• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM SYARI AH. Disusun guna memenuhi tugas. Mata kuliah: Ushul Fiqh. Dosen pengampu: Dr. H. Fahruddin Aziz. Disusun oleh: Ahmad Yusuf ( )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUKUM SYARI AH. Disusun guna memenuhi tugas. Mata kuliah: Ushul Fiqh. Dosen pengampu: Dr. H. Fahruddin Aziz. Disusun oleh: Ahmad Yusuf ( )"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Ushul Fiqh | 0

HUKUM SYARI’AH

Disusun guna memenuhi tugas Mata kuliah: Ushul Fiqh

Dosen pengampu: Dr. H. Fahruddin Aziz

Disusun oleh:

Ahmad Yusuf (1504026050)

Laqif Abqoriyah (1504026053)

Zakiyyatul Anam (1504026068)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

(2)

Ushul Fiqh | 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Didalam Ushul Fiqh itu berisikan pokok-pokok hukum, dan hukum itu adakalanya hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi adalah hukum yang menunutut kepada mukallaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuat atau menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat atau tidak, sedangkan hukum wadh’i adalah hukum yang ditetapkan pada suatu yang menjadi sebab bagi suatu yang lain, atau menjadi syarat atau menjadi penghalang.

Dan hukum-hukum tersebut ditujukan bagi seorang mukallaf jadi penting bagi kita untuk mempelajarinya karena dengn mempelajarinya kita bisa tahu akan kewajiban-kewajiban kita sebagai orang yang beragama islam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa perbedaan antara hakim, hukum, mahkum fih, mahkum alaih ? 2. Apa pengertian hukum taklifi dan macam-macamnya ?

(3)

Ushul Fiqh | 2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perbedaan Antara Hakim, Hukum, Mahkum fih, Mahkum ‘alaih

Nama Pengertian

Hakim Orang yang menjatuhkan keputusan

Hukum Keputusan yang dijatuhkan hakim sebagai bukti kehendak

Mahkum Fih Perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum

Mahkum ‘Alaih Mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang berkaitan dengan

hukum.1

B. Pengertian Hukum Taklifi dan Macam-Macamnya

Hukum taklifi adalah hukum yang menunutut kepada mukallaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuat atau menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat atau tidak. Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat seperti firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 103

                  

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”(QS. at-Taubah: 103)

Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat seperti fiman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 32:

         

(4)

Ushul Fiqh | 3

“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”(QS. al-Isra’: 32)

Sedangkan contoh hukum yang menghendaki mukallaf memilih antar berbuat dan meninggalkan seperti firman Allah dalam surat al-Jumu’ah ayat 10:

               

“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS.

al-Jumu’ah: 10).2

Macam-Macam Hukum Taklifi

1) Wajib menurut syara’ adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’i untuk dikerjakan oleh mukallaf secara pasti, yakni tuntutan itu bersamaan dengan sesuatu yang menunjukkan kepastian untuk berbuat. Wajib itu dibagi menjadi empat:

1. Wajib ditinjau dari waktu pelaksanaannya, ada yang Muaqqat (dibatasi waktu dan ada yang Mutlak (tidak dibatasi waktu). Wajib Muaqqad adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam waktu tertentu, seperti sholat lima waktu. Sedangkan wajib Mutlak adalah suatu yang dituntut syar’I untuk dilaksanakan secara pasti tetapi tidak ditentuka waktu pelaksaan, seperti denda yang wajib atas orang yang bersumpah kemudian melanggar sumpah, pelaksanaan denda ini tidak ditentukan waktunya.

2. Wajib ditinjau dari tuntutan menunaikan terbagi menjadi wajib ‘aini (wajib ain) dan kifa’I (wajib kifayah. Wajib ‘aini adalah sesuatu yang dituntut syari’ untuk dilakukan oleh masing-masing mukallaf. Tidak cukup seorang mukallaf menjadi wakil yang lain, seperti sholat, puasa, zakat, haji, menepati janji dan lain-lain. Wajib kifa’I adalah sesutau yang ditunut syar’I untuk dilakukan oleh kelomok mukallaf artinya jika sebagian mukallaf sudah berbuat maka kewajiban itu

(5)

