• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENAMBAHAN ION I - TERHADAP INHIBISI KOROSI BAJA SS 304 DALAM LARUTAN HCl 1 M DENGAN SENYAWA PURIN/HASIL KONDENSASI FORMAMIDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENAMBAHAN ION I - TERHADAP INHIBISI KOROSI BAJA SS 304 DALAM LARUTAN HCl 1 M DENGAN SENYAWA PURIN/HASIL KONDENSASI FORMAMIDA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Kimia-FMIPA ITS

PENGARUH PENAMBAHAN ION I- TERHADAP INHIBISI KOROSI BAJA SS 304 DALAM LARUTAN HCl 1 M DENGAN SENYAWA PURIN/HASIL KONDENSASI

FORMAMIDA

Kartika Anoraga M.*, Dra. Harmami, MS1, Drs. Agus Wahyudi, MS2

Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Abstrak

Pengaruh penambahan ion I- terhadap inhibisi korosi baja SS 304 dalam larutan HCl 1 M dengan senyawa

purin/hasil kondensasi formamida telah diteliti dengan metode pengurangan berat dan polarisasi potensiodinamik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baja SS 304 yang mengandung 18% Cr masih dapat mengalami korosi pada larutan HCl 1 M dengan laju korosi sebesar 4,41 mmpy. Penambahan inhibitor berupa senyawa purin/hasil kondensasi formamida pada variasi konsentrasi 300-1500 ppm dalam larutan HCl 1 M dapat menurunkan laju korosi baja SS 304 hingga 3,04 mmpy. Sedangkan penambahan ion I- (dari larutan KI) sebesar 1,0x10-4 M terhadap larutan

HCl 1 M dengan adanya inhibitor menyebabkan laju korosi baja SS 304 semakin menurun hingga 2,96 mmpy, sehingga efisiensi inhibisinya meningkat dibandingkan efisiensi inhibisi tanpa adanya penambahan ion I- dengan

nilai %EI meningkat dari 77,14% menjadi 92,01%.

Kata kunci: Inhibisi korosi, baja SS 304, ion I-, senyawa purin/hasil kondensasi formamida 1. Pendahuluan

Baja merupakan material kontruksi utama yang secara luas digunakan pada berbagai macam industri, seperti industri nuklir, perminyakan, industri makanan, obat-obatan dan industri elektrokimia. Baja terdapat dalam berbagai jenis, salah satunya adalah baja

stainless steel (SS) tipe 304. Baja SS tipe ini sering

digunakan dalam industri karena memiliki sifat mekanik berupa kekuatan dan keuletan yang memadai,

harganya relatif murah, dan memiliki

resistensi/ketahanan yang baik terhadap korosi (Fouda, 2009). Ketahanan ini berdasarkan pada adanya lapisan pasif pada permukaannya. Namun, dalam proses industri, baja SS 304 sering mengalami proses pickling atau pencucian dengan asam (biasanya asam sulfat atau asam klorida). Asam-asam yang digunakan tersebut bersifat korosif sehingga baja SS 304 yang memiliki kandungan minimal 18% Cr akan larut dan tidak dapat membentuk lapisan pasifnya. Hal ini akan membuat ketahanannya berkurang dan dapat terjadi korosi. Korosi adalah reaksi kimia/elektrokimia antara logam dan lingkungannya yang dapat menurunkan mutu logam. Secara umum, untuk pengendalian lingkungan yang korosif dapat dilakukan dengan pengontrolan pH dan penggunaan inhibitor. Saat ini penggunaan inhibitor merupakan pengendalian korosi yang lebih banyak diteliti, karena mudah dalam penggunaannya dan tidak menyebabkan gangguan

yang signifikan terhadap proses produksi di industri (Scendoa, 2007).

Inhibitor adalah suatu zat yang ditambahkan dalam jumlah kecil secara berkala yang efektif menurunkan laju korosi dengan cara membentuk lapisan pasif (lapisan pelindung) pada permukaan logam. Salah satu inhibitor yang sering digunakan adalah inhibitor organik. Biasanya inhibitor organik adalah senyawa-senyawa organik yang memiliki atom elektronegatif seperti S, N, O dan selebihnya banyak senyawa N-heterosiklik yang merupakan inhibitor yang efektif untuk korosi baja pada media asam, seperti asam klorida (Asan, 2005).

Penggunaan inhibitor organik sintesis terkadang menimbulkan masalah lingkungan, karena pada kenyataannya bahan kimia sintesis adalah bahan kimia yang berbahaya (beracun), harganya lumayan mahal, dan tidak ramah lingkungan. Keamanan dan permasalahan lingkungan akibat inhibitor ini menjadi perhatian khusus selama beberapa puluh tahun terakhir, karena sifat racunnya dapat menyebabkan kerusakan sementara atau permanen pada sistem organ, ginjal, hati, dapat mengganggu proses biokimia dan dapat mengganggu sistem enzim dalam tubuh. Oleh karena itu penggunaan inhibitor yang aman, mudah didapat, bersifat biodegradable, murah, dan ramah lingkungan (green and friendly inhibitors) sangatlah diperlukan (Raja, 2007). Purin dan turunannya merupakan salah satu senyawa organik N-heterosiklik yang aman karena tidak beracun dan bersifat biodegradable, sehingga purin dapat digunakan sebagai inhibitor baru untuk masalah korosi pada baja stainless steel.

