• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN PROSES PASCAPANEN SORGUM UNTUK PANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGELOLAAN PROSES PASCAPANEN SORGUM UNTUK PANGAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN PROSES PASCAPANEN SORGUM UNTUK PANGAN

Muhammad Aqil

Balai Penelitian Tanaman Serealia

ABSTRAK

Sorgum adalah komoditas potensial utama yang diharapkan dapat menjadi sumber pangan, pakan dan energi terbarukan di masa mendatang. Sorgum yang juga dikenal sebagai tanaman khas lahan kering sangat sesuai untuk dibudidayakan di Indonesia. Potensi lahan kering di Indonesia adalah sebesar 52,5 juta ha yang sebagian besar sering mengalami kegagalan panen akibat kekeringan berkepanjangan. Untuk menghasilkan produk sorgum yang optimal tidak bisa hanya mengandalkan varietas atau teknologi budidaya semata tetapi juga aspek pascapanen. Makalah ini membahas sejumlah aspek terkait pengelolaan pascapanen sorgum mulai dari panen, pengeringan, perontokan, penyosohan sampai kepada penyimpanan. Pemanenan sorgum dilakukan dengan mengacu pada deskripsi serta penampakan fisik di lapangan. Keterlambatan dalam pemanena sorgum berakibat menurunkan hasil panen 8-16%. Demikian halnya dengan pengeringan, perontokan, penyosohan untuk mengeluarkan tannin yang melekat pada biji serta penyimpanan yang harus dikelola dengan baik. Penyimpanan yang baik selain menjaga daya tumbuh biji sampai 8 bulan, daya kecambah >80% juga mencegah serangan hama gudang. Melalui manajemen pascapanen diharapkan akan dihasilkan produk biji yang berkualitas mendukung program pengembangan sorgum yang sedang digalakkan pemerintah.

Kata kunci: sorgum, pascapanen, pangan, produk biji

PENDAHULUAN

Penanganan pascapanen merupakan salah satu mata rantai penting yang harus mendapat perhatian dalam usahatani sorgum. Walaupun saat ini belum ada standar mutu dalam perdagangan sorgum namun penerapan teknologi pascapanen yang baik, terutama ditingkat petani diperlukan agar produk biji yang dihasilkan lebih kompetitif dan mampu bersaing di pasar bebas. Sebagai salah satu tanaman pangan utama selain padi dan jagung, sorgum membutuhkan pengelolaan pascapanen yang tepat untuk mencegah kehilangan hasil, baik dalam bentuk kuantitatif (tercecer, dimakan burung) maupun kehilangan kualitatif (serangan hama dan penyakit pascapanen).

Perkembangan luas tanam sorgum di Indonesia memiliki kecenderungan/trend penurunan dari waktu ke waktu. Data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan tahun 1990 menunjukkan luas tanam sorgum di Indonesia di atas 18.000 ha. Namun demikian, tahun 2011 luas tanam sorgum menurun menjadi 7.695 ha (Direktorat Tanaman

(2)

perhatian pemerintah pun tertuju pada pengembangan tanaman sorgum mengingat tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap perubahan iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan BUMN yaitu PT Berdikari telah melakukan ujicoba pengembangan sorgum di empat lokasi yaitu Atambua NTT 1500 ha, Sidrap Sulsel 3200 ha, Konawe Selatan, Sultra 4000 ha. PT. Perkebunan Nusantara XII juga mengembangkan di Banyuwangi seluas 22 ha serta program lainnya baik yang dikelola BUMN, Kementerian Pertanian maupun swasta.

