V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tata Kelola Ekonomi Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah
Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah merupakan wilayah yang disurvei oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) di tahun 2007. Dalam pemeringkatan tersebut, KPPOD menetapkan sembilan indikator yang digunakan untuk menggambarkan tata kelola ekonomi daerah di 35 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. Sembilan indikator tersebut yaitu Akses Terhadap Lahan Usaha dan Kepastian Berusaha, Perizinan Usaha, Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha, Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS), Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah, Biaya Transakasi, Infrastruktur Daerah, Keamanan dan Penyelesaian Konflik, dan Peraturan Daerah. Skor tata kelola ekonomi daerah kabupaten dan kota di Jawa Tengah ditunjukkan oleh Tabel 8.
Berdasarkan laporan tersebut, pemerintah daerah kabupaten dan kota di Jawa Tengah yang memiliki pelayanan akses lahan usaha yang terbaik adalah Kabupaten Wonosobo dengan skor 80,2, disusul pada peringkat kedua dan ketiga yaitu Kabupaten Banjarnegara dengan skor 79,1 dan Kabupaten Rembang dengan skor 76,1. Sedangkan yang terburuk ditempati Kota Surakarta dengan skor 46.6. Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah di Kabupaten Wonosobo jauh lebih cepat dibanding Kota Surakarta. Lama pengurusan rata-rata status tanah di Kabupaten Wonosobo adalah 15 minggu, sedangkan di Kota Surakarta mencapai 27 hari. Di samping itu, frekuensi konflik lebih sering terjadi di Kota Surakarta daripada di Kabupaten Wonosobo. Sebesar 49 persen para pelaku usaha di Kota Surakarta menilai sering terjadi persoalan/konflik mengenai kepemilikan
lahan di daerahnya. Sementara di Kabupaten Wonosobo, pelaku usaha yang menilai sering terjadi konflik kepemilikan lahan di daerahnya hanya 6,5 persen.
Untuk indikator pelayanan terbaik perizinan usaha peringkat satu, dua dan tiga ditempati oleh Kabupaten Rembang (skor 73,6), Kabupaten Purbalingga (skor 70,2), dan Kabupaten Demak (skor 66,3). Sedangkan peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Pemalang dengan skor 37,6. Tiga kabupaten terbaik tersebut telah menjalankan sistem pelayanan perizinan usaha yang sudah cukup baik bagi para pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat dari lebih dari 98 persen para pelaku usaha di ketiga kabupaten tersebut menilai bahwa perizinan usaha merupakan hambatan kecil bagi kinerja perusahaan. Perusahaan di Kabupaten Pemalang yang merupakan kabupaten skor terkecil dibanding dengan kabupaten/kota lain di Jawa Tengah yang memiliki Tanda Daftar Perusahaan (TDP) sangat kecil yaitu 33,3 persen dari total perusahaan yang disurvei di kabupaten tersebut. Hal ini terjadi karena waktu yang dibutuhkan untuk perolehan TDP relatif lebih lama dibanding kabupaten/kota lain, yakni 20 hari kerja.
Tiga besar kabupaten dan kota terbaik dalam indikator interaksi Pemda dan pelaku usaha, yaitu Kabupaten Demak (skor 65,9), Kabupaten Purbalingga (skor 65,3) dan Kabupaten Magelang (61,1 persen). Sedangkan yang terburuk dalam indikator ini adalah Kabupaten Banyumas dengan skor 26,3. Seluruh perusahaan yang menjadi responsen sepakat menilai bahwa hal-hal yang berkaitan dengan interaksi Pemda dengan pelaku usaha menjadi hambatan kecil bagi kinerja perusahaan. Mereka menilai bahwa kebijakan pemerintah Kabupaten Demak berpengaruh besar terhadap kinerja perusahaan. Kabupaten Demak telah memiliki forum komunikasi antara Pemda dan pelaku usaha walaupun masih belum
sempurna, namun sudah cukup memberikan solusi kepada pelaku usaha dalam menghadapi permasalahan dunia usaha.
Pemerintah daerah yang memiliki program pengembangan usaha swasta terbaik adalah Kabupaten Klaten (skor 64,5), Kabupaten Tegal (skor 61,9), Kabupaten Semarang (57,4). Untuk Indikator program pengembangan usaha swasta, Kabupaten Cilacap menempati peringkat terakhir dengan skor 27,3. Pada dasarnya, seluruh pelaku usaha mengetahui bahwa terdapat program yang disediakan oleh pemda dalam rangka mengembangkan bisnis. Namun, pelaku usaha di Kabupaten Cilacap menilai bahwa program-program tersebut hanya memberikan manfaat yang relatif kecil bagi perusahaan. Hal ini dilihat dari 98 persen pelaku usaha di Kabupaten Cilacap mengatakan program pengembangan usaha yang dilaksanakan pemda memiliki manfaat kecil bahkan sangat kecil bagi kinerja perusahaan mereka. Hal ini terjadi karena pemda belum dapat menyelenggarakan program pengembangan bisnis yang tepat dan sesuai bagi pengembangan usaha-usaha di kabupaten tersebut.
Untuk indikator kapasitas dan integritas Kepala Daerah peringkat tiga terbaik ditempati oleh Kabupaten Purbalingga (skor 78,9), Kabupaten Rembang (skor 69,4), Kabupaten Demak (skor 67,4). Sedangkan untuk peringkat terburuk ditempati oleh Kabupaten Banyumas dengan skor 27,1. Rendahnya skor di Kabupaten Banyumas tersebut karena Kepala Daerah (Bupati) dinilai tidak memahami masalah dunia usaha yang sedang dihadapi oleh pelaku usaha lokal di daerah tersebut. Lebih dari 70 persen para pelaku usaha menilai tidak setuju jika Bupati mereka dinyatakan memahami permasalahan dunia usaha, bertindak profesional dan tegas dalam kasus korupsi korupsi birokratnya.
Kabupaten/kota yang memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha adalah Kabupaten Pati (skor 85,1), Kabupaten Kudus (skor 84,9) dan Kabupaten Rembang (skor 83,6). Sedangkan Kabupaten Semarang merupakan kabupaten dengan biaya transaksi termahal di Jawa Tengah dengan hanya memiliki skor sebesar 52,3. Total biaya yang dibayarkan yang oleh perusahaan, termasuk pajak dan retribusi, di Kabupaten Pati pada tahun 2007 relatif lebih rendah dibanding kabupaten/kota lain yakni sebesar Rp 393.600 tiap perusahaan. Sedangkan Kabupaten Semarang tertinggi kedua di Jawa Tengah yakni rata-rata sebesar Rp 7.318.750 per perusahaan. Hal inilah yang merupakan salah satu penghambat utama bagi kinerja perusahaan di kabupaten tersebut.
Menurut laporan TKED, banyak pengusaha yang terpaksa memberikan biayatambahan untuk keamanan, baik kepada organisasi massa (ormas) maupun kepada preman. Pembayaran biaya informal oleh pelaku usaha kepada kepolisian di Kabupaten Pati lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada Ormas dan preman untuk mendapat jaminan perlindungan usaha. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Kabupaten Semarang, pelaku usaha lebih banyak menyerahkan uang keamanan kepada aparat pemda dan preman daripada kepada kepolisian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Pati memiliki biaya transaksi termurah dan tidak membebankan pelaku usaha daripada Kabupaten Semarang.
Untuk kabupaten/kota yang telah memiliki indikator infrastruktur daerah terbaik adalah Kabupaten Magelang (skor 83,7), Kabupaten Kudus (skor 82,8), dan Kabupaten Banyumas (skor 82,2). Sedangkan Kabupaten Pemalang merupakan kabupaten terburuk di Jawa Tengah dalam indikator ini dengan skor
63,8. Di Kabupaten Magelang, lama perbaikan infrastruktur baik jalan maupun lampu penerangan relatif lebih singkat daripada kabupaten lainnya. Lama perbaikan jalan di Kabupaten Magelang rata-rata hanya 40 hari sedangkan di Kabupaten Pemalang lebih dari dua bulan. Untuk perbaikan lampu penerangan jalan, di Kabupaten Magelang hanya dua hari sedangkan di Kabupaten Pemalang mencapai satu minggu. Kualitas jalan raya di Kabupaten Magelang pun dinilai sangat baik oleh para pelaku usaha.
Penempatan Kabupaten Pemalang sebagai kabupaten terburuk di bidang infrastruktur selain dilihat dari lama perbaikan, juga dapat dilihat dari kualitas infrastruktur, misalnya kualitas jalan. Kualitas jalan di Kabupaten Pemalang relatif lebih buruk dibanding yang lain. Hal ini ditunjukan oleh hanya 53 persen dari total responden menilai kualitas infrastruktur baik. Selebihnya, sebesar 47 persen menilai buruk. Bahkan, jalan Pantai Utara (Pantura) yang menjadi jalan utama di Kabupaten Pemalang pun relatif sempit dan memiliki kualitas buruk (banyak jalan yang rusak). Hal ini jelas menghambat aktivitas transportasi bagi perusahaan-perusahaan di sekitarnya.
