• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... PENGESAHAN PANITIA PENGUJI...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... PENGESAHAN PANITIA PENGUJI..."

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 5

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 5 1.5 Tujuan Penelitian ... 7 a. Tujuan umum ... 7 b. Tujuan khusus ... 7 1.6 Manfaat Penelitian ... 7 a. Manfaat teoritis ... 7 b. Manfaat praktis ... 8 1.7 Landasan Teoritis ... 8

(2)

xi

1.8 Metode Penelitian ... 29

a. Jenis penelitian ... 29

b. Jenis pendekatan ... 30

c. Sifat penelitian ... 30

d. Data dan sumber data ... 31

e. Teknik pengumpulan data ... 32

f. Teknik pengolahan dan analisis data ... 33

BAB II GAMBARAN UMUM DESA PAKRAMAN KAYUBIHI 2.1 Letak Geografis Desa Pakraman Kayubihi ... 35

2.2 Keadaan Penduduk Desa Pakraman Kayubihi ... 38

2.3 Struktur Organisasi dan Pemerintahan Desa Pakraman Kayubihi ... 45

BAB III LATAR BELAKANG TENTANG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI 3.1 Pengaturan Berburu Burung Secara Nasional... 51

3.2 Latar Belakang Tentang Larangan Berburu Burung di Desa Pakraman Kayubihi ... 56

BAB IV PENEGAKAN LARANGAN BERBURU BURUNG DALAM AWIG-AWIG MAUPUN PERAREM DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI 4.1 Larangan Berburu Burung Dalam Awig-Awig Maupun Perarem di Desa Pakraman Kayubihi ... 62

(3)

xii

4.2 Awig-Awig Desa Pakraman Kayubihi Sebagai Sosial

Kontrol Masyarakat ... 67 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 71 5.2 Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA ... 73 LAMPIRAN ... 77

(4)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Orisinalitas Penelitian ... 6

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk ... 38

Tabel 2.2 Tingkat Pendidikan ... 39

(5)

xiv ABSTRAK

Maraknya aksi perburuan liar di Desa Pakraman Kayubihi menyebabkan masyarakat resah akan tidak seimbangnya ekosistem dan tidak terlaksananya konsep Tri Hita Karana. Maka dari itu masyarakat di Desa Pakraman Kayubihi membuat aturan mengenai larangan berburu burung di desa pakraman tersebut yang di muat dalam awig-awig. Hal ini dilakukan dalam upaya berperan serta untuk konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dilandasi juga dengan konsep Tri Hita Karana. Permasalahan dalam skripsi ini adalah apa latar belakang dan bagaiamana pengaturan tentang larangan berburu burung dalam awig-awig maupun perarem di Desa Pakraman Kayubihi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang serta menganalisis awig-awig maupun perarem mengenai larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam arti nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan fakta (The Fact Approach).

Pengaturan mengenai larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi di muat dalam awig-awig Desa Pakraman Kayubihi yang berbunyi “Krama desa adat tur krama tios tan kadadosang maboros paksi ring wewidangan Desa Adat Kayubihi”.Terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa Indonesia berbunyi “warga desa adat dan warga diluar desa adat di larang berburu burung di wilayah Desa Pakraman Kayubihi.” Mengenai sanksi bagi yang melanggar ketentuan tersebut akan dijatuhkan denda yang merujuk dari perarem Desa Pakraman Kayubihi sebesar Rp. 1000,- dikalikan seluruh jumlah kepala keluarga (KK) yang ada di desa pakraman tersebut serta meminta maaf di hadapan seluruh warga Desa Pakraman Kayubihi pada saat paruman. Dengan adanya sosialisasi yang berkelanjutan maka awig-awig mengenai larangan berburu di Desa Pakraman Kayubihi efektif dalam menanggulangi maraknya aksi perburuan liar di desa pakraman tersebut dan menjadikan awig-awig Desa Pakraman Kayubihi sebagai alat kontrol sosial.

(6)

xv

ABSTRACT

The rampant poaching in Pakraman Kayubihi cause distress to the people would unbalance the ecosystem and not the implementation of the concept of Tri Hita Karana. therefore society in Pakraman Kayubihi make rules regarding the ban on bird hunting in Pakraman such that the fit in awig-awig. This is done in an effort to participate for the conservation of natural resources and ecosystems that are also based on the concept of Tri Hita Karana. The problem in this thesis is what and how your background setting of a ban on hunting of birds in awig-awig and perarem in Pakraman Kayubihi. This study was conducted to determine the background and analyzes awig-awig and perarem regarding a ban on hunting of birds in Pakraman Kayubihi.

The method used is the method of empirical legal research. Empirical legal research method is a method of legal research function to see the law in the real sense and examine how the workings of law in society. The method used in this research is the method of approach to the facts (The Fact Approach).

The regulation on the prohibition of hunting of birds in villages Kayubihi load in awig awig Pakraman Kayubihi which reads " Krama desa adat tur krama tios tan kadadosang maboros paksi ring wewidangan Desa Adat Kayubihi". Free translation into english reads "indigenous villagers and residents outside the village in expensive custom bird hunting in the area Pakraman Kayubihi." On penalties for violating these provisions will be imposed a fine of reference Rarem Pakraman Kayubihi Rp. 1000 - multiplied by the total number of households (families) in the Pakraman and apologized in front of all citizens Pakraman Kayubihi at paruman. With the introduction of the sustainable awig-awig ban on hunting in Pakraman Kayubihi effective in tackling the rampant poaching in Pakraman and makes awig awig Pakraman Kayubihi as a means of social control.

(7)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Sumber daya alam hayati yang meliputi flora dan fauna mempunyai manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras dan seimbang mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan memiliki kedudukan serta berperan penting bagi kehidupan manusia, sedangkan ekosistem itu adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi1.

Keseimbangan ekosistem, adalah suatu hal yang sangat sulit dihadapi seiring dengan kemajuan pola hidup masyarakat pada saat ini, punahnya satwa-satwa liar yang dilindungi adalah suatu dampak dari tidak seimbangnya ekosistem yang dikarenakan oleh manusia itu sendiri. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatanya dilakukan bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaanya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya

1Leden Marpaung, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, Erlangga, Jakarta, h. 3.