Sejalan dengan semakin tingginya perhatian masyarakat khususnya pengambil kebijakan terhadap pengembangan sorgum, aspek pascapanen tanaman sorgum juga perlu mendapat perhatian khusus karena informasi dan teknologi pascapanen sorgum belum banyak diketahui seperti panen, pengeringan, penyosohan serta penyimpanan. Kualitas dan kuantitas hasil panen sorgum sangat ditentukan oleh ketepatan waktu tanam maupun waktu panen, cara panen serta penanganan pascapanen. Kebiasaan pengeringan biji sorgum dengan membiarkan tanaman di lapang akan berdampak pada meningkatnya risiko kehilangan akibat serangan hama khususnya burung. Penggunaan fasilitas pengeringan tanaman padi atau jagung untuk mengeringkan sorgum juga memerlukan sejumlah modifikasi dengan menyesuaikan bentuk morfologi malai dan biji sorgum. Selain itu sistem penyimpanan yang aman juga sangat diperlukan untuk melindungi biji dari kerusakan akibat serangga, jamur, tikus, dan lain-lain.

Tulisan ini mereview penanganan pascapanen sorgum yang meliputi pemanenan, penjemuran/pengeringan, penyosohan serta penyimpanan. Selain itu tulisan ini juga memberikan saran/masukan untuk mendapatkan produk biji yang berkualitas sebelum dan setelah panen, termasuk potensi pemanfaatan produk olahan berbasis sorgum.

Sifat Fisik Biji Sorgum

Seperti komoditas serealia lainnya, biji-bijian terdiri atas dua komponen yaitu kulit biji dan daging biji. Pada komoditas sorgum, diantara kulit biji dan daging biji dilapisi oleh lapisan testa dan aleuron. Lapisan testa termasuk bagian dari kulit biji dan lapisan aleuron termasuk bagian dari biji. Komposisi bagian biji sorgum terdiri dari kulit luar 8%, lembaga 10% dan daging biji 82%. Dari ragam bentuk biji, secara umum bentuk biji sorgum bulat panjang dengan ukuran biji 4,0x2,5x3,5 mm. Berdasarkan bentuk dan ukuran biji makabiji sorgum digolongkan sebagai biji berukuran kecil (8-10 mg), sedang (12-24 mg) dan besar (25-35 mg) (Kramer dan Matz 1968). Sorgum yang banyak ditanam di Indonesia umumnya mempunyai biji berukuran sedang sampai

(3)

besar. Kulit biji sorgum juga bervariasi diantaranya putih, merah, coklat atau hitam. Warna merupakan salah satu criteria untuk menentukan penggunaan sorgum. Varietas yang berwarna lebih terang akan menghasilkan tepung yang lebih putih sehingga dapat digunakan sebagai bahan subtitusi.

Penanganan Pascapanen Sorgum

Dilihat dari aspek penggunaan, sorgum disejumlah Negara seperti di Afrika banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan diolah menjadi berbagai macam olahan untuk konsumsi. Sorgum dapat diolah menjadi tepung sorgum atau dicampur dengan bahan pangan lain untuk meningkatkan citarasa makanan. Oleh karena itu diperlukan adanya penanganan pascapanen yang tepat mulai dari pemanenan sampai dengan penyimpanan. Urutan proses pascapanen disajikan sebagai berikut:

Panen dan Pengeringan Sorgum

Berbeda dengan jagung atau kedelai, biji sorgum yang melekat pada malai tidak mempunyai pelindung (seperti kelobot atau polong) sehingga biji sorgum sangat rentan terhadap kehilangan menjelang panen misalnya dimakan burung, serangga, jamur serta kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Selain itu, sorgum juga agak sulit dikeringkan di lapangan sampai kadar air 14% sebelum dipanen. Oleh karena itu, apabila saat panen tiba, sorgum sebaiknya dipanen dan diproses secepat mungkin untuk menghindari susut mutu dan jumlah.

Tanaman sorgum mempunyai umur panen antara 100-115 hari tergantung varietas. Varietas Numbu yang saat ini paling banyak beredar dimasyarakat mempunyai umur panen 105 hari, Varietas Kawali mempunyai umur panen 100-110 hari. Kedua varietas tersebut dilepas oleh Badan Litbang Pertanian pada tahun 2001 (Aqil et al, 2013). Benih kedua varietas tersebut tersedia di Unit Pengelola Benih Sumber Serealia, Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros, Sulawesi Selatan. Selain berpedoman pada buku deskripsi varietas, waktu panen juga dapat ditentukan dengan melihat ciri-ciri visual pada batang, daun, malai maupun biji. Pemanenan dapat dilakukan setelah terlihat adanya ciri-ciri seperti daun tanaman telah menguning, malai telah sempurna dan biji telah mengeras. Selain ciri visual, saat panen juga dapat diduga dengan melihat umur bakal biji terbentuk (biasanya umur 60-65 hari), dan berdasarkan informasi tersebut waktu panen yang tepat adalah 40-45 hari setelah bakal biji terbentuk. Kadar air biji sorgum saat panen bervariasi antara 20-23%.

