasila.

Di sisi lain, Indonesia memang telah melindunginya dan tertuang dalam peraturan Perundang-undangan. Tentang HAM diatur dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Bab III, pasal 9 ayat satu dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya. Kemudian perlindungan terhadap hak asasi juga termuat dalam pasal 281 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi ,”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum,dan hak untuk di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun:” pada dasarnya bukanlah ketentuan yang melarang sama sekali hukuman mati ditarapkan di Indonesia.

Direktorat HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, menyampaikan bahwa saat ini Pemerintah Indonesia masih mempertimbangkan 75 rekomendasi yang diberikan Dewan HAM PBB melalui Sidang Universal Periodic Review (UPR) tahun 2017. Dari total 225 rekomendasi, 150 rekomendasi sudah diterima oleh Pemerintah Indonesia.75 rekomendasi masih melalui tahap perdebatan yang cukup alot di Kmenterian/Lembaga.Dalam 75 isu itu berisi isu kontroversi, misal isu LGBT, hukuman cambuk dan hukuman mati.

Saat ini melalui revisi UU KUHP, hukuman mati direncanakan diubah dari hukuman pokok menjadi hukuman alternatif.DPR dan pemerintah belum memutuskan rincian mekanisme vonis hukuman mati kepada seorang narapidana dapat beralih menjadi

2

(5)

3 hukuman penjara dalam kurun waktu tertentu. DPR dan pemerintah baru menyepakati secara umum bahwa hukuman mati bukan lagi hukuman pokok, melainkan hukuman alternatif di mana dalam jangka waktu tertentu dapat berubah sesuai dengan penilaian tim terhadap sang narapidana.

Namun di lihat dari tujuan adanya pidana, Menurut saya pribadi pidana mati tersebut tetap harus diberlakukan karena yang bersangkutan melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan, dan mereka khususnya yang tertangkap aparat dalam kasus narkotika merupakan orang yang membahayakan hidup orang lain serta bangsa lain apabila di pakai, diedar dalam taraf internasional terutama di Indonesia. Kalau tidak dengan cara begini lalu bagaimana seharusnya Indonesia harus menerapkan hukuman agar bisa membuat jera dan bisa mencegah dan memberantas peredaran narkotika dan psikotropika yang ada di Negara Kita.

3. Pencatatan Sipil3

Dalam rangka peningkatan kualitas layanan Administrasi Kependudukan (Adminduk), pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Perpres tersebut telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 16 Oktober 2018.

Perpres ini merupakan upaya reformasi sistem pelayanan Adminduk di Indonesia agar lebih cepat. Ia mengatur di antaranya terkait pelayanan pendaftaran penduduk terdiri dari pencatatan biodata penduduk, penerbitan KK, penerbitan KTP-el, penerbitan surat keterangan kependudukan, serta pendaftaran penduduk rentan Adminduk.Perpres Nomor 96 Tahun 2018 merupakan upaya peningkatan kualitas layanan Adminduk agar lebih cepat dan sederhana.Perpres ini juga tidak mengandung membuang persyaratan-persyaratan yang tidak perlu.

Dengan diterbitkannya Perpres tersebut, berbagai persyaratan seperti surat keterangan pengantar dari RT/RW, maupun desa/kelurahan serta kecamatan menjadi tidak diperlukan lagi. Hal ini tiada lain untuk menghapus birokrasi yang berbelit-belit dalam pelayanan Adminduk. Dengan Perpres 96 Tahun 2018, penduduk hanya cukup dengan membawa foto kopi KK (Kartu Keluarga).Namun, untuk pencatatan biodata penduduk masih diperlukan surat pengantar RT/RW yang disertai dengan dokumen atau bukti peristiwakependudukan dan peristiwa penting dan bukti pendidikan terakhir. Untuk penerbitan KK karena perubahan elemen data, penduduk hanya perlu membawa KK lama dan surat keterangan/bukti perubahan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting. Adapun untuk penerbitan KK baru karena hilang atau rusak, penduduk hanya perlu membawa surat keterangan hilang dari kepolisian atau KK yang rusak serta KTP-el.

Sebelumnya, kebijakan peningkatan kualitas layanan Adminduk tertuang melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 19 Tahun 2018 Tentang Peningkatan Kualitas Layanan Adminduk.Permendagri tersebut mengamanatkan agar penduduk yang mengurus dokumen kependudukannya dapat terlayani selama maksimal satu hari.Sejalan dengan upaya percepatan layanan, maka diterbitkanlah Perpres 96 Tahun 2018 yang memotong persyaratan birokrasi yang berbelit.

3

(6)

4 Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Kementerian Dalam Negeri terkait Administrasi Kependudukan

Kementerian Dalam Negeri sebagai kementerian pelaksana administrasi kependudukan ikut aktif dalam pelaksanaan RANHAM (Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia) Tahun 2018. Ada 2 (dua) aksi HAM yang harus dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri:

1. Aksi

Percepatan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) dalam rangka tertib administrasi kependudukan bagi penduduk rentan di wilayah Kantong Kemiskinan.

Kriteria Keberhasilan

Meningkatnya kepemilikan KTP-el bagi penduduk rentan di wilayah kantong kemiskinan

Ukuran Keberhasilan

Tersedianya data kepemilikan KTP-el bagi penduduk rentan wilayah kantong kemiskinan

2. Aksi

Percepatan kepemilikan akta kelahiran dalam rangka tertib administrasi kependudukan (adminduk) bagi penduduk rentan adminduk di wilayah kantong kemiskinan

Kriteria Keberhasilan

Meningkatnya kepemilikan akta kelahiran anak usia 0-18 tahun bagi penduduk rentan di wilayah kantong kemiskinan

Ukuran Keberhasilan

Tersedianya data kepemilikan akta kelahiran anak usia 0-18 tahun bagi penduduk rentan adminduk di wilayah kantong kemiskinan

4. Pelaksanaan Kerja Sama (MoU) Antara DJHAM dan INFID, ICGN, HRWG, LPSK, dan Beberapa Pemprov.

(terlampir)

5. Disabilitas4

Perkembangan terkini komitmen dunia internasional terhadap hak-hak penyandang disabilitas adalah dikeluarkannya Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on

the Rights of Persons with Dissabilities pada tanggal 13 Desember 2006 oleh Majelis

Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) . Pemerintah Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Penandatangan tersebut menunjukkan komitmen Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas.

Dalam rangka melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahunnya. Pemerintah Indonesia

4

(7)

5 juga telah membentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang khusus mengatur tentang hak-hak penyandang disabilitas.

Data penyandang disabilitas di Indonesia dikumpulkan oleh BPS dan kementerian/lembaga lain yang berkepentingan, antara lain Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan. Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012, penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45%. Peningkatan dan penurunan persentase penyandang disabilitas yang terlihat pada gambar I di bawah, dipengaruhi oleh adanya perubahan konsep dan definisi pada Susenas 2003 dan 2009. Walaupun, demikian data pada Susenas 2012 memperlihatkan terjadinya peningkatan prevalensi pada jumlah penyandang disabilitas di Indonesia.

Gambar 1. Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas berdasarkan Data Susenas 2003, 2006, 2009, dan 2012

Sumber: BPS (2012)

Pada gambar II dibawah penyandang disabilitas terbanyak adalah penyandang yang mengalami lebih dari satu jenis keterbatasan melihat, dan berjalan atau naik tangga. Sebesar 39,97% penyandang disabilitas mengalami lebih dari satu jenis keterbatasan, diikuti keterbatasan melihat, dan berjalan/naik tangga.

Gambar II. Distribusi Penyandang Disabilitas Menurut Jenis Disabilitas Tahun 2012

Sumber: BPS (2012)

Dalam tataran implementasi kebijakan, Pemerintah Indonesia juga telah memiliki Rencana Aksi HAM (RANHAM) yang salah satu fokus aksinya adalah tentang hak penyandang disabilitas. Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang menjalankan RANHAM periode keempat yaitu RANHAM 2015-2019.