(8)

2

kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia karena hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama.

Pemerintah dalam hal melestarikan sumber daya alam hayati juga sudah berusaha mewujudkan daerah konservasi-konservasi, salah satunya adalah Taman Nasional Bali Barat yang bertujuan untuk melindungi satwa-satwa yang hampir punah contohnya jalak Bali yang sampai saat ini jumlahnya sudah sangat sedikit serta terus berkurang, dan salah satu penyebab utamanya adalah perburuan liar. Mudahnya untuk mendapatkan sarana dan prasarana adalah salah satu faktor penyebab masyarakat gemar melakukan aktivitas berburu untuk dimakan dagingya, rekreasi atau diperjual belikan.

Senapan angin adalah satu sarana untuk berburu yang sangat mudah didapat, sehingga menembak burung atau aktivitas perburuan burung tidaklah sesuatu yang susah untuk dilakukan oleh masyarakat khususnya di Bali. Hal ini juga menjadi suatu hal yang tidak boleh dipandang sebelah mata, mengingat maraknya perburuan liar membuat ekosistem menjadi rusak seperti halnya yang terjadi di Desa Pakraman Kayubihi.

Maraknya perburuan liar di Desa Pakraman Kayubihi membuat masyarakat di desa pakraman tersebut mulai resah akan tidak seimbangnya ekosistem dan tidak terlaksananya konsep Tri Hita Karana yang menyebabkan terganggunya keseimbangan kosmis. Hal ini menjadi perhatian yang serius oleh masyarakat di desa pakraman tersebut. Tentunya hal ini memerlukan sebuah tindakan serta aturan yang berfungsi sebagai alat pengatur masyarakat (social

(9)

3

control) demi menanggulangi maraknya perburuan liar di Desa Pakraman Kayubihi.

Masyarakat adat di Bali mengenal adanya konsep keseimbangan yang disebut dengan Tri Hita Karana. Kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya akan dapat dicapai apabila terjadi keharmonisan hubungan antara unsur-unsur Tri Hita Karana tersebut, yaitu:

a. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa;

b. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam semesta; c. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesamanya.2

Dalam upaya berperan serta untuk konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dilandasi juga dengan konsep Tri Hita Karana, Desa Pakraman Kayubihi menerapkan larangan berburu burung di wilayah desa pakraman tersebut. Lokasi yang biasanya di jadikan tempat berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi dipasangi himbauan serta baliho dilarang berburu. Selain memasang baliho larangan berburu, beberapa prajuru banjar juga banyak mengingatkan kepada warga maupun pemburu.3 Hal ini dimaksudkan agar satwa khususnya burung yang berada di wilayah Desa Pakraman Kayubihi dapat terjaga serta terlestarikan keberadaanya.

Mengenai pengaturan tentang larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi sudah tertulis dalam bentuk awig-awig Desa Pakraman. Secara umum

2 Wayan Windia dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, h.45

3…, 2015, “Dusun di Kayubihi Terapkan Larangan Berburu”, Denpost, URL : http:// denpostnews. com /2015/10/19/dusun-di-kayubihi-terapkan-larangan-berburu/ diakses tanggal 20 maret 2016

(10)

4

yang dimaksud dengan awig-awig adalah patokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, dalam hubungan antara krama (anggota desa pakraman) dengan Tuhan, antara sesama krama, maupun antara krama dengan lingkunganya.4 Apabila didalam pelaksanaanya ada yang melanggar ketentuan awig-awig tersebut maka Desa Pakraman Kayubihi akan menjatuhkan sanksi bagi pelanggar dan dikenai denda yang merujuk dari perarem Desa Pakraman Kayubihi.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan oleh peneliti, maka peneliti membuat skripsi yang berjudul “Peranan Awig-Awig Sebagai Sosial Kontrol Masyarakat Terkait Larangan Berburu Burung di Desa Pakraman Kayubihi, Kec. Bangli, Kab. Bangli”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan urutan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa latar belakang tentang larangan berburu burung oleh Desa Pakraman Kayubihi ?

2. Bagaimana penegakan tentang larangan berburu burung dalam awig-awig maupun perarem di Desa Pakraman Kayubihi ?

4 AA Gede Oka Parwata, 2010, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman” dalam Wicara

lan Pamidanda, Editor: I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata, Udayana University Press,

(11)

5 1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan skripsi ini peneliti akan membatasi ruang lingkup yang akan di bahas, maksud dan tujuan dari pembatasan ini adalah untuk memfokuskan pembahasan sehingga kesimpulan yang ditarik sesuai dengan permasalahan. Sebagaimana tertulis pada sub pokok permasalahan, permasalahan pertama meliputi apa latar belakang pengaturan tentang larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi. Adapun permasalahan kedua membahas tentang pengaturan larangan berburu dalam awig-awig maupun perarem di Desa Pakraman Kayubihi. Untuk melengkapi pembahasan, maka peneliti pun berinisiatif menguraikan tentang sanksi-sanksi adat yang akan di terapkan, pola pelaksanaannya, dan peranan masyarakat adat di Desa Pakraman Kayubihi, dalam mendukung adanya awig-awig mengenai larangan berburu di desa tersebut. Berdasarkan pembatasan ruang lingkup masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan yang tengah dikaji menjadi tidak sulit untuk dianalisis.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Dengan ini peneliti menyatakan bahwa penulisan skripsi ini merupakan hasil buah karya asli dari peneliti, merupakan suatu buah pemikiran peneliti yang dikembangkan sendiri oleh peneliti. Sepanjang pengetahuan peneliti dan setelah melakukan pengecekan atau pemeriksaan (baik dalam ruangan gudang skripsi fakultas hukum universitas udayana dan di internet) tidak ditemukan adanya suatu karya ilmiah atau skripsi yang membahas permasalah yang sama dengan skripsi

(12)

6

penulis. Adapun karya ilmiah yang memiliki objek yang sejenis yang ditemui oleh peneliti yakni :

Tabel 1.1. Orisinalitas Penelitian

No Nama Judul Rumusan masalah

1 Inka Ayu Ariati Universitas Airlangga Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terkait satwa lindung

1. Perbuatan-perbuatan apa yang merupakan kualifikasi tindak pidana terkait satwa yang dilindungi?

2. Bagaimanakah

pertanggungjawaban pidana terkait satwa yang dilindungi ? 2 Ricky Haryanto Nugroho Universitas Komputer Indonesia Penegakan Hukum atas perburuan liar jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru 1. Bagaimana efektifitas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru dalam mencegah dan menanggulangi perburuan jalak Bali di TNBB ? 2. Bagaimana peranan Hukum

adat Masyarakat Bali dalam mencegah dan menanggulangi perburuan jalak Bali di TNBB ?

