• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH DEFINISI DAN DASAR HUKUM JUAL BELI ISTISNA. (Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqih Muamalah) Dosen Pengampu :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH DEFINISI DAN DASAR HUKUM JUAL BELI ISTISNA. (Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqih Muamalah) Dosen Pengampu :"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

MAKALAH

DEFINISI DAN DASAR HUKUM JUAL BELI ISTISNA

(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqih

Muamalah)

Dosen Pengampu :

Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun Oleh :

Riska Indah Cahyani

: 1502100209

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

S1 PERBANKAN SYARIAH (SEMESTER III/C)

STAIN JURAI SIWO METRO

(2)

2 Abstrak

Istisna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesan. Istisna adalah akad jual beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah. Bank akan meminta produsen untuk membuatkan barang pesanan sesuai dengan permintaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli barang tersebut dari pihak bank dengan haraga yang telah disepakati bersama. Akad istisna merupakan suatu produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberi keuntungan kepada produsen juga memberikan konsumen atau pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi objek pihak intermediasi dalam hal ini. Dalam perkembangannya, ternyata akad istisna lebih mungkin banyak di gunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan karena barang yang di pesan nasabah atau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan barang yang sudah jadi. Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah banyak tersedia dipasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu, pembiayaan yang mengimplementasikan istisna bisa menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.

(3)

3

DEFINISI DAN DASAR HUKUM JUAL BELI ISTISNA’

A. PENDAHULUAN

Fenomena jual beli dalam kehidupan sehari-hari merupakan fenomena yang menjadi kebiasaan masyarakat. Terutama masyarakat indonesia yang banyak berprofesi sebagai pedagang. Jual beli diatur juga dalam syariah islam. Akan tetapi pengetahuan masyarakat tentang jual beli berdasarkan syariah islam masih kurang, oleh karena itu banyak masyarakat yang melakukan jual beli menyimpang dari syariah islam.

Jual beli terdiri dari dua macam, yaitu jual beli tunai dan jual beli secara tangguh (kredit). Jual beli secara tangguh pun dibagi menjadi tiga, yaitu jual beli murabahah, salam dan istisna. Jual beli salam dan istisna sebenarnya jual beli yang serupa, hanya saja perbedaannya terletak dari keberadaan barang yang dijadikan sebagai objek akad dan cara pembayaran yang sedikit berbeda. Jual beli salam terjadi pada komoditas pertanian, perkebunan dan perternakan.

Sedangkan jual beli istisna terjadi pada komoditas hasil industri yang spesifikasinya dapat ditentukan oleh konsumen. Jual beli istisna merupakan teknik jual beli yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari seperti menjahit di tukang jahit dan lain sebagainya. Mungkin itu adalah jual beli istisna yang sederhana tapi hal tersebut adalah contoh kecil dari jual beli istisna.

Akad istisna merupakan suatu produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberi keuntungan kepada produsen juga memberikan konsumen atau pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi objek pihak intermediasi dalam hal ini.1

Dalam perkembangannya, ternyata akad istisna lebih mungkin banyak di gunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan

1 Lutfi Indah Nurmalasari, Transaksi Istisna, Dalam laman www.bi.go.id . Diunduh 29

(4)

4

karena barang yang di pesan nasabah atau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan barang yang sudah jadi. Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah banyak tersedia dipasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu, pembiayaan yang mengimplementasikan istisna bisa menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.

Bekenaan dengan pendahuluan di atas, maka penulis bermaksud menjelaskan tentang Definis Istisna dan Dasar Hukum Jual Beli Istisna.

B. PENGERTIAN ISTISNA

Istisna secara etimologi adalah masdar dari sitashna ‘asy-syai, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada pembuat untuk mengerjakan sesuatu. Adapun istilah istisna secar terminalogi adalah transaksi terhadap barang daganagn dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah bahan yang harus dikerjakan dan pekerjan pembuatan barang itu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), Istisna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan cara kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan penjual.2

Istisna adalah akad jual beli dimana produsen ditugaskan untuk membuat suatu barang pesanan dari pemesan. Istisna adalah akad jual beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah. Bank akan meminta produsen untuk membuatkan barang pesanan sesuai dengan permintaan nasabah. Setelah selesai nasabah akan membeli barang tersebut dari pihak bank dengan haraga yang telah disepakati bersama.3

