9 2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Thalassemia
Thalassemia merupakan kelainan genetik bersifat herediter yang menyebabkan reduksi atau absensi sintesis satu atau lebih rantai globin. Abnormalitas sintesis globin mengakibatkan struktur tetramer hemoglobin (Hb) tidak stabil, kerusakan Hb, dan pemecahan eritrosit. Berdasarkan posisi mutasi gen, terdapat 2 kelompok thalassemia yang paling banyak dijumpai, yaitu thalassemia α dan β.2
Thalassemia β terjadi karena terdapat mutasi pada kromosom 11 pada gen globin β. Ekspresi protein globin β dipengaruhi oleh tiga kelompok mutasi, yaitu mutasi yang mengarah pada kerusakan transkripsi gen β (mutasi promoter dan 5’ UTR), mutasi yang mengarah pada gangguan proses mRNA (mutasi splice
junction dan sekuens konsensus, poliadenilasi, dan 3’ UTR), serta mutasi yang
menghasilkan translasi mRNA abnormal (mutasi nonsense, frameshift, dan kodon inisiasi).26
2.1.1.1 Epidemiologi Thalassemia β
Thalassemia memiliki prevalensi yang tinggi di daerah Mediterania, Timur Tengah, dan Asia. Akibat migrasi populasi yang terjadi, thalassemia juga mudah dijumpai di daerah Eropa Utara, Amerika, dan Australia. Sekitar 56.000 wanita hamil merupakan pembawa gen thalassemia mayor, dan 30.000 di antaranya
membawa gen thalassemia β mayor.27
Sekitar 50% pembawa gen thalassemia β berasal dari Asia Tenggara.3 Indonesia memiliki prevalensi thalassemia mencapai 0,1% dengan jenis mutasi thalassemia β terbanyak adalah IVS1nt5 (Gambar 2.1).4,27
Gambar 2.1. Distribusi mutasi thalassemia β di Mediterania dan Asia (Cao dan Galanello, 2010)
2.1.1.2 Klasifikasi Thalassemia β
Berdasarkan kondisi klinis, thalassemia β dibagi menjadi thalassemia β mayor, intermedia, dan minor. Mutasi thalassemia β dapat menjadi ciri khas pada suatu daerah berdasarkan prevalensi dijumpainya (Tabel 2.1).7 Thalassemia mayor (βo atau β+) dikenal sebagai Cooley’s anemia, defisiensi rantai globin β yang menyebabkan Hb labil dan mengalami presipitasi pada prekursor eritrosit,
sehingga terjadi eritropoiesis yang tidak efektif. Kondisi ini menyebabkan anemia kronis dengan kadar Hb 2,5 – 6 g/dL dan ketergantungan transfusi (transfusion
dependent thalassemia/TDT). Pasien TDT akan mengalami kelebihan zat besi.
Komplikasi akibat kelebihan zat besi pada pasien anak-anak meliputi gangguan pertumbuhan dan penundaan kematangan seksual. Kelebihan zat besi berlanjut dapat berdampak pada gangguan jantung (kardiomiopati dan aritmia), hati (fibrosis dan sirosis), endokrinologi, dan sebagainya.7,28
Thalassemia intermedia meliputi genotip homozigot atau heterozigot dengan kondisi klinis lebih ringan daripada thalassemia mayor. Pasien thalassemia intermedia tidak mengalami ketergantungan transfusi (non transfusion dependent
thalassemia/NTDT), sehingga resiko kelebihan zat besi lebih rendah
dibandingkan TDT.7 Thalassemia minor memiliki genotip heterozigot, bersifat pembawa, serta tidak menunjukan gejala. Thalassemia minor secara umum menunjukan nilai mean corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular
hemoglobin (MCH) dibawah batas normal, dan anemia dengan kadar Hb 9 – 11
g/dL darah.28 Beberapa heterozigot thalassemia minor menunjukan ciri fenotip menyerupai thalassemia intermedia akibat triplikasi gen globin α.29
Tabel 2.1. Klasifikasi thalassemia β
Populasi Mutasi gen β Keparahan
Indian -619 del β0
Mediterania -101 C→T β++
Mediterania; Afrika -87 C→G β++
Jepang -31 A→G β++
Afrika -29 A→G β++
Asia Tenggara -28 A→C β++
Mediterania; Indian Asia IVS1-nt1 G→A β0