Untuk indikator jaminan keamanan dan penyelesaian sengketa terbaik adalah Kabupaten Banjarnegara (skor 77), peringkat kedua Kabupaten Banyumas (skor 71,9), dan peringkat ketiga Kabupaten Demak (skor 69,8). Kabupaten yang terburuk dalam indikator ini adalah Kota Tegal dengan nilai 39,8. Perbedaan antara kabupaten yang terbaik dan terburuk dapat disebabkan oleh banyaknya kasus pencurian yang terjadi, kualitas penanganan masalah kriminal dan demostrasi buruh oleh polisi. Pelaku usaha mengatakan bahwa selama tahun 2007 rata-rata hanya satu kali kejadian pencurian di Kabupaten Banjarnegara.
Sementara di Kota Tegal, pelaku usaha rata-rata mengatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut terdapat tiga kali kejadian pencurian. Lebih dari 90 persen pelaku usaha di Kabupaten Banjarnegara, menilai polisi telah mengambil tindakan tepat waktu dalam menangani kasus kriminal yang berhubungan dengan kegiatan usaha. Sedangkan pelaku usaha di Kota Tegal yang menilai hal tersebut hanya 72 persen. Tidak hanya itu, kualitas polisi dalam menangani kasus demonstrasi buruh pun jauh lebih baik di Kabupaten Magelang daripada di Kota Tegal. Sehingga pelaku usaha lokal Kabupaten Magelang merasa aman dan nyaman berusaha karena kualitas jaminan keamanan usaha yang sangat baik.
Indikator kualitas peraturan daerah yang terbaik ditempati oleh Kabupaten Boyolali (skor 100), Kabupaten Pemalang (skor 98,3), dan Kabupaten Pekalongan (skor 94,4). Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Wonosobo merupakan kabupaten terburuk dalam indikator ini dengan nilai 61,1 persen. Secara keseluruhan kualitas peraturan daerah di Jawa Tengah dinilai oleh KPPOD sudah sangat baik. Kabupaten Boyolali merupakan salah satu dari 10 kabupaten/kota yang diberi skor 100 pada indikator kualitas perda di tahun 2007. KPPOD menilai bahwa kualitas peraturan daerah di Kabupaten Boyolali terkait dengan lalu lintas barang dan jasa, serta ketenagakerjaan memenuhi tiga kategori yaitu kategori prinsip, kategori substansi, dan kategori acuan yuridis.
Setelah mendapatkan nilai-nilai dari sembilan indikator tersebut, tahap selanjutnya adalah mendapatkan nilai Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) secara keseluruhan untuk menilai kabupaten dan kota yang memiliki tata kelola ekonomi daerah terbaik di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan Tabel 8. peringkat lima kabupaten dan kota terbaik di Jawa Tengah pada tahun 2007
ditempati oleh Kabupaten Purbalingga dengan nilai indeks TKED sebesar 71,1, Kota Magelang (skor 70,5), Kabupaten Kudus (skor 69), Kota Salatiga (skor 68,6), dan Kabupaten Wonosobo (skor 68,2). Sedangkan lima peringkat terbawah ditempati oleh Kabupaten Karanganyar dengan nilai indeks TKED 59, Kota Surakarta (skor 58,7), Kabupaten Pemalang (skor 57,5), Kota Semarang (skor 57,2), dan kabupaten/kota yang terburuk tata kelola ekonomi daerah di Jawa Tengah pada tahun 2007 adalah Kabupaten Kebumen yang hanya mendapat nilai TKED sebesar 55,2.
Menariknya, Kota Surakarta dimana memiliki Walikota yang merupakan salah satu pemimpin daerah terbaik di dunia namun memiliki indeks tata kelola ekonomi daerah terendah keempat di Jawa Tengah. Jika dianalisis, indikator akses lahan di Kota Surakarta memiliki nilai sub-indeks terendah di Jawa Tengah. Hal ini dapat diindikasikan bahwa tingkat terjadinya penggusuran dan konflik lahan lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Pemda Surakarta memang lebih memihak kepada para PKL daripada para UKM. Pemda Surakarta memiliki kepedulian yang tinggi terdahap nasib para PKL. Keberpihakan pemda ditunjukkan dari pembangunan tempat berusaha yang layak untuk para PKL daripada untuk UKM dan UB. Oleh karena itu, kota ini dinilai oleh UKM dan UB sebagai responden survei sebagai kota dengan frekuensi penggusuran dan konflik lahan tertinggi di Jawa Tengah.
Tabel 8 Indeks TKED tahun 2007 kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah No Kabupaten/kota Ak se s L ah an Us ah a d an Ke p astian Us ah a Iz in Us ah a In tera k si P em d a d an P elak u Us ah a P ro g ra m P en g em b an g an Us ah a S wa sta Ka p asitas d an In teg rit as Bu p ati /W ali k o ta Biay a Tran sa k si Ke b ij ak an I n fra stru k tu r Da era h Ke am an an d an P en y eles aian S en g k eta Ku ali tas P era tu ra n De ra h In d ek s T ata Ke lo la Ek o n o m i Da era h P erin g k at 1 Cilacap 72,4 55,8 50,6 27,3 56,8 66,8 74,2 64,5 61,1 61,4 130 2 Banyumas 58,3 58,2 26,3 36,8 27,1 75 82,2 71,9 90,2 62,3 120 3 Purbalingga 75,9 70,2 65,3 48,7 78,9 75,8 78,4 69 91,3 71,1 13 4 Banjarnegara 79,1 61 54,3 35,3 64,9 74 78,1 77 92,2 67,4 49 5 Kebumen 69,7 53,4 48,2 19,7 51,6 59,1 64,9 55,1 89,1 55,2 209 6 Purwerejo 68,2 58,9 50,3 35,6 44,6 66,5 73,9 51,1 93,2 61,7 125 7 Wonosobo 80,2 61,9 58,1 36,6 65,3 77,4 77,7 79,4 61,1 68,2 36 8 Magelang 70,2 56,3 61,1 41,8 59,1 75,1 78 61,6 80,7 66,6 63 9 Boyolali 74 60,4 55,4 39,8 59,6 81,9 78,4 52 100 67,3 51 10 Klaten 71,3 60,8 55,7 64,5 57 81,4 68,5 52 98,8 67 55 11 Sukoharjo 70 62,3 62,2 36,9 58,2 72,7 72,3 53,8 93,2 64,1 91 12 Wonogiri 65,9 57,2 51,6 36,9 57,5 66,5 68,9 50,4 86 59,9 156 13 Karanganyar 59,8 59,3 59,8 44,6 60,3 55,7 65,7 46,7 86,1 59 164 14 Sragen 67,5 58 54,3 34,4 63,2 73,4 76,2 46,9 75,3 63,3 106 15 Grobogan 70,2 62,5 49,4 43,2 65,4 77,2 72,2 65,9 69,1 64,6 87 16 Blora 75,8 65 55,4 35,9 65,1 66,5 74,7 63 87,9 65 78 17 Rembang 76,1 73,6 52,7 34,5 69,4 83,6 74,6 70,5 92 67,4 50 18 Pati 71,8 64,3 51 34,6 57,5 85,1 81,8 64,8 87,3 68 38 19 Kudus 68,5 62,9 57,2 39,4 57,4 84,9 82,8 60,6 89,3 69 27 20 Jepara 75,7 63,7 54,7 45,1 53,4 72,8 76,6 62,4 93,2 67,3 53 21 Demak 64,8 66,3 65,9 52,9 67,4 76,4 71,1 69,8 66,3 66,9 57 22 Semarang 65,5 59,5 48,3 57,4 34,3 52,3 69,4 48,2 98 61,1 135 23 Temanggung 72 54,4 62,9 37,2 57,8 76,3 76,7 63,1 85,8 66 73 24 Kendal 69,7 61,8 51,8 53,5 52,9 73,3 77,5 66,5 65,4 67,4 48 25 Batang 62,2 64,4 58,4 40,3 52,3 71,3 77,2 64,7 79,7 65,1 76 26 Pekalongan 71 53,1 50,7 31,1 49,4 74,6 77,2 42,3 94,4 62,7 116 27 Pemalang 71,1 37,6 42,8 41,5 51,8 70,8 63,8 53,5 98,3 57,5 179 28 Tegal 70,7 60,3 56,9 39,5 52,6 69,8 73,7 49,3 94,1 63,8 97 29 Brebes 74,5 61,7 54 34,3 52,8 78,1 75,9 53,8 76,4 65 79 30 Kota Magelang 66,3 63 63,7 51,9 55,4 79,1 83,7 55,7 73,9 70,5 19 31 Kota Surakarta 46,6 55,7 49,8 47,3 59,7 54,8 73,1 45,5 90,7 58,7 168 32 Kota Salatiga 73,5 74 60,4 50 63,6 79 72,9 61,9 90,3 68,6 29 33 Kota Semarang 52,6 58 53 42,5 44,8 59,9 66 48,5 97,7 57,2 184 34 Kota Pekalongan 60,1 64,8 54,6 41,2 58,5 78 75,6 43,4 93,6 64,1 93 35 Kota Tegal 67,1 60,4 54,6 61,9 57,4 66,1 68,1 39,8 79,9 63,6 99 Sumber: KPPOD 2007
5.2. Keterkaitan Variabel-Variabel Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Dalam melakukan survei, instrumen yang digunakan adalah menggunakan kuisioner dan wawancara langsung dengan pelaku usaha. Lebih dari 90 pertanyaan yang ditanyakan kepada pelaku usaha termasuk informasi umum dan kesimpulan yang digunakan untuk pembobotan indeks akhir. Hanya sekitar 45 pertanyaan yang sesuai dengan variabel dari indikator tata kelola ekonomi daerah yang dianalisis dalam penelitian ini. Untuk mengetahui hubungan antara variabel tata kelola ekonomi daerah terhadap PDRB per kapita kabupaten dan kota di Jawa Tengah dilakukan uji korelasi Pearson untuk data interval, uji korelasi spearman untuk data ordinal dilengkapi dengan scatter plot serta boxplot-nya.
