THE 1965 MEMORY TRANSMISSION IN PULANG AND AMBA NOVEL
Meita Setianing Mulyadia, Candra Rahma Wijaya Putrab* a,b* FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang Jalan
Raya Tlogomas 246, Malang, Jawa Timur, Indonesia Telepon (0341) 464318, Faksimile (0341) 460435
Pos-el: meitasm17@gmail.com; Penulis korespondensi: candra_rwp@umm.ac.id Naskah diterima: 15 Mei 2020; direvisi: 3 Desember 2020; disetujui: 27 Desember 2020
Permalink/DOI: 10.29255/aksara.v33il.565.71—82.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan transmisi memori peristiwa 65 dari generasi pertama ke post- generasi dalam karya sastra. Metode penelitian yang digunakan yakni deskriptif kualitatif. Penelitian ini merupakan kajian postmemory Marianne Hirch. Sumber data penelitian adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Amba karya Laksmi Pamuntjak. Data penelitiannya adalah frasa, kalimat, atau paragraf yang merepresentasikan gambaran generasi pertama dan post-generasi, proses transmisi memori, dan rekonstruksi memori. Teknik analisis data menggunakan teknik interaktif, yaitu dengan cara reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan. Hasil dari penelitian ini adalah (1) terdapat tiga generasi dalam proses transmisi memori, yaitu generasi pertama sebagai tokoh yang mengalami peristiwa 65 secara langsung, generasi 1.5 dan kedua sebagai penerima transmisi memori; (2) familial postmemory dilakukan melalui garis keturunan keluarga dan afiliative postmemory melalui buku, museum, foto, surat pribadi, dokumen sejarah, dan narasiyangberkembang di masyarakat; (3) konstruksi memori oleh tokoh post-generasi yang diwujudkan dengan penerimaan ataupun penolakan. Penerimaan memunculkan rasa trauma, was-was, atau perubahan identitas yang mirip dengan generasi pertama. Sementara itu, sikap penolakan menempatkan cerita sebagai mitos yang sudah kedaluwarsa.
Kata kunci: post-memori, generasi pertama, post-generasi, peristiwa 65
Abstract
This study aims to explain the memory transmission of events from the first generation to the post- generation in literary works. The research method used is descriptive qualitative. This research is a postmemory study of Marianne Hirch. The source of the research data is the novel Pulang by Leila S. Schudori and Amba by Laksmi Pamuntjak. The research data are phrases, sentences, or paragraphs that represent first-generation and post-generation descriptions, memory transmission processes, and memory reconstruction. The data analysis technique used interactive techniques, namely by way of data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results of this study are 1) there are three generations in the memory transmission process, namely the first generation as a character who experiences events directly, the 1.5 generation and the second as a memory transmission receiver; 2) familial postmemory is carried out through family lineages and affiliative postmemory through books, museums, photos, personal letters, historical documents, and narratives that develop in society; 3) memory construction by postgeneration figures which is realized by acceptance or rejection. Acceptance creates a sense of trauma, anxiety, or a change of identity similar to that of the first generation. Meanwhile, the attitude of rejection places the story as an outdated myth. Keywords: postmemory, first generation, post-generation, event 65
▸ Baca selengkapnya: peristiwa yang menunjukkan keberanian dalam novel di sebalik dinara
(2)Pulang dan Amba. Aksara, 33(1), 71—82. DOI: https://doi.org/10.29255/aksara.v33il.565. 71—82. PENDAHULUAN
Karya sastra menjadi salah satu media, di samping film, yang mengangkat peristiwa 65, baik pada tataran latar cerita maupun konteks ceritanya. Secara pragmatik, pengarang melalui
karya sastranya merefleksikan,
mengasosiasikan, mengkritik, bahkan
meramalkan peristiwa suatu masa (Sitanggang, 2018, hlm. 119).
Dua film dokumenter Joshua Oppenherimer yang berjudul The Act of Killing (2012) dan
Senyap (2014) membuka kembali tirai memori
sejarah 65 Indonesia yang masih dianggap tertutup oleh sebagian masyarakat. Popularitas kedua film ini seolah-olah menjadi tandingan dari film kanonik Pengkhianatan G 30S/PKI karya Arifin C. Noer. Film kanon yang diputar setiap tahun dan dianggap sebagai kisah nyata. Terlepas dari sudut pandang Joshua maupun Arifin, ketiga film tersebut menjadi dokumentasi sejarah, menyajikan memori peristiwa 65. Peristiwa 65 memang banyak diangkat dan diceritakan ulang melalui berbagai media pasca berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Memori peristiwa 65 ditujukan pada generasi kedua atau generasi yang tidak mengalami kejadian secara langsung. Dalam konsep kajian postmemory, generasi tersebut diistilahkan dengan tema postgeneration.
Hal inimerupakan fenomena perkembangan tema karya sastra di Indonesia pasca runtuhnya kekuasaan pemerintah Orde Baru. Dilihat dari kuantitasnya, cukup banyak karya sastra yang mengangkat memori 65. Misalnya, Saman (1999) dan Larung (2001) karya Ayu Utami, dwilogi Blues Merbabu dan 65 (2011) karya Gitanyali (Bre Redana), Gadis Kretek (2012) karya Ratih Kumala, Pulang (2012) karya Leila S. Chudori, atau Amba (2012) karya Laksmi Pamuntjak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji representasi transmisi memori terkait peristiwa 65 dalam novel Amba karya Laksmi Pamuntjak (2012) dan Pulang karya Leila S. Schudori (2012). Kedua novel sama-sama mengangkat peristiwa 65 sebagai konteks kesejarahan. Novel Amba memuat konteks sejarah pada tahun 50-an, 60-an, 70-an, dan 2000-an. Garis
besar cerita ini adalah tentang roman perpisahan cinta antara Amba dan Bhisma yang kemudian mengalami trauma akibat peristiwa tragis 1965. Peraih penghargaan Liberaturpreis 2016 ini lebih dominan mengangkat sisi tragis dan traumatis akibat peristiwa tersebut.
Pada tahun yang sama, Leila S. Schudori melahirkan novel fenomenal, yaitu novel
Pulang. Novel pemenang Kusala Sastra
Khatulistiwa 2013 ini berisi tentang peristiwa 65 yang mengakibatkan beberapa orang kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan menjadi seorang eksil. Pengarang juga menghadirkan representasi generasi yang tidak berada atau hidup pada saat kejadian, tetapi seolah-olah merasa mengalaminya. Generasi ini disebut sebagai generasi kedua atau post- generasi (Hirsch, 2008, hlm. 1).
