• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes melitus

1. Pengertian

DM ditandai dengan kelompok gejala hiperglikemia, perubahan metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein serta meningkatnya resiko komplikasi penyakit vaskular yang terjadi karena defisiensi sintesis dan sekresi insulin (Anonim, 2000). Penyakit kencing manis dalam istilah medisnya disebut diabetes mellitus, dan penderitanya disebut Diabetisi (sesuai kesepakatan Konggres I persatuan diabetes Indonesia (PERSADI) di Bandung pada tahun 1986). Pada penderita DM, air seninya terasa manis karena mengandung gula. Diabetes mellitus (DM) atau yang dikenal dengan sebutan penyakit kencing manis merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa ≥126 mg/dl atau postpradial ≥ 200mg/dl atau glukosa darah sewaktu ≥ mg/dl) (Gunawan, 2008). Bila diabetes melitus tidak segera diatasi akan terjadi gangguan metabolisme lemak dan protein,dan resiko timbulnya gangguan mikrovaskuler atau makrovaskuler meningkat (Gunawan,2008).

2. Patofisiologi

Hiperglikemia timbul akibat berkurangnya insulin sehingga glukosa darah tidak dapat masuk ke sel-sel otot, jaringan adipose atau hepar. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke sel sehingga energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Lipolisis bertambah dan lipogenesis terhambat, akibatnya dalam jaringan banyak tertimbun asetil KoA (zat yang penting pada siklus asam sitrat dan prekusor utama dari lipid dan steroid, terbentuk dengan cara menggabungkan gugus asetil pada koenzim A selama oksidasi karbohidrat, asam lemak atau asam-asam amino), dan senyawa ini akan banyak diubah menjadi zat keton karena terhambatnya siklus TCA (Tricarboxylic Acid Kreb’s

(2)

Cycle). Zat keton sebenarnya merupakan sumber energi yang berguna terutama pada saat puasa. Metabolisme zat keton pada pasien DM meningkat, karena jumlahnya yang terbentuk lebih banyak daripada yang dimetabolisme. Keadaan ini disebut ketoasidosis yang ditandai dengan nafas yang cepat dan dalam disertai adanya bau aseton (Tjay, 2007)

3. Jenis diabetes melitus a. Tipe 1 (IDDM)

Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Ganguan produksi insulin pada DM tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, herpes dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet Cell Surface Antibodies), dan antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase) (DEPKES RI, 2005).

b. Tipe 2 (NIDDM)

DM tipe 2 atau yang disebut Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) paling banyak menyerang orang dewasa, penderita DM tipe ini mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi diabetes, yang umumnya berusia diatas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini DM tipe 2 dikalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (DEPKES RI, 2005).

Etiologi DM Tipe 2 disebabkan berbagai faktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM Tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.

(3)

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2 terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin tetapi kerena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”(DEPKES RI, 2005).

4. Komplikasi

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai (DEPKES RI, 2005).

a. Hipoglikemia

Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian (DEPKES RI, 2005).

Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl, walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat dialami 1 – 2 kali perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di Inggeris diperkirakan 2 – 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi, meskipun

(4)

penderita tersebut mendapat terapi insulin. Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:

 Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)  Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh

dokter atau ahli gizi  Berolah raga terlalu berat

 Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada seharusnya

 Minum alkohol  Stress

 Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia.

Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan apabila penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah:

a) Dosis insulin yang berlebihan b) Saat pemberian yang tidak tepat

c) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik berlebihan

d) Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis (DEPKES RI, 2005).

b. Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui dengan cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya,

(5)

antara lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) dan (HHS), yang keduanya dapat berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat (DEPKES RI,2005).

c. Komplikasi makrovaskuler

3 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart disease = CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral vascular disease = PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain Syndrome X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin Resistance Syndrome. Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya pada penderita diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolah raga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya (DEPKES RI, 2005).

d. Komplikasi mikrovaskuler

Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang

(6)

mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan diabetes.Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi mikrovaskular sampai 60% (DEPKES RI, 2005).

B. Penatalaksanaan terapi diabetes melitus 1. Terapi farmakologi

a. Insulin

Insulin tergolong hormon polipeptida yang awalnya diekstraksi dari pankreas babi maupun sapi, tetapi kini telah dapat disintesis dengan teknologi rekombinan DNA menggunakan E. Coli. Hormon ini dimetabolisme terutama di hati, ginjal, dan otot (DEPKES RI, 2000). b. Obat hipoglikemia oral (OHO)

Secara umum DM dapat diatasi dengan obat-obat antidiabetes yang secara medis disebut obat hipoglikemia oral (OHO). Obat ini tidak boleh sembarangan dikonsumsi karena dikhawatirkan penderita menjadi hipoglikemia. Pasien yang mungkin berespon terhadap obat hipoglikemik oral adalah mereka yang diabetesnya berkembang kurang dari 5 tahun. Pasien yang sudah lama menderita diabetes mungkin memerlukan suatu kombinasi obat hipoglikemik dan insulin untuk

(7)

mengontrol hiperglikemiknya. Obat-obat hipoglikemik oral dibagi atas 5 golongan:

1. Golongan sulfonilurea

Sulfonilurea menstimulasi sel-sel beta dari pulau Langerhans, sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Di samping itu kepekaan sel-sel beta bagi kadar glukosa darah juga diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transpor glukosa. Obat ini hanya efektif pada penderita diabetes mellitus tipe II yang tidak begitu berat, yang sel-sel betanya masih bekerja cukup baik. Ada indikasi bahwa obat-obat ini juga memperbaiki kepekaan organ tujuan bagi insulin dan menurunkan absorbsi insulin oleh hati (Tjay, 2007).

