• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Smart tourism telah banyak dikembangkan dan diterapkan di berbagai negara. Smart tourism atau pariwisata cerdas merupakan gagasan yang dikembangkan berdasarkan

infrastruktur informasi dan komunikasi yang canggih serta kemampuan peningkatan manajemen pariwisata dan pemerintahan, memfasilitasi inovasi produk dan layanan, meningkatkan pengalaman wisata, mencapai keunggulan kompetitif bagi perusahaan pariwisata dan terutama berperan sebagai alat yang strategis untuk pengembangan pariwisata[1].

Beberapa negara telah mengembangkan dan menerapkan smart tourism dengan implementasi yang berbeda untuk menarik wisatawan datang berkunjung. Korea Tourism

Organization (KTO) membangun sistem smart tourism yang meliputi website, SNS dan

aplikasi smarthone dalam 8 bahasa yang semuanya terkoneksi dan bisa mudah diakses oleh masyarakat domestik maupun luar negeri[2]. Sedangkan pengembangan smart tourism di Thailand difokuskan pada “ Unique Thai Local Experiences” yang bertujuan menciptakan pengalaman yang berharga dan mengesankan bagi wisatawan serta mempromosikan pariwisata kreatif melalui budaya dan cara hidup Thailand[3].

Penerapan smart tourism yang lain adalah dengan pengembangan ecotourism (ekowisata). Ecotourism dianggap sebagai bentuk smart tourism karena membantu untuk melestarikan sumber daya alam, pemeliharaan kesehatan fisik dan mental wisatawan, serta membawa manfaat bagi masyarakat lokal[4]. Definisi ecotourism menurut International

Ecotourism Society adalah pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan

mengutamakan pelestarian alam, menopang kesejahteraan masyarakat setempat, serta melibatkan aspek pembelajaran dan pendidikan[5]. Ecotourism biasanya dikembangkan oleh negara-negara yang memiliki daya tarik sumber daya alam, sosial budaya, dan kearifan masyarakat lokal. Salah satu contoh negara di ASEAN yang mengusung

ecotourism dalam pengembangan sektor pariwisata adalah negara Laos. Laos

mempromosikan pelestarian budaya, lingkungan, konservasi tanaman, dan margasatwa sehingga wisatawan dapat menikmati alam tropis, populasi satwa liar yang beragam, serta tradisi kelompok etnis yang keunikan budayanya masih terjaga[6].

(2)

2

Pemerintah Indonesia juga mengembangkan ecotourism melalui pendekatan

Community Based Tourism (CBT). CBT menjadi salah satu strategi pemerintah untuk

mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan yaitu pembangunan pariwisata yang memperhitungkan penuh dampak ekonomi, sosial dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan dan masyarakat setempat[7]. Strategi tersebut bertujuan untuk mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan. CBT merupakan pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial, dan budaya serta menekankan pada partisipasi masyarakat lokal[8]. CBT diterapkan di desa-desa wisata karena kelestarian potensi alam yang dimiliki dan masih terjaganya keaslian budaya masyarakat sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan. Dampak positif dari pengembangan desa wisata antara lain menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat setempat, dan dapat menjadi desa yang mandiri[8].

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sejak 2009 telah melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata dengan target mengembangkan desa wisata di Indonesia[9]. Sejak tahun 2016, Kemenpar berkolaborasi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menjalankan program Desa Wisata yang disambungkan dengan rencana pembangunan 100.000 homestay di desa wisata pada tahun 2017[10]. Program tersebut bertujuan untuk menarik wisatawan dan membangun desa wisata yang berstandar global[10]. Berdasarkan data Kemenpar, desa wisata muncul pertama kali di Indonesia pada tahun 2009 dan jumlahnya semakin meningkat menjadi 561 desa pada tahun 2014[11].