Asia Timur; Indian Asia IVS1-nt5 G→C β0
Mediterania IVS1-nt6 T→C β+/++
Mediterania IVS1-nt110 G→A β+
Cina IVS2-nt654 C→T β+
Mediterania IVS2-nt745 C→G β+
Mediterania codon 39 C→T β0
Mediterania codon 5 -CT β0
Mediterania; Afrika -Amerika codon 6 -A β0
Asia Tenggara codon 41/42 -TTCT β0
Afrika -Amerika AATAAA to AACAAA β++
Mediterania AATAAA to AATGAA β++
Mediterania codon 27 G→T Hb (Hb Knossos) β++ Asia Tenggara codon 26 G>A (Hb E) β++ Keterangan: β0: globin β tidak diproduksi sama sekali. β+
: produksi residu globin β (sekitar 10%). β++: sedikit penurunan produksi globin β. (Galanello dan Origa, 2010)
2.1.1.3 Patogenesis Molekuler Thalassemia β
Mutasi thalassemia β dapat berupa substitusi, delesi, atau insersi nukleotida. Mutasi akan memengaruhi proses transkripsi, translasi, atau post translasi rantai globin β. Berikut adalah jenis mutasi thalassemia β berdasarkan lokasi mutan dan mempengaruhi patogenesis thalassemia:29
a. Transcriptional mutant: mutasi pada TATA box dan CACACCC box pada
upstream exon-1, mengurangi ikatan RNA polimerase dan reduksi aktivitas
promoter saat transkripsi berlangsung.
b. Cap site mutant: substitusi A menjadi C pada ujung 5’ nukleotida exon-1, dapat memengaruhi proses transkripsi, translasi, atau capping. Dalam kondisi heterozigot, mutasi ini menunjukan silent thalassemia β, sedangkan dalam kondisi homozigot, menunjukan fenotip thalassemia β minor.
c. RNA processing mutant: meliputi splice junction mutants, consensus site
mutants, IVS changes, dan coding region changes. Secara umum, mutasi ini
menyebabkan thalassemia β+.
d. RNA translation mutant: meliputi frameshift mutations dan nonsense
mutations. mRNA yang dihasilkan oleh mutasi tersebut tidak dapat ditranslasi,
sehingga mengakibatkan fenotip thalassemia βo.
e. Initiation codon mutant: tujuh mutasi telah diketahui terjadi pada triplet translasi pertama (AUG). Mutasi ini menghambat translasi, yaitu terjadi reduksi translasi atau tidak terjadi sama sekali.
f. 3’ untranslated region (UTR) mutant: thalassemia β+ dapat disebabkan oleh tiga tipe mutasi pada region ini. Mutasi ini diduga mengubah struktur sekunder mRNA.
2.1.1.4 Patofisiologi Thalassemia β
Penurunan produksi rantai globin β mengakibatkan rantai globin α tidak berpasangan berlebih yang berpresipitasi pada prekursor eritroid di sumsum tulang, sehingga sel yang belum matang akan mati dan menyebabkan eritropoiesis tidak efektif. Penurunan produksi rantai globin dipengaruhi oleh jenis mutasi yang terjadi. Hemolisis berkontribusi terhadap anemia pada penderita thalassemia, dan terjadi ketika rantai globin α tidak terlarut menginduksi kerusakan membran eritrosit. Anemia menstimulasi produksi eritropoietin secara terus menerus, sehingga menyebabkan pelebaran sumsum tulang, yang biasa dikenal sebagai deformitas tulang. Anemia berkepanjangan dan peningkatan laju eritropoiesis akan menghasilkan hepatosplenomegali dan eritropoiesis ekstramedular.7
2.1.2 Hemoglobin
2.1.2.1 Struktur Hemoglobin
Hemoglobin merupakan protein globuler yang tersusun dari dua pasang rantai polipeptida dan empat kelompok heme (Gambar 2.1 (a)). Heme mengandung cincin atom karbon, hidrogen, dan nitrogen, disebut sebagai protoporphyrin IX, dengan ion besi divalen (Fe2+) berada di tengah (Gambar 2.1 (b)). Setiap ion besi bersifat reversible untuk mengikat satu molekul oksigen. Ketika teroksidasi menjadi Fe3+, Hb tidak dapat mengikat oksigen dan disebut sebagai methemoglobin.30
(a) (b)
Gambar 2.2. Struktur Hb (a) Struktur empat tetramer Hb (b) Struktur heme dengan ion Fe2+ pada bagian tengah (Allen et al., 2009)