(8)

6 Pada tahun 2017 telah ditetapkan 9 (sembilan) fokus Prioritas aksi HAM, yaitu: Akses Pendidikan, Pelayanan Kesehatan, Ketenagakerjaan, Pembangunan di Daerah [KAT (Komunitas Adat Terpencil), Desa], Lingkungan Hidup, Sistem Peradilan Pidana Anak/Kepastian Hukum, Penyandang Disabilitas, Kedaulatan Pangan, dan Pencegahan Intoleransi.

Secara keseluruhan, capaian pelaksanaan Aksi HAM 2017 menunjukkan kemajuan yang signifikan bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar Aksi HAM pada tahun 2017 telah mencapai target yang ditetapkan dan sejumlah program hak asasi manusia di Kementerian, Lembaga, dan Pemda berhasil menjawab permasalahan HAM yang diidentifikasi di awal (penyusunan) Aksi 2017. Pemenuhan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas yang menjadi Aksi HAM 2017 diarahkan pada sejumlah Aksi, yaitu tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas; pengobatan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dipasung; dan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas di 180 kabupaten/kota.

Dari pelaksanaan Aksi 2017 khusus hak penyandang disabilitas, diketahui bahwa Pemerintah Indonesia telah berhasil mencapai target yang ditetapkan, di antaranya adalah:

- Telah terbitnya Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 21 Tahun 2017

tentang Penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas pada November 2017. Kartu ini merupakan kartu identitas bagi penyandang disabilitas yang terdata dalam data nasional untuk memperoleh akses layanan dalam penghormatan, pemajuan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Kartu ini akan meningkatkan pemenuhan dan pelindungan kelompok disabilitas sesuai dengan ragam disabilitas yang dialami.

- Terdapat 17 Provinsi yang telah memiliki kebijakan lokal untuk penanganan dan

pelayanan kesehatan jiwa bagi ODGJ, meningkat dari tahun sebelumnya hanya 15 Provinsi. Kebijakan daerah ini terkait dengan adanya peraturan daerah yang menegaskan program “Bebas Pasung” dan adanya Tim Lintas Sektor yang dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan.5

- Meningkatnya pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas yang berada di 187

kabupaten/kota, melebihi target yang ditetapkan Aksi HAM 2017 hanya di 180 kabupaten/kota. Pelayanan ini terkait dengan adanya tenaga medis yang terlatih untuk menangani kasus kesehatan jiwa minimal dengan 30 jam pelatihan, adanya upaya promosi yang dilakukan oleh Puskemas sebagai upaya preventif, serta adanya deteksi dini, penegakan diagnosis, penatalaksanaan awal, rujukan, serta pengelolaan rujukan.6

Pada perumusan aksi HAM 2018, telah dipetakan terdapat 10 aksi terkait hak penyandang disabilitas yang akan dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga, antara lain:

a) Penyusunan peraturan pelaksanaan undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas – Aksi HAM Bappenas dan Kementerian Sosial (Perbedaan ada di ukuran keberhasilan)

5

Aksi HAM 2017 menargetkan 20 Provinsi dari 15 Provinsi pada 2016.

6Data dukung: Rekapitulasi data kabupaten/kota yang memiliki Puskesmas yang menyelenggarakan upaya

(9)

7 b) Penayangan bahasa isyarat dan/teks/closed captions (cc) di televisi dan program

berita – Aksi HAM Kementerian Komunikasi dan Informatika

- Pembahasan RUU Penyiaran

c) Harmonisasi produk hukum daerah yang tidak mendiskriminasi hak-hak perempuan, anak, dan penyandang disabilitas – Aksi HAM Daerah

- Meningkatnya hasil harmonisasi rancangan produk hukum daerah yang tidak mendiskriminasi hak-hak perempuan, anak, dan penyandang disabilitas

d) Tindak lanjut peta jalan layanan kesehatan inklusi bagi penyandang disabilitas – Aksi HAM Kementerian Kesehatan

- Tersosialisaikannya peta jalan layanan kesehatan inklusi bagi penyandang disabilitas

e) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak dan perspektif disabilitas melalui ragam media - Aksi HAM Kementerian Komunikasi dan Informatika

- Media cetak dan elektronik memuat tayangan informasi / edukasi tentang hak penyandang disabilitas

f) Gerakan Desa dan Kabupaten/ Kota Inklusi – Aksi HAM Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

- Pembangunan desa yang inklusi penyandang disabilitas (penyediaan aksesibilitas sarana dan prasarana)

g) Peningkatan jumlah pekerja penyandang disabilitas di perusahaan melalui jobfair - Aksi HAM Kementerian Ketenagakerjaan

- Tersedianya lowongan kerja bagi tenaga kerja penyandang disabilitas di perusahaan

h) Peningkatan layanan sarana dan prasarana perhubungan bagi lanjut usia, wanita/ibu hamil, penyandang disabilitas, dan anak – Aksi HAM Kementerian Perhubungan

- Meningkatnya jumlah fasilitas publik bagi lanjut usia, wanita/ibu hamil, penyandang disabilitas, dan anak.

i) Pemutakhiran Data Pemilih Tetap (DPT) dalam rangka peningkatan akses bagi penyadang disabilitas Pemilu (Temasuk Pemilu Kepala Daerah/Kada) – Aksi HAM KPU

- Adanya peningkatan inklusivitas bagi penyandang disabilitas dalam penyelenggaraan Pemilu 2019

Selain Kementerian dan Lembaga, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga memiliki aksi HAM 2018 yang terkait isu penyandang disabilitas yaitu:

- Harmonisasi produk hukum daerah yang tidak mendiskriminasi hak-hak

perempuan, anak, dan penyandang disabilitas

- Pelayanan komunikasi masyarakat melalui peningkatan penanganan dan tindak

lanjut pengaduan masyarakat terhadap dugaan pelanggaran hak perempuan, anak, penyandang disabilitas, masyarakat adat dan pengaduan terkait konflik lahan.

Berdasarkan evaluasi terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan aksi HAM terkait isu penyandang disabilitas yaitu:

- Masih minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat dan pemangku

kepentingan tentang penyandang disabilitas, termasuk penanganan ODGJ, serta cara memenuhi hak-hak tersebut.

- Keterbatasan aksesibilitas pelayanan dan ruang publik.

- Belum selesainya peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016

(10)

8 - Menciptakan berbagai kesempatan dan penggalian pengembangan potensi

penyandang disabilitas, merubah paradigma pelayanan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas untuk memasuki dunia kerja/usaha (penyiapan: pendidikan, keterampilan, dll),

- Mengembangkan kolaborasi strategis dengan DPO dalam memperjuangkan

hak-hak penyandang disabilitas. 2. Rekomendasi:

- Perlunya mengembangkan kolaborasi strategis dan sinergi antara Pemerintah

dan DPO‟s dalam rangka pemenuhan, penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan hak penyandang disabilitas sangat perlu diperkuat. Dalam hal ini Sekretariat Bersama RANHAM telah melibatkan beberapa DPO‟s dalam penyusunan aksi HAM yang kedepannya akan terus ditingkatkan.

- Pentingnya melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan

pemangku kepentingan mengenai penyandang disabilitas, termasuk berbagi peran mengenai pemenuhan hak-hak tersebut.

- Perlunya harmonisasi regulasi berbasis HAM penyandang disabilitas.

- Perlu mempercepat penyelesaian peraturan pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

- Membahas dan mengembangkan RANHAM tersendiri untuk CSO termasuk DPO,

seperti Sustainable Development Goals (SDG‟s) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang telah menginisiasi penyusunan Renaksi khusus untuk masyarakat sipil, di luar renaksi Kementerian dan Lembaga.

6. Pekerja Migran7

Mengacu pada data dari World Bank pada tahun 2017, jumlah warga Indonesia yang menjadi pekerja migran tidak kurang dari 9 juta jiwa dengan rincian 55% berada di Malaysia, 13% berada di Arab Saudi, 10% di China atau Taipei, dan sisanya berada di negara-negara lain. Para pekerja migran asal Indonesia banyak mendominasi sektor domestik baik itu menjadi asisten rumah tangga (ART) dengan persentase sebesar 32%, ada pun pada sektor-sektor lainnya seperti pada sektor pertanian pada porsi 19%, sektor konstruksi pada 18% dan pekerja pabrik yang hanya pada kisaran 8%.8Dari kerja keras para pekerja migran asal Indonesia ini telah menyumbangkan hal yang positif bagi perekonomian Indonesia.Tercatat uang remitansi yang didapat dari pekerja migran asal Indonesia mencapai Rp 118 Triliun pada tahun 2017.