Provinsi D.I. Yogyakarta yang terkenal akan wisata alam dan budayanya juga gencar mempopulerkan desa wisata untuk menarik minat wisatawan. Jumlah desa wisata yang tercatat di Dinas Pariwisata Provinsi D.I. Yogyakarta mengalami peningkatan dari 80 desa pada tahun 2014 menjadi 122 desa pada tahun 2016. Walaupun jumlah desa wisata meningkat, tapi ada berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan desa wisata di Provinsi D.I. Yogyakarta. Renstra Dinas Pariwisata DIY tahun 2012-2017 mencatat beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan desa wisata, antara lain[12]:

1) Manajemen pengelolaan daya tarik desa wisata masih konvensional dan belum optimal.

(3)

3

3) Kuantitas dan kualitas pemasaran desa wisata yang masih rendah baik secara langsung maupun melalui media massa.

4) Sebagian masyarakat desa belum memahami dan melaksanakan sadar wisata dan sapta pesona secara maksimal.

5) Beberapa desa wisata belum memiliki kelembagaan yang terorganisir dengan baik. 6) Pengetahuan, kemampuan, dan kreatifitas masyarakat dalam pengelolaan desa wisata

masih rendah.

7) Minat berinvestasi dan Corporate Social Responsibility (CSR) dari para stakeholder selain pemerintah untuk terlibat dalam pengembangan desa wisata masih rendah. Survei prapenelitian dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui kondisi dan permasalahan yang dialami oleh desa wisata saat ini. Survei prapenelitian dilakukan dengan mengambil sampel 2 desa wisata yang ada di Kabupaten Sleman yaitu Desa Wisata Pentingsari dan Desa Wisata Pulesari. Kedua desa wisata tersebut dipilih sebagai sampel karena prestasi masing-masing desa yang pernah menjadi juara desa wisata terbaik dalam lomba Desa Wisata se-Provinsi D.I. Yogyakarta pada tahun yang berbeda.

Survei prapenelitian yang telah dilakukan oleh peneliti menemukan beberapa permasalahan yaitu masih rendahnya penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) oleh pengelola desa wisata dalam pemasaran produk wisata serta untuk bertransaksi secara online dengan wisatawan. Sebagian pengelola desa wisata masih mengandalkan cara konvensional (dari mulut ke mulut dan brosur), walaupun mereka sudah memiliki media online seperti instagram, facebook, twitter, dan website tetapi media online yang mereka miliki tidak selalu up to date. Permasalahan lain adalah masih kurangnya pengetahuan dan pemahaman sebagian pengelola/pemandu/masyarakat desa wisata mengenai TIK dan penggunaannya.

Beberapa permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya bisa menjadi faktor penghambat kesiapan desa wisata untuk dapat bersaing secara global. Hal ini menyebabkan desa wisata tidak bisa berkembang sesuai dengan harapan. Desa wisata menjadi tidak bisa dikenal secara global oleh masyarakat sehingga berakibat pada menurunnya jumlah kunjungan dan mempengaruhi pendapatan masyarakat desa.

Untuk bisa bersaing secara global, desa wisata perlu menerapkan smart tourism yang tidak hanya smart dalam pengelolaan sumber daya (alam, budaya, manusia) tetapi juga

smart dalam pemanfaatan teknologi informasi. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka

perlu dilakukan pengukuran kesiapan (readiness) desa wisata sehingga dapat melihat peluang dan tantangan yang dihadapi dalam penerapan smart tourism.

(4)

4

Penerapan dan pengembangan smart tourism di suatu desa wisata melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang ada dalam industri pariwisata. Menurut Trully (1999), stakeholders dalam industri pariwisata[13] meliputi organisasi bisnis lokal, organisasi pemerintah (pusat/daerah), pekerja/pengelola tempat wisata. masyarakat di tempat wisata, wisatawan, pesaing-pesaing dalam pengelolaan pariwisata, organisasi bisnis di luar industri pariwisata, dan pihak-pihak lain yang berminat (grup/aktivis) di sektor pariwisata.