2. Golongan Biguanide

Metformin adalah satu-satunya golongan biguanid yang tersedia, bekerja menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Obat ini hanya efektif bila terdapat insulin endogen. Kelebihan dari golongan biguanid adalah tidak menaikkan berat badan, dapat menurunkan kadar insulin plasma, dan tidak menimbulkan masalah hipoglikemia (DEPKES RI, 2000).

3. Golongan penghambat alfa glukosida

Obat ini merupakan obat oral yang biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/ hari yang menghambat alfa-glukosidase, suatu enzim pada lapisan sel usus, yang mempengaruhi digesti sukrose dan karbohidrat kompleks. Obat ini efektif pada pasien dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl. Akarbose bekerja menghambat alfa-glukosidase sehingga memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat (DEPKES RI, 2000).

4. Thiazolidindion

Thiazolidindion merupakan obat baru yang efek farmakologinya dan berupa penurunan kadar glukosa darah dan

(8)

insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan insulin dari otot, jaringan lemak, dan hati. Zat ini tidak mendorong pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti pada sulfonilurea (Tjay, 2007).

5. Meglitinida

Kelompok obat terbaru ini bekerja menurunkan suatu mekanisme khusus, yaitu mencetuskan pelepasan insulin dari pankreas segera sesudah makan. Meglitinida harus diminum cepat sebelum makan, dan karena reabsorpsinya cepat maka mencapai kadar puncak dalam satu jam. Insulin yang dilepaskan menurunkan glukosa darah secukupnya. Ekskresinya juga cepat, dalam 1 jam sudah dikeluarkan tubuh (Tjay, 2007).

2. Terapi non farmakologi

Pokok pangkal penanganan diabetes adalah makan dengan bijaksana atau diet. Semua pasien harus memulai diet dengan pembatasan kalori, terutama pada pasien dengan berat badan yang berlebih. Makanan perlu dipilih secara seksama terutama pembatasan lemak total dan lemak jenuh untuk mencapai normalitas kadar glukosa dan lipid darah (Tjay, 2007).

Bila terdapat resistensi insulin, gerak badan secara teratur (olahraga) dapat menguranginya. Hasilnya insulin dapat dipergunakan secara baik oleh sel tubuh dan dosisnya pada umumnya dapat diturunkan (Tjay, 2007).

C. Pharmaceutical care

Adalah tanggung jawab apoteker terhadap penggunaan atau terapi obat yang digunakan untuk mencapai hasil terapi tertentu yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, sedangkan hasil terapi yang diharapkan antara lain:

a. pasien sembuh dari penyakit

b. eleminasi atau pengurangan gejala yang ada

c. memperlambat atau menekan perkembangan suatu penyakit d. mencegah timbulnya penyakit atau gejala penyakit

(9)

Pharmaceutical care merupakan salah satu elemen penting dalam bidang kesehatan. Farmasis dalam kaitannya dengan pharmaceutical care harus memastikan bahwa pasien mendapat terapi obat yang tepat, efisien dan aman (DEPKES RI,2005).

D. Drug related problem

Drug related problems merupakan kejadian yang tidak diharapkan akibat terapi obat sehingga mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan. Farmasis mempersiapkan pharmaceutical care untuk menunjukan Drug Related Event yang diterima untuk mendeteksi, mengobati, atau mencegahnya (Cipolle, 1998).

Jenis-jenis DRPs yang sering ditemukan diantaranya adalah (Cipolle,1998) :

Tabel 1. Jenis-jenis DRPs

Kategori DRPs Penyebab DRPs

Indikasi yang tidak diterapi

Pemilihan obat tidak tepat

a. Pasien membutuhkan terapi obat baru

b. Pasien menderita penyakit kronis sehingga membutuhkan terapi obat lanjutan.

c. Pasien membutuhkan kombinasi obat untuk memperoleh efek sinergis.

d. Pasien beresiko mengalami kejadian yang tidak diharapkan akibat terapi obat yang dapat dicegah dengan terapi profilaksis. a. Pasien mempunyai riwayat alergi terhadap

obat yang diterima.

b. Obat yang diterima pasien bukan merupakan obat yang paling efektif.

c. Pasien mempunyai kontra indikasi terhadap obat yang diterima.

d. Pasien menerima obat efektif tetapi bukan yang paling murah.

e. Obat yang diterima pasien tidak efektif terhadap bakteri penyebab infeksi (bakteri bersifat resisten terhadap obat).