Panen sorgum dilakukan dengan memotong malai dengan menggunakan sabit atau parang. Panjang malai yang telah masak fisiologis umumnya bervariasi antara

(4)

20-23 cm dan berbentuk ellips kompak. Malai sorgum dipotong sekitar 20 cm dari pangkal/bawah malai dengan menggunakan sabit. Malai yang telah dipotong selanjutnya dikumpulkan dan di masukkan ke dalam karung plastik untuk diproses pada fase selanjutnya. Keterlambatan dalam pemanen sorgum berakibat menurunkan hasil panen 8-16% tergantung kadar air biji sorgum (Tabel 1). Oleh karena itu, untuk menekan kehilangan hasil, pemanenan sebaiknya dilakukan pada kadar air biji 20%.

Tabel 1. Kehilangan hasil biji sorgum pada berbagai tingkatan kadar air panen

Kadar air (%) Kehilangan hasil (%) 30 25 20 15 10 11,2 10,0 8,7 12,5 16,3 Sumber: Mc Neill and Montross, 2009

Sorgum mempunyai kemampuan ratun seperti halnya yang terdapat pada tanaman rumput-rumputan. Apabila batang tanaman sorgum dipangkas maka akan muncul tanaman baru/ratun. Dengan pemeliharaan (pemupukan dan pengairan yang cukup) maka sorgum dapat dipanen 2-3 kali dengan persentase penurunan hasil 10-20% per ratun (Efendi dan Pabendon 2010).

Pengeringan sorgum dilakukan untuk menurunkan kadar air biji agar aman disimpan, dengan kadar air berkisar antara 10-12%. Selama pengeringan berlangsung terjadi proses penguapan air pada biji karena adanya panas dari media pengering, sehingga uap air akan lepas dari permukaan biji ke ruangan di sekeliling tempat pengering (Brooker et al 1974).

Pengeringan diperlukan sebelum perontokan untuk menghindari terjadinya biji pecah saat dirontok. Untuk itu, kadar air biji harus diturunkan menjadi 12-14% kemudian dirontok lalu dikeringkan kembali sampai 10-12% sebelum disimpan dalam jangka waktu tertentu sehingga tidak mudah terserang hama dan terkontaminasi cendawan/jamur, serta mempertahankan volume dan bobot bahan sehingga memudahkan penyimpanan (Handerson and Perry 1982).

Keterlambatan proses pengeringan dapat berakibat pada kerusakan biji sorgum khususnya oleh serangan hama kumbang bubuk. Selain itu, proses pengeringan yang terlalu lama atau terlalu cepat dan proses pengeringan yang tidak merata juga dapat menurunkan kualitas biji sorgum. Suhu yang terlalu tinggi atau adanya perubahan suhu

(5)

yang mendadak juga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada biji sorgum yang berdampak langsung pada mutu yang dihasilkan (Brooker et al. 1981).

Selama proses pengeringan bahan, transformasi fisik salah satunya yaitu warna bahan dapat mengalami perubahan. Laju perubahan ini berbanding lurus dengan lama proses pengeringan (Culver dan Wrolstad 2008). Warna biji dapat menjadi salah satu indikasi lama proses pengeringan biji sorgum.

Cara pengeringan sorgum yang umum dilakukan di tingkat petani adalah dengan menjemur di bawah sinar matahari. Penjemuran sorgum langsung di lapang dengan bantuan sinar matahari umumnya dilakukan pada malai yang masih bersatu dengan biji. Efektifitas penjemuran sangat ditentukan oleh: 1. Ketebalan lapisan pengeringan, 2. Suhu dan lama pengeringan, 3. Bulk density, serta 4. Frekuensi pembalikan yang dilakukan (FAO 1999; Muhlbauer 1983).