Meski pun telah menghasilkan remintasi yang besar, namun sebagian besar publik masih memandang bahwa pelindungan para pekerja migran asal Indonesia belum optimal.Hal ini dapat dilihat dengan masih adanya sejumlah kasus di mana para pekerja migran menghadapi hukuman berat di luar negeri. Berdasar data yang didapat dari Migrant Care, ada 167 pekerja migran asal Indonesia yang terancam hukuman mati saat ini. Malaysia menduduki posisi pertama di mana para pekerja migran asal Indonesia terbanyak mendapat ancaman hukuman mati yaitu sejumlah 117 orang. Ada pun di China, ada 27

7 Dibuat oleh Ichwan Milono dan Firdhita 8

Lebih lanjut baca “Bank Dunia : Remitansi TKI tembus Rp 118 Triliun”, diakses di cnnindonesia pada 20 Desember 2018, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171128114247-78-258562/bank-dunia-remitansi-tki-tembus-rp118-triliun

(11)

9 pekerja migran asal Indonesia yang terancam hukuman mati, 21 orang di Arab Saudi, satu orang di Singapura dan satu orang di Qatar.9Sementara, itu dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ada enam pekerja migran asal Indonesia yang telah dieksekusi.

Kasus terkahir hukuman mati yang menjerat pekerja migran asal Indonesia dan ramai mendapat sorotan media adalah kasus hukuman mati Tuti Tursilawati.10Pekerja migran asal Majalengka yang menjadi asisten rumah tangga di Arab Saudi itu dieksekusi pada tanggal 29 Oktober waktu setempat tanpa pemberitahuan.

Sejatinya, pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya meningkatkan perlindungan para pekerja migran. Dari segi internal, Pemerintah Indonesia telah menciptakan sejumlah infrastruktur dan regulasi yang sedemikian rupa bertujuan untuk mencegah terjadinya persoalan berkenaan dengan hukum bagi pekerja migran. Dari aspek infrastruktur pemerintah telah menciptakan badan yang secara khusus menangani pekerja migran yaitu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).Ada pun dari pendekatan regulasi, pemerintah telah memiliki aturan seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Selain dari aspek internal, pemerintah juga melakukan sejmlah langkah perlindungan pada pekerja migran di tataran ekseternal. Beberapa langkah yang patut untuk digarisbawahi di antaranya Indonesia telah meratifikasi International

Convention on The Protection of the Rights of All Migrant Workers and Member of their Families pada tahun 2012 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2012. Di tataran regional Asia Tenggara, pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-31 Indonesia mendorong negara-negara anggota untuk menghormati hak-hak para pekerja migran.Atas upaya ini, negara-negara anggota ASEAN telah menyepakati sejumlah hal terkait pekerja migran yang tertuang dalam “ASEAN

Consensus on the Promotion and Protection of the Rights of Migrant Workers”.Yang

menarik dalam consensus tersebut dinyatakan bahwa para pekerja migran yang illegal juga dinilai perlu untuk mendapatkan perlindungan.11

Namun demikian segenap upaya pemerintah Indonesia dalam melindungi hak-hak pekerja migran rupanya masih terdapat beberapa tantangan baik di level nasional maupun di level regional dan interansional.

Di tataran regional Asia Tenggara sebagai contoh, meski semua negara anggota memiliki kesadaran mengenai pentingnya melindungi hak-hak pekerja migran – dalam hal ini ditunjukan dengan adanya itikad politik (political will) negara-negara anggota dalam ASEAN Consnsus dimaksud ---, namun sejumlah negara-negara anggota masih belum menilai ada keperluan untuk membuat sebuah aturan yang

9 Lebih lanjut baca “ancaman hukuman mati mengintai 167 TKI, terbanyak di Malaysia” diakses di cnnindonesia

pada 20 Desember 2018” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180319164434-12-284241/ancaman-hukuman-mati-mengintai-167-tki-terbanyak-di-malaysia

10 Lebih lanjut baca “Tuti Tursilawati : Arab Saudi Eksekusi TKI tanpa Pemberitahuan, Indonesia Protes”, diakses

di bbc.com pada 20 Desember 2018, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46030543

11

Lebih lanjut baca “KTT ASEAN SEpakati Perlindungan Pekerja Migran, diakses di cnnindonesia pada 21 Desember 2018, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171115093240-532-255725/ktt-asean-sepakati-perlindungan-pekerja-migran

(12)

10 mengikat secara hukum. Padahal, tanpa adanya aturan yang mengikat secara hukum maka akan sangat sulit untuk melakukan perlindungan secara riil bagi para pekerja migran. Salah satu alasan yang kiranya mampu menjelaskan masih adanya silang pendapat di antara negara-negara ASEAN berkenaan dengan perlindungan pekerjaan migran adalah masih kuatnya prinsip non-intervention di antara negara-negara anggota ASEAN.Adanya kesepakatan yang mengikat secara hukum dinilai merupakan ancaman bagi kepentingan nasional negara-negara anggota dalam melakukan penegakan hukum di level nasional masing-masing.

Sementara itu, di tataran nasional persoalan yang harus dihadapi adalah masih banyaknya jalur-jalur yang memungkinkan bagi pekerja migran illegal.Masih banyak penyedia layanan yang berupaya mengelabui aparat penegak hukum untuk mengirimkan para pekerja migran secara illegal.Kondisi ini juga membuat adanya kekhawatiran bahwa para pekerja tersebut ada kemungkinan merupakan korban dari human trafficking.12

Selain itu, yang harus juga dihadapi di tataran nasional adalah masih perlunya pemerintah untuk melakukan sosialisasi tentang sejumlah peraturan di internasional pada calon-calon pekerja migran ke negara-negara rawan seperti Malaysia dan Arab Saudi.Pada umumnya, para pekerja migran asal Indonesia di kedua negara tersebut bekerja sebagai asisten rumah tangga yang secara pendidikan rendah sehingga mudah untuk dieksploitasi.Mengingat juga, kedua negara ini merupakan negara yang banyak terdapat pekerja migran asal Indonesia namun dalam perihal perlindungan hak-hak dasar masih sangat rendah.Diharapkan dengan demikian, adanya pertimbangan lebih lanjut di kalangan calon pekerja migran untuk berangkat mengais rezeki ke kedua negara tersebut.

Namun demikian, melakukan sosialisasi dan lebih lanjut pendampingan secara baik perlu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Dengan adanya 9 juta pekerja migran asal -sebagaimana tercatat oleh Bank Dunia -- ditambah dengan adanya persoalan pekerja migran yang tidak terdokumentasi maka pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah-langkah yang inisiatif dan mudah diakses oleh para pekerja migran.Mengingat pula memang masyarakat di Indonesia bersifat reaktif dan hanya mengetahui symptom yang berupa kasus seperti hukuman mati pekerja migran. Padahal, persoalan yang menghadapi para pekerja migran bermula dari dalam negeri sebagaimana yang diterangkan sebelumnya.

7. Perdagangan Orang13

1. Kasus perdagangan orang (human trafficking) merupakan permasalahan sosial dan kemanusiaan yang mendera banyak negara ASEAN. Negara-negara ini menjadi sumber sekaligus tujuan perdagangan manusia. Sindikat perdagangan manusia ini melintasi batas-batas negara, dilakukan secara terorganisir, dan

12

Lebih lanjut baca “Pekerja MIgran Rentan Jadi Korban Trafficking”, diakses di tempo.co pada 21 Desember 2018, https://nasional.tempo.co/read/522597/pekerja-migran-rentan-jadi-korban-trafficking

13

(13)

11 prakteknya terus berkembang luas. Indonesia menjadi satu negara di ASEAN yang mengalami persoalan perdagangan orang. Indonesia pun menjadi negara sumber maupun tujuan dari perdagangan manusia. Banyak perempuan dan anak-anak dikirim ke negara Malaysia, Singapura, Brunei, Taiwan,Jepang, Hongkong, dan Timur Tengah. Indonesia juga menjadi negara tujuan perdagangan manusia yang berasal dari China, Thailand, Hongkong, Uzbekistan, Belanda, Polandia, Venezuela, Spanyol, dan Ukraina dengan tujuan eksploitasi seksual.

