• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi. Ada beberapa pendapat terkait dengan pengelolaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi. Ada beberapa pendapat terkait dengan pengelolaan"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

11

Sumber daya manusia, semakin marak di perbincangkan dalam lingkungan organisasi. Ada beberapa pendapat terkait dengan pengelolaan sumber daya manusia, dalam menunjang peningkatan kinerja karyawan. Beberapa hal yang mempengaruhi kinerja sumber daya manusia dantaranya adalah kepemimpinan dan motivasi kerja.

2.1 Kepemimpinan

2.1.1. Pengertian Kepemimpinan

Terry (1960) dalam Thoha (2006) mengatakan bahwa, kepemimpinan itu adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai perilaku seorang individu sementara ia terlibat dalam pengarahan kegiatan-kegiatan kelompok. Sedangkan menurut Rauch & Behling (1984) dalam Gorda (2006), kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan.

Suatu organisasi akan berhasil atau gagal sebagian besar ditentukan oleh pemimpin dan kepemimpinannya. Pemimpinlah yang bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan . Day dan Lord (1998) dalam Siagian (2004) menyatakan bahwa, keberhasilan atau kegagalan yang dialami sebagian besar organisasi ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki orang-orang yang diserahi tugas memimpin organisasi.

(2)

Salah satu dari elemen kunci kepemimpinan adalah influence (pengaruh). Pertimbangan utama dari para pemimpin adalah mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal-hal yang diperlukan dalam mencapai goal yang spesifik dan pertimbangan lainnya adalah dengan membangun hubungan dengan para pengikutnya berdasarkan kepercayaan, harapan atau rasa ketergantungan dan kepedulian yang sebenarnya satu sama lain. Menurut Joseph C. Rost (1993) dalam Safaria (2004) mendefinisikan bahwa, kepemimpinan merupakan sebuah hubungan yang saling mempengaruhi diantara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya.

Kepemimpinan berkaitan dengan proses yang disengaja dari seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain untuk membimbing, membuat struktur, memfasilitasi aktifitas dan hubungan didalam kelompok atau organisasi (Yukl, 2005). Kepemimpinan merupakan kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Jadi dapat dikatakan bahwa kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan, tidak harus diikat dalam suatu organisasi tertentu, kepemimpinan bisa terjadi dimana saja, kapan saja asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain (Thoha, 2006).

Di dalam mencapai tujuan organisasi, manajemen merupakan proses yang memiliki fungsi-fungsi tertentu, meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pemotivasian, dan pengendalian. Secara tersendiri manajemen merupakan proses

(3)

kerjasama dengan dan melalui orang-orang dan sekelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Dari fungsi perencanaan dan pengorganisasian, kepemimpinan dalam pembahasan ini berada dalam fungsi pemotivasian.

Reksohadiprojo dan Handoko (1991) menyatakan, Sebutan pemimpin atau manajer tak perlu dicampuradukan, sebab kepemimpinan (leadership) adalah bagian tersendiri dari manajemen. Manajer melaksanakan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian, memotivasi, komunikasi, dan pengendalian. Termasuk dalam fungsi-fungsi ini adalah memimpin dan mengarahkan. Hersey dan Blachart (1995) menyatakan, mengenai esensinya konsep kepemimpinan lebih luas dari konsep manajemen. Manajemen dipandang sebagai jenis khusus kepemimpinan di mana yang terpenting adalah pencapaian tujuan organisasi. Perbedaan pokok kedua konsep ini terletak pada istilah organisasi. Kepemimpinan terjadi pada setiap saat seseorang berusaha mempengaruhi perilaku seseoranga atau kelompok orang apapun alasannya.

Dari dua pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa, dalam lingkup yang lebih sempit, kepemimpinan sebagai bagian dari proses manajemen dalam mencapai tujuan. Sedangkan dalam lingkungan yang lebih luas manajemen merupakan bagian dari kepemimpinan. Artinya kepemimpinan tidak mutlak memerankan semua fungsi manajemen, tetapi sifat dan tujuan ataupun fokus dari kepemimpinan adalah bagaimana seseorang sebagai pemimpin dapat mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lainnya. Dalam kajiannya penulis memfokuskan pada fungsi kepemimpinan dalam proses memotivasi, seperti telah dikemukan sebelumnya mengenai peran kepemimpinan dalam

(4)

motivasi. Bagian terpenting dalam hal ini terkait dengan bagaimana seorang pemimpin dapat dan mampu mengarahkan bawahannya dalam mencapati suatu tujuan yang ditargetkan untuk dicapai.

Pentingnya kepemimpinan dalam organisasi diungkapkan oleh Davis and Newstrom (2002). Mereka menyatakan, tanpa kepemimpinan suatu organisasi adalah kumpulan orang-orang dan mesin-mesin yang tidak teratur (kacau balau). Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengatasi atau membujuk orang-orang lain untuk mencapai tujuan dengan antusias. Ini merupakan faktor manusiawi yang mengikat sebagai suatu kelompok bersama dan memotivasi mereka dalam mencapai tujuan. Reksohadiprojo dan Handoko (1991) menyatakan, kegiatan-kegiatan manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, dan pengambilan keputusan merupakan sebuah kepompong yang tidur (tidak efektif) sampai pemimpin cepat bertindak untuk menghidupkan motivasi dalam setiap orang dan mengarahkan mereka mencapai tujuan. Kepemimpinan merubah sesuatu yang potensial menjadi suatu kenyataan. Ini adalah kegiatan pokok yang memberikan sukses bagi semua hal yang potensial, yaitu sesuatu organisasi dan anggota-anggotanya.

Arti kepemimpinan tercemin sebagai suatu fungsi pengendali organisasi, yang memiliki nilai potensial baik secara individu maupun organisasi dalam pencapaian tujuan. Arah yang menjadi bagian pembahasan disini termuat peran dari fungsi seorang pemimpin itu sendiri. Bagaimana seorang pemimpin mampu menetapkan dan memanfaatkan segala fungsi atau sistim menjadi suatu sistem dalam pencapaian suatu tujuan. Dalam fungsinya seorang pemimpin memiliki

(5)

peran yang sangat potensial, dalam hal ini usaha penciptaannya bagaimana agar suatu organisasi yang terdiri dari satuan-satuan kecil dapat disatukan secara bersama untuk mencapati tujuan bersama suatu organisasi ataupun perusahaan. Berarti hal penting disini bagaimana seorang pemimpin mampu menimbulkan motivasi bagi pekerja ataupun bawahannya untuk menajalankan suatau usaha untuk mencapati target ataupun tujuan yang diharapkan. Peran tersebut tidak begitu sempit bagaimana mengorganisasi untuk menjalankan agar dapat mencapai suatu target, tapi kondisi yang lebih penting, yang saat sekarang lebih dominan diperlukan adalah bagaimana seorang pemimpin mampu menciptakan kondisi agar kreativitas dapat timbul sehingga gambaran ide untuk pengembangan ke arah yang lebih mapan dan baik akan terbaca dan muncul ke permukaan.

Bagaimanakah gaya kepemimpinan dapat menimbulkan suatu hasil yang berbeda dalam pencapaian tujuan suatu organisasi. Gaya kepemimpinan (style of leadership), merupakan salah satu cara bagaimana seorang pemimpin (manajer) menjalankan tugasnya. Pendekatan dalam memahami gaya kepemimpinan secara khas dilihat dari sudut pandang atau persepsi bawahannya, yaitu bagaimana seorang pemimpin mengarahkan bawahannya, seperti dikatakan oleh Reksohadiprodjo dan Handoko, “Gaya kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin mempengaruhi bawahannya.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya gaya kepemimpinan merupakan teknik atau cara memotivasi bawahan. Pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat dan disertai dengan motivasi eksternal yang tepat dapat mengarahkan tujuan perseorangan dan tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan yang tidak tepat menghasilkan perilaku

(6)

pemimpin yang tidak efektif dalam mempengaruhi bawahannya. “Secara relatif gaya kepemimpinan terbagai menjadi tiga, yaitu : otokratis, demokratis, atau partisipatif, dan laissez-fair. (Reksohadiprodjo dan Handoko, 1991).