Al-istisna adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen atau pengrajin/penerima pesanan (shani’) dengan pemesan (mustashni) untuk

2 Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012) hal. 24 3 Gita Danupranata, Manajemen Perbankan Syariah, (Jakarta : Salemba Empat, 2013)

(5)

5

membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaraan bisa dilakukan dimuka, tengah, atau akhir.4

Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai istisna. Menurut hanafi, bai istisna termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa besok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istisna pokok kontrak itu belum atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyetujui kontrak istisna atas dasar istisna.5

Al- istisna merupakan akad kontrak jual beli barang antara dua pihak lain, dan barang pesanan akan diproduksi sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya dengan harga dan pembayaran yang disetujui terlebih dahulu. Istisna adalah akad penjualan antara al-mustashni (pembelli) dan as-shani (produsen yang bertindak sebagai penjual). Berdasarkan akad istisna pembeli menugasi produsen untuk membuat atau mengadakan al-mashni (barang pesanan) sesuai spesifikasi yang disyaratkan dan menjualnya dengan harga telah disepakati.6

Dalam fatwa DSN MUI istisna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antar pemesan (pembeli, mustashni) dan penjual (pembuat, shani).7

Pembiayaan istisna adalah penyediaan dana atau tagihan untuk transaksi jual beli melalui pesanan pembuatan barang (kepada nasabah produsen), yang dibayar oleh bank berdasarkan pesetujuan atau kesepakatan dengan nasabah

4 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syriah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani

Pers, 2005) hal 113-114

5 Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya: Putra Media Nusantara,

2010) hal 100

6 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011) hal 146 7 Adiwarman A Karim, Bank Islam, Analisi Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja

(6)

6

pembiayaan yang harus melunasi utang atau kewajibannya sesuai dengan akad.8

Maka dapat disimpulkan bahwa istisna bisa disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke 2, agar pihak ke 2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya, yakni pembiayaan yang dicirikan oleh pembayaran di muka dan penyerahan barang secara tangguh.

a) Definisi Istisna Menurut Para Ulama

Menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, Istisna adalah sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu, “Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham”, dan orang itu menerimanya maka akad istisna telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.

Senada dengan definisi diatas, kalangan ulama mazhab Hambali menyebutkan Istisna memiliki makna yakni adalah jual beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istisna mereka samakan dengan jual beli dengan pembuatan.

Namun kalangan Al-Malikyah dan Asy-Syafi’iyah mengaitkan akad istisna ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.9

8 Burhanudin s, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2010) hal 79

9 Diposkan oleh Mustopa Kamal Batubara, Akad Istisna (muamalah). Dalam laman

http://karya-kamal.blogspot.co.id/2015/04/istishna-muamalah.html. Diakses pada tanggal 07 Oktober 2016

(7)

7 C. DASAR HUKUM JUAL BELI ISTISNA

Sebagai dasar hukum jual beli istisna adalah sama dengan jual beli salam, karena ia merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli salam barang-barang yang dibeli sudah ada, tetapi belum ada ditempat. Pada jual beli istisna barangnya belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi. Atas dasar ini, maka menurut para ulama Hanafiyah pada prinsipnya jual beli istisna itu tidak boleh.10

Ulama Hanafiyah berbendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak memperbolehkan istisna. Karena istisna merupakan jual beli barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah, karena barang yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah, karena bahan yang digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual atau shani’. Hanya saja, bila berlandaskan pada istishan, ulama Hanafiyah memperbolehkan. Karena akad semacam ini sudah menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat dan didalamnya tidak terdapat gharar atau tipu daya. Bahkan telah disepakati (ijma’) tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, Syafi’i Ahmad berbendapat bahwa istisna diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada . Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan mimbar.11

Akad istisna adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar’i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma’ di kalangan muslimin dan di atur dalam undang-undang dan fatwa.