Fasilitas penjemuran yang umumnya digunakan di petani adalah: a. tanpa alas jemur, malai langsung dikeringkan di atas tanah atau ditepi jalan, b. lembaran plastik atau terpal, c. penjemuran dengan menggantung di tiang bawah kolom rumah, d. penjemuran di atas perapian/dapur petani, dan e. lantai jemur.

Teknis pengeringan dilakukan dengan menyusun malai sorgum di terpal atau lantai jemur dengan ketebalan tumpukan 10-20 cm atau menyesuaikan dengan kondisi faslitas penjemuran. Semakin tipis ketebalan tumpukan dan semakin sering dilakukan pembalikan maka waktu pengeringan yang dibutuhkan juga makin sedikit. Di beberapa daerah seperti Soe dan Pulau Rote Ndao Nusa Tenggara Timur, malai sorgum ditumpuk di atas perapian dapur dengan tujuan untuk mempercepat pengeringan dan untuk menekan serangan hama kumbang bubuk/sitophilus yang dapat merusak biji.

Lama waktu penjemuran malai sorgum bervariasi antar 5-7 hari dengan asumsi kondisi cuaca cerah. Dengan kisaran waktu tersebut, kadar air biji sorgum akan turun dari 18-20% menjadi 12-14% atau dengan kata lain laju penurunan kadar air sebesar 0,7-1%/hari (Broker et al. 1974). Kriteria untuk mengetahui tingkat kekeringan biji adalah dengan cara menggigit biji sorgum, bila bersuara maka biji telah kering dan malai siap untuk dirontok. Kriteria lain untuk melihat tingkat kekeringan biji adalah dengan melihat perubahan warna, khususnya pada jenis sorgum biji putih/coklat. Sorgum yang baru dipanen biasanya berwarna coklat muda namun setelah kering maka warnanya akan berubah menjadi coklat tua.

Apabila biji sorgum akan digunakan sebagai benih atau untuk disimpan dalam waktu yang lama, disarankan untuk mengeringkan malai sampai kadar air 12-14% kemudian dirontok lalu dikeringkan kembali sampai kadar air 10-12%.

(6)

Pengeringan secara mekanis adalah pengeringan dengan bantuan alat pengering yang dioperasikan secara mekanis. Beberapa alat pengering mekanis adalah: (a) alat pengering dengan sumber panas energi bahan bakar minyak (solar, minyak tanah, premium); (b) alat pengering dengan sumber panas energi bahan bakar limbah pertanian; (c) alat pengering dengan sumber panas energi sinar matahari. Setelah melalui rangkaian proses pengeringan, biji sorgum akan mencapai kadar air keseimbangan (equilibrium moisture content). Kadar air keseimbangan biji sorgum dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban relatif udara disekitar tempat pengeringan. Sebagaimana diketahui bahwa biji sorgum adalah benda hidup dan melakukan respirasi dengan menyerap air dari lingkungan. Biji akan terus menyerap air sampai mencapai titik keseimbangan dengan lingkungan.

Perontokan

Setelah melalui proses pengeringan dengan menurunkan kadar air dari >20% menjadi 12-14% maka tahapan selanjutnya adalah perontokan atau pemisahan biji dengan malai sorgum. Perontokan secara tradisional banyak di jumpai di tingkat petani, misalnya di Demak, petani umumnya merontok sorgum dengan memukul tumpukan malai dengan alu atau kayu dengan kapasitas kerja 15 kg/jam. Setelah dirontok, biji kemudian dibersihkan dengan menampi dengan tujuan untuk memisahkan biji dengan daun, malai dan kotoran ikutan lainnya. Di berbagai negara terdapat cara-cara yang unik untuk merontok sorgum. Di India, sorgum diletakkan di tengah jalan untuk digilas oleh kendaraan kecil yang lewat. Metode perontokan ini mampu merontok antara 1-2 ton sorgum per hari.

