• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSPANSI POLITIK KERAJAAN GOWA-TALLO TERHADAP KERAJAAN BIMA ABAD XVII. Muhammad Saleh Madjid Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSPANSI POLITIK KERAJAAN GOWA-TALLO TERHADAP KERAJAAN BIMA ABAD XVII. Muhammad Saleh Madjid Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

EKSPANSI POLITIK KERAJAAN GOWA-TALLO TERHADAP

KERAJAAN BIMA ABAD XVII

Muhammad Saleh Madjid

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Abstrak: Ekspansi Kerajaan Gowa-Tallo terhadap Kerajaan Bima pada abad ke-XVII bermula dari upaya perluasan wilayah kekuasaan dalam rangkaian kegiatan perdagangan maritim di kawasan timur Nusantara. Dalam perkembangannya, upaya itu disertai juga dengan penyebaran syiar Islam. Ekspansi tersebut bertepatan pula dengan terjadinya konflik internal di Kerajaan Bima. Pada abad ini pula, upaya progresif VOC semakin meluas dan meliputi juga daerah Bima. Hal itu berimplikasi terhadap konstelasi politik maritim di Kerajaan Bima dan kawasan timur Nusantara pada umumnya.

Kata Kunci: Ekspansi Politik dan Islamisasi

PENDAHULUAN

Sejarah ekspansi kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan Bima yang diuraikan dalam tulisan ini mencoba mengungkapkan pelbagai hal yang terjadi pada abad ke-17, kaitannya dengan ekspansi politik kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan Bima. Dalam proses ini termasuk pula rangkaian pengislaman (Islamisasi). Oleh sebab itu, kedua aspek tersebut (ekspansi politik dan islamisasi) dapat dijumpai ketika hendak mengkaji sejarah Bima. Kendatipun demikian, secara khusus fokus tulisan ini pada aspek ekspansi politik, namun kehadiran islamisasi sebagai bagian integral tetap mendapat perhatian pada tahap tertentu di mana keduanya memiliki korelasi dalam ruang sejarah Bima.

Sejarah Gowa-Tallo pada abad ke-17, sebagaimana dikemukakan Anthony Reid (1999), telah mencapai kemajuan yang sangat gemilang dalam sejarah Indonesia, khususnya jaringan perdagangan maritim. Aspek kemaritiman dalam konteks ini sangat penting, tidak hanya dalam lingkup perkembangan sejarah Gowa-Tallo, tetapi juga pengaruhnya terhadap daerah lain, antara lain Bima, berkaitan dengan perkembangan sosial dan politik pada abad ini.

Masuknya Islam di kerajaan Gowa pada abad ke-17 mempengaruhi pula jalannya ekspansi politiknya ke daerah lain. Di bawah kuasa politik Sultan Alauddin (raja Gowa yang pertama memeluk Islam) upaya ekspansi politik berjalan seirama dengan pengislaman, sebagaimana ditegaskan Leodard Andaya (2004), terdapat sebuah keyakinan bahwa menyebarkan Islam merupakan suatu kewajiban. Menurutnya, penaklukan wilayah (daerah lain) dilakukan untuk mewujudkan komitmen terhadap keyakinan itu. Dalam kerangka ini, kerajaan Bima termasuk daerah yang terintegrasi dalam wilayah ekspansi politik kerajaan Gowa-Tallo.

(2)

2

PEMBAHASAN

1. Keadaan Politik Bima Masa Pra-Islam.

Pada akhir abad XVI, setelah Raja Ma Wa’a Ndapa mangkat, terjadi konflik berkerpanjangan di kalangan keluarga istana. Konflik ini berlanjut hingga awal abad XVII. Ketika masa pemerintahan Raja Ma Wa’a Ndapa, Kerajaan Bima berhasil mencapai puncak kejayaan serta mampu menjadikannya sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi oleh para sudagar, baik dari dalam maupun dari luar Bima. Kejayaan Kerajaan Bima berlanjut sampai pada masa pemerintahan Raja Ma Ntau Asi Sawo. Pada masa ini hubungan dengan daerah-daerah luar diperluas. Pada masa ini juga diadakan hubungan kerja sama Kerajaan Gowa-Tallo serta Kerajaan-kerajaan lainnya di bagian barat Nusantara.

Setelah wafatnya Raja Ma Wa’a Ndapa, terjadi konflik politik dalam Kerajaan Bima. Raja Salisi (Ma Ntau Asi Peka) bersama saudaranya, Rato Bumi Jara Sanggar (putra dari Ruma Ma Wa’a Ndapa dari selirnya), berambisi untuk menjadi raja. Dalam konteks itu, Salisi melakukan teror terhadap kedua putra mahkota dari Raja Ruma Ta Ma Ntau Asi Sawo. Berhubung mereka belum memasuki usia dewasa, maka Tureli Nggampo Manuru Salisi mengangkat dirinya menjadi Raja Bima.

Meskipun langkahnya jelas melanggar ketentuan adat, Raja Salisi tidak menghiraukannya. Bahkan, secara diam-diam Salisi mengatur siasat untuk melenyapkan keponakannya (putra mahkota). Ia memerintahkan kepada Bumi Luma Rasa Na’e untuk menyiapkan acara perburuan di Padang Rumput Mpori Wera. Dalam kegiatan itu, Salisi bersama keponakannya serta diiringi pejabat Hadat dan Hulu Balang akan melakukan perburuan. Ketika kegiatan perburuhan berlangsung, Salisi memerintahkan membakar sekeliling padang rumput Mpori Wera. Kedua putera mahkota beserta pengawalnya tidak sempat untuk menyelamatkan diri dan akhirnya meninggal dunia (Tayeb,1995:107-108).

Salisi juga menyiasati masyarakat dan tokoh Ncuhi yaitu Ncuhi Dara dan Ncuhi Padolo. Di hadapan rakyat, Salisi menyampaikan berita bahwa kedua Ncuhi tersebut mendukungnya untuk menjadi raja menggantikan Raja Ruma Ta Mantau Asi Sawo. Meskipun demikian upaya itu tidak berhasil menarik simpati dan dukungan rakyat. Upaya selanjutnya ialah Salisi mencoba memalingkan perhatiannya untuk bekerjasama dengan Belanda, yang dikukuhkan dalam suatu kontrak politik secara lisan pada tahun 1605 di Ncake (Desa Cenggu). Dalam kontrak itu, pihak Belanda diwakili oleh Stephen Van Hegen (Ismail,2004:56-57).

Upaya sistematis terus dilakukan oleh Salisi. Kali ini, ia memulai upayanya untuk menyingkirkan Jena Teke La Kai dari istana. Ada alasan penting sehingga La Kai menjadi sasaran pengingkirannya. Menurut ketentuan Hadat, setelah meninggalnya Jena Teke Ma Mbora di Mpori Wera, maka yang berhak menggantikannya ialah La Kai. Akan tetapi usahanya gagal karena La Kai meninggalkan istana bersama La Mbila, Bumi Jara Mbojo, dan Manuru Bata atas nasihat dari Rato Waro Bewi. La Kai menyelamatkan diri menuju ke Desa Teke, kemudian ke Desa Kalodu (Loir, 1999:65-66).

(3)

Bersama dengan ketiga pengikutnya, La Kai kemudian menuju Pelabuhan Sape, mendatangi pedagang dari Luwu dan menyatakan diri untuk masuk Islam. Pada saat itu di Pelabuhan Sape sudah berdatangan para padagang dari Luwu, Tallo, Bone untuk berdagang beserta dengan saudara dari Daeng Mangali di Bugis Sape (Ismail,2004:51). Dalam perjalanan inilah, La Kai akhirnya memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Abdul Kahir, diikuti para pengikutnya yakni: Bumi Jara Mbojo Sape menjadi Awaluddin, Manuru Bata menjadi Sirajuddin, dan La Mbila menjadi Jalaluddin (Tayeb,1995:111).

Ketika La Kai bersama pengikutnya masih di Pelabuhan Sape, para pejabat hadat terutama Bumi Jara Sape bersama Bumi Paroko serta kelompok lainnya yang menentang usaha Raja Salisi, berencana hendak menobatkan La Kai sebagai Jena Teke. Rencana tersebut akhirnya dapat dilaksakan, antara lain berkat bantuan militer dari raja Gowa. Sejak saat itu rangkaian usaha yang telah dilakukan Raja Salisi terputus (gagal), dan kerja sama (hubungan diplomatik) antara Bima dengan Gowa pun tercapai yang selanjutnya banyak mewarnai dinamika internal kerajaan Bima.

2. Ekspansi dan Islamisasi

Persoalan Islamisasi di Bima tidak dapat dipahami secara parsial dengan daerah lainnya di Nusantara. Sebab peristiwa itu sudah merupakan fenomena global yang berlangsung pada abad XVII. Hal ini menurut Azra (2002) hendaknya dipahami dalam kerangkal lokal dan global Islamisasi, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh dan koneksi yang terbangun dalam kerangka itu. Pada tataran ini penting dikemukakan konteks dan dinamika politik yang terjadi, dalam hal ini berkaitan dengan upaya ekspansi politik kerajaan kembar, Gowa Tallo, pada abad XVII.