Pengelola desa wisata merupakan stakeholders yang terlibat secara langsung dalam pembangunan dan pengembangan desa wisata. Pengelola desa wisata biasanya merupakan masyarakat setempat yang ditunjuk untuk mengkoordinir dalam pengelolaan desa wisata karena desa wisata dibangun dan dikembangkan dengan mengutamakan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat mengandung arti bahwa semua masyarakat berperan aktif dalam pertunjukan/atraksi kesenian, penyediaan akomodasi, dan penyiapan sumber daya manusia di desa wisatanya. Beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat biasanya diwujudkan melalui keterlibatan dalam pertemuan, pendampingan, bantuan modal, pembangunan sarana dan prasarana, pembentukan organisasi desa wisata, kerja bakti, dan pemasaran[14]. Dengan demikian, seluruh pelaku dalam kegiatan pariwisata di desa wisata baik pengelola, pemandu, penampil atraksi maupun penyedia produk barang/jasa merupakan masyarakat setempat di desa wisata.

Berdasarkan survei prapenelitian diketahui bahwa pengelola desa wisata juga berperan penting dalam mengkoordinir semua transaksi yang terjadi di desa wisata. Semua transaksi yang dilakukan oleh wisatawan seperti pemesanan produk makanan, paket wisata, pertunjukan kesenian, maupun homestay dikoordinir melalui pengelola desa wisata untuk kemudian didelegasikan secara merata kepada masyarakat setempat sehingga akan tercipta pemerataan pendapatan. Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat dapat meningkat secara bersamaan dan kecil kemungkinan terjadi kesenjangan pendapatan.

Keberadaan desa wisata sangat tergantung pada keaktifan pengelola[15]. Pengelola desa wisata merupakan penggerak utama desa wisata untuk menuju lebih baik atau untuk menuju kemunduran karena kalah saing dengan desa wisata lain. Sehingga dalam penelitian ini, pengukuran kesiapan desa wisata ditekankan pada pengukuran ICT

readiness pengelola desa wisata dalam rangka pemanfaatan teknologi informasi untuk

menerapkan smart tourism di desa wisata. ICT readiness pengelola desa wisata yang tinggi dalam pemanfaatan teknologi informasi dapat menjadikan desa wisata berkembang lebih pesat dan dapat memaksimalkan pelayanan kepada wisatawan yang akhirnya akan

(5)

5

berdampak pada meningkatnya kunjungan wisatawan dan meningkatnya pendapatan masyarakat setempat[16].

Pengukuran ICT readiness terhadap pengelola desa wisata dalam penerapan smart

tourism akan dilakukan di beberapa desa wisata yang berlokasi di Kabupaten Sleman

sebagai sampel penelitian. Kabupaten Sleman memperoleh peringkat keempat dalam Indeks Pariwisata Indonesia (IPI) pada tahun 2016. Terdapat dua kabupaten/kota di Provinsi D.I. Yogyakarta yang masuk peringkat sepuluh besar IPI 2016. Selain Kabupaten Sleman, ada Kabupaten Bantul yang meraih peringkat sepuluh. Pengukuran IPI dilakukan terhadap 500 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. IPI dikembangkan oleh Kementerian Pariwisata untuk mengukur kesiapan daerah tujuan pariwisata menjadi motor pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional[17]. IPI bisa dijadikan dasar untuk melihat secara umum potensi industri pariwisata di Indonesia. Ada 4 aspek yang digunakan untuk mengukur IPI yaitu aspek infrastruktur pendukung pariwisata, aspek tata kelola, aspek lingkungan pendukung, dan aspek potensi wisata. Berdasarkan IPI, Kabupaten Sleman unggul pada aspek lingkungan pendukung yang terdiri atas lima pilar penilaian yaitu lingkungan bisnis, keselamatan dan keamanan, sarana kesehatan dan kebersihan, sumber daya manusia, serta kesiapan infrastruktur teknologi informasi[17].

