• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASNAWI HARIS

2. Rotasi kekuasaan

Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai-partai politik yang menang pada suatu pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaannya biasanya rendah pula. Bahkan peluang untuk itu sangat terbatas, kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja.

3. Rekruitmen politik yang terbuka.

Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka, artinya setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup,

48

artinya peluang untuk mengisi jabatan politik biasanya hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.

4. Pemilihan Umum.

Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala aktivitas pemilihan, termasuk di dalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara.

5. Menikmati hak-hak dasar.

Dasar suatu negara yang demokratis adalah setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapatnya (freedom of expression), dan hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of asseambly), dan hak untuk menikmati pers yang bebas (freedom of the press). Hak untuk menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menentukan preferensi politiknya tentang suatu masalah, terutama yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain, dia punya hak untuk ikut menentukan agenda apa yang diperlukan.

Hak untuk berkumpul dan berserikat dapat diwujudkan dengan memasuki berbagai organisasi politik dan non-politik tanpa dihalang-halangi oleh siapapun dan institusi mana pun. Kebebasan pers dalam suatu masyarakat yang demokratis mempunyai makna bahwa masyarakat dunia pers dapat menyampaikan informasi apa saja yang dipandang perlu sepanjang tidak mempunyai elemen menghina, menghasut atau mengadu domba sesama warga masyarakat.

Arend Lijphart melihat demokrasi dari sudut sistem dan membagi demokrasi dalam dua sistem, yakni demokrasi konsensus dan demokrasi mayoritas.

Demokrasi mayoritas sering juga disebut sebagai demokrasi Westminter, yaitu istana yang digunakan sebagai gedung Parlemen Inggris. Sistem demokrasi mayoritas ini banyak diterapkan oleh negara-negara yang persaingannya lebih banyak berlangsung antara dua partai besar seperti di Inggris.

Dalam demokrasi mayoritas ini dituntut kemampuan partai politik untuk memperoleh mayoritas sebagai syarat untuk membentuk kabinet dalam pemerintahan.

Sedangkan demokrasi konsensus sebaliknya merupakan jawaban terhadap ketidakmampuan demokrasi mayoritas dalam mengakomodasi kelompok-kelompok minoritas. Demokrasi ini berkembang di atas akar-akar konsensus masyarakat yang bersangkutan. Biasanya dalam model ini sistem kepartaiannya berbentuk multi-partai.

Demokrasi konsensus menjadikan pemerintahan koalisi sebagai jalan untuk memelihara kemajemukan masyarakat, partai politik dan badan legislatif. Partai-partai kecil sebagai salah satu saluran politik kelompok minoritas dapat berperan langsung dalam kabinet melalui kabinet-kabinet koalisi.

Memperhatikan kedua model demokrasi ini kita bisa berpandangan bahwa keduanya lebih banyak dipraktekkan sebagai bargaining partai politik.

Adapun model demokrasi yang dikembangkan oleh Macpherson adalah demokrasi ekonomi atau demokrasi dalam perspektif pembangunan. Sehingga, muncul _______________________________Segi-segi Normatif Perkembangan Demokrasi Kontemporer, Hasnawi Haris

pula demokrasi dalam pandangan liberal yaitu demokrasi protektif, demokrasi development dan demokrasi equilibrium.

Demokrasi protektif dirancang untuk melindungi pihak yang diperintah karena penindasan oleh pemerintah. Demokrasi development sebagai sarana bagi pembangunan diri individu dan demokrasi equilibrium didasarkan pada kompetisi antara elit-elit dengan tingkat partisipasi rakyat yang kecil. Selain itu juga dikenal demokrasi bagi masa depan yaitu “demokrasi partisipatif”.

Konsep-konsep demokrasi seperti yang dikemukakan di atas, merupakan konsep yang ideal dan normatif sehingga memerlukan perjuangan yang besar untuk mengimplementasikan dalam kehidupan berbangsa.

Dalam hubungan ini, Riswanda Imawan menyatakan bahwa demokrasi hanya mungkin berkembang dalam iklim yang demokratis, dan iklim yang demokratis ini tentunya akan membentuk suatu tantangan kehidupan politik dimana harus menghadapi kondisi berikut ini :

Pertama, warga negara secara bebas dan berkala memilih orang-orang yang mereka nilai layak dipercaya untuk memerintah.

Kedua, orang yang memerintah dapat dipercaya dan bertanggung jawab langsung kepada orang yang diperintah.

Ketiga, ada mekanisme politik yang memungkinkan warga negara dapat mengontrol sejauhmana kepentingan mereka dilaksanakan oleh orang yang memerintah.

Keempat, adanya kesejajaran tawar-menawar politik antara warga negara dengan orang yang memerintah sebagai jaminan tercapainya hubungan yang bersifat konsultatif.