(10)

Tabel lanjutan…… Katagori DRPs

Penggunaan obat tanpa indikasi

Dosis kurang

Dosis lebih

Adverse Drug Reaction (ADR)

f. Pasien menerima kombinasi obat yang sebenernya tidak perlu.

Penyebab DRPs

a. Pasien menerima obat tanpa indikasi medis yang jelas.

b. Adanya duplikasi terapi.

c. Pasien menerima obat untuk mengatasi efek samping obat lain yang sebenarnya dapat dicegah.

d. Terapi non obat (misalnya perubahan pola hidup) lebih baik untuk pasien.

a Dosis obat yang diberikan terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diharapkan. b. Kadar obat dalam darah pasien dibawah

kisaran terapi.

c. Frekuensi pemberian, durasi terapi, dan cara pemberian obat pada pasien tidak tepat. d. Waktu pemberian profilaksis tidak tepat

(misalnya profilaksis pembedahan diberikan terlalu awal).

a. Dosis obat yang diberikan terlalu tinggi. b. Kadar obat dalam darah pasien melebihi

kisaran terapi.

c. Dosis obat dinaikkan terlalu cepat.

d. Frekuensi pemberian, durasi terapi dan cara e. Pemberian obat pada pasien tidak tepat.

a. Pasien mengalami reaksi alergi terhadap obat. b. Pasien mempunyai resiko mengalami efek

samping obat.

c. Pasien mengalami reaksi idiosinkrasi terhadap obat.

d. Biavailabilitas obat berubah akibat interaksi obat dengan obat lain atau dengan

(11)

Tabel lanjutan…. Katagori DRPs

Kegagalan dalam menerima obat

makanan.

e. Efek obat berubah akibat inhibisi atau

Penyebab DRPs

induksi enzim oleh obat lain.

f. Efek obat berubah akibat penggantian ikatan antara obat dengan protein aleh obat lain.

a. Pasien gagal menerima obat yang tepat karena adanya medication errors.

b. Pasien tidak mampu membeli obat (obat terlalu mahal untuk pasien).

c. Pasien tidak memahami petunjuk penggunaan obat.

d. Pasien tidak mau minum obat (misalnya karena rasa obat tidak enak).

E. Rumah sakit

RSUD Banyumas adalah rumah sakit kelas B, sebagai sarana pelayanan kesehatan dalam beberapa tahun terakhir ini telah mulai mengembangkan berbagai upaya yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitas dan kesetaraan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa hampir separuh dari masyarakat belum dapat menikmati kesamaan hak dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. RSUD Banyumas adalah Rumah Sakit Umum Milik pemerintah Kabupaten yang ijin operasionalnya ditetapkan oleh departemen (RSUD Banyumas, 2008).

F. Rekam medik

Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekam medik yang memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita rawat tinggal maupun penderita rawat jalan. Rekam medik ini harus

(12)

secara akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat dipergunakan, mudah ditelusuri kembali (retrieving), dan lengkap informasi. Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas dan akurat dari kehidupan dan kesakitan penderita, ditulis dari sudut pandang medik.

Definisi rekam medik menurut Surat Keputusan Direktur Jendral Pelayanan Medik adalah: Berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama riwayat di rumah sakit, baik rawat jalan maupun rawat tinggal (Siregar, 2003)

Kegunaan Rekam Medik

1. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita.

2. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap professional yang berkontribusi pada perawatan penderita.

3. Melengkapi bukti dokumen terjadinya/penyebab kesakitan penderita dan penanganan/pengobatan selama tiap tinggal di rumah sakit.

4. Digunakan setiap dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada penderita.

5. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang bertanggung jawab.

6. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan. 7. Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data

dalamrekam medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang penderita (Siregar, 2003)

Referensi

Dokumen terkait

Melalui belajar sejarah guru sejarah bisa menanamkan nilai karakter pada siswa, hal ini sesuai dengan Permendiknas no 22 Tahun 2002 yang menyatakan tujuan

Hasil penelitian ini menunjukkan, Bentuk konstruksi ajir bambu tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan maupun hasil tanaman mentimun (Cucumis sativus L.)

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah: 1 guru SD, sebaiknya dapat mengembangkan media gambar seri dalam pembelajaran mengarang, sehingga memudahkan siswa dalam

Komunikasi yang dilakukan pada waktu yang tepat akan membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya, bila pasien sedang menangis kesakitan, bukan waktunya untuk tenaga

Ethyl benzene mentah, benzene, dan etilen yang keluar sebagai produk atas kolom dealkilator dipompakan menuju settling tank untuk menetralkan etil benzene dan memisahkan benzen

Berdasarkan uji statistik (ANAVA) menunjukkan bahwa nilai eritrosit ikan nila yang diberi perlakuan dengan probiotik Bacillus yang diisolasi dari saluran pencernaan

Dari hasil analisis data didapatkan bahwa nilai r = .476 (p< .001), yang berarti bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara empati dengan kepuasan