2. Human trafficking telah menjadi persoalan laten di Indonesia. Karakteristiknya bersifat represif dengan tujuan mengekploitasi manusia. Warga Negara Indonesia dieksploitasi menjadi pekerja paksa di luar negeri. Mereka dipekerjakan sebagai buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pekerja konstruksi, dan menjadi pekerja seks komersial. Jumlah pekerja migran Indonesia yang terjebak dalam situasi kerja paksa, termasuk terjebak jeratan hutang, baik di Asia, Timur Tengah maupun di kapal-kapal penangkapan ikan, cukup signifikan. Masalah human trafficking digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, karena memiliki pengaruh yang luas dan dampak ancaman yang besar. Selain itu, praktek kejahatan human trafficking ini melintasi batas-batas negara (transnasional).

3. Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia dalam laporannya pada tahun 2016 menyatakan, Indonesia menjadi salah satu negara asal utama, tujuan, dan transit bagi laki-laki, perempuan, dan anak-anak Indonesia untuk menjadi pekerja paksa dan korban perdagangan seks.UNICEF memperkirakan, terdapat 100.000 perempuan dan anak di Indonesia diperdagangkan setiap tahun untuk eksploitasi seksual komersial di Indonesia dan luar negeri. Sekitar 30 persen perempuan pelacur di Indonesia di bawah usia 18 tahun dan 40.000-70.000 anak jadi korban perdagangan orang.

4. Pada tahun 2017, Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri berhasil memulangkan 1083 korban perdagangan orang. Dari jumlah tersebut, 1078 merupakan perempuan dewasa, sisanya anak-anak. Sementara itu, dalam kurun waktu tiga bulan di tahun 2018, terdapat 32 kasus perdagangan orang yang menyasar kepada anak-anak.

5. Pemerintah menetapkan lima daerah yang masuk kategori zona merah human

trafficking. Ke lima daerah tersebut antara lain NTT, NTB, Jawa Timur, Jawa

Tengah, dan Jawa Barat. Pada akhir tahun 2017, NTT menempati posisi atas sebagai daerah yang mengalami human traffcking. Berdasarkan data tersebut Indonesia berada dalam kondisi darurat human trafficking. Praktek-praktek perdagangan manusia sebagai praktek perbudakan akan terus meningkat seiring berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini diperlukan upaya khusus dari pemerintah untuk dapat menindak tegas para pelaku (agen-agen) dan mengurangi korban-korban human trafficking.

6. Sebagai upaya untuk meminimalisasi kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Pemerintah sudah membentuk Gugus Tugas TPPO (GT TPPO) dan Menteri PMK merupakan Ketua dari GT TPPO. GT TPPO merupakan gugus tugas lintas sektoral dan melibatkan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Tenaga Kerja, dan Polri. 7. Terdapat dua langkah penting untuk penanganan meminimalkan kasus TPPO,

yaitu melalui penegakan hukum dan rehabilitasi terhadap korban serta peran serta dari kementerian/lembaga untuk bekerja sesuai dengan bidang dan tupoksinya masing-masing.

(14)

12 8. Ujaran Kebencian14

Indonesia beberapa tahun belakangan ini menghadapi ujian para tingkat toleransi masyarakat terhadap keutuhan kehidupan bernegara.Sebagaimana UUD 1945 mengamanatkan, sudah seharusnya pemeliharaan toleransi sebagai bagian dari hak asasi manusia, maka ini menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Tantangan tersebut mulai “menggelora” sejak terjadinya kasus penodaan agama yang dituduhkan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), kasus Meliana di Sumatera, sampai pada kasus pemotongan batu nisan di DI Yogyakarta yang baru-baru ini terjadi. Kejadian demi kejadian ini menuntut pemerintah untuk sesegera mungkin mengambil langkah-langkah efektif baik melalui kebijakan maupun melalui non-kebijakan.Fokus pemerintah yang masih terfokus kepada pembangunan infrastruktur kemudian terkesan acuh terhadap pentingnya menjaga keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Sangat disayangkan yang dilakukan oleh negara melalui aparatur penegak hukum yang dimiliki negara ini justru menimbulkan kesan “impunitas” dan “tangan besinya” lembaga-lembaga negara ini. Kesan lain yang ditimbulkan oleh langkah penegakan hukum oleh pemerintah saat ini adalah berperan seperti layaknya “pemadam kebakaran”. Penegakan hukum yang lebih terindikasi atau terkesan “menyingkirkan” pemahaman hak asasi manusia, menjadi kendala utama.Oleh karenanya dibutuhkan sebuah langkah dari pemerintah untuk memainkan perannya sebagai penanggung jawab utama P3 hak asasi manusia.Sebagai contoh, sosialisasi dan pendidikan mengenai pentingnya toleransi demi menjaga keutuhan kehidupan bernegara di Indonesia saat ini.

Pendidikan sosial kemanusiaan dari perspektif kebhinekaan saat ini sangat dibutuhkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini akan menjadi sebuah langkah konkret sebagai bagian dari implementasi hak asasi manusia sebagaimana tertuang di dalam UUD 45. Sehingga apa yang tercantum di dalam UUD 45 tidak hanya sekedar sesuatu hal yang tertulis saja dan menjadikannya menguap ke angkasa tanpa dirasakan implementasinya.

9. Anak (SPPA) dan Perempuan15

1. Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Hal tersebut diatur pada: a. Pasal 21 ayat (3) (UU No.35 Tahun 2014) tentang Perlindungan Anak

menyatakan bahwa “Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah”.

b. Pasal 21 ayat (5) UU No.35 Tahun 2014 mengamanatkan bahwa “kebijakan yang dimaksud adalah melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak Anak (KLA)”.

14 Dibuat oleh R. Gina Santiyana dan Dimas Saudian 15

(15)

13 c. Pasal 21 ayat (6) UU No.35 Tahun 2014, “Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan kabupaten/kota layak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Presiden”.

2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah memiliki 8 (delapan) Peraturan Menteri PPPA terkait pelaksanaan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak yang masih berlaku dalam upaya mewujudkan pembangunan terhadap pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. Namun KPPPA ingin meningkatkan peraturan tersebut menjadi Peraturan Presiden.

3. Terkait dengan poin nomor 2, maka terdapat beberapa masukan terhadap Rancangan Peraturan Presiden tentang Kebijakan Kota Layak Anak, antara lain:

a. Definisi Kebijakan KLA sebaiknya diubah menjadi : “Kebijakan KLA adalah arah kebijakan untuk penyelenggaraan KLA bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang memuat fokus dan sasaran dalam rangka mempercepat terwujudnya Indonesia Layak anak”. b. Sebaiknya Kebijakan KLA memuat :

Dokumen Nasional Kebijakan KLA

Adalah dokumen yang menjadi pedoman dan acuan Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memuat petunjuk dan arah untuk penyelenggaraan dan pelaksanaan KLA untuk mempercepat terwujudnya Indonesia Layak Anak.Untuk itu dibutuhkan adanya strategi umum dan khusus untuk mencapai sasaran yang diinginkan.Dalam Dokumen Nasional Kebijakan KLA inilah memuat hal-hal tersebut.

c. Fokus dan Sasaran Penyelenggaraan KLA

Adalah bagian dari Dokumen Nasional Kebijakan KLA yang memuat fokus dan sasaran penyelenggaraan KLA maka program dan kegiatan perlindungan anak dapat lebih terarah dalam mewujudkan kabupaten/kota layak anak.

d. Ranperpres ini sebaiknya lebih membahas fokus dan sasaran dari penyelenggaraan KLA saja, bagaimana strategi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan penyelenggaraan KLA ini dengan berpedoman pada NSPK terkait pelaksanaan perlindungan anak. Hal ini sesuai Pasal 17 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

e. Frasa “Rencana Aksi” pada Batang Tubuh dan Lampiran sebaiknya dihilangkan. Tim penyusun perlu berkonsultasi dengan Bappenas mengenai rencana aksi ini. Karena arahan Bappenas terkait hal ini adalah bahwa rencana aksi lain yang merupakan rumpun dalam hak asasi manusia sebaiknya diintegerasikan ke dalam RANHAM. Perlindungan hak anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia.

f. Hal yang paling penting dalam Ranperpres ini adalah Lampiran I Dokumen Nasional Kebijakan KLA, namun pada:

 BAB I, belum secara rinci dan terarah memuat petunjuk dan arah untuk mewujudkan KLA sesuai dengan tujuan disusunnya dokumen ini. Sasaran juga masih belum memperlihatkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan.

