Seminar Nasional Sains Antariksa
Homepage: http//www.lapan.go.id
MODEL VISIBILITAS KASTNER DALAM KASUS HILAL REKOR DUNIA DENGAN
MENYERTAKAN FAKTOR AKUITAS MATA PENGAMAT
(KASTNER VISIBILITY MODEL ON WORLD RECORD YOUNG LUNAR CRESCENT)
Binta Yunita, Judhistira Aria Utama, Waslaluddin
Program Studi Fisika, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia.
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Riwayat Artikel: Diterima: 22-11-2016 Direvisi: 10-03-2017 Disetujui: 20-03-2017 Diterbitkan: 22-05-2017 Kata kunci:visibilitas hilal, model Kastner, model Sultan, model Odeh.
Dalam makalah ini dipaparkan penerapan model visibilitas Kastner yang menyertakan faktor akuitas mata pengamat untuk memperoleh prediksi visibilitas hilal untuk kasus hilal yang menjadi rekor dunia dengan modus pengamatan mata telanjang. Prediksi yang dihasilkan model Kastner untuk kasus-kasus hilal yang menjadi rekor dunia telah dibandingkan dengan prediksi model lainnya, yaitu model Odeh dan model Sultan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada lima kasus rekor dunia, model Kastner bersesuaian dengan model Sultan dan Odeh. Pada dua kasus hilal lainnya, prediksi model Kastner berlawanan dengan prediksi model Sultan namun bersesuaian dengan prediksi model Odeh. Agar bersesuaian dengan klaim dalam kasus hilal yang diamati dalam modus mata telanjang tersebut,di dalam model Kastner telah diterapkan koreksi faktor akuitas (ketajaman mata pengamat) senilai 0,15.
Keywords:
hilal visibility, Kastner model, Sultan model, Odeh model.
ABSTRACT
We present the implementation of Kastner visibility model accommodates the acuity factor for the observer to obtain the crescent visibility predictions for world record naked-eye observation of young lunar crescent. Predictions of modified Kastner model for some cases of world record young lunar crescent are compared with the predictions of Sultan and Odeh model. In five cases, the Kastner model consistent with Sultan and Odeh model. In the other two cases, Kastner model predictions is in opposite to Sultan’s but consistent with Odeh’s. To be consistent with the claim in the world record of naked-eye young lunar crescent, we apply a correction factor of acuity of 0.15 in Sultan model.
1. Pendahuluan
Kegiatan mengamati hilal perlu didasarkan atas dasar perhitungan terlebih dahulu. Sehingga metode hisab memberikan pedoman waktu dan arah bagi para pengamat hilal dalam kegiatan rukyat yang mereka lakukan. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kenampakan hilal yang menyangkut dengan kriteria visibilitas hilal. Kriteria visibilitas hilal
tidak hanya digunakan umat Islam sebagai penentu awal bulan, tetapi juga sebagai kajian saintifik bagi para astronom. Banyak pengamat yang telah berhasil menentukan kriterianya masing-masing sehingga membuat kriteria visibilitas hilal menjadi beragam.
Hoffman menyatakan bahwa tidak adanya kriteria visibilitas yang berlaku untuk semua rentang lintang geografis pengamat (Hoffman, 2003). Sehingga telah mendorong (Utama et al.,
2013) untuk mendapatkan nilai-nilai berbagai parameter fisik hilal khusus untuk lintang tropis, baik dengan mata telanjang maupun pengamatan dengan bantuan teleskop. Berdasarkan hasil penelitian (Utama, 2014) diperoleh bahwa perbesaran sudut adalah faktor koreksi yang dominan dalam model Katsner yang digunakan dalam prediksi visibilitas hilal dengan menggunakan bantuan teleskop.
Berbagai model visibilitas benda langit di dekat Matahari telah dibangun oleh para pengamat salah satunya oleh Kastner. Dalam model visibilitas Kastner, Kastner hanya memodelkan visibilitas benda langit untuk pengamatan dengan mata telanjang dan masih menggunakaan persamaan yang masih belum akurat untuk kecerahan langit senja yang tidak berlaku universal atau tidak untuk seluruh lintang pengamatan, sehingga perlu adanya modifikasi untuk memperoleh nilai kecerahan langit senja serta perlu adanya berbagai koreksi yang relevan untuk diterapkan pada kecerahan langit senja dan kecerahan hilal karena penggunaan alat optik.