10 Siti Mujiatun, “ Jual beli dalam Perspektif Islam : Salam dan Istisna”, dalam Jurnal

RISET AKUNTANSI DAN BISNIS Vol 13 No. 2 / September 2013

11 Imam syukani, Fath Qadir. (Digital Library, maktabah syakamilah isdar

al-sani, 2005), XVI/23 Sebagaimana dikutip oleh Imam Mustafa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016) hal 95

(8)

8 1. Al-Quran

Pembiayaan istishna di atur dalam Al-Quran (Qs. Al-Baqarah: 275)

Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang meng-ulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”

Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.12

2. As-Sunnah

As-Sunnah dalam pembiayaan istishna yaitu :

Artinya : “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa rajaraja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (HR. Muslim)

Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibolehkan.13 Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat

12 Enny Puji Lestari, Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum

(9)

9

Islam secara defakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma‟) bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.14

3. Al Ijma’

Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara defakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.

Para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapi al istisna, apakah termasuk akad jual beli atau akad sewa atau akad as-salam.

Pendapat pertama : menengatakan bahwa al istisna termasuk akad as salam. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Adapun yang dimaksud akad as-salam adalah seseorang memesan sesuatu yang belum ada dengan menyebutkan sifat-sifat tertentu dan pembayaran dilakukan di awal terjadinya akad. Adapun perbedaan antara keduanya, bahwa akad al istisna berlaku pada barang-barang yang dibuat oleh pabrik atau kerajinan tangan, sedangkan akad as-salam berlaku pada barang-barang yang dibuat oleh tumbuh-tumbuhan dan sayur-sayuran.

Dasar dibolehkan akad as-salam ini adalah hadis Ibnu Abbas :

Artinya : “Dari Ibnu Abbas dia berkata, “Ketika Nabi Saw tiba di Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran dimuka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang menjual kurma dengan akad as-salam, hendaklah 13 Fathur Qadir Oleh Ibnu Humaam Jilid 7, hal. 115. Sebagaimana dikutip Oleh Enny Puji

Lestari, Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum Syariah, Dalam Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 2 No.1/ Mei 2014

14 Al Mabsuth oleh As Sarakhsi Jilid 12, hal 138. Sebagaimana dikutip Oleh Enny Puji Lestari,

Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum Syariah, Dalam Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 2 No.1/ Mei 2014

(10)

10

dengan takaran tertentu, timbangan tertentu dan jangka waktu tertentu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat kedua : menyatakan bahwa al istisna merupakan akad tersendiri dan bukan termasuk kedalam akad as-salam. Ini merupakan pendapat al-Hanafiyah. Dalil mereka adalah riwayat yang menyatakan :

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memesan seseorang untuk membuat cincin untuk beliau.” (HR. Bukhari)

Begitu juga beliau memesan seseorang untuk membuat mimbar masjid, sebagaimana dalam hadis Sahal :

“Dari Sahal bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh seorang wanita Muhajirin yang memiliki seorang budak tukang kayu. Beliau berkata kepadanya : “Perintahkanlah budakmu agar membuatkan mimbar untuk kami.” Maka wanita itu memerintahkan budaknya, maka ghulam itu pergi mencari kayu dihutan lalu dia membuat mimbar untuk beliau. “ (HR. Bukhari)

Tetapi didalam kalangan al Hanafiyah sendiri terjadi perbedaan pendapat apakah al istisna hanya sebuah janji yang harus ditepati atau sebuah akad.15

15 Diposkan Oleh Ahmad Zain An-Najah, Hukum Akad Istisna, Dalam laman

(11)

11 Waktu pembayaran :

Atas dasar perbedaan ulama didalam menentukan status akad al istisna, maka mereka pun berbeda pendapat di dalam menentukan waktu pembayaran :

Pendapat pertama, pemesan wajib untuk membayar terlebih dahulu di awal transaksi kepada pihak kedua. Ini adlah pendapat mayoritas ulama, karena mereka menganggap bahwa al istisna ini bagian dari akad as salam, sedangkan dalam akad as-salam semua ulama sepakat pembayarannya harus dilakukan diawal transaksi.

Alasan lainnya, bahwa jika pembayaran ditangguhakan maka termasuk katagori jual beli hutang dengan hutang, dan hal ini dilarang, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar :

“Dari Ibnu Umar bahnwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hutang dengan hutang.” (HR. Daraqutni dan dishahihkan oleh hakim)

Pendapat kedua, pemesan boleh membayar ketika pesanan sudah jadi dan sesuai dengan kriteria yang disepakati. Ini adalah pendapat ulama al-Hanafiyah dan didukung oleh Mukhtamar Majma al-Fiqh al-islami yang diadakan di kota Jeddah pada 7-12 Dzuliqa’dah 1412 H/ 9-14 Mei 1992 M, pada keputusan no 66/3/7 tentang akad al istisna, dan diantaranya isinya adalah sebagai berikut : “Dibolehkan di dalam akad al istisna tersebut untuk menangguhkan pembayarannya secara keseluruhan atau diangsur secara periodik dalam waktu yang terbatas.”