Pengaruh intern seperti kepribadian pemimpin, situasional, serta persepsi dari para bawahan terhadap pimpinannya akan berpengaruh terhadap perilaku ataupun gaya kepemimpinannya. Hersey dan Blanchart (1995) menyatakan, gaya pemimpin adalah pola-pola perilaku konsumen yang mereka terapkan dalam bekerja dengan dan melalui orang lain seperti yang dipersepsikan oleh orang-orang itu. Pola-pola itu timbul pada diri orang-orang-orang-orang pada waktu mereka mulai memberikan tanggapan dengan cara yang sama dalam kondisi yang serupa; pola itu membentuk kebiasaan tindakan yang setidaknya dapat diperkirakan bagi mereka yang bekerja dengan orang-orang itu.

2.1.2 Teori Kepemimpinan Transformasional & Transaksional

Salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang paling komprehensip berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori kepemimpinan transpormasional dan transaksional (Bass, 1998). Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Burn yang mengidentifikasikan dua tipe kepemimpinan politik, yaitu kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Juga dikemukakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional dapat dipilih secara tegas dan keduanya merupakan gaya kepemimpinan yang saling bertentangan. Kepemimpinan transformasional dan transaksional sangat penting dan dibutuhkan setiap organisasi (Bass, 1998). Selanjutnya Burns (1978), mengembangkan konsep kepemimpinan transformasional dan transaksional

(7)

dengan berlandaskan pada pendapat Maslow mengenai hirarki kebutuhan manusia. Menurut Burn keterkaitan tersebut dapat dipahami dengan gagasan bahwa kebutuhan karyawan yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisiologis dan rasa aman hanya dapat dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transaksional sebaliknya kebutuhan yang lebih tinggi, seperti harga diri dan aktualisasi diri, hanya dapat dipenuhi melalui praktek gaya kepemimpinan transformasional.

2.1.3. Gaya Kepemimpinan

Gaya-gaya kepemimpinan mengacu kepada pola-pola prilaku yang dominan dan menentukan dari seorang pemimpin. Untuk mudahnya, orang dapat berbicara mengenai suatu gaya tunggal, keseluruhan bagi seorang pemimpin, namun dalam kenyataannya amat sedikit para pemimpin efektif memiliki suatu gaya tunggal yang mereka selalu gunakan, Vanwart (2004).

Vanwart (2004) menyatakan, para pemimpin yang efektif meragamkan gaya mereka dari satu kondisi ke kondisi yang lainnya. Para pemimpin mungkin menggunakan gaya kepemimpinan mereka secara sadar; karena mereka sering tidak sadar dalam penggunaan gaya mereka dan bahkan bisa jadi terlupa terhadap fakta bahwa tindakan mereka mengingkari gaya yang didukung (yaitu, gaya yang mereka pikirkan dan yang mereka miliki). Para pengikut juga menghubungkan gaya-gaya dengan para pemimpin dari perilaku yang mereka amati; sekala lagi, pengamatan-pengamatan ini mungkin atau mungkin saling tidak konsisten karena perbedaan pengamatan dan perspektif dari pemimpin bersangkutan.

Banyak faktor yang berkaitan dengan gaya-gaya pemimpin; di antaranya karakteristik pengikut, kemungkinan lingkungan, dan struktur kekuatan pimpinan

(8)

di antara mereka. Seorang pemimpin umumnya tidak harus menggunakan gaya yang sama dengan sekelompok karyawan baru dan sekelompok karyawan lama. Orang juga tidak akan menggunakan gaya yang sama terhadap seorang karyawan yang akan digantikan karena ia akan mempekerjakan seorang karyawan yang teladan. Dari segi kemungkinan lingkungan, yang paling penting adalah krisis, yang mana lebih banyak model yang memberikan arahan dan ketegegasan yang lebih besar umumnya dibutuhkan. Bahkan budaya organisasi atau kesatuan akan mempengaruhi gaya yang digunakan.

Demikian pula orang-orang memiliki karakteristik kepribadian yang melekat yang menegaskan model-model yang lebih disukai dan kepribadian sekunder, orang-orang juga memiliki gaya kepemimpinan sekunder. Model yang lebih disukai adalah model yang pemimpin rasakan paling nyaman dan akan cenderung sangat mengandalkan keadaan yang bermakna ganda. Gaya-gaya sekunder adalah gaya-gaya yang pemimpin dapat gunakan, namum umumnya pada hal-hal yang merupakan kegiatan yang lebih sadar. Cakupan gaya tersebut adalah tingkat sejauh mana pemimpin dapat menggunakan gaya-gaya beragam. Kapasitas gaya adalah kemampuan seorang pemimpin untuk menggunakan suatu gaya secara efektif, tak peduli apakah itu gaya yang lebih disukai atau gaya sekunder. Sangatlah mungkin bahwa seorang pemimpin akan memiliki kapasitas yang besar dalam satu gaya saja, dan jarang menggunakan gaya-gaya sekunder, dan untuk yang lain memiliki suatu cakupan yang relatif komprehensif dan menggunakan semuanya dengan sangat buruk dan secara keseluruhan kurang efektif. Tentu saja para pemimpin yang sangat efektif tidak hanya memiliki

(9)

kompetensi dalam cakupan gaya yang luas, namun mampu mengubah gaya-gaya secara strategis sesuai dengan situasi yang berbeda-beda. Ada suatu perdebatan mengenai seberapa banyak pemimpin dapat mengubah gayanya atau harus mencoba menyesuaikan dengan keadaan, Fielder, Chemers dan Mahar (1976) dalam Vanwart (2004). Bahkan menyesuaikan suatu pandangan sempit dari kemampuan beradaptasi pemimpin, pemimpin masih bertanggung jawab untuk menemukan orang yang tepat untuk menangani keadaan khusus atau beradaptasi dengan keadaan dengan cara-cara yang yang sesuai dengan gaya-gaya mereka. 1) Gaya kepemimpinan transformasional

Gaya kepemimpinan transformasional dicirikan sebagai pemimpin yang berfokus pada pencapaian perubahan nilai-nilai, kepercayaan, sikap, perilaku, emosional, dan kebutuhan bawahan menuju perubahan yang lebih baik di masa depan. Kepemimpinan transformasional memotivasi karyawan untuk melakukan pekerjaan atau tugas lebih baik dari apa yang bawahan inginkan dan bahkan lebih tinggi dari apa yang sudah diperkirakan sebelumnya. Kepemimpinan seperti ini akan sejak awal menimbulkan kesadaran dan komitmen yang tinggi dari kelompok terhadap tujuan dan misi organisasi serta akan membangkitkan komitmen para pekerja untuk melihat dunia kerja melampaui batas-batas kepentingan pribadi demi untuk kepentingan organisasi.

Bass (1998) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional dapat diukur dalam hubungan dengan pengaruh pemimpin tersebut terhadap karyawan. Oleh karena itu Bass (1998) mengemukakan, ada tiga cara seorang pemimpin transformasional memotivasi karyawannya, yaitu dengan:

(10)

(1) mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha (2) mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok

(3) meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri.

Bass (1998) mengemukakan adanya empat karakteristik gaya kepemimpinan transformasional, yaitu sebagai berikut.

(1) Karisma (2) Inspirasional

(3) Stimulasi intelektual (4) Perhatian individual

Pemimpin transformasasional bertujuan untuk menghasilkan suatu hasil yang superior dengan perilaku atau salah satu atau lebih faktor-faktor berikut.