Pada masa pemerintahan Karaeng Matoayya dan Daeng Manrabia, Kerajaan kembar Gowa-Tallo menerapkan kebijakan mare’ liberium dan dicetuskannya semangat Bundu’ Kassallanga (semangat perang Islam). Kebijakan mare liberium erat kaitannya dengan perluasan wilayah niaga dan menciptakan daya tarik bagi para saudagar untuk melakukan kegiatan perdagangan maritim di wilayah kuasa Kerajaan Gowa-Tallo.

Awal abad XVII merupakan momen paling penting dalam perkembangan hubungan antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan Kerajaan Bima. Pada saat itu Kerajaan Gowa-Tallo mengambil peran sebagai pusat perdagangan di kawasan timur Nusantara. Posisi Makassar dalam hal ini tampil sebagai Pelabuhan transito (Poelinggomang, 2004) terutama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Perubahan tersebut dijelaskan pula oleh Sartono Kartodirjo, bahwa perkembangan Makassar sangat ditentukan oleh dua faktor. Pertama, perdamaian dan keamanan yang ada di Sulawesi Selatan di bawah hegemoni Gowa-Tallo, sehingga memungkinkan aktivitas perdagangan di Makassar dan sebaliknya, para pedagang Internasional tertarik ke sana membawa banyak kekayaan. Kedua, kedudukannya sebagai pelabuhan transito sangat tergantung pada aliran rempah-rempah dari Maluku, Seram, Ambon dan pada produksi beras serta bahan makanan lainnya yang dibutuhkan sebagai bekal dalam pelayaran (Kartodirjo, 1993:88).

(4)

4

Kerajaan Gowa-Tallo dibawah pemerintahan Raja Gowa-Tallo XIV, Karaeng Matoaya, atau lebih dikenal dengan Sultan Alauddin, yang memerintah pada tahun 1593-1639, dan kemudian digantikan Sultan Malikussaid (ayah Sultan Hasanuddin), mencapai zaman keemasan. Kekuasaanya hampir meliputi seluruh kawasan timur Nusantara. Pada masa itu juga, agama Islam telah menjadi agama resmi kerajaan. Dengan demikian hubungan antara ekspansi politik dengan Islamisasi sangat penting dalam memahami konteks dan dinamika yang berangsung di kawasan timur, khususnya upaya kerajaan Gowa-Tallo dalam ekspansi politik ke Kerajaan Bima pada abad XVII.

Peranan Makassar sebagai pusat perdagangan dan bandar niaga menjadi lebih besar, terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan beras. Pelabuhan Makassar, tidak hanya disinggahi kapal-kapal dan para pedagang dari Nusantara, tetapi juga berasal dari Cina dan Eropa. Sejalan dengan itu, abad ke 17 merupakan saat di mana Kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Utara Pulau Jawa mengalami keruntuhan satu persatu. Keadaan itu merupakan kesempatan dan peluang yang besar bagi Kerajaan Gowa untuk mengembangkan diri menjadi pusat penyiaran agama Islam dan pusat perdagangan di kawasan timur Nusantara.

Seiring dengan perkembangan Makassar sebagai pusat perdagangan, maka upaya ekspansi pun semakin berkembang dalam rangka perluasan daerah penghasil bahan pangan dalam aktivitas niaga. Menurut Tayeb (1982:23), setelah berkembang menjadi pusat perdagangan internasional di kawasan timur Nusantara, Makassar tidak dapat memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat dalam perdagangan. Oleh sebab itu, maka Kerajaan Gowa mulai mengadakan pengangkutan beras dari Jawa yakni dari Tuban, Jepara, dan Gresik. Pembelian beras dari Jawa juga belum mencukupi permintaan dan pula tergantung pada musim dan pelayaran juga. Oleh sebab itu, Makassar mulai mencari daerah beras yang dekat dan mudah dikuasai.

Hal tersebut di atas adalah salah satu bagi Kerajaan Gowa-Tallo memperluas daerah kekuasaannya menuju ke selatan yang akan dijadikan sebagai gudang cadangan beras bagi Makassar. Kegiatan penyiaran Agama Islam juga dilakukan seiring dengan perluasan daerah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo (dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Makassar). Penyiaran Islam tidak hanya dilakukan di wilayah Sulawesi, tetapi juga kegiatannya diarahkan ke daerah yang dikuasainya, termasuk dalam hal ini Kerajaan Bima.

Ketika Kerajaan Bima pada permulan abad XVII menerima pengaruh Islam dari Kerajaan Gowa-Tallo, keadaan politik dalam kerajaan sedang dilanda kemelut berupa perebutan kekuasaan antara Raja Salisi dengan La Kai. Kondisi ini menyebabkan perkembangan politik tidak menentu. Selama berlangsungnya kemelut itu, La Kai bersama para pengikutnya kemudian memeluk agama Islam. Mereka inilah yang kemudian melakukan usaha penyebaran Islam di Bima (Madjid, 2006)

Perebutan kekuasaan yang terjadi dalam Kerajaan Bima terdengar oleh Raja Gowa yang merupakan kerajaan sekutu yang telah lama menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Bima, sejak sebelum keduanya memeluk agama Islam. Dalam konteks hubungan diplomatik, maka kerajaan Gowa-Tallo merasa perlu membantu dalam mengatasi kemelut yang melanda kerajaan sekutunya. Raja Salisi yang dianggap

(5)

tidak sejalan dengan sistem pergantian kekuasaan di Kerajaan Bima dan kurang mendapat dukungan dari rakyat, menjadi lawan politik La Kai yang ketika itu telah menjalin hubungan langsung (melalui pengislamannya) dan mendapat dukungan dari Kerajaan Gowa-Tallo. Dengan demikian Kerajaan Gowa-Tallo terlibat lagsung dalam kemelut politik dan pergantian kekuasaan.

a. Ekspansi I (1616)

Ekspansi Kerajaan Gowa terhadap Kerajaan Bima terkait dengan perluasan syiar Islam. Dalam BO peristiwa ini disebut ekpedisi yang pertama tahun 1616. Pembesar Kerajaan Gowa mengirimkan utusannya melalui jalur perdagangan untuk menyebarkan agama Islam di Bima. Pasukan yang dikirm merupakan orang-orang Islam yang menyertai Lo’mo Mandalle di dalam menyampaikan agama Islam pada Raja Bima, yang pada saat itu dibawah pemerintahan Raja Salisi Ma Ntau Asi Peka. Atas permintaan putra mahkota, La Kai mengajukan permohonan bantuan militer kepada Raja Gowa untuk menumbangkan Raja Salisi, melalui perantaraan

pedagang-pedagang dari luwu, Gowa, Bone, dan Tallo. Misi pertama ini tidak berhasil oleh karena ketika pasukan Kerajaan Gowa

berada di perairan bandar Bima maka segenap rakyat Bima lari masuk ke hutan dan bersembunyi, kemudian pasukan berangkat menuju ke Sape dan mengislamkan La Kai beserta dengan tiga orang pengikutnya serta orang-orang tua di pesisir Sape kemudian mereka kembali ke Gowa.

Di dalam catatan harian Raja-raja Gowa-Tallo disebutkan, bahwa penyerbuan pasukan Gowa adalah untuk memperkuat kedudukan pengaruh Kerajaan Gowa ke bagian timur Nusantara. Atas dasar itu, kemudian Kerajaan Bima dikuasai pada tahun 1616 oleh Lo’mo Mandalle seorang panglima armada perang Kerajaan Gowa (Mattulada,1982:52). Hal ini adalah dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan Kerajaan Gowa yang mulai mendapat pengaruh dan campur tangan dari pihak VOC. Dalam keterangan lain disebutkan, bahwa di dalam bulan April 1616, Hulubalang Kerajaan Gowa, Lomo Mandalle mengepalai sebuah angkatan perang menyeberang ke Bima dan selanjutnya menaklukkan negeri itu. Dalam penyerbuan ini Lo’mo Mandalle dikawal oleh sembilan kapal perang (Rasyid,1991:43).

b. Ekspansi II (1618)

Berbeda dengan perkembangan agama Hindu yang membutuhkan waktu yang lama dalam proses perkembangannya, perkembangan syiar Islam di Kerajaan Bima berlangsung dengan cepat, intensif, dan menjadi faktor penentu terjadinya perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat di Kerajaan Bima. Termasuk sistem/struktur pemerintahan. Kekuatan adat yang kukuh membentengi diri dan pengaruh Hindu yang terlalu jauh, justru lunak dan cocok menerima Islam dengan konsekwensi terjadinya perubahan-perubahan serta penyesuaian secara fundamental sesuai dengan tuntutan atau prinsip Islam.

Dalam catatan harian Raja-raja Gowa-Tallo, Lontarak Bilang, disebutkan bahwa pada 18 Agustus 1618 M bertepatan dengan 26 Zulkaidah 1037 H, Karaeng Marowangin yang menjabat Tumailalang Kerajaan Gowa berangkat ke Bima.

(6)

6

Sebelumnya, Kerajaan Gowa mengadakan konsolidasi kekuatan, sehingga pada tahun 1618 berhasil menduduki Kerajaan Bima. Kemudian pada tahun 1619 Raja Gowa XIV menjadikan kerajaan Bima sebagai bagian dari Kerajaan Gowa, bersama dengan daerah-daerah lainnya yang ada di Sumbawa seperti Tambora, Dompu, Sanggar (Patunru,1969:24).