Balai penelitian Tanaman Serealia merancangbangun alat perontok multikomoditas untuk padi dan sorgum dengan tujuan untuk optimalisasi penggunaan alat sehingga waktu menganggur alat (idle) lebih kecil (Firmansyah et al. 2003 ). Hasil perbaikan alsin perontok padi/kedelai untuk sorgum model PSPK-Balitsereal mempunyai kapasitas 343 kg/jam dengan efisiensi 90,23-92,84% pada putaran silinder perontok 500-700 rpm dan laju pengumpanan berkisar 6-8 kg/menit. Mesin tersebut juga diuji untuk merontok padi dengan kapasitas 220 kg/jam dan efisiensi 82,93% pada putaran silinder 600 rpm dan laju pengumpanan 7 kg/menit (Tabel 6).

(7)

Tabel 3. Kinerja prototipe alsin perontok sorgum (Firmansyah et al. 2003)

Kinerja perontok Nilai

Kadar air biji Laju pengumpanan Putaran silinder perontok Kapasitas keja

Efisiensi perontokan Kadar kotoran Persentase biji pecah

14-15% 6-8 kg/menit 500-700 rpm 343,58 kg/jam 90,2-92,8% 5,1-13,8% 0,29-1,69% Penyimpanan Sorgum

Kondisi penyimpanan yang baik untuk biji sorgum hampir sama dengan penyimpanan biji jagung atau padi. Tujuan penyimpanan produk biji adalah untuk mempertahankan kualitas biji dari kemungkinan faktor lingkungan yang dapat merusak biji sorgum, diantaranya serangan hama, biji berkecambah, dan peningkatan kadar air yang dapat memicu timbulnya jamur. Sorgum dapat disimpan dalam bentuk malai atau biji. Penyimpanan di tingkat petani dilakukan dengan menggantungkan malai sorgum di atas perapian/dapur. Metode penyimpanan ini selain sebagai pengeringan lanjutan juga untuk mencegah serangan hama kumbang bubuk selama penyimpanan. Namun penyimpanan model ini membutuhkan tempat yang agak luas (FAO 2001).

Interaksi faktor suhu ruang simpan dan periode simpan berpengaruh nyata terhadap tolok ukur kecepatan tumbuh dan kadar air benih. Benih yang disimpan pada ruang ber-AC mempuyai daya kecambah dan kecepatan tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan benih yang disimpan pada suhu kamar pada semua periode simpan (Samira 1999). Penyimpanan benih sorgum dengan periode simpan 2 bulan sampai dengan 8 bulan menyebabkan daya berkecambah, kecepatan tumbuh, panjang akar, panjang pucuk kecambah dan ratio hipokotil menurun. Sedangkan kebocoran membran benih sorgum bertambah besar , yang ditunjukkan dengan nilai daya hantar listrik meningkat (Tabel 4).

(8)

Tabel 4. Pengaruh lama waktu penyimpanan terhadap mutu benih sorgum Varietas Kawali

Perlakuan 2 bulan 4 bulan 6 bulan 8 bulan

Daya kecambah (%) 90,28 89,71 89,71 80,28

Kecepatan tumbuh % /etmal 24,47 24,57 23,67 20,71

Berat kering/kecambah (mg) 0,0006 0,0006 0,0006 0,0005

Panjang akar (cm) 10,85 10,85 10,00 10,14

Panjang pucuk (cm) 5,142 5,71 5,57 5,14

Rasio hipokotil 0,44 0,47 0,58 0,42

Daya hantar listrik (μ/cm/g) 27,57 34,49 33,22 51, 94

Sumber : Komalasari dan Arief (2012)

Di daerah tropis, serangga Sitophilus sp. merupakan hama gudang utama pada komoditi serealia dan sering dijumpai baik sewaktu sorgum masih di lapangan maupun setelah di gudang (Porntip dan Sukpraharn 1974; Teetes et al. 1983). Diantara hama gudang S. zeamais merupakan hama gudang utama pada komoditas serealia. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan dapat mencapai diatas 30%. Faktor-faktor yang mempercepat laju kumbang bubuk tersebut adalah tingginya kadar air awal penyimpanan, suhu, kelembaban udara dan rendahnya mutu biji (Bejo 1992). S.