(1) Simulasi Individu (Individual Stomulation). Pemimpin transformasional menstimulasi usaha bawahannya untuk berlaku inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan asumsi, pembatasan masalah dan pendekatan dari situasi lama dengan cara yang baru.

(2) Konsiderasi Individual (Individual Consideration). Pemimpin transformasional memiliki perhatian khusus terhadap kebutuhan individu dalam pencapaiannya dan pertumbuhan yang mereka harapkan dengan berperilaku sebagai pelatih atau mentor.

(3) Motivasi Inspirasional (Inspirasional Motivation). Pemimpin transformasional berperilaku dengan tujuan untuk memberi motivasi dengan inspirasi terhadap orang-orang disekitarnya.

(11)

(4) Pengaruh Idealis (Idealized Influence). Pemimpin transformasional berperilaku sebagai model bagi bawahannya. Pemimpin seperti ini biasanya dihormati dan dipercaya.

Kekuasaannya berdasarkan pemberian hadiah dan hukuman, penegakan aturan dan standar kerja organisasi yang harus dipatuhi oleh setiap bawahannya tanpa kecuali. Menurut Bass, pemimpin transformasional ini mampu membawa organisasi menuju kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemimpin transaksional. Iklim dan akibat yang diperoleh bawahan dari pemimpin transformasional adalah meningkatnya motivasi kerja, antusiasme, komitmen, kepuasan kerja, kesejahteraan dan kesehatan bawahan.

(2) Gaya kepemimpinan transaksional

Gaya kepemimpinan transaksional lebih berfokus pada hubungan pemimpin dan bawahan, mereka lebih banyak mengawasi, mengontrol dan memberikan perintah-perintah untuk diselesaikan oleh bawahannya. Selanjutnya Bass (1998) mengemukakan bahwa hubungan kepemimpinan transaksional dengan karyawan tercermin dari tiga hal yakni:

1) Pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelaskan apa yang akan mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan harapan. 2) Pemimpin menukar usah-usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan

imbalan

3) Pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan karyawan.

(12)

Kepemimpinan transaksional menekankan pada transaksi atau pertukaran yang terjadi antar pemimpin, rekan kerja dan bawahannya. Pertukaran ini didasarkan pada diskusi pemimpin dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan apa yang dibutuhkan dan bagaimana spesifikasi kondisi dan upah/hadiah jika bawahan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

Karakteristik gaya kepemimpinan transaksional ditunjukkan dengan gambaran perilaku atasan sebagai berikut

(1) Imbalan Kontinjen (Contingensi Reward). Pemimpin melakukan kesepakatan tentang hal-hal apa saja yang dilakukan oleh bawahan dan menjanjikan imbalan apa yang akan diperoleh bila hal tersebut dicapai.

(2) Manajemen dengan eksepsi (Manajemen By exception). Pada manajemen eksepsi pemimpin memantau deviasi dari standar yang telah ditetapkan dan melakukan tindakan perbaikan. Selain secara aktif, manajemen dengan eksepsi juga bisa dilakukan secara pasif.

2.1.4. Perbedaan Kepemimpinan Transformasional Dan Transaksional

Bass (1998) dalam Duckett dan Macfarlane (2003) menyatakan bahwa, mengembangkan hasil penelitian Burns (1978) menjadi sebuah model kepemimpinan transformasional dan transaksional. Kedua kategori memiliki suatu jelajah perilaku yang berkaitan dengan kepemimpinan tersebut. Bass (1998) mengajukan hipotesis bahwa, para pemimpin transformasional lebih mungkin dilihat karena memuaskan dan efektif serta menguji hasil ini dengan kuesioner kepemimpinan multifaktor di seluruh jelajah sektor publik, swasta, kesehatan dan pertahanan. Perbedaan hasil pengukuran produktivitas bebas dan kinerja

(13)

finansial. Temuan-temuannya menyatakan bahwa para pemimpin transformasional memiliki hubungan yang lebih baik dengan para pengawas mereka dan memberikan lebih banyak kontribusi kepada organisasi daripada mereka yang hanya menerapkan kepemimpinan transaksional Duckett dan Macfarlane (2003).

Di samping itu, ditemukan bahwa para karyawan bersedia menggunakan lebih banyak upaya dan meningkatkan standar untuk para pemimpin transformasional. Sebuah fokus pada pertimbangan terindividualisasi dimaksudkan bahwa secara umum kepemimpinan transformasional membawa lebih banyak risiko dan tingkat kegiatan kewirausahaan yang lebih tinggi. Dalam simpulannya Bass (1998) menyatakan bahwa, ketika sebuah perusahaan dihadapkan pada pasar yang tengah bergejolak, kemudian kepemimpinan transformasional perlu dibantu pada semua tingkatan di dalam perusahaan.

Temuan-temuan Bass (1998) didukung oleh penelitian baru-baru ini yang dilakukan oleh Krishnan (2001) dalam Duckett dan Macfarlane (2003) yang menyatakan bahwa, kinerja unggulan hanya mungkin melalui perangsangan dan pemberian motivasi kepada para pengikut menuju ke tingkat kinerja yang lebih tinggi melalui kepemimpinan transformasional. Penelitiannya menemukan bahwa nilai-nilai pemimpin transformasional dan pemimpin transaksional berbeda yang transformasional dicirikan oleh suatu fokus pada kesejahteraan dan kesetaraan bersama, perubahan diorientasikan dan moral dinilai, sementara pemimpin transaksional berorientasi pada nilai-nilai rutin dan kompetensi. Perbedaan gaya

(14)

kepemimpinan transformasional dengan gaya kepemimpinan transaksional diuraikan seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional

Kepemimpinan transformasional Kepemimpinan transaksional

Karisma: memberikan visi dan pengertian misi, mendorong kebanggaan, mendapat penghormatan dan kepercayaan

Penghargaan tim kerja: kontrak sebagai pengganti terhadap penghargaan atas upaya, janji berupa pengargaan atas kinerja yang baik, mengakui prestasi yang baik Inspirasi: mengkomunikasikan harapan yg tinggi,

menggunakan simbol-simbol untuk usaha-usaha yang fokus, mengungkapkan tujuan-tujuan penting dalam bahasa sederhana

Manajemen dengan pengecualian (aktif): melihat dan mencari penyimpangan dari aturan dan standar, mengambil tindakan korektif

Stimulasi intelektual: mempromosikan kecerdasan, rasionalitas dan penyelesaian permasalahan yang berhati-hati

Manajemen dengan pengecualian (pasif): campur tangan hanya bila standar tidak dipenuhi

Pertimbangan terindividualisasi: memberikan perhatian pribadi, memperlakukan masing-masing karyawan secara pribadi, membimbing dan menasehati

Tanpa campur tangan: melepaskan tanggung jawab, menghindari membuat keputusan

Sumber: Bass 1998, dan Duckett and Macfarlane, 2003.

Mengacu pada beberapa gaya kepemimpinan yang telah dikemukakan, maka dalam penelitian ini akan dipergunakan pendapat dari (Bass, 1998) tentang teori kepemimpinan transpormasional dan transaksional yang merupakan salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang paling komprehensip berkaitan dengan kepemimpinan.