Modifikasi atas model Kastner tersebut akan menghasilkan prediksi visibilitas hilal untuk modus pengamatan baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan alat optik yang cocok dengan model-model lain yang sudah ada (misalnya model Sultan dan model Odeh). Pada satu kasus pengamatan hilal dengan mata telanjang yang menjadi rekor dunia, model Kastner yang sudah dimodifikasi tidak mampu menghasilkan prediksi yang sesuai dengan klaim di lapangan, sehingga diterapkanlah suatu faktor koreksi yaitu faktor akuitas (ketajaman mata pengamat) agar model Kastner yang sudah dimodifikasi dapat menghasilkan prediksi yang sesuai dengan klaim di lapangan. Faktor akuitas tersebut diterapkan karena terdapat kasus dimana beberapa pengamat memiliki kemampuan penglihatan di atas rata-rata. Untuk itu dalam makalah ini akan dilakukan analisis besaran factor akuitas pada model Katsner untuk peningkatan akurasi prediksi model Katsner yang sudah dimodifikasi.
2. Landasan Teori
Model matematis dari Schaefer mengenai faktor-faktor koreksi untuk memprediksi visibilitas benda-benda langit untuk pengamatan dengan bantuan teleskop akan digunakan dalam model Katsner yang sudah dimodifikasi. Schaefer telah menyempurnakan model teoritiknya mengenai visibilitas hilal dengan memasukkan berbagai efek fisis, meteorologi, efek fisiologis, memperhitungkan lokasi pengamatan (altitude
dan latitude) dan waktu. Hasil dari persamaannya dikombinasi dengan posisi Bulan dan Matahari yang akan memprediksi waktu penampakan hilal dari setiap lokasi.
Koreksi untuk kecerahan langit yaitu dengan memasukkan berbagai faktor, sehingga kecerahan langit efektif (Schaefer, 1993) dinyatakan sebagai berikut :
= / ... (2-1) merupakan nilai kecerahan langit senja (dalam satuan nL), merupakan nilai kecerahan langit senja yang sudah terkoreksi (dalam satuan nL). Sedangkan koreksi untuk kecerahan hilal yaitu dengan memasukkan berbagai faktor, sehingga kecerahan hilal berdasarkan persamaan (Schaefer, 1993) dinyatakan sebagai berikut :
= / ... (2-2) merupakan nilai kecerahan hilal di dalam atmosfer (dalam satuan nL), merupakan nilai kecerahan hilal yang sudah terkoreksi (dalam satuan nL). dan merupakan faktor koreksi tanpa satuan.
Faktor-faktor koreksi yang diterapkan (Schaefer, 1990) : = ... (2-3) = ... (2-4) = 1,41 ... (2-5) = ... (2-6) =( ( ( / ) )) ... (2-7) = (2 /900") . 2 > 900 ... (2-8) = 1 2 < 900 ... (2-9) = ... (2-10) = < / ... (2-11) = 1 > / ... (2-12) dengan : = 7 exp (−0,5 /100 ... (2-13) Sedangkan faktor akuitas, menurut (Schaefer, 1990) bahwa adanya faktor acuity (ketajaman penglihatan, Fs) baik untuk
pengamat normal (Fs = 1) maupun untuk
pengamat dengan penglihatan paling baik (Fs
berkisar 0,1 hingga 0,2).
Rumus aproksimasi Kastner dalam menghitung kecerahan hilal untuk memperoleh fungsi visibilitas hilal di dekat Matahari dengan kecerahan hilal di luar atmosfer dalam satuan S10 sebagai berikut (Kastner, 1976) :
∗= (2,51)( )……… .... (2-14)
= 1 − cos ∠ ………. .... (2-15) D menyatakan luas sabit Bulan, r menyatakan semidiameter Bulan dan e merupakan sudut elongasi.
Kecerahan hilal di dalam atmosfer dalam satuan nL sebagai berikut:
= 0,263 ∗ ………. ... (2-16)
= , ……….. ... (2-17) X merupakan persamaan untuk memperoleh massa udara (Rozenberg, 1966), z adalah jarak zenit, k adalah koefisien ekstingsi (untuk k = 0,2 saat atmosfer dalam keadaan bersih).
Fungsi visibilitas Kastner (Δm) dinyatakan dalam (Kastner, 1976) :
∆ = 2,5 log ………. ... (2-18) dengan
= ………. ... (2-19) sedangkan untuk modus teleskop nilai R sebagai berikut :
= ……… ... (2-20) Prediksi visibilitas hilal berdasarkan model Sultan dengan kriteria visibilitasnya yaitu (Sultan, 2003) :
≥ ……….. .... (2-21) dengan
=( )………... ... (2-22) merupakan kontras kecerahan antara hilal dengan kecerahan langit senja, sedangkan merupakan ambang kontras.