zeamais umumnya menyerang malai menjelang panen di lapangan dan tempat

penyimpanan (Giles dan Aslin 1981). Seekor serangga betina dapat meletakkan telur sebanyak 300-500 butir dalam waktu 4 hingga 5 bulan dan dalam waktu satu tahun dapat terjadi 5-7 generasi (Anonim 1983). Samuel (1974) dan Anonim (1983) melaporkan bahwa selain S. zeamais, serangga Cryptolestus fussilus, Tribolium

comfusum, T. castaneum, Rhyzoperta dominica, Corcyra chevalonica, dan Sitotroga cerealella juga menyerang biji sorgum dalam penyimpanan.

Akibat serangan S. zeamais dapat menurunkan berat biji yang sangat drastis, sedang pada beras serangan cukup ringan (Morallo dan Javier 1980). Kerusakan yang diakibatkan oleh hama gudang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas biji. Penurunan kualitas akibat hama gudang berdampak negatif pada biji sorgum untuk konsumsi maupun untuk benih.

Penyosohan

Permasalahan yang umum ditemui dalam proses penanganan biji sorgum menjadi produk olahan adalah terdapatnya kandungan tanin pada biji. Tanin adalah suatu senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan, berasa pahit dan kelat, yang bereaksi dengan dan menggumpalkan protein, atau berbagai senyawa organik lainnya termasuk asam amino dan alkaloid (Wikipedia 2013). Kandungan tanin yang terdapat

(9)

pada lapisan kulit ari biji (lapisan testra) bersifat antinutrisi dan dapat menimbulkan anti-digestive. Kadar tanin pada biji sorgum berkisar antara 0,4-6,8% tergantung varietas (Firmansyah et al. 2011). Varietas dengan warna biji merah atau coklat biasanya mempunyai kandungan tanin yang lebih tinggi dibandingkan varietas yang warna bijinya putih.

Pelepasan tanin dari lapisan kulit luar sorgum dapat dilakukan dengan melakukan penyosohan. Penyosohan mempunyai tujuan untuk melepas lapisan kulit pericarp dan germ namun tetap menjaga keutuhan lapisan aleuron dan bagian dalamnya. Beberapa metode penyosohan, diantaranya penyosohan secara tradisional dengan alu atau lumpang, penyosohan dengan mesin penyosoh tipe abrasif dan penyosohan alkalis (Mc Nell and Mantross 2003). Lama waktu penyosohan bervariasi tergantung tingkat kekerasan biji, cara penyosohan dan peralatan yang digunakan. Penyosohan tradisional menggunakan metode penyosohan basah diperlukan pembasahan biji selama proses berlangsung. Penyosohan dengan mesin umumnya dilakukan dengan metode penyosohan kering atau tanpa pembasahan biji (Mc Nell and Mantross 2003).

Penyosohan dengan alu dan lumpang umumnya ditemui di perdesaan seperti di Kabupaten Demak, Wonogiri, Selayar dan lain-lain. Penyosohan model ini memanfaatkan gaya tekanan interaktif antara biji sorgum dengan alat serta bji dengan biji. Untuk mempercepat pelepasan kulit maka dalam proses penyosohan ditambahkan air (diperciki). Air yang terdapat dalam lumpang akan menyebabkan terjadinya gumpalan padat hancuran kulit biji sorgum. Rendemen penyosohan yang dihasilkan berkisar antara 70-80%. Penyosohan sorgum secara manual umumnya kurang bersih (masih terdapat ikutan kulit biji) serta masih terasa sepat karena adanya senyawa tanin yang tidak tersosoh (Lubis dan Thahir 1994).