2.1.5. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Kinerja

Chen (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, terdapat pengaruh dari pola kepemimpinan pada komitmen organisasi. Bahwa idealized influence

(15)

leaders dengan budaya inovatif akan menghasilkan karyawan yang lebih termotivasi untuk mencapai kepuasan kerja atau kinerja yang diinginkan. Mariatni (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, kepemimpinan secara signifikan berpengaruh secara langsung dan tidak langsung melalui disiplin kerja terhadap kinerja dosen Universitas Warmadewa. Anoop dan Lokman, (2009) menyatakan, gaya kepemimpinan transformasional adalah positif berhubungan dengan kinerja non-keuangan dan kinerja keuangan departemen/organisasi. Sudiarta (2007) menyatakan, variabel pendidikan dan pelatihan, motivasi, kompensasi, kepemimpinan, penegakan disiplin dan kepuasan kerja secara simultan dan parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Sedangkan Mawar (2007) menyatakan bahwa, kompensasi, pelatihan, kepemimpinan dan lingkungan kerja secara simultan mempengaruhi kinerja pegawai. Demikian juga Stashevsky and Meni (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Leadership team Choesiveness and Team Ferformance” menyimpulkan bahwa, kekompakan tim dan pengetahuan (transformational leadership) berpengaruh signifikan terhadap kinerja.

Demikian juga Balthazard et al. (2009) menyatakan, kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan team yang menyebabkan peningkatan kinerja karyawan. Vadeveloo et al. (2009) menyatakan, efektivitas pemimpin dalam melakukan komunikasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Lievens et al. (2005) menyatakan bahwa, kepemimpinan transformasional yang mecerminkan kualitas pemimpin, berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.

(16)

Francisco et al. (2005), melakukan studi tentang perubahan orientasi kepemimpinan dalam kaitannya dengan kinerja karyawan. Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa perubahan orientasi pemimpin (melakukan transformasi nilai-nilai) menyebebkan adanya peningkatan kinerja karyawan. Gilley et al. (2009) menyatakan bahwa, kepemimpinan yang efektif dalam perubahan organisasi menyebabkan adanya peningkatan kinerja karyawan.

2.1.6. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Motivasi

Xiaomeng and Kathryn (2010) menyatakan, kepemimpinan yang memiliki power berpengaruh terhadap kinerja karyawan dengan motivasi sebagai variabel mediasi. John and Gregory (2012) menyatakan bahwa, kepemimpinan berperan penting dalam memotivasi karyawan, serta motivasi karyawan berdampak pada kinerja karyawan. Anne et al. (2008) menyatakan bahwa, kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap kinerja karyawan dengan motivasi sebagai variabel intervening.

2.2 Motivasi

2.2.1. Pengertian Motivasi

Dalam pemahaman kita sehubungan dengan istilah motivasi kerja yang terkait dengan pemahaman terhadap apa itu motif. “Motif diartikan sebagai dorongan atau tenaga yang menggerakan jiwa dan jasmani untuk berbuat sesuatu. Jadi motif merupakan pendorong (driving force) yang menggerakan manusia untuk bertikah laku yang di dalam perbuatan tersebut terdapat tujuan-tujuan tertentu (As’ad, 1995).

(17)

Sedangkan menurut Wexley dan Yulk, seperti dikutip Moh. As’ad motivasi didefinisikan sebagai “the process by which behavior is energized and directed.” (Moch. As’ad, 1995) yang artinya bahwa motivasi adalah merupakan proses dengan mana perilaku digerakkan atau diarahkan. Dari batasan di atas dapat disimpulkan bahwa motif adalah yang melatar belakangi individu dalam berbuat untuk mencapati tujuan tertentu atau dapat dikatakan motif merupakan pendorong dalam mencapai suatu tujuan tertentu dan motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan motif. Jadi motivasi kerja adalah sesuatu yang memberikan semangat atau dorongan seseorang untuk bekerja. Kuat lemahnya motivasi kerja seseorang akan ikut menentukan besar kecil kinerja karyawannya.

2.2.2 Ciri-Ciri Motivasi

Sebagai upaya menimbulkan motivasi kerja bagi karyawan atau bawahannya tentunya seorang manajer atau pemimpin perlu dalam memahami motif itu sendiri. Tentunya pemahaman motif tersebut akan membawa dampak positif dalam usaha memotivasi karyawan, maka seorang manajer perlu untuk mengetahui ciri-ciri dari motif tersebut. Moch. As’ad memberikan ciri-ciri motif sebagai berikut :

1. Motif adalah majemuk

Pendorong dan tujuan karyawan untuk bertindak tidak hanya satu, tetapi memiliki beberapa pendorong dan tujuan yang berlangsung secara bersama-sama. Misal, seorang karyawan yang melakukan kerja giat, ia tidak hanya ingin mendapat imbalan yang lebih tinggi, tetapi juga menghendaki promosi, mendapat pujian, dan sebagainya.

(18)

1. Motif dapat berubah-ubah

Motif bagi seseorang seringkali mengalami perubahan. Ini disebabkan karena keinginan manusia seringkali berubah-ubah pula. Seorang karyawan suatu saat menghendaki kenaikan gaji, tapi pada saat yang lain menghendaki penyelia yang simpati, pada saat yang lain menghendaki peraturan kerja yang lebih longgar, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa motif bersifat dinamis dan geraknya mengikuti kepentingan individu.

2. Motif berbeda-beda bagi individu

Karyawan-karyawan dari pekerjaan yang sama bisa memiliki motif yang berbeda. Misal, dua orang karyawan yang memiliki job description yang sama, satu motifnya mencari persahabatan (afiliasi) dan yang lain motifnya mencari tantangan (prestasi).

3. Beberapa motif tidak disadari oleh individu

Banyak tingkah laku karyawan yang tidak dipahami oleh pelakunya sendiri. Seringkali dorongan (needs) yang muncul, lahir karena berhadapan dengan situasi yang kurang menguntungkan dan ditekan di bawah sadarnya. Sehingga bila ada dorongan dari dalam yang kuat, menjadikan individu yang bersangkutan tidak lagi bisa memahami motifnya sendiri.

2.2.3 Beberapa Teori Motivasi

Dalam kaitannya dengan teori motivasi yang pada intinya menjelaskan kenapa seseorang dalam aktivitasnya berprilaku tertentu. Dalam gambaran tersebut beberapa teori motivasi yang menjadi pertimbangan dalam kaitannya dengan penulisan ini adalah:

(19)

1) Teori kebutuhan Maslow

Maslow menyatakan bahwa kebutuhan manusia tersusun dalam lima tingkatan, dimana kebutuhan yang telah terpenuhi akan menjadi pendorong bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. “Teori kebutuhan manusia menurut pandangan Maslow ini dikenal dengan hierarki kebutuhan. Teori ini berlandaskan pada asumsi bahwa yang mendorong seseorang untuk bertindak adalah kebutuhan yang belum terpenuhi. Menurut Maslow, manusia adalah otonomi dan mewujudkan diri, yang termotivasi oleh kebutuhan intern sendiri” (Davis, and Newstrom, 2002). Artinya setiap manusia adalah memiliki karsa dan dengan karsa tersebut berusaha untuk mencapai tujuannya sendiri-sendiri.

Lima tingkat kebutuhan menurut Maslow tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 2.2

Hierarki Kebutuhan Maslow Tingkat Kebuhan Uraian Kebutuhan

Ke-V : Kebutuhan perwujudan diri dan pemenuhan Ke-IV : Kebutuhan penghargaan dan status

Ke-III : Kebutuhan rasa memiliki dan kebutuhan sosial Ke-II : Kebutuhan rasa aman dan jaminan

Ke-I : Kebutuhan fisik yang dasar

Lima tingkatan dari Hirarchy of needs Abraham Maslow yaitu :

1. Physiological Needs, yang merupakan kebutuhan dasar dari manusia.

Kebutuhan ini terkait dengan kebutuhan dalam pemenuhan kehidupannya. Yang meliputi kebutuhan akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang kesemuanya diukur dengan uang. Kebutuhanb tersebut merupakan prioritas pertama seseorang dalam melakukan aktivitasnya.