* corresponding author phone: +6285731531666 E-mail: kartika.an@gmail.com

1,2 Alamat sekarang: Jurusan Kimia, FMIPA, Institut

(2)

Prosiding Kimia-FMIPA ITS

Beberapa penelitian mengenai purin sebagai inhibitor korosi telah banyak dilaporkan. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Scendoa (2007)

yaitu mengenai pengaruh purin pada korosi tembaga dalam larutan NaCl. Penelitian ini menggunakan variasi konsentrasi inhibitor 1,0x10-4, 0,5x10-4, 1,0x10 -3, 0,5x10-3, dan 1,0x10-2 M dan metode yang

digunakan untuk mengurangi laju korosinya adalah dengan metode pengurangan berat, metode polarisasi, teknik EQCM dan SEM. Hasil metode-metode tersebut sama-sama menunjukkan bahwa purin merupakan inhibitor yang baik untuk tembaga dalam larutan NaCl 1 M dengan pH 6,8. Efisiensi inhibisinya meningkat dengan meningkatnya konsentrasi purin. Efisiensi inhibisi terbesar adalah 76% pada konsentrasi purin 10-2 M.

Yan, dkk (2008) meneliti senyawa-senyawa purin sebagai inhibitor korosi baja lunak dalam media HCl 1 M ditinjau dari elektrokimia dan studi kimia kuantum. Senyawa-senyawa purin yang digunakan adalah guanin, adenin, 2,diaminopurin, 6-thioguanin, dan 2,6-dithiopurin dengan variasi konsentrasi 1,0x10-5, 3,2x10-5, 1,0x10-4, 3,2x10-4, dan

1,0x10-3 M. Metode yang digunakan untuk

mengurangi laju korosinya adalah dengan metode pengurangan berat, uji elektrokimia dan perhitungan secara kimia kuantum. Hasilnya menunjukkan bahwa efisiensi inhibisi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor dengan urutan sebagai berikut: 2,6-dithiopurin > 6-thioguanin > 2,6-diaminopurin > adenin > guanin. Efisiensi inhibisi terbesar adalah 88% pada 1,0x10-3 M 2,6-dithiopurin. Perhitungan

secara kimia kuantum menunjukkan adsorpsinya adalah adsorpsi fisika yang terjadi karena interaksi ikatan π antara elektron π dari purin dengan permukaan logam.

Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Li, dkk (2009) yang menggunakan senyawa turunan purin yaitu 6-benzilaminopurin sebagai inhibitor cold rolled

steel (CRS) dalam larutan HCl 1 M. Penelitiannya

mengenai adsorpsi dan efek inhibisi dari 6-benzilaminopurin pada CRS dalam larutan HCl 1 M pada suhu 25°-50°C dengan variasi konsentrasi 5, 10, 20, 30, 40, 50, 70 dan 100 mg/L. Metodenya adalah dengan metode pengurangan berat dan metode polarisasi. Hasilnya menunjukkan bahwa senyawa tersebut merupakan inhibitor yang baik dengan efisiensi inhibisi yang terus meningkat dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor. Efisiensi inhibisi maksimumnya adalah sebesar 95,8% pada konsentrasi inhibitor sebesar 100 mg/L. Adsorpsinya mengikuti adsorpsi isoterm Langmuir.

Dari berbagai penelitian tersebut diatas, menunjukkan bahwa purin dan turunannya merupakan senyawa organik yang baik sebagai inhibitor korosi dengan efisiensi inhibisi rata-rata diatas 70%. Namun,

pada penelitian yang dilakukan oleh Amin, dkk (2009) mengenai efek sinergisitas ion I- pada inhibisi korosi

Al dalam larutan H3PO4 1 M dengan purin

menunjukkan bahwa efek purin sendiri sebagai inhibitor korosi adalah rendah, sehingga perlu

ditambahkan ion I- (dari larutan KI) untuk

meningkatkan efek inhibisi dari purin tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efisiensi inhibisi terbesar dari purin sendiri adalah 55,01% pada konsentrasi purin 1,0x10-2 M sedangkan efisiensi

inhibisi terbesar dari purin yang ditambahkan ion I

-adalah 94,07% pada konsentrasi purin 1,0x10-2 M

dengan konsentrasi I- 1,0x10-4 M. Berdasarkan hasil

tersebut diperoleh kesimpulan bahwa ion I

-memberikan efek sinergis pada purin untuk inhibitor korosi pada logam Al dalam larutan H3PO4 1 M.

Berdasarkan penelitian tersebut diatas,

menunjukkan bahwa purin dengan adanya ion I

-efektif sebagai inhibitor korosi pada logam Al. Namun demikian, masih harus diuji lagi penggunaan purin tanpa dan dengan penambahan ion I- sebagai inhibitor

korosi baja SS 304 dalam media HCl. Akan tetapi, karena harga purin relatif mahal di pasaran, maka pada penelitian ini akan diuji penggunaan senyawa purin/hasil kondensasi formamida sebagai inhibitor korosi pada baja SS 304 dalam media HCl 1 M tanpa dan dengan penambahan ion I-.