Molekul Hb dapat digambarkan berdasarkan struktur primer, sekunder, tersier, dan kuartener. Struktur primer merujuk pada susunan asam amino pada rantai polipeptida. Struktur sekunder merujuk pada susunan rantai heliks dan nonheliks. Struktur tersier merujuk pada susunan heliks terhadap pretzel-like configuration. Struktur kuartener berbentuk tetramer, yaitu hemoglobin siap untuk berfungsi. Hb A, hemoglobin dewasa dominan, terdiri dari rantai globin α dan β. Ikatan antara α1-β1 dan α2-β2 menentukan stabilitas struktur globin saat berikatan dengan oksigen maupun tidak berikatan dengan oksigen.30
2.1.2.2 Biosintesis Hemoglobin
Biosintesis heme terjadi di mitokondria dan sitoplasma pada prekursor eritrosit di sumsung tulang. Glisin dan suksinil koenzim A (CoA) dikatalisis oleh
aminolevulinate synthase untuk membentuk aminolevulinic acid (ALA) di
mitokondria. Aminolevulinic acid dehydratase (dikenal juga sebagai
sitoplasma, lalu mengalami beberapa transformasi dari hydroxilmethylbilane hingga coprophorphyrinogen III.30
Sintesis heme berlanjut di mitokondria. Transferrin, membawa ion besi (Fe3+), berikatan dengan reseptor pada membran sel prekursor eritroid, membentuk endosom. Asidifikasi endosom melepaskan besi dari transferin. Besi dikeluarkan dari endosom menuju mitokondria, tempat reduksi menjadi Fe3+ menjadi Fe2+ dan berikatan dengan protoporphyrin IX hingga terbentuk heme dengan aktivitas dari
ferrochetalase (heme synthase). Heme keluar dari mitokondria ke sitoplasma
untuk bergabung dengan globin.30
Biosintesis globin terjadi di prekursor eritroid dari pronormoblas melalui sirkulasi eritrosit polikromatik, dengan proses transkripsi di nukleus dan translasi pada ribosom. Ketika translasi selesai, rantai globin dilepaskan ke sitoplasma. Ikatan heme dengan globin membentuk heterodimer. Dua heterodimer membentuk tetramer, dan molekul hemoglobin selesai disintesis.30
2.1.2.3 Fungsi Hemoglobin
Hemoglobin memiliki tiga fungsi utama, yaitu transpor oksigen, karbon dioksida, dan nitrat oksida. Saat oksigenasi, setiap atom besi heme mengikat satu molekul oksigen, dan terjadi perubahan konformasi tetramer Hb. Aktivitas oksigenasi dan deoksigenasi oleh Hb dipengaruhi oleh afinitas. Afinitas oksigen yang tinggi diperlukan saat oksigenasi, dan sebaliknya saat deoksigenasi. Oksigen berdifusi ke dalam sel dan berikatan dengan deoxygenated haemoglobine (HHb) karena tingginya tekanan oksigen di paru-paru. Asam karbonat, dihasilkan dari
pelepasan H+ (dari hemoglobin) yang bereaksi dengan bikarbonat, berubah menjadi air dan CO2 yang selanjutnya dikeluarkan dari paru-paru. Sebagian kecil CO2 berada di sitoplasma dan selebihnya berikatan dengan rantai globin sebagai kelompok karbamin.30
Hb terlibat pada pengikatan, inaktivasi, dan transport nitrat oksida (NO). Nitrat oksida disekresi oleh sel endothelial vaskuler dan menyebabkan dinding vaskuler otot halus relaks dan mengalami vasodilatasi. Sebagian nitrat oksida dapat berikatan dengan hemoglobin membentuk S-nitrosohemoglobin. Hb berperan dalam regulasi aliran darah lokal pada area mikrovaskuler dengan mengikat dan menginaktivasi nitrat oksida (menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan aliran darah) saat tekanan oksigen tinggi dan melepaskan nitrat oksida (menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah) saat tekanan oksigen rendah.30,31
2.1.3 Zat Besi
2.1.3.1 Absorbsi Zat Besi