Selanjutnya dikatakan bahwa proses demokrasi dalam setiap negara agar bisa berjalan efektif, paling tidak memerlukan dua hal yakni:

Pertama, rasionalisasi terhadap kekuasaan negara. Menumbuh-kembangkan masyarakat madani tidak identik dengan menghapus negara. Keberadaan negara tetap diperlukan karena dua alasan penting, yaitu (i) kenyataan semodern apapun satu bangsa tetap memerlukan pemerintah sebagai instrumen untuk menyelenggarakan kepentingan umum yang paling mendasar seperti keamanan, (ii) sebagai kekuatan otonom, ada kecenderungan setiap kelompok masyarakat madani merasa “merdeka” sehingga berpotensi menghancurkan masyarakat madani itu sendiri. Pandangan Hegel tentang civil society mestinya mendapatkan perhatian dari kelompok masyarakat madani, agar konstruksi masyarakat madani tidak hancur.

Kedua, keberanian warga negara untuk aktif berpartisipasi dalam proses politik. Tanpa adanya keberanian warga negara untuk menuntut hak-hak politik mereka, maka proses demokratisasi akan kembali ke titik awal yaitu otoritarianisme. Hak berpolitik yang selama ini tidak diberikan cenderung untuk tetap tidak diberikan atau jika diberikan tetapi dalam batas yang minimal, sebab esensi politik yang berorientasi kekuasaan memang tertuju pada upaya merebut dan mempertahankan hak-hak politik yang dikuasai. Tanpa adanya militansi dari warga negara untuk menuntut, menganggu rezim untuk segera menyerahkannya bisa jadi akan dipahami oleh masyarakat bahwa mereka tidak memang tidak membutuhkannya.

50

Di era reformasi dewasa ini, demokrasi dapat digambarkan sebagai suatu piramida yang mengandung empat sub, yang masing-masing sub terdiri dari pelbagai indeks atau indikator kinerja yang dapat diaudit untuk mengukur seberapa jauh suatu negara benar-benar demokratis.

Piramida pertama, adanya sistem pemilihan yang bebas dan adil (free and fair elections). Di dalam kerangka ini, indikator kinerjanya antara lain mencakup;

(i) pemilihan umum yang berbasis pada kompetisi terbuka, (ii) hak pilih dan sistem pemilihan yang bersifat rahasia,

(iii) pemberian kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan publik tanpa diskriminasi,

(iv) adanya pemerintahan yang independen dan bebas dari penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh-pengaruh eksternal lain terhadap pemilih, (v) akses yang adil dan sama dari partai dan kandidat untuk menggunakan

media dan sarana-sarana komunikasi yang lain.

Piramida kedua, adanya pemerintahan yang terbuka, dan bertanggungjawab serta bersifat responsif. Adapun indikator-indikatornya adalah mencakup:

(i) keterbukaan informasi terhadap apa yang dilakukan penguasa, (ii) efek dari kebijakan,

(iii) independensi sarana-sarana informasi milik pemerintah,

(iv) efektifitas pengawasan terhadap pejabat pemerintah baik sipil maupun militer,

(v) efektifitas pengawasan parlemen terhadap eksekutif, (vi) ketaatan eksekutif terhadap “the rule of law”,

(vii) transparansi pengaturan yang mengendalikan kekuasaannya,

(viii) jaminan pengadilan bahwa eksekutif taat pada hukum termasuk efektifitas acaranya,

(ix) adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pengaruh eksekutif dan pihak lain,

(x) sampai seberapa jauh administrasi hukum terbuka bagi efektifitas pengawasan publik.

Piramida ketiga, adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya hak sipil dan politik. Indikatornya adalah:

(i) seberapa jauh hukum mendefinisikan hak-hak sipil dan politik serta kebebasan warga negara dan seberapa jauh pula hal ini terlindungi, (ii) seberapa jauh keberadaan lembaga-lembaga sukarela dikembangkan

dalam rangka pemantauan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut,

(iii) seberapa jauh efektifitas prosedur dan sistem sosialisasi hak-hak tersebut terhadap masyarakat,

(iv) seberapa jauh perlindungan terhadap pengungsi dan imigran yang membutuhkan perlindungan.

Piramida Keempat, adanya rasa percaya diri warga negara dalam kehidupan demokratis atas dasar kekuatannya sendiri untuk mempengaruhi pelbagai keputusan kolektif yang bermanfaat bagi kehidupannya. Indikator-indikator terhadap piramida ini adalah sebagai berikut:

(i) ketiadaan diskriminasi terhadap minoritas atas dasar kesepakatan nasional, (ii) pengawasan NGO’s,

(iii) pluralisme media komunikasi,

(iv) partisipasi masyarakat dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik atas dasar prinsip keterbukaan.