(13)

7 1.5 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

2. Melatih mahasiwa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. 3. Mengetahui dan mendalami ilmu hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas yang tengah berkembang di dalam kehidupan masyarakat.

4. Mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan masyarakat. 5. Memenuhi persyaratan sebagai sarjana hukum.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui latar belakang larangan berburu burung oleh Desa Pakraman Kayubihi .

2. Untuk mengetahui penegakan awig-awig maupun perarem mengenai larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi Kec. Bangli, Kab. Bangli.

1.6 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Menambah literatur dibidang perlindungan satwa yang dalam perkembangannya tidak hanya diatur oleh hukum dalam arti tertulis, melainkan hukum tidak tertulis juga mengakomodir persoalan tersebut.

(14)

8 b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan penelitian dalam rangka meningkatkan kualitas pelestarian sumber daya alam dan ekosistemnya khusunya bagi pemerintah, serta memberikan pengetahuan bagi mahasiswa dan masyarakat mengenai aktivitas berburu dan pelestarian sumber daya alam dan ekosistemnya.

1.7 Landasan Teoritis

Landasan teoritis yang nantinya digunakan dalam penelitian hukum merupakan sebuah pijakan dasar yang kuat dalam membedah permasalahan-permasalahan hukum terkait.

1. Teori Semi-Autonomous Social Field

Teori ini diperkenalkan oleh Sally Falk Moore ini menjelaskan kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa. Merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil dan untuk sebagian otonom itu dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat-kebiasaan serta simbol-simbol yang berasal dari dalam, tapi di lain pihak bidang itu juga rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya. Bidang sosial yang semi-otonom ini memiliki kapasitas untuk membuat aturan-aturan, dan sarana untuk menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturanya; tapi sekaligus juga berada dalam suatu kerangka acuan

(15)

9

sosial yang lebih luas yang dapat, dan memang kenyataanya mempengaruhi dan menguasainya, kadang karena dorongan dari dalam, kadang-kadang atas kehendaknya sendiri.5

Di dalam kehidupan masyarakat di Bali, istilah desa memiliki dualisme pengertian. Pengertian pertama merujuk kepada desa dinas, yaitu desa yang menyelenggarakan birokrasi dari pemerintahan. Desa dinas dalam konteks ini pada dasarnya dapat dikatakan perpanjangan tangan atau pengemban tugas dari negara untuk mengatur kehidupan masyarakat di pedesaan. Dalam hal ini desa dinas merupakan lembaga negara terbawah dibawahi oleh camat.

Desa pakraman (desa adat) adalah suatu lembaga tradisonal. Sebagai suatu lembaga desa pakraman mempunyai dua arti diantaranya sebagai wadah dan sebagai pranata (institute dan institutions). Dalam hal ini pranata mengatur hubungan antara warga masyarakat disekitar kepentingan-kepentingan tertentu. Lembaga selalu dalam keadaan bergerak. Dengan demikian pengertian desa pakraman (desa adat) sebagai lembaga dan kesatuan sosial yang mencangkup dua hal yaitu desa adat sendiri sebagai wadah adat istiadat dan hukum adatnya sebagai isi dari wadah tersebut.6

Desa pakraman sebagai sebuah kelompok yang semi otonom memiliki kewenangan untuk membuat aturanya sendiri. Aturan ini disesuaikan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Segala sesuatu

5 Sally Falk Moore, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat”, Terjemahan Sulistyowati Irianto, dalam Antropologi

Hukum Sebuah Bunga Rampai, Editor : T.O. Ihromi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 150.

6 A.A Gede Oka Parwata et. al., 2006, “Pola Hubungan Antara Desa Dinas Dengan Desa Adat Dalam Penanganan Penduduk Pendatang Di Kecamatan Ubud-Kabupaten Gianyar”, Laporan

Penelitian, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Udayana Dengan Bappeda Kabupaten

(16)

10

yang berhubungan dengan kebutuhan desanya terutama dalam usaha untuk menegakkan adat, kewajiban warga desa terhadap wilayah pemukimannya, terhadap sesama warga desa dan terhadap agamanya serta larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang harus dipatuhi oleh warga desa, semuanya itu ditentukan oleh warga desa itu sendiri dalam bentuk aturan-aturan yang tidak tertulis maupun tertulis dan dinamakan dresta, sima, awig-awig, lokacara,

catur dresta dan sebagainya.7 Istilah yang paling sering digunakan atau yang

paling dikenal untuk menyebutkan aturan adat yang dimiliki oleh kelompok-kelompok masyarakat adat di Bali ini adalah awig-awig. Awig-awig dibuat warga desa pakraman atau banjar adat, atas dasar musyawarah mufakat.8

Berkaitan dengan konsep pluralisme/kemajemukan hukum dari Sally Falk Moore maka upaya desa pakraman dalam melestarikan satwa dan menjaga lingkunganya demi kesejahteraan kehidupan warganya merupakan wujud nyata dari semi-autonomous social field (bidang sosial semi otonom). Karakteristik lapangan sosial semi otonom adalah kemampuan untuk menciptakan aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungannya sendiri, mendorong bahkan memaksa warganya agar mentaati aturan tersebut.9

Meskipun masyarakat adat ini sudah memiliki awig-awig sebagai sarana untuk menuntun mereka mencapai keharmonisan, ternyata itu hanya berlaku dalam kelompoknya saja. Karena itu, ketika terjadi konflik antar warga ataupun bersinggungan dengan kelompok lain perlu adanya payung

7 I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar, h. 8.

8 Wayan P Windia, 2004, Danda Pacamil: Catatan Populer Istilah Hukum Adat Bali, Upada Sastra, Denpasar, h. 3.

(17)

11

hukum yang disepakati bersama, sebagai masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia tentunya mereka wajib tunduk dengan hukum yang lebih besar yang berada di atasnya yakni hukum positif Indonesia.