Absorbsi zat besi terjadi di duodenum dan jejunum. Zat besi dalam makanan dalam bentuk Fe3+ direduksi menjadi Fe2+, misalnya oleh vitamin C. Absorbsi hanya dilakukan jika Fe2+ berikatan dengan protein. Mekanisme absorbsi zat besi meliputi dua tahap, yaitu ikatan Fe2+ dengan protein transport divalent metal
transporter 1 (DMT1-)/natural resistance-associated macrophage protein 2 (Nramp2) saat memasuki sel mukosa, dan oksidasi menjadi Fe3+ oleh
ceruloplasmin, dikeluarkan oleh ferroportin, dan berikatan dengan transferrin
Defisiensi zat besi, anemia, dan hipoksia disebabkan oleh peningkatan sintesis transferrin dan DMT1-, sehingga meningkatkan kapasitas absorbsi dan transport zat besi. Sebaliknya, sel mukosa mencegah iron overload dengan menyimpannya dalam bentuk feritin. Protein HFE memblok reseptor tranferrin dan meregulasi
transferrin-bound iron, sehingga terjadi absorbsi zat besi. Sel crypt yang belum
matang berperan sebagai sensor zat besi, saturasi transferrin pada produksi DMT1-. Soluble transferrin receptor (sTfR) merupakan derivat dari aktivitas eritropoiesis yang berperan sebagai regulator dalam penyerapan zat besi.32
2.1.3.2 Transport Zat Besi
Kompleks Fe3+-transferrin diikat oleh reseptor transferrin dan dibawa menuju sel target. Ketika terdapat kelebihan besi-heme, kompleks Fe2+-heme akan keluar dari oksidasi sel mukosa dan ditransportasi ke hati setelah diikat oleh haptaglobin atau hemopexin. Transferrin merupakan molekul glikoprotein yang diproduksi di hati. Selain di plasma darah, transferrin dapat dideteksi di beberapa cairan interstisial dan cairan serebrospinal. Satu molekul transferrin dapat mengikat maksimum dua ion Fe3+, atau setara dengan 1,5 μg zat besi per mg transferrin.32
2.1.3.3 Penyimpanan Zat Besi
Zat besi disimpan dalam bentuk feritin, produk kondensasi semi kristal hemosiderin, terutama di hati, limpa, dan sumsum tulang. Penyerapan zat besi diregulasi oleh ekspresi reseptor transferrin dan memiliki mekanisme dasar yang sama pada semua jenis sel (Gambar 2.2). Zat besi menginduksi sintesis apoferitin,
selubung protein feritin yang bebas zat besi, di ribosom. Feritin yang telah berikatan dengan Fe3+ kemudian dikeluarkan ke plasma darah. Konsentrasi feritin berbanding lurus dengan jumlah zat besi yang tersimpan.32
Gambar 2.3. Penyimpanan seluler zat besi dan sintesis ferritin (Barton et al., 2010)
2.1.3.4 Kelebihan Zat Besi (Iron Overload)
Penyebab utama iron overload pada pasien hemoglobinopati adalah transfusi darah berulang. Pasien yang menerima tidak lebih dari 12-15 unit pak eritrosit (≤3 g Fe, konsentrasi feritin serum ≤1000 μg/L) tidak menunjukan gejala iron
overload. Sebagian pasien akan menunjukan abnormalitas tidak spesifik, seperti
palpitasi, takikardia, dyspnea on exertion, atau hepatomegali, yang mengindikasikan kondisi iron overload di hati atau jantung. Pasien iron overload dapat mengalami gejala gagal jantung, sirosis, diabetes mellitus, atau
hiperpigmentasi kutan. Pertumbuhan anak yang menerima transfusi berulang akan terhambat, serta perkembangan seksual terganggu.33
Absorbsi zat besi diregulasi oleh hepsidin, protein yang diproduksi di hati dan akan berikatan dengan ferroprotein. Ferroprotein merupakan protein eksporter pada permukaan sel yang mengabsorbsi zat besi, termasuk pada makrofag, sel hati, dan plasenta. Ferroprotein selanjutnya mengalami internalisasi dan terdegradasi. Pada kondisi patologi berkaitan dengan iron overload, ketika besi pada plasma melebihi kapasitas pengikatan transferrin, terakumulasi menjadi
non-transferrin bound iron (NTBI). Fraksi NTBI, labile plasma iron (LPI), terlibat