5.2.1. Hubungan Variabel Akses Lahan dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Variabel-varibel Akses Lahan yang ditanyakan memiliki skala yang berbeda, yaitu skala ordinal dan skala interval. Pada variabel waktu yang dibutuhkan untuk kepengurusan status tanah (Q30) memiliki skala interval, yaitu lama waktu kepengurusan dalam minggu. Oleh karena itu, variabel ini dianalisis menggunakan uji korelasi spearman.
Berdasarkan uji korelasi Pearson maupun scatter plot (Gambar 12), dapat dilihat bahwa variabel waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah berhubungan negatif secara signifikan pada tingkat 10 persen terhadap PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Dalam hal ini, dapat diduga bahwa semakin lama kepengurusan lahan, akan menyebabkan PDRB per kapita semakin rendah. Jika semakin lama pengurusan setifikat lahan,
maka akan menghambat dimulainya suatu usaha. Sebaliknya semakin cepat pengurusan sertifikat lahan, perusahan-perusahaan baru semakin cepat tumbuh. Dengan demikian, perekonomian akan tumbuh dan PDRB per kapita pun semakin besar.
Tabel 9 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama kepengurusan status tanah
Correlations Q30 L_PDRBKAP Pearson Correlation -0,28 Sig. (2-tailed) 0,1* PE Pearson Correlation -0,31 Sig. (2-tailed) 0,07*
*. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan
Sumber: Data Olahan
Gambar 12 Hubungan ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama kepengurusan status tanah.
Empat variabel akses lahan lainnya yakni persepsi tentang kemudahan perolehan lahan (Q32), persepsi tentang penggusuran lahan oleh pemda (Q33 dan
Q30 25 20 15 10 5 17.5 17.0 16.5 16.0 15.5 15.0 25 20 15 10 5 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 L_PDRBKAP PE
Q34), frekuensi konflik (Q35) dan peresepsi keseluruhan permasalahan lahan usaha (Q36) memiliki skala ordinal. Dalam menganalisis variabel-variabel tersebut menggunakan uji Spearman yang dilengkapi dengan boxplot.
Tabel 10 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persepsi kemudahan perolehan lahan, persepsi penggusuran lahan oleh pemda, persepsi frekuensi konflik dan persepsi keseluruhan permasalahan lahan usaha
Correlations
Q32 Q33 Q34 Q35 Q36
PDRBKAP Correlation Coefficient 0,09 -0,12 -0,29 -0,36 -0,05 Sig. (2-tailed) 0,59 0,51 0,09* 0,03** 0,74 PE Correlation Coefficient -0,15 -0,39 -0,24 -0,35 0,21 Sig. (2-tailed) 0,39 0,02** 0,16 0,04** 0,23
**. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan
Sumber: Data Olahan
Gambar 13 Boxplot persepsi penggusuran lahan dengan PDRB per kapita.
Q34 PD RB KA P 4 3 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0
Seringkah terjadi penggsuran di wilayah ini? 3 = Jarang
Sumber: Data Olahan
Gambar 14 Boxplot persepsi frekuensi konflik lahan dengan PDRB per kapita.
Sumber: Data Olahan
Gambar 15 Boxplot persepsi kemungkinan penggusuran lahan dengan pertumbuhan ekonomi. Q35 PD RB KA P 4 3 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0 3 = Jarang 4 = Tidak Pernah
Seberapa sering konflik kepemilikan lahan terjadi?
Q33 PE 4 3 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5
Seberapa mungkin terjadi penggusuan di wilayah ini? 3 = tidak mungkin
Sumber: Data Olahan
Gambar 16 Boxplot persepsi konflik lahan dengan pertumbuhan ekonomi.
Dengan menggunakan uji korelasi Spearman, dapat diketahui bahwa variabel yang berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita pada tingkat 5 persen dan 10 persen adalah persepsi frekuensi konflik (Q36) dan persepsi frekuensi penggusuran lahan (Q35). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan uji korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan variabel akses lahan. Dari uji korelasi Spearman dapat dilihat bahwa variabel persepsi kemungkinan terjadi penggusuran dan persepsi konflik kepemilikan tanah. Namun, hubungan keduanya adalah berkebalikan atau berhubungan negatif.
Jika sering terjadi penggusuran, maka PDRB per kapita tinggi. Hal ini bisa terjadi mengingat Pemda sering melakukan penggusuran lahan kepada para pedagang kaki lima (PKL). Kemudian lahan tersebut digunakan untuk aktivitas ekonomi yang dinilai lebih menguntungkan bagi perekonomian daerah daripada tempat usaha bagi para PKL. Hal inilah yang pada akhirnya dapat meningkatan PDRB per kapita. Begitu juga dengan frekuensi konflik. Semakin sering terjadi konflik, semakin tinggi PDRB per kapita. Hal ini pun dapat terjadi mengingat para
Q35 PE 4 3 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5
Seberapa sering konflik kepemilikan lahan terjadi? 3 = jarang
PKL sering mengalami konflik dengan usaha lain dengan skala yang lebih besar atau dengan pemda mengenai kepemilikan lahan usahanya. Lahan dimana tempat usaha mereka berdiri dinilai mempunyai nilai ekonomis yang tinggi sehingga sering terjadi perebutan kepemilikan lahan. Pemda atau usaha besar menanggap bahwa lahan usaha para PKL lebih memberikan manfaat ekonomi yang tinggi jika lahan tersebut digunakan untuk aktivitas ekonomi dengan skala yang lebih besar yang dapat lebih meningkatkan perekonomian.
Tidak hanya dari uji korelasi Spearman, grafik boxplot semakin memperlihatkan bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut berlawanan arah dengan PDB per kapita. Gambar 13 menunjukan bahwa kabupaten yang tidak pernah terjadi penggusuran memiliki PDRB per kapita yang lebih kecil yaitu Rp 5.674.929 daripada kabupaten yang terjadi penggusuran dengan frekuensi jarang dengan nilai tengah (median) PDRB per kapita sebesar Rp 18.731.963. Di samping itu, Gambar 14 menunjukkan bahwa kabupaten dimana pelaku usahanya menilai bahwa daerah tersebut tidak pernah terjadi konflik memiliki nilai tengah (median) PDRB per kapita yang lebih kecil dari kabupaten dimana pelaku usahanya menilai bahwa daerahnya pernah terjadi konflik dengan frekuensi jarang.
5.2.2. Hubungan Variabel Izin Usaha dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Pada indikator ini, variabel-variabel yang dianalisis memiliki skala nominal, ordinal serta interval. Skala nominal dimiliki oleh variabel kepemilikan Tanda Daftar Perusahaan (Q38AR1) dan keberadaan mekanisme pengaduan tentang pelayanan perizinan usaha (Q45). Variabel rata-rata waktu perolehan TDP
memiliki skala interval. Sedangkan variabel lainnya, yaitu persepsi kemudahan perolehan TDP (Q40CR1), persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha (Q41DR1), persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien dan bebas pungli (Q43 R1-R3) serta persepsi tingkat hambatan izin usaha (Q46) memiliki skala ordinal.
Untuk menganalisis variabel kepemilikan TDP dan keberadaan mekanisme pengaduan, dapat dilakukan uji korelasi Pearson maupun Uji korelasi Spearman. Untuk melakukan Uji Korelasi Pearson, digunakan data persentase perusahaan yang memiliki TDP dan persentase keberadaan mekanisme pengaduan. Selain itu, variabel waktu perolehan TDP dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Pearson sehingga diperoleh Tabel berikut.