Muladi kemudian mengunci bahwa aktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi di atas bersifat universal, indivisible, dan interdependen. Semuanya harus dilakukan secara simultan dan tidak boleh dilakukan dengan mengutamakan salah satu atau beberapa indeks di satu pihak, seraya mengabaikan indeks-indeks yang lain.

Sementara itu, Juan J. Linz dan Alfred Stepan seperti yang dikutip Tanuredjo memaparkan lima parameter keberhasilan proses konsolidasi demokrasi pada masa transisi politik di Indonesia, sebagai berikut:

1. Adanya masyarakat sipil yang otonom dan diberikan jaminan-jaminan hukum untuk berorganisasi dan menyatakan pendapat,

2. Adanya masyarakat politik dimana tokoh-tokohnya diberi kesempatan terbuka untuk bersaing secara sehat guna menjalankan kontrol atas kekuasaan,

3. Dianutnya ideologi supremasi hukum,

4. Adanya sebuah birokrasi yang dalam bahasa Max Weber memenuhi persyaratan legal-rasional, yakni sebuah birokrasi yang mendukung dan melayani masyarakat sipil dalam menjalankan tugas pemerintahan,

5. Terciptanya sebuah masyarakat ekonomi yang menjadi perantara antara negara dan masyarakat untuk menjalankan perekonomian.

Salah satu yang menarik dicermati sekitar pernak-pernik demokrasi yang terkesan ‘bombastis’ dan ‘unik’ itu adalah pandangan Fatah yang sampai pada tiga tema diskursus demokrasi yaitu:

(i) bagaimana kita mendamaikan paradoks yang inheren dalam demokrasi yaitu antara kebebasan dan konflik di satu sisi dengan keteraturan, stabilitas dan konsensus di sisi lain?

(ii) sejauhmana demokrasi sebagai idea politik dengan demokrasi sebagai praktek politik telah terpisah satu sama lain?

(iii) lalu, jika demikian, apa sebenarnya hakikat demokrasi jika kita terjemahkan dari idea-normatif ke dalam praktek politik?

Menurutnya, jika demokrasi sebuah paradoks maka kunci untuk mendamaikan paradoks dalam demokrasi terletak pada cara kita memperlakukan demokrasi. Demokrasi seyogyanya diperlakukan semata sebagai sebuah cara atau proses dan bukan sebagai tujuan, apalagi disakralkan.

Apabila demokrasi kita perlakukan sebagai cara, maka keteraturan, stabilitas dan konsensus tidak ditempatkan sebagai tujuan yang sakral. Dengan demikian, keteraturan, stabilitas dan konsensus yang dicita-citakan dan dibentukpun diposisikan sebagai hasil bentukan dari proses yang penuh kebebasan, persuasi dan dialog yang bersifat konsensual. Berbeda halnya kalau hal tersebut diposisikan sebagai tujuan yang sakral, maka boleh jadi ia dibentuk secara ironis dan paradoksal oleh pemaksaan, koersif dan represif bahkan intimidasi.

52

Kenyataan demikianlah yang seringkali muncul dalam praktek politik demokrasi, sehingga demokrasi sebagai idea politik menjadi satu kotak yang terpisah dari kotak lain (demokrasi sebagai praktek politik).

Sementara itu, dalam perspektif hukum, Sri Soemantri berpendapat bahwa sebuah negara dikatakan demokratis, dapat dilihat dari pembikinan (pembuatan-pen) hukumnya yakni:

1. hukum itu tidak ditetapkan kecuali dengan keputusan/persetujuan wakil-wakil rakyat yang dipilih secara bebas,

2. hasil pemilihan umum atau campur tangan badan perwakilan rakyat mengakibatkan pergantian orang-orang pemerintahan,

3. pemerintah harus terbuka,

4. kepentingan minoritas harus dipertimbangkan.

Senada dengan hal itu, Miriam Budiardjo menegaskan bahwa demokrasi konstitusional pertama-tama merupakan Rechstaat, lebih terinci disebut:

1. perlindungan konstitusional,

2. badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, 3. pemilihan umum yang bebas,

4. kebebasan menyatakan pendapat,

5. kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi, 6. pendidikan kewarganegaraan,

7. kebijakan politik ditetapkan atas dasar kehendak mayoritas.

Lebih jauh dikatakan bahwa ciri-ciri tersebut tercapai melalui struktur institusional yang memuat unsur-unsur sebagai berikut:

1. pemerintahan yang bertanggungjawab,

2. dewan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum bebas yang minimal beralternatif dua, yang melakukan pengawasan,

3. adanya beberapa partai politik, 4. pers/media bebas,

5. sistem peradilan yang bebas, yang menjamin hak asasi manusia.