Kewenangan desa pakraman ini memiliki persyaratan seperti yang diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

Dengan meminjam istilah yang digunakan oleh Sally Falk Moore, desa pakraman sesungguhnya hanyalah kelompok sosial yang semi-otonom (semi-autonomous social fields) karena dalam pelaksanaan otonominya itu desa pakraman tetap harus tunduk kepada kekuasaan negara. Pengakuan bersyarat terhadap desa pakaman sekaligus mempunyai makna bahwa otonomi desa pakraman bukanlah otonomi mutlak tanpa batas. Melalui konstitusi, Negara telah memberikan syarat-syarat bagi otonomi desa pakraman. Otonomi desa pakraman diakui oleh Negara apabila di dalam kenyataan kekuasaan-kekuasaan yang menjadi isi dari otonomi desa pakraman tersebut memang benar-benar masih hidup. Pelaksanaannya pun tidak boleh sembarangan, melainkan harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, kekuasaan-kekuasaan yang menjadi isi otonomi desa pakraman tersebut pengaturannya dilakukan dalam undang-undang. Penegasan ini penting agar tidak menimbulkan salah

(18)

12

pengertian dan menganggap desa pakraman sebagai “republik kecil” yang dapat berbuat apa saja tanpa perduli kepada keberadaan kekuasaan negara, sebab bagaimanapun juga tidaklah boleh ada negara dalam negara.10

2. Teori Beslissingenleer (teori keputusan)

Ter Haar membuat dua perumusan, yang menunjukan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat itu, ialah :

a. dalam pidato dies tahun 1930, dengan judul : “ Peradilan Landraad berdasarkan hukum tak tertulis”.

b. dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek : “ Hukum Adat Hindia-Belanda di dalam ilmu, praktek dan pengajaran”.

a. “Hukum Adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan; keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau – dalam hal pertentangan kepentingan  keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu – karena kesewenangan atau kurang pengertian  tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui atau setidak-tidaknya di toleransikan olehnya”. b. “Hukum Adat itu  dengan mengabaikan bagian-bagian nya yang

tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-surat

10 I Ketut Sudantra, 2010, “Peranan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan” dalam Wicara lan Pamidanda, Editor: I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata, Udayana University Press, Denpasar, h.37.

(19)

13

perintah Raja  adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungisionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (Macht, Authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaanya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati”. (Fungisionaris di sini terbatas pada dua kekuasaan yaitu: Eksekutif dan Yudikatif). Dengan demikian hukum adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan diperoleh dalam bentuk keputusan-keputusan para fungisionaris hukum itu; bukan saja hakim tetapi juga kepala adat, rapat desa, wali tanah, petugas-petugas di lapangan agama, petugas-petugas desa lainya. Keputusan itu tidak saja mengenai suatu sengketa resmi, tetapi juga diluar itu berdasarkan kerukunan (musyawarah). Keputusan-keputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rokhani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu.11

Dari keterangan dia atas terlihat bahwa pandangan Ter Haar yang mendalam yang penuh perhatian dan pengertian, terbukti dari kata-katanya bahwa setiap hakim wajib mengambil keputusan menurut hukum adat, wajib menyadari tentang sistim/stelsel hukum adat, kenyataan sosial serta tuntutan keadilan dan kemanusiaan untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik dan benar. Jadi, Ter Haar tidak melupakan hukum yang hidup dalam kenyataan hidup sehari-hari dari masyarakat hukum adat Indonesia. Suatu kenyataan

11 Iman Sudiyat, 1985, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta. h. 7.

(20)

14

hidup yang dilandasi oleh alam fikiran yang khas, yaitu pandangan hidup atau pandangan dunia manusia Indonesia tentang diri dan lingkunganya.12

Seperti yang dikatakan oleh Ter Haar, Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam putusan-putusan para pejabat hukum, yang mempunyai wibawa dan pengaruh, serta dalam pelaksanaanya berlaku serta merta dan dipatuhi sepenuh hati oleh masyarakatnya. Pendapat Ter Haar ini dikenal dengan teori keputusan (teori Beslissingenleer) artinya bahwa untuk melihat suatu adat-istiadat sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat sikap penguasa masyarakat terhadap si pelanggaran adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukum terhadap si pelanggar maka adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat.13

3. Teori Hukum Sebagai Sosial Kontrol Masyarakat

Setiap masyarakat, selama hidupnya pasti pernah mengalami perubahan-perubahan. Ada perubahan-perubahan yang tidak menarik perhatian orang , ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi dengan lambat,ada yang berjalan dengan sangat cepat, ada pula yang direncanakan, dan seterusnya. Bagi seseorang yang sempat melakukan penelitian terhadap susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkanya dengan susunan serta kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang lampau, akan tampak perubahan perubahan yang terjadi di dalamnya. Orang sering mengatakan, bahwa kehidupan di pedesaan Indonesia

12 Dominikus Rato, 2009, Pengantar Hukum Adat, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h. 17.

13 Soerjono Soekanto, 1978, Pokok-pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 17.

(21)

15

adalah statis, tidak maju, dan juga tidak mengalami perubahan-perubahan. Pernyataan demikian itu biasanya didasarkan atas pandangan sepintas lalu tidak diteliti, oleh karena tidak ada suatu masyarakat yang berhenti sama skali dalam perkembangan serta kehidupanya sepanjang masa. Di dalam proses perubahan tersebut, biasanya ada suatu kekuatan yang menjadi pelopor perubahan atau agent of change. Kita mengenal beberapa kelompok sosial sebagai agent of change, misalnya pemerintah, sekolah-sekolah, organisasi-organisasi politik, para cendekiawan, petani dan sebagainya.14

Agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, bahkan mungkin menyebabkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainya. Suatu perubahan-perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara- cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social enggineering atau social planning.15

Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib, maka perlu adanya pengenalan nilai-nilai serta norma sosial agar anggota masyarakat dapat mengenal dan memahami tatanan nilai serta norma sosial tersebut.