Kabupaten Sleman memiliki jumlah desa wisata terbanyak jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Provinsi D.I. Yogyakarta. Jumlah desa wisata yang dimiliki Provinsi D.I. Yogyakarta berdasarkan data Dinas Pariwisata Provinsi D.I. Yogyakarta pada tahun 2016 sebanyak 122 desa dengan sebaran 38 desa di Kabupaten Sleman, 33 desa di Kabupaten Bantul, 27 desa di Kota Yogyakarta, 14 desa di Kabupaten Gunung Kidul, dan 10 Desa di Kulon Progo[18]. Pengembangan desa wisata di Kabupaten Sleman menjadi salah satu program dan kegiatan Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman pada tahun 2017. Beberapa program pengembangan tersebut diwujudkan melalui kegiatan peningkatan pembangunan sarana prasarana desa wisata, peningkatan kapasitas pengelolaan dan kerjasama desa wisata, serta pengembangan daya tarik desa wisata[19].

Kabupaten Sleman juga mempunyai banyak prestasi yang telah diraih oleh beberapa desa wisatanya baik yang bertaraf nasional maupun internasional. Beberapa prestasi tersebut antara lain Best Practice Tourism Ethic at Local Level dari World Committee on

Tourism Ethics (2011) dan Best Performance Travel Club Tourism Award dalam bidang

pengembangan Desa Wisata (2011 dan 2013)[20]. Selain itu, pada tahun 2015 ada dua desa wisata di Kabupaten Sleman yang meraih juara dua dan juara harapan tiga dalam lomba desa wisata tingkat Provinsi D.I. Yogyakarta[21]. Sedangkan pada lomba desa

(6)

6

wisata se-Provinsi DIY tahun 2016, terdapat satu desa wisata di Kabupaten Sleman yang menjadi juara dalam kategori produk paket wisata terbaik[22]. Beberapa hal mengenai Kabupaten Sleman yang telah disebutkan sebelumnya menjadi alasan bagi peneliti untuk menjadikan kabupaten tersebut sebagai lokasi penelitian.

Pengukuran ICT readiness pengelola desa wisata di Kabupaten Sleman dalam pemanfaatan teknologi informasi untuk penerapan smart tourism pada penelitian ini mengacu pada konsep Travel & Tourism Competitiveness Index (TTCI) atau Indeks Daya Saing Pariwisata yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF). TTCI mengukur seperangkat kebijakan yang memungkinkan pembangunan berkelanjutan dari sektor travel dan pariwisata, yang pada gilirannya, memberikan kontribusi untuk pengembangan daya saing suatu negara[23]. TTCI digunakan untuk mengukur daya saing pariwisata yang dimiliki suatu negara. Selama ini, TTCI juga digunakan sebagai acuan oleh Kemenpar untuk menghitung Indeks Pariwisata Indonesia (IPI). Selain itu, strategi pengembangan

smart tourism di Indonesia juga didasarkan pada indeks tersebut.

TTCI terdiri atas 4 aspek, 14 pilar, dan 90 indikator[23]. Keempat aspek TTCI meliputi aspek lingkungan dan pendukung bisnis, aspek tata kelola, aspek potensi wisata alam dan wisata buatan, serta aspek infrastruktur pendukung. Sedangkan 14 pilar TTCI meliputi lingkungan bisnis, keselamatan dan keamanan, kesehatan dan kebersihan, SDM dan pasar tenaga kerja, ICT readiness, prioritas perjalanan dan pariwisata, keterbukaan internasional, daya saing harga, keberlanjutan lingkungan, infrastruktur bandara, infrastruktur pelabuhan dan darat, infrastruktur jasa pariwisata, sumber daya alam, serta budaya dan travel bisnis[23]. Indikator ICT Readiness dalam TTCI yang akan digunakan untuk mengukur kesiapan pengelola desa wisata dalam pemanfaatan teknologi informasi disesuaikan dengan kondisi di Kabupaten Sleman.