Penyosohan dengan menggunakan peralatan mekanis memanfatkan gaya abrasif alat dengan permukaan kulit sorgum serta gesekan antara biji dengan biji tanpa diberi air. Oleh karena ruang penyosohan dalam keadaan kering maka kulit biji yang tergesek dan terlepas dengan serpihan-serpihan kecil dalam bentuk dedak dan bekatul. Mesin sosoh sorgum dapat menggunakan mesin penggiling beras tipe

Engelbert. Penggunaan alat ini menyebabkan kerusakan pada komponen penggiling

sehingga menyebabkan banyak beras yang patah saat digiling.

Balai Penelitian Tanaman Serealia merancangbangun mesin penyosoh khusus sorgum pada tahun 1995 dengan memodifikasi mesin penyosoh Model TGM-400 yang dibuat Jepang (Lando et al.1998). Modifikasi dilakukan dengan memperpanjang dimensi alat, panjang dan diameter silinder penyosoh, serta model sarangan (Lando,

(10)

et.al. 1998). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pemanjangan silinder penyosoh dari

32 mm menjadi 176,2 mm meningkatkan kapasitas penyosohan menjadi dari 4 kg/jam menjadi 29 kg/jam pada putaran silinder penyosoh 2500 rpm. Pengembangan dan perbaikan rancangan dilakukan, dan pada tahun 2010, dihasilkan prototipe baru mesin penyosoh tipe abrasif PSA-M3 yang digerakkan enjin 10 HP. Mesin ini mampu menyosoh biji sorgum dengan kapasitas 40 kg/jam, lebih tinggi dibandingkan generasi pendahulunya yang hanya mempunyai kapasitas sosoh 29 kg/jam (Firmansyah et al. 2010). Kapasitas penyosohan berbeda tergantung ukuran biji, kadar air penyosohan serta tingkat kekerasan biji. Hasil akhir dari penyosohan ini adalah beras sorgum yang sudah bersih dari kulit ari dan siap untuk ditepungkan.

Dimensi biji sorgum varietas lokal Selayar dengan warna biji merah, coklat/hitam dan warna biji putih berbeda. Rata-rata dimensi biji sorgum warna merah adalah panjang 8,13 mm, lebar 3,99 mm dan tebal 2,86 mm, serta biji sorgum warna coklat /hitam adalah panjang 7,88 mm, 3,73 mm, dan 2,86 mm. Sedangkan warna biji putih diameternya 3,11 mm. Ketiga varietas tersebut yang beda dimensinya, jika disosoh dengan mesin sosoh PSA-M3, kualitasnya juga berbeda (Tabel 6).

Tabel 6. Kualitas penyosohan (butir sosoh utuh, pecah, menir, rendemen dan kandungan tanin mesin sosoh tipe abrasive. PSA-M3. Maros 2010.

Varietas sorgum Butir sosoh

utuh (%) Butir pecah (%) Menir (%) Tanin (%) Biji Merah/ Lokal Selayar merah

Biji coklat/hitam Putih 66,32 82,08 84,17 28,52 14,14 8,77 5,01 3,33 6,66 4,33 2,99 0,97

Sumber: Firmansyah et al. (2010)

KESIMPULAN

Penanganan pascapanen merupakan salah satu mata rantai penting yang harus mendapat perhatian dalam usahatani sorgum. Tahapan penanganan pascapanen mulai saat panen sampai dengan penyimpanan membutuhkan penanganan yang tepat. Ketidaktepatan panen sorgum dapat menyebabkan kerugian 8-16%. Demikian pula proses pengeringan dan perontokan juga harus dikelola dengan baik. Saat ini telah tersedia teknologi/mesin pengering dan penyosoh sorgum yang dapat mengeringkan biji secara cepat dan mencegah kerusakan akibat kontaminasi jamur. Alat perontok Balitsereal saat ini telah tersedia dengan kapasitas diatas 400 kg/jam. Penyimpanan yang baik selain menjaga daya tumbuh biji sampai 8 bulan, daya kecambah >80% juga mencegah serangan hama gudang. Sebelum diolah menjadi

(11)

produk pangan biji sorgum harus disosoh untuk menghilangkan tannin. Mesin penyosoh sorgum pun saat ini telah tersedia sehingga dapat digunakan untuk menyosoh biji sorgum. Melalui manajemen pascapanen diharapkan akan dihasilkan produk biji yang berkualitas mendukung program pengembangan sorgum yang sedang digalakkan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Aqil, M., C. Rapar, dan Zubachtirodin, 2013. Deskripsi varietas unggul jagung, sorgum dan gandum. Balai Penelitian Tanaman Serealia.