Tabel 11 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang memiliki TDP, waktu perolehan TDP dan persentase keberadaan mekanisme pengaduan
Correlations
Q38AR1 Q40DR1 Q45
L_PDRBKAP Pearson Correlation 0,34 0,21 0,21
Sig. (2-tailed) 0,04** 0,217 0,22
PE Pearson Correlation 0,44 0,09 0,06
Sig. (2-tailed) 0,008** 0,59 0,73
**. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: Data Olah
Sumber: Data Olah
Gambar 17 Hubungan ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang memiliki TDP.
Berdasarkan Uji Korelasi Pearson pada Tabel 11, dapat disimpulkan bahwa variabel yang berhubungan signifikan dengan PDRB per kapita maupun pertumbuhan ekonomi pada tingkat 5 persen adalah variabel persentase perusahaan yang memiliki TDP. Gambar 17 pun menunjukkan hubungan positif antara Ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel persentase perusahaan yang memiliki TDP. Semakin banyak perusahaan yang memiliki TDP, semakin banyak pula perusahaan dengan status kepemilikan yang jelas. Perusahaan dengan status kepemilikian yang jelas dapat melakukan kegiatan usahanya dengan lebih baik. Selain itu, banyaknya perusahaan yang memiliki TDP dapat mengindikasikan tentang mudahnya pengurusan TDP di suatu kabupaten/kota. Hal ini dapat menarik minat investor untuk mendirikan perusahaan di kabupaten/kota tersebut.
Q38AR1 60 40 20 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0 60 40 20 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 PDRBKAP PE
Empat variabel lain yaitu persepsi kemudahan perolehan TDP (Q40CR1), persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha (Q41DR1), persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien dan bebas pungli (Q43 R1-R3) serta persepsi tingkat hambatan izin usaha (Q46) memiliki skala ordinal sehingga dianalisis dengan menggunakan Uji Korelasi Spearman.
Tabel 12 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persepsi kemudahan perolehan TDP, persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha, persepsi pelayanan izin usaha bebas KKN, efisien dan bebas pungli serta persepsi tingkat hambatan izin usaha
Correlations Q40CR1 Q41DR1 Q43R1 Q43R2 Q43R3 Q46 PDRBKAP Coefficient 0,19 0,2 . -0,16 -0,34 -0,2 Sig. 0,28 0,26 . 0,35 0,04** 0,23 PE Coefficient 0,07 -0,10 . -0,18 -0,04 -0,22 Sig. 0,70 0,58 . 0,30 0,84 0,21
**. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: Data Olah
Dengan menggunakan uji Spearman, dapat diketahui pada Tabel 12 bahwa variabel yang berhubungan negatif secara signifikan pada tingkat 5 persen adalah variabel pelayanan izin usaha bebas KKN (Q43R3). Dilihat dari grafik Boxplot (Gambar 18), PDRB per kapita kabupaten yang dinilai oleh para pelaku usaha bahwa proses perizinan usaha di kabupaten/kota tersebut terdapat praktik kolusi memiliki median yaitu Rp 10.810.888 yang lebih besar dari kabupaten yang dinilai bebas dari korupsi yakni dengan nilai tengah sebesar Rp 5.623.080. Dalam hal ini, diduga bahwa PDRB per kapita tinggi yang menyebabkan semakin banyaknya tindakan KKN atas pelayanan izin usaha. Kabupaten/kota yang dinilai bahwa pelayanan izin usaha terdapat KKN adalah Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Semarang, Kota Surakarta, Kota Semarang dan Kota Pekalongan memiliki PDRB per kapita yang relatif tinggi. Daerah yang kaya
(ditunjukkan dengan PDRB per kapita yang tinggi) mempunyai peluang yang lebih besar bagi Pemda untuk melakukan tindakan KKN dibandingkan dengan daerah yang miskin. Oleh karena itu, PDRB per kapita semakin tinggi, tindakan KKN atas pelayanan izin usah semakin tinggi.
Sumber: Data Olahan
Gambar 18 Boxplot pelayahan izin usaha bebas KKN dengan PDRB per kapita.
5.2.3. Hubungan Variabel Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha dan Pertumbuhan Ekonomi dengan PDRB per Kapita Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Pada indikator interaksi pemda dengan pelaku usaha, variabel-variabel yang dianalisis memiliki skala nominal dan skala ordinal. Skala nominal dimiliki oleh variabel keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha (Q48). Variabel tingkat pemecahan permasalahan oleh pemda (Q49R1-R3), tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha (Q50R1-R5), tingkat kebijakan pemda yang mendorong iklim investasi (Q51), tingkat kebijakan non diskriminatif pemda (Q52), pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha (Q53R1), tingkat
Q43R3 PD RB KA P 3 2 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0 Boxplot of PDRBKAP vs Q43R3
Proses peizinan usaha bebas dari KKN 2 = Tidak Setuju
kepastian hukum terkait dunia uasaha (Q53R2) dan tingkat hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha (Q55) memiliki skala ordinal.
Tabel 13 Korelasi Pearson PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang mengetahui adanya forum komunikasi
Correlations Q48 L_PDRBKAP Pearson Correlation 0,26 Sig. (2-tailed) 0,13 PE Pearson Correlation 0,30 Sig. (2-tailed) 0,08*
*. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olah
Sumber: Data Olah
Gambar 19 Hubungan pertumbuhan ekonomi dengan persentase perusahaan yang mengetahui keberadaan forum komunikasi.
Hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa variabel persentase keberadaan forum berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Grafik scatter plot pun semakin mejelaskan bahwa semakin banyak perusahaan yang mengetahui adanya forum komunikasi, pertumbuhan ekonomi semakin tinggi. Keberadaan forum komunikasi sebagai forum yang dapat mengkoordinasikan anatara pemerintah daerah dengan para pelaku usaha sangat penting bagi dunia
Q48 PE 50 40 30 20 10 0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5
usaha. Dengan adanya forum ini, dapat terjadi pola hubungan yang konstruktif dan sinergis antara pemda dengan pelaku usaha. Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha dapat disampaikan dalam forum tersebut untuk didiskusikan dan dicari solusi bersama. Oleh karena itu, dengan adanya forum komunikasi ini dapat membantu kinerja perusahaan sehingga perekonomian meningkat.
Tabel 14 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel interaksi pemda dengan pelaku usaha
Correlations PDRBKAP PE PDRBKAP PE Q49R1 Coef 0,13 -0,22 Q50R5 Coef 0,32 -0,09 Sig. 0,47 0,20 Sig. 0,06* 0,61 Q49R2 Coef 0,03 -0,02 Q51 Coef -0,05 0,01 Sig. 0,88 0,90 Sig. 0,78 0,96 Q49R3 Coef 0,36 -0,21 Q52 Coef 0,09 -0,06 Sig. 0,03** 0,23 Sig. 0,62 0,71 Q50R1 Coef 0,03 -0,20 Q53R1 Coef 0,15 -0,15 Sig. 0,84 0,24 Sig. 0,38 0,38 Q50R2 Coef 0,034 0,36 Q53R2 Coef 0,15 -0,15 Sig. 0,88 0,03** Sig. 0,38 0,38 Q50R3 Coef 0,11 0,39 Q55 Coef -0,11 -0,11 Sig. 0,53 0,02** Sig. 0,54 0,27 Q50R4 Coef 0,15 -0,15 Sig. 0,38 0,38
**. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olah
Berdasarkan uji korelasi Spearman, variabel yang signifikan pada tingkat 5 persen dan 10 persen berhubungan dengan PDRB per kapita adalah variabel tingkat pemecahan permasalahan oleh instansi pemda dimana pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q43R3) dan dukungan pemda terhadap pelaku usaha melalui penyediaan fasilitas (Q50R5). Pada Gambar 20, terlihat bahwa kabupaten dimana instansi pemda
selalu menindaklanjuti langkah-langkah pemecahan masalah yang ditentukan oleh Kepala Daerah memiliki nilai tengah PDRB per kapita yang lebih tinggi dari pada kabupaten yang instansi pemda-nya tidak selalu menindaklanjuti pemecahan masalah usaha. Begitu pula pada Gambar 21, pemda kabupaten yang memberikan fasilitas yang mendukung dunia usaha memiliki median PDRB per kapita yang lebih tinggi dari pemda kabupaten yang tidak memberikan fasilitas yang mendukung dunia usaha.
Sumber: Data Olahan
Gambar 20 Boxplot instansi pemda menindaklanjuti pemecahan masalah yang ditentukan oleh kepala daerah dengan PDRB per kapita.
Q49R3 PD RB KA P 3 2 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0
Instansi Pemda menindaklanjuti pemecahan masalah yg ditentukan Bupati 2 = Tidak Setuju
Sumber: Data Olahan
Gambar 21 Boxplot dukungan pemda melalui penyedian fasilitas yang mendukung dunia usaha dengan PDRB pe kapita.