Dengan demikian, ekspansi (dalam BO disebut ekspedisi) yang yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo bertujuan untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dan sekaligus menyebarluaskan Islam. Dengan berhasilnya ekpedisi itu, maka kerajaan Bima secara institusi (politik) menjadi salah satu kerajaan bercorak Islam di Kepulauan Nusa Tenggara. Pada tahun 1621, La Kai bersama para pejabat kerajaan Bima memeluk agama Islam (Loir, 1999: xvii).

Integritas kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa-Tallo dalam hal proses Islamisasi merupakan awal bagi kerajaan Bima dalam proses modernisasi di bawah naungan Islam, karena seluruh aspek kehidupan dalam kerajan di transformasikan ke dalam tata laksana kehidupan internal kerajaan Bima. Pada ekspansi yang ke-2 ini Karaeng Marowangin didampingi langsung Karaeng Tu Mamaliyang Ri Timoro dan Sultan Alauddin. Setelah berhasil ditaklukan, kerajaan Bima dijadikan sebagai “budak“ Makassar dengan kewajiban membayar upeti setiap tahun (Toda,1986:102).

Di dalam naskah Makassar hubungan kerajaan Gowa dengan kerajaan Bima dicatat sebagai hubungan antara tuan dan hamba. Hubungan tersebut memperoleh warna dan fase baru, takkala turun perintah raja Gowa-Tallo yaitu Sultan Alauddin (Daeng Manrabia) kepada Sultan Abdul Kahir (La Kai) untuk mengawini ipar raja yaitu puteri dari Daeng Mellu bernama Daeng Sikontu, seorang karaeng dari Kassuarang yang terletak di dekat Sanrobone. Perintah kawin itu disambut oleh Sultan Abdul Kahir dengan jawaban merendah dan rasa hormat kepada Sultan Alauddin dengan mengatakan makkala basung ( saya tidak pantas, takut mendapat kualat sakit bussung) karena berani menikahi ipar sang raja, pernyataan Sultan Abdul Kahir itu kemudian dijawab oleh Sultan Alauddin dengan jawaban Inakke assuroko ( sayalah yang memerintah kamu) (Toda,1986:86).

Dimensi psikologis tersebut menyiratkan ritus promosi penyamaan tingkat raja di atas diri Abdul Kahir, ditinggikan statusnya dari hubungan antara tuan dan hamba menjadi setingkat saudara dengan raja Gowa-Tallo. Hal itu dibuktikan dengan adanya kepercayaan yang diberikan oleh Sultan Alauddin kepada Sultan Abdul Kahir menjadi panglima perang membantu ekspansi kerajaan Gowa dalam melawan VOC di perairan Buton sehingga setelah meninggal Sultan Abdul Kahir di berikan gelar Mambora Di Buton (Loir, 1999: xviii). Serta membendung Kolonialisme dan Imperialisme yang sedang mengarah kepada monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC.

Jiwa merdeka, persaman dan persaudaran yang d miliki oleh kerajaan Gowa-Tallo dijadikan sebagai sendi pengembangan masyarakat dan penyusunan serta pengaturan kehidupan politik, sehingga pada saat penyebaran dan pengembangan agama Islam yang dilakukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo maka pengaruh kekuasaan Bangsa Portugis mulai melemah dan kemudian pada akhirnya digantikan oleh Belanda (Mattulada,1982:52). Dengan demikian, usaha yang diambil oleh Kerajaan Gowa-Tallo

(7)

yaitu penaklukan Kerajaan Bima merupakan usaha untuk menghadapi perang hebat dengan VOC, dengan cara memperkokoh pengaruh dan kekuasaan keluar Sulawesi sekaligus juga untuk mengembangkan dan menyebarluaskan agama Islam (Ilham,2001:42).

Bersamaan dengan usaha Belanda untuk menaklukan kerajaan-kerajaan di Nusantara, Kerajaan Gowa-Tallo pun berupaya mempertahankan mata rantai kehormatan, kemerdekaan, persamaan, dan persaudaran di atas perairan Nusantara. Gelombang penolakan dan pertikaian antara kerajaan-kerajaan Islam di kawasan timur Nusantara tidak terlepas dari gelombang penolakan yang terjadi pada kerajaan Gowa-Tallo yang merupakan kunci dan pintu perdagangan di kawasan timur Nusantara (Poelinggomang,2004).

Ketika terjadi konflik antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan VOC, sebagai akibat dari pertentangan itu, maka timbul peperangan di wilayah perdagangan dan pelayaran yang berbeda dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo. Posisi dan peranan dari Kerajaan Gowa-Tallo dengan bandar niaga Makassar tidak hanya berperan dari aspek ekonomi, tetapi juga meliputi aspek politik, sosial, dan budaya. Dari aspek politik, menunjukkan kemampuan pemerintahan Kerajaan Gowa dengan segala taktiknya serta berwibawa dalam menjaga stabilitas keamanan di wilayahnya, serta mampu membuat perkembangan dari berbagai sektor kehidupan, pembuatan perahu, dan perdagangan (Abduh,1982:27).

Meskipun Kerajaan Gowa-Tallo secara prinsip bukanlah organisasi ekonomi, namun dengan menguasai seluruh kegiatan ekonomi yang berpusat pada sektor maritim merupakan bagian dari usaha untuk meraih kekuasaan yang lebih penting dari ekonomi yaitu kekuatan politik yang tangguh, jika pengaturan politik telah tercapai yaitu menyangkut kedudukan sebuah kerajaan besar terhadap kerajaan kecil lainnya, maka segala sesuatu hal termasuk seluruh pengaturan ekonomi akan disesuaikan dengan kedudukan politik yang dianut oleh Kerajaan Gowa-Tallo (Andaya,2004:58-59). Hal inilah yang melahirkan pemikiran merkantilisme di Makassar (Poelinggomang, 2004).

Motivasi ekonomi dan kekuasaan dalam aktivitas niaga inilah yang menyebabkan bangsa-bangsa di Eropa seperti Portugis, Belanda, dan Inggris, berkeinginan untuk memperluas daerah kekuasaannya di seberang lautan. Dalam konteks itu, maka penguasaan atas Kerajaan Gowa-Tallo yang menjadi pengendali politik perdagangan maritim di kawasan timur menjadi sasaran utama dan strategis untuk dikuasai, termasuk pula dalam hal ini Kerajaan Bima oleh Kerajaan Gowa-Tallo guna memenuhi permintaan komoditi dalam aktivitas niaga (Abduh,1982:27).

Posisi strategis dan perannya dalam mempertahan eksistensi politik di tengah ancaman kekuatan lain yang hendak menguasai jaringan dan wilayah perdagangan di kawasan timur, menyebabkan Kerajaan Gowa-Tallo menata diri dan juga melakukan bebagai upaya untuk meluaskan wilayah kekuasaannya. Ekspansi politik ke daerah seberang, khsusunya ke Kerajaan Bima merupakan suatu upaya mempertahankan eksistensinya sebagai kekuatan politik yang banyak mengendalikan aktivitas niaga yang pada saat itu tengah diincar oleh kekuatan asing, yakni VOC yang memaksakan diri untuk memonopoli kegiatan niaga di kawasan timur Nusantara. Rivalitas dalam

(8)

8

perebutan wilayah antara Kerajaan Gowa-Tallo dengan VOC mengakibatkan terjadinya konflik politik berkepanjangan sejak tahun 1607 hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Said (Mattulada,1982:73).

Mengacu pada penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ekspansi politik Kerajaan Gowa-Tallo yang kedua ini adalah bentuk upaya konsolidasi kekuatan untuk membendung gerak Kolonialisme (VOC) yang tengah melanda kawasan timur Nusantara. Upaya konsolidasi ini mendapat sambutan yang baik dari kerajaan-kerajaan lain yang berada dibawah kekuasaannya.

c. Ekspansi III (1625)

Abad ke XVI-XVII, situasi politik Nusantara menjadi panas, sehingga dapat dikatakan bahwa abad tersebut merupakan pertarungan antara kekuatan jiwa merdeka yang dipancarkan oleh ajaran Islam melawan kebangkitan raja-raja mutlak menuju kepada kebinasaan (Mattulada,1982:45). Hal itu tampak dalam hubungan antara VOC dengan Kerajaan Bima yang berada dalam wilayah konsolidasi kekuatan Kerajaan Gowa-Tallo setelah ekspansi (ekpedisi dalam BO) yang ketiga dalam tahun 1625.

Dalam rangka monopoli kekuasan di kawasan timur Nusantara yang penting bagi kegiatan perdagangan rempah-rempah dan kayu cendana serta produk-produk lainnya di Kepulauan Nusa Tenggara, maka Belanda membutuhkan teman koalisi dari kerajaan pribumi yang terletak pada jalur lalu lintas laut yang bebas dari halangan akan persaingan dengan Portugis dan kontrol dari kerajaan Gowa. Posisi dan kedudukan Kerajaan Bima yang strategis itu makin berarti.

Setelah benteng Panakkukang dikuasai, Belanda semakin tegang dalam menghadapi setiap kemungkinan pukulan balasan dan konsolidasi kekuatan Kerajaan Gowa-Tallo yang lebih besar. Karena itu, VOC kemudian mengambil tindakan terhadap kerajaan-kerajaan bawahan Kerajaan Gowa-Tallo yakni dengan menjadikannya menjadi sekutu atau langsung dikuasai (Toda,1999:89). Sebagai sebuah kekuatan politik besar di kawasan timur, Kerajaan Gowa-Tallo berupaya mempertahankan eksistensinya. Pada bagian lain, VOC tetap pada pendirianya untuk melakukan monopoli dagang. Akibtanya, terjadi konflik antara kedua kekuatan tersebut dan mewarnai dinamika kegiatan pelayaran dan perdagangan maritim di kawasan timur Nusantara pada abad XVII.