2. Metodologi

2.1 Pembuatan Spesimen Baja SS 304

Baja SS 304 yang berbentuk lembaran dengan ketebalan 0,1 cm dipersiapkan untuk metode pengurangan berat dan polarisasi. Untuk metode pengurangan berat, baja dipotong persegi dengan ukuran 3x3 cm. Sedangkan untuk metode polarisasi, baja dipotong silinder dengan diameter 1,4 cm. Permukaan baja yang telah dipotong, kemudian digosok dengan kertas ampelas grade 500 dan 1000 secara berturut-turut, lalu dicuci dengan aquabidest dan aseton, dan terakhir dikeringkan.

2.2 Pembuatan Media Pengkorosi 2.2.1 Pembuatan Larutan HCl 1 M

Larutan HCl pekat (37%) sebanyak 82,9 ml dimasukkan ke dalam labu ukur 1 L yang telah berisi beberapa ml aquabidest, kemudian diencerkan dengan aquabidest sampai tanda batas sehingga diperoleh konsentrasi HCl 1 M. Larutan HCl 1 M kemudian distandarisasi dengan larutan NaOH yang telah distandarisasi dengan larutan asam oksalat.

2.2.2 Pembuatan Media Pengkorosi dengan Inhibitor tanpa dan dengan penambahan I

-Inhibitor yang digunakan dalam penelitian ini adalah senyawa purin/hasil kondensasi formamida. Inhibitor ditimbang sebanyak 1,5000 gram, lalu

(3)

Prosiding Kimia-FMIPA ITS

dimasukkan ke dalam labu ukur 1 L dan ditambahkan larutan HCl 1 M hingga tanda batas, sehingga diperoleh media pengkorosi HCl dengan konsentrasi inhibitor 1500 ppm. Media pengkorosi HCl dengan variasi konsentrasi inhibitor 300, 600, 900, dan 1200 ppm dapat dibuat dari media pengkorosi HCl dengan konsentrasi inhibitor 1500ppm menggunakan prinsip pengenceran. Data komposisi media pengkorosi yang digunakan dapat dilihat dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi media pengkorosi baja SS 304 Media Pengkorosi HCl (M) Inhibitor (ppm) KI (M) I 1 - - II 1 300 - III 1 600 - IV 1 900 - V 1 1200 - VI 1 1500 - VII 1 300 1,0x10-4 VIII 1 600 1,0x10-4 IX 1 900 1,0x10-4 X 1 1200 1,0x10-4 XI 1 1500 1,0x10-4

2.3 Metode Pengurangan Berat

Spesimen baja SS 304 yang telah dipersiapkan untuk metode pengurangan berat ini, mula-mula ditimbang dan dicatat berat awalnya. Baja kemudian direndam masing-masing pada media pengkorosi seperti pada tabel 2.1, selama 3 jam pada suhu kamar. Setelah proses perendaman, baja dicuci dengan aquabidest dan aseton secara berturut-turut lalu dikeringkan dan ditimbang berat akhirnya. Perlakuan ini dilakukan secara truplo. Perhitungan Efisiensi inhibisi dilakukan saat akhir keseluruhan proses metode ini. Efisiensi inhibisi dihitung dengan menggunakan persamaan 2.1.

(2.1)

dimana w0 adalah pengurangan berat baja dalam

larutan uji tanpa inhibitor, dan wi adalah pengurangan

berat baja dalam larutan uji dengan inhibitor tanpa dan dengan penambahan ion I- 1,0x10-4 M. Pengukuran

fraksi dari permukaan baja yang dilapisi oleh molekul adsorben (θ) dapat dihitung dengan persamaan:

(2.2) 2.4 Metode Polarisasi Potensiodinamik

Metode ini dilakukan untuk mengetahui nilai parameter korosi (arus korosi, potensial korosi, konstanta Tafel katodik dan anodik). Instrumen yang

digunakan adalah potensiostat tipe PGS 201 T dengan sistem 3 elektroda. Elektroda acuan adalah tipe calomel (SCE), elektroda pembanding berupa platina dan elektroda kerja adalah spesimen baja berbentuk silinder. Elektroda kerja, elektroda bantu, dan elektroda pembanding dirangkai menjadi suatu sel dengan larutan elektrolit dari media pengkorosi yang telah dibuat. Kemudian sistem tersebut dihubungkan dengan potensiostat dan komputer untuk membaca data yang diperoleh. Metode polarisasi dilakukan pada suhu kamar. Efisiensi inhibisi (EI) dihitung menggunakan persamaaan 2.3.

(2.3)

dimana Io merupakan densitas arus korosi pada media

pengkorosi tanpa inhibitor dan Ii pada media

pengkorosi dengan inhibitor.

3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Metode Pengurangan Berat

Metode pengurangan berat merupakan metode yang sederhana untuk menentukan laju korosi dan efisiensi inhibisi. Pengurangan berat tersebut terjadi karena logam larut menjadi keadaan teroksidasinya akibat reaksi kimia antara logam dengan lingkungannya. Pada metode ini akan diperoleh hasil berupa selisih pengurangan berat dari baja SS 304 dalam larutan uji tanpa dan dengan penambahan inhibitor berupa senyawa purin hasil sintesis formamida. Hasil ini secara langsung dapat digunakan untuk menentukan nilai efisiensi inhibisinya.