Persamaan untuk mendapatkan ambang kontras sebagai berikut (Schaefer, 1993) :
= 0,0028 + 2,4 ,
log > 6……….. ... (2-23) atau
= 0,0028 + 2,4 ,
log > 6……….. ... (2-24) Persamaan untuk mendapatkan sebagai berikut (Schaefer et al., 1992) :
= (8,28 , )
log > 3,17………. .... (2-25) Prediksi visibilitas hilal berdasarkan model Odeh menggunakan persamaan berikut (Odeh, 2004) :
= − (−0,1018 + 0,7319 −
6,3226 + 7,1651)... .... .(2-26) W merupakan lebar sabit (dalam satuan menit busur) dan ARCV merupakan beda tinggi Bulan-Matahari (dalam satuan derajat).
3. Data dan Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif. Sampel data yang akan diuji dengan model visibilitas Kastner yang telah dimodifikasi dalam penelitian ini adalah memanfaatkan tujuh data yang menjadi rekor dunia berdasarkan data kompilasi Odeh.
Untuk mengetahui parameter fisis Bulan dan Matahari digunakan peragkat lunak Mooncalc versi 6.0 dari Monzur Ahmed (2001) dengan pengaturan toposentrik (pengamat berada di permukaan Bumi) dan mengaktifkan refraktor (memperhitungkan efek refraksi pada atmosfer). Data meteorologi berupa data temperatur dan kelembapan relatif di lokasi pengamatan. Data tersebut diperoleh dari situs penyedia informasi cuaca yaitu: www.worldweatheronline.com dan disesuaikan dengan waktu pengamatan.
Nilai kecerahan langit senja yang digunakan berupa kecerahan langit senja dengan algoritma Schaefer yang diimplementasikan dalam tool JAVA Applet yaitu www.bogan.ca/astro/optics/vislimit.html. Sedangkan faktor-faktor koreksi dihitung dengan memanfaatkan model matematika dari Schaefer untuk kecerahan hilal dan kecerahan langit senja (Schaefer, 1990). Selanjutnya menghitung fungsi visibilitas Kastner dengan menggunakan model Kastner yang sudah dimodifikasi.
Perhitungan nilai ambang kontras dengan memanfaatkan data eksperimental Blackwell tahun 1946 (Schaefer, 1993). Nilai tersebut digunakan untuk dapat memprediksi visibilitas model Sultan. Sedangkan untuk memperoleh prediksi model Odeh, parameter ARCV dan W yang diperoleh dari moonCalc dengan pengaturan tanpa mengaktifkan faktor refraksi.
Tabel 3-1.
Data Rekor Dunia Untuk Pengamatan Hilal. No. Pengamat Waktu Keterangan
1. Pierce 25-02-1990 Hilal dapat diamati dengan mata telanjang saat umur Bulan 15 jam 33 menit 2. Stamm 20-01-1996 Hilal dapat diamati dengan teleskop saat umur Bulan 13 jam 14 menit 3. Mirsaeed 07-09-2002 Hilal dapat diamati dengan binokuler saat umur Bulan 13 jam 18 menit 4. Stamm 02-11-2005 Hilal dapat diamati dengan teleskop saat lag time 21 menit 5. Ashdod 20-09-1990 Hilal dapat diamati dengan mata telanjang saat lag time 29 menit 6. Stamm 13-10-2004 Hilal dapat diamati dengan teleskop saat elongasi 6.4o
7. Pierce 25-02-1990 Hilal dapat diamati dengan mata telanjang saat elongasi 7.7o (Sumber : Odeh, 2004) Tabel 4-1.
Prediksi Model Kastner Yang Dimodifikasi. No. Moon alt [o] Solar Depth
[o] Elongation [o] mvis r [o] W [‘] L [nL] B_eff [nL] R Δm 1. 2.35 5.48 7.59 -4.82 0.27 0.14 6.53E+06 2.06E+06 3.16 1.25 2. 2.59 5.13 7.73 -4.84 0.28 0.15 3.61E+08 5.16E+04 6992.55 9.61 3. 1.98 5.31 7.41 -4.81 0.28 0.14 3.09E+08 6.58E+04 4704.23 9.18 4. 0.83 3.38 12.01 -5.22 0.26 0.34 2.51E+07 1.76E+05 142.7 5.39 5. 1.37 4.96 19.38 -5.92 0.25 0.85 1.04E+06 6.16E+06 0.17 -1.94 6. 0.91 6.04 6.57 -4.71 0.26 0.1 5.93E+07 2.17E+04 2732.38 8.59 7. 2.35 5.48 7.59 -4.82 0.27 0.14 6.53E+06 2.06E+06 3.16 1.25 Tabel 4-2.