(20)

2. Safety needs, merupakan kebutuhan manusia setelah kebutuhan dasar terpenuhi.

Kebutuhan ini merupakan kebutuhan untuk dapat bebas atau terhindar dari bahaya yang mengancam kehidupan seseorang, seperti dalam hal kecelakaan kerja, terhadap pemutusan hubungan kerja, kedudukan atau status dalam pekerjaan dan lainnya.

3. Social atau affiliation, kebutuhan ini muncul setelah kebutuhan rasa aman sudah terpenuhi atau terpuaskan.

Kebutuhan ini tidak terlepas dari sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial, yang berarti suka berhubungan dengan orang lain diluar dirinya. Berarti dalam kaitannya dengan para pekerja atau karyawan merupakan kebutuhan akan rasa kebersamaan atau kebutuhan untuk diterima dalam kelompoknya (belongingess).

4. Esteem needs, kebutuhan ini muncul setelah kebutuhan sosial terpenuhi atau terpuaskan. Penghargaan dalam hal ini merupakan pengakuan mengenai dirinya dari orang-orang atau masyarakat diluar dirinya baik yang berkaitan dengan prestise maupun kekuasaannya (dalam artian positif).

5. Self actualization needs, merupakan kebutuhan terakhir yang timbul pada manusia tentang kompetensi dan prestasi yang ingin dipenuhinya.

Motif dari kompetensi merupakan aktivitas yang diarahkan untuk mengatasi tantangan-tantangan dalam pekerjaan-pekerjaan yang tidak rutin melalui kemampuan dan keterampilannya. Motif berprestasi disini adalah merupakan prestasi pribadi sehingga motif ini kurang menonjolkan faktor sosialnya.

(21)

Menurut McClelland, dalam hubungannya dengan kebutuhan aktualisasi diri, maka seorang mengejar prestasi yang realistis dan optimis berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang ia miliki.

Hierarki lima tingakatan kebutuhan tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu kebutuhan tingkat rendah dan kebutuhan tingkat tinggi. Kebutuhan tingkat rendah merupakan kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan fisik yang dasar (fisiologis) dan kebutuhan jaminan rasa aman. Kelompok kebutuhan tingkat tinggi meliputi kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan dan status, kebutuhan perwujudan diri (aktualisasi diri). Penjelasan dari masing-masing tingakt kebutuhan tersebut sebagai berikut :

1. Kebutuhan tingkat rendah

Pada dasarnya kebutuhan tingkat pertama tersebut adalah kebutuhan untuk kelangsungan hidup atau untuk mempertahankan hidup (survival of living). Dalam dunia kerja kebutuhan tingkat pertama ini sebagian besar karyawan telah terpenuhi. Namun dalam masyarakat yang perekonomiannya masih terbelakang kebutuhan karyawan tipe ini masih dominan, seperti buruh pabrik, petani, karyawan tingkat rendah, dan sebagainya. Maslow menyatakan pemenuhan kebutuhan tingkat pertama ini akan mendorong seseorang untuk mengejar kebutuhan tingkat berikutnya, yaitu jaminan rasa aman.

Setiap orang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Tingkat kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan jaminan rasa aman. Proses lahirnya kebutuhan ini adalah sebagai berikut : Setelah seseorang tercukupi kebutuhan dasarnya hari ini, orang-orang ingin ada jaminan tertentu bahwa

(22)

kebutuhan tersebut bisa terpenuhi untuk hari esok dan selanjutnya. Untuk itu orang berusaha untuk menyimpan makanan, menabung, dan lain-lian. Mereka menginginkan keamanan fisik dan jaminan ekonomi. Keamanan tersebut pada dasarnya merupakan jaminan bahwa kebutuhan dasar dapat terpenuhi untuk besok dan selanjutnya. Dengan demikian kebutuhan tingkat kedua berkaitan dengan kebutuhan tingkat pertama. Namun karena terdapat perbedaan individu, maka seseorang berusaha memenuhi kebutuhan rasa aman dengan wujud yang berbeda-beda.

2. Kebutuhan tingkat tinggi

Menurut Maslow, terdapat tiga tingkatan kebutuhan tingkat tinggi. Pemenuhan kebutuhan tingkat ketiga; pemilikan dan keterlibatan sosial, sebagian besar telah terpenuhi di luar pekerjaan. Orang-orang bekerja dalam lingkungan sosial, dan sebagian telah terpenuhi di lingkungan kerja dan sebagaian yang lain di luar kerja.

Kebutuhan tingkat keempat; kebutuhan akan penghargaan dan status, berkaitan dengan seseorang untuk diterima, dihargai, dan memiliki. Setiap orang merasakan bahwa dirinya berharga, ingin dirinya dipandang berharga, dan percaya bahwa orang lain juga berharga.

Davis dan Newstorm (1992) menyatakan bahwa, ada bukti kuat yang mendukung pandangan bahwa kebutuhan eksistensi (kebutuhan fisik yang pokok) tidak terpenuhi, tidak satupun kebutuhan tingkat selanjutnya yang lebih tinggi akan muncul. Ada pula beberapa bukti yang mendukung bahwa apabila kebutuhan rasa aman tidak terpenuhi, orang-orang tidak akan sampai pada kebutuhan tingkat

(23)

selanjutnya. Teori hierarki kebutuhan Maslow ini memberikan implikasi bahwa seorang manajer atau pimpinan perlu memahami tingkatan-tingkatan kebutuhan bawahannya, sehingga bisa memberikan sarana motivasi yang tepat dan memahami motif-motif yang mendasari perilakunya.

2) Teori motivasi Hertzberg

Herzberg membagi faktor kebutuhan menjadi dua faktor penting dalam lingkungan kerja, yaitu dissatisfer’s atau hygiene factors dan satisfier’s atau motivators.

1. Dissatisfers atau hygiene factors, yaitu suatu kondisi pekerjaan dimana apabila suatu faktor tidak dipenuhi akan dapat menimbulkan ketidakpuasan para karyawan, tetapi bila kondisi tersebuat ada tidak akan memotivasi karyawan.

2. Satisfers atau motivators, yaitu suatu kondisi yang apabila dipenuhi akan menimbulkan kepuasan kerja dan akan menggerakkan motivasi yang kuat sehingga dapat menghasilkan prestasi yang baik, tetapi bila faktor-faktor tersebut tidak ada, tidak akan menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan.

(24)

Tabel 2.3

Hertzberg’s Two Factor Theory Hygiene Factors

(Instrinsik)

Motivators (Ekstrinsik) Kebijakan perusahaan & administrasi

(company policy and administration) Pengawasan (supervision)

Kondisi kerja (working condition) Hubungan perseorangan

(interpersonal interaction) Gaji/upah (salary)

Keamanan kerja (job security)

Pencapaian keinginan (achievement) Pengakuan (recognation)

Pertumbuhan (growth)

Pekerjaan itu sendiri (the work itself) Peningkatan (advancement)

Tanggung jawab (responsitbility)

3) Teori motivasi existence relatedness dan growth (ERG) Alderfer

Teori ERG (keberadaan, bergaul, dan kemajuan) merupakan teori yang merupakan penajaman terori Maslow, dimana Alderfer yang mengajukan teori tersebut meringkas lima tingakatan kebutuhan dari Maslow menjadi tiga kelompok kebutuhan (Luthans, 2006) yang diidentifikasikan sebagai,

Exsistence, relatedness, and growt (ERG Teory). The existence needs concerned with survival (physiological wel – being). The relatedness needs stress the importance of interpersonal, social relationships. The Growth needs are concerned with the individual’s instrinsic desire fot personal development.