Ushul Fiqh | 4

ditunaikan dan gugurlah dosa bagi mukallaf yang lain, seperti, sholat jenazah, menyelamatkan orang yang tenggelam, memadamkan kebakaran dan lain-lain. 3. Wajib wajib ditinjau dari ukuran terbagi menjadi wajib Muhaddad (yang dibatasi)

dan wajib Ghoiru Muhaddad (yang tidak dibatasi). Wajib Muhaddad adalah kewajiabn yang oleh syari’ ditentukan ukurannya, yakni tanggungan mukallaf atas kewajiban ini tidak hilang sebelum dilakukan sebagaimana yang telah ditetapkan syari’ seperti sholat lima waktu, zakat, hutang piutang dan lain-lain. Wajib

Ghoiru Muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan ukurannya oleh syari’,

tetapi mukallaf ditunut melaksanakan kewajiban yang tidak terbatas seperti infak dijalan Allah, tolong menolong dalam kebaikan, member makan kepada orang yang kelaparan, menolong orang yang kesulitan dan lan-lain.

2) Mandub (sunnah) adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’i untuk dilakukan oleh mukallaf secara tidak pasti. Seperti bentuk tuntutan syar’i itu sendiri tidak menunjukkan kepastian, atau tuntutan itu bergandengan dengan alasan yang menunjukkan tidak adnya kepastian. Pembagian sunnah:

1. Sunnah al-Muakkadah adalah Sunnah yang tuntutan yang mengerjakannya secara menguatkan. Orang yang meninggalkan sunnah ini tidak mendapatkan siksa melainkan mendapat cela. Misalnya adzan, melakukan sholat lima waktu dengan berjama’ah dan lain-lain.

2. Sunnah Ghoiru al-Muakkadah adalah Sunnah yang dianjurkan oleh syara’ untuk dikerjakan, perlunya mendapat pahala dan yang meninggalkan tidak disiksa atau dicela, seperti bersedekah kepada para fakir, puasa senin kamis dalam setiap minggu.

3. Sunnah al-Za’idah adalah Sunnah tambahan, artinya dianggap sebagai pelengkap bagi mukallaf. Diantaranya adalah mengikuti jejak Rasulullah Saw. dalam hal kebiasaan beliau sebagai seorang manusia seperti makan, minum, tidur berpakaian dan lain-lain.

3) Muharram (haram) adalah sesuatu yang dituntut syari’ untuk tidak dikerjakan dengan tuntutan yang pasti. Seperti firman Allah Swt dalam surat al-Maidah ayat 3:

(6)

Ushul Fiqh | 5

         ... 

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah...”(QS.al-Maidah: 3)

Pembagian haram terbagi menjadi dua yaitu:

1. Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram, seperti berzina, mencuri, sholat tanpa bersuci dan lain-lain.

2. Haram karena sesuatu yang baru. Artinya sesuatu perbuatan itu pada mulanya ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai suatu kewajiban, kesunahan atau kebolehan tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram, seperti sholat dengan memakai baju curian, jual beli yang mengandung unsur menipu dan lain-lain.

4) Makruh adalah sesuatu yang dituntut syari’ untuk tidak dikerjakan oleh mukallaf dengan tuntutan yang tidak pasti’ seperti jika bentuk tuntutan itu sendiri menunjukkan ketidak pastian.

Ulama’ Hanafiyah membagi makruh menjadi dua bentuk:

1. Makruh tanzih adalah sesuatu yang dituntut syari’ untuk ditinggalkan tetapi tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Misalnya memakan daging kuda.

2. Makruh tahrim adalah tuntutan syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu dengan cara yang pasti. Seperti larangan memakai sutera dan

perhiasan emas bagi kaum laki-laki.3

5) Mubah adalah sesuatu yang oleh syar’i seorang mukallaf diperintahkan untuk memilih antara melakukannya atau meninggalkannya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 235:

         ... 