pada reaksi redoks. NTBI berperan sebagai katalis dalam pembentukan ROS dan mengakibatkan kerusakan liver, organ endokrin, jantung, meliputi aritmia dan gagal jantung, yang merupakan alasan utama pada kematian pasien thalassemia.34,35
2.1.3.5 Zat Besi dalam Eritropoiesis
Sintesis eritrosit membutuhkan zat besi sebagai komponen dari hemoglobin. Konsumsi terbesar zat besi dalam tubuh adalah saat eritropoiesis, eritrosit mengandung dua per tiga besi tubuh. Sebagian besar zat besi yang digunakan saat eritroppoiesis berasal dari aktivitas siklus eritrosit tua oleh makrofag, eritrofagositosis, yang menghasilkan 20-25 mg besi per hari. Absorbsi zat besi oleh intestine adalah 1-2 mg per hari (0.05% dari besi tubuh total). Selama eritropoiesis, sintesis hemoglobin meningkat, dan konsumsi besi mencapai 100 kali lipat oleh sumsum tulang dan harus sesuai dengan penyerapan besi dan
pelepasan besi dari tempat penyimpanan. Ketidakseimbangan kebutuhan dan ketersediaan zat besi menyebabkan kerusakan kompartemen transferrin dan berdampak pada proses lain yang melibatkan besi.36
Kelainan genetik dengan eritropoiesis yang tidak efektif meliputi thalassemia dan anemia diseritropoetik. Pada kondisi ini, prekursor eritrosit banyak dihasilkan, namun tidak berkembang hingga dewasa dan sebagian besar mengalami apoptosispada tahap eritroblas. Pada thalassemia, iron overload akan memperburuk eritropoiesis yang tidak efektif dengan menstimulasi eritroblas memproduksi ROS dan meningkatkan ketidakseimbangan rantai globin.35–37
2.1.4 Stres Oksidatif
Sel menggunakan oksigen untuk menghasilkan energi dalam bentuk adenosine
triphosphate (ATP) di mitokondria. Selama berlangsungnya proses ini, radikal
bebas dihasilkan sebagai produk samping, terutama dalam bentuk ROS dan
reactive nitrogen species (RNS) melalui proses redoks.14 Stres oksidatif terjadi ketika produksi spesies reaktif melebihi kapasitas antioksidan, membawa pada kerusakan sel. Kerusakan sel akibat stres oksidatif disebut kerusakan oksidatif. Respon sel terhadap spesies reaktif beragam, di antaranya peningkatan proliferasi, pencegahan pembelahan, penuaan, nekrosis, dan apoptosis. Stres oksidatif menghasilkan dampak positif pada beberapa kondisi. Pembentukan spesies reaktif pada sel yang mengalami inflamasi akan membunuh patogen dan merangsang modulasi respon inflamasi.38
2.1.4.1 Spesies Reaktif
Besi terlibat dalam formasi dan destruksi ROS, misalnya superoksida (O2.-), peroksida (H2O2 dan ROOH), dan radikal bebas (HO. dan RO.). Besi dan derivat besi, seperti heme dan besi-sulfur (Fe-S), berperan pada enzim yang memproduksi ROS. Enzim tersebut antara lain adenine dinucleotide phosphate hydride (NADPH) oxidases (NOXs), xanthine oxidase, dan lipoxygenases (LOXs). Pool untuk labil Fe2+ terdapat di sitosol, mitokondria, dan lisosom. Pool ini mengkatalis pembentukan radikal bebas melalui reaksi Fenton. Enzim yang produksi ROS dengan ketergantungan besi dan besi labil berkontribusi pada kerusakan dan kematian sel.39,40 Spesies besi reaktif ekstraseluler (LPI) dan intraseluler (labile
iron pool, LIP) pada sel darah thalassemia diketahui bertanggung jawab
menyebabkan stres oksidatif dengan mengkatalis pembentukan spesies oksigen reaktif melampaui kapasitas antioksidan di dalam sel (Gambar 2.3).33
Gambar 2.4. Peran spesies besi reaktif dalam menghasilkan stres oksidatif dan kerusakan sel (Fibach dan Rachmilewitz, 2010)
2.1.4.2 Antioksidan