(16)

14  BAB II, yang paling penting pada bab ini adalah bagian C yaitu STRATEGI untuk penyelenggaraan KLA, namun pada bagian ini tidak menguraikan secara jelas sama sekali terkait hal ini.

g. Sebagai bahan acuan Tim penyusun Ranperpres ini dapat melihat Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.

h. Koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kemenko terkait pelaporan hasil capaian pelaksanaan program penyelenggaraan KLA dalam upaya mewujudkan perlindungan hak anak ini yang harus disampaikan setiap periode kepada Presiden dan hal ini belum tercantum pada batang tubuh.

i. Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak merupakan bagian yang terpisah dari Ranperpres ini dan tetap diatur pada Peraturan Menteri saja, merubah Peraturan Menteri yang lama sekaligus mengatur pemberian penghargaan terkait pencapaian indikator tersebut oleh kabupaten/kota.

j. Peran serta masyarakat, media massa dan dunia usaha sebaiknya tidak masuk menjadi bagian indikator yang akan dinilai. Isi dari Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak sebaiknya adalah pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pemenuhan hak anak dan perlindungan hak anak yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang berpedoman pada NSPK yang di susun oleh pemerintah pusat.

k. Pada Permen PPPA No.12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak terdapat 31 indikator yang harus dipenuhi oleh kabupaten/kota dan terdapat juga standar penilaian yang diberikan. Namun Lampiran Ranperpres ini memuat Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak menjadi 24 indikator, tetapi belum memuat standar penilaiannya. Perkembangan Isu Tematik HAM Terkini Terkait Pendidikan Dan Pelatihan Sistem Pidana Peradilan Anak

1. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia dalam keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa Negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.

2. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak akan kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

3. Peran serta semua pihak dibutuhkan dalam rangka mewujudkan Keadilan Restoratif baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.

(17)

15 4. Dalam rangka penerapan program diversi dan peradilan restoratif dalam penanganan Anak berhadapan dengan hukum, maka perlu diselenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat) secara terpadu bagi aparat penegak hukum dan instansi terkait yang dapat menciptakan persamaan persepsi, peningkatan keterampilan dalam penanganan dan pelayanan bagi anak berhadapan dengan hukum dan meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar lembaga /instansi yang terkait dengan penanganan anak berhadapan dengan hukum.

5. Jumlah jam pelajaran dalam penyelenggaraan diklat SPPA ini paling singkat 120 jam. Peserta diklat berasal dari instansi penegak hukum dan instansi terkait lainnya, yaitu Kementerian Hukum dan HAM RI, Mahkamah Agung RI, Kejaksaan Agung RI, Kepolisian Negara RI, Kementerian Sosial RI, dan Pengacara Anak. Jumlah Peserta Jumlah peserta Diklat SPPA maksimal 30 (tiga puluh) orang per angkatan.

6. Data terakhir sampai dengan bulan September 2018, jumlah peserta diklat SPPA adalah sebagai berikut :

a. Hakim : 155 orang b. Jaksa : 191 orang

c. Pembimbing Kemasyarakatan : 369 orang d. Polisi : 188 orang

e. Pekerja Sosial : 172 orang f. Advokat : 129 orang

Total jumlah peserta pelatihan adalah 1.204 orang.

7. Penyelenggaraan diklat SPPA secara terpadu bagi aparat penegak hukum dan instansi terkait ini masih terus dilanjutkan untuk dapat menciptakan persamaan persepsi, peningkatan keterampilan dalam penanganan dan pelayanan bagi anak berhadapan dengan hukum dan meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar lembaga /instansi yang terkait dengan penanganan anak berhadapan dengan hukum.

10. Bisnis dan HAM16

Sesuai dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan di negara ini, pemerintah sebagai pengemban utama tanggung jawab terkait perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) memiliki segala sumber daya baik dari sisi kekuatan maupun kapasitasnya sebagai penyelenggara negara.Ketentuan hukum HAM tersebut memberi penegasan bahwa negara sebagai pemangku kewajiban (duty holder) harus memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam pelaksanaan HAM, baik secara nasional maupun internasional; sedangkan individu dan kelompok-kelompok masyarakat adalah pihak pemegang hak (right holder).Konsepsi klasik yang semuanya mengarah kepada tanggung jawab HAM negara mulai bergeser seiring perkembangan zaman.

Di era saat ini perusahaan-perusahaan dengan sumber daya yang dimiliki, mampu memberikan dampak pada HAM.Baik secara internal maupun eksternal,

16

(18)

16 perusahaan memberikan dampak (positif maupun negatif) dari aktivitas/ operasional usahanya. Dalam perkembangannya, di Indonesia perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan dan Pariwisata menjadi perusahaan-perusahaan yang selalu menjadi perhatian oleh kalangan masyarakat sipil, penegak hukum, dan pemerintah terutama karena munculnya kasus-kasus yang merupakan dampak dari kegiatan usaha dari sektor-sektor usaha tersebut. Indonesia merupakan negara berkembang yang mengalami peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya. Hasil riset Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) menunjukkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2012 sampai 2017 diyakini sebagai pertumbuhan tertinggi di dunia, yakni sebesar 15,5persen. Hal ini dapat terlihat dari semakin pesatnya pertumbuhan sektor usaha di Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengusaha dan investor untuk mendirikan usaha di Indonesia dari berbagai sektor pariwisata, perkebunan pertambangan dan sebagainya.

Namun di satu sisi, penanaman modal asing sebagai ciri khas Globalisasi Ekonomi, memberikan dampak positif, antara lain: penyerapan tenaga kerja, alih teknologi, pendapatan negara meningkat, dan kemudahan masyarakat mengakses kebutuhan. Namun, di sisi lain dampak negatif juga terjadi, antara lain: kerusakan lingkungan, berkurangnya lahan produktif, praktik-praktik “perbudakan” baru, eksplorasi sumber daya alam secara berlebihan serta munculnya degradasi sosial. Jika merujuk pada pedoman OECD (Organization for

Economic Cooperation and Development), korporasi diposisikan sebagai

penggerak pembangunan, sekalipun dalam capaiannya tetap mementingkan pada kepentingan pemilik modal. Dalam perkembangannya, semakin disadari bahwa praktik globalisasi ekonomi yang berdampak negatif akan berdampak pada kepentingan bisnis itu sendiri. Terlebih lagi, adanya kesadaran akan hubungan/ keterkaitan antara bisnis dengan hak asasi manusia yang merupakan perubahan yang signifikan di dalam diskursus dan praktik hak asasi manusia, baik di tingkat nasional, regional, dan internasional.

The UN’s 2030 Agenda for Sustainable Development (SGDs): Menekankan agar

pelaku usaha berkontribusi terhadap SDGs dengan menghormati hak asasi manusia yang diakui secara internasional, standar hak pekerja dan lingkungan hidup termasuk UNGP‟s (UNGP’s Underlines that private sector contributions to

the SDGs needs to be founded on respect for international human rights, labour and environmental standards, including the UNGPs).