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran...”(QS- al-Baqarah ayat 235)4

(7)

Ushul Fiqh | 6

C. Pengertian Hukum Wad’hi dan Macam-Macamnya

Hukum wadh’i adalah hukum yang ditetapkan pada suatu yang menjadi sebab bagi suatu yang lain, atau menjadi syarat atau menjadi penghalang. Contoh hukum yang ditetapkan pada sesuatu yang menjadi sebab bagi yang lain seperti firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 38:

              

“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(QS.al-maidah:38)

Contoh hukum yang ditetapkan pada sesuatu yang menjadi syarat bagi sesuatu yang lain seperti firman Allah dalam surat ali-Imran ayat 97

                 

“Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta

alam”(QS.ali-Imran: 97)

Contoh hukum yang menetapka sesutau sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain seperti sabda Nabi SAW: لتاقلا ثريلا yang artinya “ pembunuh tidak berhak mendapat

harta waris”.5

Macam-macam hukum wadh’i

4 Ibid. Hlm.144-160. 5 Ibid. Hlm.140

(8)

Ushul Fiqh | 7

1. Sebab adalah sesuatu yang nyata dan pasti, yang dijaikan syari’ sebagai pertanda

dalam hukum syara’ mengenai akibatnya. Oleh karena itu, adanya sebab mengharuskan adanya akibat dan ketiadaan sebab menyebabkan ketiadaan akibat. Macam-macam sebab:

a. “Sebab” kadang-kadang menjadi sebab pada hukum Taklifi. Misalnya waktu, menjadi sebab kewajiban mendirika sholat, karena firman Allah Swt dalam surat al-Isra’ ayat 78:          ... 

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh”(QS. al-Isra’:78)

b. Kadang-kadang “sebab” itu menjadi sebab untuk menetapkankepemilikan, kehalalan atau menghilangkan keduanya. Seperti jual beli untuk menetapkan kepemilikan dan menghilangkan kepemilikan, memerdekakan budak dan wakaf untuk menggugurkan kepemilikan, akad perkawinan untuk menetapkan kehalalan dan lain-lain.

c. Kadang-kadang “sebab” itu berupa perbuatan yang mampu dilakukan mukallaf, seperti ia membunuh secara sengaja menjadi sebab kewajiban qishah.

d. Kadang-kadang “sebab” itu berupa sesuatu yang tidak mampu dilakukan mukallaf dan bukan termasuk perbuatan mukallaf, seperti masuk waktu sholat menjadi sebab kewajiban sholat.

2. Syarat adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya hukum tergantung pada ada atau tidak adanya sesuatu itu. Yang dimaksud dengan adanya sesuatu yang menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh ada dan tidak adanya hukum. Contoh: wudlu’ menjadi syarat sah menegakkan shalat. Tanpa wudlu’ tidak sah mendirikan shalat. Namun hal ini juga tidak berarti adanya wudlu’ menetapkan adanya shalat.

3. Mani’ (Penghalang) adalah sesuatu yang adanya dapat menyebabkan tidak adanya hukum atau membatalkan sebab. Namun terdapat mani’ yang menghalangi tertibnya

(9)

Ushul Fiqh | 8

hukum. Seperti adanya hubungan suami istri yang sah atau kekerabatan, tetapi masing-masingnya terhalang untuk mewarisi. Misalnya karena adanya perbedaan agama pewaris dengan yang diwarisi atau pembunuhan yang dilakukan pewaris. Seperti juga, bila terdapat pembunuhan secara sengaja atau aniaya, namun terhalang kewajiban hukum qishash baginya berkenaan sipembunuh adalah bapak dari yang dibunuh.

Maka mani’ menurut istilah Ulama’ Ushul ialah sesuatu yang timbul ketika sebab itu telah jelas dan syarat talah terpenuhi, dan menghalangi timbulnya akibat atas sebabnya. Jadi ketiadaan syarat menurut istilah mereka tidak disebut mani’, meskipun dapat menghalangi timbulnya akibat atas sebab.

4. Rukhsah dan Azimah, Rukhshah adalah hukum keringanan yang telah disyari’atkan oleh Allah Subhanahuu Wata’ala. Kepada orang mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan, atau sesuatu yang talah disyari’atkan Allah Subhanahuu Wata’ala. Karena alasan kesulitan dalam suatu kondisi tertentu, atau juga membolehkan sesuatu yang dilarang karena adanya dalil, meskipun dalil larangan itu tetap berlaku. Sedangkan Azimah adalah hukum-hukum umum yang sejak semula telah disyar’atkan Allah Subhanahu Wata’ala. Dan tidak dikhususkan pada kondisi atau mukallaf.