Sebagai objek material penelitian, kedua novel ini termasuk dalam karya postmemory. Hal ini tidak lepas dari postmemory yang memuat konteks peristiwa yang menimbulkan traumatis yang kemudian efeknya tetap berlanjut dari satu generasi ke generasi selanjutnya (Hirsch, 2012, hlm. 18--19). Trauma kolektif dari mereka yang
mengalami peristiwa secara langsung
ditransmisikan kepada generasi selanjutnya, yaitu posgenerasi. Trauma yang diterima diolah menjadi “ingatan” hanya berdasar cerita, image, atau perilaku di sekitar mereka (Hirsch, 2012, hlm. 5). Dengan demikian, pada karya
postmemory, terdapat dua golongan pengarang,
yaitu pengarang yang mengalami peristiwa secara langsung dan tidak langsung.
Pada karya postmemory ingatan masa lalu merupakan dasar cerita yang menggabungkan antara memory of others dan imajinasinya (Fernanda, 2017, hlm. 83). Dengan demikian, kedua karya sastra di atas memiliki peran terhadap keberadaan ingatan tersebut. Peran sastra dalam ranah memori ini dipaparkan lebih lanjut oleh Erll & Rigney (2006, hlm. 112) bahwa sastra memiliki tiga peran. Pertama,
literature as a medium of remembrance (sastra
sebagai media memingat). Kedua, literature as
an object of remembrance (sastra sebagai objek
ingatan). Ketiga, literature as a medium for
▸ Baca selengkapnya: peristiwa yang menimbulkan perasaan simpati novel tirani
(3)(sastra sebagai media untuk mengamati reproduksi memori budaya).
Permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi transmisi memori yang dilakukan oleh generasi pertama ke generasi kedua dan efek trauma pasca transmisi memori tersebut. Pandangan tentang generasi ini sejalan pendapat Suleiman (2002, hlm. 277) bahwa melengkapi pembagian generasi yang dilakukan oleh Hirsch, yaitu dengan menempatkan generasi antara generasi 1.5. Generasi 1.5 atau satu setengah merupakan generasi anak-anak yang selamat pada saat terjadinya genosida (konteks yang diangkat adalah Holocaust). Mereka dikatakan terlalu dini untuk memahami situasi yang terjadi. Berbeda dengan generasi kedua yang me- ngalami keterlambatan pengalaman sejarah, generasi 1.5 mengalami kebingungan dini dan ketidakberdayaan. Artinya, generasi 1.5 ini berada di antara generasi pertama dan kedua. Mereka sebenarnya mengalami secara langsung tetapi tidak memahaminya.
Berkaitan dengan transmisi ini, Hirsch (2012, hlm. 86) mengenalkan dua bentuk transmisi memori, yaitu familial postmemory
transmission dan afiliative postmemory
transmission. Familial postmemory
transmission merupakan transmisi memori atau cerita melalui hubungan darah (keluarga). Afiliative postmemory transmission berarti
semua transmisi memori diluar garis keturunan. Memori yang ditransmisikan tersebut akan dikonstruksi oleh penerima memori dapat menjadi mimpi buruk, dongeng, ataupun mitos. Sebagai referensi sekaligus pembanding, penelitian ini menggunakan beberapa hasil penelitian terdahulu. Pertama, penelitian (Fernanda, 2017) berjudul “Transmisi Memori dan Trauma dalam Mother Land Karya Dmetri Kakmi: Kajian Postmemory”. Hasil penelitian ini adalah (1) transmisi memori dalam Mother Land ditunjukkan melalui sikap tokoh ketika mengingat memori lama dan (2) transmisi memori yang ditunjukkan sangat berbeda antar tokoh satu dan tokoh lainnya.
Kedua, Kohler (2013) dalam penelitiannya
“Transgenerational Trauma inthe Novels of Julia
Franck and Tanja Dückers” mengemukakan pendapat Bergshon tentang transmisi memori
yang dialami oleh generasi kedua“There is
no perception which is not full of memories. He believes that perception of the present is always colored by an understanding of the past”.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pemilikan dan pemahaman memori
memengaruhi persepsi masa kini.
Kohler menyimpulkan bahwa transmisi memori yang dialami oleh generasi kedua (postgeneration) berasal dari kenangan atau masa lalu seseorang yang mengalami atau kejadian yang pernah terjadi itu diceritakan kepada generasi kedua. Artinya, generasi kedua seakan-akan mengalami kejadian serupa atau merasakan posisinya pada saat itu.
Ketiga, tesis Kumalasari (2016) berjudul “The Book Thief Karya Markus Zusak: Sebuah Kajian Postmemory”. Hasil penelitian ini adalah karya Markus Zusak dibentuk berdasarkan transmisi keluarga dan transmisi afiliasi. Adanya pertentangan antara transmisi tersebut menciptakan krisis dalam diri penulis mengenai fakta dan fiksi. Krisis tersebut menjadi latar belakang pengarang untuk melakukan return
journey. Return Journey ini juga menjadi cerita
utama dalam novel Pulang.
Keempat, tesis Putra (2018) yang berjudul “Konstruksi Bima dan Ekalaya dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori: Kajian Postmemory”. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan postmemory Mariana Hirsch. Hasil penelitian ini ditemukan bentuk transmisi
familial dan afiliative. Transimisi familial
berupa relasi antara anak dan orang tua sebagai generasi pertama. Transmisi afiliative melalui orang terdekat, museum, dan beberapa narasumber. Konstruksi yang dilakukan oleh generasi kedua adalah dengan menjadi sosok Bima dan Ekalaya. Hasil penelitian yang lainnya adalah wacana rekonsiliasi terhadap korban tragedi 65, yaitu eksil.
Perbedaan penelitian Putra (2018) dengan penelitian ini antara lain, (1) penelitian Putra difokuskan pada satu objek material saja, sedangkan penelitian ini menggunakan dua objek material sehingga data terkait transmisi memori dirasa lebih luas, (2) penggunaan satu objek material oleh Putra berkaitan dengan salah satu tujuan penelitiannya, yaitu penelusuran proses kreatif pengarang. Dalam hal ini dikatakan wacana rekonsiliasi korban tragedi 1965 dan simbolisasi tokoh wayang
(Bima dan Ekalaya) sebagai kerangka utama cerita. Penelitian ini tidak mengarah pada proses kreatif, melainkan penelusuran bentuk transmisi memori dan konstruksi setelah transmisi yang dinarasikan dalam dua objek material.