14 Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II) , h. 19.

(22)

16

Proses pengenalan tatanan nilai-nilai serta norma sosial berlangsung selama masyarakat masih ada, hal ini disebabkan oleh keinginan masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapatbertahan, sebab tanpa ketertiban sosial maka kehidupan sosial tidak akan bertahan lama. Tertib sosial tidak terwujud dengan sendirinya, akan tetapi tertib sosial selalu diusahakan melalui :

1. Melakukan transfer nilai-nilai dan norma sosial melalui proses sosialisasi kepada masing-masing individu warga masyarakat, sebab melalui proses sosialisasi ini nilai-nilai dan norma sosial dapat ditanamkan ke dalam keyakinan tiap-tiap individu warga masyarakat;

2. Melakukan kontrol sosial, yaitu sarana-sarana pemaksa (sanksi) yang dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan fisik atau psikis jika proses sosialisasi yang dilaksanakan tidak menghasilkan dampak ketertiban sebagaimana yang diharapkan dalam kehidupan masyarakat.16

Pengendalian sosial terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Atau, suatu sistem pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/kesebandingan.17 Kehidupan masyarakat adat khususnya di Bali dipengaruhi oleh budaya yang sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Hukum adat yang hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilai-nilai keagamaan. Hukum adat Bali yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu,

16 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2011, Sosiologi : Pemahaman Fakta dan Gejala

Permasalahan Sosial (Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, h. 153.

17 Soerjono Soekanto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), h.179.

(23)

17

selalu mengusahakan keseimbangan hidup antara Tuhan, manusia serta alam yang dikonsepsikan dalam ajaran agama hindu yang di kenal dengan ajaran Tri Hita Karana. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang dianggap mengganggu keseimbangan tersebut adalah merupakan pelanggaran hukum adat dan prajuru desa adat wajib mengambil tindakan-tindakan untuk memulihkan keseimbangan tersebut melalui penerapan hukum adat.

Dengan adanya norma-norma tersebut, di dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control. Apabila perilaku masyarakat diatur oleh hukum tertulis atau perundang-undangan (yakni keputusan-keputusan penguasa yang bersifat resmi dan tertulis, serta mengikat umum), maka diselenggarakan pengendalian sosial formal (formal social control). Artinya, norma-norma hukum tertulis tersebut berasal dari pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan dan wewenang formal. Akan tetapi, tidak jarang pengendalian sosial diselenggarakan dengan norma-norma lain (yang bukan hukum tertulis) atau upaya-upaya lain seperti, pendidikan, agama, desas-desus, dan seterusnya. Di dalam hal ini ada pengendalian sosial informal (informal social control).18

4. Konsep Budaya Hukum

Selanjutnya kultur hukum merupakan yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan

(24)

18

cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.19

Teori Lawrence M Friedman yang ketiga yakni budaya hukum menganggap bahwa sikap manusia terhadap hukum lahir melaui sistem kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya yang berkembang menjadi satu didalamnya. Kultur hukum menjadi suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.20 Kebiasaan hukum menjadi hal yang prioritas dalam masyarakat. sebab kebiasaan-kebiasaan yang hidup di masyarakat pada akhirnya membentuk sebuah norma yang membatasi suatu kelompok masyarakat tentang boleh tidaknya dilakukan sebuah perbuatan tersebut. Pada akhirnya hukum juga harus dimaknai sebagai norma yang hidup di masyarakat dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri. Budaya Hukum dari Lawrence M Friedman yaitu:21

a. Budaya hukum itu mengacu pada bagian-bagian kebudayaan secara umum (kebiasaan pendapat, bertindak dan berpikir) yang dalam cara tertentu dapat menggerakkan kekuataan sosial mendekat atau menjauh dari hukum. b. Budaya hukum adalah sikap-sikap, nilai-nilai dan pendapat masyarakat dalam berurusan dengan hukum dan sistem hukum, budaya hukum adalah sumber hukumnya.

19 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, h. 204.

20 Lawrance M friedman, 2009, Sistem Hukum, terjemahan M. Khosim, Nusa Media, Ujungberung, Bandung, h.34.

21 Derita Prapti Rahayu, 2014, Budaya Hukum Pancasila, Thafamedia, Yogyakarta, h. 50.

(25)

19

c. Budaya adalah jejaring nilai-nilai dan sikap yang berkaitan dengan hukum, yang menentukan kapan mengapa dan bagaimana masyarakat mematuhi atau menolak hukum menentukan struktur hukum apa yang digunakan dan apa alasannya dan peraturan hukum apa yang dipilih untuk diterapkan dan dikesampingkan serta apa alasannya.

Budaya hukum dalam pembahasan bagian ini digunakan untuk menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Dalam masyarakat hukum yang sederhana, kehidupan masyarakat terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih meyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis.22

Menurut Soekanto, budaya hukum merupakan budaya nonmaterial atau spiritual. Adapun inti budaya hukum sebagai budaya nonmaterial atau spiritual adalah nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang baik (sehingga harus dianut) dan apa yang buruk (sehingga harus dihindari). Nilai-nilai tersebut merupakan dasar dari etika (mengenai apa yang baik dan buruk), norma atau kaidah (yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan) dan pola prilaku manusia.23 Menurut Darmodiharjo dan Shidarta, Budaya hukum sebenarnya identik dengan pengertian kesadaran hukum, Penilaian masyarakat yang timbul secara spontan merupakan perasaan hukum,

22 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 156.