Maksud dari tingkatan kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut : a. Existence needs (Kebutuhan keberadaan)

Dalam existence needs yang termasuk kelompok kebutuhan ini adalah kebutuhan yang dapat dipuaskan oleh sejumlah kondisi material. Kebutuhan ini sangat dekat dengan kebutuhan fisiologis (tingkat dasar) dan safety needs (kebutuhan rasa aman) yang lebih terpuaskan dengan kondisi material daripada hubungan antar pribadi serta faktor hygiene dari Hertzberg.

(25)

b. Relatedness needs (kebutuhan untuk bergaul), merupakan suatu kebutuhan yang akan terpuaskan melalui adanya komunikasi terbuka dan pertukaran pikiran antara orang-orang yang berhubungan dan bekerja sama. Kebutuhan ini sama atau sesuai dengan tahap kebutuhan akan sosial pada hierarki Maslow ataupun hygiene dari Hertzberg.

c. Growth needs (kebutuhan untuk berkembang atau maju), kebutuhan ini merupakan kebutuhan untuk berkembang dalam lingkungannya,yang meliputi kemampuan individu menghadapi tantangan-tantangan dan berkembang dalam lingkungannya sehingga membentuk kepercayaan diri yang kuat dan mampu untuk lebih produktif. Kebutuhan ini jika dikaitkan dengan tingkat tahapan kebutuhan Maslow adalah sesuai dengan kebutuhan aktualisasi diri dan sebagian dari kebutuhan harga diri dan terkait dengan kebutuhan motivator dari Hertzberg.

4) Teori motivasi McClelland

Menurut David McClelland dalam Saydam (1996), mengemukakan teori kebutuhan yang disebut juga dengan teori motivasi prestasi ini mempunyai tiga komponen dasar yang dapat digunakan untuk memotivasi orang untuk bekerja.

McClelland membagi kebutuhan pokok yang berhubungan dengan perilaku pekerja menjadi tiga yaitu :

a. The need for affiliation, yaitu kebutuhan akan hubungan dengan individu atau lingkungan lain yang mirip dengan kebutuhan sosial dari Maslow.

b. The need for power, yaitu kebutuhan akan kekuasan yang mirip kebutuhan akan tumbuh yang mirip dengan kebutuhan akan penghargaan dari Maslow.

(26)

c. The need for achievement, yaitu kebutuhan untuk berprestasi yang mirip dengan kebutuhan aktualisasi diri dari Maslow.

Reksohadiprojo dan Handoko (1991), menyatakan bahwa, seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yabng berprestasi lebih baik dari prestasi orang lain. McClelland juga mengatakan, apabila seseorang mempunyai kebutuhan yang mendesak maka akan memotivasi dirinya untuk berusaha lebih keras dalam pemenuhan kebutuhannya. Teori ini sedikit dalam perhatiannya akan kebutuhan fisiologis dan rasa aman jika dibandingkan dengan kebutuhan yang lainnya. (Gibson et. al, 1996).

2.2.4 Faktor-Faktor Motivasi

Faktor-faktor yang menjadi motivasi seperti yang dikemukakan Maslow terdiri sebagai berikut, dimana faktor tersebut yang akan diteliti akan langsung diterjemahkan dalam kebutuhan pokok karyawan operasional, meliputi :

Tabel 2.4

Kebutuhan Pokok Karyawan Dalam Perusahaan Kebutuhan Pokok Karyawan Unsur Penentu

1. Fisiologis - Upah/gaji

2. Jaminan keselamatan - Kebutuhan keamanan dan keselamatan kerja

3. Sosial - Kebutuhan sosial

4. Pengakuan dan penghargaan - Kebutuhan penghargaan 5. Kesempatan pengembangan diri - Kebutuhan aktualitasi diri

(27)

1) Upah / gaji

Gaji atau upah merupakan imbalan yang diberikan kepada karyawan dalam bentuk yang mempunyai kecenderungan diberikan secara tetap. Ranupandojo dan Husnan (1990) berpendapat bahwa, gaji atau upah merupakan suatu pemberian sebagai suatu imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau yang akan dilakukan, yang berfungsi sebagai jaminan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut perjanjian, undang-undang dan dibayarkan atas dasar waktu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja.

Selanjutnya, Nitisemito (2002) menyatakan bahwa kompensasi yang diterima karyawan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal. Dari dua pendapat tersebut penilaian dalam hal upah akan terkait dengan rasa cukup atau tidaknya besarnya gaji atau upah yang diterima untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

2) Kebutuhan Keamanan Dan Keselamatan Kerja

Pengertian kebutuhan keamanan dan keselamatan kerja adalah kebutuhan akan rasa aman tentram yang ada pada diri pekerja, bebas dari rasa ketakutan dan penghidupannya dimasa yang akan datang, jaminan akan pekerjaan, jika terjadi sesuatu atas dirinya, karena milik yang paling berharga bagi manusia adalah keamanan diri yaitu keamanan terhadap keselamatan diri. Keselamatan dan keamanan kerja adalah suatu kondisi dimana para pekerja dalam menjalankan kegiatannya merasa aman baik secara fisik maupun mental.

(28)

Nitisemito (2002) menyatakan bahwa, sebaiknya setiap perusahaan berusaha agar usahanya stabil, dengan kestabilan, maka masa depan perusahaan akan terjamin. Perusahaan yang usahanya tidak stabil akan menimbulkan kekecewaan atau kekhawatiran para karyawannya. Mereka mungkin khawatir memikirkan tentang apa kapan saatnya mendapatkan giliran untuk dipecat. Adanya kondisi rasa aman disini menimbulkan ketenangan, dan ketenangan akan mendorong timbulnya semangat dan kegairahan kerja karyawan, sehingga diharapkan kinerja karyawan akan meningkat.

3) Kebutuhan Sosial

Perilaku seseorang sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial tertentu seperti kelompok referensi, keluarga, status dan peranan sosial mereka. Sedangkan secara formal adalah kegiatan-kegiatan yang disponsori oleh perusahaan atau pun acara peringatan- peringatan hari bersejarah. Ranuprandojo dan Suad Husnan (1990), antara lain mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan persahabatan, untuk itu maka ia akan melakukan hubungan dengan teman-temannya.

Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat dinyatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, manusia membutuhkan adanya persahabatan dan tidak dapat hidup sendiri dalam jangka waktu yang lama. Orang-orang sering berhubungan dengan teman-temannya karena adanya dorongan ingin memiliki sahabat. Jadi dalam pekerjaan sebenarnya memberikan bagian terbesar dalam memuaskan kebutuhan sosial mereka, apalagi dengan kerjasama yang baik dalam bekerja dalam suatu tim, hal ini sangat membatu dalam memperbaiki moral

(29)

manusia yang bersangkutan. Ditambah adanya perhatian dari atasan yang memperlakukan mereka dengan adil, menanggapi keluhan-keluhan dan usualan-usulan mereka untuk memperbaiki nasib dan masa depan mereka.

4) Kebutuhan Penghargaan

Penghargaan merupakan salah satu kebutuhan manusia, hal ini merupakan kebutuhan untuk dihargai oleh orang lain. Karyawan operasional yang pekerjaannya sudah sewajarnya, sudah bekerja keras dan membutuhkan untuk dihargai dengan sebaik-baiknya oleh atasannya. Penghargaan ini dapat berupa reward atau hadiah, pujian ataupun pengakuan atas prestasi yang telah dicapai.