Dari uji korelasi Spearman maupun boxplot dapat diduga bahwa ketika instansi pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah pemecahan masalah yang ditentukan oleh Kepala Daerah, maka PDRB per kapita tinggi. Dalam hal ini, bukan hanya kebijakan yang telah ditetapkan Kepala Daerah yang berperan dalam dunia usaha, melainkan tindak lanjut dari instansi pemda mempunyai peran yang sangat penting dalam pemecahan permasalahan di dunia usaha. Kebijakan yang telah dibuat oleh Kepala Daerah namun tidak ditindaklanjuti oleh instansi pemda yang terkait merupakan kebijakan di atas kertas saja. Kebijakan tersebut akan tepat manfaat apabila ada tindak lanjut yang tepat dari instansi pemda yang terkait. Tindak lanjut instansi pemda dalam pemecahan masalah di dunia usaha sangat membantu perusahaan sehingga kinerja perusahaan dapat bekerja dengan lebih baik. Dengan demikian, akan peningkatkan perekonomian.
Selain itu, pemberian fasilitas yang dapat mendukung perkembangan dunia usaha berpengaruh positif dengan koefisien korelasi 0,32. Hal tersebut dapat mendukung hipotesis awal bahwa semakin banyak pemberian fasilitas dari pemda
Q50R5 PD RB KA P 3 2 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0
Pemda memberikan fasilitas yang mendukung usaha 2 = Tidak Setuju
yang mendukung dunia usaha, maka akan menyebabkan PDRB per kapita meningkat. Ketentuan mengenai fasilitas dukungan terhadap dunia usaha diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, sebagaimana telah dilakukan dua kali perubahan, yaitu melalui Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dan perubahan kedua melalui Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Menurut peraturan presiden tersebut, terdapat tiga fasilitas kunci yang telah disediakan, yaitu: (i) Dana Tanah (the Land Funds) merupakan dana yang dialokasikan untuk membantu investor dalam pembiayaan pengadaan tanah dan untuk mengatasi masalah ketidakpastian harga tanah., (ii) Pembiayaan Infrastruktur (the Infrastructure Fund), (iii) Dana Penjaminan (the Guarantee Fund). Ketiga fasilitas tersebut telah berdiri dan beroperasi secara penuh dalam mendukung program Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Oleh karena itu, semakin banyak pemberian fasilitas yang mendukung dunia usaha, maka akan membantu kinerja perusahaan sehingga perusahaan bekerja dengan lebih efisien yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat daerah.
Sumber: Data Olahan
Gambar 22 Boxplot instansi pemda melakukan konsultasi publik ketika akan membuat kebijakan yang terkait dunia usaha dengan PDRB pertumbuhan ekonomi.
Sumber: Data Olahan
Gambar 23 Boxplot instansi pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permasalahan yang dihadapi dunia usaha dengan PDRB pertumbuhan ekonomi.
Dari hasil uji korelasi Spearman juga dapat diketahui bahwa variabel yang berhubungan signifikan positif dengan pertumbuhan ekonomi adalah instansi pemda melakukan konsultasi publik dengan pelaku usaha jika akan membuat kebijakan publik menyangkut kepentingan pelaku usaha dan instansi pemda
Q50R2 PE 3 2 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5
pemda melakukan konsultasi publik jika membuat kebijakan 2 = tidak setuju 3 = setuju Q50R3 PE 3 2 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5
Pemda mengadakan pertemuan untuk membicarakan permalahan usaha 2 = tidak setuju
membicarakan permasalahan pelaku usaha. Adanya pertemuan antara pemda dengan pelaku usaha untuk membicarakan berbagai permasalahan pelaku usaha sehingga pemda dapat membuat kebijakan yang tepat terkait dunia usaha. Adanya konsultasi antara pemda dengan dunia usaha serta kebijakan yang tepat terkait dunia usaha tentu sangat membantu kinerja perusahaan. Oleh karena itu output perusahaan akan meningkat dan perekonomian pun akan meningkat.
Dari grafik boxplot pun demikian. Kabupaten/kota dimana pemda melakukan konsultasi publik ketika akan membuat kebijakan yang terkait dunia usaha memiliki median pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi yaitu 5,2 persen. Median pertumbuhan ekonomi dimana pemda kabupaten/kota tidak melakukan konsultasi publik sebelum mebuat kebijakan yaitu sebesar 4,8 persen.
5.2.4. Hubungan Variabel Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Indikator selanjutnya adalah Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS). Terdapat empat variabel yang dianalisis, yaitu tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS (Q57A), tingkat partisipasi dalam PPUS (Q57B), tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha (Q58 R1-7) dan dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan (Q49). Keempat indikator tersebut dianalisis melalui uji korelasi Spearman.
Berdasarkan uji korelasi Spearman, tidak ada satupun variabel PPUS yang berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita maupun pertumbuhan ekonomi. Seluruh pelaku usaha mengetahui adanya PPUS yang diselenggarakan oleh pemda di kabupaten mereka minimal satu program dan mereka pun telah mengikuti minimal satu program yang diselenggarakan oleh
pemda. Namun, program tersebut pada kenyataannya kurang bermanfaat terhadap kinerja perusahaan sehingga ada tidaknya PPUS tersebut tidak berpengaruh terhadap perekonomian suatu daerah. Hal ini ditunjukkan oleh PPUS yang diselenggarakan oleh pemda hanya memberikan manfaat kecil bahkan sangat kecil. Tidak ada satu pun daerah yang memiliki program pengembangan tersebut yang berdampak besar bagi perusahaan.
Tabel 15 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan variabel program pengembangan sektor swasta
Correlations Q57 A Q57 B Q58R 1 Q58R 2 Q58R 3 Q58R 4 Q58R 5 Q58R 6 Q58R 7 Q59 PDRB KAP Koe f .a .a -0,27 -0,02 0,1 0,06 0,08 0,01 0,26 0,16 Sig. . . 0,11 0,94 0,6 0,75 0,65 0,96 0,14 0,35 PE Koe f .a .a -0,05 0,18 0,16 -0,21 -0,15 0,14 0,10 0,14 Sig . . 0,78 0,31 0,35 0,22 0,38 0,42 0,59 0,41
Sumber: Data Olahan
Dari enam program yang diperlukan untuk pengembangan bisnis, hanya satu program yaitu program promosi produk lokal kepada investor maupun konsumen melalui berbagai pameran (expo) yang ada di semua kabupaten/kota di Jawa Tengah. Sementara lima program lainnya, hanya ada di beberapa kabupaten/kota. Bahkan dari seluruh para pelaku usaha yang mengetahui di daerahnya terdapat program promosi produk, hanya 35 perusahaan yang mengikuti program tersebut.
Minimnya manfaat dan keikutsertaan PPUS ini perlu menjadi bahan untuk dievaluasi. Sedikitnya peserta dari perusahaan yang ikut dalam program pengembangan tersebut dapat terjadi karena terbatasnya informasi mengenai program atau mungkin besarnya biaya yang dikenakan untuk mengikuti program tersebut. Selain itu, kurang bermanfaatnya program ini dapat disebabkan oleh
penyelenggaraan program yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha. Oleh karena itu, hal yang wajar jika PPUS yang diselenggarakan oleh pemda ini memiliki tingkat partisipaasi dan manfaat yang rendah.
5.2.5. Hubungan Variabel Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Pada indikator kapasitas dan integritas kepala daerah, ada enam variabel yang dianalasisis, yaitu pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha (Q61R1), profesionalisme birokrat daerah (Q61R2), ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya (Q61R3), tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri (Q61R4), karakter kepemimpinan kepala daerah (Q61R5), hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha (Q63). Semua variabel tersebut memiliki skala ordinal sehingga semuanya dianalisis dengan uji korelasi Spearman.
Tabel 16 Korelasi Spearman PDRB per kapita dengan variabel kapasitas dan integritas bupati/walikota Correlations Q61R1 Q62R2 Q63R3 Q64R4 Q65R5 Q63 PDRBKAP Coef -0,06 0,04 -0,05 0,13 -0,02 -0,2 Sig. 0,73 0,82 0,76 0,44 0,89 0,28 PE Coef -0,24 -0,23 -0,27 0,21 -0,10 -0,23 Sig. 0,16 0,18 0,12 0,22 0,58 0,18
Sumber: Data Olahan
Berdasarkan uji korelasi Spearman pada Tabel 16, tidak ada satupun variabel kapasitas dan integritas kepala daerah yang berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita maupun dengan pertumbuhan ekonomi. Para pelaku usaha menilai bahwa kapasitas dan integritas bupati/ walikota bukan aspek penghambat kinerja perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh lebih dari 90 persen para
pelaku usaha menilai bahwa kapasitas dan integritas pemimpin daerah mereka memiliki pengaruh yang kecil bahkan sangat kecil terhadap kinerja perusahaan. Seorang kepala daerah yang merupakan figur pemimpin yang kuat, memahami dunia usaha, serta bertindak tegas terhadap praktek korupsi sehingga dapat merumuskan kebijakan yang tepat terkait dunia usaha tidak menjadi faktor yang dapat memberikan manfaat besar bagi dunia usaha. Yang lebih penting adalah bahwa instansi pemda yang terkait mampu menindaklanjuti kebijakan yang telah ditetapkan oleh kepala daerah itu sendiri.