Tujuan pengukuran ICT readiness pengelola desa wisata adalah untuk memberikan gambaran mengenai sejauh mana pengelola desa wisata telah menerapkan konsep smart

tourism dan untuk mengetahui indikator ICT readiness mana saja yang perlu ditingkatkan

agar desa wisata bisa bersaing secara global. Selama ini, belum pernah dilakukan pengukuran indikator ICT readiness terhadap desa wisata terutama pengelolanya. Sehingga hal ini bisa memberikan informasi dan rekomendasi bagi pengelola desa wisata dan pemerintah daerah dalam pengembangan desa wisata.

(7)

7 1.2 Perumusan Masalah

Berbagai permasalahan pengembangan desa wisata terutama dalam penggunaan TIK seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bisa menghambat desa wisata untuk dapat bersaing secara global. Sehingga perlu dilakukan pengukuran ICT readiness pengelola desa wisata untuk dapat melihat kondisi saat ini, peluang, dan tantangan yang dihadapi. Selama ini, pengukuran ICT readiness terhadap pengelola desa wisata belum pernah dilakukan.

1.3 Keaslian Penelitian

Peneliti melakukan studi literatur dari peneliti-peneliti sebelumnya yang meneliti mengenai sektor pariwisata. Pada latar belakang telah disebutkan bahwa implementasi

smart tourism berbeda-beda di setiap negara. Ada yang menekankan pada aplikasi

teknologi canggih untuk membantu wisatawan, tapi ada juga yang menekankan pada pelestarian sumber daya alam dan lingkungan, pelestarian tradisi budaya, serta peningkatan pengalaman wisatawan. Walaupun terdapat perbedaan penekanan implementasi smart tourism, tetapi setiap negara memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing pariwisata negaranya secara global.

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Jovanovic, et. al[24] yang menganalisis health

and hygiene (kesehatan dan kebersihan) dan dampaknya terhadap daya saing pariwisata

negara-negara Eropa Tenggara selama tahun 2007-2013. Metode yang digunakan adalah analisa regresi dan korelasi. Hasil analisanya menunjukkan bahwa nilai pilar kesehatan dan kebersihan negara Serbia meningkat dari tahun ke tahun walaupun masih kalah dibandingkan dengan beberapa negara di Eropa Tenggara. Penghitungan korelasi

Spearman menunjukkan ada korelasi positif antara kesehatan dan kebersihan dengan daya

saing pariwisata. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kenaikan kesehatan dan kebersihan mempengaruhi daya saing pariwisata. Indikator kepadatan dokter menjadi komponen paling berpengaruh terhadap kesehatan dan kebersihan.

Jovanovic, et.al[25] juga menganalisa hubungan antara nilai daya saing pariwisata di negara-negara Eropa Tenggara dengan infrastruktur pariwisata selama tahun 2007-2013. Penelitiannya menggunakan metode korelasi Pearson dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hubungan antara daya saing pariwisata dan infrastruktur pariwisata memiliki hubungan positif yang kuat. Infrastruktur pariwisata yang berlevel tinggi dapat berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi produksi dan distribusi dalam layanan

(8)

8

pariwisata sehingga akan berdampak pada meningkatnya daya saing pariwisata. Diketahui juga bahwa indikator yang memberikan dampak terbesar pada meningkatnya pilar infrastruktur di negara-negara Eropa Tenggara adalah bertambahnya jumlah kamar hotel dari tahun ke tahun di sebagian besar negara-negara tersebut.