Menjawab hal tersebut Perpres No. 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG‟s) menetapkan 17 goals dan 169 target yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang merupakan pedoman bagi Kementerian Lembaga serta Pemerintah Daerah, Pelaku usaha, Filantropi, akademisi dan stakesholders lainnya terkait implementasi bisnis dan HAM di Indonesia. Salah satu tujuan global dari pelaksanaan SDG‟s adalah Tujuan Global: XII. Menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan dengan sasaran global ke-4 yang terkait dengan pentingnya implementasi bisnis dan HAM di Indonesia adalah mendorong perusahaan, terutama perusahaan besar dan transnasional, untuk mengadopsi praktek-praktek berkelanjutan dan mengintegrasikan informasi keberlanjutan dalam siklus pelaporan mereka.

(19)

17 Pada tingkat nasional, tantangan dan permasalahan hak asasi manusia saat ini yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah: kesenjangan antara kerangka kerja hukum dan kondisi nyata HAM pada sektor bisnis, yang ditandai adanya peningkatan pelanggaran HAM oleh korporasi (non-state actors), serta lemahnya peran negara dalam melindungiHAM warga negara. Pada sektor bisnis pertambangan misalnya, kasus Laporan Komnas HAM: selama kurun 2011-2016 tidak ada upaya serius dari Pemerintah baik pusat maupun daerah serta aparat penegak hukum dalam upaya penanganan reklamasi dan pasca tambang di Kaltim yang menyebabkan jatuhnya 25 orang korban jiwa termasuk anak-anak dan kerusakan lingkungan. Potensi pelanggaran HAM terkait tenggelamnya 25 orang di bekas tambang batubara di Kalimantan Timur terkait dengan pelanggaran hak atas hidup, hak atas kesehatan dan lingkungan yang sehat, hak untuk memperoleh keadilan dan hak atas rasa aman serta hak anak;

Pada sektor bisnis pariwisata, pembangunan yang masif di sekitar wilayah Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur misalnya, berdampak pada terhalangnya hak untuk memanfaatkan sektor publik bagi kepentingan bersama dari adanya praktik „privatisasi‟ (pengambilalihan lahan dan kontrol atas sumber daya publik) di kawasan wilayah pesisir pantai. Begitu pula yang terjadi di Provinsi Maluku, yang dalam hal ini telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat dalam melakukan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya sebagai akibat adanya sektor pariwisata yang berdekatan dengan Tanjung Souino.

Tidak hanya itu saja, pelanggaran hak asasi manusia pada sektor bisnis perkebunan, di kawasan perkebunan kalepa sawit PT. PP Lonsum Tbk. di wilayah Sumatera Utara misalnya. Sejak dimulainya pembukaan lahan perkebunan, tahap pembangunan, sampai pada tahap produksi hingga pemeliharaan kebun, terjadi dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk: pengusiran paksa penduduk di wilayah perkebunan, pelarangan penduduk memasuki wilayah perkebunan, serta pelarangan aktivitas ekonomi penduduk yang biasanya dilakukan di wilayah perkebunan.

Dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi baik di sektor bisnis pertambangan, pariwisata, dan perkebunan tersebut tentu menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab melindungi hak asasi manusia.

Kerangka hukum hak asasi manusia nasional maupun internasional meletakkan negara dalam hal ini Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia dan yaitu Kemenko Perekonomian yang telah ditunjuk sebagai Fokal Poin Bisnis dan HAM sebagai pemegang tanggungjawab pelaksanaan HAM (penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan), meski dalam perkembangannya pada sektor bisnis melekat tanggungjawab korporasi (sebagai aktor bukan negara/ non-state actors) untuk menghormati HAM. Peran lain dari Ditjen terkait Bisnis dan HAM adalah pertama, membangun konsep Bisnis dan HAM sebagai bentuk dari tanggung jawab pelaksanaan HAM dan kedua, membangun mekanisme kerja Bisnis dan HAM yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan korporasi dari tingkat pusat hingga di daerah.

Dalam kerangka kerja tersebut, terdapat kebutuhan untuk menyusun kerangka dan mekanisme Bisnis dan HAM di Indonesia dengan asumsi-asumsi dasar

(20)

18 sebagai berikut: pertama,sedapat mungkin mekanisme pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia dapat secara efektif diarahkan pada kerangka pencegahan pelanggaran-pelanggaran hak, dan sedapat mungkin menjangkau pada pencapaian tujuan penyelesaian akar permasalahan yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hak dari kegiatan bisnis. Kedua, dalam hal penghormatan hak asasi manusia oleh korporasi, maka pemerintah perlu menyusun alat ukur pelaksanaan penghormatan hak oleh korporasi sebagai objek pengawasan dan pemantauan (object of supervision), guna mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM, serta memastikan penyelesaian yang efektif jika terjadi pelanggaran hak dalam kegiatan bisnis; dan ketiga perlunya dibangun mekanisme yang memudahkan semua pihak terkait dalam melaksanakan ketiga prinsip di dalam UNGP‟s.

Langkah-langkah yang telah dilakukan Pemerintah, Perusahaan dan CSO‟s: 1. Deputi Tata Kelola Kehutanan Kemeterian Koordinator Bidang

Perekonomian menjadi Focal Point Implementasi Bisnis dan HAM di Indonesia;

2. Kementerian Hukum dan HAM RI :

a. Penyusunan Panduan Bisnis dan HAM (Modul) bagi aparat penegak hukum;

b. Penyelenggaraan ToT Bisnis dan HAM bagi aparatur pemerintah; c. Seminar dan Workshop terkait Bisnis dan HAM di Indonesia ;

d. Penyusunan Baseline Studi Bisnis dan HAM di sektor pertambangan, perkebunan dan pariwisata;

e. Rencana penyusunan kebijakan Bisnis dan HAM diantaranya integerasi Rencana Aksi Bisnis dan HAM ke dalam RANHAM 2020-2025,

f. Rencana penyusunan mekanisme bisinis dan HAM diantaranya penyusunan due diligence dan risk checker dll;

3. Kementerian Luar Negeri menyusun panduan bisnis dan HAM yang disesuaikan dengan semangat dan kondisi di Indonesia;

4. Kementerian BUMN melaksanakan diseminasi dan sosialisasi pada 30 BUMN;

5. Kementerian KKP menyusun system dan sertifikasi HAM pada usaha perikanan;

6. ELSAM bersama Direktorat Jenderal Hak Asasi Menyusun program kebijakan dan mekanisme HAM di Indonesia dalam jangka waktu tiga tahun kedepan;

7. IGCN melakukan Advokasi, edukasi dan pendampingan; dan 8. INFID: menyusun policy Papers bisnis dan HAM.

Tantangan Kedepan

1. Usaha penyamaan persepsi dan awareness di setiap level pemangku kepentingan;

2. Penyusunan RAN BHR dan pengintegerasiannya di dalam RANHAM 2020-2025;

3. Strategi komunikasi yang efektif untuk menyusun langkah-langkah apa saja yang telah dan perlu dilakukan serta ditingkatkan dalam pelaksanaan kebijakan dan mekanisme BHR di Indonesia;

4. Penyusunan target dan roadmap yang jelas;

(21)

19 11. Intoleransi

Indonesia beberapa tahun belakangan ini menghadapi ujian para tingkat toleransi masyarakat terhadap keutuhan kehidupan bernegara.Sebagaimana UUD 1945 mengamanatkan, sudah seharusnya pemeliharaan toleransi sebagai bagian dari hak asasi manusia, maka ini menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Tantangan tersebut mulai “menggelora” sejak terjadinya kasus penodaan agama yang dituduhkan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), kasus Meliana di Sumatera, sampai pada kasus pemotongan batu nisan di DI Yogyakarta yang baru-baru ini terjadi. Kejadian demi kejadian ini menuntut pemerintah untuk sesegera mungkin mengambil langkah-langkah efektif baik melalui kebijakan maupun melalui non-kebijakan.Fokus pemerintah yang masih terfokus kepada pembangunan infrastruktur kemudian terkesan acuh terhadap pentingnya menjaga keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Sangat disayangkan yang dilakukan oleh negara melalui aparatur penegak hukum yang dimiliki negara ini justru menimbulkan kesan “impunitas” dan “tangan besinya” lembaga-lembaga negara ini. Kesan lain yang ditimbulkan oleh langkah penegakan hukum oleh pemerintah saat ini adalah berperan seperti layaknya “pemadam kebakaran”. Penegakan hukum yang lebih terindikasi atau terkesan “menyingkirkan” pemahaman hak asasi manusia, menjadi kendala utama.Oleh karenanya dibutuhkan sebuah langkah dari pemerintah untuk memainkan perannya sebagai penanggung jawab utama P3 hak asasi manusia.Sebagai contoh, sosialisasi dan pendidikan mengenai pentingnya toleransi demi menjaga keutuhan kehidupan bernegara di Indonesia saat ini.