Klasifikasi antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzimatik dan non-enzimatik. Antioksidan enzimatik intraseluler meliputi superoxide dismutase (SOD), catalase (CAT), glutathione peroxidase (GPx), glutathione reductase (GR), thiol-disulfide oxidereductase, dan peroxiredoxin (PRX)14. Transisi logam melalui membran sel dapat terpretisipasi pada autooksidasi atau dekomposisi peroksida menjadi radikal peroksil, alkoksil, dan hidroksil, sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif.41
SOD adalah enzim yang mengkatalis radikal superoksida (O2.-) menjadi molekul oksigen dan hidrogen peroksida. Terdapat tiga tipe SOD, yaitu SOD1, SOD2, dan SOD3. SOD1 (Cu/Zn-SOD) terdapat di sitoplasma, lisosom, dan kompartemen nukleus, dan paling banyak terdapat pada sel hati. SOD2 (Mn-SOD) terdapat pada matriks mitokondria dan paling banyak terdapat pada korteks ginjal. SOD3 (SOD ekstraseluler) terdapat pada cairan ekstraseluler, misalnya pada plasma dan limfa. Komponen dan mekanisme yang dilakukan SOD3 sama dengan SOD1, namun SOD3 memiliki afinitas lebih tinggi, sehingga memungkinkan untuk berada di lingkungan ektraseluler.41
Bentuk oksidan (H2O2) diubah menjadi air dan oksigen oleh katalase CAT atau GPx. Enzim selenoprotein GPx mengkatalis H2O2 menjadi H2O atau mengkatalis hidroperoksida organik menjadi alkohol. Rentang afinitas yang luas dimiliki oleh GPx (H2O2 hingga hidroperoksida), sehingga menjadi sistem penting bagi sel dalam menghadapi radikal bebas. Enzim ini berikatan dengan selenium sebelum teraktivasi. Aktivitas GPx bergantung pada ketersediaan glutathione (GSH)
sebagai sumber donor electron yang akan dioksidasi menjadi glutathione disulfida (GSSG). GPx terdapat di sitosol dan mitokondria, dan paling banyak terdapat pada serat otot.20 GR, enzim flavoprotein, meregenerasi GSH dari GSSG, dengan NADPH sebagai sumber energi.15
Katalase adalah enzim tetramer yang membutuhkan Fe3+ sebagai kofaktor pada sisi aktif. Katalase mengkatalis molekul hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Perbedaan antara GPx dan katalase adalah afinitas enzim pada H2O2 sebagai substrat. Katalase memiliki afinitas lebih rendah pada H2O2 dengan konsentrasi tinggi. Konsentrasi katalase yang tinggi terdapat pada peroksisom dan mitokondria, dan paling banyak terdapat pada sel otot yang teroksidasi.20
Antioksidan non-enzimatik terbagi mejadi antioksidan metabolik dan nutrien. Antioksidan metabolik endogen dihasilkan oleh tubuh dalam bentuk asam lemak,
glutathione, L-ariginine, koenzim Q10, melatonin, asam urat, bilirubin,
transferrin, dan sebagainya. Antioksidan nutrien bersifat eksogen, didapatkan dari asupan nutrisi seperti vitamin E, vitamin C, selenium, karotenoid, flavonoid, dan sebagainya. Jumlah konsumsi sumber antioksidan nutrien perlu diperhatikan, misalkan konsumsi vitamin C. Aktivitas antioksidan vitamin C dapat mencegah kanker paru, kanker kolorektal dan lainnya. Konsumsi vitamin C melebihi dosis yang disarankan dapat mengakibatkan kondisi prooksidan atau karsinogen.15
2.1.4.3 Stres Oksidatif pada Pasien Thalassemia β
Oksidasi subunit hemoglobin menyebabkan pembentukan hemikrom yang berpengaruh terhadap proses hemolisis. Rantai α terdisosiasi lebih cepat
dibandingkan rantai β dan γ, sehingga pada kondisi thalassemia β akan menunjukan kondisi klinis lebih berat dibandingkan thalassemia α. Rantai globin β yang tidak berpasangan akan membentuk Heinz body. Hemikrom selanjutnya berikatan dengan protein band 3, protein 4.1, ankyrin, spektrin, atau komponen eritrosit lainnya. Setelah presipitasi hemikrom, heme mengalami disintegrasi, sehingga non–transferrin-bound iron dilepaskan dan mengkatalisis pembentukan ROS.1 ROS menyebabkan oksidasi protein membran, kerusakan struktur membran, dan pelepasan antigen eritrosit seperti phosphatidylserine yang menyebabkan kematian dini sel darah merah, termasuk pada sumsum tulang (eritropoiesis yang tidak efektif) atau sirkulasi periferal (hemolisis) (Gambar 2.5).1,14
