1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sehubungan dengan besarnya jumlah penderita kehilangan darah akibat trauma, operasi, syok, dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah maka tranfusi darah adalah praktek klinis yang sering dilakukan (Dewi, 2010). Menanggapi hal tersebut diperlukan pendonor darah sekarela untuk membantu sesama. Di dunia lebih dari 6,5 % penduduk merupakan pendonor darah (Garozzo, 2010). Berdasarkan data palang merah Indonesia (PMI) tahun 2013 jumlah pendonor darah sukarela aktif meningkat 6,7 % dibandingkan tahun 2012, sehingga jumlah pendonor darah yang terhitung mendonorkan darahnya ke PMI adalah 2.414.042 orang (Tribunnews, 2014). Ketersediaan darah di fasilitas pelayanan kesehatan sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat dalam mendonorkan darahnya. Walaupun dengan meningkatnya jumlah pendonor darah sukarela, saat ini jumlah persediaan darah masih belum dapat memenuhi kebutuhan (Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2014). Hal ini terjadi karena peningkatan jumlah tranfusi darah lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan jumlah pendonor darah.
Sebelum melakukan donor darah ada syarat yang harus dipenuhi, bertujuan untuk memastikan pendonor dalam keadaan sehat dan menjamin bahwa donor darah tidak akan merugikan (PAHO, 2009). Tetapi pendonor darah dengan syarat yang telah ditentukan dan dinyatakan sehat tidak lantas terbebas dari resiko kesehatan. Komplikasi yang sering ditemukan dan sedang disoroti pada pendonor darah adalah defisiensi besi (Sorensen, 2008).
2
Defisiensi besi pada pendonor darah disebabkan karena dalam sekali donor darah terjadi kehilangan besi yang cukup bermakna (200-250 mg) dengan pengambilan darah sekitar 425-475 ml (Mittal, 2006). Sehingga akan terjadi pengurangan cadangan besi tubuh setiap melakukan donor darah. Defisiensi besi mengakibatkan anemia gizi besi yang berdampak negatif diantaranya lambatnya perkembangan, gangguan perilaku, berkurangnya kinerja intelektual, dan turunnya daya tahan terhadap infeksi (Trost, 2006). Selain itu bila defisiensi besi terjadi pada pendonor darah maka selanjutnya mereka kehilangan kesempatan mendonorkan darah karena tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan. Dan jika terjadi terus-menerus hal tersebut akan menyebabkan kurangnya stok darah. Sekitar 50% wanita sehat yang mendonorkan darah telah defisiensi besi sebelum donor (Mittal, 2006).
Syarat seleksi untuk menjadi pendonor darah menurut PMI tahun 2014 salah satunya adalah kadar hemoglobin (Hb) antara 12,5-17 g/dl tanpa adanya pemeriksaan cadangan besi. Padahal dalam berbagai pustaka, Hb bukanlah indikator yang sensitif dalam mendeteksi defisiensi besi dalam tubuh. Seperti yang dijelaskan Brittenham (2000) konsentrasi Hb hanya menurun pada anemia defisiensi besi, tidak pada defisiensi besi. Di samping itu, penurunan konsentrasi Hb tidak menunjukkan penyebab anemia. Turunnya konsentrasi Hb dapat ditemukan pada beberapa kondisi lain, seperti defisiensi folat, defisiensi vitamin B12, talasemia, penyakit sickle cell, anemia pada penyakit kronik, dan gagal ginjal kronik. Alasan utama tidak dilakukan pemeriksaan cadangan besi tubuh karena biaya yang mahal. Cara pemeriksaan status besi yang ada saat ini adalah dengan mengukur saturasi tranferin dan feritin serum (Abdullah, 2011). Kadar feritin menggambarkan cadangan besi dalam tubuh, sehingga feritin
3
serum akan menurun lebih awal pada keadaan kekurangan besi di dalam tubuh (Wirawan, 2011). Menurut Setyawati (1992) feritin serum merupakan indikator paling sensitif dan reliabel bagi diagnosis defisiensi zat besi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status besi ini adalah usia, jenis kelamin, status gizi, status kesehatan, dan jumlah besi cadangan (Muchtadi, 2009). Status gizi adalah ekspresi dari keadaaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutiture dalam bentuk variabel tertentu. Selain itu status gizi mempunyai ukuran yang pasti (Supariasa, 2001). Status gizi yang kurang optimal mempengaruhi persediaan atau cadangan dalam jaringan dan selanjutnya berdampak pada kemerosotan jaringan, akibatnya akan terjadi perubahan bikimia (Solon, 1977 sitasi Supariasa, 2001). Kegagalan gizi merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia dan berdampak pada kegagalan pertumbuhan fisik (Sunarko, 2002).