23 M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum

(26)

20

sedangkan kesadaran hukum adalah abstraksi mengenai perasaan hukum dari suatu objek hukum.24

Menurut Salman Soemodiningrat bahwa “Suatu aturan hukum hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”.25

Walaupun hukum yang dibuat itu memenuhi persyaratan yang ditentukan secara filosofis dan yuridis, tetapi kalau kesadaran hukum masyarakat tidak mempunyai respon yang baik untuk mentaati dan mematuhi peraturan hukum tidak ada, maka peraturan hukum yang dibuat itu tidak akan efektif berlakunya.26 Efektivitas suatu aturan hukum, selain berisikan norma-norma yang hidup dalam masyarakat juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kesadaran hukum masyarakat. Tujuan dari hukum adalah tercapainya keadilan, ketertiban dan kepastian. “selain kepastian hukum juga diharapkan suatu kesadaran hukum, karena kesadaran hukum terkait dengan ketaatan terhadap hukum”.27

Derajat tinggi rendahnya kepatuhan hukum terhadap hukum positif tertulis ditentukan oleh tingkat kesadaran hukum yang didasarkan pada faktor-faktor sebagai berikut :

a. Pengetahuan tentang peraturan, b. Pemahaman hukum,

c. Sikap hukum, dan

24 Ibid, h. 32.

25 H. R. Otje Salman Soemodiningrat dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum

(Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT. Refika Aditama, Bandung, h. 72.

26 Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, h. 97.

(27)

21 d. Pola perilaku hukum.28

Sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sedangkan pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.29

Setelah peraturan adat disahkan dalam hal ini adalah penetapan Awig-awig, maka masyarakat dianggap mengetahui isi dari norma yang ada dalam Awig-awig tersebut, baik perilaku yang dilarang maupun perilaku yang diperbolehkan dalam bidang parahyangan, pawongan dan palemahan, sehingga pengetahuan terhadap norma yang diatur dalam Awig-awig merupakan unsur penting dalam awal proses kesadaran hukum itu sendiri. Pemahaman hukum berkaitan dengan pengertian dari adanya norma dalam Awig-awig tersebut, baik dari segi tujuan yang ingin dicapai maupun manfaatnya bagi yang diaturnya.

5. Konsep Tri Hita Karana

Masyarakat Bali mengenal adanya konsep Tri Hita Karana yang menjadi pedoman hidup, Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang berarti kebahagiaan dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti “tiga penyebab terciptanya

28 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pres, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto IV), h. 272.

29 Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang, h. 36.

(28)

22

kebahagiaan”.30 Dalam konsep ini, sesuai hakekatnya ajaran Tri Hita Karana

bertujuan untuk menciptakan suatu keharmonisan di dalam kehidupan memiliki tiga unsur sebagai berikut :

a. Hubungan harmonis manusia dengan tuhan yang dalam hal ini diartikan dengan istilah Parahyangan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan dengan istilah bhakti.

b. Hubungan harmonis manusia dengan sesama manusia yang dalam hal ini di artikan dengan istilah Pawongan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan dengan asah, asih, dan asuh menyama braya.

c. Hubungan harmonis manusia dengan lingkungan yang dalam hal ini diartikan dengan Palemahan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan dengan istilah rungu.31

Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek di sekelilingnya. Prinsip pelaksanaanya harus seimbang, selaras antara satu

dengan yang lainya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup menghindari segala tindakan buruk. Hidupnya akan tertib, aman dan damai

(trepti, sukerta, sekala niskala). Konsep Tri Hita Karana apabila dikaitkan dengan desa pakraman perwujudanya akan dapat dilihat dari unsur-unsur pembentuk desa pakraman tersebut yang terdiri dari :

30 Wikipedia,2016,“Tri Hita Karana”,URL:https://id.wikipedia.org/wiki/Tri_Hita_Karana. diakses tanggal 26 Maret.

31 I Made Suasthawa Dharmayudha dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Hukum

(29)

23

a. Parahyangan yaitu adanya Kahyangan desa (Kahyangan Tiga yang terdiri dari: Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem dan Bale Agung) sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa.

b. Pawongan yaitu warga (penduduk) desa pakraman yang disebut krama desa sebagai suatu kesatuan hidup masyarakat desa pakraman.

c. Palemahan yaitu sebagai wilayah tempat tinggal dan tempat mencari penghidupan sebagai suatu proyeksi dari adanya bhuana yang tunduk dibawah kekuasaan hukum teritorial Bale Agung.

6. Sifat dan Asas Hukum Adat

F.D. Holleman di dalam pidato inagurasinya (pidato dalam pelantikan/pengukuhan menjadi guru besar) yang berjudul : “De Commune Trek in het Indonesische Rechtsleven” (“Corak kegotong-royongan di dalam kehidupan hukum Indonesia”), menyimpulkan adanya/4 sifat umum Hukum Adat Indonesia, yakni :

1. Sifat religio-magis (magisch-religieus); 2. Sifat komun (commuun);

3. Sifat kontant (tunai); 4. Sifat konkrit (visual).32

Hukum adat memiliki sifat religio-magis, artinya hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme yaitu kepercayaan terhadap hal-hal gaib, kepercayaan terhadap roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang, seperti halnya di Bali. Adat Bali sangat berkaitan dengan

(30)

24

spiritualisme yang mengusahakan keseimbangan-keseimbangan kehidupan baik jasmani maupun rohani. Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia , tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib, yang harus di pelihara agar supaya masyarakat itu tetap bahagia.33

Sifat komunal bisa dilihat dari pola masyarakat yang lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri, kebiasaan masyarakat dalam hal gotong-royong serta tolong-menolong. Hak-hak subyektif atau perorangan atas harta benda adalah berfungsi sosial, yakni dengan tidak menggunakan kehendaknya sendiri, melainkan harus memikirkan kepentingan antar sesama golongan yang bersangkutan dan berkepentingan.

Sifat yang ketiga adalah sifat kontan atau tunai yang terdapat pada hukum adat pada umumnya. Sifat tunai itu mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat.34 Yang dapat diartikan juga dengan prestasi dan kontra prestasi dilakukan bersamaan pada saat itu juga.