3.1.1 Hasil inhibisi Korosi Baja SS 304 tanpa dan dengan Senyawa Purin/Hasil Kondensasi Formamida

Hubungan antara konsentrasi inhibitor dengan pengurangan berat spesimen yang telah direndam selama 3 jam pada suhu kamar dalam larutan HCl 1 M dan dengan variasi konsentrasi inhibitor ditunjukkan pada Tabel 3.1. Pada Tabel 3.1, terlihat bahwa semakin besar konsentrasi inhibitor yang ditambahkan pada range 300-1500 ppm, maka pengurangan berat rata-rata (w) baja SS 304 semakin berkurang, sehingga efisiensi inhibisinya (%EI) dan fraksi pelingkupan permukaan baja (θ) semakin besar. Hal tersebut berarti bahwa semakin besar konsentrasi inhibitor pada range 300-1500 ppm maka laju korosi baja SS 304 semakin menurun.

Berdasarkan data pada Tabel 3.1, diperoleh bahwa efisiensi inhibisi (%EI) terbesar pada penelitian ini adalah 77,14% pada konsentrasi inhibitor 1500 ppm dari range 300-1500 ppm. Data tersebut juga menunjukkan bahwa efisiensi inhibisi berbanding lurus dengan fraksi pelingkupan (θ) permukaan logam oleh molekul inhibitor. Lapisan adsorpsi yang

(4)

Prosiding Kimia-FMIPA ITS

terbentuk pada permukaan logam menunjukkan adanya suatu lapisan pembatas antara media pengkorosi dengan permukaan logam secara langsung sehingga dapat menurunkan laju korosi. Fraksi dari permukaan yang dilapisi oleh molekul inhibitor tertinggi diperoleh pada konsentrasi 1500 ppm dengan nilai 0,7714.

Tabel 3.1 Data efisiensi inhibisi dalam larutan uji dengan metode pengurangan berat

Konsentrasi Inhibitor (ppm) (gram) ∆ (%) EI θ 0 300 600 900 1200 1500 0,0179 ± 5,77x10-5 0,0108 ± 1,15x10-4 0,0086 ± 1,53x10-4 0,0074 ± 5,77x10-5 0,0053 ± 5,77x10-5 0,0041 ± 1,00x10-4 0 39,59 51,86 58,55 70,26 77,14 0 0,3959 0,5186 0,5855 0,7026 0,7714 Berdasarkan hasil %EI pada Tabel 3.1, maka diperoleh pola inhibisi inhibitor pada baja SS 304. Pola inhibisi tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Grafik hubungan efisiensi inhibisi dengan variasi konsentrasi inhibitor

Pola yang diperoleh pada penelitian ini, menunjukkan pola yang sama dengan penelitian Scendo, 2007, dimana efisiensi inhibisi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor (purin) pada tembaga dalam larutan NaCl 1 M, dengan %EI terbesarnya adalah 76% pada konsentrasi purin 1x10-2 M. Hasil ini juga memiliki pola yang sama

dengan 2 penelitian Scendo yang menggunakan turunan purin berupa adenin sebagai inhibitor pada

tembaga dalam larutan NaCl 1 M dan larutan Na2SO4

0,5 M. Hasilnya menunjukkan bahwa adenin efektif menurunkan laju korosi pada tembaga dalam kedua larutan tersebut (Scendo, 2008).

3.1.2 Hasil Inhibisi Korosi Baja SS 304 Dengan

Senyawa Purin / Hasil Kondensasi

Formamida Dan Penambahan Ion I-

Penelitian ini juga dilakukan dengan

menambahkan ion I- (dari larutan KI) pada variasi

konsentrasi inhibitor dari 300-1500 ppm dalam larutan uji. Tujuannya adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan ion I- tersebut pada proses inhibisi korosi

baja SS 304 dengan senyawa purin/hasil kondensasi formamida. Data efisiensi inhibisi dengan penambahan ion I- 1,0x10-4 M pada variasi konsentrasi inhibitor

dalam larutan uji dengan metode pengurangan berat ditunjukkan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Data efisiensi inhibisi dalam larutan uji dengan penambahan ion I- 1,0x10-4 M

Konsentrasi Inhibitor (ppm) (gram) ∆ (%) EI θ 0 300 600 900 1200 1500 - 0,0019 ± 5,77x10-5 0,0018 ± 5,77x10-5 0,0017 ± 5,77x10-5 0,0016 ± 1,00x10-4 0,0014 ± 5,77x10-5 - 89,03 89,77 90,33 91,08 92,01 - 0,8903 0,8977 0,9033 0,9108 0,9201 Tabel 3.2 menunjukkan pola yang sama dengan larutan uji tanpa penambahan ion I- (Tabel 3.1). Kedua

tabel tersebut menunjukkan bahwa efisiensi inhibisinya meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor (300-1500 ppm) baik tanpa

maupun dengan penambahan ion I- sebesar

1,0x10-4 M.

Berdasarkan data pada Tabel 3.2, terlihat bahwa semakin besar konsentrasi inhibitor dari 300-1500

ppm dengan penambahan ion I- 1,0x10-4 M

mengakibatkan efisiensi inhibisinya semakin besar.