5.2.6. Hubungan Variabel Keamanan dan Penyelesaian Konflik dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Indikator keamanan dan penyelesaian konflik memiliki empat variabel, yaitu tingkat kejadian pencurian di tempat usaha (Q83BR1), kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi (Q84R1-R3), kualitas penanganan kasus demonstrasi buruh oleh polisi (Q86R1-R2), tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan (Q88). Variabel yang memiliki skala interval adalah tingkat kejadian pencurian di tempat usaha sehingga dianalisis dengan uji koelasi Pearson. Variabel-variabel lainnya memiliki skala ordinal sehingga dianalisis dengan uji korelasi Spearman.
Tabel 17 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kejadian pencurian di tempat usaha
Correlations
Q83BR1
L_PDRBKAP Pearson Correlation 0,158
Sig. (2-tailed) 0,366
PE Pearson Correlation -0,27
Sig. (2-tailed) 0,11
Dari uji korelasi Pearson, variabel tingkat kejadian kriminal tidak berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita maupun pertumbuhan ekonomi. Variabel-variabel yang berhubungan signifikan dengan PDRB per kapita namun negatif berdasarkan uji korelasi Spearman pada Tabel 18 adalah variabel kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, yaitu polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus kriminal (Q84R1) dan solusi yang diberikan polisi menguntungkan perusahaan (Q84R2). Sementara variabel yang berhubungan signifikan negatif dengan pertumbuhan ekonomi adalah variabel polisi selalu bertindak tepat waktu dalam menangani kasus kriminal (Q84R1). Dari Gambar 17, dapat diketahui bahwa polisi di kabupaten/kota yang bertindak tepat waktu (ditunjukan oleh nomor 3), memiliki nilai tengah (median) PDRB per kapita yang lebih kecil dibanding polisi di kabupaten/kota yang bertindak tidak tepat waktu (ditunjukkan oleh nomor 2).
Tabel 18 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, kualitas penanganan demonstrasi buruh oleh polisi, tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan
Correlations Q84R1 Q84R2 Q84R3 Q86R1 Q86R2 Q88 PDRBKAP Coef -0,37 -0,36 -0,06 . 0,12 -0,1 Sig. 0,03** 0,03** 0,73 . 0,48 0,57 PE Coef -0,35 -0,17 -0,13 . 0,10 -0,22 Sig. 0,04** 0,32 0,46 . 0,58 0,20
**. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). Sumber: Data Olahan
Dari hasil korelasi tersebut menunjukkan bahwa kabupaten/kota yang kurang aman justru memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi. Hubungan negatif tersebut diduga PDRB per kapita yang tinggi justru meningkatkan ketidakamanan daerah, baik dari jumlah frekuensi tindakan kriminal maupun
kualitas polisi dalam menangani kasus kriminal. Empat daerah yang dinilai memiliki keamanan yang rendah adalah Kabupaten Karanganyar, Kota Semarang, Kota Magelang dan Kota Pekalongan. Keempat daerah tersebut merupakan daerah dengan tingkat kesejahteraan tinggi di Jawa Tengah. Semakin kaya daerah tersebut, akan semakin mendorong terjadinya tindakan kriminal di suatu daerah. Tingginya tingkat kriminalitas di empat daerah tersebut yang tidak diimbangi dengan tingginya kualitas penanganan oleh polisi akan mengakibatkan keamanan yang rendah. Oleh karena itu, kabupaten/kota dengan PDRB per kapita tinggi cenderung memiliki tingkat keamanan yang lebih rendah dibanding kabupaten/kota dengan PDRB per kapita yang rendah.
Sumber: Data Olahan
Gambar 24 Boxplot tindakan tepat waktu oleh polisi dalam menangani kasus kriminal dengan PDRB per kapita.
Q84R1 PD RB KA P 3 2 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0
Polisi bertindak tepat waktu menangan kasus kriminal 2 = Tidak Setuju
Sumber: Data Olahan
Gambar 25 Boxplot solusi yang diberikan polisi dalam menangani kasus kriminal dengan PDRB per kapita
Sumber: Data Olahan
Gambar 21 Boxplot tindakan tepat waktu oleh polisi dalam menangani kasus kriminal dengan pertumbuhan ekonomi.
5.2.7. Hubungan Variabel Biaya Transaksi dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Variabel yang masuk ke dalam indikator ini adalah tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan (Q65CR1-R2), tingkat hambatan donasi terhadap pemda (Q67CR1), tingkat pembayaran biaya informal
Q84R2 PD RB KA P 3 2 35000000 30000000 25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0
Solusi dari polisi dalam kasus kriminal menguntungkan usaha 2 = Tidak Setuju 3 = Setuju Q84R1 PE 3 2 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5
Polisi bertindak tepat waktu menangan kasus kriminal 2 = tidak setuju
terhadap polisi (Q70BR1), tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan (Q71) memiliki skala ordinal. Sementara variabel tingkat pembayaran donasi terhadap pemda (Q67A) memiliki skala interval.
Dari uji korelasi Pearson pada Tabel 19, variabel tingkat tingkat pembayaran donasi terhadap pemda tidak berhubungan secara signifikan dengan PDRB per kapita. Uji korelasi Spearman pada Tabel 20 menyimpulkan bahwa variabel tingkat hambatan pajak resmi terhadap kinerja perusahaan (Q65CR2) berhubungan signifikan namun negatif dengan PDRB per kapita. Sedangkan variabel tingkat hambatan donasi (biaya pungutan dan retribusi) terhadap pemda (Q67CR1) berhubungan positif dengan PDRB per kapita.
Tabel 19 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pembayaran donasi terhadap pemda
Correlations
Q67A
L_PDRBKAP Pearson Correlation -0,03
Sig. (2-tailed) 0,85
PE Pearson Correlation -0,14
Sig. (2-tailed) 0,41
Sumber: Data Olahan
Tabel 20 Korelasi Spearman PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan, tingkat hambatan donasi terhadap pemda, tingkat pembayaran biaya informal terhadap polisi dan tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan
Correlations Q65CR1 Q65CR2 Q67CR1 Q70BR1 Q71 PDRBKAP Coefficient . -0,35 0,29 0,08 -0,16 Sig. (2-tailed) . 0,04** 0,09* 0,66 0,342 PE Coefficient . 0,03 -0,18 0,01 -0,19 Sig. (2-tailed) . 0,88 0,30 0,97 0,27
**. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan
Hasil uji korelasi variabel tingkat hambatan pajak resmi terhadap kinerja perusahaan (Q65CR2) berhubungan negatif, artinya ketika pajak resmi yang dibayarkan kepada pemda dinilai memberatkan pelaku usaha, PDRB per kapita pun tinggi. Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa besarnya tarif pajak badan yang dikenakan kepada pelaku usaha (badan/korporasi) adalah 25 persen. Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50 persen dari tarif yang seharusnya. Besaran pajak tersebut dinilai memberakan bagi para pelaku usaha. Dalam hal ini, diduga pajak yang tinggi dapat menyebabkan PDRB per kapita meningkat. Pajak sebagai komponen PAD digunakan untuk belanja pemerintah, misalnya belanja modal. Semakin banyak pajak yang dipungut, maka semakin banyak pula dana yang digunakan untuk belanja pemerintah di daerah tersebut. Hal ini yang mengakibatkan perekonomian tumbuh dengan cepat.
Variabel tingkat hambatan donasi biaya pungutan dan retribusi untuk pendistribusian barang antarwilayah (Q67CR1) berhubungan positif dengan PDRB per kapita. Hal ini sejalan dengan teori yang ada, sehingga uji korelasi tersebut semakin menguatkan hipotesis bahwa semakin biaya pungutan dan retribusi yang dibayar tidak memberatkan perusahaan, PDRB per kapita semakin besar. Pendistribusian barang antarwilayah merupakan salah satu faktor utama dalam kinerja perusahaan. Semakin tinggi biaya pendistribusian barang, maka biaya perusahaan semakin tinggi. Hal tersebut dapat menurunkan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Sebaliknya, jika biaya pungutan dan retribusi tidak memberatkan perusahaan, maka keuntungan yang diperoleh perusahaan semakin
besar. Dengan demikian, perekonomian menjadi lebih besar dan PDRB per kapita pun lebih tinggi.
5.2.8. Hubungan Variabel Infrastruktur Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Indikator infastruktur daerah memiliki lima variabel yaitu kualitas infrastruktur yaitu jalan, lampu penerangan, air PDAM, listrik, dan telpon (Q78A R1-R5), lama perbaikan lima jenis infrastruktur tersebut (Q78C R1-R5), perusahaan yang tidak memakai genset (Q79), lama pemadaman listrik (Q80) dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan (Q81).