Kelima, tesis (Nirwinastu, 2017) tentang memori kolektif tragedi 1965 dalam novel
Pulang dan Amba. Penelitian Nirwinastu
menjadi pembanding utama penelitian ini karena memiliki objek material yang sama. Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pada konsep memori budaya yang dikemukakan oleh Astrid Erll dan menggunakan teknik naratif yang digunakan untuk menyampaikan sebuah
tragedi. Nirwastu memfokuskan pada
penggambaran memori kolektif peristiwa 65 dalam kedua novel. Hasil penelitian ini adalah memori kolektif yang tergambar dalam kedua novel berkaitan dengan (1) pertanyaan atas viktimisasi, (2) otoritas sejarah, (3) generasi kedua dan sejarah alienasi, dan (4) jalan menuju rekonsiliasi.
Ulasan singkat tersebut menunjukan
perbedaan dengan penelitian ini. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari teori yang digunakan, yaitu teori Astrid Erll yang berfokus pada konsep memori budaya, yaitu difokuskan pada memori kolektif sejarah 1965. Selain itu, tujuan akhir penelitian Nirwastu adalah pengungkapan memori kolektif 1965 sebagai bahan rekonsiliasi korban. Sedangkan, fokus penelitian ini adalah bentuk dan proses transmisi memori sejarah 1965. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Nirwinastu tidak membahas sama sekali terkait transmisi memori. Artinya, relasi generasi pertama dan kedua tidak masuk pada pembahasaannya. Dengan demikian, penelitian Nirwinastu sangat berbeda dengan fokus penelitian kali ini.
Terkait dengan urgensi penelitian— meminjam pendapat Erll (2011, hlm. 4) dalam artikelnya Travelling Memory—bahwa kajian memori memberikan kita wawasan yang mendalam mengenai isu perang, genosida, trauma, dan rekonsiliasi. Hasil penelitian memori ini dapat dijadikan dasar pertanyaan tentang bagaimana memori tersebut berpengaruh pada masa depan. Dengan demikian, hasil penelitian sekaligus dapat menempatkan sastra sebagai media untuk mengamati reproduksi memori budaya. Selain itu, seperti yang dipaparkan
sebelumnya bahwa pemahaman memori masa lalu dapat memperluas persepsi kita di masa kini.
Karya postmemory, memori masa lalu merupakan fondasi dasar cerita dengan menggabungkan memory of other dan imajinasinya, postgeneration yang membangun sebuah badan baru untuk memori masa lalu yang berada di pikirannya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Hirsch (2012) menyatakan bahwa
“who says that time heals all wounds? It would be better to say that time heals everything except wounds. With time the hurt of separation loses its real limits, with time the desired body will soon disappear, and if the desired body has already ceased to exist for the other then what remains is a wound, disembodies” (Hirsch, 2012, hlm. 174).
Dari kutipan tersebut, dapat diketahui waktu dapat menyembuhkan segalanya kecuali luka. Seiring waktu, sakit akan menghilang, tetapi luka akan tetap membekas. Pendapat Hirsch ini menjadi dasar pijakan postmemory. Masih pendapat Hirsch (2012) ada beberapa hal faktor pemindahan transmisi memori atau trauma, yaitu pentransmisi (first or second
generation), penerima transmisi
(post-generation), mediasi dan hubungan
antarkeduanya, seperti latar belakang, bahkan perbedaan gender. Dalam postmemory posisi identitas tidak terlalu ditekankan, tetapi lebih kepada struktur generasional dari transmisi yang tertanam sangat siginifikan dalam bentuk mediasi. Mediasi, menurut Hirsch (2012, hlm. 5), dipengaruhi koneksi postmemory masa lalu yang bukan semata-mata dimediasikan melalui mengingat kembali atau recalling, tetapi berasal dari tiga hal penting, yaitu investasi imajinasi, proyeksi, dan kreasi. Dengan menerapkan
postmemory, kajian ini dapat mengeksplorasi
perbedaaan dan persamaan memori kolektif dan transmisi memori antargenerasi dalam novel
Amba dan Pulang.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan dan mengeks- plorasi memori kolektif dan transmisi memori
antargenerasi yang direpresentasikan dalam teks sastra. Pendekatan penelitian ini adalah psikologi sastra yang difokuskan pada kajian
postmemory.
Sumber data penelitian ada dua, yaitu novel
Pulang karya Leila S. Schudori dan Amba karya
Laksmi Pamuntjak. Adapun data penelitiannya adalah frasa, kalimat, atau paragraf yang merepresentasikan gambaran generasi pertama dan post-generasi, proses transmisi memori, dan rekonstruksi memori.
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan urutan sebagai berikut, (1) pembacaan cermat terhadap kedua objek material sesuai fakta-fakta yang ada, (2) mengidentifikasi data yang memiliki relevansi dengan indikator: (a) faktor transmisi memori; (b) bentuk transmisi memori; dan (c) rekonstruksi memori post generation, (3) mendeskripsikan keseluruhan data sebagai korpus data penelitian. Adapun teknik analisis yang digunakan menurut Miles & Huberman (1994, hlm.16), yaitu menggunakan teknik interaktif yang meliputi reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasaan ini menguraikan tiga hal, yaitu faktor transmisi memori, bentuk transmisi memori, dan rekonstruksi memori. Pertama, dalam proses transmisi memori dihadirkan kelompok generasi pertama dan generasi kedua, yaitu tokoh Bhisma (generasi pertama dalam novel Amba) dan Amba, Samuel, dan Manalisa (generasi kedua dalam novel Amba); Dimas (generasi pertama) dan Lintang (generasi kedua dalam novel Pulang). Kedua pengarang, Leila S. Chudri dan Laksmi Pamuntjak, sama-sama mendapatkan referensi sejarah dan situasi masa Orde Baru, tepatnya 1965; 1968—1979 untuk latar novel Amba. Kedua, bentuk transmisi memori digambarkan dari keluarga Dimas—ayah Amba (novel
Amba) dan Bhisma (novel Pulang).
Faktor Transmisi Memori: Relasi
Pentransmisi dan Penerima Memori
Transmisi memori atau pengiriman ingatan masa lalu dilakukan oleh generasi pertama kepada
generasi kedua (postgeneration). Memori
yang diterima oleh post-generasi bukan sebuah pengalaman yang dirasakan secara langsung,
melainkan pengalaman itu telah dirasakan atau dialami oleh generasi pertama. Dengan demikian, terdapat dua kelompok dalam proses transmisi memori, yaitu generasi pertama dan generasi kedua, post-generasi.