Nitisemito (2002) mengatakan bahwa, setiap perusahaan hendaknya memberikan kesempatan dan penghargaan kepada para karyawan atauy karyawan yang berprestasi. Penghargaan itu dapat berupa hadiah, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, piagam dan sebagainya. Penghargaan sesuai dengan namanya dimaksudkan untuk menghargai terhadap jasa atau prestasi seseorang, semata-mata dari segi manusiawi. Insentip sebagai misal diberikan kepada seseorang, bukan karena jasa atau prestasi, tetapi ditujukan agar orang bersangkutan dapat lebih berprestasi atau berjasa lebih baik dari sebelumnhya. Jadi penghargaan mengandung unsur masa lalu, sedangkan insentip mengandung unsur masa depan. Penghargaan pada dasarbta ada dua yaitu penghargaan fisik dalam bentuk benda atau uang. Penghargaan fisik ini pada umumnya dibutuhkan oleh karyawan dengan tingkat sosial rendah. Penghargaan non fisik memiliki pengertian yang sangat luas mencakup semua hal yang berhubungan dengan kepuasan rohani

(30)

seseorang. Sehingga dapat dikatakan bahwa rasa bangga atas pribadi atau prestasi merupakan salah satu bentuk kepuasan manusia.

5) Kebutuhan Aktualisasi Diri

Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan dari perwujudan ingin menggunakan potensi diri untuk mencapai yang diinginkan.

Reksohadiprojo dan Handoko (1991) menyatakan, kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan pemenuhan diri, untuk mempergunakan potensi diri, pengembangan diri, dan melakukan apa yang paling cocok, serta menyelesaikan pekerjaannya sendiri.

As’ad (1995) menyatakan bahwa, manusia ingin mengembangkan kapasitas mental dan kapasitas kerjanya melalui pengembangan pribadinya. Oleh sebab itu pada tingkatan ini orang cenderung untuk selalu mengembangkan diri dan berbuat yang paling baik. Saydam (1995) mengemukakan bahwa, kebutuhan untuk perwujutan diri merupakan tingakt kebutuhan yang paling tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan puncak ini biasanya seseorang bertindak bukan atas dorongan orang lian, tetapi karena kesadaran dan keinginan diri sendiri. Dalam kondisi ini seseorang ingin memperlihatkan kemampuan dirinya secara optimal ditempat masing-masing.Aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mewujudkan kemampuan serta mengembangkan diri dari pekerjaan yang bersangkutan ditempat dia bekerja dan selama dia bekerja.

(31)

2.2.5. Pengaruh Motivasi Terhadap Kinerja

Chen (2004) menyatakan bahwa, terdapat pengaruh dari pola kepemimpinan pada komitmen organisasi. Bahwa idealized influence leaders dengan budaya inovatif akan menghasilkan karyawan yang lebih termotivasi untuk mencapai kepuasan kerja atau kineja yang diinginkan. Sudiarta (2007), menyatakan variabel pendidikan dan pelatihan, motivasi, kompensasi, kepemimpinan, penegakan disiplin dan kepuasan kerja secara simultan dan parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Marifah (2004) menyatakan bahwa, motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja pekerja sosial secara parsial dan simultan. Neal dan Griffin (1999) menyimpulkan kinerja dipengaruhi oleh motivasi karyawan dan motivasi mempunyai pengaruh lebih kuat terhadap kinerja kontekstual. Sedangkan Güngör (2011) menyatakan system penghargaan berpengaruh terhadap kinerja karyawan, dimana motivasi sebagai variable mediasi memiliki peran terhadap kinerja keryawan.

Selanjutnya Clinton dan Kohlmeyer (2005) menyatakan bahwa, ada perbedaan kinerja antara dua jenis kelompok yang memiliki motivasi berbeda. Grant et al. (2011) menyatakan bahwa, motivasi otonom signifikan terhadap inisiatif dan kinerja. motivasi terkendali tidak signifikan terhadap inisiatif dan kinerja. Sedangkan Suryantoro (1999) menyatakan bahwa, faktor-faktor motivasi secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kinerja karyawan operasional perusahaan. Faktor kebutuhan fisiologis adalah merupakan faktor dominan dalam mempengaruhi kinerja karyawan. Demikian juga Budiyanto (1991), menyatakan terdapat pengaruh tingkat jabatan kelompok pekerja terhadap

(32)

tingkat kebutuhan mereka yang berbeda antara tingkat kelompok pekerja; cukup terdapat pengaruh motivasi kerja terhadap produktivitas kerja pekerja operasional.

2.3 Kinerja Karyawan

2.3.1 Pengertian Kinerja Karyawan

Kinerja dapat diasumsikan sebagah hasil dari suatu proses atau pekerjaan. Karena itu setiap karyawan dituntut untuk memiliki kompetensi yaitu kemampuan atau kecakapan melaksanakan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya atau yang dipercayakan. Setiap pelaksanaan tugas atau pekerjaan ada suatu kegiatan memproses atau mengubah input (masukan) menjadi suatu output (keluaran) yang bernilai tambah sebagai produk atau hasil kerja.

Mangkunegara (2006) menyatakan, kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, sedangkan Hariandja (2002) menyatakan, kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan karyawam/pegawai atau perilaku nyata yang ditampilkan sesuai dengan perannya untuk mencapai tujuan organisasi.

Menurut Gorda (2006), kinerja adalah hasil kerja yang disumbangkan Seseorang karyawan yang berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya kepada Organisasi (perusahaan) yang didasari atas kecerdasan spiritual, intelegensia, emosional dan kecerdasan mengubah kendala menjadi peluang serta ketrampilan fisik yang diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya yang disediakan oleh organisasi (perusahaan).

(33)

Kinerja karyawan atau job performance tidak bisa dilepaskan dengan motivasi kerja. Sebab motivasi kerja pada prakteknya memperlihatkan perilaku kerja dari seorang karyawan. Kinerja karyawan atau job performance menurut Moh. As’ad (1995) didefinisikan sebagai “kesuksesan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan, atau successfull role achievement yang diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya.” Pendapat ini dikutip dari pendapat dua orang ahli yaitu pertama dari Maier (1965), yang memberi batasan kinerja karyawan sebagai kesuksesan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan. Kedua, dari pendapat Porter and Lawler (2004) yang menyatakan bahwa, kinerja adalah “successful role achievement” yang diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya. Berdasarkan dua pendapat tersebut As’ad menyimpulkan bahwa kinerja karyawan adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku terhadap pekerjaan yang bersangkutan.

Werther (1996) dinyatakan bahwa, masih terdapat hal yang sulit didapatkan jawaban yang memuaskan, yaitu apakah tingkat kepuasan akan menyebabkan kinerja meningkat ataukan kinerja karyawan menghasilkan tingkat kepuasan yang lebih baik. Menurut Werther, kinerja (kinerja karyawan ) sangat berhubungan erat dengan tingkat kepuasan. Kepuasan akan meningkat tergantung apakah hasil yang diharapkan sesuai dengan harapan, kebutuhan dan semangan kerja dan kinerja yang lebih baik akan menghasilkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Dari batasan-batasan tersebut jelaslah yang dimaksud dengan kinerja karyawan atau job performance adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Dengan demikian

(34)

ukuran kinerja karyawan akan berbeda-beda antar pekerjaan yang berbeda dan ukurannya juga akan berbeda.

Untuk mengukur kinerja, masalah yang paling penting adalah menentukan kriterianya. Menurut Belows seperti dikutip As’ad (1995) syarat kriteria yang baik adalah reliable, realistis, representatif, dan bisa memprediksi (predictable). Apabila kriteria untuk suatu pekerjaan sudah ditentukan, maka langkah berikutnya dalam mengukur job performance adalah mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan hal tersebut dari seseorang selama periode tertentu. Dengan membandingkan hasil ini dengan standar yang dibuat untuk periode waktu yang bersangkutan, akan didapatkan level of performance seseorang. Dari beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa penilaian kinerja karyawan sangat dibutuhkan di dalam perusahaan dengan diketahuinya hasil penilaian tersebut akan merupakan umpan balik bagi manajemen untuk pengambilan keputusan dalam usaha meningkatkan kinerja karyawan dan juga menempatkan karyawan sesuai dengan proporsinya.