Variabel lama perbaikan infrastruktur (Q78CR1-5), persentase pemakaian genset (Q79) dan lama pemadaman listrik (Q80) memiliki skala interval dan dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Tabel 20 merupakan hasil korelasi ketiga variabel tersebut terhadap ln PDRB per kapita. Berdasarkan Tabel 20, dapat diketahui bahwa variabel lama perbaikan jalan (Q78CR1) dan persentase perusahaan yang tidak memakai genset (Q79) berhubungan negatif dan signifikan pada tingkat 5 persen dan 10 persen. Grafik scatterplot pada Gambar 22 pun menunjukkan hubungan negatif antara lama perbaikan jalan dan persentase pemakaian genset.
Dari hasil tersebut dapat diduga bahwa semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan jalan, maka PDRB per kapita semakin besar. Semakin sedikit waktu perbaikan jalan, semakin baik infrastruktur di daerah tersebut. Infrastruktur yang baik akan membuat kinerja perusahaan lebih efisien dan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut.
Semakin banyak perusahan yang tumbuh di suatu daerah, maka perekonomi akan berjalan semakin tinggi sehingga PDRB per kapita semakin tinggi.
Tabel 21 Korelasi Pearson ln PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dengan lama perbaikan infrastruktur, persentase perusahaan yang tidak memakai genset dan lama pemadaman listrik
Correlations L_PDRBKAP PE Q78CR1 Koef -0,34 -0,20 Sig. 0,04** 0,26 Q78CR2 Koef -0,25 -0,10 Sig. 0,14 0,55 Q78CR3 Koef 0,06 -0,03 Sig. 0,71 0,87 Q78CR4 Koef .a .a Sig. . . Q78CR5 Koef -0,03 -0,17 Sig. 0,86 0,32 Q79 Koef -0,3 -0,38 Sig. 0,1* 0,02** Q80 Koef -0,2 -0,06 Sig. 0,2 0,75
**. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan
Banyaknya perusahaan yang memakai genset justru menunjukkan tata kelola yang lebih buruk karena pemda belum mampu menyediakan listrik dari PLN dengan memadai. Oleh karena itu, uji korelasi pearson menghasilkan korelasi signifikan yang tidak sejalan. Hal ini terjadi karena pemakaian genset diduga lebih membantu kinerja suatu perusahaan sehingga lebih efisien daripada penggunaan listrik. Oleh karena itu, semakin banyak perusahaan yang memakai genset, perekonomian berjalan semakin baik dan akhirnya PDRB per kapita semakin baik pula.
Sumber: Data Olahan
Gambar 26 Hubungan lama perbaikan infrastruktur jalan dan persentase perusahaan yang tidak memakai genset dengan PDRB per kapita. Tabel 22 Korelasi Spearman PDRB per kapita dengan kualitas infrastruktur dan
tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan
Correlations
Q78AR1 Q78AR2 Q78AR3 Q78AR4 Q78R5 Q81
PDRBKAP Coeff 0,284 . . . . 0,04
Sig. 0,097* . . . . 0,81
PE Coeff 0,42 . . . . -0,18
Sig. 0,01 . . . . 0,29
*. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan
Uji korelasi Spearman pada indikator ini digunakan untuk menganalisis variabel kualitas infrastruktur yaitu jalan, lampu penerangan, air PDAM, listrik, dan telpon (Q78A R1-R5), dan tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan (Q81). Berdasarkan uji korelasi Spearman terhadap data ordinal, variabel yang berhubungan signifikan dengan PDRB per kapita adalah variabel kualitas infrastruktur jalan (Q78AR1). Hal ini sejalan dengan teori yang ada sehingga dapat memperkuat hipotesis semakin tinggi kualitas infrastruktur jalan,
L_ PD R BK A P 400 300 200 100 0 17.5 17.0 16.5 16.0 15.5 15.0 100 90 80 70 60 Q78CR1 Q79 Scatterplot of L_PDRBKAP vs Q78CR1, Q79
PDRB per kapita semakin tinggi. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur merupakan faktor penentu bagi keputusan bisnis pelaku usaha karena sangat menentukan biaya distribusi faktor input dan faktor output produksinya. Jika kualitas infrastruktur semakin baik, semakin baik kinerja perusahaan dan output perusahaan meningkat. Dengan demikian, perekonomian meningkat dan PDRB per kapita pun meningkat.
5.2.9. Hubungan Sub-Indeks dan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah dengan PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Tata Kelola Ekonomi Daerah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah telah dibuat indeks oleh KPPOD pada tahun 2007. Seluruh variabel tata kelola ekonomi daerah diagregasi menjadi sebuah indeks tata kelola ekonomi daerah (TKED). Pembuatan indeks ini melalui beberapa cara, yakni tahap normalisasi, perhitungan sub indeks dan perhitungan indeks melalui pembobotan tiap variabel. Selain itu, ada sembilan indikator yang dibuat sub-indeks, yaitu indikator akses lahan (AL), izin usaha (IU), interaksi pemda dengan pelaku usaha (IPPU), program pengembangan usaha swasta (PPUS), kapasitas dan integritas pemimpin daerah (KIP), Biaya Transaksi (BT), infrastruktur daerah (INF), keamanan dan penyelesaian konflik (KPK) dan peraturan daeah (PERDA). Untuk mengetahui hubungan subindeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan pendapatan per kapita di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Tengah, dilakukan uji korelasi Pearson.
Tabel 23 Korelasi Pearson PDRB per kapita dengan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah
Correlations L_PDRBKAP PE AL Koef -0,45 -0,33 Sig. 0,007 ** 0,05** IU Koef 0,04 -0,02 Sig. 0,8 0,89 IPPU Koef 0,08 -0,02 Sig. 0,7 0,89 PPUS Koef 0,2 0,11 Sig. 0,25 0,54 KIP Koef -0,2 -0,11 Sig. 0,3 0,53 BT Koef -0,1 -0,34 Sig. 0,5 0,04** INFRA Koef 0,07 -0,11 Sig. 0,68 0,54 KPK Koef -0,3 -0,31 Sig. 0,07* 0,07 PERDA Koef 0,1 0,29 Sig, 0,56 0,09* TKED Koef -0,05 -0,21 Sig, 0,78 0,23
**. Korelasi signifikan pada tingkat 0.05 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada tingkat 0.1 (2-tailed). Sumber: Data Olahan
Tabel 23 menunjukkan bahwa indeks TKED tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan PDRB per kapita di kota dan kabupaten Provinsi Jawa Tengah. Tidak hanya itu, dari sembilan indikator, hanya dua indikator yang berhubungan signifikan. Namun, keduanya berhubungan negatif dimana tidak sejalan dengan teori yang ada. Sementara tujuh indikator lainnya, tidak memiliki hubungan yang signifikan. Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi. Indeks tata kelola ekonomi daerah tidak berhubungan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Dari sembilan indikator, hanya satu yang berhubungan positif, yaitu indikator kualitas peraturann daerah. Dua indikator lain yaitu akses lahan dan
biaya transaksi memiliki hubungan yang signifikan negatirf. Bahkan, dari scatterplot pada Gambar 23 pun menunjukkan demikian, dimana scatterplot indeks TKED dan tujuh indikator tersebut memiliki kemiringan (slope) yang cenderung landai.
Hal ini dapat terjadi karena seluruh variabel yang berupa lebih dari 90 pertanyaan dengan skala yang berbeda-beda diagregasikan menjadi sebuah indeks. Pertanyaan yang menjadi variabel memiliki berbagai skala, baik nominal, ordinal maupun interval. Oleh karena itu, dalam melakukan analisisnya lebih tepat menggunakan analisis atau uji yang berbeda-beda, disesuaikan dengan skala masing-masing. Dengan demikian, akan terlihat variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB per kapita sehingga diperoleh rekomendasi kebijakan yang tepat.
Sumber: Data Olahan
Gambar 27 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan PDRB per kapita. L_ P D R B K A P 80 65 50 17 16 15 75 60 45 30 45 60 20 40 60 80 60 40 60 70 80 64 72 80 40 60 80 17 16 15 80 72 64 17 16 15 72 66 60 A L IU IPPU PPUS KIP BT INF RA KPK INF RA TKED
Sumber: Data Olahan
Gambar 28 Hubungan sub-indeks dan indeks tata kelola ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi.
5.3. Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi
Pengujian untuk mengetahui pengaruh variabel tata kelola ekonomi daerah, belanja pemerintah dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap PDRB per Kapita Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Tengah dilakukan dengan analisis regresi berganda. Untuk memperoleh hasil estimasi yang lebih baik, Kabupaten Kudus tidak dimasukan ke dalam model. PDRB per kapita kabupaten tersebut mencapai Rp 31 juta sehingga dianggap sebagai pencilan. Oleh karena itu, data kabupaten dan kota yang digunakan dalam model berjumlah 34 kabupaten/kota. Setelah dilakukan berbagai uji coba, hasil estimasi model utama persamaan linear berganda diperoleh hasil terbaik sebagai berikut.