Dengan menelisik biografi singkat kedua pengarang novel, kedua pengarang dapat dikategorikan dalam kelompok generasi kedua. Artinya, kedua pengarang tersebut tidak mengalami trauma secara langsung untuk dijadikan sebagai bahan cerita novelnya. Jika ditelusuri proses kreatifnya yang terlampir di bagian akhir novel, Leila S. Chudori memperoleh referensi berupa konteks sejarah dan situasi masa 1965 melalui rujukan referensi buku sejarah dan hasil wawancara dengan pelaku sejarah. Pelaku sejarah dalam novel Amba berasal dari Amarzan Loebis yang merupakan tahanan politik pada tahun 1968— 1979, Tedjabayu Sudjojono yang memiliki kenangan tentang serbuan ke Universitas Res Publica. Begitu halnya dengan Laksmi Pamuntjak memperoleh referensi konteks sejarah dari referensi dokumentasi dan transmisi dari keluarganya langsung—seperti yang disampaikan Laksmi dalam wawancaranya dengan media masa Jerman di acara Leipzig Book Fair 2015.
Upaya yang dilakukan oleh kedua
pengarang tersebut merupakan bagian dari transmisi memori. Pengarang seolah-olah mengetahui konteks sejarah dan situasi secara langsung—termasuk trauma yang dirasakan. Artinya, pengarang masuk kategori post- generasi yang kemudian memperlakukan memori hasil transmisi tersebut sebagai kerangka besar cerita. Tidak hanya bagian dari karya postmemory, kedua novel sekaligus merepresentasikan proses transmisi memori itu sendiri.
Berikut akan dibahas mengenai generasi pertama dan kedua yang direpresentasikan pengarang dalam karya mereka. Pembaca disuguhkan gambaran kehidupan politik masyarakat Indonesia pada rentang masa dua generasi dalam novel Pulang. Masa sebelum dan pasca peristiwa 1965, yaitu generasi pertama yang mengalami atau mengetahui peristiwa 1965 secara langsung. Yang kedua adalah masa jauh setelah peristiwa 1965, yaitu masa generasi kedua, anak dari generasi pertama hanya memperoleh cerita tentang trauma masa lalu.
Generasi pertama digambarkan Leila dalam
Pulang antara lain tokoh Dimas, Nugroho,
Tjahjadi, dan Risjaf. Keempat tokoh tersebut menjadi tokoh sentral yang merepresentasikan pelaku sejarah 1965. Keempat tokoh dihadirkan sebagai eksil. Eksil tidak hanya berkaitan dengan ekspatriat, melainkan juga kondisi ketercerabutnya identitas diri dari tempat asal (Zeng, 2010, hlm. 33). Kondisi tanpa kewarganegaraan (stateless) mengakibatkan para eksil mengalami depresi dan gangguan kejiwaan. Kemudian kondisi ini membuat mereka mencari kewarganegaraan baru meski tidak sepenuhnya terlepas dari ‘ikatan’ negara asal (Akmaliah, 2015, hlm. 71; Mudzakkir, 2015) yaitu orang-orang yang terlantar dan kehilangan status kewarganegaraannya, karena penolakan terhadap orang-orang yang memiliki hubungan dengan PKI sehingga mereka tidak dapat pulang ke tanah air dan menjadi ekspatriat. Keempat tokoh tersebut merepresentasikan kehadiran sejarah eksil Indonesia, baik dalam konteks kesejarahannya maupun situasinya. Dalam hal ini, situasi yang dimunculkan adalah adanya subjektifitas perasaan tragis dan trauma. Generasi kedua direpresentasikan melalui sosok Lintang. Lintang adalah anak dari Dimas dan Vivien, seorang perempuan berkebangsaan Prancis. Situasi yang dalami Lintang adalah berada di posisi “antara”. Di satu sisi, ia sebagai orang Prancis. Di sisi lain, ia memiliki jejak keturunan sebagai orang Indonesia. Hal ini tampak dari selalu dikaitkan antara identitas dirinya dengan identitas keindonesiaan. Ada trauma yang “terpaksa” melekat pada dirinya. Trauma yang dirasakan ayahnya, Dimas, seorang eksil peristiwa 1965. Terkait trauma yang melekat pada Lintang akan dibahas pada subbab lain.
Sedikit berbeda kasus dengan yang tergambarkan pada novel Amba. Novel ini tidak berisi gambaran kehidupan dua generasi, tetapi masih merepresentasikan adanya transmisi memori. Seperti halnya Pulang, Amba juga diikat dalam kerangka sejarah 1965. Generasi pertama dalam pembahasan pentransmisi ini adalah Bhisma. Bhisma menjadi subjek utama dan merasakan secara langsung peristiwa pada tahun 1965 tersebut. Artinya, Bhisma sebagai generasi pertama mengalami secara langsung peristiwa tersebut dan mengalami
sedikit trauma. Berikut ini contoh trauma yang digambarkan dalam novel Amba.
“Aku nggak peduli bahwa aku kehilangan apa yang kumiliki di Area Transmigrasi. Aku nggak mau dekat- dekat segala kebohongan Suharto” (Pamunjtak, 2015, hlm. 70).
Rasa trauma tersebut kemudian
ditransmisikan kepada generasi kedua yang tidak mengalami peristiwa itu secara langsung. Namun, pada kasus Amba, generasi kedua berada di masa yang sama dengan generasi pertama, namun tidak mengalami trauma secara langsung. Dapat kita sebut sebagai generasi 1.5 (Suleiman, 2002, hlm. 277).
Sebagai generasi pertama, Bhisma
membagikan pengalamannya kepada generasi 1.5 sebagai bentuk transmisi memori. Post- generasi yang direpresentasikan dalam novel
Amba adalah Amba, Samuel, dan Manalisa.
Amba mendapatkan informasi tentang
peristiwa traumatis dari Bhisma. Informasi yang disampaikan Bhisma mampu membuat Amba percaya dengan peristiwa tersebut setelah melihat beberapa fenomena-fenomena yang terjadi di Yogya dan di Kediri.
Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak
sama-sama mengambil sudut pandang
penceritaan dari tokoh-tokoh yang disisihkan oleh masyarakat dan pemerintah karena dianggap memiliki keterikatan dengan partai komunis. Tokoh-tokoh tersebut mengalami viktimisasi, alienasi, dan diskriminasi dalam otoritas sejarah. Pengalaman langsung tersebut
menjadi memori kolektif bagi generasi
pertama. Memori kolektif inilah yang kemudian
diwariskan kepada postgeneration.