PENUTUP

Ekspansi Kerajaan Gowa-Tallo terhadap Kerajaan Bima dan kerajaan-kerajaan lainnya di Kepulauan Nusa Tenggara terkait dengan konsep perluasan wilayah kekuasaan yang dianut. Pada awalnya Kerajaan Gowa-Tallo menganut prinsip mare liberium dalam rangka upaya mencari nafkah melalui laut, yakni aktivitas pelayaran dan perdagangan maritim. Usaha itu kemudian mengalami perluasan orientasi seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Kerajaan Gowa-Tallo.

Setelah berhasil mengislamkan kerajaan-kerajaan di jazirah selatan pulau Sulawesi, maka selanjutnya upaya penyebaran syiar Islam ditujukan kepada daerah seberang lautan ke arah selatan yakni Kerajaan Bima. Dengan demikian tampak

(9)

adanya korelasi antara perluasan ruang usaha (perdagangan) dengan perluasan syiar Islam. Namun, usaha itu berbenturan dengan kepentingan ekonomi VOC yang pada masa itu sangat ekspansif di kawasan timur dalam rangka monopoli perdagangan rempah-rempah, yang menjadi ciri khas perdagangan maritim terutama pada abad XVII. Hal itu menyebabkan kompetisi antara Kerajaan Gowa dengan VOC. Kompetisi dan konflik tersebut berimplikasi pada eksistensi Kerajaan Bima yang mana termasuk salah satu daerah penghasil komoditi perdagangan dan posisinya yang strategis dalam lalu lintas pelayaran Nusantara. Akhir dari kompetisi itu maka tampil sebagai pemenangnya ialah Kerajaan Gowa, dan sejak itu pula Bima mejadi daerah kekuasaanya.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1982, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme Dan Kolonialisme Di Sulawesi Selatan, Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional: Jakarta.

Andaya Y. Leonard. 2004, Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII, Makassar: Ininnawa.

Azra, Azyumardi. 2002, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, Bandung: Mizan.

Ilham, Muhammad. 2001, Islam dan Perubahan Sosial di Gowa pada abad XVII (Studi Tentang Perkembangan Islam Dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Sosial). Thesis program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, Makassar.

Ismail, M. Hilir, 2004, Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, Mataram: Lengge.

Kartodirdjo, Sartono. 1993, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium, Jakarta: Gramedia.

Loir, Henri Chambert, St Maryam R. Salahuddin. 1999. BO Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima (Naskah Dan Dokumen Nusantara Seri XVIII). Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme Orient dan Yayasan Obor Indonesia.

Mattulada. 1982, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, Ujung Pandang: Berita Utama-Bhakti Baru.

Patunru, Daeng Abdul Razak.1989, Sejarah Gowa, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Dan Tenggara:Ujung Pandang.

Poelinggomang L. Edward. 2004, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Rasyid, Darwas.1991, Peristiwa Tahun-Tahun Bersejarah Daerah Sulawesi Selatan Dari Abad Ke XIV-XIX, Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional: Ujung Pandang.

Tayeb, Abdullah.1995, Sejarah Bima Dana Mbojo. Jakarta: Harapan Nusa PGRI. Toda, N Dami. 1999, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Ende: Nusa

(10)

10

PENDIDIKAN SEBAGAI LOKOMOTIF UNTUK

MENINGKATKAN DAYA SAING SUMBER DAYA MANUSIA

DALAM KONSEP OTONOMI DAERAH

IMAM SUYITNO

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Abstrak: Dewasa ini tantangan yang dihadapi bangsa indonesia semakin kompleks dan global, mencakup seluruh aspek kehidupan. Tofler (1999) mensinyalir bahwa manusia kini sedang hidup dalam alam kehidupan komunikasi dan informasi. Transparansi kehidupan global seolah mengisyaratkan bahwa, kini dunia seakan mengecil bagaikan desa dunia yang nyaris tanpa batas, ini bisa terjadi karena derasnya arus informasi yang menyebar ke setiap denyut nadi kehidupan manusia. Di bidang pendidikan tugas berat yang harus dilakukan adalah mempersiapkan anak didik untuk dapat dan siap hidup dalam lingkungan yang serba dinamis dan penuh kompetitif sebagai konsekuensi logis tindakan komunikasi dan informasi yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Tugas berat yang harus dilakukan pemerintah, sekolah, guru, orang tua, maupun siswa adalah membebaskan diri dari belenggu kemiskinan ilmu pengetahuan, baik yang bersinggungan dengan intelektualitas, emosionalitas, kreativitas, yang kemudian dapat beradaptasi dengan lingkungan baik lokal, regional, nasional, maupun global.

PENDAHULUAN

Pendidikan di Indonesia kini menghadapi dua masalah besar sekaligus, Rosyada 2004: 8) yakni persoalan internal dan eksternal. Secara internal sedang dilakukan berbagai penataan dan resrtukturisasi strategi pengembangan yang jauh lebih tepat, akurat, dan akselaratif, secara aksternal berbagai tantangan dan peluang justru menunggu peningkatan tersebut agar mereka kompetitif karena pasar negara-negara utara akan diserbu ramai-ramai oleh tenaga muda energik dan berbakat dari belahan selatan, Amerika Latin, Afrika yang sudah menunjukkan global world-viewnya secara agresif dan efektif, begitu juga dengan tenaga muda dan beberapa negara di timur jauh.

Skill dan keterampilan hakekatnya merupakan hak semua anak didik, artinya semua siswa berhak memperoleh keterampilan, dan skill guna memasuki pasar tenaga kerja, seperti halnya mereka juga berhak memasuki perguruan tinggi. Sehingga, paradigma yang pemisahan program pendidikan menengah sebagai persiapan untuk memasuki perguruan tinggi, sebagai pendidikan akademik, serta pendidikan keterampilan guna memasuki pasar tenaga kerja abad 21 sudah tidak relevan lagi,mengingat semua outcome pendidikan akan memasuki pasar tenaga kerja, dan menuntut skill serta keterampilan yang memadai (Haas, 1994:21). Keluaran pendidikan harus memiliki kompetensi yang memadai sesuai jenjang dan basis keahlian atau keterampilannya, agar dapat menghasilkan lulusan yang cerdas, kompetitif dan ___Pendidikan sebagai Lembaga Otomotif untuk Meningkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia... Imam Suyitno

(11)

memiliki daya saing yang tinggi dipasar tenaga kerja, baik dalam level dan jenis apapun profesinya.

Untuk mengejar ketertinggalan sumber daya manusia (SDM) hasil pendidikan agar secara perlahan-lahan mendorong bangkitnya sektor ekonomi yang merosot secara signifikan sejak tahun 1998, maka pendidikan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas SDM (Schuts dan solow dalam Dody Heriawan,2003). Sebagai contoh dapat diangkat disini adalah negara Jepang, dimana kemajuan ekonomi yang didapat sekarang tak lepas dari peranan pendidikan. Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura juga memperlihatkan fenomena yang tidak jauh berbeda dengan negara Jepang , dimana kemajuan ekonomi yang mereka dapatkan saat ini adalah karene tingginya kualitas SDM-nya. Usaha ke arah sana telah dilakukan.

Salah satu usaha mempersiapkan luaran sekolah agar dapat berkompetisi dan dapat memenuhi tuntutan stake holder, ditingkat nasional telah dilakukan pembakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku bagi semua jenjang pendidikan baik SD, SMP/sederajat dan secara serentak dan berangsur dinyatakan berlaku mulai tahun ajaran 2006/2007.

Namun demikian hasil survey yang dilakukan oleh Dikmenum 2006, menunjukkan bahwa mayoritas guru dan sekolah belum siap mengembangkan silabus dan penilaian secara mandiri sesuai dengan tuntutan kurikulum 2006 yang berbasis kompetensi. Meskipun sebagai langka antisipasi oleh Dikmenum telah disiapkan sejumlah pedoman dengan tujuan memberi arah secara tekhnis bagi guru dan sekolah dalam mengembangkan silabus dan penilaian.

Ada beberapa masalah yang diangkat dalam makalah singkat ini guna mendapatkan respon atas dunia pendidikan kita dewasa ini. Adapun rumusan masalah yang dimaksudkan adalah:

1. Bagaimanakah wujud paradigma pendidikan Indonesia dalam konsep otonomi daerah?

2. Mengapa sekolah unggulan menjadi suatu keharusan yang diyakini dapat mempercepat proses peningkatan sumber daya manusia agar bangsa Indonesia dapat keluar dari krisis yang melanda negeri ini? dan

3. Wujud dukungan akademik (teori) manakah yang dapat ditawarkan untuk mendukung sekolah unggulan sesuai dengan paradigma pendidikan yang kontekstual dewasa ini?

RUJUKAN TEORITIS DAN PEMBAHASAN

Pada bagian berikut akan dikemukakan beberapa konsep dan indikator pendidikan dalam mengukur mutu pendidikan yang dapat dijadikan sebagai pijakan akademik dalam menata lembaga pendidikan dewasa ini agar dapat berperan baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

(12)

12

1. Paradigma Pendidikan

Pendidikan di Indonesia dewasa ini telah beranjak memasuki babagan baru dengan diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana kedua UU tersebut sesunguhnya telah mendelegasikan otoritas pendidikan (SD s/d SMA) pada pemerintah daerah yang sekaligus mendorong otonomisasi di tingkat sekolah, serta pelibatan masyarakat dalam setiap pengembangan program-program kurikulernya.