Pendidikan sosial kemanusiaan dari perspektif kebhinekaan saat ini sangat dibutuhkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini akan menjadi sebuah langkah konkret sebagai bagian dari implementasi hak asasi manusia sebagaimana tertuang di dalam UUD 45. Sehingga apa yang tercantum di dalam UUD 45 tidak hanya sekedar sesuatu hal yang tertulis saja dan menjadikannya menguap ke angkasa tanpa dirasakan implementasinya.

12. Antipenyiksaan17

Perkembangan di tingkat Nasional

 Indonesia telah menegaskan larangan penyiksaan di dalam Pasal 28G UUD dan ditegaskan Pasal 28I tentang hak yang tidak bisa dikurangi (underogable

rights)

 UU 39/1999 tentang HAM telah menyebut penyiksaan (sebagaimana Pasal 1 dan 16 UNCAT) dan Pasal 4 menegaskan larangan penyiksaan sebagai

underogable rights. Demikian pula UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM

(Pasal 9 f);

 Kasus penyiksaan biasanya masuk dalam kategori “penganiayaan” (351 KUHP), meski tidak memadai;

 Penyiksaan telah masuk dalam Rancangan KUHP.

17

(22)

20 Perkembangan di tingkat Regional dan Global

 Tidak semua negara anggota ASEAN memiliki ketentuan khusus dan definisi khusus untuk penyiksaan. Di beberapa negara anggota ASEAN, tindak penyiksaan belum tentu termasuk ke dalam tindak pidana. Namun demikian, berbagai bentuk penyiksaan seperti kekerasan fisik, pemenjaraan paksa tanpa proses pidana, kekerasan dalam proses penyelidikan adalah bentuk pelanggaran hukum yang diatur dalam berbagai legislasi nasional di negara-negara anggota ASEAN;

 Meskipun tidak terdapat keseragaman definisi dan pengaturan penyiksaan dalam hukum nasional amsing-masing negara ASEAN, namun United Nations

Convention Against Torture (UNCAT) menjadi pedoman bagi negara-negara

mengenai apa yang termasuk dalam bentuk penyiksaan;

 Tindak-tindak yang termasuk sebagai penyiksaan dapat ditemui dalam berbagai bentuk, antara lain penyiksaan fisik dan mental, pelanggaran dalam proses investigasi seperti paksaan untuk mendapat pengakuan tersangka, kekerasan fisik untuk mengeluarkan informasi dari tersangka atau untuk mendapatkan keterangan pengadilan, kondisi lapas yang tidak memadai dan tidak manusiawi, diskriminasi terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, maupun diskriminasi berdasarkan latar belakang, etnis, dan agama. Hal-hal ini dapat terjadi dari proses penyelidikan, penangkapan, penyidikan, penahanan, dan pemasyarakatan;

 Masih terdapat beberapa negara anggota ASEAN yang belum meratifikasi UNCAT, namun terdapat kesepahaman dan seluruh negara anggota sepakat pentingnya pencegahan penyiksaan. Untuk itu diperlukan peningkatan pemahaman, baik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat umum agar dapat membedakan dan mengenai definisi penyiksaan;

 Perlunya peningkatan kualitas dan kondisi kerja aparat penegak hukum sebagai salah satu upaya untuk mencegah penyiksaan.

 Di tingkat global, Indonesia terus mendorong ratifikasi dan pelaksanaan UNCAT melalui Convention against Torture Initiative (CTI) bersama Chile, Denmark, Ghana, dan Maroko

Tantangan Pelaksanaan UNCAT

 Penyiksaan belum masuk ke dalam KUHP dan belum terdefinisikan sesuai dengan UNCAT dan belum adanya ketentuan setiap kesaksian di bawah penyiksaan otomatis tidak dapat digunakan di pengadilan;

 Belum adanya mekanisme pencegahan penyiksaan secara independen, dalam proses penegakan hukum, termasuk di setiap tahanan atau lembaga pemasyarakatan;

 Adanya peraturan-peraturan dearah yang bertentangan dengan prinsip UNCAT;

 Belum adanya mekanisme pemulihan hak-hak korban penyiksaan dan sanksi yang tegas bagi pelaku;

(23)

21 13. Masyarakat Adat18

Berbagai kasus terkait MHA atas wilayahnya berupa tanah, hutan, dan sumber daya alam (SDA) lain karena konflik/sengketa dengan pihak ketiga di sejumlah daerah seolah timbul tenggelam karena belum berhasil diselesaikan secara tuntas. Konflik/sengketa bisa terjadi antara MHA dan pihak swasta atau instansi pemerintah, bahkan antara kelompok MHA ketika para pihak mempertahankan batas wilayah masing-masing atau status kepemilikannya di wilayah tertentu.Dari segi normatif, belum terbentuknya UU yang secara komprehensif mengatur pengakuan dan perlindungan MHA beserta hak-haknya itu menambah kerumitan dalam penyelesaiannya.

UU sektoral secara sporadis-parsial merumuskan tentang MHA dalam satu atau dua pasal.Apakah pengaturan itu cukup komprehensif melindungi hak-hak MHA?Kajian harmonisasi 26 UU di bidang SDA dan lingkungan hidup (Tim GN-PSDA KPK, 2018) mencatat setidaknya ada tiga perbedaan dalam pengaturan tentang MHA dalam UU sektoral.

Pertama, istilah yang digunakan. UU sektoral umumnya menggunakan istilah MHA, tetapi UU Penataan Ruang menggunakan istilah masyarakat adat (MA); bahkan, UU Minyak dan Gas Bumi menggunakan dua istilah tersebut. Kedua, perbedaan dalam persyaratan pengakuan MHA yang berpotensi bahwa pengakuan oleh satu sektor bisa jadi tidak diakui oleh sektor lain. Ketiga, perbedaan dalam perlindungan wilayah adat.

Analisis lebih lanjut terkait pengaturan MHA yang parsial itu menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosial yang dijabarkan dalam berbagai indikator itu belum terpenuhi. Ini dapat dilihat, antara lain, dari belum adanya jaminan terkait pengakuan MHA dan perlindungannya, pemerataan akses pemanfaatan SDA, pemulihan kerugian atas hilangnya akses MHA atas SDA karena pemanfaatannya oleh pihak lain, serta hak MHA untuk memberikan persetujuan atau menyatakan keberatan atas rencana pemanfaatan SDA. Di samping itu, dalam berbagai UU sektoral itu belum dimuat tentang hak MHA untuk memperoleh informasi tentang perencanaan pemanfaatan SDA dan partisipasinya.

Dalam hubungannya dengan perusahaan, UU sektoral belum mengatur secara jelas kewajiban perusahaan untuk meningkatkan kerja sama dan kapasitas MHA, termasuk pengalokasian dana hasil pemanfaatan SDA yang adil, dan sanksi bagi perusahaan yang memanfaatkan SDA tanpa hak atau izin di atas tanah/wilayah MHA. Kiranya cukup jelas bahwa hal-hal esensial sebagai wujud pengakuan dan perlindungan MHA itu belum diatur dalam berbagai UU sektoral sehingga pengaturan yang komprehensif itu memang perlu sebagai pemenuhan kewajiban negara yang diamanatkan oleh konstitusi.