Postgeneration akan menerima memori tersebut
dan memahaminya sebagai proses kontruksi memori atau bahkan upaya rekonsiliasi.
Bentuk Transmisi Memori: Keluarga dan Afiliasi Post-memori
Relasi antara generasi pertama dan post-
generation, baik generasi kedua maupun 1.5,
dapat ditelusuri bentuk transimisnya. (Hirsch, 2012, hlm. 86--88) mengenalkan dua bentuk transmisi memori, yaitu keluarga postmemory
dan afiliasi postmemory. Dalam ruang keluarga, transmisi cerita trauma melalui hubungan darah atau kerabat (family). Cara transmisi ini akan mempengaruhi cara seorang anak dalam memahami dan merekonstruksi cerita yang diterima. Cerita tersebut dapat menjadi mimpi buruk, dongeng, ataupun mitos.
Dalam proses transmisi keluarga ini diketahui ada beberapa repetisi pada salah satu tema narasi. Repetisi mempunyai arti yang penting dalam transmisi. Selain sebagai titik tolak penekanan memori mana yang paling diingat oleh generasi yang mengalaminya,
repetisi juga berfungsi dalam proses
rekonstruksi bagi postgeneration. Di sisi lain, afiliasi postmemory merupakan transmisi memori di luar garis keturunan. Transmisi bisa dimediasi melalui arsip publik atau narasi- narasi yang beredar di sekitar. Bisa dikatakan bahwa afiliasi ini dapat melengkapi keluarga
postmemory.
Pada novel Pulang, penggambaran bentuk
keluarga postmemory begitu dominan.
Hubungan antara generasi pertama dan generasi kedua begitu dominan karena penggambaran transmisi postmemory keluarga yang lebih banyak. Artinya, peran keluarga (generasi pertama) dalam mentransmisikan memori kepada generasi kedua memiliki pengaruh yang cukup besar. Pengarang menghadirkan tokoh- tokoh yang memiliki ikatan keluarga (hubungan darah) atau kekerabatan. Dapat dicontohkan dalam relasi Lintang sebagai anak sekaligus kerabat keempat eksil, generasi pertama yang mengalami efek trauma atas peristiwa 1965. Berikut ini contoh penggambaran transmisi secara keluarga.
Pernyataan pertamaku adalah kalimat jujur. Seumur hidupku selama 23 tahun, aku tak pernah menginjak Indonesia karena keluarga tak akan bisa menginjaknya—betapapun Ayah merindukan tanah airnya. Tetapi aku harus mengakui, pernyataan keduaku adalah kebohongan. Tentu saja aku mengenal Indonesia, paling tidak dari tangan kedua. Dari Ayah, ketiga kawan Ayah: Om Nug, Om Tjahjadi, dan Om Ristjaf; dari buku-buku, dari dokumenter, dari seluruh pertengkaran Ayah dan Maman (Chudori, 2019, hlm. 135).
Pada data tersebut, konteks mengenali Indonesia yang dimaksud adalah Indonesia dalam kerangka sejarah 65. Lintang sebagai ge- nerasi kedua tidak mengalami secara langsung peristiwa traumatis sejarah 65 bahkan ia tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Ia
menerima memori sekaligus gambaran
Indonesia melalui kedua orang tua dan anggota keluarganya.
Selain keluarga, data tersebut sekaligus menarasikan bentuk afiliative postmemory. Buku, film dokumenter, surat-surat, foto, museum, atau narasi yang beredar di sekitarnya menjadi media transmisi memori. Leila juga menghadirkan sosok Lintang sebagai seorang anak yang memiliki kemampuan Photographic
Memory (Chudori, 2019, hlm. 293). Ia dapat
mengingat rinci sesuatu yang ia terima, seperti halnya cerita masa lalu. Tidak sekadar cerita, melainkan juga konteks kesejarahan dan juga memori atas trauma.
Berbeda dengan konsep cerita yang diusung Leila, dalam novel Amba transimisi memori keluarga tidak merujuk pada ikatan keluarga secara langsung tetapi transmisi memori melalui orang terdekat. Laksmi lebih dominan menggambarkan bentuk afiliasi postmemory.
“Kamu dengar, beberapa minggu lalu Lurah Garum, 10 kilometer dari sini, dibacok? Dia seorang PNI, dan tentu saja massa PNI dan NU lalu mengejar- ngejar dan membunuhi orang PKI,” kata Bhisma lagi (Pamunjtak, 2017, hlm. 217).
Dialog ini adalah dialog antara Amba dan Bhisma ketika berada di Kediri, tepatnya di rumah sakit. Memori yang ditransmisikan berupa peristiwa kekejaman secara fisik sebagai imbas konfrontasi antara masa PKI dan anti komunis. Dalam hal ini, Bhisma tidak mengalami secara langsung, tetapi memperoleh transmisi traumatis dari pasien- pasiennya. Dengan demikian, sosok Bhisma juga menempati posisi sebagai generasi 1.5. Proses transmisi pada penggambaran tersebut dapat dianalogikan layaknya proses getok tular, dari mulut ke mulut.
Afiliative postmemory lebih banyak
dinarasikan Laksmi dalam novelnya.
Perhatikan kutipan novel Amba berikut ini. Manalisa juga menyerahkan
setumpukan kertas yang tampak seperti dokumen-dokumen resmi. Tiba-tiba ia jadi kurang fasih. “ini buat ose juga,” katanya, setengah berbisik. Suaranya tiba-tiba serak. “Tapi harus kau baca terakhir” (Pamunjtak, 2017, hlm. 74).
“Lebih dari 250 orang dibunuh beramai- ramai di Boyolali, organisasi-organisasi dibubarkan, orang-orang ditangkap di mana-mana: ratusan mahasiswa, pelukis, aktivis perempuan, dosen. Amba jeri membayangkan semuanya. Lalu ia membaca Koran lokal bahwa tentara baru saja menyerbu dan merusak Bumi Tarung; mereka juga menangkap seorang pelukis bernama Tarigan” (Pamunjtak, 2017, hlm. 352).
Dari kedua kutipan tersebut, terdapat dua
contoh media transmisi afiliasi bagi
postgeneration. Pertama adalah tumpukan
kertas atau dokumen. Dokumen tersebut berisikan tentang perjalanan Bhisma yang mulai setelah perpisahannya dengan Amba dan diasingkan di Pulau Buru. Layaknya catatan perjalanan, dokumen tersebut berakar dari pengalaman pribadi yang sengaja ditujukan kepada pembaca. Dalam hal ini, penulis catatan perjalanan berupaya memberikan kekuatan otoritatif sehingga dapat dipercaya oleh pembaca (Thompson, 2011, hlm. 74). Kekuatan otoritatif tersebut akan dikatakan berkualitas jika memberikan efek kepercayaan pada pembaca sehingga mereka juga ikut merasakan trauma.