Sementara itu kewenangan pemerintah (pusat) lebih sebagai fasilitatif terhadap berbagai usulan pengembangan yang digagas oleh sekolah. Dengan manajemen ini pengelolaan sekolah ke depan diharapkan dapat menjadi solusi awal dalam mengatasi rendahnya rata-rata kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam konteks pembentukan keunggulan di tingkat lokal dan nasional.

Sementara itu pada tingkat global, dunia pendidikan kini menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, yakni tingkat persaingan (kompetisi) sumber daya manusia diantara bangsa-bangsa yang ada di dunia. Sebagai konsekuensinya hanya bangsa yang unggullah yang mampu keluar sebagai pemenangnya sekaligus meraih pasar dan peluang kesempatan kerja yang tidak lagi dibatasi oleh teritorial kenegaraan, tetapi kini telah bergerak kian meluas dan telah dimulai dari wilayah Asia Tenggara dan akan terus bergerak menjadi wilayah dunia (Suryadi dan Budimansyah, 2004: 24).

Kedua kondisi inilah lantas menjadi konsekuensi yang tidak bisa terelakkan lagi, artinya bagaimana menjadikan keluaran pendidikan kita agar pada tingkat lokal dan nasional memiliki keunggulan yang bisa diandalkan, disisi lain bagaimana menjadikan keluaran pendidikan ini memiliki kompetisi (daya saing) di tingkat global. Paradigma kontekstual inilah yang oleh penulis tawarkan guna dapat memetakan dengan tepat kondisi pendidikan di tanah air yang kini berada pada lintasan pertemuan baik pada tataran institusi yang bersifat makro dengan interaksi antar subyek didik pada tingkatan mikro, dan antara kawasan yang bersifat global dengan kawasan lokal/nasional. Dengan paradigma baru ini tentunya akan berpengaruh terhadap dukungan akademik yang menjadi landasan dalam melakukan perubahan pendidikan, strategi yang digunakan, sampai dengan metode yang dipilihnya, agar ke depan terjadi perubahan yang signifikan di bidang pendidikan.

Disadari bahwa perubahan paradigma ini secara praktis perlu waktu, khususnya dalam konteks restrukturisasi sistem yang mengatur batas-batas tugas dan kewenangan antar instansi pengelola pendidikan, kemudian adaptasi sistem tersebut dalam praktek pengelolaan sekolah secara operasional, dan terakhir adalah perlu adanya perubahan kultur yang sudah bertahun-tahun dimana masyarakat kita terlanjur terbiasa dan bahkan menikmati pola kekuasaan yang dibagi-bagi (sharing of power) antara daerah dan sekolah yang bermitra dengan masyarakat, baik sebagai client maupun user. Kepala Sekolah tidak semata bertanya pada kepala dinas di tingka daerah, tapi juga bertanya pada komite sekolah, membahas program dengan mereka, dan mempertanggungjawabkan berbagai pelaksanaan programnya pada stakeholder sekolah tersebut (Rosyada, Dede, 2004: 8).

(13)

2. Perubahan Kurikulum

Pada tahun ajaran baru 2006/2007 secara nasional dimulailah babag baru penerapan kurikulum baru 2006 bagi semua tingkat satuan pendidikan baik tingkat SD, SMP/Madrasyah Tsanawiyah maupun di SMA/SMK/Madrasyah Aliyah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau juga dikenal KYD (Kurikulum Yang Disempurnakan) merupakan penyempurnaan atas kurikulum 2004 yang diwujudlkan dalam SKKD dan telah disyahkan penggunaannya, diberlakukan secara berangsur-angsur mulai tahun ajaran 2006/2007 pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Hal ini berarti bahwa pada pertengahan tahun 2006 atauawal tahun ajaran 2006/2007 Taman Kanak-Kanak (TK/TKA), Sekolah Dasar (SD) dan M.Ts serta SMA (MA) sebagian besar harus sudah mengikuti perubahan kurikulum dan menggunakannya (Mulyasa E, 2006: 4).

Sementara itu bagi sekolah-sekolah yang belum siap, tetap melaksanakan kurikulum yang sedang mereka gunakan. Pada awal pemberlakuan kurikulum 2206, di sekolah-sekolah akan terjadi tiga (3) macam penggunaan kurikulum, ada sekolah yang masih menggunakan kurikulum 1994 revisi 1999, ada sekolah yang menggunakan kurikulum 2004 (atau lebih dikenal dengan KBK 2004), serta ada sekolah yang menerapkan KYD (kurikulum SKKD 2006).

Bagi sekolah yang belum siap melakukan perubahan kurikulum pada tahun ajaran 2006/2007 dapat mempersiapkannya sekitar tiga tahun ajaran, sehingga pada tahun ajaran 2009/2010 pemerintah berharap semua sekolah pada berbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta telah melaksanakan SKKD khususnya di kelas satu. Pada tahun 2112/2113 semua sekolah pada satuan pendidikan dasar dan menengah dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 untuk SD, dan dari kelas 1 sampai kelas 3 untuk SMP dan SMA telah melaksanakan kurikulum yang disempurnakan (SKKD). Hal tersebut sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 24 tahun 2006 tentang Standar Isi dan PP no. 23 tahun 2006 tentang SKL untuk Satuan Pendidikan Dasar dan menengah.

Selama pemberlakuan ini, pemerintah dalam hal ini Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP), Pusat Kurikulum, dan Direktorat Kurikulum seharusnya melakukan pemantauan secara langsung ke lapangan tentang penerapan kurikulum ini, dan melakukan penyempurnaan-penyempurnaan seperlunya. Penyempurnaan kurikulum perlu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan untuk memperoleh hasil yang memuaskan (continuous quality improvement), terutama berkaitan dengan penerapan serta penjabaran satandar isi dan standar kompetensi.

Menteri Pendidikan Nasional menegaskan bahwa standar isi dan standar kompetensi lulusan yang telah disusun oleh BNSP merupakan acuan bagi guru untuk mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan sekolah. Kurikulum yang berlaku tetap berbasis kompetensi (menggunakan pendekatan kompetensi), senagai penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya. Dengan demikian KYD tetap berbasis kompetensi tetapi disesuaikan dengan perkembangan iptek, serta tuntutan kebutuhan lokal, nasional, dan global.

(14)

14

3. Konsep Sekolah Unggulan

Sekolah unggulan pada hakekatnya adalah sekolah yang memiliki wawasan keunggulan (excellence), menurut Peters dan Watterman (1982) mengidentifikasi indikator atribut keunggulan yang meliputi: (1) bias ke tindakan, (2) dekat ke konsumen, (3) otonomi dan kewirausahaan, (4) produktivitas melalui orang, (5) tindakan atas nilai tertentu, (6) memelihara “rajutan”, (7) struktur sederhana tetapi padat staf, dan (8) sifat “longgar-kencang” secara simultan.

Dengan demikian sesungguhnya dapat didefinisikan sebagai sekolah yang berkualitas dalam hal: proses, keluaran (output) dan hasil (outcome) berdasarkan standar yang tinggi yang tentunya ditunjang dengan sumber daya pendidikan yang kuat, dan diselenggarakan dengan manajemen terpadu, baik dalam hal akademik maupun sarana-prasarananya.

Adapun yang menjadi indikator dalam proses pembelajaran pada sekolah unggulan menurut Ahmad Sonhadji (2005) ditandai dengan: (1) penggunaan bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya; (2) program percepatan pembelajaran ; (3) moving class; (4) fullday scholl; (5) boarding scholl; (6) atmosfer akademik yang tinggi; (7) pendidikan multikultural; (8) sikap demokratik; (9) penekanan pada kreativitas dan kemandirian; (10) pembelajaran dengan multi media; (11) pembelajaran berbasis kompetensi; (12) pembelajaran berbasis produk; (13) penggunaan CTL, QTL, Pakem, dll; (14) pengenalan teknologi sejak dini; dan (15) pendidikan kecakapan hidup.

Dengan konsep sekolah unggulan ini diharapkan dapat menjawab sekaligus meningkatkan mutu keluaran maupun mutu sekolah yang pada gilirannya secara bertahap dapat mengantarkan bangsa Indonesia keluar dari krisis yang mendera bangsa Indonesia.

4. Kemampuan Berpikir Metakognisi (level of metacognition)

Pada akhirnya pendidikan akan berujung pada kompetensi atau kecakapan atau kemampuan yang berhasil dicapai oleh peserta didik sebagai perubahan perilaku dalam proses belajar yang telah berlangsung. Hingga kini teori pengukuran kecakapan masih saja mengacu atau berbasis taksonomi Bloom yang diintrodusir dari Benyamin S. Bloom, yang memetakan kecakapan sebagai hasil proses belajar terdiri atas kecakapan kognitif, afektif dan psikomotorik.

Padahal kini kecakapan siswa tidak cukup hanya mengacu pada indikator-indikator yang dikembangkan oleh teori Bloom (Rosyada, Dede, 2004: 136). Penelitian pendidikan terkini menghendaki dikembangkannya berbagai kecakapan seperti: berpikir kritis (critical thinking), berpikir kreatif (creative thinking), dan kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Ketiga kemampuan ini oleh Donald P. Kauchak disebut kemampuan metakognisi atau level of metacognition (Kauchak, 1998: 323).