Ana-Maria Nica[26] melakukan penelitian tentang hubungan warisan budaya dengan daya saing pariwisata di wilayah Eropa Tengah dan Timur dengan menganalisis evolusi sektor pariwisata pada tiga waktu yang berbeda yaitu tahun 2009, 2011, dan 2013. Penelitiannya difokuskan pada T&T human, cultural and natural resources dalam TTCI karena mencakup unsur-unsur warisan budaya. Analisis korelasi pilar T&T human,

cultural and natural resources dalam hal kontribusi pariwisata menunjukkan bahwa fitur

unik suatu negara memainkan peran penting dalam daya saing suatu negara.

Martinovic dan Miletic[27] meneliti tentang ICT readiness sebagai faktor daya saing pariwisata di Serbia. Analisis yang digunakan adalah analisis benchmark pada kesiapan TIK Serbia dan negara pesaing yang terdiri dari negara-negara yang mempunyai sumber daya dan daya tarik serupa dengan Serbia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Serbia telah memiliki infrastruktur dan kesiapan TIK yang solid dibandingkan dengan negara pesaing tetapi kemajuan infrastruktur TIK Serbia sedikit tertinggal. Serbia tidak memiliki kemampuan serta kapasitas yang memadai untuk mencapai dampak nyata dari TIK yang telah diterapkan dalam mengubah ekonomi dan masyarakatnya serta manfaat potensial dari TIK dalam hal mengembangkan dan meningkatkan kualitas pariwisata domestik.

Penelitian Goral[28] melakukan analisa tentang peringkat daya saing harga suatu negara dan memeriksa hubungan antara daya saing harga dengan perimntaan pariwisata dan juga penerimaan pariwisata. Pengetahuan dan data dalam penelitiannya mengacu pada Indeks Daya Saing Harga Pariwisata. Metode penelitiannya menggunakan analisis korelasi SPSS dan hasilnya menunjukkan bahwa Indeks Daya Saing Harga Pariwisata memiliki hubungan negatif dengan jumlah wisatawan dan pendapatan wisatawan. Meskipun harga berperan dalam memilih tujuan wisata, tapi faktor-faktor lain seperti nilai tukar mata uang, tingkat efisiensi berbagai shareholders di sektor pariwisata, dan faktor kualitatif yang mempengaruhi daya tarik dengan diferensiasi harga juga berperan penting dalam keputusan pemilihan tujuan wisata.

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah mengukur kesiapan pengelola desa wisata di Kabupaten Sleman dalam pemanfaatan TIK (ICT readiness) untuk penerapan

(9)

9

smart tourism. Pada latar belakang telah disebutkan bahwa, untuk bisa bersaing secara

global maka desa wisata perlu menerapkan smart tourism yang tidak hanya smart dalam pengelolaan sumber daya (alam, budaya, manusia) tetapi juga smart dalam pemanfaatan TIK. Penelitian ini mengacu pada indikator ICT readiness dalam Travel & Tourism

Competitiveness Index (TTCI) atau Indeks Daya Saing Pariwisata yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF).

ICT readiness dalam TTCI mengukur keberadaan infrastruktur modern (cakupan

jaringan seluler dan kualitas pasokan listrik) dan kapasitas bisnis serta individu dalam menggunakan dan menyediakan layanan online. Indikator dalam pilar ini meliputi penggunaan teknologi informasi untuk transaksi bisnis, penggunaan internet untuk transaksi bisnis ke konsumen, individu menggunakan internet, pelanggan internet

broadband, langganan ponsel, langganan broadband ponsel, cakupan jaringan seluler, dan

kualitas pasokan listrik[23].

Keunggulan indikator ICT readiness dalam TTCI adalah tidak hanya mengukur keberadaan infrastruktur TIK tapi juga mengukur tingkat penggunaan TIK dan internet oleh sektor bisnis dengan sektor bisnis lain maupun dengan konsumen. Terdapat 2 indikator untuk mengukur tingkat penggunaan TIK oleh sektor bisnis dalam ICT readiness di TTCI yaitu ICT use for to-business transactions dan Internet use for

business-to-consumer transactions. Kedua indikator tersebut sangat penting karena dalam era

transformasi digital saat ini, TIK tidak lagi hanya sebagai pendukung dalam bisnis tapi sudah menjadi bagian integral strategis dari bisnis itu sendiri[29]. Sektor bisnis menjadikan teknologi dan koneksi/internet sebagai alat untuk membangun model bisnis baru, strategi bisnis baru, optimasi proses internal, peningkatan pengalaman pelanggan, dan pendorong kualitas kinerja karyawan[30].