Contoh kedua adalah media masa. Media masa menjadi media paling dominan dalam menyebarkan memori. Media masa berisi narasi-narasi umum yang berkembang di sekitar masyarakat. Artinya, media masa juga ikut menyumbang peran untuk menyimpan memori. Selain dokumen dan media, Pamunjtak juga menggambarkan adanya transmisi afiliative melalui bangunan yang memiliki fungsi yang mirip dengan museum.
Bumi Tarung itu tempat para pelukis, kebanyakan mahasiswa ASRI. Pendirinya seorang asal Medan, Amrun Natalsya, pelukis dan pematung
(Pamunjtak, 2017, hlm. 278).
Lukisan-lukisan yang terpajang dan berlokasi di Yogya ini adalah karya-karya dari mahasiswa ASRI. Bumi Tarung menjadi perkumpulan atau markas bagi pelukis-pelukis yang ada di Yogya. Lukisan-lukisan yang dipajang sebagian mengandung nilai-nilai politik. Cerita-cerita yang disampaikan Bhisma ke Amba terkait tempat-tempat lukisan tersebut mengarah lebih dalam dengan para seniman yang Bhisma kenal, yaitu para anggota LEKRA. Tentu saja narasi yang muncul dalam lukisan- lukisan tersebut mewakili sudut pandang orang-orang komunis karena LEKRA memiliki visi misi yang sama dengan PKI. Dalam hal ini museum, peta, dan memorial memiliki kontribusi dalam pengimajinasian bangsa, termasuk identitas (Chatterjee, 2015).
Rekonstruksi Memori: Krisis dan Trauma Pasca-Transmisi Memori
Memori yang diterima postgeneration (baik generasi kedua maupun 1.5) tidaklah sama dan penuh seperti memori yang dimiliki oleh generasi pertama. Postgeneration akan melalui proses identifikasi, pemahaman, dan
rekonstruksi memori tersebut. Namun
demikian, proses ini tidak serta merta membuat
postgeneration memahami sepenuhnya memori
yang telah ditransmisikan. Akibatnya adalah
adanya krisis dan pewarisan trauma oleh
generasi pertama ke postgeneration.
Pada proses identifikasi dan konstruksi ini, post-generasi mencari trace guna melakukan berbagai mediasi. Mediasi tersebut ditujukan untuk mencapai keutuhan pemahaman masa lalu. Hasil identifikasi akan mempengaruhi pemahaman, perasaan, bahkan konstruksi identitas.
Meski itu terjadi saat aku berusia 10 tahun, aku masih bisa mengingat segala aroma dan peristiwa dengan rinci. Ada sesuatu yang salah dalam keluargaku; atau tepatnya, ada sesuatu yang membuat kami harus selalu hidup dalam situasi waswas
(Chudori, 2019, hlm. 143).
Data tersebut menunjukkan bagaimana generasi kedua mewarisi trauma, hidup dibalut perasaan waswas. Transmisi memori tersebut ia peroleh dari proses identifikasi dari kondisi
keluarga dan narasi di sekitarnya. Identifikasi tersebut digambarkan dengan rasa ingin tahu akan kebenaran peristiwa masa lalu.
Perasaan was-was tidak lepas dari stigma atas orang-orang yang dianggap memiliki hubungan dengan partai komunis, partai terlarang, sangat kuat merasuki semua kalangan. Dengan demikian, masyarakat memiliki andil terhadap penyaluran memori tersebut. Dalam hal ini trauma dikaitkan dengan identitas diri.
Aku masih terdiam. Memikirkan istilah Bersih Lingkungan. Memikirkan wajah dan pandangan Tante Sur, berbagai diplomat dan tamu pada pesta di KBRI. Memikirkan kata-kata Dupont tentang Ayahku. Tentang Sejarah. Malam itu adalah malam perkenalanku pada sekelumit Indonesia yang sangat berbeda-beda dari Indonesia yang kukenal melalui Restoran Tanah Air
(Chudori, 2019, hlm. 164).
Lintang tidak mengalami langsung pe- ristiwa trauma 1965, tetapi ia mewarisi stigma identitas dari Ayahnya. Begitu juga anak-anak seumuran Lintang—dari kelompok berbeda, anti komunis misalnya—juga akan memiliki warisan memori yang sama, meski dari sudut pandang yang berbeda. Hal ini nampak dari narasi dari Leila, yaitu ketika Lintang me- ngalami alienasi sosial di acara undangan perkumpulan orang Indonesia di Prancis yang dihadiri oleh orang Indonesia, baik sebagai generasi pertama maupun postgeneration. Dalam situasi tersebut sirkulasi dari transmisi memori 1965 akan terus berputar dan akan mencampuri proses identifikasi memori oleh generasi kedua, yaitu Lintang.
Namun demikian, terdapat kasus yang berbeda terkait konstruksi makna memori oleh generasi kedua. Pada kasus ini, postgeneration memiliki kesadaran penuh untuk tidak menerima warisan ‘trauma’.
Raditya akhirnya mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku merasa zaman harusnya sudah berubah. Sudah terlalu lama kita dioenjara oleh soal politik masa lalu. Seperti kau, Lintang, kami semua kan generasi baru
yang lahir jauh sesudah tahun 1965. We have barins, we have our own minds, mengapa kita harus didekte” (Chudori, 2019, hlm. 164).
Ada sekelumit postgeneration yang menganggap memori generasi pertama layaknya dongeng atau mitos yang telah kadaluarasa. Ini merupakan bagian dari hasil identifikasi dan rekonstruksi memori yang kemudian menjadi dasar penentuan sikap dari postgeneration. Sikap yang ditunjukkan postgeneration ini menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap apa yang dialami oleh generasi pertama. Dalam hal ini generasi pada kelompok antikomunis. Pemahaman atas memori masa lalu milik
postgeneration tidak bisa utuh karena berbagai
mediasi yang dialami oleh generasi kedua dapat menimbulkan chaos. Dapat dicontohkan dengan kasus transmisi memori dengan latar belakang peristiwa 1965. Seperti yang kita ketahui, sampai sekarang, masyarakat terbelah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang memegang teguh stigma bahwasannya simpatisan komunis itu adalah tokoh antagonis. Di sisi lain, terdapat kelompok yang mulai atau sudah memiliki pemahaman bahwa orang-orang yang dianggap simpatisan komunis juga bagian dari korban. Di tengah-tengah kelompok tersebut muncul kelompok netral.