Harmonisasi dan Unifikasi

Dalam lingkup internasional, setidaknya tercatat 13 konvensi tentang MHA; diawali dengan The UN Charter 1945 dan yang mutakhir adalah The UN Declaration of the

Rights of Indigenous Peoples, 13 September 2007. Dalam lingkup Asia, Filipina pada

1997 menerbitkan The Indigenous Peoples Rights Act sebagai lex generalis yang

18

(24)

22 mengatur tentang MHA sebagai subyek sekaligus hak-haknya. Pengaturan di sektor pertambangan, misalnya, merumuskan besaran royalti atau kompensasi yang harus diberikan kepada MHA ketika di bawah wilayah MHA dilakukan kegiatan penambangan.Juga setiap kegiatan penambangan yang di atasnya terdapat wilayah MHA harus memperoleh persetujuan MHA terlebih dahulu.

Di Indonesia, pengakuan dan perlindungan MHA beserta hak-haknya dimuat dalam Pasal 18 B Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945.Penjabaran tentang pengakuan kesatuan MHA telah dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 10/PUU-I/2003 tentang pengujian UU No 11/2003. Persyaratan keberadaan MHA terdiri dari empat unsur, yakni: (1) masih hidup; (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3) sesuai dengan prinsip NKRI; dan (4) diatur dalam UU. Keempat unsur itu masing-masing diberikan rinciannya oleh MK. Dalam kaitannya dengan unsur ”diatur dalam UU”, sudah cukupkah jika pengaturan MHA itu ”dititipkan” pada UU yang sudah ada?

Analisis terkait UU sektoral yang memuat tentang MHA secara parsial dan tidak harmonis satu sama lain itu menegaskan perlunya pengaturan tentang MHA yang utuh dan terpadu dalam satu UU yang berfungsi sebagai lex generalis. Kelak, UU sektoral harus menyesuaikan pengaturannya tentang MHA berdasarkan pada lex

generalis ini dan dengan memperhatikan semangat konstitusi sesuai putusan MK

yang relevan.Patut juga diingat bahwa kedudukan MHA sebagai subyek hukum sudah ditegaskan oleh MK melalui putusan No 3/PUU-VIII/2010, putusan No 34/PUU-IX/2011, putusan No 45/PUU-34/PUU-IX/2011, dan putusan No 35/PUU-X/2012.

Saat ini setidaknya ada empat RUU yang mengatur tentang MHA beserta hak-haknya, baik secara lengkap maupun parsial: RUU Masyarakat Hukum Adat; RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat; RUU Pertanahan; dan RUU Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Antara RUU MHA dan RUU Perlindungan Hak MA (RUU PHMA) terdapat kesamaan.

RUU MHA mengatur tentang hal berikut: (1) pengakuan hak MHA; (2) perlindungan MHA; (3) hak MHA atas wilayah, SDA, spiritualitas dan kebudayaan, lingkungan hidup, dan kewajiban MHA; (4) pemberdayaan MHA; (5) hak MHA atas informasi; (6) tugas dan wewenang pemerintah pusat dan daerah; (7) lembaga adat; (8) penyelesaian sengketa; (9) pendanaan; (10) partisipasi masyarakat; (11) larangan; serta (12) ketentuan pidana. Ruang lingkup pengaturan RUU PHMA meliputi: (1) hak MA (15 macam); (2) pemajuan hak MA, termasuk pemberdayaan, pengembangan, pelestarian, dan pemanfaatan hak; (3) kelembagaan, meliputi tugas dan wewenang pemerintah pusat dan daerah, sistem informasi; (4) partisipasi masyarakat; (5) pengawasan; serta (6) pendanaan. Terdapat beberapa substansi yang diatur dalam bab tersendiri dalam RUU MHA, tapi dalam RUU PHMA dimasukkan sebagai salah satu sub-bab. Misalnya, penyelesaian sengketa, pemberdayaan, tugas dan wewenang pemerintah pusat dan daerah, serta sistem informasi.Substansi terkait lembaga adat, larangan, dan sanksi pidana tidak diatur dalam RUU PHMA.

RUU Pertanahan (RUUP) mengatur tentang opsi pemberian hak atas tanah di atas tanah ulayat setelah memperoleh persetujuan tertulis MHA dan memenuhi persyaratan lainnya. Di pihak lain, RUU tentang Hak Ulayat MHA mengatur tentang pengakuan dan pengukuhan hak ulayat. Terkait dengan pengakuan, diatur tentang

(25)

23 hubungan hukum antara MHA dan wilayahnya, yang dibedakan antara yang beraspek publik dan privat, serta yang beraspek privat belaka.

Pembedaan ini berdampak terhadap pengaturan selanjutnya terkait dengan pengukuhan, pendaftaran, peralihan, dan pembebanannya. Selanjutnya, RUU Hak Ulayat MHA mengatur tentang pemberian hak atas tanah di atas tanah ulayat; peralihan dan pembebanan; ganti kerugian; serta hapusnya hak ulayat.

Jalan Tengah Pengaturan MHA

Terlepas dari substansi RUU yang masih terbuka untuk diberikan catatan, bagaimana upaya mencari jalan tengah pengaturan MHA itu?Pertama, seyogianya dalam pembahasan RUU MHA di DPR, substansi RUU PHMA yang relevan dapat diharmonisasikan dan diakomodasi dalam RUU MHA untuk mewujudkan satu UU yang komprehensif dan berfungsi sebagai lex generalis.Judul RUU bisa tetap atau jika dimungkinkan dapat diubah menjadi RUU tentang Hak MHA.

Kedua, terkait kedudukan RUU Hak Ulayat MHA.Jika pengaturannya dalam tiga RUU terdahulu dapat dirumuskan kembali dengan memuat garis besar atau pokok-pokok pengaturan saja, maka RUU Hak Ulayat MHA dapat difungsikan sebagai peraturan pelaksanaan dari UU dan diberi wadah berupa peraturan pemerintah. Namun, jika justru RUU Hak Ulayat MHA memuat hal-hal yang esensial dan belum diatur dalam RUU lain, setelah disempurnakan maka dapat diproyeksikan menjadi lex generalis untuk semua pengaturan terkait hak ulayat MHA. Mengupayakan harmonisasi di antara UU itu selain memperkaya substansi juga mencegah tumpang tindih pengaturan.

Mencari jalan tengah unifikasi pengaturan tentang MHA itu didasarkan pada kebutuhan pengaturannya secara substansial dan bukan perkara teknikal semata.Produk hukum yang dihasilkan pun sudah dilandasi kajian dari aspek sosiologis, antropologis, dan historis tentang MHA.Perlu sikap obyektif dengan menggunakan kacamata kebinekaan dalam NKRI, bahwa diperlukannya pengaturan yang utuh tentang MHA itu merupakan pemenuhan kewajiban negara untuk mengakui dan melindungi MHA.

Merupakan hal yang wajar jika suatu saat ikatan MHA menjadi longgar, bahkan mungkin tidak dijumpai lagi keberadaannya.Jika hal ini terjadi, biarlah disebabkan kesadaran hukum MHA yang bersangkutan itu sendiri dan bukan karena dipaksakan oleh pihak luar melalui kebijakan ataupun tindakan.

(26)

24 Lampiran

(27)
(28)
(29)

Gambar

Gambar II. Distribusi Penyandang Disabilitas Menurut Jenis Disabilitas  Tahun 2012

Referensi

Dokumen terkait

Ulangan kenaikan kelas disusun oleh guru mata pelajaran pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran.. Ulangan

Tingkat kemampuan berfikir abstraksi peserta didik pada suatu kelas berbeda- beda. Berpikir abstrak dalam hal ini adalah suatu kemampuan menemukan cara- cara dalam

Tempat bongkar muat barang di DAOP III Cirebon, DAOP IV Semarang, DAOP V Purwokerto, DAOP VI Yogyakarta, DAOP VIII Surabaya dan DIVRE I Medan sebagai lahan

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pengendalian sosial tersebut adalah ...A. meningkatkan rating stasiun

Disposisi Respon yang diberikan oleh aparat pelaksana sudah cukup baik sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, adanya respon yang baik terhadap kebijakan dalam

wartawan itu harus selalu dekat,” kata Anang Sujoko, praktisi kehumasan yang menjadi salah satu narasumber dalam acara Pelatihan Updating Kehumasan dan Komunikasi Publik

Jika pada bayi prematur terapi musik memberikan efek yang menguntungkan maka penelitian ini juga menunjukkan pengaruh terapi musik yang bermakna pada peningkatan saturasi