Selama ini taksomi Bloom yang menjadi acuan dalam mengukur perubahan perilaku sebagai hasil proses pembelajaran baik untuk level standar kompetensi, kompetensi dasar, maupun indikator pencapaian untuk semua mata pelajaran yang diajarkan di tingkat satuan pendidikan, dirasakan tidak/kurang memadai di era paradigma pendidikan yang kontekstual. Disamping itu pembagian yang begitu tegas ___Pendidikan sebagai Lembaga Otomotif untuk Meningkatkan Daya Saing Sumber Daya Manusia... Imam Suyitno

(15)

dalam taksonomi Bloom seolah-olah pada diri anak didik dapat dipisahkan masing-masing ranah baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Padahal untuk dapat mengukur keberhasilan seorang siswa dalam proses pembelajaran tidak cukup hanya dilihat secara parsial semata, melainkan haruslah secara holistik.

Kalau perubahan terhadap dukungan akademik (penerapan teori yang digunakan dalam mengukur kecakapan hasil proses pembelajaran) telah dilakukan dengan konsekuen, menurut hemat penulis ada secercah harapan di masa mendatang keluaran pendidikan kita dapat memiliki daya saing di tingkat global guna menjawab globalisasi yang melanda dunia, sedangkan di tingkat lokal (Otoda) dan nasional memiliki keunggulan yang dapat diandalkan.

PENUTUP

Sebagai konsekuensi perubahan paradigma pendidikan dari yang lama ke paradigma pendidikan yang kontekstual tentunya membawa perubahan dalam hal dukungan akademik (penerapan teori) dalam mengukur kecakapan siswa sebagai perubahan perilaku akibat proses pembelajaran.

Salah satu jawaban untuk meningkatkan kualitas keluaran pendidikan (output), kualitas proses, maupun kualitas hasil (outcome) adalah penerapan sekolah unggulan baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, dengan penerapan sekolah unggulan diharapkan ke depan terjadi peningkatan kualitas sekaligus kemampuan bersaing. DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2003. Demokrasi HAM dan Masyarakat Madani (pengantar), Jakarta, Permata Media.

Culla, Adi Suryadi. 1999. Masyarakat Madani, Jakarta, Raja Grafindo Pusada.

Danim, Sudarwan, 2002, Inovasi pendidikan dalam upaya peningkatan profesionalisme tenaga kependidikan, Bandung, Pustaka Setia.

Direktorat pendidikan menengah. 2001,umum, Ditjen, Dikdsmen, Depdiknas, 2004, Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Dan Penilaian, Jakarta.

Fattah, Nanang. 2001, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung, Rosda Karya. Hadianti, 2004, Mencari Sosok Desentralisasi Pendidikan, Gagasan, Aplikasi, Dan

Tantangannya, Manado, Media Pustaka.

J.A.Denny. 1999. Catatan Politik, Jakarta, Jayabaya University Press.

Mulyasa, 2003, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung, Rosda Karya.

Murhadi dan Senduk, A.G.2002, Pembelajaran Kontekstual, Jakarta, Universitas Negeri Malang.

Proyek Peningkatan Tenaga Akademik, Dirjen Dikti Depdiknas. 2002, Kapita Selekta Pendidikan Pancasila (Untuk Mahasiswa), Jakarta.

_________2002, Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan(Untuk Mahasiswa), Jakarta.

(16)

16

Rosyada, Dede. 2004, Reformasi Pendidikan Demokratis, Jakarta, Prenada Media. Soemantri M Nu’man. 2001. Menggagas Pembaruan Pendidikan IPS, Bandung,

Remaja Rosdakarya.

Suryadi, Ace dan Budimansyah, Dasim. 2004. Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia Baru, Jakarta. Ganesindo.

Sudjana,D. 2000, Manajemem Program Pendidikan, Bandung, Falah Production. Tilaar,H.A.R.2000, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta .

_________,2001. Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung, Rosdakarya. _________,2002. Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta.

Zahorik, John.A, 1995. Contruktivis Teaching (Fast Back 390). Bloongminton Indiana: phil-Delta Kappa Educational Foundation.

(17)

TANTANGAN PROFESIONALISME GURU EKONOMI DALAM

IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

Herlina Sakawati

Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar

Abstrak. Ada tiga tantangan yang dihadapi guru dalam meng-implementasikan KBK, yaitu; tatangan bidang pengelolaan kurikulum, bidang pembelajaran dan bidang penilaian. Dalam menghadapi tantangan itu akan sangat tergantung pada profesionalisme guru. Guru profesional akan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan penilaian yang menyenangkan bagi siswa dan guru, sehingga dapat mendorong tumbuhnya kreativitas belajar pada diri siswa. Pemilihan model pembelajaran yang tepat akan sangat menentukan minat dan partisipasi siswa dalam pembelajaran. Melalui model pembelajaran yang tepat diharapkan siswa tidak hanya dapat pengetahuan ekonomi, namun juga memiliki kesan yang mendalam tentang materi pelajaran, sehingga dapat mendorong siswa untuk mengimplementasikan konsep nilai-nilai ekonomi dalam kehidupan sehari-sehari.

Kata Kunci: Profesionalisme guru, Implementasi KBK PENDAHULUAN

Kualitas guru di Indonesia dari beberapa kajian masih dipertanyakan, seperti yang dilaporkan oleh Bahrul Hayat dan Umar (dalam Adiningsih,: 2002). Mereka memperlihatkan nilai rata-rata nasional tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval 0-100, artinya hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya. Hal serupa juga terjadi pada bidang studi yang lain, seperti fisika (27,35), biologi (44,96), kimia (43,55), dan bahasa Inggris (37,57). Nilai-nilai di atas tentu jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik. Hasil lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu Pendidikan (2000) memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya. Paparan ini menggambarkan sekilas kualitas guru di Indonesia, bagimana dapat dikatakan profesional jika penguasaan materi matapelajaran yang diampuh masih kurang, dan bagaimana dikatakan profesional jika masih ada 33% guru yang mengajar diluar bidang keahliahanya. Seperti yang diungkap oleh Geist (2002) bahwa Professionals are specialists and experts inside their fields; their expertise is not intended to be necessarily transferable to other areas, consequently they claim no especial wisdom or sagacity outside their specialties.

Permasalahanya adalah bagaimana guru dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapi dengan baik, jika profesionalismenya masih dipertanyakan. Tulisan singkat ini akan mengulas tentang profesionalisme guru dan tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan KBK.

(18)

18

PROFESIONALISME GURU

Profesi guru menurut Undang-Undang tentang Guru dan Dosen harus memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat 1, yaitu; ”Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional sebagai berikut:

a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme

b. Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya.

c. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. d. Mematuhi kode etik profesi.

e. Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.

f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya. g. Memiliki kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secara

berkelanjutan.

h. Memperoleh perlindungan hukurn dalam rnelaksanakan tugas profesisionalnya.

i. Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum”.

Pada prinsipnya profesionalisme guru adalah guru yang dapat menjalankan tugasnya secara profesional, yang memiliki ciri-ciri antara lain: Ahli di Bidang teori dan Praktek Keguruan. Guru profesional adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli mengajarnya (menyampaikannya). Dengan kata lain guru profesional adalah guru yang mampu membelajarkan peserta didiknya tentang pengetahuan yang dikuasainya dengan baik.

Senang memasuki organisasi Profesi Keguruan. Suatu pekerjaan dikatakan sebagai jabatan profesi salah satu syaratnya adalah pekerjaan itu memiliki organiasi profesi dan anggota-anggotanya senang memasuki organisasi profesi tersebut. Guru sebagai jabatan profesional seharusnya guru memiliki organisasi ini. Fungsi organisasi profesi selain untuk menlindungi kepentingan anggotanya juga sebagai dinamisator dan motivator anggota untuk mencapai karir yang lebih baik (Kartadinata dalam Meter, 1999). Konsekuensinya organisasi profesi turut mengontrol kinerja anggota, bagaimana para anggota dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. PGRI sebagai salah satu organisasi guru di Indonesia memiliki fungsi: (a) menyatukan seluruh kekuatan dalam satu wadah, (b) mengusahakan adanya satu kesatuan langkah dan tindakan, (3) melindungi kepentingan anggotanya, (d) menyiapkan program-program peningkatan kemampuan para anggotanya, (e) menyiapkan fasilitas penerbitan dan bacaan dalam rangka peningkatan kemampuan profesional, dan (f) mengambil tindakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran baik administratif maupun psychologis.

Memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai, keahlian guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu, dan kemampuan tersebut tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga pendidik, antara lain: (a) Tantangan Profesionalisme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Herlina Sakawati

(19)

sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih (b) pekerja kemanusiaan dengan fungsi dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki, (c) sebagai petugas kemashalakatkatan dengan fungsi mengajar dan mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik. Peran guru ini seperti ini menuntut pribadi harus memiliki kemampuan managerial dan teknis serta prosedur kerja sebagai ahli serta keiklasa bekerja yang dilandaskan pada panggilan hati untuk melayani orang lain.