Tetapi perlu digaris bawahi bahwa pendapat kedua yang membolehkan pembayaran di akhir ini, akan terjebak kedalam jual beli hutang dengan hutang, karena membeli barang yang belum ada dengan uang yang belum ada juga, bukanlah hal ini dilarang sebagaimana dalam hadis Ibnu Umar di atas. Sebagian kalangan memberikan jalan keluar dengan cara merubah akad al-istisna ini menjadi dua akad lain, yaitu akad jual beli barang (bahan dasar) dengan kredit, dan akad jasa pembuatan barang tersebut.

(12)

12

Tentunya paling baik adalah membayar terlebih dahulu, sebagaimana yang dinyatakan oleh mayoritas ulama agar kita bisa keluar dari perbedaan pendapat di atas.

4. Fatwa

Sedangakan berdasarkan Fatwa yang mengatur tentang jual beli istishna‟ yaitu Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/ IV/2000.16

a. Pelaku, harus cakap hukum dan baligh. b. Objek akad.

1. Ketentuan tentang pembayaran

a) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau mamfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya. b) Harga yang telah ditetapkan dalam akad tidak boleh berubah. Akan tetapi

apabila setelah akad ditandatangani pembeli mengubah spesifikasi dalam akad maka penambahan biaya akibat perubahan ini menjadi tanggung jawab pembeli.

c) Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. d) Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.

2. Ketentuan tentang barang

a) Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, motu) sehingga tidak ada lagi jahalah danperselisian dapat dihindari.

b) Barang pesanan diserahkan kemudian.

c) Waktu dan penyerahan pesanan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

d) Barang pesanan yang belum diterima tidak boleh dijual.

e) Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan kesepakatan.

f) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau mebatalkan akad.

16 Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istisna. Sebagaimana

dikutip oleh Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat , 2008) hal 194

(13)

13

g) Dalam hal pemesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidak dirugikan karena ia telah menjalankan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan.

Dan juga Fatwa Tentang Jual Beli Istishna‟ Pararel No.22/DSN-MUI/III/2002 adalah.

a. Jika LKS melakukan transaksi istishna‟, untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia dapat melakukan istishna‟ lagi dengan pihak lain pada objek yang sama, dengan syarat istishna‟ pertama tidak tergantung (Mu‟allag) pada istishna‟ kedua.

b. LKS selaku mustashni‟ tidak diperkenankan untuk memungut MDC (Margin During Construction) dari nasabah (Shani’) karena hai ini tidak sesuai dengan prinsip syariah.

c. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah Tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

d. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata dapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagai mestinya.17

Adapun beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam akad istisna yaitu :

1. Kepemilikan barang objek akad adalah pada pesanan, hanya saja barang tersebut masih dalam tanggungan penerima pesanan, atau pembuat barang. Sementara penerima pesanan atau penjual mendapatkan kompensasi materi sesuai dengan kesepakatan , bisa uang atau barang. 2. Sebelum barang yang dipesan jadi maka akad istisna bukanlah akad

yang mengikat setelah barang tersebut dikerjakan, maka kedua belah pihak mempunyai hak pilih untuk melanjutkan akad atau mengurungkannya. Dalam hal ini, apabila si penerima pesanan menjual

17 Fatwa DSN MUI No.06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istisna. Sebagaimana

dikutip oleh Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat , 2008) hal 194

(14)

14

barang yang dipesan kepada pihak lain, diperbolehkan, karena akad tersebut bukan akad yang mengikat.