Prediksi Model Kastner Yang Dimodifikasi Untuk Kasus No. 5 (Pengamatan Ashdod). Moon alt [o] Solar Depth [o] Elongation [o] mvis r [o] W [‘] L [nL] B_eff [nL] R Δm Keterangan 1.37 4.96 19.38 -5.92 0.25 0.85 1.04E+06 6.16E+06 0.17 -1.94 Tanpa koreksi Fs 1.37 4.96 19.38 -5.92 0.25 0.85 6.90E+06 6.16E+06 1.12 0.12 Dengan koreksi Fs
Tabel 4-3.
Perbandingan Hasil Prediksi Visibilitas Hilal.
Kasus Model Kastner yang dimodifikasi Model Sultan Model Odeh Pierce (moon age, N) √ √ √ Stamm (moon age, T) √ √ √ Mirsaeed (Age,B) √ √ √ Stamm (Lag, T) √ - √ Ashdod (Lag, N) √ - √ Stamm (Elongasi ARCL, T) √ √ √ Pierce (ARCL, N) √ √ √ Keterangan : √ = hilal teramati
─ = hilal tidak teramati Pada Tabel 4-3 tersebut merupakan tabel perbandingan prediksi untuk ketiga model. Model Kastner yang dimodifikasi menghasilkan prediksi yang sama dengan model Odeh bahwa hilal dapat diamati dan sesuai dengan klaim dilapangan,
4. Pembahasan
Dalam Tabel 4-1 diperlihatkan visibilitas bernilai positif yang dapat diartikan bahwa hilal dapat diamati untuk 6 kasus sedangkan visibilitas bernilai negatif yang dapat diartikan bahwa hilal tidak dapat diamati untuk satu kasus yaitu pada kasus lag time tersingkat yaitu 29 menit hasil pengamatan Ashdod dengan mata telanjang. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan bila pengamat yang terlibat memiliki kemampuan penglihatan di atas rata-rata (mata pengamat yang lebih sensitif dan lebih tajam untuk mendeteksi cahaya hilal), pengamat yang sudah berpengalaman dalam pengamatan hilal dan didukung dengan kondisi atmosfer setempat yang sangat mendukung. Banyak kasus dalam pengamatan objek langit khususnya hilal ditemui pengamat yang memiliki kemampuan khusus seperti resolusi mata yang tinggi (diameter pupil lebih besar dibanding diameter rata-rata kebanyakan orang).
Visual acuity merupakan kemampuan dari mata untuk membedakan sacara detil suatu objek dan latarnya yang sebagian besar bergantung dari daya akomodasi mata. Sherrod mengungkapkan bahwa tampaknya ada bukti yang menunjukkan bahwa orang dengan warna mata yang lebih terang (yaitu, biru dan hijau) lebih sensitif terhadap warna halus dan detail dibandingkan orang-orang dengan mata gelap (Sherrod, 2016). Untuk kasus pengamatan Ashdod diterapkan faktor akuitas setidaknya
sebesar 0,15 dalam model visibilitas Kastner yang sudah dimodifikasi agar menghasilkan prediksi visibilitas yang positif seperti pada Tabel 4-2.
Perbandingan Model Kastner yang dimodifikasi dengan model lainnya seperti berikut :
Model Sultan
Model Sultan yang diterapkan pada kasus-kasus yang menjadi rekor dunia menunjukkan hasil visual bahwa hilal dapat diamati untuk tiga kasus yaitu saat umur Bulan termuda yang teramati oleh teleskop (pengamatan Stamm) maupun binokuler (pengamatan Mirsaeed) dan saat elongasi minimum yang teramati oleh teleskop (pengamatan Stamm). Sedangkan hilal tidak dapat diamati untuk empat kasus yaitu pada kasus lag time tersingkat yang diamati dengan mata telanjang (pengamatan Ashdod) maupun teleskop (pengamatan Stamm), umur Bulan termuda dan elongasi minimum yang diamati dengan mata telanjang (pengamatan Pierce). Pada dua kasus hasil pengamatan oleh Pierce (kasus umur Bulan termuda dan elongasi minimum diamati dengan mata telanjang), model Sultan akan menunjukkan bahwa hilal dapat diamati jika menggunakan teleskop dengan perbesaran minimum 50x.