Kerusakan membran sel eritrosit pada thalassemia β menyebabkan pengelompokan globin terdenaturasi dan protein band 3 sehingga membentuk agregat membran. Sejumlah kecil besi bebas patologis yang berasal dari rantai hemoglobin tidak berpasangan dapat menginisiasi peningkatan aktivitas redoks yang secara simultan akan menurunkan kemampuan reduksi sel, mengoksidasi hemoglobin, dan merangsang respon fosforilatif terhadap destabilitas membran, dan mempercepat perusakan sel eritrosit.14
Penelitian pada eritrosit thalassemia β menunjukan bahwa protein pada sitoskeleton dan membran sel merupakan target dari stres oksidatif. Spektrin, protein kunci pada sitoskeleton, terlibat pada beberapa kerusakan oksidatif, menghasilkan gangguan interaksi dengan protein aktin atau protein lain pada jembatan multiprotein sitoskeleton. Aktivitas oksidasi yang kuat akan
mengganggu fungsi dari kompleks adducin dan ankyrin. Pecahnya ikatan pada dua kompleks tersebut mengakibatkan hilangnya permukaan membran melalui vesikulasi (blebbing/mikropartikel).14
Gambar 2.5. Eritropoiesis yang tidak efektif pada thalassemia β mengakibatkan pembentukan ROS (Rund dan Rachmilewitz, 2005)
Pasien thalassemia β intermedia, terutama yang mengalami splenektomi, menghasilkan mikropartikel dalam jumlah tinggi. Mikropartikel yang berasal dari membran sel eritrosit dianggap sebagai penyebab utama atherosklerosis prematur pada pasien thalassemia β. Protein band 3 mengatur kompleks enzim glikolitik pada membran sel dan mengontrol aliran glukosa antara jalur pentose phosphate
mengaktivasi glikolisis dan mencegah pengurangan energi dengan memproduksi NADPH secara terus menerus.14
Stres oksidatif terinduksi zat besi telah dipelajari pada pasien HbE/β-thal dengan peningkatan kadar feritin serum, penurunan kadar glutation, dan reduksi perbandingan GSH:GSSG. Stres oksidatif pada HbE/β-thal merupakan kandidat yang mencetuskan peningkatan inflamasi sitokin (Gambar 2.6). Hal ini dapat disebabkan aktivasi endotelial, dari Hb dan heme yang teroksidasi, reduksi NO, dan mekanisme lainnya. Pelepasan heme bebas dan ROS pada hemolisis eritrosit mengaktivasi NF-κB dan AP-1, yang meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi (IL1, IL6, TNFα) dan molekul adhesi endotelial (L-selectin, P-selectin, VCAM-1, ICAM-1). Proses ini merangsang pelepasan ROS lebih banyak.8
Rangkaian inflamasi yang diinisiasi oleh stres oksidatif pada eritrosit yang dimediasi oleh ROS berdampak terhadap protein band 3 sebagai anion exchanger yang berperan dalam kontrol transportasi ion, NOx, regulasi glikolisis, dan pengaturan hubungan sitoskeleton dengan membran sel. Kerusakan eritrosit mengakibatkan gangguan aktivitas enzim antioksidan, sehingga produksi H2O2 terus meningkat. Tingginya kadar H2O2 merangsang pembentukan derivat feril, yang pada HbE telah diketahui memfasilitasi modifikasi Hb (termasuk pelepasan heme dan pembentukan hemikrom), yang mengubah protein band 3 dengan pembentukan ikatan disulfida dan mendukung fosforilasi tirosin dan serin. Fosforilasi protein band 3 berlebih berhubungan dengan peningkatan degradasi membran menghasilkan mikropartikel proinflamasi dan meningkatkan aktivitas hemolisis.8