3. Apabila pihak yang pertama menerima pesanan datang dengan membawa sebuah barang kepada pemesan. Maka penerima pesanan tersebut tidak mempunyai hak khiyar karena secara otomatis ia memang merelakan barang tersebut bagi pemesan.18

Masyarakat telah mempraktikan istisna secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan istisna sebagai kasus ijma atau konsensus umum. Istisna sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah. Segala sesuatu yang memiliki kemaslahatan atau kemanfaatan bagi umum serta tidak dilarang syariah, boleh dilakukan. Tidak ada persoalan apakah hal tersebut dapat di praktikan secara umum atau tidak.19

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil uraian pembahasan di atas, maka penulis dapat memberikan kesimpulan, yaitu bahwa istisna bisa disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke 2, agar pihak ke 2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya, yakni pembiayaan yang dicirikan oleh pembayaran di muka dan penyerahan barang secara tangguh. Sebagai dasar hukum jual beli istisna adalah sama dengan jual beli salam, karena ia merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli salam barang-barang yang dibeli sudah ada, tetapi belum ada ditempat. Pada jual beli istisna barangnya belum ada dan masih akan dibuat atau diproduksi. Atas dasar ini,

18 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,

2016) hal 96

19 Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat, 2008) hal

(15)

15

maka menurut para ulama Hanafiyah pada prinsipnya jual beli istisna itu tidak boleh.20

Ulama Hanafiyah berbendapat bahwa qiyas dan kaidah-kaidah umum tidak memperbolehkan istisna. Karena istisna merupakan jual beli barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dilarang oleh Rasulullah, karena barang yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum ada pada waktu akad. Selain itu, juga tidak bisa dinamakan ijarah, karena bahan yang digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual atau shani’. Hanya saja, bila berlandaskan pada istishan, ulama Hanafiyah memperbolehkan. Karena akad semacam ini sudah menjadi budaya yang dilaksanakan oleh hampir seluruh masyarakat dan didalamnya tidak terdapat gharar atau tipu daya. Bahkan telah disepakati (ijma’) tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, Syafi’i Ahmad berbendapat bahwa istisna diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya akad salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum ada . Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan mimbar.21

Akad istisna adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar’i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma’ di kalangan muslimin dan di atur dalam undang-undang dan fatwa.

20 Siti Mujiatun, “ Jual beli dalam Perspektif Islam : Salam dan Istisna”, dalam Jurnal

RISET AKUNTANSI DAN BISNIS Vol 13 No. 2 / September 2013

21 Imam syukani, Fath Qadir. (Digital Library, maktabah syakamilah isdar

al-sani, 2005), XVI/23 Sebagaimana dikutip oleh Imam Mustafa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016) hal 95

(16)

16

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, Putra Media Nusantara, Surabaya. 2010

Adiwarman A Karim, Bank Islam, Analisi Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2010

Burhanudin s, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, Graha Ilmu, Yogyakarta. 2010

Enny Puji Lestari, Risiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank Umum Syariah , Dalam Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah Vol 2 No.1/ Mei 2014 Gita Danupranata, Manajemen Perbankan Syariah, Salemba Empat, Jakarta.

2013

Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016

Ismail, Perbankan Syariah, Prenada Media Group, Jakarta. 2011

Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta. 2008

Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqih Muamalah, Kencana, Jakarta. 2012

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syriah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Pers, Jakarta. 2005

Siti Mujiatun, “ Jual beli dalam Perspektif Islam : Salam dan Istisna”, dalam Jurnal RISET AKUNTANSI DAN BISNIS Vol 13 No. 2 / September 2013

Referensi

Dokumen terkait

disamakan dengan sistem penyimpanan pada komputer, ingatan jangka pendek dapat disamakan dengan sistem pencatatan atau penyimpanan sementara (register pad). z Sistem

Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian dari Helmi Ramlan (2014) bahwa terdapat kontribusi kinerja manajerial kepala sekolah dan kinerja komite sekolah terhadap

PENGARUH KINERJA MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP MUTU SEKOLAH DASAR NEGERI DI KOTA BANDUNG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Efektivitas Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Students Teams Chievement Divisions (STAD) untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Tata Hidang Siswa Kelas X Jurusan Jasa Boga

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Seng dan Su (2010) yang memiliki hasil negatif dan tidak signifikan terhadap variabel arus kas operasi pada kebijakan

Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian adalah bahwa pemberdayaan diri sendiri Gumil kurang maksimal, fasilitasi/ pemberdayaan oleh lembaga cukup baik dan

mer egulasi CSR butuh lebih dar i sekadar memasukkan dana per usahaan ke APBD. Dokumen Persatuan Bangsa-Bangsa "UN Global Compacts", misalnya, menggar

Peserta didik yang hidup di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang mendukung aktivitas belajar anak akan cenderung memiliki prestasi belajar yang baik