Hal ini menunjukkan bahwa penambahan ion I

-meningkatkan efisiensi inhibisi inhibitor pada baja SS 304 dalam larutan uji. Namun pengurangan berat rata-rata baja SS 304 memiliki selisih yang kecil dengan bertambahnya konsentrasi inhibitor. Hal tersebut dapat terjadi karena konsentrasi ion I- yang ditambahkan

tetap. Pola efisiensi inhibisi tanpa dan dengan penambahan ion I- dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Grafik hubungan Efisiensi Inhibisi dengan variasi konsentrasi inhibitor

0 50 100 0 300 600 900 1200 1500 E fis ie n si In h ib is i (% ) Inhibitor (ppm) 0 20 40 60 80 100 0 300 600 900 1200 1500 E fis ie n si In h ib is i (% ) Inhibitor (ppm) tanpa dengan

(5)

I-Prosiding Kimia-FMIPA ITS

Pola yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Rehim, (2008), yang menggunakan turunan purin berupa adenin. Pada penelitian ini, ion I- yang

ditambahkan sebesar 0,005 M dan 0,001 M pada larutan asam sulfat 4 M dengan adenin sebagai inhibitor pada low carbon steel (LCS) juga meningkatkan efisiensi inhibisinya.

3.2 Metode Polarisasi Potensiodinamik

Metode polarisasi potensiodinamik bertujuan untuk mengetahui seberapa besar arus korosi (Ikor),

potensial korosi (Ekor), dan konstanta tafel anodik dan

katodik (βa dan βc) dari baja SS 304 dalam larutan uji

tanpa dan dengan penambahan inhibitor serta dengan inhibitor yang ditambahkan ion I-. Parameter korosi

tersebut dapat diperoleh dengan cara menggunakan ekstrapolasi tafel dari hasil polarisasi. Hasil yang diperoleh dari metode ini adalah berupa kurva polarisasi katodik dan anodik baja SS 304 dalam larutan uji.

3.2.1 Hasil Inhibisi Korosi Baja SS 304 Tanpa dan dengan Senyawa Purin/Hasil Kondensasi

Formamida serta dengan Senyawa

Purin/Hasil Kondensasi Formamida yang ditambahkan ion I-

Kurva polarisasi katodik dan anodik baja SS 304 dalam larutan HCl 1 M tanpa dan dengan penambahan inhibitor serta dengan inhibitor yang ditambahkan ion I- ditunjukkan pada Gambar 3.3, 3.4

dan 3.5. Gambar 3.3 dan 3.4 menunjukkan arus yang dihasilkan pada proses polarisasi semakin menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi inhibitor dari 300 ppm sampai 1500 ppm. Hasil ini mengindikasikan bahwa inhibitor dapat menginhibisi laju korosi baja SS 304 secara efektif dengan bertambahnya konsentrasi inhibitor sampai pada konsentrasi 1500 ppm. Sedangkan, pada konsentrasi tersebut menghasilkan arus korosi terkecil akibat adsorpsi molekul inhibitor terjadi pada sisi aktif permukaan logam sehingga memperlambat proses korosinya. Hasil dari kurva polarisasi tersebut menunjukkan pola yang sama dengan metode pengurangan beratnya, yaitu pada konsentrasi inhibitor yang semakin besar pada range 300-1500 ppm diperoleh efisiensi inhibisi yang semakin besar pula.

Gambar 3.5 menunjukkan arus yang dihasilkan dengan penambahan ion I- 1,0x10-4 M dalam larutan

HCl 1 M dengan konsentrasi inhibitor 1500 ppm menurun jika dibandingkan dengan tanpa penambahan I- pada konsentrasi yang sama. Penurunan arus ini

menunjukkan bahwa proses inhibisi senyawa purin/hasil kondensasi formamida yang ditambah ion I- lebih efektif untuk mengurangi laju korosi baja SS

304 dalam larutan HCl 1 M dari 3,04 mmpy menjadi 2,96 mmpy. Hasil ini menunjukkan pola yang sama

dengan metode pengurangan beratnya, yaitu ion I

-yang ditambahkan menyebabkan efisiensi inhibisinya semakin besar dengan efisiensi inhibisi terbesar diperoleh pada konsentrasi inibitor sebesar 1500 ppm. Nilai %EI terbesar dengan adanya ion I- hasil metode

ini mencapai 32,84%.

Gambar 3.3 Kurva polarisasi baja SS 304 dalam larutan: (1) HCl 1 M, (2) HCl 1 M dengan senyawa purin 300 ppm, (3) HCl 1 M dengan senyawa purin 600 ppm

Gambar 3.4 Kurva polarisasi baja SS 304 dalam larutan: (4) HCl 1 M dengan senyawa purin 900 ppm, (5) HCl 1 M dengan senyawa purin 1200 ppm, (6) HCl 1 M dengan senyawa purin 1500 ppm

Gambar 3.5 Kurva polarisasi baja SS 304 dalam larutan: (6) HCl 1 M dengan senyawa purin 1500 ppm tanpa KI 1,0x10-4 M

dan (7) HCl 1 M dengan senyawa purin 1500 ppm dengan KI 1,0x10-4 M 1 3 2 Potensial (E) mV Potensial (E) mV Potensial (E) mV 6 5 4 6 7

(6)

Prosiding Kimia-FMIPA ITS

Parameter korosi baja SS 304 di dalam larutan HCl 1 M tanpa dan dengan variasi konsentrasi inhibitor serta dengan adanya ion I- pada konsentrasi

inhibitor sebesar 1500 ppm ditunjukkan pada Tabel 3.3. Berdasarkan Tabel 3.3 dapat ditarik hubungan antara konsentrasi larutan uji yang digunakan dengan laju korosi yang diperoleh (r). Hubungan tersebut ditunjukkan pada Gambar 3.6.