Postgeneration cenderung menempati
kelompok ketiga yang memungkinkan untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap transmisi memori. Sikap yang dipilih tergantung dari mediasi dan konstruksi yang mereka lakukan.
Untuk sampai pada keutuhan
pemahaman sebagai bentuk rasa ingin tahu, Lintang memilih cara melakukan returning
journey, yaitu melakukan perjalanan historis
menuju tempat-tempat yang memiliki sangkut
paut dengan peristiwa 1965. Leila
menggambarkan Lintang melakukan perjalanan ke Indonesia, negeri leluhur dari garis keturunan Ayah.
Tiba-tiba saja aku merasa harus
mencari sebatang lilin untuk masuk ke gua sejarah yang Panjang dan gelap. Tiba-tiba darahku mengalir dengan
deras. Dadaku berdebur-debur. Kata I.N.D.O.N.E.S.I.A menjadi sesuatu yang menarik perhatianku. Aku ingat Shakespeare dan aku ingat Rumi. Bagaimana caranya memetik Indonesia dari kata I.N.D.O.N.E.S.I.A? (Chudori, 2019, hlm. 165).
Indonesia dan memori sejarah milik Ayahnya dikatakan layaknya gua yang panjang nun gelap. Lintang membutuhkan lilin untuk melaluinya dan bukan lampu yang begitu terang. Artinya, Lintang mengakui bahwa ia tidak mungkin mampu melihat detail gua tersebut, melihat keseluruhan kebenaran memori yang ia terima.
Returning journey merupakan cara yang ia
pilih. Perjalanan tersebut berisi penelusuran
trace dari jejak-jejak yang ditinggalkan
Ayahnya. Jejak-jejak tersebut diharapkan mampu menerangi pemahaman atas memori masa lalu yang masing jauh dan gelap. Tentu saja ketika Lintang sampai di Indonesia, ia akan menemukan mediasi-mediasi lain sehingga akan menambah proses transmisinya. Seperti yang diungkapkan oleh (Thompson, 2011, hlm. 27) dalam bukunya Travel Writing bahwa akibat dari melakukan perjalanan adalah adanya negoisasi—termasuk di dalamnya mediasi— antara diri dengan orang asing yang ditemui. Perjalanan, mediasi, dan negoisasi yang dilakukan Lintang berkaitan dengan identitas dirinya sebagai seorang anak yang memiliki garis keturunan orang Indonesia. Artinya, lingkungan yang berbeda dapat mempengaruhi konstruksi identitas bahkan memungkinkan terbentuk identitas baru (Friandini et al., 2019, hlm. 132). Hal inilah yang membuat Lintang kukuh melakukan Returning Journey dengan tujuan mencari kejelasan pemahaman memori maupun identitas.
Bahasan tentang transmisi memori dalam novel Amba juga menunjukan adanya identifikasi dan rekonstruksi memori oleh generasi kedua. Identifikasi tersebut—terutama yang mengandung trauma—akan berdampak pada kehidupan sehari-hari.
Waktu di Kediri aku sudah cerita, kan, bahwa aku harus mengoperasi seseorang? Tapi nggak boleh diketahui siapa pun. Bahkan oleh teman-teman
Bumi Tarung?”
Tentu saja Amba ingat, dan tiba-tiba ia jadi takut (Pamunjtak, 2017, hlm. 302).
Trauma yang diwarisi Amba setelah generasi pertama menyebutkan kembali tentang pengalamannya di masa lalu yang berhubungan dengan pembantaian PKI di Kediri. Generasi pertama menyebutkan bahwa sosok orang yang dioperasi secara diam-diam itu merupakan bagian dari Aidit (ketua PKI) pada saat itu. Amba merasa takut mengingat kondisi di Yogya dan Kediri sangat genting akibat adanya PKI. Rasa takut Amba semakin berlebihan mengingat Aidit merupakan salah satu dari pendiri PKI. Rasa takut dan trauma itu akan selalu muncul apabila Amba melewati tempat- tempat yang pernah diceritakan langsung oleh generasi pertama.
Selain itu, trauma yang ditunjukan Amba setelah generasi pertama menceritakan pengalamannya berhubungan dengan CGMI di Yogyakarta. Perhatikan kutipan berikut ini.
Keterlibatan antara generasi pertama dan CGMI membuat Amba semakin khawatir dan trauma dengan Bhisma. Hal ini dikarenakan kondisi yang semakin genting di Yogya yang membuat hampir seluruh kelompok sayap kiri menyiapkan untuk melakukan pemberontakan. Keseharian Amba diliputi dengan rasa takut karena Bhisma tidak berada di Yogya pada saat itu. Trauma itu selalu muncul apabila Amba mengingat ketika ia di bawa ke tempat perkumpulan itu (Pamunjtak, 2017, hlm. 337).
Yogyakarta menjadi saksi peristiwa yang telah disampaikan oleh generasi pertama kepada Bhisma. Rasa trauma muncul setelah Amba melewati tempat-tempat yang telah diceritakan generasi pertama. Rasa trauma tersebut mulai dibentuk ketika Bhisma mengajak Amba mengunjungi tempat-tempat perkumpulan yang ada di Yogyakarta tersebut. Cerita-cerita yang disampaikan oleh Bhisma terkait tempat perkumpulan itu dan para anggota-anggota yang dikenalkannya juga menambah rasa trauma berlebih pada diri Amba.
Postgeneration telah melakukan rekonstruksi atas memori yang mereka terima dari generasi pertama. Hasil rekonstruksi dan pemahaman memori tersebut memengaruhi diri
postgeneration. Mereka seolah-olah
mengalami secara langsung sehingga muncul ketakutan dan trauma. Pada akhirnya, hasil rekonstruksi tersebut memengaruhi proses identifikasi identitas diri sebagai bagian dari memori kolektif.
Kedua novel memberikan paradigma umum tentang narasi peristiwa 65. Narasi yang muncul saat ini telah mengalami perjalanan dan proses sejarah yang panjang termasuk proses transmisi memori. Dalam hal ini post-generasi memahami sejarah melalui proses transmisi yang ada. Hasil pemaknaannya dipengaruhi oleh bentuk transmisi yang ada. Seperti yang disampaikan oleh Astrid (2011, hlm. 5--18)
bahwa pemahaman—rekonstruksi—memori
masa lalu dapat dijadikan sebagai pijakan untuk melihat masa depan. Hal ini ditunjukan dengan
postgeneration memiliki sudut pandang yang
sama dengan yang dimiliki oleh generasi pertama.