2.3.2 Pengukuran Kinerja

Penilaian kinerja karyawan adalah salah satu tugas penting yang dilakukan seorang pemimpin. Karena kegiatan tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki keputusan-keputusan personalia dan memberikan umpan balik bagi karyawan dalam hal kinerja mereka. Karena penilai kinerja sangat penting maka dapat dikatakan pula tidak mudah untuk memberikan penilaian tersebut. Martoyo S. (2000) menjelaskan, penilaian kinerja karyawan adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai kinerja karyawan. Penilaian yang

(35)

dilaksanakan dengan baik, tertib, dan benar, dapat membantu meningkatkan motivasi kerja dan juga meningkatkan loyalitas dari anggota organisasi. As’ad (1995) memberikan penjelasan bahwa, aspek–aspek penilaian yang dipakai meliputi : kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi dan keselamatan dalam menjalankan tugas. Dimensi mana yang penting adalah berbeda antara pekerjaan yang satu dengan pekerjaan yang lain. As’ad (1995) mencoba membedakan antara penilaian pekerjaan satu dengan yang lainnya dalam kaitan dengan jenis dan sifat dari pekerjaan tersebut. Untuk keperluan mengukur kinerja karyawan, pekerjaan dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Pekerjaan produksi, secara kuantitatif dapat dibuat standar yang obyektif. Untuk pekerjaan produksi, hasil produksi bisa langsung dihitung dibandingkan dengan standar dan mutunya dan dinilai melalu pengujian hasil. 2. Pekerjaan non produksi, di mana penentuan sukses tidaknya seseorang menjalankan tugas didapat melalu human judgement atau pertimbangan subyektif dengan penilaian oleh atasan, teman dan lain-lain.

Berkaitan dengan pekerjaan jenis kedua, cara yang lazim ditempuh adalah penilaian oleh atasan, penilaian oleh teman (peer rating), dan juga selfrating. Karena metode-metode tersebut cenderung subyektif, maka untuk mengurangi subyektivitas sedapat mungkin diciptakan standar yang obyektif. Dengan demikian pengukuran kinerja karyawan berbeda-beda tergantung dari jenis pekerjaan dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai perusahaan. Sementara itu dalam pandangannya Gibson et al. (1996) memberikan pendapatnya bahwa, ukuran yang digunakan untuk mengidentifikasi hasil karya orang meliputi kuantitas dan

(36)

kualitas hasil, kemangkiran, keterlambatan dan pergantian karyawan. Sesuai dengan permasalahan penelitian, pembahasan lebih ditekankan pada aspek-aspek penilaian kinerja karyawan. Kegiatan evaluasi bagi karyawan dimaksudkan untuk memperoleh umpan balik (feedback) terhadap kinerja atau prestasinya dan untuk meningkatkan produktivitas di masa yang akan datang. Apapun tujuan dan jangkauan dari evaluasi penjualan, kegiatan tersebut perlu diterapkan pada setiap perusahaan, sebab jika tidak, maka pengarahan dari penyelia tidak dibutuhkan.

Penilaian kinerja (kinerja karyawan) terlihat merupakan faktor kunci dalam mengembangkan organisasi secara efektif dan efisien. Dengan penilaian kinerja karyawan berarti suatu organisasi telah memberikan manfaat sumber daya manusia yang ada dalam organisasi tersebut secara baik. Yang perlu mendapat perhatian terutama terkait dengan penilaian kinerja adalah unsur subyetivitas dari penilai yaitu adanya unsur suka dan tidak suka harus dihilangkan dari penilai, sehingga obyektivitas penilai dapat dicapai.

Menurut Reksohadiprodjo dan Handoko (1991), penilaian kinerja karyawan antara lain dapat dipergunakan untuk :

1. Perbaikan kinerja, yaitu sebagai masukan bagi manajemen untuk mengambil langkah-langkah dalam usaha meningkatkan kinerja karyawan.

2. Penyesuaian-penyesuaian komnpensasi, merupakan masukan bagi manajemen untuk mengadakan evaluasi terhadap karyawan yang layak mendapatkan peningkatan penghasilan dan penghargaan.

(37)

3. Keputusan-keputusan penempatan, yaitu sebagai masukan bagi manajemen untuk melakukan mutasi, rotasi ataupun promosi berdasarkan kinerja yang dilaksanakan karyawan.

4. Kebutuhan latihan dan pengembangan kinerja yang jelek mungkin menunjukkan kebutuhan latihan. Demikian juga kinerja yang mungkin mencerminkan potensi yang harus dikembangkan.

5. Perencanaan dan pengembangan karier, yaitu sebagai masukan bagi manajemen untuk merencanakan peningkatan karier bagi karyawan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.

6. Mendeteksi penyimpangan-penyimpangan proses staffing. Kinerja karyawan yang jelek atau baik mencerminkan kelemanahan atau kekuatan prosedur staffing departemen personalia.

7. Mendeteksi kesalahan-kesalahan desain pekerjaan. Kinerja karyawan yang jelek mungkin menunjukkan kesalahan dalam informasi analisa jabatan, rencana-rencana sumber daya manusia atau komponen-komponen sistem informasi manajemen personalia lainnya.

8. Mendeteksi kesalahan-kesalahan desain pekerjaan. Kinerja karyawan yang jelek mungkin merupakan suatu tanda kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian prestasi membantu diagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.

9. Kesempatan kerja yang adil, yaitu masukan bagi manajemen untuk memberikan kesempatan kerja pada bagian-bagian sesuai dengan keterampilan, kemampuan dan kinerja karyawan nya secara obyektif.

(38)

10. Tantangan-tantangan eksternal, sebagai masukan manajemen untuk mengetahui faktor-faktor lain di luar lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan, seperti faktor keluarga, faktor kesehatan, dan juga faktor tempat tinggal sehingga dapat memberikan alternatif bantuan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi karyawan.

Pencapaian tujuan organisasi, yaitu untuk memperoleh laba atau profit secara implisit menunjukan keinginan suatu kinerja karyawan organisasi tertentu. Kinerja karyawan organisasi dapat merupakan akumulasi dari kinerja karyawan para karyawannya. Bila kinerja karyawan rendah, maka kinerja karyawan organisasi juga akan rendah dan sebaliknya. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan dan motivasi kerja memiliki hubungan dan pengaruh terhadap pencapaian kinerja karyawan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil kajian studi kelayakan terhadap conceptual design kapal hisap tambang pada analisa stabilitas didapatkan hasil bahwa desain kapal hisap tambang tidak memenuhi

Transfusi rutin dan berulang pada pasien thalassemia akan menyebabkan iron overload yang dapat berujung pada beberapa komplikasi, termasuk beberapa komplikasi

Peserta yang diterima akan melewati tahap evaluasi maksimal 2 tahun dan akan menjadi penentu dijadikan pegawai tetap atau dikembalikan pada pegawai tidak tetap,”

Desa Tempilang kecamatan Tempilang kabupaten Bangka Barat merupakan desa yang memilik aneka ragam sumber unsur tanah yang baik untuk bercocok tanam baik di

Ini berarti bahwa hubungan perdagangan bilateral dalam kerangka ACFTA selain komoditi primer (sektor pertanian dan pertam- bangan/penggalian) hanya bersifat jangka pendek,

Laporan tersebut memberikan status mutakhir mengenai sumberdaya mineral yang dapat digunakan untuk menentukan tahap eksplorasi berikutnya atau studi kelayakan tambang 3.14

Di beberapa kelas yang saya masuki, keterlibatan peserta didik dalam segala kegiatan yang dilaksanakan dalam proses belajar mengajar sudah baik, dimana siswa aktif

Atikel ini membahas tentang sejarah Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Pra Kolonialisme yang dibagi menjadi Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Indonesia