ASAE Standards. 2002. D254.4. Moisture relationships of grains. American Society of Agricultural Engineers, St. Joseph, Mich. <http://www.asae.org>.

Balai Penelitian Tanaman Serealia, 2003. Highlight Hasil Penelitian Tahun 2003. Balai Penelitian Tanaman Serealia

Brooker, D.B., F.W. Bakker., and C.W. Arkema. 1974. Drying cereal grains. The A VI Publishing Co. Inc, West Port. USA.

Efendi, R dan M. B. Pabendon, 2010. Seleksi genotif sorgum manis produksi biomas dan daya ratun tinggi. Laporan Akhir Tahun Balai Penelitian Tanaman Serealia.

FAO, 1999. Sorghum: Postharvest Operation. Natural Resources Institute (www.fao.org)

Firmansyah, I.U., S. Saenong, B. Abidin, Suarni, Y. Sinuseng, F. Koes, dan J.Tandiabang. 2004. Teknologi pascapanen primer jagung dan sorgum untuk pangan, pakan, benih yang bermutu dan kompetitif. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. p. 1-35.

Firmansyah, I.U., M.Aqil, Suarni, M. Hamdani, O. Komalasari. 2010. Penekanan kehilangan hasil pada proses perontokan gandum (1,5%) dan penurunan kandungan taninsorgum (mendekati 0%) pada proses penyosohan. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Serealia. Maros. P. 1-40.

Handerson, S.M and R.L. Perry. 1982. Agricultural process engineering. Third edition. The AVI Publishing Company Inc., Westport Connecticut.

Lando, T.M., Y. Sinuseng, Suarni, dan B. Prastowo. 1998. Perancangan dan Pembuatan Mesin Menyosoh Sorgum. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain.

Lubis, S dan R. Thahir., 1994. Uji penampilan alat penyosoh Model Solia-SM60 pada sorgum dan kedelai. Dalam E.E. Ananto, Sumihadi, A. Musaddad dan T. Alihamsyah (ed). Prosepek Mekanisasi Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbangtan, Bogor

Samuel, G., Mc. Nell and M.D. Mantross. 2003. Harvesting, drying, and storing grain sorghum. College og Agriculture, University of Ken.

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian saya diarahkan ke pembimbing yaitu Mas Nanang, kemudian saya dikenalkan sistem-sistem yang ada di kecamatan, yaitu SiMARDi (Sistem Informasi Manajemen

Masalah umum dalam penelitian ini adalah ³$SDNDK SHQJJXQDDQ PHWRGH diskusi dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi Peserta Didik

Pemberdayaan perempuan merupakan suatu usaha yang membutuhkan interaksi yang sederajat dan saling menguntungkan sesuai fungsi dan potensi masing-masing dari faktor-faktor

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksplan sebagai bahan yang berasal dari tanaman stevia klon BPP 72 (Perkebunan Pusat Penelitian Bioteknologi di

Permeabilitas Rerata 1 Kec. Lama kejadian hidrograf permukaan merupakan jumlah dari waktu konsentrasi dan waktu resesi. Pada waktu terjaid hidrograf permukaan akan

The wide scatter of analytical results obtained in different laboratories during collaborative trials might in principle be explained by the random errors of the chemical

Sebuah sistem fotovoltaik yang terintegrasi dalam Pembangkit hybrid terdiri dari sebuah solar modul dan DC.AC converter untuk konversi daya Dc yang dihasilkan menjadi

Tindak lanjut terhadap HA yang disampaikan kepada penyidik dalam publikasi ini masih terbatas pada tindak lanjut HA yang telah disampaikan oleh Penyidik kepada PPATK,