Tabel 3.3 Parameter korosi baja SS 304 dalam larutan uji

Gambar 3.6 Hubungan antara konsentrasi inhibitor dengan laju korosi (r)

Berdasarkan Gambar 3.6 tersebut terlihat bahwa baja SS 304 yang mengandung 18% Cr dalam larutan HCl 1 M masih dapat mengalami korosi dengan laju korosi sebesar 4,41 mmpy. Penambahan inhibitor dari 300 ppm-1500 ppm, menunjukkan laju korosinya semakin menurun, dengan laju korosi paling rendah diperoleh pada konsentrasi inhibitor sebesar 1500 ppm. Hal ini, menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut terjadi proses inhibisi yang lebih efektif dibandingkan konsentrasi inhibitor 300-1200 ppm. Laju korosi baja SS 304 dalam larutan HCl 1 M dengan adanya inhibitor yang ditambahkan pada range 300-1500 ppm menurun dari 4,41 mmpy menjadi 3,04 mmpy.

Berdasarkan Tabel 3.3 juga menunjukkan hubungan antara konsentrasi inhibitor dengan

potensial korosi. Potensial korosi yang dihasilkan cenderung naik turun, karena pelapisan baja SS 304 oleh inhibitor tidak merata dan tidak stabil. Namun, proses inhibisi korosi tetap berlangsung, karena nilai Ikor terus menurun saat ditambahkan inhibitor pada

variasi konsentrasi 300-1500 ppm.

Data konstanta tafel anodik (βa) dan katodik (βc) yang ditunjukkan pada Tabel 3.3 juga tidak beraturan. Data ini dapat dilihat dengan naik turunnya βa dan βc, seiring dengan meningkatnya konsentrasi inhibitor dari 300 ppm-1500 ppm. Nilai βa yang tidak beraturan mengindikasikan bahwa adsorpsi yang terjadi pada permukaan logam adalah fisisorpsi. Fisisorpsi ini menandakan ikatan yang terjadi antara inhibitor dengan permukaan logam dapat putus dan terikat kembali. Sedangkan nilai βc yang tidak beraturan menunjukkan bahwa inhibitor kurang optimal untuk menurunkan reaksi katodik pada logam. Namun, berdasarkan kurva polarisasinya terlihat bahwa inhibitor berupa senyawa purin/hasil kondensasi formamida dapat mempengaruhi reaksi anodik dan katodiknya (terlihat dari pergeseran kurva polarisasi dengan inhibitor) sehingga senyawa purin/hasil kondensasi formamida termasuk inhibitor campuran.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini, memiliki pola yang sama dengan penelitian Yan, dkk (2009). Kurva polarisasi hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa senyawa-senyawa purin yang digunakan (adenin, guanin, diaminopurin, 6-thioguanin, 2,6-dithiopurin) termasuk inhibitor campuran karena mempengaruhi reaksi anodik dan katodiknya. Selain itu, kurva polarisasinya juga menunjukkan nilai Ekor,

βa dan βc yang tidak beraturan. Sedangkan nilai Ikor

menurun dengan adanya senyawa-senyawa purin tersebut sehingga efisiensi inhibisinya semakin

meningkat dengan meningkatnya konsentrasi

senyawa-senyawa purin.

3.3 Mekanisme Adsorpsi Senyawa Purin/Hasil Kondensasi Formamida

Inhibitor korosi dapat bekerja mengurangi laju korosi dengan berbagai cara. Salah satunya adalah melalui proses adsorpsi inhibitor pada permukaan logam. Proses tersebut dapat mengurangi laju korosi dengan cara menaikkan atau menurunkan reaksi anodik/katodik, menurunkan laju difusi reaktan ke permukaan logam dan menurunkan resistansi elektrik dari permukaan logam (Raja, 2007).

Proses adsorpsi senyawa organik pada permukaan logam dapat dijelaskan dengan 2 tipe interaksi, yaitu fisisorpsi dan kemisorpsi. Fisisorpsi terjadi karena interaksi elektrostatik antara inhibitor dengan logam. Sedangkan kemisorpsi terjadi karena transfer muatan antara molekul inhibitor dengan permukaan logam sehingga membentuk ikatan koordinasi (Amin, 2009).

0 1 2 3 4 5 0 300 600 900 1200 1500 L aj u k o ro si (m m p y ) Inhibitor (ppm) Konsentrasi inhibitor (ppm) Ekor

(mV) (µA/cmIkor 2) (mV) βc (mV) βa (mmpy) r %EI

0 -591,4 424,56 -269,4 1222,2 4,41 0 300 -582,1 393,93 -259,4 984,3 4,09 7,21 600 -586,4 348,57 -266,4 788,2 3,62 17,90 900 -588,5 311,85 -212,3 630,8 3,24 26,55 1200 -587,3 304,19 -209,5 659,6 3,16 28,35 1500 -591,4 292,57 -206,8 586,7 3,04 31,09 1500 + I -1,0x10-4 M -591,6 285,12 -205,8 665,5 2,96 32,84

(7)

Prosiding Kimia-FMIPA ITS

Senyawa purin/hasil kondensasi formamida sebagai inhibitor pada penelitian ini, merupakan basa organik yang terprotonasi dalam larutan asam (Gambar 3.7). Proses protonasi ini dapat menurunkan jumlah H+

dalam larutan uji sehingga pembentukan H2 yang

menyebabkan korosi pada baja berkurang atau dengan kata lain proses protonasi ini dapat menurunkan reaksi katodik pada logam sehingga laju korosinya menurun.