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti juga mengukur ICT readiness pengelola desa wisata berdasarkan kategori desa wisata yaitu desa wisata tumbuh, desa wisata berkembang, dan desa wisata mandiri di Kabupaten Sleman. Pengukuran tersebut bertujuan untuk melihat sejauh mana adopsi TIK oleh pengelola desa wisata untuk setiap kategori (tumbuh, berkembang, mandiri). Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kemudian peneliti membuat level ICT readiness pengelola desa wisata dengan menggunakan kriteria yang mengacu pada indikator ICT readiness pengelola desa wisata yang menjadi sampel penelitian.

(10)

10

Indikator ICT readiness dalam TTCI yang digunakan dalam penelitian ini dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi desa wisata di Kabupaten Sleman berdasarkan hasil prapenelitian. Modifikasi tersebut perlu dilakukan karena indikator ICT readiness dalam TTCI digunakan untuk mengukur kondisi kesiapan TIK di suatu negara sehingga datanya lebih bersifat global dan lebih lengkap. Sedangkan, objek yang diukur dalam penelitian ini adalah desa wisata yang memiliki ukuran wilayah yang lebih kecil dan ketersediaan data yang dibutuhkan kurang lengkap.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur ICT readiness pengelola desa wisata di Kabupaten Sleman untuk penerapan smart tourism sehingga dapat memberikan gambaran mengenai sejauh mana pengelola desa wisata telah menerapkan konsep smart tourism dengan teknologi informasi dan untuk mengetahui indikator ICT readiness mana saja yang perlu ditingkatkan agar desa wisata bisa bersaing secara global.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Mengetahui indikator-indikator ICT readiness pengelola desa wisata di Kabupaten

Sleman untuk penerapan konsep smart tourism.

2. Memberikan informasi dan rekomendasi kepada pengelola desa wisata dan pemerintah daerah khususnya Kabupaten Sleman dalam memaksimalkan pemanfaatan teknologi informasi untuk pengembangan desa wisata dalam penerapan konsep smart tourism.

Referensi

Dokumen terkait

Kerusakan yang terjadi pada bahan perpustakaan disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu menurut Martoatmodjo (2009, hlm. 2.3) : a) Faktor Biologi, Kerusakan

Petisi, yang pertama diselenggarakan oleh ilmuwan individu yang mendukung teknologi RG telah menghasilkan lebih dari 1.600 tanda tangan dari ahli ilmu tanaman mendukung pernyataan

Secara parsial, variabel kualitas layanan yang terdiri dari: dimensi variabel bukti fisik (tangibles) dan empati (emphaty) berpengaruh secara signifikan dan

Berbagai dikotomi antara ilmu – ilmu agama Islam dan ilmu – ilmu umum pada kenyataannya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi sebagimana dilakukan Abduh dan

Sekolah harus melakukan evaluasi secara berkala dengan menggunakan suatu instrumen khusus yang dapat menilai tingkat kerentanan dan kapasitas murid sekolah untuk

BILLY TANG ENTERPRISE PT 15944, BATU 7, JALAN BESAR KEPONG 52100 KUALA LUMPUR WILAYAH PERSEKUTUAN CENTRAL EZ JET STATION LOT PT 6559, SECTOR C7/R13, BANDAR BARU WANGSA MAJU 51750

Penelitian ini difokuskan pada karakteristik berupa lirik, laras/ tangganada, lagu serta dongkari/ ornamentasi yang digunakan dalam pupuh Kinanti Kawali dengan pendekatan