Hukum adat juga mengandung sifat konkrit atau visual, kalau mengadakan perbuatan hukum itu selalu konkrit atau nyata. Sebagai contoh dalam perjanjian jual beli, si pembeli menyerahkan uang atau uang panjer, tentunya senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan,

33 R Soepomo,1977, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h.72. 34 Iman Sudiyat, op.cit, h. 37.

(31)

25

diinginkan, dikehendaki, atau akan dikerjakan ditransformasikan atau diberi wujud suatu benda yang kelihatan, baik langsung maupun hanya menyerupai objek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis).

Berlakunya suatu peraturan hukum adat, tampak dalam penetapan (putusan-putusan) petugas hukum, misalnya putusan kepala adat, putusan hakim perdamaian desa, dan sebagainya sesuai dengan lapangan kopetensinya masing-masing. Didalam pengambilan keputusan, para pemberi keputusan berpedoman pada nilai-nilai universal yang dipakai oleh para tetua adat, yaitu: a. Asas gotong royong,

b. Fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat,

c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum (musyawarah), d. Asas perwakilan dan permusyawaratan.35

Pencerminan daripada asas-asas itulah yang memberikan corak-corak khas dalam kehidupan tradisional di desa-desa dan lain-lain masyarakat kesatuan hukum. Pencerminan dimaksud dalam kehidupan sehari-hari nampak sebagai berikut :

a. Asas gotong-royong jelas nampak dengan adanya kebiasaan untuk kerja “gugur gunung” (bersama-sama) dalam membangun dan memelihara, misalnya : saluran-saluran air guna mengairi sawah-sawahnya, mesjid desa, tanggul yang melindungi desa dari bahaya banjir, jalan-jalan desa, dan lain sebagainya.

35 Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.134.

(32)

26

b. Asas fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat dicerminkan juga dalam kebiasaan “gugur gunung” dimaksud di atas (fungsi sosial manusia), sedangkan fungsi sosial milik nampak juga dalam kebiasaan si pemilik mengizinkan warga-warga sedesanya pasa waktu dan keadaan tertentu menggunakan pula miliknya.

c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum nampak dalam pelaksanaan pamong desa, di mana sudah menjadi kebiasaan bahwa kepala desa dalam mengambil keputusan yang penting yang menyangkut kepentingan kehidupan desanya, selalu lebih dahulu membicarakan masalahnya dalam balai desa untuk mendapatkan permufakatan.

d. Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan penuangannya dalam kehidupan sehari-hari di desa berwujud dalam lembaga Balai Desa dimaksud di atas.

7. Asas Rukun, Patut, dan Laras

Dalam pelaksanaanya, tidak dapat dipungkiri bahwa awig-awig desa pakraman itu dilanggar oleh warga desa pakraman itu sendiri. Oleh karena itu pelanggaran awig-awig tersebut akan dikenai sanksi yang dikenal dengan istilah pamidanda sesuai dengan adat istiadat desa pakraman. Bentuk pamidanda ini bervariasi, mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Secara garis besar bentuk pamidanda tersebut ada tiga golongan, yang lazim disebut tri danda, yaitu artha danda, jiwa danda, dan sangaskara danda. Bentuk bentuk sanksi adat yang termasuk dalam tri danda tersebut adalah sebagai berikut.

(33)

27

a. Yang termasuk artha danda diantaranya berupa dedosan, denda materi serta kelipatan-kelipatanya (panikel), penggantian materi terhadap kewajiban-kewajiban, sampai karampag, yaitu penyitaan harta seseorang untuk memenuhi kewajiban adatnya.

b. Yang meliputi jiwa danda diantaranya ngaksama (minta maaf), kasepekang/kepuikin (dikucilkan,tidak diladeni dalam suka duka), kanorayang (diberhentikan/dipecat), hingga katundung (diusir);

c. Yang termasuk sangaskara danda diantaranya mengadakan prayascita (penyucian), pecaruan, dan sejenisnya.36

Upaya menyelesaikan sengketa adat adalah dengan pendekatan melalui asas-asas dalam hukum adat seperti yang dikutip oleh I Nyoman Sirtha yaitu sebagai berikut :

a. Asas rukun

Asas kerukunan merupakan suatu asas yang berhubungan erat dengan pandangan hidup dan sikap seseorang dalam menghadapi hidup bersama di dalam suatu lingkungan dengan sesamanya untuk mencapai masyarakat yang aman, tenteram, dan sejahtera. Penerapan asas rukun dalam penyelesaian pelanggaran adat dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan kehidupan seperti keadaan semula, status dan kehormatannya, serta terwujudnya hubungan yang harmonis sesama krama desa;

36 I Wayan Koti Cantika, 2010, “Tatacara Penerapan Pamidanda” dalam Wicara lan

Pamidanda, Editor: I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata, Udayana University Press,

(34)

28 b. Asas patut

Patut adalah pengertian yang menunjuk kepada alam kesusilaan dan akal sehat, yang ditujukan kepada penilaian atas suatu kejadian sebagai perbuatan manusia maupun keadaan. Ajaran kepatutan menekankan perhatian pada penemuan kualitas dan status para pihak, agar dapat diselamatkan nama baiknya setelah terjadinya pelanggaran adat. Pendekatan asas patut dimaksudkan agar penyelesaian konflik adat dapat menjaga nama baik pihak masing-masing;

c. Asas laras

Asas laras dalam hukum adat digunakan dalam menyelesaikan sengketa adat yang konkret dengan bijaksana, sehingga para pihak yang bersangkutan dan masyarakat adat merasa puas. Ajaran keselarasan mengandung anjuran untuk memperhatikan kenyataan dan perasaan yang hidup dalam masyarakat, yang telah tertanam menjadi tradisi secara turun temurun.37

Adapun mengenai kelembagaan dalam penyelesaian perkara adat (kasus adat murni), telah diatur mengenai pihak-pihak yang berkompeten atas kejadian perkara guna menanganinya. Acara ini ada yang sifatnya langsung ditangani oleh prajuru selaku Kertha Desa dan ada juga berdasarkan laporan-laporan dari para pihak yang merasa dirugikan. Dalam penanganan oleh prajuru ini, si prajuru selaku kertha desa mestinya mengadakan sidang tertutup dengan memanggil pihak-pihak untuk diminta alat-alat buktinya