Melaksanakan Kode Etik Guru, sebagai jabatan profesional guru dituntut untuk memiliki kode etik, seperti yang dinyatakan dalam Konvensi Nasional Pendidikan I tahun 1988, bahwa profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masayarakat. Kode etik bagi suatu oeganisasai sangat penting dan mendasar, sebab kode etik ini merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku yang dijunjung tinggi oleh setiap anggotanya. Kode etik bergungsi untuk mendidamisit setiap anggotanya guna meningkatkan diri, dan meningkatkan layanan profesionalismenya deni kemaslakatan orang lain.

Memiliki otonomi dan rasa tanggung jawab. Otonomi dalam artian dapat mengatur diri sendiri, berarti guru harus memiliki sikap mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Kemandirian seorang guru dicirikan dengan dimilikinya kemampuan untuk membuat pihlihan nilai, dapat menentukan dan mengambil keputusan sendiri dan dapat mempertanggung jawabkan keputusan yang dipilihnya.

Memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat untuk mencapai kemajuan. Guru sebagai tenaga pendidikan memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat tersebut. Untuk itulah guru dituntut memiliki pengabdian yang tinggi kepada masyarakat khususnya dalam membelajarkan anak didik.

Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdakan anak didik. Usman (2004) membedakan kompetensi guru menjadi dua, yaitu kompetensi pribadi dan kompetensi profesional. Kemampuan pribadi meliputi; (1) kemampuan mengembangkan kepribadian, (2) kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi, (3) kemampuan melaksanakan bimbingan dan penyuluhan. Sedangkan kompetensi profesional meliputi: (1) Penguasaan terhadap landasan kependidikan, dalam kompetensi ini termasuk (a) memahami tujuan pendidikan, (b) mengetahui fungsi sekilah di masyarakat, (c) mengenal rinsip-prinsip psikologi pendidikan; (2) menguasai bahan pengajaran, artinya guru harus memahami dengan baik materi pelajaran yang ajarkan. Penguasaan terhadap materi pokok yang ada pada kurikulum maupun bahan pengayaan; (3) kemampuan menyusun program pengajaran, kemampuan ini mencakup kemampuan menetapkan kopetensi belajar, mengembangkan bahan pelajaran dan mengembangkan strategi pembelajaran; dan (4) kemampuan menyusun perangkat penilaian hasil belajar dan proses pembelajaran.

(20)

20

IMPLEMENTASI KURIKULUM

Di dalam pelaksanaan KBK diversifikasi kurikulum sangat dimungkinkan, artinya kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan keragaman kondisi dan kebutuhan baik yang menyangkut kemampuan atau potensi siswa dan lingkungannya. Diversifikasi kurikulum diterapkan dalam upaya untuk menampung tingkat kecerdasan dan kecepatan siswa yang tidak sama. Oleh sebab itu akselerasi belajar dimungkinkan untuk diterapkan, begitu pula remidial dan pengayaan.

Implementasi KBK menuntut kemampuan sekolah untuk mengembangkan silabus sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya, dan penyusunannya dapat melibatkan instansi yang relevan di daerah setempat, misalnya instansi pemerintah, swasta, perusahaan dan perguruan tinggi.

Pengelolaan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Rekonseptualisasi kurikulum nasional yang diwujudkan dalam Kurikulum Berbasis Kompentensi memiliki empat fokus utama, yaitu: 1). Kejelasan kompetensi dan hasil belajar, 2) Penilian berbasis kelas, 3) Kegiatan belajar Mengajar, 4) Pengelolaan Kurikulum berbasis sekolah.

Pada prinsipnya pengelolaan kurikulum yang berbasis Sekolah membagi peran dan tanggung jawab masing-masing pelaksana pendidikan di lapangan yang terkait dengan pelaksanaan kurikulum, pembiayaan dan pengembangan silabus. Sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum dituntut dapat menjalin hubungan dengan lembaga lain yang terkait baik lembaga pemerintah maupun swasta. Misalnya untuk pembekalan kecakapan vokasional sekolah perlu kerja sama dengan perusahaan atau lembaga diklat.

Reorientasi Proses Pembelajaran

Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman terhadap suatu konsep, sehingga dalam proses pembelajaran siswa merupakan sentral kegiatan, pelaku utama dan guru hanya menciptakan suasana yang dapat mendorong timbulnya motivasi belajar pada siswa. Implementasi KBK dalam proses pembelajaran menuntut adanya reorientasi pembelajaran yang konvensional. Reorientasi tidak hanya sebatas istilah “teaching” menjadi “learning” namun harus sampai pada operasional pelaksanaan pembelajaran. Untuk itu proses pembelajaran harus mengacu pada beberapa prinsip, yaitu: berpusat pada siswa, belajar dengan melakukan, mengembangakan kemampuan sosial, mengembangkan keingintahuan, imajinasi dan fitrah ber-Tuhan, mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah, mengembangkan kreativitas siswa, mengembangkan kemampuan menggunakan ilmu dan teknologi, menumbuhkah kesadaran sebagai warga negara yang baik, belajar sepanjang hayat, dan perpaduan kompetisi, kerjasama dan solidaritas.

(21)

Penilaian Hasil Belajar

Penilaian hasil belajar idealnya dapat mengungkap semua askpek domain pembelajaran, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Sebab siswa yang memiliki kemampuan kognitif baik saat diuji dengan paper-and-pencil test belum tentu ia dapat menerapkan dengan baik pengetahuannya dalam mengatasi permasalahan kehidupan (Green, 1975). Penilaian hasil belajar sangat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Pada umumnya tujuan pembelajaran mengikuti pengklasifikasian hasil belajar yang dilakukan oleh Bloom pada tahun 1956, yaitu cognitive, affective dan psychomotor. Kognitif adalah ranah yang menekankan pada pengembangan kemampuan dan ketrampilan intelektual. Affective adalah ranah yang berkaitan dengan pengembangan pengembangan perasaan, sikap nilai dan emosi. Sedangkan psychomotor adalah ranah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan atau ketrampilan motorik (Degeng: 2001). Namun ketiga domain pembelajaran itu memang tidak dapat dipaksakan pada semua mata pelajaran dalam porsi yang sama. Untuk matapelajaran ekonomi misalnya lebih menekankan pada aspek kognigitive dan affecfetive dibandingkan dengan aspek psychomotor yang lebih menekankan pada ketrampilan motorik.

Fakta menunjukkan bahwa penilaian hasil belajar lebih menitik beratkan pada aspek cognitive saja. Terbukti dengan tes-tes yang diselenggarakan disekolah baik lisan maupun tulis lebih banyak mengarah pada pengungkapan kemapuan aspek cognitive. Laporan hasil belajar yang disampaikan pada orang tua siswa (buku rapor) juga hanya melaporkan kemampuan cognitive saja.

Kurikulum 2004 (kurikulum berbasis kompetensi) meskipun belum diimplementasikan secara resmi oleh diknas, namun mayoritas sekolah telah melaksanakan. Tuntutan pada kurikulum baru itu penilaian harus mengarah pada kompetensi siswa, sesuai dengan kompensi tunturan kurikulum. Kompentensi yang dimaksud pada kurikulum adalah kemampuan yang dapat dilakukan peeserta didik yang mencakup pengetahuan, ketrampilan dan perilaku. Penilaian harus mengacu pada pencapaian standar kompetensi sisiwa. Standar kompetensi adalah batas dan arah kemamuan yang harus dan dapat dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses penbelajaran suatu mata pelajaran tenrtentu. (Marpadi: 2003) Sistem penilaian yang diharapkan diterapkan untuk mengukur hasil belajar siswa menurut kurikum 2004 adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Dimana untuk mengetahui seberapa jauh peserta didik telah memiliki kompetensi dasar maka diperlukan suatu sistem penilaian yang menyeluruh dengan mengunakan indikator-indikator yang dikembangkan guru secara jelas. Berkelanjutan berari semua indikator harus ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan peserta didik. Untuk itu perlu dikembangkan berbagai teknik penilaian dan ujian, seperti: pertanyaan lisan, kuis, ulangan harian, tugas rumah, ulangan praktek, dan pengamatan (Marpadi: 2003).

Pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi dasar mencakup beberapa hal, yaitu: (1) standar kompetensi, adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan dalam setiap mata pelajaran. Hal ini memiliki implikasi yang sangat signifikan dalam perencanaan, metodelogi dan pengelolaan penilaian; (2) kompetensi

(22)

22

dasar, adalah kemampuan minimal dalam rangka mata pelajaran yang harus dimiliki lulusan SMA; (3) rencana penilaian, jadwal kegiatan penilaian dalam satu semester dikembangkan bersamaan dengan pengembangan silabus; (4) proses penilaian, pemilihan dan pengembangan teknik penilaiain, sistem pencatatan dan pengelolaan proses; dan (5) proses Implementasimenggunakan berbagai teknik penilaian.