Untuk satu kasus lag time tersingkat yang diamati dengan teleskop hasil pengamatan oleh Stamm, model Sultan memprediksi bahwa hilal tidak teramati meskipun dengan perbesaran 50x. Hal tersebut dapat dijelaskan karena pada model Sultan hanya menggunakan satu faktor koreksi yaitu perbesaran teleskop saja. Sehingga meskipun dilakukan penerapan perbesaran teleskop hingga 200x, model Sultan tetap menunjukkan prediksi bahwa hilal tidak teramati. Sedangkan untuk satu kasus hasil pengamatan Ashdod, model Sultan tidak mampu
menjelaskan bahwa hilal dapat diamati dengan ditandainya nilai kontras kecerahan hilal terhadap kecerahan langit senja yang lebih kecil dibandingkan nilai ambang kontrasnya.
Model Odeh
Berdasarkan model Odeh, bahwa hilal dapat diamati dengan menggunakan alat optik maupun mata telanjang merupakan kategori zona B dan hal tersebut terpenuhi untuk kasus lag time tersingkat hasil pengamatan Ashdod. Kategori zona C adalah kategori dimana hilal dapat diamati hanya dengan menggunakan alat optik dan hal tersebut terpenuhi untuk kasus hasil pengamatan Stamm dan Mirsaeed. Sedangkan untuk kasus hasil pengamatan Pierce, model Odeh memprediksi bahwa hilal hanya dapat teramati dengan bantuan alat optik.
5. Implementasi
Model ini dapat memberikan prediksi yang akurat pada berbagai kasus yang tersedia. Sehingga dapat disusun suatu kriteria visibilitas hilal untuk penentuan awal bulan Hijriah untuk modus pengamatan baik mata telanjang maupun dengan bantuan alat optik.
6. Kesimpulan
Prediksi visibilitas model Kastner yang dimodifikasi bersesuaian dengan prediksi model Odeh dan Sultan untuk lima kasus rekor dunia. Pada dua kasus hilal lainnya, prediksi model Kastner berlawanan dengan prediksi model Sultan namun bersesuaian dengan prediksi model Odeh. Agar bersesuaian dengan klaim dalam kasus hilal yang diamati dalam modus mata telanjang tersebut, di dalam model Kastner yang dimodifikasi telah diterapkan koreksi faktor akuitas (ketajaman mata pengamat) senilai 0,15.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih penulis sampaikan kepada Departemen Pendidikan Fisika, Prgram Studi Fisika FPMIPA UPI.
Rujukan
Hoffman, R.E. (2003). Observing the New Moon. Monthly Notices of the Royal Astronomical Society, 340, 1039-1051.
Katsner, S.O. (1976). Calculation of The Twilight Visibility Function of Near-Sun Object. The Journal of The Royal Astronomical Society of Canada, 70 (4),153-168.
Odeh, M. S. (2004). New Criterion for Lunar Crescent Visibility. Experimental Astronomy, 18, 39-64.
Rozenberg, G. V. (1966) Twilight : A Study in Atmospheric Optics, Plenum Press, 33. Schaefer, B. E. (1990). Telescopic Limiting
Magnitudes. Astronomical Society of The Pacific, 102, 212-229.
Schaefer, B. E. (1993). Astronomy And The Limits of Vision. Vistas in Astronomy, 36, 311-361. Odeh, M. S. (2004). New Criterion for Lunar Crescent Visibility. Experimental Astronomy, 18, 39-64.
Schaefer, B. E, Bulder, H. J. J and Bourgeois, J. (1992). Lunar Occultation Visibility. Icarus, 100, 60-72.
Sultan, A. H. (2003). Hijri Calender & Lunar Visibility : Physical Approach. 3rd Islami
Astronomial Conferene. Utama, J.A dan Hilmansyah. (2013). Penentuan Parameter Fisis Hilal Sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis. Jurnal Fisika. 3 (2), 122-127.
Sherrod, P. C. (2016). The Human Eye. http://arksky.org/aso/aso-guides/aso-general-guides/106-the-human-eye-in-astronomy. diunduh 24 Oktober 2016.
Utama, J.A. (2014). Young Lunar Crescent Visibility Prediction On Telescopic-Based Visual Observation. Proceeding of International Conference On Research, Implementation And Education Of Mathematics And Sciences,29-32.
BINTA YUNITA, S.Si,