37 I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Udayana University Press, Denpasar, h. 78.

(35)

29

(lekita, saksi, bukti) kemudian dipertimbangkan dengan asas rukun (ruang musuhin), laras (dicari benar salahnya) dan patut ( sampai memperoleh kepatutan yang disebut pematut). Andaikan upaya ini telah ditempuh namun belum juga disepakati oleh pihak-pihak, utamanya yang melanggar maka ditingkatkan kepada sidang yang terbuka melalui sangkepan/paruman dengan harapan menelorkan pemuput dalam bentuk pararem. Setelah melalui persidangan terhadap wicara sebagaimana tersebut di atas, maka dijatuhkanlah pamidanda yang bentuknya disesuaikan dengan perkaranya, pakah berupa artha danda, jiwa danda, ataukah sangaskara danda.38

1.8 Metode Penelitian

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis.39

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum empiris. Penelitian hukum sosologis/empiris menurut Soerjono Soekanto meliputi penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum.40Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk

38 I Wayan Koti Cantika, 2010, op.cit, h. 105.

39 Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, h. 44.

40 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto V), h. 51.

(36)

30

melihat hukum dalam arti nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat.

b. Jenis Pendekatan

Didalam penelitian ini menggunakan pendekatan pendekatan fakta (The Fact Approach), yaitu pendekatan masalah yang disasarkan pada fakta-fakta yang terjadi dilapangan yang ada kaitanya dengan permasalahan yang di bahas. Adapun fakta yang ditemukan adalah larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi yang dituangkan dalam awig-awig Desa Pakraman Kayubihi. Mengingat banyaknya kasus perburuan liar yang menyebabkan tidak seimbangnya ekosistem, maka perlu disadari bahwa peran-peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam upaya perlestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

c. Sifat Penelitian

Penelitian Hukum empiris menurut sifatnya dibedakan menjadi penelitian eksploratif, deskriptif, eksplanatoris, dan verifikatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan gejala dengan gejala lain dalam suatu masyarakat yang dalam penelitian ini sungguh erat kaitanya dengan keberadaan Hukum Adat yang hidup dan berkembang di lingkungan Masyarakat.

(37)

31 d. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama dilapangan baik responden maupun informan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum.41Bahan hukum terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.42

Bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi: a) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

dalam penelitian ini terdiri dari perundang-undangan yaitu:

- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

- Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

- Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru

41 Bambang Sunggono, op.cit. h.44. 42 Bambang Sunggono, loc.cit..

(38)

32

- Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

- Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 18 Tahun 2010 tentang Surat Izin Berburu dan Tata Cara Permohonan Surat Izin Berburu

- Peraturan Menteri kehutanan Nomor 69 Tahun 2014 tentang Penetapan Musim Berburu Satwa Buru.

- Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman b) Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan hukum. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan perundang-undangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. e. Teknik Pengumpulan Data

Dalam tehnik pengumpulan data, pengambilan data primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau petugas-petugasnya ) dari sumber pertamanya. Disamping data primer terdapat data sekunder yang seringkali diperlukan oleh peneliti. Data sekunder itu biasanya tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen, misalnya data mengenai keadaan demografis suatu daerah, data mengenai produktivitas suatu perguruan tinggi, data mengenai

(39)

33

persediaan pangan di suatu daerah, dan sebagainya.43 Sesuai dengan jenis data yang dicari, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :

1. Data lapangan diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan informan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, seperti wawancara baik dengan tokoh-tokoh masyarakat maupun prajuru adat. Wawancara dilakukan dengan pedoman wawancara yang disusun sedemikian rupa bertujuan untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan permasalahan yang diteliti (terstruktur). Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu, dan tujuan ini dapat bermacam-macam, antara lain untuk diagnose dan treatment seperti yang biasa dilakukan oleh dokter, atau untuk keperluan mendapat berita seperti yang dilakukan wartawan dan untuk melakukan penelitian dan lain-lain.44 Isi/materi wawancara pada dasarnya sudah tersurat dalam pedoman wawancara (interview guide) yang dibawa oleh pewawancara.45

2. Study dokumentasi yaitu dengan meneliti bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan topik masalah yang dibahas ini seperti buku-buku, laporan penelitian, awig-awig maupun perarem Desa Pakraman Kayubihi. f. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Teknik pengolahan dan analisa data dalam skripsi ini dilakukan dengan cara analisis kualitatif, maka keseluruhan data yang terkumpul baik

43 Sumadi Suryabrata, 2004, Metodologi Penelitian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 39.

44 Burhan Ashshofa, 2007, Metode penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 95. 45 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 62.

(40)

34

dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan di analisis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang lainya, dilakukan inteprestasi untuk mengetahui makna dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.

Gambar

Tabel 1.1. Orisinalitas Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis data dari pengujian hipotesis yang dilakukan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah: 1) Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara

•  Kebenaran PDRM adalah diperlukan bagi pembeli/pemilik rumah sekiranya merentas daerah atau negeri ke syarikat pemaju/agen atau galeri jualan bagi maksud

Abstrak.Air susu ibu adalah makanan terbaik bagi bayi baru lahir.Banyak penelitian yang membuktikan bahwa Air Susu Ibu merupakan makanan terbaik dan utama bagi bayi karena di

Tetapi adsorben zeolit alam perlakuan aktivasi kimia dan fisik mempunyai daya serap gas karbonmonoksida yang lebih rendah daripada adsorben zeolit alam tanpa aktivasi.. Hal

Setelah pelaksanaan Pelatihan Produksi dan Usaha Cookies Berbahan Baku Lokal Sebagai Alteratif Usaha Bagi Mantan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Desa Sindangsari Kecamatan

Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah , menguraikan penjelasannya mengenai upah yakni “suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha

Perusahaan merupakan suatu unit kegiatan produksi yang mengelola sumber- sumber ekonomi untuk menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat dengan tujuan untuk

Dan dari 23 pasien (100%) seluruhnya menyatakan citra pelayanan tidak baik dan tidak mempunyai minat dalam menggunakan jasa pelayanan. Citra pelayanan dipengaruhi