N N NH N H+ + N N NH N H R R

Gambar 3.7 Mekanisme protonasi inhibitor dalam larutan asam

Mekanisme adsorpsi inhibitor pada permukaan baja SS 304 diduga dimulai dengan fisisorpsi. Fisisorpsi terjadi karena interaksi elektrostatik antara molekul inhibitor dengan permukaan logam. Interaksi ini terjadi akibat tergantikannya H+ pada permukaan

logam oleh molekul inhibitor yang telah terprotonasi (Gambar 3.8). Fisisorpsi ini dibuktikan dari nilai βa

yang tidak beraturan (sesuai dengan Tabel 3.3). Namun, interaksi elektrostatik ini lemah sehingga tidak akan terbentuk ikatan yang kuat antara molekul inhibitor dengan logam. Kemudian, setelah interaksi tersebut, pasangan elektron bebas atom Nsp2 yang

tidak terdelokalisasi ke cincin pirimidin akan teradsorp ke permukaan logam sehingga terbentuk ikatan koordinasi (kemisorpsi). Kemisorpsi ini menunjukkan terbentuknya suatu lapisan pembatas antara logam dengan larutan yang dapat menurunkan kontak logam dengan larutan yang korosif sehingga reaksi oksidasi logam (Fe) berkurang. Kemisorpsi ini ditunjukkan pada data spektra IR inhibitor pada baja (Gambar 3.9). Pada spektra IR tersebut (Gambar 3.9) terdapat peak Fe-N pada bilangan gelombang 474,50 cm-1 yang

menunjukkan adanya ikatan koordinasi antara pasangan elektron bebas atom N inhibitor dengan logam (Fe). Selain itu, pada spektra tersebut juga terdapat peak lemah Fe-O pada 3761,32 cm-1. Ikatan

Fe-O ini terjadi antara molekul inhibitor yang memiliki gugus karbonil seperti sitosin dan 4(3H)-pirimidinon dengan logam (Fe). Spektra IR senyawa purin/hasil kondensasi formamida pada baja SS 304 (Gambar 3.9) memiliki kemiripan dengan spektra IR senyawa purin/hasil kondensasi formamida seperti yang terlampir pada lampiran F. Gambar 3.9 juga menunjukkan gugus-gugus yang terdapat dalam senyawa purin/hasil kondensasi formamida seperti

gugus C-N pada 1060,88 cm-1, N-heteroaromatik

cincin purin pada 1431,23 cm-1, gugus karbonil (C=O)

pada 1627,97 cm-1 dan gugus N-H pada 3383,26 cm-1.

Secara umum mekanisme adsorpsi inhibitor pada permukaan baja dapat dijelaskan pada Gambar 3.10.

Mekanisme adsorpsi senyawa purin/hasil kondensasi formamida pada permukaan baja SS 304 pada penelitian ini sesuai dengan mekanisme adsorpsi pada penelitian yang dilakukan oleh Li, dkk (2009). Pada penelitian tersebut, inhibitor yang digunakan adalah turunan purin, yaitu 6-benzilaminopurin. Mekanisme adsorpsinya juga didahului fisisorpsi dan diikuti kemisorpsi. Kemisorpsi yang terjadi ditunjukkan dengan adanya ikatan koordinasi antara pasangan elektron bebas atom N dan O dengan orbital kosong logam (Fe). Kemisorpsi ini ditunjukkan

dengan peak Fe-N pada bilangan gelombang 473 cm-1

dan peak lemah Fe-O pada 3861 dan 3754 cm-1.

Mekanisme adsorpsi inhibitor ke permukaan baja SS 304 dengan adanya ion I- dapat dijelaskan seperti

pada Gambar 3.11 dan 3.12. Berdasarkan gambar tersebut, ion I- yang kurang elektronegatif cenderung

teradsorp terlebih dahulu pada antarmuka

logam/larutan dan membuat muatan antarmuka logam/larutan lebih negatif. Selanjutnya, inhibitor yang bermuatan positif lebih mudah mendekat ke permukaan baja secara fisika (interaksi elektrostatik) (Gambar 3.11) sehingga pasangan elektron bebas atom Nsp2 lebih mudah teradsorp secara kimia (terbentuk

ikatan koordinasi) pada permukaan logam tersebut (Gambar 3.12). Hal ini berarti ion I- mempercepat

fisisorpsi inhibitor sehingga kemisorpsinya lebih mudah terjadi. Oleh karena itu, efisiensi inhibisi

inhibitor pada baja SS 304 dengan penambahan ion I

-lebih besar dari efisiensi inhibisi inhibitor tanpa penambahan ion I- (sesuai dengan data %EI pada

Tabel 3.2). N N N N H H+ H+ H+ Fe2+ baja SS 304 e -e -R H

Gambar 3.8 Proses penggantian H+ dengan molekul

(8)

Prosiding Kimia-FMIPA ITS

Gambar 3.9 Spektra IR dengan konsentrasi inhibitor 1500 ppm dalam HCl 1 M pada baja SS 304 baja SS 304 -N N N NH H R

Gambar 3.10 Mekanisme adsorpsi inhibitor ke permukaan baja SS 304 baja SS 304 I -I -I -H+ I -I -H+ I -N N N N H H e -e -Fe2+ R