SIMPULAN
Analisis kedua novel menunjukan bagaimana proses transmisi memori sejarah 65 berjalan. Dengan demikian, ada empat simpulan penelitian. Memori yang ditransmisikan adalah memori
tentang peristiwa1965. Peristiwa setelah
September 1965, yaitu perlakuan terhadap simpatisan partai komunis yang terlibat pembunuhan para jenderal, penangkapan, pembunuhan, pelarangan, dan lain sebagainya.
Pertama, terdapat tiga kelompok generasi dalam proses transmisi peristiwa 1965, yaitu generasi pertama, generasi 1.5, dan generasi kedua. Generasi pertama merupakan generasi yang mengalami peristiwa itu secara langsung. Kedua novel menghadirkan tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dengan partai komunis. Generasi 1.5 satu setengah merupakan generasi yang selamat atau tidak tahu menahu atas peristiwa yang sedang terjadi. Terdapat penggambaran kasus generasi pertama yang tidak sepenuhnya memahami peristiwa sehingga bisa dikategorikan pada generasi 1.5 juga. Generasi kedua yang tidak memiliki ingatan atau memori apa pun tentang
suatu peristiwa. Generasi 1.5 dan kedua menerima cerita yang memuat narasi memori dari generasi pertama.
Kedua, terdapat dua bentuk transmisi memori yang ditransmisikan, yaitu familial dan
afiliative. Familial postmemory ditemui pada
relasi keluarga, orang tua dan anak. Afilial
postmemory melalui buku, film dokumenter,
surat pribadi, foto, museum, dokumen sejarah, dan narasi-narasi yang beredar di sekitar
postgeneration.
Ketiga, kontruksi memori berkaitan dengan proses penerimaan postgeneration atas memori peristiwa 65. Penerimaan ini berupa identifikasi, pemahaman, dan rekonstruksi. Secara keseluruhan terdapat dua kecenderungan, yaitu mempercayai atau menolak transmisi. Mempercayai dan mengamini transmisi memori berujung pada pewarisan trauma, rasa was- was, atau perubahan identitas (stigma). Adanya kelompok postgeneration yang menolak warisan memori dan menganggapnya sebagai bagian dari mitos belaka merupakan bentuk konstruksi memori.
Pada proses transmisi memori ini,
postgeneration tidak sepenuhnya menerima
memori secara utuh. Retourning journey menjadi tawaran dalam menelusuri jejak-jejak sejarah kehidupan generasi pertama. Retourning
journey ini cenderung memaksimalkan bentuk
transmisi afiliative. DAFTAR PUSTAKA
Akmaliah, W. (2015). Indonesia yang dibayangkan: Peristiwa 1965--1966 dan Kemunculan Eksil Indonesia. Jurnal
Masyarakat dan Budaya, 17(1), 65–76.
https://doi.org/10.14203/JMB.V17I1.122. Chatterjee, P. (2015). Nationalism: General. In
International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences: Second Edition
(Second Edi, Vol. 16). Elsevier. https://doi. org/10.1016/B978-0-08-097086-8.12116- 6.
Chudori, L.S. (2019). Pulang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Erll, A. (2011). Travelling Memory. Parallax, 17(4), 4–18. https://doi.org/10.1080/1353 4645.2011.605570.
Erll, A., & Rigney, A. (2006). Literature and the
Production of Cultural Memory:
Introduction. European Journal of English
Studies, 10(2), 111–115. https://doi.
org/10.1080/13825570600753394.
Fernanda, A. (2017). Transmisi Memori dan Trauma dalam Mother Land Karya Dmetri Kakmi: Kajian Postmemory. Jurnal Poetika,
5(2), 82. https://doi.org/10.22146/
poetika.30937.
Friandini, A.R., Rahayu, L., & Saleha, A. (2019). Konstruksi Identitas Diri Tokoh Utama dalam Novel Hebi Ni Piasu dan Haidora Karya Kanehara Hitomi. Atavisme, 22(2),
129–143. https://doi.org/10.24257/
atavisme.v22i2.580.129-143.
Hirsch, M. (2008). The Generation of Postmemory. Poetics Today, 29(1), 103–
128.
https://doi.org/10.1215/03335372-2007-019.
Hirsch, M. (2012). The Generation of
Postmemory: Writing and Visual Culture After Holocaust. Columbia: Columbia
University Press.
Kohler, S. (2013). Transgenerational Trauma in the Novels of Julia Franck and Tanja Dückers. https://indigo.uic.edu/bitstream/ handle/10027/10024/Kohler_Sandra. pdf?sequence=1&isAllowed=y.
Kumalasari, I. (2016). The Book Thief Karya
Markus Zusak: Sebuah Kajian
Postmemory. Yogyakarta: Gadjah Mada
Universty Press.
Miles, M.B. & Huberman, M.A. (1994).
Qualitative Data Analysis: an Expanded Sourebook (2rd ed). London: Sage
Publication.
Mudzakkir, A. (2015). Living in Exile: the Indonesian Political Victims in the
Netherlands. Jurnal Masyarakat Dan
Budaya, 17(2), 171–184. https://doi.
org/10.14203/JMB.V17I2.282.
Nirwinastu, D.G. (2017). Cultural Memories of the 1965 Tragedy in Laksmi Pamuntjak’s
Amba and Leila S. Chudori’s Pulang.
Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Sanata Dharma.
Pamunjtak, L. (2017). Amba. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Putra, J.N.I. (2018). Konstruksi Bima dan Ekalaya dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori Kajian Postmemory. Tesis.
Yogyakarta: Program Pascasarjana,
Magister Sastra, FIB, Universitas Gadjah Mada.
Sitanggang, N.P. (2018). Asosiasi Wacana “Alun-Alun Seribu Patung” dengan Situasi Politik Kebangsaan di Indonesia pada Masa dan Pascareformasi. Aksara, 30(1), 107–120. DOI: https://doi.org/10.29255/ aksara.v30i1.236.107-120.
Suleiman, S.R. (2002). The 1.5 generation: Thinking about child survivors and the Holocaust. American Imago, 59(3), 277–
295. https://doi.org/10.1353/
aim.2002.0021.
Thompson, C. (2011). Trivel Writing: the New
Critical Idiom. New York: Routledge.
Zeng, H. (2010). The Semiotic of Exile in