Penelitian di Israel menunjukkan bahwa status gizi mempengaruhi kadar besi. Kelompok anak dan remaja yang obesitas mengalami penurunan kadar besi dalam serum lebih besar (58,5%) dibandingkan dengan yang overweight dan normal (Pinhas, 2003). Peningkatan obesitas dikaitkan dengan gangguan kecil dalam metabolisme besi (Cheng, 2013). Selain itu ditemukan bahwa LLA adalah prediktor yang signifikan untuk kadar Hb (Bhargava, 2001). Penelitian Broderstad (2006) menjelaskan bahwa feritin meningkat signifikan dengan meningkatnya IMT. Serta IMT yang rendah menyebabkan defisiensi besi ringan (Djajali, 2006).
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan, penulis tertarik untuk mempelajari dan meneliti korelasi antara status gizi yang diukur berdasarkan
4
indeks antropometri dengan status besi pada pendonor darah di Yogyakarta sebagai kelompok yang rentan terhadap resiko defisiensi besi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: Apakah ada korelasi status gizi berdasarkan parameter IMT dan %LLA dengan status besi pada pendonor darah di Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu:
Umum
Mengetahui korelasi status gizi dengan status besi pada pendonor darah di Yogyakarta.
Khusus
1. Mengetahui korelasi antara status gizi berdasarkan parameter IMT dengan status besi.
2. Mengetahui korelasi antara status gizi berdasarkan parameter %LLA dengan ststus besi.
D. Manfaat Penelitian 1. Untuk Peneliti
a. Mengetahui korelasi status gizi dengan status besi pada pendonor darah di Yogyakarta.
5 2. Untuk Institusi/Pemerintah
Mendapat informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan status besi, sehingga dapat menjadi dasar menentukan kebijakan untuk para pendonor darah sebelum melakukan donor sebagai pencegahan anemia gizi besi.
3. Untuk Masyarakat
a. Sebagai sumber bacaan untuk menambah wawasan tentang gizi dan kesehatan.
b. Sebagai dasar tindakan awal untuk mempersiapkan donor darah dan menghindari anemia gizi besi setelah donor darah.
4. Untuk Ilmu Pengetahuan
Memberikan data tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status besi pada pendonor darah, sehingga dapat menambah wawasan dan sebagai dasar penelitian selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian korelasi antara status gizi dengan status besi pada pendonor darah di Yogyakarta sejauh ini belum pernah dilakukan. Tetapi penulis menemukan penelitian sejenis, diantaranya:
1. Moghadam, A. (2011) Relationship between blood donors’ iron status and their age, body mass index and donation frequency.
Populasi : pendonor darah laki-laki di Tehran, Iran Metode : cross-sectional, descriptive and analytical Uji : ANOVA dan tes Kruskal-Wallis H
6
Hasil : status besi tidak berpengaruh signifikan dengan BMI antara pendonor dan bukan pendonor
Perbedaan penelitiannya adalah pada subjek yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan peneliti laki-laki dan perempuan, tetapi pada penelitian sebelumnya hanya meneliti pendonor laki-laki di negara Iran. Selain itu, pada penelitian yang akan dilakukan tidak hanya menghitung status gizi dengan BMI tetapi juga dengan %LLA.
2. Adhisti, A. P. (2011) Hubungan Status Antropometri Dan Asupan Gizi dengan Kadar Hb dan Feritin Remaja Putri
Populasi : remaja putri panti asuhan At Taqwa usia 13-18 tahun Metode : cross-sectional
Uji : pearson dan spearman dengan SPSS
Hasil : tidak didapatkan hubungan bermakna antara asupan gizi dengan kadar Hb, feritin, dan status antropometri. Namun didapatkan hubungan yang bermakna antara LLA dengan kadar Hb (p=0,034).
Perbedaan kedua penelitian ini terletak pada subjek penelitian yaitu remaja putri usia 13-18 tahun dan pendonor darah dengan rentang umur 18-60 tahun, selain itu perbedaan subjek ini akan menyebabkan perbedaan standar pengukuran status gizinya.
3. Finalokita, N. F. (2010) Hubungan Antara Status Gizi dan Frekuensi Sarapan Pagi dengan Kadar Hemoglobin Pada Siswi di SMPN 2 Kokap Kabupaten Kulon Progo
Populasi : siswi SMP Negeri 2 Kokap
7 Uji : korelasi spearman
Hasil : tidak ada hubungan antara status gizi dengan kadar hemoglobin. Terdapat hubungan yang bermakna antara frekuensi sarapan pagi dengan kadar hemoglobin.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada subjek penelitian, tempat penelitian dan metode pengukuran status gizi dan standar pengukurannya.