Tujuan penilaian yang dilakukan guru di kelas hendaknya diarahkan pada empat (4) hal berikut: keeping track, yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana. Checking-up, yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami anak didik dalam proses pembelajaran. Finding-out, yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran. Summing-up, yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah mencapai kompetensi yang ditetapkan atau belum. Agar tujuan penilaian tersebut tercapai, guru harus menggunakan berbagai metoda dan teknik penilaian yang beragam sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik pengalaman belajar yang dilaluinya. Tujuan dan pengalaman belajar tertentu mungkin cukup efektif dinilai melalui tes tertulis (paper-pencil test), sedangkan tujuan dan pengalaman belajar yang lain (seperti bercakap dan praktikum IPA) akan sangat efektif dinilai dengan tes praktek (performance assessment). Demikian juga, metoda observasi sangat efektif digunakan untuk menilai aktivitas pembelajaran siswa dalam kelompok, dan skala sikap (rating scale) sangat cocok untuk menilai aspek afektif, minat dan motivasi anak didik. Oleh sebab itu, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan kemahiran tentang berbagai metoda dan teknik penilaian sehingga dapat memilih dan melaksanakan dengan tepat metoda dan teknik yang dianggap paling sesuai dengan tujuan dan proses pembelajaran, serta pengalaman belajar yang telah ditetapkan. Di samping itu, tujuan utama dari penilaian berbasis kelas yang dilakukan oleh guru adalah untuk memantau kemajuan dan pencapaian belajar siswa sesuai dengan matriks kompetensi belajar yang telah ditetapkan, guru atau wali kelas diharapkan mengembangkan sistem portofolio individu siswa (student portfolio) yang berisi kumpulan yang sistematis tentang kemajuan dan hasil belajar siswa. Portofolio siswa memberikan gambaran secara menyeluruh tentang proses dan pencapaian belajar siswa pada kurun waktu tertentu. Portofolio siswa dapat berupa rekaman perkembangan belajar dan psikososial anak (developmental), catatan prestasi khusus yang dicapai siswa (showcase), catatan menyeluruh kegiatan belajar siswa dari awal sampai akhir (comprehensive), atau kumpulan tentang kompetensi yang telah dikuasai anak secara kumulatif. Portofolio ini sangat berguna baik bagi sekolah maupun bagi orang tua serta pihak-pihak lain yang memerlukan informasi secara rinci tentang perkembangan belajar anak dan aspek psikososialnya sehingga mereka dapat memberikan bimbingan.

TANTANGAN IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Merujuk pada implementasi KBK paling tidak guru menghadapi tiga tantangan besar, yaitu tantangan pada bidang pengelolaan kurikulum, pembelajaran dan penilaian. Implementasi KBK berimplikasi serangkaian tuntutan yang harus dipenuhi Tantangan Profesionalisme Guru Ekonomi Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Herlina Sakawati

(23)

oleh seorang guru dalam menjalan tugas keprofesionalannya. Tugas profesional seorang guru (Dikmenjur, 2001) antara lain harus mampu: menganalisis, menguasai dan menginplementasikan kurikulum dalam bentuk teori dan praktek; menguasai materi bidang studi yang diajarkan; membuat rencana pembelajaran. memilih dan mengembangkan materi dengan memperluas dan memperdalam dasar-dasar kejuruan yang lebih kuat dan mendasar; memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Berinteraksi (berkomunikasi) secara efisien dan efektif; menjalin kerja sama dengan instansi lain yang terkait dengan pembelajaran yang akan diberikan (dalam praktek); mengembangkan media pembelajaran; memilih dan menggunakan sumber belajar; memanfaatkan sarana dan lingkungan belajar; mengatur program pembelajaran dan jadwal akademik; memilih dan menetapkan materi kontekstual dengan kebutuhan lapangan kerja; menerapkan strategi pembelajaran yang lebih menekankan pada kebermaknaan hasil belajar; mengelolakelas(classroom management); melaksanakan praktek dengan menghubungkan dan menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja; mengembangkan alat dan melaksanakan evaluasi hasil belajar, secara menyeluruh yang mencakup aspek kognitif, afektif, psychomotorik serta intelektual skill; memahami karakteristik siswa; memberi layanan bimbingan kepada siswa; dapat membagi perhatian terhadap proses dan hasil belajar secara profesional; membaca hasil penelitian dan publikasi lain yang bermanfaat bagi pengembangan diri dan profesinya; melakukan penelitian sederhana (action research); serta memiliki wawasan global.

Untuk mengantisipasi tantangan dunia pendidikan yang semakin berat, maka profesionalime guru harus dikembangkan. Beberapa cara yang dapat ditempuh dalam pengembangan profesionalitas guru menurut Balitbang Diknas antara lain adalah;

1. Perlunya revitalisasi pelatihan guru yang secara khusus dititikberatkan untuk memperbaiki kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan dan bukan untuk meningkatkan sertifikasi mengajar semata-mata;

2. Perlunya mekanisme kontrol penyelenggaraan pelatihan guru untuk memaksimalkan pelaksanaannya;

3. Perlunya sistem penilaian yang sistemik dan periodik untuk mengetahui efektivitas dan dampak pelatihan guru terhadap mutu pendidikan;

4. Perlunya desentralisasi pelatihan guru pada tingkat kabupaten/kota sesuai dengan perubahan mekanisme kelembagaan otonomi daerah yang dituntut dalam UU No.22/1999.

5. Perlunya upaya-upaya alternatif yang mampu meningkatkan kesempatan dan kemampuan para guru dalam penguasaan materi pelajaran;

6. Perlunya tolok ukur (benchmark) kemampuan profesional sebagai acuan pelaksanaan pembinaan dan peningkatan mutu guru;

7. Perlunya peta kemampuan profesional guru secara nasional yang tersedia di Depdiknas dan Kanwil-Kanwil untuk tujuan-tujuan pembinaan dan peningkatan mutu guru;

8. Perlunya untuk mengkaji ulang aturan/kebijakan yang ada melalui perumusan kembali aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan mampu mendorong guru untuk mengembangkan kreativitasnya;

(24)

24

9. Perlunya reorganisasi dan rekonseptualisasi kegiatan Pengawasan Pengelolaan Sekolah, sehingga kegiatan ini dapat menjadi sarana alternatif peningkatan mutu guru;

10. Perlunya upaya untuk meningkatkan kemampuan guru dalam penelitian, agar lebih bisa memahami dan menghayati permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran;

11. Perlu mendorong para guru untuk bersikap kritis dan selalu berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan;

12. Memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK);

13. Menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan karier;

14. Perlunya ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran”.

Untuk lebih mendorong tumbuhnya profesionlisme guru selain apa yang telah diutarakan oleh balitbang diknas, tentunya ”penghargaan yang profesional” terhadap profesi guru masih sangat penting. Seperti yang diundangkan bahwa guru berhak mendapat tunjangan profesi. Realisasi pasal ini tentunya akan sangat penting dalam mendorong tumbuhnya semangat profesionlisme pada diri guru.

PENUTUP

Seiring dengan bergulirnya waktu sosialisasi dan implementasi Kurikulum KBK di SMA/MA, sedikit demi sedikit telah mengkikis keraguan dan kebingungan guru dalam mengimplementasikan kurikulum. Pada awal implementasi sebagian guru pesimis mampukah ia melaksanakan tuntutan KBK? Atau beranggapan paling hasil belajarnya ya sama dengan kurikulum terdahulu. Anggapan itu semakin hilang seiring dengan bertambahnya wawasan dan pemahaman guru terhadap KBK.

Ada tiga tantangan besar yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan KBK, yaitu; tatangan bidang pengelolaan kurikulum (guru sebagai administrator), bidang pelaksanaan pembelajaran dan bidang penilaian. Dalam menghadapi tantangan akan sangat tergantung pada profesionalisme guru. Guru profesional adalah guru yang dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan penilaian yang menyenangkan bagi siswa dan guru, sehingga dapat mendorong tumbuhnya kreativitas pada diri siswa.

Pada bidang pembelajaran diharapkan guru dapat menentukan model pembelajaran yang tepat sehingga dapat menarik minat siswa terhadap pelajaran. Model pembelajaran ekonomi diharapkan mampu memberikan makna pelajaran ekonomi kepada siswa. Melalui model yang tepat diharapkan siswa tidak hanya dapat pengetahuan ekonomi, namun juga mampu memberikan kesan yang mendalam pada siswa, sehingga dapat mendorong siswa untuk mengimplementasikan konsep nilai-nilai ekonomi dalam kehidupan sehari-sehari, karena materi pelajaran ekonomi sangat relevan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Gambar

Tabel di atas memperlihatkan bahwa rata-rata penilaian responden di atas atau  lebih besar dari 4, sehingga penilaian responden terhadap variabel produk berada pada  kategori “Sangat puas”

Referensi

Dokumen terkait

Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu

Selebihnya, kajian ini mengungkapkan bahwa nilai korelasi positif yang tinggi antara sinar kosmik dengan tutupan awan hanya berlaku di wilayah yang fraksi tutupan

lalu seperti kitab Sabil Al-Muhtadin dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk memperkaya penilaian visi dan pengembangan politik hukum dewasa ini hingga masa

Berikut ini kami sampaikan Penawaran Umum Obligasi Berkelanjutan II Toyota Astra Financial Services Tahap II Tahun 2017:.. Emiten : PT Toyota Astra Financial Services Kepemilikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Tidak ada pengaruh yang signifikan antara panjang sambungan dengan sambungan limbah kayu pada uji kuat tekan (2) Terdapat pengaruh

emission tomography (3F% 84"! sedang semakin sering digunakan untuk sering digunakan untuk screening metastasis pada pasien dengan kanker tiroid yang pada studi screening

Pengecualian dari instrumen ekuitas AFS, jika, pada periode berikutnya, jumlah penurunan nilai berkurang dan penurunan dapat dikaitkan secara obyektif dengan sebuah

These authors find that the germination energy, germination, root length, shoot length, root fresh weight, shoot fresh weight, root dry weight and shoot dry weight of maize