Pada perspektif hukum yang lain, Asshiddiqie mengemukakan bahwa untuk mendamaikan das sollen dan das sein demokrasi, perlu mengenal konsep “democratische rechtstaat” dan “constitutional democracy”.

Constitutional democracy merupakan gagasan demokrasi yang berdasar atas hukum yang bersifat horizontal mengandung empat prinsip pokok, yaitu:

1. adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama, 2. pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas, 3. adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama, 4. adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan

yang ditaati bersama.

Sedangkan democratische rechtstaat terkait dimensi kekuasaan yang bersifat vertikal antara institusi negara dengan warga negara, keempat prinsip pokok di atas dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip yakni:

1. pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,

2. pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal.

3. adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak (independent and impartial) dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran,

4. dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara),

5. adanya mekanisme “judicial review” oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun oleh lembaga eksekutif,

6. dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut di atas,

7. pengakuan terhadap asas legalitas atau ‘due process of law’ dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.

PENUTUP

Bertitik tolak dari pandangan dari para ahli di atas, nampaknya secara umum kita tidak dapat secara ekstrim mengakomodasi hanya satu pendapat, karena secara riil mereka memiliki sudut pandangnya masing-masing yang dilatari oleh keragaman disiplin ilmu mereka.

Namun demikian, ada satu ‘benang merah’ yang dapat dijadikan patron berpijak yakni ciri atau kriteria yang mereka kemukakan secara substansial dan konseptual tak satupun yang saling bertentangan satu sama lain, bahkan perbedaan yang ada justru saling menunjang dan mendukung.

Berdasarkan hal tersebut, tepatlah jika kemudian Suseno memberikan keluwesan berpikir bahwa demokrasi itu sesungguhnya sebagai paham yang bersifat: (1) Relatif. Tuntutan etika politik hanya berlaku sejauh situasi memungkinkan pelaksanaannya. Apabila syarat-syarat obyektif pemerintahan demokratis belum ada, maka tak ada landasan etis untuk menuntut demokrasi; (2) Kontekstual. Bagaimana salah satu ciri pemerintahan demokratis harus terwujud tergantung dari konteks negara yang bersangkutan. Misalnya kebebasan untuk menyatakan pendapat tidak dapat dituntut tanpa perhatian pada konteks sosial, kultural dan politik. Operasionalisasi ciri-ciri demokrasi harus sedemikian rupa sehingga mencapai maksud mereka secara optimal menurut kondisi-kondisi nyata yang ada; dan (3) Dinamis. Paham demokrasi sendiri maupun ciri-cirinya berkembang terus. Demokrasi adalah bentuk kenegaraan yang tidak pernah dan tidak pernah selesai. Tidak mungkin memandang demokrasi secara hitam putih. Tak ada “demokrasi maksimal”, selalu masih ada kemungkinan untuk meningkatkan atau mengoptimalisasikan kadar demokrasi suatu negara dan kemungkinan itu selalu relatif terhadap konteksnya masing-masing. Jadi dinamisnya demokrasi karena perubahan masyarakat yang berjalan terus menuntut penyesuaian

54

institusi-institusi demokratis terus menerus juga. Atau seperti yang dikemukakan Robert A. Dahl bahwa demokrasi yang berbentuk demokratisasi itu dalam proses dan selalu hanya dalam proses.

DAFTAR PUSTAKA

Eep Syaefulloh Fatah, 2000. Penghianatan Demokrasi Ala Orde Baru. Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. PT Remaja Rosda Karya, Bandung.

Samuel P. Huntington, 2001. Gelombang Demokratisasi Ketiga. PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Frans Magnis Suseno, 1995. Mencari Sosok Demokrasi. Sebuah Telaah Filosofis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Moh. Mahfud MD. 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Penerbit Liberty, Jogyakarta.

Nurcholis Majid, 1999. Demokrasi dan Kebebasan. Tabloid tekad Nomor 36/Tahun I, 5-11 Juli.

Mohtar Mas'oed, 1998. Negara, Kapital dan Demokrasi. Pustaka Pelajar, Jogyakarta. Afan Gaffar, 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar,

Jogyakarta.

Bambang Cipto, 2000. Partai Kekuasaan dan Militerisme. Pustaka Pelajar, Jogyakarta. Riswanda Imawan, 2000. Membongkar Mitos Masyarakat Madani. Pustaka Pelajar,

Jogyakarta.

Ryaas Rasyid, 2000. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan. Yasrif Watampone, Jakarta.

Muladi, 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia. The Habibie Center. Jakarta.

Satya Arinanto, 2003, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum. Universitas Indonesia, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Konstitusi Press, Jakarta.

FILSAFAT, ETIKA DAN HUKUM DALAM PERKEMBANGAN