Di antara hukum-hukum rukhshah ialah:

a. Mukallaf dibolehkan meninggalkan kewajiban ketika terdapat udzur kesulitan menunaikannya. Orang yang sakit atau mengadakan perjalanan pada siang bulan Ramadhan, dibolehkan berbuka dll.

b. Membenarkan sebagian akad yang bersifat pengecualian yang di dalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat umum tentang jadi atau sahnya akad, berkenaan dengan hal itu berlaku bagi hubungan manusia dan menjadi sebagian dari keutuhan mereka. Misalnya akad pesan (salam). Sebenarnya akad salam ini adalah menjual benda yang tidak ada di waktu akad, tetapi hal itu telah menjadi suatu kebiasaan manusia dan termasuk di antara kebutuhannya.

c. Menghapus hukum-hukum yang telah di turunkan Allah Subhanahuu Wata’ala. Hukum-hukum itu merupakan beban-beban yang berat terhadap umat-umat sebelum kita, seperti yang diisyaratkan Allah Subhanahuu Wata’ala.

(10)

Ushul Fiqh | 9

5. Al-Shihah dan al-Buthlan (benar dan batal), Perbuatan dikatakan benar menurut

syara’ apabila perbuatan itu menimbulkan pengaruh perbuatan. Jika mukallaf melaksanakan suatu perbuatan wajib seperti sholat, puasa, zakat, haji, dan

dilaksanakan pula dengan sempurna rukun-rukun dan syarat-syaratnya,

konsekwensinya dia tidak mendapatkan hukuman di dunia. Bahkan mendapatkan pahala di akherat nanti.

Pengertian tidak benarnya perbuatan menurut syara’ ialah tiak adanya pengaruh perbuatan. Jika perbuatan yang di lakukan mukallaf itu berupa kewajiban, maka kewajiban itu tidak bisa gugur daripadanya dan tanggungan kewajiban itu juga tidak bisa lepas. Misalnya pada puasa yang batal itu tidak menimbulkan pengaruh dan tidak bisa menggugurkan kewajiban bagi seorang mukallaf. Karena itu seorang mukallaf

wajib mengqodlo’nya.6

(11)

Ushul Fiqh | 10

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hakim adalah Orang yang menjatuhkan keputusan, hukum adalah keputusan yang dijatuhkan hakim sebagai bukti kehendak, mahkum fih adalah Perbuatan mukallaf yang berkaitamn dengan hukum sedangkan mahkum ‘alaih adalah Mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang berkaitan dengan hukum.

Hukum taklifi adalah hukum yang menunutut kepada mukallaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak berbuat atau menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat atau tidak.

Macam-macam hukum taklifi: Wajib, Mandub (sunnah), Muharram (haram), Makruh, Mubah.

Hukum wadh’i adalah hukum yang ditetapkan pada suatu yang menjadi sebab bagi suatu yang lain, atau menjadi syarat atau menjadi penghalang.

Macam-macam hukum wadh’i adalah Sebab, Syarat, Mani’ (penghalang), Rukhshah dan ‘Azimah, Sah dan Batal.

B. Kritik dan Saran

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demikesempurnaan makalah ini da makalah selanjutnya. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin....

(12)

Ushul Fiqh | 11

DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqh Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung: CV Pustaka Setia. Cet I.

Wahhab Khalaf, Abdul. 1977. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Amani. Cet.XI.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul “ Pembelajaran Remedial dalam Membantu Siswa Mengatasi Kesulitan Belajar dalam Menyelesaikan Soal Materi Himpunan pada Siswa Kelas VII di MTs

Pada bahan makanan tersebut terdapat beberapa jenis zat yang bermanfaat terhadap manusia seperti jagung yang memiliki nilai gizi tinggi, dalam 100 gram jagung terdapat energi

Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia No.2 Tahun 2002, secara tegas mencantumkan di dalam beberapa pasainya tentang hak asasi manusia yang berkaitan dengan tugas

Hipotesis atau hipotesa adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih.. bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Walaupun hipotesis

Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian dari Helmi Ramlan (2014) bahwa terdapat kontribusi kinerja manajerial kepala sekolah dan kinerja komite sekolah terhadap

PENGARUH KINERJA MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP MUTU SEKOLAH DASAR NEGERI DI KOTA BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Efektivitas Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Students Teams Chievement Divisions (STAD) untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Tata Hidang Siswa Kelas X Jurusan Jasa Boga

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Seng dan Su (2010) yang memiliki hasil negatif dan tidak signifikan terhadap variabel arus kas operasi pada kebijakan