PDRBKAP = 69216083.89+ 1022566.06 IPM + 9.98*BP(JUTA) + 32.02 BM (juta) - 197001.12 Q30 + 1786598.6 Q49R3D + ɛi P E 80 65 50 6.0 4.5 3.0 75 60 45 30 45 60 20 40 60 80 60 40 60 70 80 64 72 80 40 60 80 6.0 4.5 3.0 80 72 64 6.0 4.5 3.0 72 66 60 A L IU IPPU PPUS KIP BT INF RA KPK INF RA TKED
Hasil model tersebut menunjukkan bahwa ada dua variabel tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh secara signifikan, yaitu lama kepengurusan sertifikat lahan (Q30) dan variabel tingkat pemecahan permasalahan oleh instansi pemda dimana pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah (Q43R3). Keduanya memiliki p-value di bawah 10 persen. Tidak berbeda dengan estimasi sebelumnya, IPM, belanja modal dan belanja pendidikan juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap PDRB per kapita. Untuk dapat menganalisis lebih lanjut, perlu dilakukan pengujian-pengujian.
Tabel 24 Hasil estimasi PDRB per kapita dengan metode OLS
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. VIF IPM 1022566. 177869.5 5.748967 0.0000 1,3 BP (JUTA) 9.983488 4.514134 2.211606 0.0353 1,0 BM (JUTA) 32.01540 8.225984 3.891984 0.0006 1,2 Q30 -197001.1 104687.4 -1.881803 0.0703 1,3 Dummy Q49R3 1786599. 946695.6 1.887194 0.0695 1,2 C -69216084 13508508 -5.123888 0.0000 R-squared 0.722553 Mean dependent var 7134372. F-statistic 14.58404 Durbin-Watson stat 2.017348 Prob(F-statistic) 0.000000
Sumber: Data Olahan
Pengujian untuk mengetahui pengaruh variabel tata kelola ekonomi daerah, belanja pemerintah dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dilakukan dengan analisis regresi berganda. Setelah dilakukan berbagai uji coba, hasil estimasi model utama persamaan linear berganda diperoleh hasil terbaik sebagai berikut.
PE = - 3.82 + 0.36 LN_IPM + 0.32 LN_BK + 0.09 LN_BP + 0.027 Q38AR1 + 1.156 Dummy Q78AR1
Hasil model tersebut menunjukkan bahwa ada dua variabel tata kelola ekonomi daerah yang berpengaruh secara signifikan, yaitu persentase perusahaan yang memiliki tanda daftar peusahaan (TDP) dan variabel kualitas infrastruktur jalan (Q78AR1). Keduanya memiliki p-value di bawah 10 persen. Belanja kesehatan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan belanja pendidikan dan IPM memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan. Untuk dapat menganalisis lebih lanjut, perlu dilakukan pengujian-pengujian.
Tabel 25 Hasil estimasi pertumbuhan ekonomi dengan metode OLS
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. VIF LN_IPM 0.361604 4.462174 0.081038 0.9360 1.32 LN_BK 0.323007 0.184772 1.748137 0.0910 1.51 LN_BP 0.093818 0.134368 0.698213 0.4906 1.64 Q38AR1 0.027086 0.011154 2.428448 0.0216 1.3 Dummy Q78AR1 1.159802 0.433609 2.674763 0.0122 1.21 C -3.819296 18.93667 -0.201688 0.8416 R-squared 0.405653 Mean dependent var 4.694263 Adjusted R-squared 0.303179 S.D. dependent var 0.889231 F-statistic 3.958611 Durbin-Watson stat 1.491994 Prob(F-statistic) 0.007376
Sumber: Data Olahan
5.3.1. Uji Asumsi Klasik
5.3.1.1. Uji Normalitas
Kedua model ini memiliki galat yang menyebar normal. Hal ini dapat dilihat dari sebaran galat mendekati garis distribusi normal (Lampiran 12).
5.3.1.2. Uji Heteroskedastisitas
Kedua model ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Hal ini dapat terlihat dari hasil uji glejser (Lampiran 11) pada setiap indikator yang memiliki
nilai p-value lebih besar dari 10 persen. Selain itu, p-value dari obs R2 melebihi 10 persen.
5.3.1.3. Uji Multikolinearitas
Gejala multikolinearitas dapat dilihat dengan menggunakan nilai VIF. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa tidak ada nilai VIF dari tiap indikator yang lebih besar dari lima. Hal ini berarti bahwa kedua model penelitian ini terbebas dari masalah multikolinearitas.
5.3.2. Uji Statistik
5.3.2.1. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi digunakan untuk menguji goodness-fit dari model regresi yang dapat lihat dari nilai R Square. Dari perhitungan nilai R Square hasil regresi PDRB per kapita adalah 0,72. Hal ini berarti 72 persen keragaman PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh kelima variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 18 persen dijelaskan oleh faktor-faktor yang lain. Sementara nilai R Square hasil regresi pertumbuhan ekonomi lebih rendah yaitu 0,40. Artinya 40,56 persen keragaman pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dijelaskan oleh kelima variabel independen di atas, sedangkan sisanya yaitu 59,94 persen dijelaskan oleh faktor-faktor yang lain.
5.3.2.2. Uji Parameter Signifikansi Individu
Hasil uji t menunjukkan bahwa semua variabel bebas secara individu berpengaruh signifikan terhadap PDRB per kapita. Hal ini terlihat dari p-value
masing-masing variabel di bawah 10 persen. Artinya, variabel bebas secara sendiri-sendiri dapat memengaruhi PDRB per kapita. Dari hasil uji t model regresi pertumbuhan ekonomi, hanya tiga variabel yang berpengaruh signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Ketiga variabel tersebut adalah belanja kesehatan, persentase perusahaan yang memiliki tanda daftar perusahaan dan dummy kualitas infrastruktur jalan. Dua variabel lainnya yaitu belanja pendidikan dan IPM memiliki pengaruh namun tidak signifikan pada tingkat kesalahan 10 persen.
5.3.2.2 Uji Signifikansi Parameter Simultan (Uji F)
Uji pengaruh simultan digunakan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tak bebas. Nilai p-value uji f kedua model berada di bawah 10 persen. Ini berarti bahwa kelima variabel bebas secara bersama-sama signifikan dalam menjelaskan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.
5.3.3. Analisis Pengaruh Tata Kelola Ekonomi Daerah terhadap PDRB per Kapita dan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Tengah.
Dari hasil estimasi output, kelima variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah. Kelima variabel tersebut adalah IPM, belanja modal, belanja pendidikan, varibel tata kelola ekonomi daerah yaitu lama kepengurusan sertifikat lahan dan dummy tingkat pemecahan permasalahan oleh instansi pemda dimana pemda selalu menindaklanjuti langkah-langkah masalah yang telah ditentukan Kepala Daerah. Hal ini diketahui dari p-value masing-masing variabel di bawah taraf nyata 10 persen.
Variabel IPM berpengaruh signifikan terhadap PDRB per kapita dengan nilai koefisien sebesar 1022566. Hal ini berarti bahwa peningkatan IPM sebesar 1
satuan akan meningkatkan PDRB per kapita sebesar Rp 1.022.566, cateris paribus. Ini sesuai dengan teori yang ada bahwa sumberdaya manusia merupakan salah faktor yang terpenting dalam pembangunan ekonomi. Semakin baik kualitas sumber daya manusia yang diproksi dengan IPM, semakin baik pula kinerja manusia khususnya di bidang ekonomi. Dengan demikian perekonomian akan tumbuh lebih cepat dan pembangunan ekonomi pun meningkat.
Pengaruh positif IPM dengan PDRB per kapita pun sejalan dengan laporan UNDP yang menyatakan bahwa pembangunan manusia mendorong perekonomian suatu daerah. Agar perekonomian berjalan positif dan berkelanjutan, maka harus ditunjang dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Jika tidak, perekonomian yang tumbuh tidak akan bertahan lama.
Variabel belanja modal dan belanja pendidikan berpengaruh postif terhadap PDRB per kapita. Kofisien variabel belanja model sebesar 32.015 berarti bahwa setiap kenaikan belanja modal sebesar Rp 1 juta menyebabkan PDRB per kapita meningkat sebesar Rp 32, cateris paribus. Hal ini sejalan dengan teori belanja pemerintah dimana peningkatan belanja pemerintah akan meningkatkan perekonomian suatu daerah. Dalam hal ini, belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap. Belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menambah aset tetap misalnya membuat gedung, perbaikan jalan maupun belanja tanah terbukti dapa memberikan efek yang besar dalam perekonomian. Semakin banyak belanja modal yang dilakukan pemerintah, semakin cepat perekonomian tumbuh sehingga kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh PDRB per kapita dapat meningkat. Tidak hanya belanja modal, belanja pendidikan pun berpengaruh