Hemolisis dan mikropartikel memperburuk inflamasi vaskuler, termasuk aktivasi platelet dan disfungsi endotelial. Pasien HbE/β-thal menunjukan kadar mikropartikel yang tinggi. Eritropoiesis yang tidak efektif pada HbE/b-thal terlibat dalam aktivasi berlebih transduksi sinyal termediasi eritropoietin berhubungan dengan tingginya kadar ROS dan tingginya sitokin inflamasi spesifik. Sitokin inflamasi diketahui terlibat dalam eritropoiesis yang tidak efektif.8
Gambar 2.6. Model eritrosit normal dan eritrosit HbE/β-thal yang mengalami stres oksidatif. (a) Sistem redoks pada eritrosit normal dengan reaksi oksidatif intraseluler selama 120 hari (b) Mekanisme patofisiologi eritrosit HbE/ β-thal. 6PG, 6-phosphoglucono-d-lactone, CAT, catalase; CYB5R1, NADH/NADPH cytochrome b5 reductase; G6P, glucose-6-phosphate; GPX, glutathione peroxidase; GR, glutathione reductase; Hb, hemoglobin; ROS, reactive oxygen species; SOD, superoxide dismutase; TrxR, thioredoxin reductase. (Hirsch et al., 2016)
Kelebihan rantai globin α pada thalassemia heterozigot menghasilkan heme, hemikrom, zat besi labil, ROS, dan heme detoxification protein (HDP) yang
transportasi ion, mengubah fisiologi NO di dalam sel. Kondisi ini meningkatkan ketidakstabilan sel yang mengakibatkan reaksi sistem redoks berlebih dengan mengikis GSH dan mengubah ekspresi enzim antioksidan, sehingga terjadi (1)
cross-linking protein membran oleh heme, cross-linking/clustering protein band 3
oleh hemikrom, perubahan transportasi anion; (2) peroksidasi lipid membran; dan (3) paparan PS lebih banyak. Haptoglobin merupakan protein plasma yang mengikat Hb bebas, sedangkan hemopexin merupakan protein plasma yang mengikat heme bebas. Pada kondisi hemolisis kronis dan berat, kedua protein ini sangat terbatas untuk mengikat molekul bebas tersebut, sehingga kedua molekul tersebut dapat menyebabkan kerusakan oksidatif jika berada bebas di plasma.8
2.2 Kerangka Pemikiran
Mutasi gen globin β
Peningkatan kadar besi Eritropoiesis tidak efektif
Thalassemia β
Pertahanan seluler Stres Oksidatif
Kerusakan DNA dan kompartemen sel
Enzim: SOD, GPx, katalase, vitamin E, dll
Protein lain : AHSP, laktoferin Parameter : feritin, NTBI, besi serum, TIBC, transferin, LPI Pembentukan ROS
2.3 Premis dan Hipotesis 2.3.1 Premis
1. Thalassemia β mengakibatkan eritropoiesis tidak efektif dan hemolisis yang menyebabkan anemia dan membutuhkan transfusi berulang bagi pasien.1
2. Thalassemia β menunjukan gejala fenotip dan hematologi bervariasi. Jenis mutasi thalassemia mempengaruhi kondisi klinis pasien10
3. Penerima transfusi berulang akan mengabsorbsi zat besi lebih banyak, sehingga terjadi kondisi iron overload. Akumulasi zat besi terjadi di beberapa organ, seperti hati, limpa, jantung, dan lain-lain.1,12
4. Zat besi tersimpan di dalam sel dalam bentuk feritin. Feritin merupakan indikator iron overload yang mudah diukur.9
5. Zat besi berperan mengkatalisis pembentukan senyawa radikal bebas.12 6. Antioksidan enzimatik berperan menetralisir radikal bebas di dalam sel.14,15 7. SOD merupakan enzim antioksidan primer pada manusia dengan menetralisir
pembentukan senyawa superoksida.12,18
8. GPx merupakan enzim antioksidan yang melanjutkan reaksi netralisir produk yang dihasilkan SOD dan berperan lebih spesifik pada eritrosit.20
2.3.2 Hipotesis
1. Jenis mutasi gen globiin β berhubungan dengan tingkat stres oksidatif.
2. Aktivitas SOD dan GPx berhubungan positif menurut jenis mutasi gen globin β. 3. Kadar feritin berhubungan negatif dengan aktivitas SOD dan GPx menurut