Gambar 3.11 Interaksi elektrostatik antara inhibitor dengan permukaan baja dengan adanya ion I -baja SS 304 -I -I -I -I -H+ I -H+ I -N N N NH H R

Gambar 3.12 Mekanisme adsorpsi inhibitor ke permukaan baja SS 304 dengan adanya ion I

-4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa baja SS 304 yang mengandung 18% Cr masih dapat mengalami korosi pada larutan HCl 1 M dengan laju korosi sebesar 4,41 mmpy. Penambahan inhibitor berupa senyawa purin/hasil kondensasi formamida pada variasi konsentrasi 300-1500 ppm dalam larutan HCl 1 M dapat menurunkan laju korosi baja SS 304 hingga 3,04 mmpy. Sedangkan penambahan ion I- (dari larutan KI)

sebesar 1,0x10-4 M terhadap larutan HCl 1 M dengan

adanya inhibitor menyebabkan laju korosi baja SS 304 semakin menurun hingga 2,96 mmpy, sehingga efisiensi inhibisinya meningkat dibandingkan efisiensi inhibisi tanpa adanya penambahan ion I- dengan nilai

%EI meningkat dari 77,14 % menjadi 92,01%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang selalu memberikan ilmu, rahmat dan kasih sayang-Nya,

2. Orang tua dan keluarga tercinta atas segala doa dan dukungannya,

3. Semua sahabatku seperjuangan angkatan 2007 atas segala doa, bantuan, semangat dan kerjasamanya.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Mohammed A., Q. Mohsen, Omar A. Hazzazi, (2009), Synergistic effect of I- ions on the

corrosion inhibition of Al in 1,0 M phosphoric acid solutions by purine, Materials Chemistry

and Physics, vol.114, p.908-914

Asan, A., M. Kabasakaloglu, M. Isiklan, Z. Kilic, (2008), Corrosion inhibition of brass in

presence of terdentate ligands in chloride solution, Corrosion Science, vol.47,

p.1534-1544 tr an sm it an ( %T ) bilangan gelombang (cm-1)

(9)

Prosiding Kimia-FMIPA ITS

Fouda, A.S., Ellithy, A.S., (2009), Inhibition Effect of

4-Phenyltiazole derivatives on corrosion of 304L Stainless Steel in HCl Solution, Cairo,

Egypt

Li, Xianghong, Shuduan Deng, Hui Fu, Taohong Li, (2009), Adsorpsion and inhibition effect of

6-benzylaminopurine on cold rolled steel in 1,0 M HCl, Electrochimica Acta, vol.54, p.

4089-4098

Raja, P. Bothi, M.G. Sethuraman, (2008), Natural

products as corrosion inhibitor for metals in corrosive media - A review, Materials Letters,

vol.62, p.113-116

Scendoa, M., (2007), The effect of purine on the corrosion of copper in chloride solutions,

Corrosion Science, vol49, p. 373-390

Yan, Ying, Weihua Li, Lankun Cai, Baorong Hou, (2008), Electrochemical and quantum chemical

study of purines as corrosion inhibitors for mild steel in 1 M HCl solution, Electrochimica

Gambar

Tabel  2.1 Komposisi media pengkorosi baja SS 304  Media  Pengkorosi  HCl (M)  Inhibitor (ppm)  KI (M)  I  1  -  -  II  1  300  -  III  1  600  -  IV  1  900  -  V  1  1200  -  VI  1  1500  -  VII  1  300  1,0x10 -4 VIII  1  600  1,0x10 -4 IX  1  900  1,0x
Tabel  3.1  Data  efisiensi  inhibisi  dalam  larutan  uji  dengan metode pengurangan berat
Gambar  3.5  menunjukkan  arus  yang  dihasilkan  dengan  penambahan  ion  I -   1,0x10 -4   M  dalam  larutan  HCl  1  M  dengan  konsentrasi  inhibitor  1500  ppm  menurun jika dibandingkan dengan tanpa penambahan  I -   pada  konsentrasi  yang  sama
Gambar  3.7    Mekanisme  protonasi  inhibitor  dalam  larutan asam
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan dua kelompok, satu kelompok sebagai kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan berupa problem based learning dan satu kelompok lainnya sebagai

Tugas : Membantu Sekretaris Kabinet dalam menyelenggarakan dukungan staf, administrasi, dan pemikiran dalam perumusan dan penyampaian analisis atas rencana

Setelah melakukan proses Terapi Menulis untuk meningkatkan self confidence seorang mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, maka konselor meyakini

Melakukan analisis komparatif hasil penelit terdahulu dangena metode dan teori yang akan digunakan pada jurnal ini,atau melakukan remodel metode

Petugas cabang dan supervisinya harus memberikan informasi terkini kondisi debitur, kondisi usaha, proses penanganan, proyeksi hasil sekaligus dengan proyeksi

Creativity Guru dan peserta didik membuat kesimpulan tentang hal-hal yang telah dipelajari terkait Metabolisme, Enzim (klasifikasienzim, komponen enzim, cara kerja enzim dan

Putaran mesin terendah pada penambahan tebal ring pegas katup 1.5 mm jika dibandingkan dengan tanpa katup (standar) terjadi pada pada sudut bukaan throttle 5° yaitu 1850 rpm

b. Mendesain metode pembelajaran dan materi ilmu tajwid yang akan digunakan dalam mengajarkan ilmu tajwid. Membuat kartu yang berisi soal dan jawaban pada kartu yang